BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

28
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Unsur cuaca dan iklim terdiri atas suhu udara, kelembapan udara, curah hujan, tekanan atmosfer, dan angin (Tjasyono, 2004). Diantara sekian banyak unsur-unsur tersebut, curah hujan adalah unsur yang sangat penting karena dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari perencanaan kegiatan pertanian, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), transportasi, perkebunan, mitigasi, dan peringatan dini bencana alam. Indonesia memiliki tiga jenis pola hujan, diantaranya yaitu monsun, ekuator, dan lokal (Tjasyono, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa variabilitas curah hujan di Indonesia sangat tinggi, baik secara spasial maupun temporal. Peran hujan yang sangat banyak dalam berbagai aspek kehidupan dan variabilitasnya yang tinggi menyebabkan dibutuhkannya data mengenai curah hujan yang memadai. Pemerintah melalui berbagai instansi telah melakukan pengukuran curah hujan secara in situ menggunakan alat penakar hujan yang terpasang pada stasiun penakar hujan di berbagai tempat. Namun pengukuran secara in situ tersebut belum mampu menyediakan data curah hujan secara memadai yang disebabkan oleh jumlah penakar hujan yang tidak mencukupi, jaring-jaring penakar hujan yang kurang rapat, kesulitan menempatkan penakar hujan pada area yang memadai, gangguan angin lokal, dan proses updraft (Tjasyono, 2003). Hal ini diperburuk oleh adanya kesalahan karena alat (instrumental error) dan kesalahan yang berhubungan dengan cara pengambilan sampel atau disebut sampling error (Asdak, 2010). Dibalik berbagai masalah dalam proses penyediaan data curah hujan, kemajuan teknologi penginderaan jauh terutama penginderaan jauh untuk studi kondisi atmosfer dapat digunakan sebagai alternatif dalam proses penyediaan data curah hujan. Adanya data mengenai liputan awan dan suhu puncak awan (SPA) yang dapat disadap dari citra inframerah termal seperti MTSAT (Multi-functional Transport Satellite) dapat digunakan dalam memantau kondisi awan di suatu

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Unsur cuaca dan iklim terdiri atas suhu udara, kelembapan udara, curah

hujan, tekanan atmosfer, dan angin (Tjasyono, 2004). Diantara sekian banyak

unsur-unsur tersebut, curah hujan adalah unsur yang sangat penting karena

dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari perencanaan kegiatan

pertanian, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), transportasi, perkebunan,

mitigasi, dan peringatan dini bencana alam. Indonesia memiliki tiga jenis pola

hujan, diantaranya yaitu monsun, ekuator, dan lokal (Tjasyono, 2004). Hal ini

menunjukkan bahwa variabilitas curah hujan di Indonesia sangat tinggi, baik secara

spasial maupun temporal.

Peran hujan yang sangat banyak dalam berbagai aspek kehidupan dan

variabilitasnya yang tinggi menyebabkan dibutuhkannya data mengenai curah

hujan yang memadai. Pemerintah melalui berbagai instansi telah melakukan

pengukuran curah hujan secara in situ menggunakan alat penakar hujan yang

terpasang pada stasiun penakar hujan di berbagai tempat. Namun pengukuran

secara in situ tersebut belum mampu menyediakan data curah hujan secara memadai

yang disebabkan oleh jumlah penakar hujan yang tidak mencukupi, jaring-jaring

penakar hujan yang kurang rapat, kesulitan menempatkan penakar hujan pada area

yang memadai, gangguan angin lokal, dan proses updraft (Tjasyono, 2003). Hal ini

diperburuk oleh adanya kesalahan karena alat (instrumental error) dan kesalahan

yang berhubungan dengan cara pengambilan sampel atau disebut sampling error

(Asdak, 2010).

Dibalik berbagai masalah dalam proses penyediaan data curah hujan,

kemajuan teknologi penginderaan jauh terutama penginderaan jauh untuk studi

kondisi atmosfer dapat digunakan sebagai alternatif dalam proses penyediaan data

curah hujan. Adanya data mengenai liputan awan dan suhu puncak awan (SPA)

yang dapat disadap dari citra inframerah termal seperti MTSAT (Multi-functional

Transport Satellite) dapat digunakan dalam memantau kondisi awan di suatu

2

wilayah. Selain data mengenai suhu, citra satelit juga mampu digunakan untuk

mengekstraksi data mengenai banyaknya curah hujan. Data curah hujan dapat

diperoleh melalui sensor passive microwave, salah satunya TRMM 2A12. Integrasi

data antara SPA yang diperoleh dari MTSAT dengan curah hujan dari TRMM 2A12

memungkinkan untuk menghasilkan data mengenai curah hujan pada resolusi

spasial dan temporal yang tinggi (Suseno, 2009).

Selain citra MTSAT yang dapat menyadap data SPA dan TRMM 2A12 yang

dapat mengekstraksi data curah hujan di suatu wilayah, citra ASTER GDEM 2

(Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global

Digital Elevation Model Version 2) dapat menyediakan data mengenai kondisi

topografi di permukaan bumi dengan resolusi spasial 30 m dalam bentuk DSM

(Digital Surface Model). Topografi juga merupakan hal yang penting dalam proses

pengestimasian curah hujan. Hal ini disebabkan oleh adanya efek orografis hujan

sebagai akibat dari kondisi topografi suatu wilayah yang mengakibatkan variasi

curah hujan pada berbagai kondisi topografi yang berbeda (Fontanel dan

Chantefort, 1978). Di sisi lain, teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) telah

berkembang pesat sehingga memungkinkan proses integrasi dan analisis spasial

dari sumber yang beragam menjadi lebih efektif dan efisien.

Wilayah Jawa bagian tengah yang terdiri atas Provinsi Jawa Tengah dan

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah wilayah yang menarik untuk melakukan kajian

estimasi curah hujan menggunakan integrasi penginderaan jauh dan SIG karena

wilayah tersebut memiliki hujan tipe monsun namun dipengaruhi juga oleh efek

orografis. Efek orografis tersebut merupakan implikasi dari banyaknya gunung di

wilayah tersebut yang menyebabkan beraneka ragamnya topografi mulai dari datar

hingga bergunung mengingat bahwa wilayah ini dilalui ring of fire. Hal ini

memungkinkan dilakukannya penelitian tentang potensi estimasi curah hujan

menggunakan data citra MTSAT, TRMM 2A12, dan citra ASTER GDEM 2.

Adapun teknologi SIG dapat digunakan untuk mengintegrasikan data-data spasial

dari berbagai sumber sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif pengukuran hujan

di wilayah yang luas dan memiliki resolusi temporal yang tinggi.

3

1.2 Perumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian

Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan

provinsi yang kondisi topografinya sangat bervariasi mulai dari yang datar hingga

bergunung. Melakukan estimasi curah hujan secara akurat menggunakan

penginderaan jauh di wilayah tersebut bukanlah hal yang mudah karena wilayah

tersebut pola hujannya dipengaruhi oleh angin monsun yang berganti secara

periodik dan adanya pengaruh lokal dari topografi yang bervariasi itu sendiri.

Penelitian-penelitian sebelumnya telah mencoba untuk mengestimasi curah hujan

di wilayah tersebut. Hanifuddin (2012) menggunakan pendekatan transformasi

antara SPA dari MTSAT dan curah hujan dari QMORPH yang selanjutnya diproses

menggunakan metode regresi bivariat. Adapun penelitian Buana (2012)

menggunakan pendekatan parameter SPA dan albedo yang selanjutnya diproses

menggunakan regresi berganda. Namun nilai keakuratan yang dihasilkannya masih

relatif rendah, terutama untuk wilayah-wilayah yang topografinya berbukit atau

bergunung.

Guna meningkatkan akurasi hasil estimasi, sebaiknya proses estimasi curah

hujan dilakukan tidak hanya memperhatikan kondisi atmosfer, tapi juga

mempertimbangkan kondisi topografinya karena efek orografis juga berperan

penting dalam pembentukan hujan di suatu wilayah. Di sisi lain, telah banyak

tersedia data penginderaan jauh yang dapat mengakomodir data tentang kondisi

topografi, misalnya citra SRTM (Shuttle Radar Topography Mission), Gtopo30,

dan ASTER GDEM 2. Data-data topografi tersebut dapat diturunkan menjadi data

kemiringan lereng, elevasi, dan arah hadap lereng yang dapat digunakan dalam

mengkaji pengaruh efek orografis.

Dengan adanya penambahan variabel mengenai kemiringan lereng, elevasi,

dan arah hadap lereng maka proses pengestimasian curah hujan tidak bisa

menggunakan metode regresi bivariat maupun regresi berganda seperti yang telah

dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya sehingga dibutuhkan metode lain

yang dapat mengakomodir berlangsungnya proses estimasi curah hujan dengan

penambahan variabel tambahan tersebut. Hal ini disebabkan oleh respon topografi

terhadap curah hujan yang bervariasi secara temporal (Yin dkk., 2004). Misalnya,

4

pada bulan Desember, Januari, Februari (ketika angin monsun barat laut bertiup di

Jawa bagian tengah) maka lereng yang menghadap ke barat laut akan lebih

responsif terhadap efek orografis, begitu pula sebaliknya.

Kemajuan ilmu statistika dalam hal ini metode regresi linier stepwise

mempunyai potensi untuk digunakan dalam proses estimasi curah hujan dengan

berbagai variabel yang tingkat signifikansinya belum diketahui karena metode

tersebut mampu menyeleksi variabel-variabel yang mempunyai tingkat signifikansi

yang memadai (Yamin dkk., 2011). Dengan mengetahui tingkat signifikansi suatu

variabel maka dapat diketahui persamaan model regresi terbaik yang dibangun dari

variabel-variabel yang bermacam-macam tersebut. Namun, hasil estimasi curah

hujan dengan variabel tambahan berupa kondisi topografi yang diolah secara

statistik dengan regresi linier stepwise masih harus diuji keakuratannya.

Mendasarkan pada rumusan masalah yang telah diuraikan, muncul

pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan citra MTSAT 2R dalam menyadap data SPA yang

selanjutnya dikonversi menjadi data curah hujan dengan cara mengintegrasikan

dengan citra TRMM 2A12?

2. Bagaimana menurunkan variabel-variabel topografi guna menunjang proses

estimasi curah hujan dari citra ASTER GDEM 2?

3. Variabel topografi manakah yang mempunyai pengaruh dominan dalam

menunjang proses estimasi curah hujan bulanan dan musiman?

4. Bagaimana melakukan estimasi curah hujan bulanan dan musiman dengan

variabel curah hujan turunan dari MTSAT-TRMM dan topografi (kemiringan

lereng, elevasi, arah hadap lereng) menggunakan metode regresi linier stepwise?

5. Bagaimana distribusi curah hujan bulanan dan musiman di sebagian Provinsi

Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta?

5

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengkaji kemampuan citra MTSAT 2R dalam menyadap data SPA yang

selanjutnya dikonversi menjadi data curah hujan dengan cara mengintegrasikan

dengan citra TRMM 2A12.

2. Menurunkan variabel-variabel topografi guna menunjang proses estimasi curah

hujan dari citra ASTER GDEM 2.

3. Mengetahui variabel topografi yang mempunyai pengaruh dominan dalam

menunjang proses estimasi curah hujan bulanan dan musiman.

4. Melakukan estimasi curah hujan bulanan dan musiman dengan variabel curah

hujan turunan dari MTSAT-TRMM dan topografi (kemiringan lereng, elevasi,

arah hadap lereng) menggunakan metode regresi linier stepwise.

5. Mengkaji distribusi curah hujan bulanan dan musiman di sebagian Provinsi Jawa

Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Bagi akademisi, dapat menjadi bahan pembelajaran khususnya aplikasi citra

DEM, multispektral (saluran inframerah termal), dan passive microwave untuk

mengestimasi curah hujan wilayah.

2. Bagi instansi pemerintahan, dapat menjadi metode alternatif dalam proses

inventarisasi data curah hujan yang selanjutnya dapat digunakan berbagai

kegiatan seperti pertanian, pengelolaan DAS, mitigasi, dan peringatan dini

bencana.

3. Bagi masyarakat, dapat menambah wawasan mengenai kemajuan teknologi

penginderaan jauh dan SIG dalam menyadap data mengenai permukaan bumi

maupun dekat permukaan bumi guna kajian atmosfer.

6

1.5 Landasan Teori

1.5.1 Proses Terjadinya Hujan

Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi. Presipitasi itu sendiri adalah

bentuk air dalam keadaan cair (hujan) atau padat (es atau salju) yang jatuh ke

permukaan bumi. Hujan adalah bentuk presipitasi yang umum dijumpai di

Indonesia (Tjasoyono, 2004). Waryono dkk. (1987) mengatakan bahwa hujan dapat

terjadi diawali dengan proses penguapan. Penguapan tersebut terdiri atas dua

macam, yaitu evaporasi (penguapan air secara langsung) dan transpirasi

(penguapan air dari makhluk hidup). Gabungan kedua proses tersebut dinamakan

evapotranspirasi. Banyaknya uap air yang mampu ditampung oleh udara tergantung

pada kapasitas udara.

Apabila uap air dalam udara telah mencapai nilai maksimum dari kapasitas

udara, maka udara tersebut dikatakan jenuh. Titik ketika udara mencapai kondisi

jenuh disebut titik embun (dew point). Kondisi udara yang jenuh dan adanya aerosol

di udara dapat memicu terjadinya kondensasi atau sublimasi. Hal ini dapat terjadi

karena aerosol berperan sebagai inti kondensasi yang bersifat higroskopis. Tidak

semua aerosol di udara digunakan sebagai inti kondensasi karena keterbatasan

jumlah uap air yang ada sehingga hanya inti kondensasi yang ukurannya relatif

besar saja yang berperan (Prawirowardoyo, 1996).

Tetes yang terbentuk pada inti kondensasi di dalam udara berlengas

mempunyai jari-jari antara 1-20 µm yang dinamakan tetes awan. Wisnusubroto

dkk. (1986) mengatakan bahwa menurut persetujuan internasional (dalam usaha

penyeragaman), awan dibagi menjadi empat golongan yaitu awan tinggi (Cirrus/Ci,

Cirrostratus/Cs, Cirrocumulus/Cc), golongan awan sedang (Altostratus/As,

Altocumulus/Ac), golongan awan rendah (Stratocumulus/Sc, Stratus/St), dan

golongan awan dengan perkembangan vertikal (Nimbostratus/Ns, Cumulus/Cu,

Cumulonimbus/Cb).

Wisnusubroto dkk. (1986) menerangkan deskripsi berbagai tipe awan sebagai

berikut:

7

a. Cirrus/Ci: awan yang halus, berstruktur berserat, seperti bulu burung, sering

tersusun sebagai pita yang melengkung. Sehingga seolah-olah bertemu pada satu

atau dua titik di horison. Tersusun oleh kristal-kristal es.

b. Cirrostratus/Cs: awan yang bagaikan kelambu, putih, halus, menutup seluruh

angkasa, yang oleh sebab itu berwarna pucat atau kadang-kadang nampak seperti

anyaman tidak teratur. Sering menimbulkan adanya lingkaran pada matahari atau

bulan.

c. Cirrocumulus/Cc: awan yang berbentuk sebagai gerombolan domba yang

menyebabkan adanya sedikit bayangan atau tidak sama sekali.

d. Altostratus/As: awan yang berbentuk seperti selendang yang tebal. Pada bagian

yang menghadap bulan atau matahari nampak lebih terang. Di antaranya terdapat

awan-awan Cirrostratus.

e. Altocumulus/Ac: awan yang bagaikan bola-bola yang tebal putih atau pucat

dengan bagian-bagian kelabu karena kurang mendapatkan sinar. Bergerombolan

atau berlarikan dan sering begitu dekat satu sama lain sehingga kelihatan seperti

bergandengan.

f. Stratocumulus/Sc: awan yang berbentuk seperti gelombang yang sering menutup

seluruh angkasa sehingga menimbulkan persamaan dengan gelombang di lautan.

Langit yang berwarna biru masih sering tampak di antara awan ini.

g. Stratus/St: awan yang melebar seperti kabut tetapi tidak sampai pada permukaan.

h. Nimbostratus/Ns: awan yang berlapis dengan bentuk tidak teratur dan

menimbulkan hujan.

i. Cumulus/Cu: awan yang tebal dengan dasar horisontal yang bermacam-macam.

Terbentuk pada siang hari dalam udara yang naik. Mempunyai bayangan kelabu

jika disinari sebelah dan kelihatan hitam dengan pinggir putih jika berada di muka

matahari.

j. Cumulonimbus/Cb: awan yang bervolume sangat besar, berbentuk bagaikan

menara. Awan ini menimbulkan hujan dengan kilat dan guntur.

8

Keterangan lebih lanjut mengenai jenis awan dan ketinggiannya berdasarkan letak

garis lintang dapat dilihat pada Tabel 1.1. dan Gambar 1.1.

Tabel 1.1 Variasi kisaran ketinggian berbagai jenis awan Jenis Awan Daerah Tropis Daerah Lintang Tengah Daerah Kutub

Tinggi (Ci, Cs, Cc) 6000-18.000 m 5000-13.000 m 3000-8000 m

Sedang (As, Ac) 2000-8000 m 2000-7000 m 2000-4000 m

Rendah (St, Sc) 0-2000 m 0-2000 0-2000

Sumber: Ahrens (2007)

Gambar 1.1 Ilustrasi jenis-jenis awan berdasarkan ketinggian dan perkembangan

vertikal (Ahrens, 2007)

Tetes awan tersebut dapat jatuh dengan kecepatan 0,01 sampai 5 cm/s,

sedangkan kecepatan aliran udara ke atas melebihi kecepatan tersebut sehingga

tetes awan tidak dapat sampai ke permukaan bumi. Supaya tetes tersebut dapat

menangkal aliran udara ke atas dan mencapai permukaan bumi tanpa habis

menguap maka tetes tersebut ukurannya harus lebih besar, yaitu antara 0,1 mm-3

mm. Tetes dengan ukuran 0,1 mm-3 mm dinamakan tetes hujan. Ada dua teori

mengenai pertumbuhan tetes awan menjadi tetes hujan, yaitu teori tumbukan-

penggabungan dan teori tiga fase atau teori Bergeron-Findeisen (Prawirowardoyo,

1996).

9

Sebelumnya telah disinggung bahwa apabila uap air telah mencapai nilai

maksimum dari kapasitas udara maka akan terjadi penjenuhan. Penurunan suhu

adalah sebab utama dalam penjenuhan udara tersebut. Penurunan suhu pada udara

lembap tersebut dapat terjadi dengan mekanisme pengangkatan udara yang

nantinya berimplikasi pada jenis hujan yang dihasilkan. Waryono dkk. (1987)

menyatakan bahwa mekanisme naiknya udara dapat melalui berbagai cara,

diantaranya yaitu:

a. Penaikan Konvektif

Adanya radiasi matahari yang sangat kuat menyebabkan udara tersebut

mengembang dan bergerak naik. Ketika naik terjadi penurunan suhu secara

adiabatik hingga sampailah pada tingkatan kondensasi dan terbentuklah awan.

Awan yang terbentuk melalui penaikan secara konvektif ini yaitu tipe awan

Cumulus yang bergerak secara vertikal dengan kecapatan 1 m/s. Apabila

kecepatan vertikal meningkat menjadi sangat cepat hingga 30 m/s maka akan

terbentuk awan Cumulonimbus. Presipitasi hasil dari proses penaikan konvektif

disebut hujan konvektif. Karakteristik hujan tersebut adalah sangat lebat disertai

angin ribut tetapi hanya sebentar. Hujan konvektif banyak terjadi di daerah tropis

dan pedalaman lintang tengah pada saat musim panas. Ilustrasi penaikan

konvektif dapat dilihat pada Gambar 1.2a.

b. Penaikan Orografis

Penaikan secara orografis terjadi apabila udara panas yang lembap melintasi

pegunungan. Pada sisi yang menghadap angin (windward side) udara bergerak

naik sehingga terjadi kondensasi dan terbentuklah awan yang menghasilkan

hujan orografis. Tetapi pada sisi yang membelakanginya (leeward side) udara

akan bergerak turun dan mengalami pemanasan dengan sifat kering dan daerah

ini disebut bayangan hujan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar

1.2b.

c. Penaikan Konvergen

Penaikan secara konvergen terjadi apabila terdapat arus udara horisontal dari

massa udara yang besar dan tebal sehingga menyebabkan gerakan ke atas.

Penaikan konvergen di daerah ekuator arahnya vertikal sebab udara yang

berkonvergen itu suhunya sama. Kenaikan udara pada daerah konvergensi dapat

10

menimbulkan pertumbuhan awan dan menghasilkan hujan konvergensi. Ilustrasi

penaikan secara konvergen dapat dilihat pada Gambar 1.2c.

d. Penaikan Frontal

Penaikan secara frontal terjadi apabila dua massa udara yang konvergen secara

horisontal memiliki suhu dan massa jenis yang berbeda. Perbedaan massa udara

tersebut menimbulkan arah penaikan yang bersifat miring. Penaikan secara

frontal biasanya terjadi pada daerah beriklim sedang. Hujan yang dihasilkan oleh

proses ini disebut hujan frontal. Baik hujan frontal maupun hujan konvergensi

memiliki karakteristik yang tidak begitu lebat namun memiliki durasi yang lama

dan mencakup wilayah yang luas. Ilustrasi penaikan secara frontal dapat dilihat

pada Gambar 1.2d.

Gambar 1.2 (a) Penaikan konvektif, (b) penaikan orografis, (c) penaikan konvergensi, (d)

penaikan frontal (Ahrens, 2007)

11

1.5.2 Citra MTSAT

Menurut Japan Meteorological Agency/JMA (2014), satelit MTSAT (Multi-

functional Transport Satellite) adalah rangkaian seri satelit yang bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan informasi meteorologi dan penerbangan sipil. Seri MTSAT

yang mengorbit pada ketinggian 35800 km di atas ekuator pada 140-145o BT

merupakan suatu pemutakhiran dari seri satelit GMS (Geostationary

Meteorological Satellite) yang telah beroperasi semenjak tahun 1977 sebagai satelit

geostasioner yang meliput Asia Timur dan Pasifik Barat. MTSAT menyediakan

data tentang distribusi dan pergerakan awan, suhu permukaan laut, dan distribusi

uap air pada lebih dari 30 negara.

MTSAT memiliki resolusi spasial 4 km untuk saluran IR1, IR2, IR3, dan

IR4, resolusi spasial 1 km untuk saluran tampak, resolusi temporal 30 menit untuk

wilayah bumi bagian utara dan resolusi temporal 60 menit untuk wilayah bumi

bagian selatan. MTSAT memiliki saluran inframerah baru (IR4) sebagai tambahan

dari empat saluran yang telah dimiliki GMS-5 (Visible, IR1, IR2, IR3).

Pemutakhiran citra MTSAT dibanding GMS-5 yaitu lebih baik dalam mendeteksi

awan rendah/kabut, pengestimasian suhu permukaan laut, dan peningkatan tingkat

kecerahan. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai rentetan sejarah satelit GMS,

MTSAT, dan seri-seri selanjutnya beserta perkembangan saluran yang dimilikinya,

dapat dilihat pada Gambar 1.3 dan Tabel 1.2 sedangkan contoh header MTSAT

HRIT yang digunakan (dari Universitas Tokyo) dapat dilihat di Lampiran 1.1.

Tabel 1.2 Saluran-saluran yang dimiliki GMS, MTSAT, Himawari

Sumber: JMA (2014)

12

Gambar 1.3 Urutan waktu mengorbitnya satelit GMS, MTSAT, dan Himawari (JMA,

2014)

1.5.3 Citra TRMM 2A12

Menurut NASA (2013) TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)

merupakan satelit yang diluncurkan pada tahun 1997 sebagai bentuk kerjasama

antara Amerika dan Jepang guna memonitor kondisi presipitasi pada wilayah tropis

dan subtropis beserta pemanasan latennya. Cakupan wilayahnya mulai dari 38o LS

hingga 38o LU dengan sudut inklinasi 35o. Orbit tersebut menyediakan cakupan

yang luas pada wilayah tropis dan menjadikan setiap lokasi terekam pada waktu

lokal yang berbeda setiap harinya sehingga memungkinkan untuk melakukan

analisis presipitasi harian.

TRMM 2A12 menggunakan sensor TRMM Microwave Imager (TMI).

Kondisi objek hidrometeor yang terdiri atas air berwujud cairan pada awan,

presipitasi dalam wujud air, air berwujud es pada awan, presipitasi dalam bentuk

es, jenis hujan, dan kondisi pemanasan laten terekam melalui 28 lapisan dengan

resolusi spasial 5 km dan resolusi vertikal 0,5 km dari permukaan hingga 18 km,

13

beserta informasi mengenai geolokasi, waktu data tercatat oleh sistem, kualitas

data, jenis permukaan dan hujan terekam pada setiap pikselnya. Data disimpan

dalam format Hierarchical Data Format (HDF) yang didalamnya terdapat berkas

inti dan metadata. Ada 16 berkas TRMM 2A12 yang diproduksi setiap harinya

(NASA, 2013). Contoh header TRMM-2A12 dapat dilihat pada Lampiran 1.2.

1.5.4 Citra ASTER GDEM 2

Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer

(ASTER) Global Digital Elevation Model (GDEM) Versi 2 adalah citra

penginderaan jauh yang didistribusikan secara bersama-sama dari Ministry of

Economy, Trade, and Industry (METI) Earth Remote Sensing Data Analysis Center

(ERSDAC) di Jepang dan National Aeronautics and Space Administration (NASA)

Earth Observing System (EOS) Data Information System (EOSDIS) Land

Processes (LP) Distributed Active Archive Center (DAAC) di Amerika Serikat

pada pertengahan Oktober 2011. Data ASTER GDEM 2 didistribusikan secara

gratis sebagai bentuk kontribusi kepada sistem pengamatan bumi secara global

(METI dan NASA, 2011).

ASTER GDEM 2 meliput permukaan bumi di antara 83o LU dan 83o LS dan

terdiri atas 22.702 petak, yang masing-masing petaknya berukuran 1ox1o. ASTER

GDEM 2 didistribusikan dalam file berformat GeoTIFF (Georeferenced Tagged

Image File Format) dan menggunakan koordinat geografis (lintang dan bujur).

Resolusi spasialnya sebesar 1” atau setara dengan 30 m (pada ekuator) dan mengacu

pada referensi datum WGS (World Geodetic System) 1984 (METI dan NASA,

2011). Data ASTER GDEM 2 dapat diturunkan menjadi peta kemiringan lereng,

peta elevasi, dan peta arah hadap lereng. Spesifikasi lengkap ASTER GDEM 2

meliputi ukuran petak, ukuran piksel, sistem koordinat, cakupan area, dan lain-lain

dapat dilihat pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3 Spesifikasi ASTER GDEM 2 Ukuran Petak 3601 x 3601 piksel (1o x 1 o)

Ukuran Piksel 1 arc-second (± 30 m pada ekuator)

Sistem Koordinat Geografis (lintang dan bujur)

Format Output DEM a. GeoTIFF, signed 16-bit, satuan dalam meter b. Merujuk pada datum WGS84/EGM96 geoid

Nilai Digital Number Spesial -9999 untuk piksel kosong, and 0 untuk tubuh air

Cakupan Area 83o LU dan 83o LS

Sumber: METI dan NASA (2011)

14

1.5.5 Penginderaan Jauh Sistem Satelit untuk Estimasi Curah Hujan

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni dalam memperoleh informasi

mengenai objek, daerah, atau fenomena melalui piranti tanpa kontak langsung

dengan objek, daerah, atau yang fenomena yang menjadi kajian (Lillesand dkk.,

2004). Hal yang perlu diperhatikan dalam penginderaan jauh adalah adanya jendela

atmosfer yaitu bagian spektrum elektromagnetik yang tidak diserap oleh atmosfer.

Penginderaan jauh untuk estimasi curah hujan menggunakan wahana satelit telah

dikembangkan sejak tahun 1960 dengan tujuan untuk mendapat gambaran global

mengenai distribusi awan di permukaan bumi (Suseno, 2009).

Penginderaan jauh untuk estimasi curah hujan pada dasarnya berfokus pada

interaksi antara benda hidrometeor sebagai objek yang diindera, baik melalui data

mengenai pantulan dari radiasi matahari gelombang pendek, emisi gelombang

inframerah termal, maupun emisi dari gelombang mikro (Carleton, 1991 dalam

Suseno, 2009). Parameter yang dapat digunakan dalam estimasi curah hujan yaitu

SPA, albedo awan, total uap air yang dapat tercurahkan (Total Precipitable Water

Vapour/Total PWV), dan indeks stabilitas atmosfer (Widodo, 1998; Parwati dkk.,

2009; Suseno dan Yamada, 2013). Nilai SPA yang rendah berasosiasi dengan

semakin tebal awan dan semakin lebat hujan, sehingga SPA yang rendah akan

menghasilkan curah hujan yang tinggi (Kuligowski, 2003). Nilai korelasi curah

hujan estimasi dengan curah hujan dari alat penakar hujan dapat ditingkatkan

dengan menambah parameter lokasi spasial dan parameter yang berkaitan dengan

topografi (Yin dkk., 2004).

1.5.6 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem komputer untuk

menangkap, menyimpan, melakukan query, analisis, dan menampilkan data yang

memiliki referensi geografis (Chang, 2006). Data yang memiliki referensi geografis

atau data geospasial adalah data yang mendeskripsikan baik lokasi dan karakteristik

dari fitur keruangan seperti jalan, sebidang lahan, vegetasi, dan lain-lain yang ada

di permukaan bumi. Kemampuan SIG dalam menangani dan memproses data yang

memiliki referensi spasial adalah hal yang menjadi pembeda dengan sistem

informasi lainnya.

15

Murayama dan Estoque (2010) menyebutkan ada lima elemen dasar SIG,

yaitu manusia, data, hardware, software, dan prosedur/metode. Manusia

menetapkan dan mengembangkan metode yang akan digunakan melalui SIG. Data

dalam SIG adalah data yang merepresentasikan objek di permukaan bumi yang

terdiri atas data grafis dan atribut. Model data dapat berbentuk vektor, raster, dan

lain-lain. Hardware adalah perangkat keras yang digunakan dalam menunjang

kegiatan SIG, misalnya komputer dan scanner. Software adalah perangkat lunak

yang digunakan sehingga hardware dapat bekerja untuk melakukan kegiatan SIG.

Prosedur/metode yang digunakan dalam menangani data geospasial dapat

menentukan seberapa baik kualitas data yang dihasilkan.

Tools atau alat SIG yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya yaitu

buffering, statistik zona (zonal statistics), dan tabulasi area (tabulate area).

Buffering yaitu sebuah operasi dalam SIG yang menciptakan zona di sekitar fitur

yang telah ditentukan dan dengan jarak yang telah ditentukan pula (Chang, 2006).

Gambar 1.4 menunjukkan bahwa proses buffering dapat diterapkan pada data

berbentuk titik, garis, maupun area dan jaraknya pun dapat bervariasi.

Statistik zona dan tabulasi area merupakan bagian dari analisis zona (ESRI,

2011 dalam Murayama dan Estoque, 2011). Analisis zona itu sendiri yaitu

penciptaan data luaran (output) berupa data raster baru atau tabel statistik yang

dihasilkan dari komputasi nilai piksel masukan (input value raster) yang beririsan

atau masuk dalam suatu area himpunan zona masukan (input zone dataset) yang

dijadikan masukan. Data raster yang dapat digunakan sebagai nilai piksel masukan

yaitu data raster yang memiliki nilai yang dapat dianalisis secara visual dan statistik.

Adapun data yang dapat dijadikan sebagai area himpunan zona masukan yaitu data

raster berformat integer atau data vektor (Murayama dan Estoque, 2011). Ilustrasi

kerangka kerja analisis zona dapat dilihat pada Gambar 1.5.

16

Gambar 1.4 Buffering pada berbagai macam jenis data geospasial (ESRI, 2012)

Gambar 1.5 Kerangka kerja analisis zona (Murayama dan Estoque, 2011)

Prinsip kerja statistik zona yaitu menghitung nilai statistik (rata-rata,

minimum, maksimum, standar deviasi, dan lain-lain) pada masing-masing zona

masukan, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.6.

Gambar 1.6 Prinsip kerja statistik zona (ESRI, 2011 dalam Murayama dan Estoque, 2011)

17

Prinsip kerja tabulasi area yaitu menghitung luasan area pada masing-masing zona

masukan, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.7.

Gambar 1.7 Prinsip kerja tabulasi area (ESRI, 2011 dalam Murayama dan Estoque, 2011)

1.5.7 Regresi Linier Stepwise

Regresi linier stepwise adalah salah satu teknik regresi yang digunakan guna

menghasilkan suatu model regresi terbaik ketika peneliti hendak membuat model

regresi dari berbagai variabel independen yang jumlahnya lebih dari 1 dan tingkat

korelasinya secara parsial belum diketahui. Cara yang ditempuh yaitu menentukan

variabel-variabel independen terbaik untuk dimasukkan ke dalam model. Variabel

independen tersebut diseleksi berdasarkan tingkat korelasinya (Yamin dkk., 2011;

Qudratullah, 2013).

Dapat dikatakan regresi linier stepwise adalah gabungan antara metode

seleksi maju (forward selection) dan eliminasi mundur (backward elimination).

Variabel independen yang masuk pertama kali yaitu variabel yang memiliki tingkat

korelasi tertinggi dengan variabel dependen, dan seterusnya. Setelah variabel-

variabel tertentu masuk ke dalam model, maka variabel independen yang sudah ada

dalam model akan dievaluasi. Jika ada variabel yang tidak signifikan maka akan

dikeluarkan dari model (Yamin dkk., 2011; Qudratullah, 2013).

1.6 Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang estimasi curah hujan dengan menggunakan data

penginderaan jauh dan bidang relevan terkait telah dilakukan oleh beberapa peneliti

18

sebelumnya, diantaranya yaitu Widodo (1998), Yin dkk. (2004), Suseno (2009),

Parwati dkk. (2009), Mardiyanto (2010), Sekaranom (2011), Buana (2012),

Hanifuddin (2012), dan Suseno & Yamada (2013). Widodo (1998) telah melakukan

estimasi curah hujan di Kabupaten Bandung dan sekitarnya menggunakan citra

GMS (Geostationary Meteorological Satellite) pada tahun 1996 dan 1997 dengan

metode regresi berganda. Adapun variabel terikatnya yaitu data curah hujan (dari

alat penakar hujan) dan variabel bebasnya berupa SPA dan albedo. Adapun korelasi

antara SPA dan albedo dengan curah hujan sebesar 87,3%. SPA mempunyai

hubungan yang berbanding terbalik dengan curah hujan, sedangkan albedo

mempunyai hubungan yang berbanding lurus dengan curah hujan. Tetapi setelah

diuji akurasi, model yang paling baik yaitu model antara SPA dan curah hujan.

Yin dkk. (2004) melakukan penelitian estimasi curah hujan bulanan dan

musiman di dataran tinggi Tibet dengan data hujan selama 13 tahun (1987-1999)

dan citra SSM/I (Special Sensor Microwave/Imager) serta citra DEM dari Gtopo30.

Mereka membandingkan besarnya hubungan antara curah hujan pengamatan in situ

dengan data curah hujan dari SSM/I saja dan juga data curah hujan dari SSM/I

ditambah dengan variabel lokasi (koordinat geografis), topografi, dan arah hadap

lereng menggunakan metode regresi linier stepwise. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa koefisien determinasi (R2) rata-rata meningkat dari 0,334 menjadi 0,590

untuk estimasi bulanan dan meningkat dari 0,470 menjadi 0,675 untuk estimasi

musiman setelah variabel lokasi (koordinat geografis), topografi, dan arah hadap

lereng diikutsertakan dalam proses estimasi.

Penelitian mengenai estimasi curah hujan untuk studi mengenai

kebencanaan dilakukan oleh Suseno (2009) dan Mardiyanto (2010). Suseno (2009)

membandingkan tingkat akurasi estimasi curah hujan dari data MTSAT-TRMM

dan TMPA dibandingkan dengan data curah hujan in situ. Hasil yang didapat

menunjukkan bahwa akurasi keseluruhan MTSAT-TRMM dan TMPA terhadap

curah hujan in situ secara berturut-turut yaitu 59% dan 72%. Adapun Mardiyanto

(2010) meneliti perbandingan antara debit yang didapat dari analisis data AWLR

dibandingkan dengan debit hasil dari metode rasional dengan masukan data curah

hujan MTSAT-TRMM. Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan antara debit dari analisis data AWLR dibandingkan

19

dengan debit hasil dari metode rasional dengan masukan data curah hujan MTSAT-

TRMM.

Parwati dkk. (2009) meneliti tentang hubungan antara suhu kecerahan

MTSAT dengan curah hujan QMORPH di DAS Bengawan Solo pada bulan

Desember tahun 2007. Metode yang digunakan adalah analisis timeseries, analisis

regresi-korelasi, dan analisis marjinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat korelasi yang cukup kuat antara suhu kecerahan IR1 MTSAT dengan curah

hujan QMORPH, sebesar R > 80%, dengan koefisien determinasi R2 > 0,65. Dari

hasil analisis marjinal terhadap beberapa persamaan piksel-piksel MTSAT dengan

QMORPH, diperoleh persamaan antara suhu kecerahan MTSAT dengan curah

hujan QMORPH yang memiliki nilai R2 = 0,9837 dengan rumus:

CH QMORPH = 2 x 1025 x (IR1 MTSAT)-10,256..........(1)

Keterangan:

CH QMORPH = Nilai curah hujan data QMORPH (mm/jam)

IR1 MTSAT = Nilai suhu kecerahan citra MTSAT saluran IR1 (K)

Namun untuk meningkatkan akurasi, maka validasi data curah hujan dari

QMORPH perlu dilakukan perbandingan dengan data curah hujan lainnya dan

mempertimbangkan faktor topografi.

Sekaranom (2011) meneliti tentang dampak perubahan iklim terhadap curah

hujan dan debit puncak banjir di DAS Opak Hulu berdasarkan skenario HadCM3

A2 dan B2 menggunakan statistical downscaling model (SDSM). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa SDSM baik untuk memodelkan kondisi saat ini namun gagal

untuk memodelkan kondisi masa mendatang. Pada hujan kala ulang 5 tahunan,

debit puncak banjir pada outlet DAS Opak meningkat dari 175 m3/detik menjadi

201 m3/detik pada A2 dan 202 m3/detik pada B2. Pada hujan kala ulang 10 tahunan,

debit puncak meningkat dari 193 m3/detik menjadi 241 m3/detik pada A2 dan 238

m3/detik pada B2.

Hanifuddin (2012) melakukan penelitian tentang estimasi curah hujan

menggunakan citra MTSAT-1R dengan menggunakan persamaan yang dibangun

oleh Parwati dkk. (2009). Penelitiannya dilakukan di Provinsi Jawa Tengah pada

tahun 2010. Hasil estimasi secara kualitatif menunjukkan pola yang serupa namun

20

secara kuantitatif masih overestimate. Selain penelitian Widodo (1998), estimasi

curah hujan dengan data SPA dan albedo menggunakan metode regresi berganda

juga dilakukan oleh Buana (2012). Penelitian Buana (2012) menggunakan data citra

Terra-MODIS untuk melakukan estimasi curah hujan di Provinsi Jawa Tengah dari

tahun 2001 – 2011. Akurasi yang dihasilkan berkisar antara 48% - 78%. Hasil

estimasi yang memiliki akurasi kecil beberapa terdapat di wilayah dengan topografi

berbukit atau bergunung.

Penelitian tentang parameter yang dapat menunjang keakuratan estimasi

curah hujan dari citra satelit dilakukan oleh Suseno dan Yamada (2013). Suseno

dan Yamada (2013) melakukan penelitian tentang peran total uap air yang dapat

tercurahkan (Total Precipitable Water Vapour/Total PWV) dan indeks stabilitas

atmosfer dalam mempengaruhi nilai estimasi curah hujan menggunakan data citra

MTSAT. Proses validasi dilakukan menggunakan data curah hujan dari jaringan

stasiun hujan AMEDAS dan produk curah hujan dari TRMM 3B42. Penelitian

tersebut berfokus pada awan Cumulonimbus di Jepang dan sekitarnya pada Juni-

September 2010 dan 2011. Hasil validasi dengan data jaringan stasiun hujan

AMEDAS menunjukkan bahwa total uap air yang dapat tercurahkan dan indeks

stabilitas atmosfer memiliki kepekaan yang lebih pada hujan lebat dibandingkan

dengan estimasi curah hujan yang tidak mempertimbangkan dua hal tersebut. Hasil

validasi dengan data TRMM 3B42 juga menghasilkan nilai keakuratan yang lebih

tinggi apabila dua hal tersebut dilibatkan.

Penelitian yang dilakukan penulis merupakan lanjutan Suseno (2009) dan

Mardiyanto (2010) pada aspek perolehan data estimasi curah hujan menggunakan

data integrasi MTSAT dengan TRMM 2A12. Sebagai tambahan, dilakukan pula

penambahan variabel topografi berupa elevasi, kemiringan lereng, dan proporsi

arah hadap lereng yang diduga dapat meningkatkan keakuratan curah hujan

estimasi yang dihasilkan. Adapun metode yang digunakan yaitu regresi linier

stepwise seperti yang dilakukan oleh Yin dkk. (2004), namun dilakukan beberapa

modifikasi supaya sesuai dengan kondisi tempat penelitian yang dilakukan. Untuk

lebih jelas perbedaan dan persamaan antara penelitian yang dilakukan penulis

dengan penelitian sebelumnya, dapat dilihat pada Tabel 1.4.

21

Tabel 1.4 Daftar penelitian terkait sebelumnya

Penulis; Tahun; Judul; Jenis

Tujuan Metode Hasil

F. Heru Widodo; 1998; Pemanfaatan Data Satelit Cuaca GMS untuk Estimasi Curah Hujan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dan Sekitarnya; Tesis.

1. Mempelajari kemampuan satelit cuaca GMS untuk menyadap data albedo (ALB) dan SPA. 2. Mencari hubungan antara ALB dan SPA dengan curah hujan (CH) yang terjadi. 3. Membuat model matematis untuk estimasi besarnya CH wilayah menggunakan albedo dan SPA dari data satelit cuaca GMS.

1. Pengolahan citra digital. 2. Uji statistik korelasi dan regresi berganda. 3. Uji validasi secara statistik pada tanggal yang perekamannya berbeda.

1. Satelit cuaca GMS dapat menyadap data albedo dan suhu puncak awan dengan baik. 2. Korelasi antara SPA+Albedo+CH, SPA+CH, Albedo+CH secara berturut-turut yaitu 87,3%, 84,5%, dan 62,%. 3. Model matematis untuk variabel independen SPA dan Albedo yaitu Y = 99,496 – 0,376x1 + 19,881x2; untuk variabel independen SPA yaitu Y = 123,689 – 0,446x1; sedangkan untuk variabel independen albedo yaitu Y = -4,607 + 48,913x2. Hasil yang terbaik adalah model yang menggunakan variabel independen SPA saja.

Zhi-Yong Yin, Xiaodong Liu, Xueqin Zhang, dan Chih-Fang Chung; 2004; Using a Geographic Information System to Improve Special Sensor Microwave /Imager (SSM/I) Precipitation Estimates Over the Tibetan Plateau; Jurnal.

1. Mengkaji pengaruh variabel medan permukaan bumi dan lokasi terhadap peningkatan/penurunan korelasi hasil estimasi CH melalui SSM/I. 2. Mengkaji variabel yang dominan dalam mempengaruhi hasil estimasi CH SSM/I.

1. Statistik regresi stepwise. 2. Uji koefisien regresi secara parsial (uji-t).

1. Rata-rata nilai koefisien determinasi (R2) meningkat dari 0,334 menjadi 0,590 untuk estimasi bulanan dan meningkat dari 0,470 menjadi 0,675 untuk estimasi musiman setelah variabel medan permukaan bumi dan lokasi diikutsertakan dalam proses estimasi. 2. Variabel yang dominan dalam mempengaruhi hasil estimasi yaitu posisi lintang, bujur, dan proporsi lereng yang menghadap ke arah tenggara.

Dwi Prabowo Yuga Suseno; 2009; Geostationary Satellite Based Rainfall Estimation for Hazard Studies and Validation: A Case Study of Java Island, Indonesia; Tesis.

1. Menerapkan metode kombinasi untuk MTSAT dengan TRMM 2A12. 2. Membandingkan dan memvalidasi distribusi spasial nilai piksel hasil estimasi baik MTSAT maupun TRMM dengan data titik stasiun hujan. 3. Membandingkan dan memvalidasi secara temporal hasil estimasi CH dari data gabungan MTSAT dan TRMM dengan TMPA. 4. Membandingkan performa hasil estimasi MTSAT-TRMM dengan TMPA. 5. Mengetahui kemampuan

Regresi eksponensial, korelasi, agregasi spasial dan temporal.

1. Metode kombinasi MTSAT dengan TRMM 2A12 menghasilkan nilai korelasi yang tinggi apabila waktu perekaman keduanya memiliki selisih yang kecil. 2. Estimasi curah hujan dari MTSAT-TRMM dan TMPA secara umum dapat menunjukkan variasi spasial nilai curah hujan layaknya data dari stasiun hujan. 3. Akurasi estimasi keseluruhan dari MTSAT-TRMM dan TMPA secara berturut-turut sebesar 59% dan 72%. 4. Secara umum performa estimasi dari TMPA lebih baik dari MTSAT-TRMM. 5. Data MTSAT-TRMM dapat digunakan untuk mendeteksi efek orografis.

22

prediksi MTSAT-TRMM terhadap efek orografis.

Mardiyanto; 2010; Pemanfaatan Citra Satelit Orbit Geostationer (MTSAT) dan Orbit Polar (TRMM 2A12, Landsat ETM+) untuk Estimasi Curah Hujan dan Debit Puncak di DAS Garang, Semarang, Jawa Tengah; Tesis.

1. Memperoleh estimasi data curah hujan dari gabungan data suhu kecerahan awan bagian atas dari citra MTSAT dan awan berpotensi hujan dari citra TRMM secara spasial. 2. Memperoleh data variabel fisik lahan daerah aliran sungai untuk menentukan koefisien limpasan metode Cook dengan citra satelit Landsat ETM+. 3. Memperoleh debit puncak yang dihitung berdasarkan metode rasional (debit aktual) dengan masukan data intensitas curah hujan dari stasiun pengukuran dan debit puncak estimasi dengan masukan data intensitas hujan dari gabungan data MTSAT dan TRMM. 4. Menghitung ketepatan debit puncak metode rasional dan debit puncak estimasi dengan debit puncak dari analisis hidrograf data AWLR.

1. Regresi non linier eksponensial. 2. Interpretasi visual dan SIG. 3. Estimasi debit puncak metode rasional. 4. Uji ketepatan menggunakan metode statistik uji-t.

1. Data suhu kecerahan awan bagian atas dari citra MTSAT dengan data curah hujan dari citra TRMM dapat untuk mengestimasi curah hujan. Hubungan yang dihasilkan yaitu berbanding terbalik. 2. Interpretasi tutupan lahan dari citra Landsat ETM+ secara keseluruhan menghasilkan ketelitian sebesar 93,33%. 3. Estimasi debit puncak dari metode rasional dengan masukan data curah hujan dari stasiun pengukuran dan estimasi dari citra satelit (MTSAT dan TRMM) secara berturut-turut menghasilkan rata-rata sebesar 108,914 m3/s, 94,809 m3/s. 4. Hasil uji-t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai debit perhitungan metode rasional (debit aktual dan estimasi) dengan debit hasil analisis dari AWLR.

Andung Bayu Sekaranom; 2011; Pendugaan Dampak Perubahan Iklim Terhadap Curah Hujan dan Debit Puncak di DAS Opak Hulu Berdasar Downscaling Skenario HadCM3 A2 dan B2 Menggunakan Statistical Downscaling Model (SDSM); Skripsi.

1. Mengimplementasikan downscaling HadCM3 A2 dan B2. 2. Mengetahui kemungkinan dampak perubahan iklim terhadap CH. 3. Mengetahui kemungkinan dampak perubahan iklim terhadap perubahan debit puncak banjir berdasarkan HadCM3 A2 dan B2.

1. Analisis perubahan CH pada 2011-2040, 2041-2070, dan 2071-2099. 2. Analisis hujan rancangan kala ulang 5 tahunan dan 10 tahunan. 3. Analisis perubahan debit puncak banjir di DAS Opak Hulu menggunakan metode rasional modifikasi.

1. Pemodelan SDSM baik untuk memodelkan kondisi saat ini namun gagal untuk memodelkan kondisi masa mendatang. 2. Peningkatan CH bulanan dan tahunan berdasarkan SDSM cenderung overestimate akibat gagalnya dalam menentukan jumlah hari hujan yang semakin meningkat. 3. Pada hujan kala ulang 5 tahunan, debit puncak banjir pada outlet DAS Opak meningkat dari 175 m3/detik menjadi 201 m3/detik pada A2 dan 202 m3/detik pada B2. Pada hujan kala ulang 10 tahunan, debit puncak meningkat dari 193 m3/detik menjadi 241 m3/detik pada A2 dan 238 m3/detik pada B2.

Muhammad Hanifuddin; 2012; Pemanfaatan Citra MTSAT untuk

1. Menganalisis pola persebaran curah hujan (CH) di Provinsi Jawa Tengah menggunakan citra MTSAT

1. Perhitungan CH menggunakan rumus empiris

1. Pola persebaran CH pada musim penghujan yaitu tinggi di zona tengah dan berangsur-angsur menurun ke arah utara dan selatan. Saat musim

23

Analisis Pola Persebaran Curah Hujan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010; Skripsi.

tahun 2010. 2. Mengetahui akurasi curah hujan estimasi dibandingkan dengan curah hujan aktual.

SPA MTSAT dengan curah hujan QMORPH yang didapat Parwati dkk. (2009). 2. Analisis berdasarkan grafik CH hasil estimasi dengan CH aktual pada tahun 2010.

peralihan dan kemarau, CH tinggi di zona barat dan berangsur-angsur menurun ke arah timur. Pola persebaran curah hujan dipengaruhi oleh arah angin dan topografi. 2. Secara kualitatif, hasil estimasi menunjukkan pola yang serupa dengan CH aktual walaupun secara kuantitatif masih overestimate.

Fahrudin Indra Buana; 2012; Estimasi Curah Hujan Menggunakan Data Citra MODIS di Sebagian Daerah Jawa Tengah; Skripsi.

1. Estimasi curah hujan dengan analisis SPA dan albedo. 2. Mengetahui tingkat keakuratan data curah hujan yang disadap dari citra MODIS dengan data curah hujan acuan dari Dinas Pertanian.

1. Regresi berganda. 2. Kalkulasi keakuratan dengan rumus (Keakuratan = 100% - Kemencengan(%)).

1. Estimasi curah hujan cenderung underestimate. 2. Tingkat keakuratan antara 48% - 78%. Keakuratan yang bernilai relatif kecil sebagian besar pada wilayah yang bertopografi berbukit atau bergunung.

Dwi Prabowo Yuga Suseno dan Tomohito J. Yamada; 2013; The Role of GPS Precipitable Water Vapor and Atmophere Stability Index in the Statistically Based Rainfall Estimation Using MTSAT Data; Jurnal.

Mengkaji pengaruh peran total uap air yang dapat tercurahkan (Total Precipitable Water

Vapour/Total PWV) dan stabilitas atmosfer dalam mempengaruhi nilai estimasi curah hujan menggunakan data citra MTSAT yang selanjutnya divalidasi menggunakan data curah hujan dari jaringan stasiun hujan AMEDAS dan produk curah hujan dari TRMM 3B42.

1. Regresi bivariat dengan data stasiun hujan jaringan AMEDAS dan data hujan dari TRMM 3B42

Hasil validasi dengan data jaringan stasiun hujan AMEDAS menunjukkan bahwa total uap air yang dapat tercurahkan dan indeks stabilitas atmosfer memiliki kepekaan yang lebih pada hujan lebat dibandingkan dengan estimasi curah hujan yang tidak mempertimbangkan dua hal tersebut. Hasil validasi dengan data TRMM 3B42 juga menghasilkan nilai keakuratan yang lebih tinggi apabila dua faktor tersebut dilibatkan.

Hamim Zaky Hadibasyir; 2015; Pemanfaatan Citra MTSAT-2R, TRMM-2A12, dan ASTER GDEM-2 untuk Estimasi Curah Hujan di Jawa Bagian Tengah; Skripsi.

1.Mengetahui kemampuan citra MTSAT 2R dalam menyadap data SPA yang selanjutnya dikonversi menjadi data curah hujan dengan cara mengintegrasikan dengan citra TRMM 2A12.

2.Menurunkan variabel-variabel topografi guna menunjang proses estimasi curah hujan dari citra ASTER GDEM 2.

3.Mengetahui variabel topografi yang mempunyai pengaruh dominan dalam

1. Pembuatan peta curah hujan estimasi bulanan dan musiman melalui integrasi MTSAT 2R dan TRMM 2A12.

2. Pengolahan citra ASTER GDEM 2 menggunakan teknik analisis zona.

3. Pembuatan model estimasi CH bulanan dan

1. SPA dari MTSAT 2R dengan curah hujan dari TRMM 2A12 yang diregresikan secara non linear menggunakan model Maathuis (2012) menghasilkan hubungan yang berbanding terbalik. Adapun teknik agregasi nilai SPA sebesar 1 K dapat meningkatkan besarnya hubungan yang terjadi.

2. Teknik analisis zona mampu digunakan untuk menurunkan variabel topografi guna menunjang estimasi curah hujan.

3. Model estimasi dari regresi linier stepwise untuk bulan Desember, Januari, Februari, dan Musiman

24

menunjang proses estimasi curah hujan bulanan dan musiman.

4.Melakukan estimasi curah hujan bulanan dan musiman dengan variabel curah hujan turunan dari MTSAT-TRMM dan topografi (kemiringan lereng, elevasi, arah hadap lereng) menggunakan metode regresi linier stepwise.

5.Mengetahui distribusi curah hujan bulanan dan musiman di sebagian Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

musiman dengan variabel independen berupa CH estimasi MTSAT-TRMM dan variabel topografi (kemiringan lereng, elevasi, arah hadap lereng) serta variabel dependen berupa curah hujan dari stasiun hujan, menggunakan metode regresi linier stepwise,.

4. Penerapan model regresi untuk seluruh wilayah kajian dan melakukan uji akurasi terhadap data stasiun hujan secara bulanan dan musiman.

5. Analisis distribusi hujan bulanan dan musiman secara kualitatif.

menghasilkan nilai korelasi sebesar 0,057; 0,709; 0,440; 0,475; . Variabel yang digunakan untuk estimasi pada bulan Desember, Januari, Februari, dan Musiman secara berturut adalah CH MTSAT-TRMM; CH MTSAT-TRMM; CH MTSAT-TRMM , proporsi lereng selatan; CH MTSAT-TRMM.

4. RMSE rata-rata CH MTSAT-TRMM (tanpa regresi linier stepwise) untuk stasiun hujan yang digunakan untuk uji akurasi pada bulan Desember, Januari, Februari, dan Musiman secara berturut-turut sebesar 236 mm/bulan; 226 mm/bulan; 145 mm/bulan; dan 514 mm/musim sedangkan RMSE rata-rata CH estimasi hasil dari model regresi linier stepwise untuk stasiun hujan yang digunakan untuk uji akurasi pada bulan Desember, Januari, Februari, dan Musiman secara berturut-turut sebesar 125 mm/bulan; 130 mm/bulan; 131 mm/bulan; dan 400 mm/musim. Regresi linier stepwise yang dilakukan telah meningkatkan akurasi estimasi CH yang dihasilkan.

5. CH yang rendah banyak terdistribusi di bagian tenggara wilayah kajian, CH yang kelas sedang mendominasi wilayah kajian bagian selatan dan timur, sedangkan CH yang tinggi hingga sangat tinggi banyak terdapat di wilayah utara (seperti Batang, Kendal, Semarang, dan Demak) dan juga di bagian tengah wilayah penelitian yang notabenenya wilayah dengan relief berbukit hingga bergunung.

1.7 Kerangka Pemikiran

Data curah hujan adalah hal yang sangat dibutuhkan agar manajemen

pertanian, kebencanaan, dan pengelolaan tata ruang dapat dilakukan dengan baik

sehingga tercipta kehidupan yang ideal. Pemerintah melalui berbagai instansi telah

melakukan pengukuran curah hujan dengan cara memasang stasiun penakar hujan.

25

Namun ada beberapa kelemahan dalam proses pengukuran curah hujan dengan alat

penakar hujan, diantaranya yaitu terdapat alat penakar hujan yang rusak sehingga

menyebabkan data yang kosong, pengamatan secara manual oleh manusia

kadangkala menciptakan human error, sebarannya yang belum merata dan

menyeluruh.

Disisi lain, teknologi penginderaan jauh dan SIG telah berkembang pesat

sehingga memungkinkan untuk melakukan estimasi curah hujan dengan

mengintegrasikan kedua teknologi tersebut. Hal ini dapat dilakukan berkat

kemampuan penginderaan jauh dalam menyadap data mengenai kondisi permukaan

maupun dekat permukaan bumi yang berkaitan dengan proses dinamika hujan. Citra

MTSAT 2R dapat mengekstraksi data suhu puncak awan melalui saluran

inframerah termal dengan resolusi temporal yang tinggi dan citra TRMM 2A12

yang mampu mengekstraksi data tentang banyaknya curah hujan wilayah sehingga

integrasi keduanya bisa menghasilkan curah hujan estimasi dengan resolusi spasial

dan temporal yang lebih baik. Adapun citra ASTER GDEM 2 yang dapat

mengekstraksi data mengenai kondisi topografi di permukaan bumi seperti

kemiringan lereng, elevasi dan arah hadap lereng yang dapat dijadikan sebagai data

untuk mendukung dalam meningkatkan keakuratan curah hujan hasil estimasi.

Didukung dengan kemajuan teknologi SIG, proses integrasi berbagai data dan

analisis spasial memungkinkan dilakukan secara efektif dan efisien.

Penginderaan jauh dan SIG tersebut dapat dijadikan sebagai metode

alternatif dalam melakukan estimasi curah hujan secara near-realtime, efisien,

efektif, ekonomis, dan menjangkau cakupan wilayah yang luas. Hal ini mengingat

bahwa dengan menggunakan integrasi penginderaan jauh dan SIG maka fenomena

hujan yang notabenenya melibatkan kondisi dekat permukaan bumi (atmosfer)

maupun kondisi di permukaan bumi itu sendiri (kemiringan lereng, elevasi dan arah

hadap lereng) dapat diestimasi bahkan dikonversi hingga satuan mm/bulan,

mm/hari atau bahkan mm/jam.

Namun dalam proses estimasi curah hujan dengan berbagai variabel bebas

meliputi curah hujan estimasi MTSAT-TRMM, kemiringan lereng, elevasi dan arah

hadap lereng secara sekaligus, tidak semua variabel tersebut mempunyai tingkat

26

signifikansi yang layak untuk diterapkan dalam model statistik pada kondisi waktu

tertentu. Misalnya, di Pulau Jawa pada musim penghujan angin bertiup dari barat

laut sehingga wilayah dengan topografi bergunung yang lerengnya menghadap ke

barat laut diperkirakan akan mempunyai tingkat signifikansi yang tinggi karena ia

mengindikasikan wilayah dengan curah hujan tinggi sebagai akibat dari efek

orografis dan angin monsun, sedangkan wilayah bergunung dengan arah hadap

lereng ke timur laut dan ke timur diperkirakan kurang mempunyai signifikansi yang

layak dalam model statistik mengingat kurangnya korelasi dengan besarnya curah

hujan yang turun pada wilayah tersebut.

Untuk menanggulangi masalah tersebut, perlu dilakukan estimasi curah

hujan dengan metode regresi linier stepwise. Metode regresi linier stepwise

mempunyai kelebihan dibanding regresi bivariat maupun regresi linier berganda.

Keunggulannya terletak pada kemampuannya dalam menyeleksi variabel-variabel

yang mempunyai tingkat signifikansi memadai sehingga model regresi yang

dihasilkan adalah model regresi terbaik. Namun, proses estimasi curah hujan

menggunakan integrasi penginderaan jauh dan SIG melalui metode regresi linier

stepwise perlu dievaluasi kemampuannya dengan cara menguji akurasinya dengan

dibandingkan dengan data curah hujan dari data stasiun hujan yang tanggal

kejadiannya sama. Dengan mengetahui akurasinya, maka dapat diketahui apakah

metode yang digunakan baik digunakan untuk diterapkan di suatu wilayah dan

waktu tertentu atau tidak. Curah hujan hasil estimasi tersebut nantinya digunakan

untuk mengkaji distribusi hujan yang terjadi pada periode bulanan dan musiman.

Diagram kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.8.

27

Gambar 1.8 Diagram kerangka pemikiran

28

1.8 Batasan Operasional

Adapun batasan operasional dalam penelitian ini, diantaranya yaitu:

a. Suhu puncak awan, yaitu suhu pada puncak awan (Widodo, 1998).

b. Kemiringan lereng, yaitu besarnya kemiringan yang didapat dari perbandingan

jarak vertikal dengan jarak horisontal. Dalam penelitian ini satuannya

dinyatakan dalam persen dan derajat.

c. Elevasi, yaitu ketinggian permukaan bumi dari permukaan air laut rata-rata.

Dalam penelitian ini satuannya dinyatakan dalam mdpal (meter di atas

permukaan air laut).

d. Arah hadap lereng, yaitu arah suatu lereng menghadap yang terdiri atas arah

utara (0o - 22,5o atau 337,5o - 360o), timur laut (22,5o - 67,5o), timur (67,5o -

112,5o), tenggara (112,5o -157,5o), selatan (157,5o - 202,5o), barat daya (202,5o

- 247,5o), barat (247,5o -292,5o), barat laut (292,5o - 337,5o). Lereng yang datar

akan menjadi kelas tersendiri.

e. Regresi linier stepwise, yaitu salah satu teknik regresi yang digunakan guna

menghasilkan suatu model regresi terbaik ketika peneliti hendak membuat

model regresi dari berbagai variabel independen yang jumlahnya lebih dari 1 dan

tingkat korelasinya secara parsial belum diketahui (Yamin dkk., 2011;

Qudratullah, 2013).

f. Stasiun hujan, yaitu stasiun dimana terdapat alat penakar hujan yang dijadikan

data pembanding terhadap data curah hujan estimasi. Beberapa instansi

pemerintah seperti BMKG, Kementrian PU, dan Dinas PSDA (Pengelolaan

Sumber Daya Air) sudah memasangnya di berbagai tempat.

g. Awan yang berpotensi menimbulkan hujan yaitu awan jenis Cumulonimbus dan

Nimbostratus.