BAB I PENDAHULUAN , 1998; Kelfoun et al., 2000; Younga et...

19
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan dua rangkaian pegunungan muda, yaitu rangkaian Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterania. Hal tersebut menyebabkan di Indonesia terdapat banyak gunungapi aktif (Kusumadinata, 1979; Katili dan Siswowidjojo, 1994; Voight et al., 1998; Kelfoun et al., 2000; Younga et al., 2000; Prihadi, 2005). Katili dan Siswowidjojo (1994) menyatakan gunungapi (vulkan) adalah bentuk di muka bumi, berupa kerucut raksasa, kubah, atau bukit akibat penerobosan magma ke permukaan bumi. Gunungapi terjadi karena proses tumbukan menunjam yang aktif (Sudrajat, 1995). Salah satu gunungapi di Indonesia yang aktif adalah Gunungapi Merapi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gunungapi memiliki dua potensi bahaya, yaitu bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang ditimbulkan langsung oleh letusan disertai hamburan piroklastik, aliran lava, dan luncuran awan panas. Bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh aliran rombakan material lepas gunungapi bercampur air hujan yang disebut lahar. Lahar diartikan sebagai aliran campuran bahan rombakan gunungapi dengan air hujan. Bates dan Jackson (1987) mendefinisikan lahar sebagai aliran lumpur yang tersusun atas material gunungapi klastik, yang menuruni lereng gunungapi. Lahar terjadi mengikuti turunnya hujan lebat, alirannya melalui lembah-lembah dan daerah rendah. Lahar terjadi pada waktu letusan dengan tumpahnya danau kawah atau mencairnya salju di puncak gunungapi. Aliran lahar sangat berbahaya, mampu menyeret bermacam-macam ukuran batuan, merusak segala sesuatu baik batuan, bangunan, maupun kawasan yang dilewati (Sumintaredja, 2000). Gunungapi Merapi membawa dampak positif maupun negatif bagi penduduk (Hadi, 1992; Bambang, 2007; Wahid, 2008). Contoh dampak positif hasil aktivitas kegunungapian adalah ketersediaan bahan konstruksi, sedangkan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN , 1998; Kelfoun et al., 2000; Younga et...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia terletak pada pertemuan dua rangkaian pegunungan muda, yaitu

rangkaian Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterania. Hal tersebut menyebabkan di

Indonesia terdapat banyak gunungapi aktif (Kusumadinata, 1979; Katili dan

Siswowidjojo, 1994; Voight et al., 1998; Kelfoun et al., 2000; Younga et al.,

2000; Prihadi, 2005). Katili dan Siswowidjojo (1994) menyatakan gunungapi

(vulkan) adalah bentuk di muka bumi, berupa kerucut raksasa, kubah, atau bukit

akibat penerobosan magma ke permukaan bumi. Gunungapi terjadi karena proses

tumbukan menunjam yang aktif (Sudrajat, 1995).

Salah satu gunungapi di Indonesia yang aktif adalah Gunungapi Merapi di

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gunungapi memiliki dua

potensi bahaya, yaitu bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer adalah bahaya

yang ditimbulkan langsung oleh letusan disertai hamburan piroklastik, aliran lava,

dan luncuran awan panas. Bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh

aliran rombakan material lepas gunungapi bercampur air hujan yang disebut lahar.

Lahar diartikan sebagai aliran campuran bahan rombakan gunungapi

dengan air hujan. Bates dan Jackson (1987) mendefinisikan lahar sebagai aliran

lumpur yang tersusun atas material gunungapi klastik, yang menuruni lereng

gunungapi. Lahar terjadi mengikuti turunnya hujan lebat, alirannya melalui

lembah-lembah dan daerah rendah. Lahar terjadi pada waktu letusan dengan

tumpahnya danau kawah atau mencairnya salju di puncak gunungapi. Aliran lahar

sangat berbahaya, mampu menyeret bermacam-macam ukuran batuan, merusak

segala sesuatu baik batuan, bangunan, maupun kawasan yang dilewati

(Sumintaredja, 2000).

Gunungapi Merapi membawa dampak positif maupun negatif bagi

penduduk (Hadi, 1992; Bambang, 2007; Wahid, 2008). Contoh dampak positif

hasil aktivitas kegunungapian adalah ketersediaan bahan konstruksi, sedangkan

2

dampak negatif adalah kebencanaan primer dan sekunder. Hasil aktivitas

gunungapi mampu mengancam setiap daerah dari wilayah sempit hingga luas.

Kabupaten Magelang tahun 2010 terkena dampak aliran lahar. Wilayah

paling parah terjadi di sepanjang Kali Putih. Aliran lahar Kali Putih beberapa kali

telah memutuskan jalur transportasi utama Semarang dan Yogyakarta. Kali Putih

secara administrasi melewati 3 kecamatan yaitu Kecamatan Srumbung,

Kecamatan Salam, dan Kecamatan Ngluwar (lihat Gambar 1.1).

Kondisi Kali Putih mempunyai variasi karakteristik fisik lahan yang

mencakup morfometri, penutup lahan, lereng, dan batuan. Berdasarkan variasi

kondisi fisik yang ada, diperoleh gambaran kovariasi spasial menurut kombinasi

berbagai variabel fisik yang relevan. Kovariasi spasial merupakan ekspresi dari

paradigma geomorfologi dalam ilmu geografi. Bambang (2007) menyatakan

geomorfologi bukan sekadar sub-disiplin geografi, melainkan cara pandang atas

fenomena bentang lahan yang digunakan untuk menjelaskan berbagai macam

proses dan karakteristik komponen bentanglahan yang terbentuk. Paradigma

proses-bentuk merupakan terminologi lain yang dapat digunakan sebagai ciri

penelitian geografi (Wahyono, 2002) dan sesuai definisi geografi oleh Bintarto

(1991, dalam Wahid, 2008).

1.1.1. Kontroversi Lahar

Kontroversi lahar sering terjadi, yaitu aliran lahar yang menimbulkan

kejadian bencana dan sedimen lahar yang merupakan sumberdaya galian pasir dan

batu (lahar membawa keuntungan). Gunungapi Merapi pada tahun 2006

memproduksi 5 juta m3 dan tahun 2010 memproduksi 140 juta m3 material

piroklastik (lihat Gambar 1.2). Material erupsi Merapi yang masih menumpuk

sebanyak 90 juta m3 dan belum tertangani dengan baik “Material sebanyak itu

belum terambil dan masih belum tahu harus dikemanakan, belum ada tempat

untuk material sebanyak itu,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB), Syamsul Maarif di Yogyakarta, Selasa (1/11/2011) (BNPB,

2011).

3

Gambar 1.1. Peta Administrasi Daerah Penelitian

4

Gambar 1.2. Material lahar Kali Putih di Kecamatan Srumbung (Foto : Kumalawati, 2010)

Ancaman bencana lahar terjadi pada musim hujan (Lavigne et al., 2000;

Sutikno dkk., 2007; Salinas et al., 2007; Yuliadi, 2010). Bencana Gunungapi

Merapi selalu berubah sewaktu-waktu dan perubahannya cepat, dibutuhkan

pembaharuan pengelolaan daerah rawan bencana yang cepat (Lailiy, 2007;

Lavigne et al., 2008).

Daerah tempat tinggal yang dilalui aliran lahar mempunyai dampak

positif dan negatif. Daerah yang mempunyai dampak positif dan negatif akibat

aktivitas kegunungapian dapat dikatakan daerah tersebut mempunyai nilai

kefaedahan wilayah (place utility) tinggi maupun rendah. Daerah penelitian

mempunyai nilai kefaedahan wilayah (place utility) rendah pada waktu terjadi

bencana lahar karena lahar dapat merusak apa saja yang dilalui termasuk

permukiman. Sebaliknya daerah penelitian juga mempunyai nilai kefaedahan

wilayah (place utility) tinggi setelah bencana lahar terjadi karena material lahar

mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, perlu perencanaan

pengelolaan lahar supaya daerah terkena lahar menjadi bermanfaat (Lailiy, 2007).

Lahar memiliki nilai ekonomi bersifat terukur (tangible) dan tidak terukur

(intangible). Nilai ekonomi lahar bersifat terukur (tangible) digolongkan ke dalam

manfaat kegunaan baik yang dikonsumsi maupun tidak, misalnya material lahar

dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan. Nilai ekonomi lahar bersifat tidak

terukur (intangible) berupa manfaat non-kegunaan, yaitu bersifat pemeliharaan

ekosistem jangka panjang. Kenyataannya, selama ini masyarakat terlalu berpihak

pada lahar sebagai sumber bencana sehingga mengabaikan pentingnya nilai

5

ekonomi material lahar (Joko 2002 dalam Harini, 2009). Peneliti ingin

membuktikan apakah lahar memiliki nilai ekonomi tinggi secara finansial, yaitu

dapat menghambat arus migrasi atau tidak. Peneliti juga akan mengkaji apakah

bencana yang terjadi masih dalam batas toleransi, yaitu sesuai teori nilai

kefaedahan wilayah atau tidak (Ayu, 2010). Permasalahan utama yang

difokuskan, yaitu bagaimana membuat masyarakat paham bahwa lahar bukan

hanya bencana, melainkan memiliki keuntungan atau manfaat. Daerah yang

dilalui aliran lahar akan memiliki material lahar. Material lahar di suatu daerah

dapat membawa keuntungan atau manfaat dan mendorong masyarakat tetap

tinggal (menghambat arus migrasi) (Julia dan Saptana, 2005; Ayu, 2010).

Teori arus migrasi: (1) stress-threshold model atau place utility model

(Wolpert, 1965) dan (2) the human capital approach (Sjaastad, 1972). Ide dasar

teori stress-threshold model atau place utility model menyatakan bahwa setiap

individu adalah makhluk rasional yang mampu melakukan pilihan terbaik di

antara alternatif yang ada. Ide dasar the human capital model adalah investasi

dalam rangka peningkatan produktivitas. Niat untuk melakukan migrasi dalam

model ini dipengaruhi oleh motivasi untuk mencari kesempatan kerja dan

pendapatan yang lebih baik. Dalam konteks ini, Todaro (1980) mengemukakan

bahwa keputusan seseorang untuk melakukan migrasi merupakan respons dari

harapan untuk memperoleh kesempatan kerja dan pendapatan yang lebih baik.

1.1.2. Kontribusi Valuasi Finansial untuk Mengetahui Besarnya Dampak Kerusakan Lahar

Penelitian valuasi finansial untuk mengetahui besarnya dampak kerusakan

lahar belum banyak dilakukan. Peran valuasi finansial adalah dapat menghitung

secara nyata akibat yang terjadi dan faktor-faktor utama dampak kerusakan lahar,

biaya mengacu pada penerimaan dan pengeluaran yang mencerminkan harga

pasar aktual yang benar-benar diterima atau dibayar. Valuasi finansial penting

dalam kebijakan pembangunan, karena dapat dijadikan sebagai pertimbangan.

Kerusakan lingkungan atau sumberdaya lingkungan merupakan masalah

ekonomi, rusaknya lingkungan berarti hilangnya kemampuan menyediakan

barang dan jasa (Maynard et al., 1979; Sukanta, 1993; Garrod et al., 1999; David

6

et al., 1990; Markandya et al., 2002). Dampak banjir lahar lebih terasa jika

mengenai tempat tinggal ataupun tempat penduduk melakukan aktivitas

(Takahashia et al., 2000; Itoh et al., 2000). Pertumbuhan penduduk cepat

menyebabkan kebutuhan tempat tinggal meningkat. Faktor daya tarik

mempengaruhi minat masyarakat tetap tinggal, misalnya tanah subur sehingga

mudah diolah untuk lahan pertanian dan material lahar dapat dimanfaatkan untuk

bangunan (Wolpert, 1965; Ayu, 2010).

Berdasarkan peta lokasi desa terdampak banjir lahar Gunungapi Merapi di

wilayah Provinsi Jawa Tengah, daerah sekitar aliran Kali Putih merupakan daerah

bahaya sekunder gunungapi (BNPB, 2011) (lihat Gambar 1.3; Gambar 1.4).

Gambar 1.3, dan Gambar 1.4 menjelaskan aliran lahar di Kali Putih yang

mengenai permukiman di Desa Sirahan. Kali Putih termasuk daerah bahaya lahar.

Lahar mengalir ke Kali Putih, dimana sepanjang aliran Kali Putih merupakan

daerah padat penduduk (BPS, 2012). Lahar menimbulkan kerusakan dan korban,

tetapi penduduk tetap memilih tinggal di sekitar gunungapi. Material

kegunungapian yang terendapkan melalui proses banjir lahar memberikan banyak

manfaat bagi kehidupan manusia. Manfaat jangka panjang dapat menyuburkan

lahar pertanian. Manfaat jangka pendek belum banyak dirasakan oleh masyarakat.

Kali Putih dialiri lahar di Desa Sirahan

Lahar Kali Putih mengenai permukiman warga di Desa Sirahan

Gambar 1.3. Banjir Lahar di Kali Putih (Foto : Kumalawati, 2011)

7

Gambar 1.4. Peta Lokasi Desa Terdampak Banjir Lahar Gunungapi Merapi di Wilayah Propinsi Jawa Tengah Tahun 2011

(Sumber: BNPB, 2011)

Pembangunan wilayah didasarkan pada pertimbangan finansial.

Perhitungan keuntungan finansial menjadi dasar utama pengambilan kebijakan

pembangunan. Pembangunan dilaksanakan di dalam ruang/wilayah yang

mempunyai dinamika khusus, seperti wilayah rawan bencana lahar di Kali Putih.

Dinamika wilayah secara fisik, sosial, dan finansial seringkali kurang diperhatikan

dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Kerugian finansial yang besar

timbul ketika terjadi proses dinamika wilayah yang tidak dikehendaki.

Selanjutnya, dilakukan kuantifikasi finansial dinamika wilayah rawan lahar

sebagai dasar pengelolaan wilayah dengan memperhatikan aspek fisik, sosial, dan

finansial. Permasalahan lahar merupakan contoh kasus menarik untuk ditelaah

karena permasalahan wilayah cukup kompleks dari sisi finansial. Bertolak dari

8

permasalahan valuasi finansial, lahar sebagai dasar pengelolaan daerah rawan

bencana sangat penting menentukan perencanaan yang akan dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Potensi banjir lahar harus diidentifikasi dan diupayakan pengurangan risiko

dari bencana yang ditimbulkan. Upaya penghindaran dan pengurangan risiko

bencana dihadapkan pada permasalahan klasik. Permasalahan klasik yang dialami

negara-negara berkembang adalah keterbatasan anggaran untuk melakukan

manajemen risiko yang terintegrasi dengan baik.

Optimalisasi manajemen risiko bencana dapat dilakukan dengan

melibatkan peran aktif masyarakat. Penelitian yang dibutuhkan untuk

melibatkan masyarakat adalah penelitian mengenai persepsi dan perilaku

individu masyarakat mengenai lahar, yaitu kesediaannya menerima WTA

(Willingness to Accept). Penelitian dapat dilakukan dengan cara

mengidentifikasi potensi dampak banjir lahar yang ada. Dampak banjir lahar

menampakkan dua sisi yang kontradiktif baik dampak positif maupun negatif.

Dampak positif lahar yang dapat dimunculkan adalah menganggap

lahar bukan bencana. Lahar menyebabkan daerah menjadi subur dan

mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga mendorong masyarakat untuk

tetap tinggal (menetap). Dampak negatif dari lahar yang biasanya muncul

adalah lahar sebagai bencana. Lahar sebagai bencana pada akhirnya

mengharuskan masyarakat pindah karena material lahar membahayakan.

Masyarakat yang mendapatkan ancaman dan musibah berupa lahar, pada

umumnya mereka berpandangan bahwa “sakersanipun gusti, kaula nampi

mawon” (Sindhunata 1998 dalam Maarif dkk., 2012). Pandangan ini

menunjukkan bahwa eksistensi bencana banjir lahar dari Gunungapi Merapi

dan potensinya diterima dan dihayati dalam perspektif seimbang (dual

dimensions). Hasil penelitian selanjutnya diharapkan dapat dijadikan sebagai

dasar untuk pengelolaan daerah rawan bencana lahar (lihat Gambar 1.5).

9

Gambar 1.5. Diagram fishbone penelitian (Identifikasi Potensi Dampak Lahar)

Menurut teori utilitas harapan, individu akan meminimalkan potensi

kerugian yang akan diderita pada masa yang akan datang (Pindyck dan

Rubinfield, 2001). Teori utilitas harapan (expected utility theory) adalah

model ekonomi yang sering digunakan untuk menjelaskan pengambilan

keputusan dalam kondisi risiko (Mogenstern, 1954 dalam Dixit, 1990).

Berdasarkan teori utilitas harapan, individu-individu yang tinggal di wilayah

berpotensi terjadi bencana akan berusaha memaksimalkan utilitasnya dengan

melakukan mitigasi terhadap risiko bencana yang mengancam. Teori tersebut

didukung hasil penelitian yang dilakukan Ozdemir (2000), Ozdemir dan Kruse

(2005), Fujimi dan Tatano (2006), dan Li dan Hsiu (2007).

Penelitian yang tidak mendukung teori utilitas harapan antara lain

penelitian Kunreuther (2006), Kleindorfer dan Kunreuther (1997), Schade et al.,

(2002), dan Miller et al., (2002) menyebutkan bahwa ada kecenderungan

masyarakat memiliki perilaku untuk melakukan mitigasi sangat rendah.

Masyarakat yang tinggal di wilayah yang berpotensi terjadi bencana tidak

berusaha memaksimalkan utilitasnya dengan melakukan mitigasi terhadap risiko

bencana yang mengancam. Masyarakat mengalami sindroma bencana alam

(natural disaster syndrome), yaitu masyarakat tidak mau secara sukarela

memprioritaskan pengurangan dampak bencana (Kunreuther, 2006).

Perbedaan hasil penelitian utilitas harapan menarik untuk dikaji

kembali khususnya di Kabupaten Magelang. Penelitian persepsi masyarakat

terhadap lahar, cara menilai lahar dan perilaku mitigasi dan adaptasi

dikombinasikan dengan tingkat kerawanan supaya kajian penelitian lebih

Lahar bencana

Lahar bukan bencana

Material lahar membahayakan

Daerah subur (menetap)

Daerah rawan lahar (pindah)

Material lahar mempunyai nilai ekonomi tinggi

Pengelolaan Daerah Rawan Bencana Lahar

_

+

10

komprehensif. Penelitian dilakukan juga pada wilayah tidak rawan. Masyarakat

yang tinggal di daerah kerawanan tinggi diharapkan memiliki WTA lebih tinggi

daripada di daerah tidak rawan. Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah

dilakukan dan berhasil diidentifikasi, tidak ditemukan secara eksplisit mengenai

perbedaan perilaku masyarakat di setiap tingkat kerawanan wilayah tempat

tinggal (Suryanto, 2011; Ozdemir, 2000).

Rumusan masalah pokok penelitian yang diajukan adalah bagaimana

pengelolaan daerah rawan bencana lahar pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010.

Berdasarkan permasalahan pokok dapat dirinci permasalahan penelitian, yaitu:

1) bagaimana menyusun dan menganalisis peta tingkat kerawanan lahar?

2) bagaimana persepsi masyarakat terhadap lahar menurut tingkat kerawanan

berdasarkan variabel persepsi yang digunakan dalam penelitian?

3) bagaimana cara menilai potensi ekonomi lahar secara finansial?

4) bagaimana pengaruh antara variabel-variabel perilaku individu masyarakat

mengenai lahar dengan WTA (Willingness to Accept)?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian yang ingin dicapai, yaitu merumuskan cara

pengelolaan daerah rawan bencana lahar pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010

meliputi karakteristik kerawanan wilayah, variabel-variabel persepsi, variabel

ekonomi, dan perilaku individu masyarakat mengenai lahar. Selain untuk

mendapatkan pola pengaruh antar variabel-variabel, juga ingin menemukan bukti

empiris tentang perilaku individu masyarakat mengenai lahar dengan WTA di

Kabupaten Magelang apakah mengikuti teori utilitas harapan dan teori adaptasi

manusia terhadap lingkungan. Tujuan khusus penelitian dibagi menjadi empat untuk

memudahkan pelaksanaan penelitian, yaitu:

1) menyusun dan menganalisis peta tingkat kerawanan lahar,

2) mengetahui persepsi masyarakat terhadap lahar menurut tingkat kerawanan

berdasarkan variabel persepsi,

3) melakukan valuasi finansial untuk mengetahui besarnya dampak kerusakan

akibat lahar,

11

4) mengevaluasi pengaruh antara perilaku individu masyarakat mengenai lahar

dengan WTA.

Berdasarkan serangkaian tujuan khusus penelitian yang sudah dirumuskan,

wujud nyata hasil penelitian berupa strategi dan/model pengelolaan daerah rawan

bencana lahar.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi pengembangan teori

utilitas harapan, khususnya dalam pengelolaan daerah rawan bencana. Pendekatan

valuasi finansial dapat digunakan untuk mengukur kesediaan masyarakat

melakukan mitigasi dan adaptasi. Potensi kerugian dapat diminimalkan jika

diketahui persepsi masyarakat terhadap risiko. Secara khusus, manfaat dari

penelitian ini antara lain:

1) Manfaat Keilmuan

a) memberikan gambaran besarnya biaya ekonomi yang harus dikeluarkan

akibat lahar

b) memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu geografi terutama aspek

metodologis pada kajian geografi regional, khususnya pengkajian

perkembangan wilayah terkait dengan aspek fisik, sosial, dan finansial,

c) sebagai sumber informasi bagi pengembangan penelitian sejenis.

2) Manfaat Pembangunan

a) memberikan saran kepada pemerintah sebagai policy maker, lembaga

swadaya, dan masyarakat tentang pentingnya pengelolaan lingkungan,

khususnya penanganan lahar ditinjau dari sudut ekonomi,

b) pemerintah daerah dan pusat dapat memformulasikan dan menyusun

rencana strategis manajemen risiko bencana didukung hasil temuan.

Sebagai contoh adalah penyusunan strategi manajemen risiko lebih efektif

apabila sikap dan persepsi pelaku mitigasi dan adaptasi terhadap bencana

diketahui, dan

c) memberikan salah satu dasar arahan kebijakan, khususnya di daerah yang

memiliki tingkat kerawanan lahar yang tinggi.

12

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan perilaku individu atau

persepsi masyarakat untuk mitigasi bencana telah dilakukan oleh

Onculer (2002), Miller et al. (2002), Ozdemir dan Kruse (2005), dan Triani

(2009). Metode analisis yang digunakan adalah pendekatan Contingent

Valuation Method (CVM). Metode CVM digunakan untuk mengestimasi

variabel-variabel persepsi risiko (pengalaman terkena dampak, tingkat

kerentanan, besarnya dampak, tingkat pemahaman, derajat penolakan terhadap

risiko), variabel demografi (usia, jumlah anak, tingkat pendidikan), dan variabel

ekonomi (tingkat pendapatan) terhadap WTP mitigasi.

Metode analisis yang digunakan untuk meneliti masalah kebencanaan tidak

terbatas pada metode CVM. Metode yang digunakan dalam penelitian-penelitian

yang dilakukan oleh Rashed (2003), dan Dai et al. (2003) berbeda dengan

pendekatan CVM. Metode yang digunakan lebih bersifat deskriptif dan

informatif karena menggambarkan kondisi suatu daerah yang bahaya dan rawan

bencana, metode yang digunakan adalah Sistem Informasi Geografi (SIG) seperti

penelitian yang dilakukan Hadi (1992), dan Lavigne (1999).

Penelitian yang akan dilakukan tentang pengelolaan daerah rawan

bencana lahar pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten

Magelang. Strategi yang paling mungkin dilakukan sebagaimana disebutkan

dalam Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana adalah dengan mengurangi besarnya dampak dan keganasan

bencana. Pemerintah dan masyarakat perlu dipersiapkan untuk menghindari

atau merespon bencana dengan tepat dan efektif sehingga kerugian dapat

dikurangi (Chinn, 2005). Masyarakat tidak lagi enggan mengungsi ketika terjadi

bencana (Putranto, 1999; Widiyanto, 1999).

Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang sudah

dilakukan adalah digunakannya pendekatan CVM. Pendekatan CVM digunakan

karena penelitian ini mengukur WTA masyarakat yang dihubungkan dengan

perilaku individu masyarakat. CVM adalah salah satu metodologi berbasis

survei untuk mengestimasi seberapa besar penilaian masyarakat terhadap barang,

13

jasa, dan kenyamanan (Ozdemir, 2000). Penelitian melanjutkan penelitian yang

dilakukan oleh Ozdemir (2000) dan Suryanto (2011) yaitu mengestimasi

variabel-variabel perilaku individu masyarakat terhadap WTA, dan persepsi

masyarakat. Analisis yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah analisis

tingkat kerawanan, persepsi masyarakat terhadap lahar, valuasi finansial untuk

mengetahui berapa besar dampak kerusakan akibat lahar, dan perilaku individu

masyarakat mengenai lahar terhadap kesediaan menerima WTA. Perbedaan

dengan penelitian Ozdemir (2000) adalah dimasukkannya variabel spasial

yaitu variabel dummy yang digunakan untuk membandingkan variabel-variabel

yang mempengaruhi perilaku individu masyarakat di wilayah yang tergolong

kerawanan tinggi, kerawanan sedang, kerawanan rendah dan tidak rawan

bencana khususnya bencana lahar. Perbedaan penelitian terdahulu dengan

penelitian yang akan dilakukan adalah (lihat Tabel 1.1):

1) cara pandang material erupsi dari bencana ke materi bernilai ekonomi,

2) metode penelitian yang digunakan CVM (Contingent Valuation Method),

3) tema penelitian berbeda dengan tema penelitian sejenis karena berbeda tujuan

yang ingin dicapai,

4) publikasi ilmiah terkait tingkat kerawanan lahar masih bersifat umum, belum

menganalisis tentang pengelolaan daerah rawan bencana lahar secara spesifik,

5) berbagai paparan di media massa terkait dengan penelitian tersebut belum

didukung oleh analisis data kuantitatif berdasar hasil penelitian ilmiah.

1.6. Batasan Istilah

Beberapa istilah khusus banyak digunakan dalam penelitian ini. Istilah

khusus digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena khas yang berkaitan

dengan objek penelitian. Istilah khusus mempunyai arti atau makna khusus yang

berbeda dengan pemahaman awam. Istilah khusus yang digunakan dalam

penelitian khususnya dalam lingkup kebencanaan:

Bahaya adalah suatu peristiwa fisik yang berpotensi merusak, fenomena atau

aktivitas manusia yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau luka, kerusakan

harta benda, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan

14

kemungkinan terjadinya dalam jangka waktu tertentu dan dalam daerah tertentu,

dengan intensitas yang diberikan (Alkema D.dkk, 2009).

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa disebabkan oleh alam,

manusia, dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban dan penderitaan

manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana,

prasarana, dan utilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata

kehidupan dan penghidupan masyarakat (Sudibyakto, 2011).

Elemen risiko adalah semua benda, orang, hewan, kegiatan, yang mungkin

dipengaruhi oleh fenomena yang berbahaya, di daerah tertentu, baik secara

langsung maupun tidak langsung termasuk: gedung, fasilitas, penduduk, ternak,

kegiatan ekonomi, pelayanan publik, dan lingkungan (Westen dkk, 2009).

Kerentanan sebagai karakteristik dan keadaan masyarakat, sistem atau aset yang

membuatnya rentan terhadap efek yang merusak dari bahaya atau merupakan

konsekuensi dari sebuah kondisi yang ditentukan oleh faktor atau proses fisik,

sosial, ekonomi dan lingkungan, yang meningkatkan kemungkinan masyarakat

terkena ancaman (Westen dkk, 2009).

Kerawanan didefinisikan sebagai probabilitas keruangan suatu wilayah

mengalami bencana (Scheinerbauer dan Ehrlich, 2004 dalam Thywissen, 2006).

Lahar hujan adalah lahar yang terjadi apabila endapan material lepas hasil erupsi

gunungapi yang diendapkan pada puncak dan lereng, terangkut oleh hujan atau air

permukaan (Sukatja, 2006).

Persepsi Risiko adalah pendapat subjektif dari orang-orang tentang risiko,

karakteristik, dan besarnya, termasuk beberapa faktor: pengetahuan objektif

individu tentang risiko, dugaan individu tentang pengalamannya sendiri terhadap

risiko serta kemampuannya untuk mengurangi atau mengatasi jika bencana yang

merugikan terjadi.

Rawan Bencana Alam adalah suatu daerah yang pernah terjadi bencana alam

sehingga dapat digunakan untuk memprediksi kejadian yang akan datang meliputi

ukuran kejadian, frekuensi, dan luas (Sutikno dkk., 2007).

15

Risiko Bencana Alam adalah suatu daerah yang mempunyai potensi terjadi

bencana alam sehingga mempunyai kemungkinan timbulnya kerugian, baik yang

berupa kerugian jiwa maupun harta benda (Bambang, 2007).

Valuasi Ekonomi adalah proses penaksiran potensi ekonomi suatu daerah untuk

tujuan tertentu ke dalam nilai rupiah, dalam penelitian ini penaksiran potensi

ekonomi lahar dibatasi pada komponen-komponen yang bersifat tangible (David

et al., 1990; Markandya et al., 2002).

Valuasi Finansial adalah proses menghitung secara nyata akibat yang terjadi dan

faktor-faktor utama dampak kerusakan lahar, biaya mengacu pada penerimaan dan

pengeluaran yang mencerminkan harga pasar aktual yang benar-benar diterima

atau dibayar.

WTA (Willingness to Accept) adalah jumlah minimum pendapatan seseorang

untuk bersedia menerima akibat penurunan suatu manfaat sumber daya alam

dalam penelitian ini penurunan sumber daya alam akibat bencana lahar

pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010 (Fauzi, 2006).

16

Tabel 1.1. Hasil Penelitian Terdahulu dan Hasil Penelitian yang Sekarang

No. Nama dan Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan

1. Hadi (1992) Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Mitigasi Banjir Lahar dan Longsoran Lava pada Lereng Selatan Gunungapi Merapi

Mengetahui daerah-daerah rawan karena bahaya banjir lahar dan longsoran lava.

Analisis dilakukan dengan cara tumpang susun peta (overlay), kalkulasi peta, klasifikasi dengan menggunakan tabel 2-dimensi, dan classify tabel serta dengan menerapkan SQL (Simple Query Language) pada database. Data geologi dan penutup lahan dilakukan skoring, sedangkan lainnya dihitung nilai pikselnya.

Hasil yang diperoleh yaitu, peta bahaya dikategorikan menjadi 5 kelas, yaitu: - Kelas I (tidak berbahaya) - Kelas II ( sedikit berbahaya) - Kelas III (cukup berbahaya) - Kelas IV (berbahaya) - Kelas V ( sangat berbahaya)

Persentase pemukiman yang masuk kategori kelas bahaya: - Kelas I (90,03%) - Kelas IV (0,11%) - Kelas II (9,53%) - Kelas V (0,10%)

- Kelas III (0,23%) 2. Putranto (1999)

Kajian Ekologi Budaya Mengenai Interaksi Masyarakat Desa dengan Lingkungan di Daerah Bahaya Gunung Merapi (kasus Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem dan Dusun Palemsari, Umbulharjo, Cangkringan)

Mengkaji mitos-mitos mengapa korban bencana Merapi enggan meninggalkan desanya untuk transmigrasi atau pindah lokasi.

Metode yang digunakan adalah wawancara langsung dan analisis data dengan analisis korelasi dan anova.

Masyarakat di sekitar daerah bahaya Gunungapi Merapi telah melakukan adaptasi dengan kondisi lingkungan yang berbahaya.

3. Lavigne (1999) Lahar Hazard Microzonation and Risk Assessment in Yogyakarta city, Indonesia

Memetakan daerah bahaya banjir lahar dingin secara detail dan menganalisis risiko yang ditimbulkan oleh banjir lahar terhadap infrastruktur bangunan di DAS Code Yogyakarta.

Mengggunakan peta topografi dan asumsi debit puncak untuk analisis bahaya dan analisis kerentanan bangunan.

Pemetaan mikrozonasi bahaya banjir lahar dan risiko terhadap bahaya banjir lahar.

4. Widiyanto (1999) Kerusakan Bangunan Pengendali Sedimen Akibat Penambangan Pasir di Sub DAS Kali Putih, Lereng Barat Volkan Merapi

Mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh menyebabkan kerusakan bangunan pengendali sedimen.

Metode yang digunakan adalah dengan pengamatan langsung terhadap sebaran bangunan pengendali sedimen, sebaran lokasi penambangan, dan kondisi bangunan pengendali sedimen

Faktor manusia lebih besar pengaruhnya dibanding faktor alam yang menyebabkan kerusakan bangunan pengendali sedimen.

17

No. Nama dan Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan

5. Ozdemir (2000) Persepsi Risiko dan Nilai Kenyamanan untuk Risiko Probabilitas Rendah dan Berdampak Merugikan: Investigasi Teoritis dan Empiris

Mengetahui Persepsi Risiko dan Nilai Kenyamanan untuk Risiko Probabilitas Rendah serta dampak kerugiannya

Regresi Maksimum WTP dipengaruhi oleh risiko dampak bencana (risk severity)

6. Miller, et al (2002) Membeli Keamanan terhadap Angin Tornado: Berapa Harganya ?

Mengetahui harga keamanan terhadap angin tornado?

Regresi dan Korelasi WTP masyarakat rendah untuk mitigasi, korelasi antar variabel dan WTP rendah

7. Onculer (2002) Willingness to Pay pemilik rumah di Turki terhadap mitigasi gempabumi

Mengetahui Willingness to Pay pemilik rumah di Turki terhadap mitigasi gempabumi

Regresi Dampak lebih meningkatkan WTP dibanding probabilitas, dan sikap tetangga mempengaruhi mitigasi.

8. Dai, et al (2003) Karakteristik hujan yang menyebabkan tanah longsor

Mengetahui karakteristik hujan yang menyebabkan tanah longsor?

Analisis SIG Menyediakan informasi mengenai karakteristik hujan dan mengapa longsor terjadi di daerah penelitian.

9. Rashed (2003) Pengukuran pada masalah lingkungan khususnya kerawanan sosial terhadap bahaya gempa bumi, Integrasi Remote Sensing dan Pendekatan SIG

Pengukuran pada masalah lingkungan khususnya kerawanan sosial terhadap bahaya gempa bumi

Integrasi Remote Sensing dan Pendekatan SIG

Hasil penelitian berupa informasi sosial ekonomi tentang kehidupan masyarakat yang dapat digunakan untuk penyiapan risiko bencana dan mitigasi bencana alam.

10. Ozdemir dan Kruse (2005) Hubungan antara Persepsi Risiko dan Willingness-to-Pay untuk Risiko dengan Probabilitas Rendah dan Berdampak Merugikan: Sebuah Metode Survei

Mengetahui hubungan antara Persepsi Risiko dan Willingness-to-Pay untuk Risiko dengan Probabilitas Rendah dan Berdampak Merugikan: Sebuah Metode Survei

Korelasi dan Regresi Dampak kerugian signifikan terhadap WTP, pengalaman, umur, jenis kelamin, dan pendidikan tidak signifikan terhadap WTP.

11. Chinn (2005) Permintaan Asuransi Bencana: Studi Eksperimen

Mengetahui asuransi bencana Regresi Mendukung teori prospek Kahneman dan Tversky

18

No. Nama dan Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan 12. Triani (2009)

Analisis Willingness to Accept Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau

a. Mendeskripsikan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau,

b. Mengkaji persepsi masyarakat terhadap program pembayaran jasa lingkungan yang telah berlangsung di DAS Cidanau,

c. Mengkaji kesediaan atau ketidaksediaan masyarakat menerima kompensasi sesuai skenario yang ditawarkan di pasar hipotesis,

d. Mengkaji besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat (WTA) serta faktor yang mempengaruhi nilai WTA.

Metode penelitian metode survei. Analisi penelitian menggunakan metode WTA

a. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau melibatkan Forum Komunikasi DAS Cidanau, Desa Citaman, Desa Cikumbueun dan Desa Kadu Agung serta PT. KTI,

b. Responden menilai kualitas lingkungan semakin baik setelah adanya upaya konservasi,

c. Hanya dua responden dari 43 responden yang menyatakan tidak bersedia menerima pembayaran sesuai skenario,

d. Nilai dugaan rataan WTA responden adalah Rp 5.056.98 Jika jumlah pohon 500 per ha maka nilai pembayaran Rp 2.528.490 per ha per tahun. Nilai total WTA responden Rp 2.718.125.000 dan dipengaruhi oleh faktor nilai pendapatan dari pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diterima, kepuasan terhadap nilai jasa lingkungan yang selama ini diterima, jumlah pohon, tingkat pendapatan rumah tangga, lama tinggal dan penilaian cara penetapan nilai pembayaran.

13. Suryanto (2011) Pola Hubungan Karakteristik Wilayah, Persepsi Individu, dan Perilaku Mitigasi Gempabumi di Kabupaten Bantul DIY

a. Menganalisis tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas penduduk dalam menghadapi risiko bencana gempabumi,

b. Mengevalusi hubungan persepsi individu mengenai bencana gempabumi dan perilaku individu untuk melakukan mitigasi bencana alam gempabumi,

c. Memprediksi probabilitas tingkat kerawanan wilayah berdasar variabel-variabel persepsi, sosial, dan ekonomi.

Analisis SIG, regresi berganda, dan regresi logistik,

a. Semua wilayah di Kabupaten Bantul adalah wilayah rawan gempabumi, wilayah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi dan kepadatan pemukiman tinggi cenderung berada pada wilayah rawan atau sangat rawan.

b. Hasil penelitian mendukung teori utilitas harapan. c. Hasil analisis regresi logistik untuk memprediksi

wilayah sangat rawan dengan kurang rawan atau wilayah sangat rawan dengan rawan dapat diketahui empat variabel yang siginifikan dari delapan variabel yaitu variabel pendidikan, persepsi terhadap peran pemerintah pusat, persepsi terhadap peran pemerintah daerah, dan persepsi tingkat kepercayaan terhadap rumah tahan gempabumi.

19

No. Nama dan Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan

14. Kumalawati (2014) Pengelolaan Daerah Rawan Bencana Lahar Pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010 di Kaliputih Kabupaten Magelang

a. Menyusun peta tingkat kerawanan lahar,

b. Mengetahui persepsi masyarakat teradap lahar menurut tingkat kerawanan berdasarkan variabel persepsi,

c. Melakukan valuasi finansial untuk mengetahui besarnya dampak kerusakan akibat lahar,

d. Mengevaluasi pengaruh antara perilaku individu masyarakat mengenai lahar dengan WTA.

Metode penelitian ini adalah metode survei. Teknik interpretasi citra penginderaan jauh untuk menganalisis data, baik data grafis maupun data atribut. Interpretasi citra dan peta dilakukan sebelum pelaksanaan survei lapangan. Pengamatan lapangan dilakukan pada setiap tingkat kerawanan. Pada tahap ini, juga dilakukan penetapan kelompok satuan penelitian guna melaksanakan FGD untuk menyikapi peta rawan yang dihasilkan. Selanjutnya, dilakukan valuasi finansial menggunakan CVM.

a. Kawasan rawan lahar tinggi adalah daerah yang mendekati sumber bencana. Status kerawanan paling tinggi adalah Desa Sirahan Kecamatan Salam, sehingga diperlukan adanya pengelolaan daerah rawan bencana lahar.

b. Responden menilai lahar dianggap sebagai bencana (bukan sebagai aset) pada saat bencana terjadi karena banyak menimbulkan kerusakan (persepsi sedang). Rekomendasi peningkatan persepsi masyarakat terhadap lahar berbasis pengetahuan lokal perlu dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.

c. Besarnya dampak kerusakan akibat lahar bervariasi tiap daerah dan tiap tingkat kerawanan lahar. Semakin dekat dengan sumber bencana maka dampak kerusakan akibat lahar semakin tinggi. Rekomendasi pengurangan risiko bencana lahar berbasis pengetahuan lokal perlu dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana sehingga semakin waspada.

d. Perilaku individu masyarakat mengenai lahar dengan WTA di daerah penelitian mempunyai korelasi rendah sampai sedang. Penanggulangan bencana apabila dimulai pada tahap pencegahan dan mitigasi diperkirakan biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit dibandingkan dimulai pada kondisi tanggap darurat.

Sumber: Berbagai Artikel Publikasi, Tahun 2012-2014