BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · A. Latar Belakang Tanah mempunyai fungsi sangat penting bagi...

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah mempunyai fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kehidupan manusia bergantung pada tanah. Dapat dikatakan bahwa setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Manusia dimanaupun berada di muka bumi ini memerlukan tanah antara lain sebagai tempat bercocok tanam, tanah menghasilkan hasil bumi yang diperlukan untuk kelangsungan kehidupan manusia, mendirikan rumah/tempat tinggal, membangun gedung, tempat industri, sarana transportasi dan lain sebagainya yang tidak dapat dilepaskan dari fungsi dan kegunaan dari tanah. Seperti kita ketahui, bumi, air, dan ruang angkasa demikian pula segala kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh rakyat Indonesia dan oleh karena itu sudah seharusnya pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa beserta segala apa yang terkandung didalamnya ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Di Indonesia sebagai salah satu negara yang berkembang, penggerak roda perekonomian dipegang langsung oleh pemerintah sebagai central point yang bertujuan untuk terlaksananya efektifitas dan efisiensi demi mengimbangi keadaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Selain itu pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakatnya melalui sektor perekonomian. Salah satu tindakan pemerintah Indonesia selaku

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · A. Latar Belakang Tanah mempunyai fungsi sangat penting bagi...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah mempunyai fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia. Hal ini

disebabkan karena sebagian besar kehidupan manusia bergantung pada tanah.

Dapat dikatakan bahwa setiap saat manusia berhubungan dengan tanah.

Manusia dimanaupun berada di muka bumi ini memerlukan tanah antara lain

sebagai tempat bercocok tanam, tanah menghasilkan hasil bumi yang

diperlukan untuk kelangsungan kehidupan manusia, mendirikan rumah/tempat

tinggal, membangun gedung, tempat industri, sarana transportasi dan lain

sebagainya yang tidak dapat dilepaskan dari fungsi dan kegunaan dari tanah.

Seperti kita ketahui, bumi, air, dan ruang angkasa demikian pula segala

kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia dari Tuhan

Yang Maha Esa bagi seluruh rakyat Indonesia dan oleh karena itu sudah

seharusnya pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa beserta segala

apa yang terkandung didalamnya ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya

kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Di Indonesia sebagai salah satu negara yang berkembang, penggerak

roda perekonomian dipegang langsung oleh pemerintah sebagai central point

yang bertujuan untuk terlaksananya efektifitas dan efisiensi demi mengimbangi

keadaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Selain itu pemerintah

mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakatnya

melalui sektor perekonomian. Salah satu tindakan pemerintah Indonesia selaku

penggerak perekonomian negara adalah dengan cara menyediakan kebutuhan

masyarakatnya.

Penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab pemerintah tersebut

merupakan cita-cita bangsa Indonesia yaitu terciptanya suatu masyarakat adil

dan makmur yang merata baik secara materiil maupun spirituil yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Untuk mewujudkan hal tersebut diatas, maka pemerintah

melakukan pembangunan di segala bidang, terutama pengembangan sistem

pembangunan nasional yang mengutamakan rakyat banyak secara adil dan

merata. Salah satu bidang pembangunan yang perlu dikembangkan adalah

bidang perekonomian.

Dalam pembangunan hukum di sektor perekonomian Indonesia diatur

dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dalam mewujudkan pembangunan di bidang ekonomi, pemerintah telah

memberikan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan pemerintah adalah

mengesahkan Undang-undang 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria yang lazim disingkat dengan UUPA.

UUPA memuat dasar-dasar pokok di bidang Agraria yang merupakan

landasan bagi usaha pembaharuan hukum agraria dan diharapkan dapat

memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan

fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya untuk kesejahteraan bersama secara adil.1

Dalam Pasal 2 UUPA dijelaskan isi dan maksud dari hak menguasai dari

Negara yang bersumber Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai berikut:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa.

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang

angkasa.

Tujuan pembentukan UUPA adalah meletakkan dasar-dasar hak untuk

memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat

seluruhnya dasar-dasar untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai

hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya, karena itulah Negara selaku Badan

Penguasa dapat mengatur adanya bermacam-macam hak atas tanah.

Mengingat besar dan pentingnya peranan hak-hak atas tanah dalam

kehidupan masyarakat, maka agar tanah mempunyai status hukum yang pasti

diperlukan adanya landasan hukum yang pasti. Oleh karena itu dalam

pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan:

1. Tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta

dilaksanakan konsisten.

2. Penyelenggaraan pendaftaran yang efektif.2

1 Bachtiar Efendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung:Alumni,1993), hlm. 34

Berdasarkan Pasal 19 UUPA dinyatakan bahwa untuk menciptakan

kepastian hukum pertanahan, pemerintah menyelenggarakan pendaftaran.

Untuk melaksanakan perintah dari Pasal 19 UUPA maka dikeluarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menggantikan

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah:3

“Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik, dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”

Pendaftaran hak atas tanah yang pelaksanaannya didasarkan pada PP

Nomor 24 Tahun 2007, mempunyai tujuan yaitu:

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak

lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapatr membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang bersangkutan;

2. Untuk menyediakan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan,

termasuk pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan;

2 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2008), hlm. 69 3 Ibid, hlm. 474.

Di Indonesia terdapat berbagai macam jenis hak atas tanah seperti yang

diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA antara lain:

1. Hak milik;

2. Hak guna usaha;

3. Hak guna bangunan;

4. Hak Pakai;

5. Hak Sewa;

6. Hak membuka tanah;

7. Hak memungut hasil Hutan;

8. Hak-hak lain yang termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan

ditetapkan dengan undang-undang serta hak yang sifatnya sementara

sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Dengan diberikannya beberapa macam hak atas tanah baik kepada

perorangan atau badan hukum, disamping adanya wewenang untuk mengelola

tanah tersebut sesuai dengan hak yang dipegangnya dan sepanjang tidak

bertentangan dengan pembatasan yang berlaku untuk itu, maka juga kepada

pemegang hak tersebut dibebankan kewajiban untuk mendaftarkan hak atas

tanahnya dalam rangka menuju kepastian hukum.

Adapun kepastian hukum yang dimaksud adalah meliputi :

1. Kepastian hukum mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah tersebut. Kepastian hukum ini berkenaan dengan siapa pemegang hak atas tanah tersebut dan dengan memberikan kepastian hukum mengenai subyek hak atas tanah.

2. Kepastian mengenai letak tanah, batas-batas tanah, panjang dan lebar tanah serta memberikan kepastian hukum mengenai luas tanah tersebut. Kepastian

berkenaan dengan letak, batas-batas, panjang dan lebar tanah serta luas tanah ini disebut dengan kepastian mengenai obyek hak atas tanah.4

Oleh karena itu dalam Pasal 19 UUPA mengharuskan kepada masyarakat

untuk mengadakan pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh pemerintah di

seluruh wilayah Indonesia.

Sedangkan fungsi pokok dari pendaftaran tanah ialah untuk memperoleh

alat pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan hukum mengenai tanah,

dan memberi kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah.5

Pendaftaran tanah atau pendaftaran hak-hak atas tanah tersebut akan

membawa akibat diberikannya surat tanda bukti hak atas tanah yang disebut

sertifikat tanah.

Pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari pemerintah untuk

memberikan kepastian hukum terutama bagi pemegang hak atas tanah diseluruh

wilayah Indonesia. Hal ini sesuai amanat yang terdapat dalam Pasal 19 UUPA

dan PP No.24/1997. Pengaturan pada sistem pendaftaran hak atas tanah

terdapat asas-asas bahwa pendaftaran tanah harus dilakukan berdasarkan rasa

aman, asas terjangkau, asas sederhana, dan asas mutakhir.6

Dalam hal pendaftaran tanah, terdapat kewajiban pendaftaran tanah yang

diselenggarakan oleh pemerintah, meliputi kegiatan sebagai berikut:

1. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah,

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut,

4 Bachtiar effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksananya, (Bandung :

alumni, 1993), hlm.20-21 5 Ana Silviana, Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah, (Semarang : Universitas Diponegoro, 2010),

hlm. 21-22 6 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftaranya, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm.

112

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat.

Sertipikat sebagai alat bukti yang kuat mengandung arti bahwa, sepanjang

tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data yang tercantum didalamnya harus

diterima sebagai data yang benar. Dengan diterbitkannya sertipikat hak atas

tanah maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan

hukum.

Sertipikat tanah yang diberikan itu akan memberikan arti dan peranan

penting bagi pemegang hak yang bersangkutan yang dapat berfungsi sebagai

alat bukti hak atas tanah. Pemilik tanah dengan alat bukti yang kuat dan dengan

status yang jelas akan dijamin kepastian hukum dan perlindungan hukumnya,

sehingga akan lebih mudah untuk membuktikan bahwa tanah tersebut adalah

miliknya.

Peraturan pelaksanaan pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, sebagai

penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Untuk

melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut,

pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.

Bila dilihat dari bunyi Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa pendaftaran tanah meliputi kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah.

Menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan bahwa hibah harus dilakukan dengan

akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang

berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-

dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak yang

bersangkutan kepada Kantor Pertanahan, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari

kerja sejak ditanda tanganinya akta yang bersangkutan.

Terselenggaranya pendaftran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftar.7

Peralihan hak atas tanah dilakukan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT). Jika tanah itu sudah bersertipikat, maka pencatatan atas nama penerima

hibah dapat segera dilakukan di Kantor Pertanahan. Apabila tanahnya belum

bersertipikat, maka penyelesaian sertipikat dilaksanakan terlebih dahulu. Setelah

keluar sertipikat barulah dilaksanakan pencantuman nama penerima hibah

didalamnya. Namun banyak masyarakat yang belum mengetahui secara luas

bagaimanakah pelaksanaan peralihan hak atas tanah yang diperoleh karena

hibah dan bagaimana pula kekuatan hukum dari hak atas tanah yang diperoleh

dengan cara hibah setelah pemberi hibah meninggal dunia.

Dalam masyarakat kita banyak masih yang belum mengetahui proses dan

tatacara hibah yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam kenyataannya

masih terjadi dalam masyarakat, khususnya di Kecamatan Mranggen, Kabupaten

Demak, banyak masyarakat yang masih awam tentang tata cara hibah yang

dalam pelaksanaannya masih banyak yang menggunakan cara lama dengan

melakukan ikrar hibah hanya di depan Kepala Desa, sehingga sering timbul

7 Widhi Handoko, Sistem Birokrasi Pendaftaran Tanah dan Politik Hukum Pertanahan Tinjauan Socio

Legal, (Semarang:Universitas Diponegoro, 2011), hlm.8

persoalan di belakang hari. Apalagi setelah pemberi hibah meninggal dunia,

biasanya ahli waris dari penghibah tersebut akan menuntut kembali apa yang

sudah dihibahkan oleh orang tuanya, karena pada prinsipnya hibah harus

diketahui dan disetujui oleh para ahli waris lainnya dan biasanya orang tuanya

pada saat menghibahkan tanah tersebut tanpa persetujuan dari anak-anaknya

ataupun dari ahli warisnya, padahal dalam PP 24 Tahun 1997 sudah diatur tata

cara hibah dengan dibuat akta oleh PPAT dan didaftarkan dikantor Pertanahan.

Salah satu permasalahan yang timbul dalam kasus di pengadilan yaitu

pembatalan/penarikan tanah yang telah diberikan oleh pemberi hibah.

Pembatalan atau penarikan hibah tanah tersebut dapat dilihat dalam gugatan

perdata dengan nomor perkara : 14/Pdt.G/2008/PN.Dmk. Dalam perkara tersebut

penerima dan orang yang menguasai tanah sengketa menjadi tergugat dan turut

tergugat dalam gugatan perdata ini yang berkaitan dengan pembatalan hibah

oleh pemberi hibah kepada penerima hibah.

Gugatan perdata ini bertujuan untuk membatalkan hibah tanah yang

menurut tergugat telah dihibahkan kepada dirinya oleh pemberi hibah dengan

dasar testamen No.150 tanggal 28 Januari 1977 dibuat dihadapan Moeljani, SH

Notaris di Semarang dan testamen tersebut dijadikan dasar pembuatan akta

hibah No. 4/H.B/1979 tertanggal 6 Pebruari 1979 yang dibuat dihadapan

Marjana, PPAT kecamatan Mranggen. Padahal testamen tersebut telah dihapus

dan ditarik kembali oleh pemberi dengan membuat/menerbitkan testamen No.27

tertanggal 19 Pebruari 1998 yang isinya mengangkat sebagai ahli waris tunggal

yaitu keponakanya, kemudian dihapus dan ditarik lagi dengan testamen No.5

tertanggal 4 Agustus 2000 yang isinya adalah mencabut testamen No.27

tertanggal 19 Pebruari 1998, maka harta menjadi ke asal pemiliknya/Pemberi

hibah, dan karena pemberi hibah telah meninggal dunia,maka harta warisan

tersebut demi hukum harus kembali kepada ahli waris almarhum.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis berkeinginan menyusun

tesis dengan judul “PELAKSANAAN PENDAFTARAN PERALIHAN HAK ATAS

TANAH YANG DIPEROLEH KARENA HIBAH MENURUT PP 24 TAHUN 1997 DI

KECAMATAN MRANGGEN, KABUPATEN DEMAK”.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikemukakan oleh penulis adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan hibah atas tanah menurut Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 di Kecamatan Mranggen, Kabupaten

Demak?

2. Bagaimanakah akibat hukum pembatalan akta hibah berdasarkan Putusan

Pengadilan terhadap tanah yang sudah dibalik nama atas nama penerima

hibah?

C. Pembatasan Masalah.

Pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya dibatasi dalam hal tempat

objek penelitian yakni hanya tiga desa dari 19 desa yang ada di Kecamatan

Mranggen. Desa-desa tersebut adalah Desa Mranggen, Desa Bandungrejo dan

Desa Brumbung.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan hibah atas tanah menurut Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, khususnya di Kecamatan Mranggen,

Kabupaten Demak.

2. Untuk mengetahui akibat-akibat hukum pembatalan akta hibah berdasarkan

Putusan Pengadilan terhadap tanah yang telah disertifikatkan atas nama

penerima hibah.

E. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian termasuk penelitian karya ilmiah akan sangat

berguna apabila yang dihasilkan dalam penelitian tersebut dapat memberikan

manfaat bagi orang lain maupun instansi dimana penelitian tersebut dilakukan.

Fungsi penelitian adalah mencarikan penjelasan dan jawaban terhadap

permasalahan serta memberikan alternatif bagi kemungkinan yang dapat

digunakan untuk pemecahan masalah.8

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wacana guna

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu

hukum yang berkaitan dengan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang

diperoleh karena hibah khususnya, guna lebih memajukan dan

mengefektifkan penyelesaian segala masalah yang berkenaan dengan hal

tersebut.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti dan

hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada Kantor

Pertanahan Kabupaten Demak pada khususnya dan masyarakat pada

umumnya tentang pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang

diperoleh karena Hibah.

8 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2010 ), hlm. 1

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.

PP 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah

Pasal 19 UUPA

F. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Konseptual

Kerangka konsep merupakan bagan alur pemikiran penulis mengenai

alur konsep penulisan mengenai perlindungan hukum untuk mendapatkan

sertipikat Hibah di Kantor Pertanahan, dengan bagan sebagai berikut:

Pelaksanaan Hibah dihadapan PPAT dan Pendaftaran di Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota Hibah kepada anak Hibah kepada orang lain

Perlindungan Hukum Kendala-kendala dan cara

mengatasi persoalan hibah

Pendaftaran hibah di kantor Pertanahan

Kedudukan Hukum dan alat bukti penerima hibah

2. Kerangka Teori

a. Peralihan hak atas tanah

Pemindahan hak berbeda dengan peralihan hak atas atas tanah.

Peralihan hak atas meliputi perbuatan hukum yang disengaja dan tidak

disengaja, meliputi perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, tanah

dipindahkan secara sengaja kepada pihak lain, mapun pewarisan hak atas

tanah (tanah beralih dengan tidak sengaja/karena hukum) kepada ahli

waris.

Bentuk pemindahan hak bisa :

a. Jual Beli b. Tukar menukar c. Hibah d. Pemberian menurut adat e. Pemasukan dalam perusahaan atau imbreng f. Hibah wasiat atau legat 9

Perbuatan-perbuatan tersebut diatas, dilakukan pada waktu

pemegang hak masih hidup dan merupakan perbuatan hokum

pemindahan hak yang bersifat tunai, kecuali hibah wasiat. Artinya bahwa

dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang

bersangkutan berpindah kepada pihak lain. Perbuatan hukum tersebut di

atas dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT) yang

bertugas membuat aktanya. Akta yang ditandatangani oleh para pihak

menunjukkan secara nyata atau riil perbuatan hukum tersebut.

Hibah tanah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela tanpa

ada kontraprestasi dari penerima pemberian, dan pemberian itu

dilangsungkan pada sat pemberi masih hidup (inilah yang

9 Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 262

membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan sesudah si

pewasiat meninggal dunia).10

Pasal 1666 KUHPerdata menyatakan bahwa hibah adalah suatu

perjanjian dengan di mana penghibah diwaktu hidupnya, dengan cuma-

cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu

barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian

cuma-cuma yaitu suatu perjanjian yang memberikan keuntungan bagi

salah satu pihak.11

Penghibahan hanyalah mengenai barang-barang yang sudah ada. Jika

ia barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari, maka sekedar

mengenai itu hibahnya adalah batal.

Setelah lahirnya PP nomor 24 tahun 1997 bahwa hibah harus

dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Selain itu dalam

pembuatan akta hibah perlu diperhatikan obyek yang akan dihibahkan,

Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya membuat akta hibah yang objeknya

tanah bukan benda- benda lain. Bila objeknya benda bergerak menurut

KUHPerdata akta hibah dibuat dihadapan Notaris.

Dalam hukum Islam, kata hibah berasal dari istilah bahasa arab yang

secara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan

demikian berarti telah disalurkan dari tangan oang yang member kepada

tangan orang yang diberi.12 Dasar Hukum Pemberian hibah terdapat

10 Chairuman Pasaribu & Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta : Sinar

Grafika, 1993), hlm. 114 11 Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasarkan Buku III KUHPerdata (Semarang : Pohon Cahaya,

2011) hlm. 93. 12 Chairuman Pasaribu & Suhrawardi K. Lubis, Op.cit, hl. 113.

dalam Al-Quran Surat al baqarah (2) ayat 177, Surat Ali Imron ayat 38,

Pasal 210 sampai 214 Kompilasi Hukum Islam.

Adapun yang dimaksud dengan pemberian disini berwujud benda,

sedangkan yang dimaksud dengan benda itu adalah sesuatu yang

bermanfaat bagi manusia(dalam hal ini tentunya dapat berbentuk benda

berwujud seperti rumah, tanah, dan dapat berbentuk benda tidak

berwujud sepert hak cipta,hak paten dan lain-lain).

Pada dasarnya setiap orang dapat menghibahkan (barang milik)

sebagai penghibah kepada siapa saja yang ia kehendaki ketika

penghibah dalam keadaan sehat wal afiat. Hibah dilakukan oleh

penghibah tanpa pertukaran apapun dari penerima hibah. Hibah

dilakukan secara sukarela demi kepentingan seseorang atau demi

kemaslahatan ummat. 13

Untuk pelaksanaan pemberian hibah harus ada harta atau barang

yang dhibahkan, dapat terdiri atas barang-barang ang bergerak maupun

benda-benda yang tidak bergerak. Dalam hukum perdata Islam

menyebutkan syarat-syarat hibah antara lain:

a. Barang itu nilainya jelas

b. Barang itu ada waktu terjadi hibah

c. Barang itu berharga menurut ajaran islam (karena bangkai, khomer

,darah tidak sah untuk dihibahkan).

d. Barang tersebut dapat diserahterimakan.

e. Barang itu dimiliki oleh si pemberi hibah.

13 Sudarsono, Hukum Waris Dan Sistem Bilateral ( Jakarta : Rineka Cipta, 1994 ), hlm. 103

Hibah itu harus dilaporkan/diucapkan (shighat/akad), dengan ijab

(penawaran pemberian) dan kabul suatu pernyataan penerimaan. 14

Adapun yang menjadi rukun hibah menurut sulaiman Rasyid adalah:

a. Ada orang yang memberi (penghibah);

b. Ada orang yang menerima pemberian(penerima hiabah);

c. Adanya ijab dan qobul;

d. Adanya barang/benda yang diberikan(benda yang dihibahkan).15

Hibah pada dasarnya adalah pemberian yang tidak ada kaitanya

dengan warisan,kecuali kalau ternyata hibah itu akan mempengauruhi

kepentingan dan hak-hak ahli Waris. Dalam hal demikian perlu ada

batasan maksimal hibah yaitu tidak melebihi sepertiga harta seseorang.

Hibah dapat dilaksanakan secara lesan dihadapan dua orang saksi yang

memenuhi syarat.

Penghibahan menurut hukum adat merupakan cara bagi orang tua

(si penghibah) untuk memberikan harta miliknya secara langsung kepada

anak-anaknya. Hak ini merupakan penyimpangan dari hukum waris yang

berlaku di daerah tersebut.

Penghibahan sebidang tanah kepada seorang anak merupakan

suatu transaksi tanah, tetapi bukan merupakan transaksi jual, maka

penghibahan tanah harus dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan

supaya menjadi sah serta terang.

Dalam masyarakat hukum adat, hibah ini dilakukan seaktu anak-

anaknya sudah menikah dan dipisahkan dengan membuatkan rumah,

memberikan pekarangan untuk pertanian. 14 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut

Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 148 15 Chairuman Pasaribu & Suhrawardi K. Lubis, Op.cit, hlm.115

Pada seluruh lingkungan hukum adat di Indonesia, diakui bahwa

proses pewarisan harta seorang pewaris dapat mulai dilaksanakan sejak

pewaris masih hidup. Praktik semacam ini terdapat pula di Jawa Barat. Di

daerah Kabupaten Bandung, meskipun secara umum pembagian harta

warisan dilakukan setelah pewaris meningal, tidak jarang terjadi

pembagian tersebut dilaksanakan jauh sebelum pewaris meninggal.

Penyerahan harta warisan kepada ahli waris atau seseorang.

G. Metode Penelitian

Ilmu tersusun atas fakta dan teori, dengan sarana fakta dan teori, ilmu

membuka peluang untuk memahami makna suatu gejala yang teramati dan

pada giliranya kepahaman dapat memberikan peluang untuk menyelesaikan

suatu persoalan. Ilmu menjadi rujukan penelitian membentuk wawasan

intelektual yang menjadi salah satu unsur metode penelitian.

Ilmu pengetahuan tidak bertanya apakah penelitian menghasilkan

sesuatu yang indah, bagus, layak, atau baik dalam arti etis. Tujuannya adalah

untuk mencari, menunjukkan, atau membuktikan adanya hubungan antara fakta

dan teori.16

Metode ialah suatu kerangka kerja untuk melakukan suatu tindakan atas

suatu kerangka berfikir menyusun gagasan, yang beraturan, berarah dan

berkonteks, yang patut (relevant) dengan maksud dan tujuan. Secara ringkas

metode ialah suatu sistem berbuat.17

Penelitian sebagai sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi untuk mengungkapkan kebenaran secara sistimatis,

metodologis dan konsisten, karena melalui proses penelitian tersebut diadakan

16 S. Nasution, Metode Research (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009), hlm. 5 17 Komarudin, Metode Penulisan Skripsi dan Thesis (Bandung : Citra Grafika, 1974), hlm. 27-29

analisis dan konstruktif terhadap data yang telah dikumpulkan dan diperoleh.18

1. Metode Pendekatan

Berdasarkan perumusan masalah dan “tujuan penelitian, maka metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, maksudnya data yang diperoleh dengan berpedoman pada segi-segi yuridis, juga berpedoman pada segi-segi empiris yang dipergunakan sebagai alat bantu. Empiris merupakan lawan rasionalisme. Menurut aliaran ini pengetahuan harus diperoleh dari pengalaman-pengalaman yang ada dilapangan dan aliran ini juga berpendapat bahwa ketidakaturan dalam ilmu pengetahuan disebabkan karena manusia terlalu mendasarkan pada ketentuan berfikir dan mengabaikan alam pengalaman yang sebenarnya dapat memberikan pengetahuan yang besar.19

Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, Penelitian Hukum dapat dibedakan

menjadi :

1. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu

penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder.

2. Penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu

penelitian hukum yang mempergunakan data primer.

Menurut Soerjono Soekanto, Yuridis empiris adalah suatu pendekatan

yang dilakukan untuk menganalisa tentang sejauh manakah suatu

peraturan/perundang-undangan atau hukum yang sedang berlaku secara

efektif. 20

Pendekatan yuridis empiris tersebut digunakan untuk menganalisis secara

kualitatif tentang kepastian hukum.

2. Spesifikasi Penelitian

Pada umumnya suatu penelitian sosial, termasuk penelitian hukum

18 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:

Rajawah Press, 1985), hlm. 1 19 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri ( Jakarta:Ghalia Indonesia,

1990), hlm. 39 20 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga (Jakarta : UI-Pres, 1986), hlm.

51

ditinjau dari segi sifat, suatu penelitian dapat di bagi tiga yaitu:21

a. Penelitian Eksploratoris.

Penelitian Eksploratoris adalah penelitian penjelajahan, mencari

keterangan penjelasan data mengenai hal-hal yang belum diketahui.

Penelitian ini dilakukan apabila pengetahuan tentang segala gejala yang

akan diselidiki masih kurang sama sekali atau bahkan tidak ada. Kadang-

kadang penelitian semacam itu disebut feasibility study yang bermaksud

untuk memperoleh data awal.

b. penelitian Deskriptif.

Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menuliskan

tentang segala sesuatu hal di daerah tertentu. Dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau

gejala-gejala lainnya, maksudnya agar dapat membantu didalam

memperkuat teori-teori lama. Biasanya dalam penelitian ini, peneliti sudah

mempunyai atau mendapatkan gambaran yang berupa data awal tentang

permasalahan yang diteliti.

c. Penelitian Eksplanatoris.

Penelitian Eksplanatoris adalah penelitian yang menerangkan,

memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu teori-teori atau

hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil penelitian yang ada.

Spesifikasi penelitian dalam penulisan tesis ini berupa penelitian

deskriptif analitis. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini penulis

bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis

dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan

21 Ibid. hlm. 9-10.

penyelesaian sengketa hibah tanah berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri

Demak Nomor : 14/Pdt.G/2008/PN.Dmk, kemudian akan dianalisa mengenai

penerapan atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan serta

ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa hibah tanah

berdasarkan putusan tersebut.

3. Objek dan Subjek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah pelaksanaan hibah dan masalah

penyelesaian sengketa tanah hibah berdasarkan putusan Pengadilan Negeri

Demak Nomor : 14/Pdt.G/2008/PN.Dmk. Untuk melengkapi analisis penelitian

maka dilakukan juga wawancara dengan narasumber, adapun subjek dalam

penelitian ini sebagai informan adalah :

a. Kepala Pengadilan Negeri Demak;

b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Demak;

c. Kepala Seksi SKP Kantor Pertanahan Kabupaten Demak;

d. Kepala Desa;

e. Para pihak yang bersengketa.

4. Sumber dan Jenis Data

Secara umum Jenis data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum

terarah pada penelitian data primer dan data sekunder. Penelitian ini

menggunakan jenis sumber data sekunder yang didukung dengan data primer,

yaitu data yang mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan data

sekunder yang diperoleh dari penelitian dilapangan.

5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya

dengan sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh

data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisa sesuai dengan yang

diharapkan.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan

jenis data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian

lapangan di beberapa desa di Kecamatan Mranggen sedang data sekunder

adalah data yang diperoleh melalui kepustakaan dengan menelaah buku-buku

literatur, undang-undang, brosur-brosur, atau tulisan yang ada kaitannya

dengan masalah yang diteliti. Data yang digunakan data sekunder yang

memiliki kekuatan mengikat kedalam dan dibedakan dalam :

a. Bahan-bahan hukum primer, meliputi :

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan-

bahan hukum mengikat yang digunakan adalah :

1) Peraturan perundang-undangan, yaitu :

a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

Agraria

b) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2) Peraturan Pemerintah, meliputi :

a) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

b) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan

Pertanahan Nasional;

3) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 2006 tentang organisasi dan Tata Kerja Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan.

4) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Nomor 37 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan

Penyelesaian Permasalahan Pertanahan;

b. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang ada

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisa dan memahami bahan hukum primer, meliputi :

1) Buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini.

2) Makalah dan Artikel yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan

masalah hibah maupun peralihannya.

Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan primer yaitu

bahan-bahan hukum yang mengikat bahan sekunder yaitu bahan hukum

sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer dan bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.22

6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan hasil

penelitian digunakan metode analisis normatif kualitatif. Normatif berarti

penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma

hukum positif. Sedangkan kualitatif dimaksudkan analisa data yang bertitik

tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi yang didapat dari

responden dan data-data tersebut merupakan uraian-uraian data yang

dihimpun dalam kalimat terstruktur dan kemudian dihubungkan secara

22 Ibid. hlm. 92

sistematika untuk menarik kesimpulan guna menjawab permasalahan dalam

tesis.23

23 Ibid. hlm. 32