BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia Melayu seperti yang dipahami saat ini terdiri dari semenanjung Malaysia, pantai timur Sumatera, barat dan barat daya pantai Kalimantan dan Riau kepulauan (Lian, 2001: 862). Dikatakan pula oleh Milner bahwa dunia Melayu meliputi setidaknya Thailand Selatan, semenanjung Malaysia, Singapura, Sumatera, Brunei, bagian dari Sarawak Malaysia, dan sebagian Kalimantan Indonesia (Milner, 2008: 5). Daerah-daerah tersebut, telah sejak abad ke-13 M mendapat pengaruh unsur-unsur tasawuf (Abdul Hadi, 2004: 117). Tasawuf merupakan salah satu saluran Islamisasi yang penting di Nusantara. Tasawuf termasuk kategori yang berfungsi membentuk kehidupan sosial suatu bangsa. Kemungkinan besar yang pertama kali mengenal paham tasawuf adalah daerah Sumatra Utara yaitu tempat datangnya agama Islam yang pertama (Istanti, 1997: 57). Pendapat lain mengenai kedatangan tasawuf juga dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo yakni bahwa Kedatangan ahli-ahli tasawuf ke Melayu diperkirakan sejak abad ke-13 M yaitu pada masa perkembangan dan penyebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India (Kartodirdjo, 1975: 138). Istilah tasawuf sendiri berasal dari bahasa Arab tas}awwuf yang artinya memanfaatkan faedah s{awf. S{awf artinya bulu domba atau wol. Kata tas}awwuf sebagai sebutan suatu paham berkaitan dengan sejarah paham tasawuf yang terjadi

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia Melayu seperti yang dipahami saat ini terdiri dari semenanjung

Malaysia, pantai timur Sumatera, barat dan barat daya pantai Kalimantan dan Riau

kepulauan (Lian, 2001: 862). Dikatakan pula oleh Milner bahwa dunia Melayu

meliputi setidaknya Thailand Selatan, semenanjung Malaysia, Singapura, Sumatera,

Brunei, bagian dari Sarawak Malaysia, dan sebagian Kalimantan Indonesia (Milner,

2008: 5). Daerah-daerah tersebut, telah sejak abad ke-13 M mendapat pengaruh

unsur-unsur tasawuf (Abdul Hadi, 2004: 117). Tasawuf merupakan salah satu saluran

Islamisasi yang penting di Nusantara. Tasawuf termasuk kategori yang berfungsi

membentuk kehidupan sosial suatu bangsa. Kemungkinan besar yang pertama kali

mengenal paham tasawuf adalah daerah Sumatra Utara yaitu tempat datangnya agama

Islam yang pertama (Istanti, 1997: 57). Pendapat lain mengenai kedatangan tasawuf

juga dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo yakni bahwa Kedatangan ahli-ahli

tasawuf ke Melayu diperkirakan sejak abad ke-13 M yaitu pada masa perkembangan

dan penyebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India (Kartodirdjo, 1975: 138).

Istilah tasawuf sendiri berasal dari bahasa Arab tas}awwuf yang artinya

memanfaatkan faedah s{awf. S{awf artinya bulu domba atau wol. Kata tas}awwuf

sebagai sebutan suatu paham berkaitan dengan sejarah paham tasawuf yang terjadi

2

pada abad ke-8 M di daerah Irak dan Iran (Persia). Para penganut yang ingin

bersungguh-ungguh mengamalkan paham tasawuf ini, dalam hidupnya sangat

berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka adalah orang

Islam baru dari bangsa dan suku setempat yang sebelumnya memeluk agama non-

Islam atau menganut bermacam-macam paham. Hidupnya sangat sederhana dan

berusaha menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Banyak dari

mereka itu yang selalu mengenakan pakaian dari kulit domba yang masih berbulu,

sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut paham tersebut. Itulah

sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham “sufi”, “sufisme” atau paham

“tasawwuf”, dan orangnya disebut orang “sufi” (Jaiz, 1980: 14).

Bukti-bukti awal pemikiran tasawuf tampak pada tulisan-tulisan yang tertera

pada batu nisan makam raja-raja Pasai dan Malaka, serta pada kuburan muslim lain

pada abad ke 13-15 M. (Abdul Hadi, 2004: 117). Namun demikian, karangan-

karangan yang benar-benar bersifat keilmuan baru mulai tampak pada abad ke-16 M,

dan mencapai puncak perkembangannya pada abad ke-17 M. Masa-masa akhir abad

ke-16 dan abad ke-17 juga merupakan masa dimana pandangan hidup aliran sufi

sangat kuat mempengaruhi kebudayaan Melayu (Braginsky, 1993: 2). Pada abad-abad

itu di Aceh hiduplah beberapa ahli tasawuf seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-

Sumatrani, ar-Raniri, dan Abdurrauf dari Singkel (Kartodirdjo, 1975: 138). Peristiwa

abad ke-16/17 tersebut juga turut mewarnai kesusastraan sufi Melayu yang amat kaya

dengan berbagai karya, yang meliputi kitab-kitab doktrin dalam prosa dan puisi,

3

karangan-karangan agiografi (kisah riwayat hidup tokoh suci), dan juga alegori-

alegori yang mengisahkan tentang perjalanan sufi untuk mencapai makrifat

(Braginsky, 1993: 77). Adapun karya-karya tersebut diantaranya adalah risalah-

risalah tasawuf Hamzah Fansuri di Sumatra, Busta<n as-Salat{i>n karya Nuruddin

ar-Raniri, Ta>j as-Sa>lat}in karya Bukhari al-Jauhari (Abdul Hadi, 2004: 101-133),

Syair Bah{r an-Nisa>’, Sajak Perkataan Alif, Hikayat si Burung Pingai, Hikayat

Indra Putra, dan Hikayat Syah Mardan (Braginsky, 1998: 1-233).

Banyaknya karya berwarna sufi yang bermunculan tersebut tidak lepas dari

pengaruh kekuasaan pada masa itu. Di Sumatra, masa-masa abad ke-16/17 adalah

masa bangkitnya kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M) dengan raja yang

terkenal adalah Sultan Iskandar Muda yang memerintah dari tahun 1607-1636 M

(Said, 1961: 142-182). Dalam masa Iskandar Muda, seluruh pantai barat Sumatra

hingga Bengkulen telah berada dalam kekuasaan Aceh. Pada masa itu, Susunan

tatanegara dibagi menjadi empat: 1. Adat diserahkan dalam kebijaksanaan sultan dan

penasehatnya, 2. Hukum, diserahkan kepada Syaikh Nu>ruddi>n ar-Rani<ri dan

Syaikh „Abdur-Rauf al-Fanzu>ri sebagai Syaikhul-Islam atau Qa>d}i Malikul-„A>dil

serta ulama-ulama, 3. Urusan kanun dalam kebijaksanaan maharani, 4. Urusan resam

diserahkan kepada panglima di masing-masing tempat (Zainuddin, 1957: 89).

Salah satu karya satra Melayu abad ke-16/17 yang terkenal di atas yakni

Hikayat Seh} Mardan, akan menjadi pokok pembahasan dalam tesis ini. Hikayat Seh}

Mardan (selanjutnya disingkat HSM) adalah sebuah cerita yang populer. Sekurang-

4

kurangnya ada 23 naskah HSM yang dapat dijumpai. Naskah tersebut tersebar di

berbagai perpustakaan di seluruh dunia, diantaranya yaitu di Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia yang ada di Jakarta sebanyak tujuh naskah, di Inggris sebanyak

sembilan naskah dan di Leiden sebanyak tujuh naskah.

HSM memiliki fungsi ganda yakni menghibur dan memberi pengajaran.

Fungsi ganda HSM tersebut, tercantum dalam kata pengantar salah satu versi naskah

HSM yakni MS Leiden. Klinkert No 28, suntingan Braginsky, sebagai berikut:

“Maka barang siapa mendengarkan dia atau membaca dia mengambil

faedah di dalamnya surat nasihat. Adalah perkataan ini empat perkara dari

pada hadis dan dalil, dan adalah empat perkara di dalamnya. Jikalau diambil

pada jalan ilmu Allah Taala, kamal namanya; jikalau diambil kepada istiadat

raja-raja sempurna kerajaan namanya; jikalau diambil kepada hukum

penghulu kita nabi Muhammad, s{allal-la>hu ‘alayhi wa sallam, syariat

namanya, jikalau diambil kepada permainan orang muda-muda itu sempurna

laki-laki namanya. Maka genaplah empat perkara di dalamnya itu”

(Braginsky, 1993: 147-148).

Warna sufi sebagimana yang nampak dalam HSM tersebut sedang marak

terjadi pada karya-karya sastra yang ada di Melayu pada masa sekitar abad ke-16/17.

Warna sufi di Melayu yang menjadi bentuk gejala sosial Melayu tersebut ternyata

tidak lepas dari gejala sosial dunia. Para ahli mengatakan bahwa masuknya sufi di

Melayu tidak lepas dari interaksi Melayu dengan negara-negara Islam di luar Melayu

seperti Persia dan India. Namun demikian pendapat paling banyak mengatakan bahwa

sufi di Melayu mendapat pengaruh dari India. Adapun penyokong teori India, antara

lain adalah Pijnnapel, Hurgronje, Moquette, Kern, Winstedt, Fatimi, Vlekke, Mukti

5

Ali, dan Schrieke (Karim, 2007: 326). Pada masa abad ke-16/17, India dan Persia

sebagai negara yang banyak mempengaruhi warna sufi Melayu, juga sedang

mengalami masa keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan tasawuf.

Pemahaman terhadap gejala sosial di India dan Persia perlu dipahami dalam

mengkaji HSM. Hal itu karena sebagai cerita hikayat Melayu yang bercorak sufi

alegori, HSM memiliki hubungan dengan sastra sufi yang ada di India dan Persia.

Agaknya pengaruh sufisme terhadap satra Melayu kira-kira sama, sepeti yang terlihat

di dalam satra-sastra Timur Tengah atau sastera muslim India, dengan contoh-contoh

alegori yang menggambarkan perjalanan-perjalanan kerohanian yang tak terbilang

banyaknya. Alegori-alegori sufi sama sekali tidak asing dalam karya-karya sastera

Melayu gubahan abad ke-16 dan ke-17 (Braginsky, 1993: 148).

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah-masalah dalam penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Seharusnya dengan adanya naskah-naskah yang telah disunting, maka tidak

perlu ada penyuntingan ulang. Akan tetapi, pada kenyataannya suntingan-

suntingan yang ada tersebut berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

Dari situ maka muncullah pertanyaan, mengapa dalam penelitian ini,

penerbitan edisi teks perlu dilakukan?

6

2. Hal-hal familiar yang ada dalam teks HSM digunakan sebagai pijakan dalam

menghubungkan antara teks dan realita. Pembaca, melalui proses pembacaan

mewujudkan hubungan antara teks dengan realita. Hubungan antara teks

dengan realita akan menghasilkan efek. Dengan demikian, maka pertanyaan

yang muncul adalah bagaimana perwujudan karya terdahulu, norma sosial,

budaya dan historis dalam HSM sebagai repertoire?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, meliputi tujuan umum dan

tujuan khusus. Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

menyajikan dan menafsirkan teks HSM. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk menerbitkan edisi teks kritis yang dapat dinikmati oleh pembaca masa

kini.

2. Untuk mengungkap perwujudan repertoire dan menemukan skema hubungan

antara teks, pembaca dan realita.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini, meliputi manfaat praktis dan

manfaat teoretis.

7

1. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk menyajikan teks agar dapat dibaca

dan dipahami oleh masyarakat luas dan memperluas ruang pemahaman dan

penghayatan terhadap karya-karya sastra Melayu.

2. Manfaat Teoretis

Melalui analisis yang dipandu oleh metode landasan dan konsep repertoire

Iser, akan dapat dibuktikan bahwa penelitian ini mampu mengungkap HSM sebagai

satu hasil kegiatan bersastra dalam sistem sastra Melayu. Lain daripada itu, penelitian

ini juga mampu mengungkap permasalahan-permasalahan sosial, budaya dan

kepercayaan yang mempengaruhi karya sastra pada masa itu.

E. Tinjauan Pustaka

Pembahasan mengenai HSM pernah dilakukan oleh Braginsky (1990) dengan

judul Hikayat Syah Mardan as a Sufi Allegory yang dipublikasikan oleh jurnal

Archipel 40 (Braginsky, 1990: 107-130). Braginsky (1993) dengan judul Hikayat

Syah Mardan Sebagai Alegori Sufi (Braginsky, 1993: 147-179). Braginsky (1994)

dengan judul Orang yang Diselitkan di Pucuk Kayu atau Keindahan Teka-teki yang

Halus (Hikayat Syah Mardan) (Braginsky, 1994: 251-269). Braginsky (1998) Alegori

Sufi Beralur Cerita yang Berupa ‘Hikayat Petualangan Ajaib’ (Hikayat Syah

8

Mardan) (Braginsky, 1998: 525-534). Dalam empat pembahasan tersebut, pada

intinya. Braginsky menyatakan bahwa HSM menggambarkan tentang jalan sufi, yakni

berupa sejumlah citra-citra simbolik khusus yang dikemukakan bagi si penuntut.

Citra ini memainkan peranan yang berpokok pada meditasi, dari permukaan yang

“deskriptif” ke kedalaman yang “doktrinal”, yang dipandang sebagai salah satu dari

banyak metode penting untuk mencapai gnosis (makrifat). Akantetapi suatu metode

yang dimaksud untuk digabungkan dengan yang lainnya, seperti misalnya laku

asketis, bimbingan secara lisan dari guru, dan menganut gaya hidup yang sesuai bagi

penuntut. Karena metode ini telah meresapi dan mengubah seluruh hakikatnya, maka

gnosis pembimbangan sufi untuk menyadari tentang penyatuan mendalam antara

“diri”nya dengan Keberadaan Tertinggi. Suatu hal yang tidak bisa dirumuskan

dengan kata-kata, tetapi dapat diisyaratkan oleh lambang-lambang.

Penelitian mengenai HSM pernah dilakukan juga oleh Kun Zahrun Istanti

(1984-1985) dalam bentuk laporan penelitian yang berjudul Cerita Seh Bagenda

Mardam Suatu Studi Pendahuluan. Dalam laporan penelitian tersebut, Istanti

mengemukakan bahwa Cerita Seh Mardam tersebar luas ke beberapa daerah di

Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Cerita Seh Mardam berpokok pangkal

pada cerita Hindu kemudian diberi warna Islam. Warna Islam yang terdapat dalam

Cerita Seh Mardam adalah suatu ajaran tasawuf (mistik Islam) yang berisi syariat,

tarekat, hakikat, dan makrifat. Cerita Seh Bagendha Mardam dalam sastra Jawa

merupakan hasil saduran dari Hikayat Syahi Mardan versi Melayu yang dibumbui

9

dengan corak kebudayaan Jawa. Cerita Seh Bagendha Mardam dapat digolongkan ke

dalam golongan sastra keagamaan Islam kejawen yang bernama suluk. Faham

manunggaling kawula gusti yang disampaikan dalam Cerita Seh Mardam masih

mempertahankan adanya perbedaan antara kawula dengan Tuhan.

Kun Zahrun Istanti juga pernah membahas HSM dalam bentuk jurnal dengan

judul Dari Hikayat Sahi Mardan ke Seh Bagenda Mardan, Sebuah Transformasi:

Sebuah Penyimpangan atau Kewajaran? (Istanti, 1998: 10-14). Dalam artikel

tersebut, Istanti mengemukakan bahwa „penyimpangan‟, perubahan, tambahan atau

pengurangan yang terjadi pada HSM yang berbahasa Melayu berbentuk prosa yang

disadur ke dalam BSM yang berbahasa Jawa berbentuk tembang adalah suatu bentuk

kewajaran yang merupakan hasil resepsi masyarakat pada zamannya dan tidak

menghilangkan fungsi karya sastra yaitu yang berfungsi estetik dan bermanfaat

(Istanti, 1998: 10-14).

Selain pembahasan, penyuntingan terhadap beberapa naskah HSM dengan

kode-kode yang berbeda juga pernah dilakukan sebelumnya. Suntingan tersebut yaitu

(1) MS Leiden. Klinkert No 28, episode Syah Mardan dan Tuan Puteri Julus al-

Asyikin Berteka-teki disunting oleh Braginsky (Braginsky, 1993: 316-327). (2)

Naskah Or. 851 yang merupakan edisi suntingan dari koleksi perpustakaan

Cambridge University pernah dipublikasikan oleh Zabedah Abdullah (2002)

(Wieringa, 1986: 23-24). (3) Mikrofilm koleksi Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia Cod. 1733 disunting oleh Rakhmat Saleh (1994) yang dipublikasikan

10

dalam bentuk skripsi dengan judul Hikayat Syah Mardan: Suntingan Teks dan

Analisis Amanat (Istanti, 1998: 11-14).

Analisis HSM pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan teori

repertoire respon estetik Wolfgang Iser. Penelitian dengan menggunakan pendekatan

teori repertoire respon estetik Wolfgang Iser pernah dilakukan oleh beberapa peneliti

terdahulu. Diantara para peneliti terdahulu tersebut, terdapat beberapa peneliti dari

Universitas Gadjah Mada, diantaranya; Heru Marwata (2001), Inung Setyami (2012),

Endah Budiarti (2012), Anita Damayanti (2012) dan Rany Syafrina (2014).

Heru Marwata (2001) dengan tesis berjudul Repertoire dalam Sri Sumarah

Analisis Respon Estetik Menurut Wolfgang Iser. Tesis ini mengungkapkan repertoire

dalam Sri Sumarah dengan peristiwa G 30 S PKI sebagai latar historis dan nilai-nilai

dalam adat prilaku orang Jawa sebagai norma budayanya. Tesis tersebut juga

mengungkap bagaimana cara Umar Kayam mengolah gejolak sosial yang terjadi pada

peristiwa G 30 S PKI.

Inung Setyami (2012) dengan tesis berjudul Repertoire dalam Ronggeng

Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Kajian Estetik Wolfgang Iser. Tesis ini

mengungkapkan repertoire dalam Ronggeng Dukuh Paruk yakni yang berupa

masyarakat abangan dan wong cilik sebagai norma budaya dan peristiwa G 30 S PKI

sebagai norma historis.

11

Endah Budiarti (2012) dengan tesis berjudul Ravana dalam Rahuvana Tattwa

Karya Agus Sunyoto Analisis Respon Estetik Wolfgang Iser. Tesis ini

mengungkapkan repertoire dan strategi dalam novel Rahuvana Tattwa yakni yang

berupa cerita Ramayana sebagai karya terdahulu yang melatarbelakangi dan peristiwa

reformasi di Indonesia tahun 1998 sebagai norma historis.

Anita Damayanti (2012) dengan tesis berjudul Arung-Karaeng dalam

Teropong dan Meriam Karya Fahmi Syarif Kajian Resepsi Sastra Wolfgang Iser.

Tesis ini mengungkapkan repertoire dan strategi dalam novel Teropong dan Meriam

yakni yang berupa karakter raja-raja Bugis dan peristiwa Bugis-Makassar abad ke-17

sebagai norma historisnya.

Rany Syafrina (2014) dengan tesis berjudul Repertoire dalam Karya P.D.

James Death Comes to Pemberley Kajian Respon Estetika Wolfgang Iser. Tesis ini

mengungkapkan repertoire dalam P.D. James Death Comes to Pemberley yakni yang

berupa norma-norma kebangsawanan Inggris abad XVIII yang meliputi budaya dansa

dan peristiwa peperangan antara Inggris, Irlandia dan Prancis yang terjadi pada abad

XVIII sebagai norma historisnya.

F. Hipotesis

Penerbitan edisi teks perlu dilakukan karena teks yang digunakan sebagai

dasar penelitian adalah teks masa lampau yang ditulis dengan tulisan jawi (aksara

12

arab berbahasa Melayu) yang baik naskah maupun suntingannya muncul dalam

banyak versi. Hal tersebut mengakibatkan HSM sulit dijangkau oleh pembaca masa

kini sekaligus membingungkan. Oleh sebab itu, maka dalam penelitian ini HSM

disajikan dalam bentuk suntingan (edisi teks) yang diberi penjelasan yang memadai

agar dapat dinikmati oleh pembaca masa kini.

HSM yang merupakan cerita gubahan dibuat dengan pola-pola cerita rakyat

setempat yang kemudian dimasuki ajaran tasawuf. Proses pemasukan ajaran tasawuf

tidak lepas dari kondisi Melayu pada masa itu, yaitu masa abad ke-16/17. Pada masa

itu, Melayu sedang “diislamkan”. Kerajaan yang berkuasa di daerah tersebut,

sebagaimana tampak pada latar belakang adalah kerajaan Islam dengan corak tasawuf

yang menonjol.

G. Teori

Penelitian yang dilakukan disini berpusat pada teks HSM dan telaah repertoire

Wolfgang Iser. Perlu dipahami disini bahwa teks HSM yang digunakan adalah teks

sastra masa lampau. Huruf yang digunakan dan bahasa yang digunakan pada teks

HSM sudah tidak lazim digunakan pada masa kini. Lain daripada itu, teks HSM

muncul dalam banyak versi yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Dengan

demikian, penerbitan edisi teks perlu dilakukan guna untuk menyelesaikan masalah

perteksan tersebut. Penerbitan edisi teks yang dilakukan di sini, mengikut pada

penerbitan edisi teks yang dilakukan oleh Robson, yaitu mempelajari naskah-naskah

13

berdasarkan pengelompokan bobot, bukan jumlah untuk menunjukkan „comparative

reliability‟ naskah-naskah (Robson 1971: 55; Molen, 2011: 71).

Menurut Robson, metode stemma hanya dapat diterapkan jika penyalin

menyalin secara setia, termasuk menyalin kesalahan-kesalahan dari satu naskah ke

turunannya (Robson, 1994: 19). Metode stemma juga tidak dapat diterapkan pada

teks yang muncul sebagai hasil sampingan dari aktivitas pujangga: ada teks dalam

pikiran pencerita yang diwujudkan dari penceritaan secara lisan dari waktu ke waktu,

setiap kali dalam bentuk yang berbeda, masing-masing mungkin secara teoretis dapat

menjadi induk dari tradisi tertulis (Robson, 1994: 21). Secara teknis, metode yang

dilakukan dibahas pada bagian metode penelitian.

Setelah masalah perteksan teratasi, barulah teks HSM yang merupakan karya

sastra masa lampau dapat ditafsirkan menggunakan teori sastra. Dengan demikian,

usaha peneliti disini ialah menyajikan teks, membaca dan menafsirkannya dengan

cermat sesuai dengan kemampuannya, sehingga teks itu masih dapat dipahami dan

dinikmati oleh pembaca masa kini.

Penafsiran terhadap HSM akan dilakukan dengan menggunakan teori aesthetic

response Iser, yang akan difokuskan pada gagasan Iser mengenai repertoire.

Repertoire ini terdiri dari semua hal familiar dalam teks. Ia bisa dalam bentuk

referensi untuk karya-karya sebelumnya, atau norma-norma sosial dan historis, atau

seluruh budaya dari mana teks telah muncul. Strukturalis Praha menyebutnya sebagai

14

realita "extratextual" (Iser, 1987: 69). Fakta bahwa realitas tersebut dijadikan

referensi, memiliki dua implikasi, yaitu; pertama, realitas yang ditimbulkan tidak

terbatas pada halaman yang dicetak; kedua, unsur-unsur yang dipilih untuk referensi

tidak dimaksudkan untuk menjadi replika belaka, namun kehadiran mereka di dalam

teks biasanya berarti bahwa mereka mengalami semacam transformasi dan ini

merupakan suatu fitur integral dari keseluruhan proses komunikasi (Iser, 1987: 69).

Gagasan Iser mengenai repertoire ini dilatarbelakangi oleh pemikiran Austin

tentang ujaran performatif. Ujaran performatif adalah ujaran yang dapat

memproduksi suatu tindakan yang dapat diukur dengan standar keberhasilan atau

kegagalan berdasarkan konvensi yang diatur oleh prosedur yang diterima (Iser, 1987:

55-56). Untuk suksesnya ujaran performatif tersebut, ada tiga aspek yang perlu

diperhatikan: pertama, konvensi umum untuk penutur dan mitra tutur (repertoire);

kedua, prosedur yang diterima oleh keduanya (strategi); ketiga, kesediaan untuk

berpartisipasi dalam peristiwa tutur (realisasi pembaca) (Iser, 1987: 69).

Cara yang dipakai yakni konvensi, norma, dan tradisi mengambil tempat

mereka dalam repertoire sastra itu bervariasi, tetapi mereka berubah dalam beberapa

hal karena mereka telah dicabut dari konteks aslinya. Mereka mampu berada dalam

koneksi baru, tapi koneksi lama masih ada, setidaknya untuk beberapa bagian.

Konteks aslinya tetap implisit sebagai latar belakang untuk mengimbangi signifikansi

baru mereka. Repertoire ini menggabungkan elemen asli maupun transformasi dan

15

individualitas teks akan sangat tergantung pada sejauh mana identitas elemen itu

berubah (Iser, 1987: 69).

Adapun implied reader mewujudkan semua kecenderungan yang diperlukan

sebuah karya sastra untuk menampilkan efeknya tidak oleh realitas empirik di luar,

tetapi oleh teks itu sendiri. Teks sastra harus sudah mengandung kondisi tertentu

untuk aktualisasi. Dengan demikian, konsep pembaca tersirat menunjuk jaringan

struktur pengundang respon yang mendorong pembaca untuk memahami teks (Iser,

1987: 34). Fungsi penting pembaca tersirat adalah untuk meyediakan hubungan

antara aktualisasi historis dan individual dalam teks dan membuatnya dapat diakses

untuk dianalisis (Iser, 1987: 38).

Determinasi repertoire merupakan titik pertemuan antara teks dan pembaca,

tetapi titik pertemuan ini tidak dapat berupa hal familiar, karena komunikasi selalu

melibatkan penyampaian sesuatu yang baru. Kebaruan dan pengulangan mendekatkan

satu sama lain tanpa identitas harmoni tunggal. Tidak adanya identitas apapun adalah

indikasi bahwa hal familiar itu menarik karena membawa ke arah tidak familiar (Iser,

1987: 69). Pentingnya norma-norma lama tidak dapat didefinisikan oleh teks karena

definisi apapun harus diperhatikan dalam hal norma-norma yang ada. Repertoire

menyajikan norma-norma yang ada dalam keadaan validitas yang tertunda antara

masa lalu dan masa depan. Teks itu sendiri tersaji kepada pembaca sebagai peristiwa

terbuka karena pentingnya komponen familiar tidak bisa dilekatkan pada

familiaritasnya dan tujuan teks juga belum dirumuskan. Posisi tidak pasti seperti ini

16

membawa teks dalam nilai-nilai yang dinamis (Iser, 1987: 70). Dengan demikian,

nilai estetik merupakan prinsip kosong yang mengorganisasikan kualitas ekstra-

estetik. Ia memanifestasikan dirinya dalam perubahan dalam hal-hal yang familiar. Ia

adalah sesuatu yang tidak bisa langsung dipahami. Keberadaannya dikenal hanya

melalui efeknya (Iser, 1987: 70).

Komponen dasar repertoire lahir dari interaksi karya sastra dengan sistem

pemikiran historis. Sistem-sistem pemikiran secara otomatis direkodifikasi dalam

satu set tanda-tanda yang akan mengimbangi kekurangan dalam sistem-sistem

tersebut. Nilai estetika suatu karya justru terletak pada rekodifikasi norma-norma dan

konvensi yang dipilih. Repertoire mereproduksi sesuatu yang familiar, tetapi

mencabutnya dari validitas saat ini melalui keputusan eksplisit. Sastra

mempertanyakan tanda dari realitas eksternal. Pembaca harus menemukan motif yang

mendasari pertanyaan dan berpartisipasi dalam memproduksi makna (Iser, 1987: 74).

Jika karya sastra muncul dari latar belakang sosial pembaca sendiri, itu akan

berfungsi untuk melepaskan norma-norma yang berlaku dari konteks fungsionalnya.

Dengan demikian, ia memungkinkan pembaca untuk mengamati fungsi regulator

sosial dan efek mereka pada setiap orang. Pembaca ditempatkan dalam posisi yang

memungkinkan dia dapat mengambil sudut pandang baru dan dia menerimanya tanpa

pertanyaan. Pembaca tidak hanya mampu untuk merekonstruksi situasi historis, tetapi

juga mengalami kekurangan tertentu dan mengenali jawaban implisit dalam teks

(Iser, 1987: 74). Fungsi ganda dari rekodifikasi sastra terhadap norma-norma sosial

17

dan historis, memungkinkan pembaca kontemporer untuk melihat apa yang mereka

biasanya tidak dapat melihat dalam proses hidup biasa sehari-hari dan memungkinkan

generasi pembaca berikutnya untuk memahami sebuah realitas yang tidak pernah

mereka alami sendiri (Iser, 1987: 74). Hubungan yang berbeda antara sastra dan

sistem pemikiran membawa ke fokus situasi historis berbeda yang menjadi tempat

mereka muncul dan juga efektifitas historis dari reaksi fiksional terhadap realitas

(Iser, 1987: 74). Dengan demikian, Sastra tidak perlu selalu merujuk langsung ke

sistem pemikiran yang berlaku saat ini (Iser, 1987: 76).

Repertoire dari teks sastra tidak hanya terdiri atas norma-norma sosial dan

budaya. Ia juga mencakup unsur-unsur tradisi dan seluruh literatur masa lalu yang

dipadukan dengan norma-norma ini. Proporsi campuran ini membentuk dasar

perbedaan antara genre-genre sastra. Novel menitikberatkan pada faktor-faktor

empirik dan meningkatkan proporsi norma extratextual. Di sisi lain, puisi liris

didominasi oleh literatur sebelumnya (Iser, 1987: 79) . Kiasan sastra (literary

allusion) yang melekat dalam repertoire direduksi dalam beberapa cara sebagai

norma. Fungsinya adalah untuk membantu menghasilkan jawaban atas masalah-

masalah yang disebabkan oleh kekurangan pada sistem yang berlaku. Meskipun

terbuka terhadap familiaritas, ia juga mengutip jawaban sebelumnya atas suatu

masalah. Jawabannya menawarkan bentuk orientasi dengan arti baru yang mungkin

dapat ditemukan. Kiasan itu sekarang di-depragmatisasi dan diatur dalam konteks

baru (Iser, 1987: 79).

18

Unsur-unsur yang berbeda dari repertoire sastra menyediakan pedoman

penting untuk dialog antara teks dan pembaca dalam rangka jawaban. Semakin

kompleks masalah, pedoman harus semakin berbeda. Norma-norma sosial dan

budaya yang membentuk situasi historis perlu diorganisasikan sedemikian rupa

sehingga alasan untuk seleksinya dapat disampaikan kepada pembaca. Akan tetapi,

karena alasan tidak dapat disampaikan secara eksplisit, harus ada suatu generalisasi

dari repertoire, dan di sinilah letak fungsi khusus kiasan sastra (Iser, 1987: 80).

Repertoire kesusastraan dapat dikatakan memiliki dua lapis fungsi, yaitu;

pertama, membentuk ulang skema familiar untuk membentuk latar belakang dalam

rangka proses komunikasi; kedua, menyediakan kerangka kerja umum yang di

dalamnya pesan atau makna dari teks dapat diorganisasi (Iser, 1987: 81). Selain

memiliki dua lapis fungsi, repertoire juga memiliki dua sistem yang berbeda sebagai

elemen dasar, yakni; (1) sistem pemikiran sejarah, (2) reaksi sastra masa lalu terhadap

masalah historis. Norma-norma dan skema yang dipilih untuk repertoire jarang setara

satu sama lain. Teks akan berhenti menjadi informatif karena hanya akan mengulangi

jawaban yang ditawarkan oleh teks yang ada, meskipun masalah selalu berubah

secara historis (Iser, 1987: 81). Dua unsur repertoire tidak setara dalam tingkat

familiaritasnya. Akan tetapi bahwa mereka telah bergabung bersama menyiratkan

bahwa mereka berhubungan satu sama lain. Munculnya ketidak-setaraan ditandai

oleh fakta bahwa familiaritas unsur-unsur tersebut tidak lagi berfungsi untuk

membawa korespondensi. Menurut Marleau-Ponty, sebuah arti selalu hadir ketika

19

data dari dunia nyata dipergunakan dalam sebuah deformasi yang koheren (coherent

deformation adalah perubahan bentuk yang berkaitan) (Iser, 1987: 81).

Deformasi koheren menunjukkan adanya sistem ekuivalensi (system of

equivalences atau sistem kesetaraan) yang mendasari teks dan ia mirip dengan nilai

estetika. Ia tidak diformulasikan oleh teks dan tidak diberikan dalam keseluruhan

repertoirenya. Keberadaannya dibuktikan dengan efeknya yang terdiri atas dua

faktor; (1) mengkondisikan pemilihan repertoire, (2) mendeformasi sifat tertentu

yang dipilih untuk menformulasikan sistem ekuivalensi (Iser, 1987: 82). Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa nilai ekuivalensi sama dengan nilai estetik, nilai

estetik sama dengan efek. Nilai estetika merupakan kendali struktural yang

diperlukan untuk proses komunikasi. Dengan membatalkan korespondensi antara

unsur-unsur yang disatukan dalam repertoire, ia mencegah formula teks berhubungan

dengan repertoire yang sudah melekat pada semua pembaca yang mungkin membaca

teks itu. Nilai estetika memperkenalkan proses yang di dalamnya pembaca merakit

makna teks (Iser, 1987: 82). Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa nilai

estetik sama dengan proses komunikasi. Berikut akan dijelaskan dengan bagan terkait

dengan konsep repertoire Iser.

20

Bagan Repertoire Teori Respon Estetik Wolfgang Iser (1987)

Teks

tokoh dan plot: 96

foreground and

background : 93

(repertoire)

Pembaca

Implied

reader :

38

Efek

self regulating-system:

1. Petanda tanpa

penanda

2. Kondisi dasar

pemahaman

Determinasi repertoire

dalam proses dinamis: 67

Pengisian

“open event” (70)

Strategi

Tujuan:

Imaginary correction of

deficient realities (65)

21

Metode Penelitian

Metode berarti cara yang dipergunakan seorang peneliti di dalam usaha

memecahkan masalah yang diteliti (Siswantoro, 210: 55-56). Penelitian sastra

sebagaimana penelitian disiplin lain, berdasar pada metode yang sistematis. Hanya

saja, penelitian sastra bersifat deskriptif (Siswantoro, 210: 56). Oleh sebab itu, maka

metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif.

Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti

dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian pada

saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya

(Siswantoro, 210: 56).

1. Metode Pengumpulan Data

Metode dan teknik pengumpulan data ini pada dasarnya adalah seperangkat

cara atau teknik yang merupakan perpanjangan dari indera manusia karena tujuannya

adalah mengumpulkan fakta-fakta empirik yang terkait dengan masalah penelitian

(Faruk, 2012: 25). Data yang digunakan disini meliputi data pokok dan data

pendukung. Data pokok, yaitu teks HSM yang juga merupakan onjek material,

sedangkan data pendukung berupa referensi kepustakaan dan teori yang dikemukakan

oleh Iser serta metode penelitian filologi yang dikemukakan oleh Robson.

Data pendukung yang berupa metode penelitian filologi digunakan untuk

mengatasi masalah perteksan yang rumit karena teks HSM muncul dalam banyak

naskah, dalam penelitian ini digunakan metode naskah dasar. Metode naskah dasar

22

yaitu metode penyuntingan yang dilakukan dengan cara memilih salah satu dari

sekian banyak naskah. Naskah dipilih untuk alasan tertentu sebagai naskah terbaik

untuk menjadi dasar dari teks itu, sedangkan varian-varian dari naskah lainnya dicatat

dalam aparatus kritis, tetapi hanya diterima dan disisipkan ke dalam teks apabila ini

tidak terhindarkan disebabkan kesalahan yang jelas atau ada yang hilang dalam

naskah dasar (Robson, 1994: 26-27).

Adapun data pendukung yang berupa metode penafsiran yang digunakan

disini adalah sebagaimana yang disarankan Iser dalam gagasannya mengenai

repertoire. Pertama-tama penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

“simak”, yaitu untuk menemukan foreground dan background. Setelah foreground

dan background diketahui, keduanya lantas dihubungkan dengan metode dialektik.

Dialog antara foreground dengan background inilah yang kemudian memunculkan

repertoire. Metode dialektik tersebut juga digunakan untuk merumuskan “realisasi”

dari hubungan tersebut.

2. Metode Analisis Data

Metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian yang

merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan untuk

mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antar data yang tidak akan

23

pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan (Faruk, 2012: 25). Berikut

adalah hubungan antar data dalam analisis teks HSM.

Dari 23 naskah HSM, dipilih satu naskah terbaik untuk menjadi dasar

suntingan dan satu naskah lagi sebagai pembanding. Naskah pembanding digunakan

untuk bahan rujukan apabila ada kesalahan yang jelas atau ada yang hilang dalam

naskah dasar. Setelah merujuk pada naskah pembanding maka pembetulan-

pembetulan akan dicatat dalam aparatus kritis.

Setelah masalah pernaskahan selesai maka teks HSM akan ditafsirkan dengan

menggunakan pemikiran Iser mengenai repertoire. Menurut Iser, teks merupakan

pandangan perspektif penulis tentang dunia (Iser, 1987: 96). Perspektif penulis ini

diwujudkan dalam bentuk tokoh dan plot (Iser, 1987: 96). Tokoh dan plot yang

merupakan hal yang familiar dalam teks ini dikondisikan oleh horizon sikap-sikap

lampau terhadap tokoh pahlawan atau norma-norma sosial dan historis atau seluruh

budaya darimana teks itu muncul (Iser, 1987: 69). Namun demikian, teks sastra ini

tidak menyalin dan juga tidak menyimpang dari realitas. Ia merupakan reaksi

terhadap pemikiran dan menggabungkannya dalam repertoire-nya sendiri (Iser, 1987:

72). Melalui tanda-tanda yang ada dalam teks yakni yang berupa tokoh, plot dan lain-

lain tersebut, pembaca dapat melakukan seleksi yang memugkinkan untuk

membangun latar belakang. Setelah itu, elemen-elemen yang telah dipilih tersebut

digabungkan (dikombinasikan) (Iser, 1987: 96). Elemen-elemen terpilih yang

menjadi latar belakang tersebut adalah hal yang familiar. Setelah digabungkan,

elemen-elemen terpilih yang merupakan hal-hal yang familiar tersebut akan

24

menghasilkan elemen yang tidak familiar. Proses tersebut oleh Iser dikatakan dengan

defamiliarisasi hal-hal yang familiar. Defamiliarisasi hal-hal yang familiar ini

merupakan bagian dari strategi. Agar lebih jelas, metode analisis menurut Iser

tersebut dipetakan sebagai berikut.

Bagan Analisis HSM dengan Menggunakan Teori Repertoire Wolfgang Iser

Teks

HSM

Pembaca

Implied

reader

Efek self regulating-system

Pengisian

“open event”

Strategi

Tujuan:

Imaginary correction of

deficient realities

25

H. Sistematika Penyajian

Pemahaman terhadap HSM terlebih dahulu ditempuh dengan mengenali

keberadaannya sebagai karya sastra masa lampau dan dengan terlebih dahulu

mengenali latar belakang kemasyarakatan dan budayanya (Bab I). Karya terdahulu

yang melatarbelakangi penulisan naskah juga menjadi hal yang penting untuk

ditelusuri. Selanjutnya supaya dapat memahami teks HSM, teks dianalisis dengan

menggunakan teori repertoire Wolfgang Iser.

Sebagai dasar untuk memahami teks HSM disajikan penelusuran mengenai

keberadaan teks HSM dalam bahasa Melayu dari beberapa katalog (Bab II). Dalam

bab ini dikemukakan dua puluh tiga naskah Melayu. Dalam bab ini juga disajikan

deskripsi dari semua naskah HSM, suntingan terdahulu, suntingan teks HSM kode Ml

51, dan aparatus kritis.

Uraian selanjutnya (Bab III) dipusatkan pada analisis teks individual yang telah

ditetapkan pada bab sebelumnya. Teks HSM dianalisis untuk mengungkapkan

repertoire yang melatarbelakangi penulisan teks. Setelah repertoire ditemukan, maka

lagkah selanjutnya adalah mendefamiliarisasi hal-hal familiar tersebut untuk

kemudian ditemukan efeknya.

Bagian penutup (Bab IV) berisi kesimpulan dan saran. Bagian kesimpulan

menyajikan kembali pokok-pokok hasil penelitian secara menyeluruh. Adapun bagian

saran berisi saran penulis yang ditujukan kepada pembaca dan peneliti berikutnya.