BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4...

60
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Di wilayah Papua dan Papua Barat terdapat beberapa daerah yang dianggap sebagai daerah yang damai, sebab situasi sosial-politik dan keamanannya cenderung stabil dan kondisi perekonomiannya juga terjaga dengan baik. Daerah-daerah yang dimaksud antara lain, Kaimana, Bintuni, Raja Ampat dan Fakfak yang tersebar di sekitar wilayah “Kepala Burung” pulau Papua, yang sering dilambangkan seperti seekor Burung Kasuari raksasa yang sedang duduk 1 . Di daerah-daerah itu jarang terjadi konflik dan kekerasan, sebagaimana sering digambarkan dalam berbagai studi tentang Papua (LIPI, 2009, CSIS, 2011). Isu-isu sensitif seperti Papua Merdekayang menimbulkan demonstrasi dan mobilisasi massa, tidak serta merta menimbulkan kekerasan di masyarakat. Fenomena yang terjadi justru sebaliknya, yakni situasi damai dan harmonis seperti yang dapat kita jumpai di wilayah Fakfak. Secara umum kondisi keamanan di Fakfak cukup stabil dan jarang terjadi konflik dan kekerasan. Hubungan antar masyarakat berlangsung dengan dengan baik dan harmonis, meskipun banyak kelompok etnis dan agama yang menetap di Fakfak. Fakfak menjadi salah satu contoh penting tentang potensi “Papua damai” di masa depan. 2 1 Kajian Tim Universitas Papua dan UNDP-Papua Capacity Needs Assessment, tetang Kapasistas Pemerintah Daerah di Delapan Kabupaten terpilih di Papua, menunjukkan bahwa daerah- daerah yang kondisi keamanannya terjaga dengan baik, kondisi perekonomiannya cenderung tumbuh dengan baik dan stabil (Tim Unipa, 2005). 2 Para pemimpin agama di Papua pernah mendeklarasikan “Papua Tanah Damai” pada tanggal 5 Februari 2003. Menurut para pemimpin agama di Papua, damai dipahami sebagai

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.

Di wilayah Papua dan Papua Barat terdapat beberapa daerah yang dianggap

sebagai daerah yang damai, sebab situasi sosial-politik dan keamanannya cenderung

stabil dan kondisi perekonomiannya juga terjaga dengan baik. Daerah-daerah yang

dimaksud antara lain, Kaimana, Bintuni, Raja Ampat dan Fakfak yang tersebar di

sekitar wilayah “Kepala Burung” pulau Papua, yang sering dilambangkan seperti

seekor Burung Kasuari raksasa yang sedang duduk1. Di daerah-daerah itu jarang

terjadi konflik dan kekerasan, sebagaimana sering digambarkan dalam berbagai studi

tentang Papua (LIPI, 2009, CSIS, 2011). Isu-isu sensitif seperti “Papua Merdeka”

yang menimbulkan demonstrasi dan mobilisasi massa, tidak serta merta menimbulkan

kekerasan di masyarakat. Fenomena yang terjadi justru sebaliknya, yakni situasi

damai dan harmonis seperti yang dapat kita jumpai di wilayah Fakfak. Secara umum

kondisi keamanan di Fakfak cukup stabil dan jarang terjadi konflik dan kekerasan.

Hubungan antar masyarakat berlangsung dengan dengan baik dan harmonis,

meskipun banyak kelompok etnis dan agama yang menetap di Fakfak. Fakfak

menjadi salah satu contoh penting tentang potensi “Papua damai” di masa depan.2

1 Kajian Tim Universitas Papua dan UNDP-Papua Capacity Needs Assessment, tetang

Kapasistas Pemerintah Daerah di Delapan Kabupaten terpilih di Papua, menunjukkan bahwa daerah-

daerah yang kondisi keamanannya terjaga dengan baik, kondisi perekonomiannya cenderung tumbuh

dengan baik dan stabil (Tim Unipa, 2005). 2 Para pemimpin agama di Papua pernah mendeklarasikan “Papua Tanah Damai” pada

tanggal 5 Februari 2003. Menurut para pemimpin agama di Papua, damai dipahami sebagai

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

2

Beberapa catatan menunjukkan bahwa sejak tahun 1998 hingga 2011, hanya

terjadi 2 kali peristiwa kekerasan dengan skala yang cukup besar di Fakfak, baik dari

segi jumlah korban jiwa dan masa yang terlibat, maupun dampak sosial politik yang

ditimbulkan. “Pertama”, pada tahun 1999 ketika terjadi mobilisasi massa dan

demonstrasi besar-besaran di Fakfak oleh kelompok yang mendukung gerakan

kemerdekaan Papua (pro-M) dan mereka yang menyebut diri sebagai Barisan Merah

Putih (BMP) dan mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Peristiwa tersebut selain memicu ketegangan antara kelompok masyarakat juga

memiliki implikasi sosial politik. Catatan Neles Tebay (2009:110), menunjukkan

bahwa ada 45 orang yang ditahan aparat keamanan Fakfak dalam aksi bentrokan

tersebut. “Kedua”, pada tahun 2003, ketika terjadi pertikaian antara masyarakat

pendatang dari Seram-Maluku dan Masyarakat Ayamaru yang berasal dari wilayah

Sorong. Dalam peristiwa tersebut beberapa orang menjadi korban dan memicu

ketegangan sosial antara warga masyarakat (Wihel, 2011). Namun konflik dan

demonstrasi yang dilaporkan tersebut dapat diselesaikan dalam waktu singkat dengan

pendekatan-pendekatan kultural sehingga tidak berkembang menjadi konflik sosial

yang luas dan berkepanjangan.

Secara tradisional masyarakat Fakfak menganut nilai-nilai lokal yang

menghidupkan perdamaian dalam masyarakat. Kearifan lokal di Fakfak terbentuk

dari proses akulturasi agama dan budaya yang telah berlangsung dalam waktu yang

menguatnya nilai-nilai dasar, seperti hilangnya kekerasan, penghormatan pada perbedaan, tegaknya

persatuan dan keadilan, serta terbentuknya harmoni dan solidaritas sosial di antara warga masyarakat

(Tebay, 2009:40-41).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

3

cukup lama. Salah satu yang terpenting adalah filosofi satu tungku tiga batu yang

merekatkan berbagai kelompok sosial di Fakfak. Satu tungku tiga batu adalah

penggambaran persaudaraan kultural tentang hubungan persaudaraan antara tiga

agama besar di wilayah Fakfak; Islam, Kristen dan Katolik (Iribaram, 2011).

Semangat satu tungku tiga batu dipraktikkan bukan hanya dalam konteks hubungan

antar umat beragama, namun juga dalam membangun hubungan sosial antar

masyarakat yang berbeda etnis dan budaya. Kearifan lokal tersebut juga mewarnai

hubungan antar masyarakat asli Fakfak dan masyarakat pendatang. Bahkan secara

luas diakomodasi kedalam sistem politik lokal, dimana konfigurasi kepemimpinan

lokal seperti Bupati, Wakil Bupati dan Sekretaris Daerah dijabat oleh tokoh politik

dan birokrat yang berbeda agama. Pada tingkat tertentu, spirit satu tungku tiga batu

telah menjadi nilai identitas kolektif yang membentuk masyarakat Fakfak sebagai

masyarakat yang toleran dan saling menghormati.

Selain faktor budaya, faktor sejarah juga memiliki pengaruh yang cukup

penting dalam membentuk jati diri masyarakat Fakfak. Masyarakat di wilayah ini

merupakan komunitas lokal di Papua yang paling awal berinteraksi dengan berbagai

kelompok etnis dan kebudayaan di nusantara. Menurut catatan sejarah, sejak Abad

ke 15, Jazirah Onin di Fakfak merupakan wilayah yang sudah sering dikunjungi oleh

para pelaut dan pedagang dari berbagai negara dan bangsa. Kegiatan perdagangan

semakin ramai dan intensif ketika Kerajaan Tidore dari Maluku Utara melakukan

ekspansi di wilayah ini (Putuhena 2006, Musaad 2007). Hal ini mempertegas fakta

bahwa persinggungan budaya yang terjalin lama, telah membentuk watak

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

4

keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa

bertemu dan berinteraksi dengan orang lain dengan budaya yang berbeda-beda. Oleh

sebab itu upaya untuk tetap menjaga harmoni dan perdamaian di Wilayah Fakfak,

diyakini sebagai bagian dari kesadaran sejarah dan karakter budaya yang telah

terbentuk sejak lama.

Saat ini kota kecil Fakfak yang menjadi pusat kegiatan ekonomi, sosial,

budaya dan politik di bagian Selatan Papua Barat, merupakan kota yang dinilai

toleran terhadap berbagai perbedaan. Wilayah ini seakan menjandi penanda wajah

lain dari Papua yang jamak diketahui sebagai wilayah penuh konflik dan kekerasan.

Masyarakat pendatang yang sering menjadi sasaran kekerasan di tempat lain di

Papua, dapat menjalankan aktifitas dengan aman di Fakfak. Demikian halnya dengan

masyarakat lokal (asli Papua) juga tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis yang

mengintimidasi kelompok lain. Meskipun pada beberapa momentum terakhir, terjadi

demonstrasi dari eksponen Pemuda Papua yang menuntut pengakuan terhadap hak-

hak orang Papua bahkan juga kemerdekaan Papua, namun aksi-aksi tersebut tidak

menimbulkan kekerasan. Menurut Cristian Warta (2010), saat ini Fakfak yang dihuni

71.069 jiwa dan tiga agama besar serta 14 etnis dari berbagai daerah, merupakan

wilayah yang telah dikenal secara luas sebagai daerah yang aman dan menjadi contoh

yang terus menerus ditekankan tentang bagaimana sebagian wilayah di Papua dapat

menciptakan perdamaian di tengah berbagai perbedaan. Suatu fakta yang selama ini

belum banyak diketahui publik dan diungkap melalui studi akademis.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

5

Sejauh ini studi tentang perdamaian di Papua masih dianggap sebagai sesuatu

yang tidak menarik dan “kurang seksi”, karena keluar dari opini dominan yang telah

menempatkan Papua sebagai salah satu wilayah konflik yang paling panas di

Indonesia. Para peneliti ilmu sosial dan dunia akademik seakan terjebak pada

diskursus konflik yang cenderung hegemonic itu. Berbagai penelitian tentang Papua

lebih banyak menyoroti dinamika konflik dan kekerasan, dibandingkan mempelajari

secara mendalam kondisi yang spesifik dari masing-masing daerah di Papua. Isu

Papua sering digeneralisasi secara berlebihan bahwa masyarakat Papua adalah

masyarakat yang sulit untuk diajak berdamai karena mereka menghendaki

disintegrasi dan senang berkonflik, sebagamana ritual perang suku yang sering

divisualisasi di media secara tidak kritis dan berimbang. Masyarakat Papua masih

dilihat sebagai objek yang diam atau tidak punya prakarsa untuk menggagas

perdamaian. Rentetan konflik politik, sosial dan ekonomi yang memanjang sejak

integrasi Papua dengan Indonesia, dikonstruksi sebagai narasi dominan yang

memperlihatkan kesulitan untuk membangun perdamaian Papua berdasarkan inisiatif

lokal. Padahal masyarakat Papua pada dasarnya memiliki kekuatan dari dalam untuk

mengelola konflik sosial dan kekerasan dengan cara-cara local, yang kemudian

terbukti sukses mengendalikan konflik dan kekerasan sebagaimana yang terjadi di

wilayah Fakfak.

Situasi damai di Fakfak dan sekitarnya menunjukkan bahwa terdapat

dinamika konflik dan integrasi yang terjadi secara berbeda pada setiap wilayah di

Papua. Pada kasus Fakfak, integrasi sosial dapat berjalan dengan baik karena ada

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

6

berbagai faktor yang mendukungnya. Integrasi di bangun secara kultural di atas

kesadaran dan inisiatif lokal, sehingga memiliki makna dan kekuatan dari dalam

untuk merawat berbagai keragaman, baik agama, budaya, maupun perbedaan

kepentingan ekonomi dan politik. Hal ini berbeda dengan konsepsi integrasi sosial

yang dipahami dan dipraktikkan selama kurun waktu kekuasaan Orde Baru (1971-

1998). Keragaman di dalam masyarakat selalu dipersepsikan sebagai sumber koflik

yang mesti ditangani dengan cara-cara yang hegemonic. Pendekatan ini menganggap

masyarakat yang beranekaragam, senantiasa berada dalam proses perubahan yang

ditandai dengan konflik dan pertentangan terus menerus di antara unsur-unsurnya,

dan setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Tertib sosial

(social order) hanya bisa tercipta melalui tekanan kekuasaan, hukum yang tegas serta

peran-peran keamanan dari aparatur negara. Integrasi sosial versi rezim Orde Baru

adalah tersatukannya Indonesia baik secara kewilayahan, politik, ekonomi, social

maupun budaya. Sebuah identitas nasional tunggal pun diberlakukan untuk mencapai

integrasi itu, dan secara tidak langsung keragaman pun disederhanakan.

Misalnya dalam bidang politik, dua partai politik, yakni Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya

(Golkar), telah dianggap cukup untuk mewakili keberagaman aspirasi politik warga

Negara. Sedangkan dalam bidang sosial keagaman juga terjadi penyederhanaan,

ribuan kepercayaan lokal dikelompokkan menjadi penghayat kepercayaan atau

dipaksa masuk dalam lima agama yang menjadi agama resmi Negara (Hasse J, 2012).

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

7

Dalam pandangan rezim Orde Baru, identitas yang tunggal adalah jaminan stabilitas

politik dan kekuasaan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung integrasi nasional.

Dalam pentas sejarah Indonesia, pemahaman otoritarian seperti ini terbukti

ikut bertanggung jawab pada suatu struktur damai yang negativ, yang dalam jangka

panjang –di penghujung era Orde Baru- berhasil menggoyang sendi-sendi persatuan

bangsa Indonesia. Pendekatan integrasi berbasis identitas yang diseragamkan

(tunggal), membantu melahirkan perasaan keterikatan dan bahkan ketertiban dan

perdamaian. Tetapi jelas keterikatan ini tidak melahirkan toleransi pada perbedaan,

kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan dan kerjasama yang melintasi batas-batas

identitas primordial (Rita Pranawati (ed), 2011:14). Bahkan pada akhirnya meledak

menjadi konflik antar kelompok sosial yang terjadi di berbagai tempat. Misalnya

konflik yang terjadi di Ambon, Poso, Sambas, Sampit dan beberapa daerah lainnya.

Jacques Betrands (2004), menyebut fenomena ini sebagai bukti paradox Orde Baru,

yaitu berusaha menerapkan integrasi social dalam kehidupan masyarakat, namun

mengingkari fakta tentang keragaman yang justru ingin dibelanya.

Model integrasi sosial yang dipaksakan melalui berbagai instrument

kekuasaan, tentu menafikkan kemungkinan adanya nilai-nilai tertentu yang mampu

mendorong masyarakat untuk mengelola perbedaan dengan cara-cara yang tepat,

sehingga melahirkan integrasi dan harmoni sosial yang otentik dalam masyarakat.

Dalam banyak kasus, masyarakat di berbagai daerah berhasil membangun dan

menciptakan harmoni sosial melalui mekanisme kultural yang dibangun di atas

norma-norma, nilai-nilai dan moralitas budaya yang mengikat mereka dalam

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

8

keseimbangan sosial. Sebut saja misalnya tradisi Bela Baja di Pantar Nusa Tenggara

Timur yang menjadi pengikat persaudaraan antara umat Islam dan Kristen, atau

tradisi Pela Gandong di Maluku Tengah yang membantu proses penyelesaikan

konflik di Maluku. Demikian juga tradisi Satu Tungku Tiga Batu di Fakfak Papua

Barat. Namun berbagai kearifan lokal tersebut masih dipandang sebelah mata, karena

dianggap tidak cukup kuat dan teruji untuk menyelesaikan konflik. Cara pandang

seperti ini menyebabkan pemerintah cenderung mengabaikan cara-cara lokal dalam

penyelesaian konflik. Selain itu, berbagai kearifan lokal tersebut akhirnya harus

tergerus oleh modernisasi sistem politik dan sikap represif kekuasaan yang lebih suka

menggunakan pemaksaan dalam menyelesaikan konflik.

Padahal kecenderungan tentang adanya kemampuan lokal atau cara-cara “dari

dalam” untuk memecahkan persoalan keragaman sangat dibutuhkan dalam konteks

kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk. Kecenderungan ini menurut

Irwan Abdullah (2008:6) memperlihatkan dua hal penting. “Pertama”, peneliti dan

dunia akademik belum berhasil memetakan kemampuan masyarakat dalam

mengantisipasi konflik yang dalam banyak catatan etnografis menunjukkan bahwa

penduduk suku-suku di berbagai tempat dengan penuh kesadaran menumbuhkan

sensifitas mereka dalam mengidentifikasi bahaya yang mengancam. “Kedua”, banyak

yang belum mengetahui tentang cara-cara yang dikembangkan dalam menyelesaikan

konflik di berbagai tempat, walaupun hal ini memperlihatkan kemandirian

masyarakat (lokal) di dalam memecahkan konflik. Ketiadaan kesadaran semacam ini

tentu menjauhkan publik dari usaha-usaha pemecahan konflik yang bersifat subtansial

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

9

dan mandiri. Kritik Irwan Abdullah, sangat relevan untuk mencermati berbagai upaya

penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah konflik, termasuk

di wilayah Papua selama beberapa tahun terakhir. Secara faktual pemerintah sering

terjebak pada mekanisme kekuasaan (top down), sehingga cenderung menafikkan

pola-pola kultural. Padahal konflik yang terjadi Papua memiliki dinamika yang

sangat kompleks dan panjang sehingga membutuhkan penyelesaian yang

komprehensif, baik secara politik kekuasaan (top down) maupun melalui mekanisme

kebudayaan (botton up).

Hal ini misalnya dapat diamati secara jelas dalam proses penanganan

masalah-masalah di Papua yang berlangsung selama ini. Pemerintah cenderung

mengedepankan proses politik dan kekuasaan. Padahal konflik Papua merupakan

jenis konflik yang telah berkembang dengan dinamika yang sangat kompleks. Dalam

sejumlah penelitian dan tulisan yang membahas tentang konflik Papua, seperti

penelitian Tim LIPI (2009) menyebut empat penyebab konflik di Papua. “Pertama”,

konflik di Papua berkaitan dengan sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan

identitas politik orang Papua. Ada perbedaan tajam tentang konstruksi identitas Papua

yang sepesifik dan diklaim telah hadir sebagai bangsa yang bebas sejak era kolonial

Belanda. Sebagaimana pendapat Chauvel (2005) bahwa ke-Papuaan merupakan

identitas politik yang dibentuk oleh pengalaman pada masa kolonial dan dikonstruksi

sebagai anti-thesis dari ke-Indonesiaan. Hal ini melahirkan “nasionalisme Papua”

yang dibentuk oleh akumulasi kekecewaan sejarah, diksriminasi politik selama masa

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

10

intrgerasi dengan Indonesia, pembangunan ekonomi yang tidak adil hingga proses

migrasi yang melahirkan perasaan marginalisasi di kalangan orang Papua.

“Kedua”, konflik Papua direproduksi oleh kekerasan politik dan pelanggaran

HAM yang terjadi secara sitematis selama kurun waktu kekuasaan Orde Baru. Rezim

Orde Baru menggunakan kekuatan represif untuk membungkam para pengkritik

negara, dan menangkap para aktor-aktor utama. Sedangkan kekuatan separatis

bersenjata seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) dihadapi dengan kekuatan

militer yang menimbulkan korban jiwa dan kekerasan sosial yang luas. Kekerasan

politik adalah pengalaman obyektif yang dialami orang Papua sebagai akibat dari

strategi utama Pemerintah Pusat untuk memerangi OPM pada saat itu. Publikasi

penelitian LIPI yang dipimpin Muridan S. Widjoyo (2005), mengidentifikasi

kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua secara lebih detail dalam beberapa bentuk:

(1) kekerasan terhadap individu, (2) kekerasan terhadap masyarakat pada suatu

daerah, (3) kekerasan psikologis, (4) kegiatan bisnis yang berpeluang melanggar

HAM, (5) kekerasan struktural yakni kebijakan Negara yang berpeluang melanggar

HAM. Hingga saat ini aspirasi rakyat Papua agar kekerasan politik dan pelanggaran

HAM selama masa kekausaan Orde Baru dibuka kembali untuk diadili, tampaknya

belum membuahkan hasil karena negara masih sangan dominan.

“Ketiga”, konflik Papua juga merupakan cermin yang terang dari kegagalan

pembangunan di Papua, dimana terjadi disparitas pembangunan Papua dengan

daerah-daerah lainnya di Indonesia. Pemberian Otonomi Khusus untuk Papua pada

tahun 2001, yang diikuti dengan pemberian sejumlah kewenangan politik dan budaya

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

11

serta alokasi dana Otsus yang bernilai Triliunan Rupiah, sejauh ini belum

menyelesaikan masalah. Bahkan secara kuantitatif justru meningkatkan angka

kemiskinan dan kesenjangan sosial di sebagaian besar wilayah Papua. Mayoritas

orang Papua masih hidup dalam jerat kemiskinan yang ekstrim. Data BPS tahun 2011

menunjukkan fakta bahwa angka kemiskinan di Papua dan Papua Barat adalah yang

tertinggi di Indonesia atau mencapai 38,8 % untuk Papua dan 34,68% untuk Papua

Barat. Sementara itu mayoritas penduduk Papua yang mendiami desa dan pedalaman

adalah penduduk miskin, mereka terpinggirkan dari proses pembangunan3. Suatu

kondisi yang sangat ironis karena mereka hidup di sebuah wilayah yang memiliki

kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Sementara itu mereka menyaksikan

masyarakat pendatang memiliki status sosial-ekonomi yang lebih baik dan menguasai

sumber daya ekonomi sehingga menimbulkan kecemburuan orang Papua (Heru

Nugroho, dkk., 2006:16-17). Konflik-konflik berskala lokal yang berkaitan

pengusiran kelompok pendatang, perebutan tanah ulayat, pembakaran pasar dan

lainnya, memperlihatkan upaya orang Papua untuk menunjukkan kekuasaan dan

kepemilikan mereka terhadap sumber daya ekonomi di Papua.

“Keempat”, konflik di Papua juga disebabkan oleh diksriminasi dan

marjinalisasi yang dialami orang-orang Papua dalam kurun waktu yang cukup lama.

3 Laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (P2K), tahun 2011. Data yang sama

juga dapat diakses pada Data BPS Tahun 2011; Jumlah dan Presentasi Penduduk Miskin, Garis

Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut

provinsi, 2011, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1+id_subyek=23&notab=4

(diakses 5 Desember 2011)

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

12

Kebanyakan orang Papua sering memperoleh stigma-stigma yang negatif;

merendahkan dan diskriminatif. Mereka di-sterotipe sebagai masyarakat yang bodoh,

terbelakang, barbar dan sulit diajak berdialog. Kondisi ini menjadikan kebanyakan

orang Papua dilihat sebagai others, yakni sebagai entitas yang berbeda dari

kebanyakan suku bangsa di Indonesia (Nugroho, 2006). Sebagai bangsa Melanesia,

orang Papua memiliki identitas kultural yang spesifik, yakni berambut kriting dan

berkulit hitam legam. Hal ini mengakibatkan orang Papua melihat etnis lainnya yang

mendatangi Papua sebagai kelompok luar (out group) yang mencoba menguasai

Papua. Perasaan seperti ini sering melahirkan konflik dan ketegangan etnis antara

orang Papua dan masyarakat pendatang.

Pada beberapa waktu terakhir, eskalasi konflik di Papua juga merambat ke

soal-soal keagamaan, sebagaimana tergambarkan dalam sejumlah hasil penelitian.

Laporan International Crisis Group (ICG) tahun 2008, atau studi Cahyo Pamungkas

(2008) dan hasil penelitian Idrus Alhamid (2014), menyebutkan bahwa potensi

konflik yang disebabkan oleh sentimen keagamaan cenderung semakin meningkat di

Papua. Munculnya beberapa kelompok keagamaaan baru baik dikalangan Islam

seperti Hizbut Tahrir Indonesia dan Gerakan Salafi, dan dikalangan Kristen seperti

kelompok Pantekosta dan Gereja Charismatic telah memicu ketegangan baru dalam

hubungan antar agama di Papua. Hal ini terlihat pada aksi-aksi penolakan

pembangunan Masjid Raya di Manokwari, penolakan pendirian Sekolah Tinggi

Agama Islam Negeri (STAIN) di Jayapura. Orang Papua yang mayoritas beragama

Kristen, menganggap para pendatang yang beragama Islam sedang berusaha

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

13

menaklukkan Papua dengan melakukan praktek Islamisasi. Dalam konteks ini

Islamisasi sering dilihat sebagai perwujudan politik dari apa yang disebut “Proyek

Indonesianisasi”, sehingga sering mendapatkan perlawanan. Usaha untuk

mewujudkan Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat sebagai Kota Injil,

menunjukkan resistensi terhadap isu islamisasi yang semakin sensitif (Warta, 2010).

Saat ini orang Papua semakin meningkatkan kekuatan politik kebudayaannya

dengan memanfaatkan kewenangan Undang-undang Otsus Tahun 2001, yang

membatasi jabatan-jabatan politik seperti Gubernur, Walikota dan Bupati sebagai hak

prevelege orang asli Papua (Ginuni, 2008:5). Di sisi lain, gejala etnosentrisme ini

melahirkan kecemasan bagi sebagian masyarakat pendatang karena dianggap dapat

melahirkan sikap primordialisme sempit yang dapat memicu konflik sosial di tengah

masyarakat Papua (Levaan, 2012). Hal ini tampak pada beberapa momentum Pilkada

di Papua Barat, dimana sejumlah tokoh yang mencalonkan diri sebagai Wakil

Gubernur, Wakil Walikota atau Wakil Bupati digugat identitas ke-Papuan-nya,

meskipun ayah atau ibu mereka dan mereka sendiri merupakan generasi yang lahir

dan dibesarkan di Papua.

Bagi sebagian kalangan, konflik di Papua yang berlarut-larut juga merupakan

alat komodifikasi politik dan bisnis yang melibatkan berbagai aktor, baik dari dalam

maupun luar negari. Perhatian dunia internasional dan negara-negara yang memiliki

investasi ekonomi di Papua, juga dicurigai sebagai niat baik untuk menyelesaikan

konflik Papua. Karena dalam prakteknya perhatian sejumlah negara barat seperti

Amerika Serikat, Inggris dan Australia justru berkaitan erat dengan praktek ekonomi

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

14

politik yang diterapkan untuk melanggengkan investasi dan penguasaan atas berbagai

sumberdaya ekonomi yang melimpah di Papua (Lina Yulianti, Kompas, 23 Juni

2012).

Penggambaran tentang perkembangan konflik Papua di atas menunjukkan

bahwa konflik Papua secara faktual tampak bersifat vertikal, yakni antara Pemerintah

Pusat dan masyarakat politik di Papua. Namun akibat metode penyelesaian yang

koersif maka tumbuh akar-akar baru yang berlipat serentang waktu konflik itu

sendiri. Otto Syamsuddin Ishak (2012:15), menganalogikan anatomi konflik Papua

secara teoritis berkembang seperti Ubi Jalar Papua, ketika dahannya menyentuh tanah

maka muncul akar-akar baru dengan umbi yang besar. Dari waktu ke waktu selalu

muncul konflik baru sebagai hasil dari kegagalan kebijakan dalam menangani Papua.

Proses penyelesaian konflik dengan pendekatan kekuasan yang cenderung koersif

telah menjadikan masalah Papua seperti sulit untuk diselesaikan.

Sejauh ini proses penanganan masalah Papua masih dikuasai oleh opini

dominan yang telah menempatkan Papua sebagai wilayah konflik yang paling panas

di Indonesia. Hampir setiap saat publik disuguhkan berbagai berita dan informasi

tentang penembakan-penembakan misterius, penculikan, serangan terhadap orang

luar, perang antar kelompok suku hingga dinamika politik lokal di Papua yang

cenderung destruktif. Peran Media masa turut menjadikan Papua sebagai objek

informasi negatif tentang konflik yang tidak pernah usai. Oleh sebab itu, pemerintah

lebih suka menggunakan pola-pola kebijakan penanganan konflik yang bersifat top

down, dimana Papua dilihat sebagai wilayah konflik yang berbahaya, sehingga harus

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

15

diintervensi dan ditolong melalui inisiatif dari luar. Logika ini menempatkan

pemerintah sebagai penafsir tunggal konflik Papua, sehingga selalu berusaha

mengendalikan konflik melalui politik kekuasaan. Maka konflik Papua pun dihadapi

dengan penguatan peran militer di hampir berbagai lini kehidupan.4 Berbagai upaya

penegakan hukum untuk menjamin keamanan dan ketertiban juga dilakukan secara

tegas. Sejumlah tokoh masyarakat yang menuntut keadilan dan menyuarakan aspirasi

Papua Merdeka, ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan makar. Pemerintah juga

mendorong pelaksanaan Otonomi Khusus (UU Otsus, 2001) yang disertai sejumlah

kewenangan politik budaya, serta ekonomi. Kebijakan ini mendorong aliran dana

yang cukup besar ke Papua sebagai konsekwensi dari pembagian hasil-hasil

eksplorasi sumber daya alam yang cukup besar di wilayah Papua. Namun

tampaknya, kebijakan pemerintah masih belum mampu mengendalikan konflik secara

komprehensif, sebab dinamika social dan politik masyarakat Papua masih sering

diliputi konflik dan kekerasan. Dalam satu dasawarsa terakhir masih terjadi kekerasan

politik, sosial dan ekonomi di hampir sebagian besar wilayah Papua seperti di

Wamena, Jayapura, Manokwari, Sorong dan lainnya.

Kegagalan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang saling terkait

dengan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama di Papua yang telah berlangsung

selama ini, semestinya mendorong kita untuk mengkaji berbagai alternatif lain dalam

4 Beberapa waktu yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudoyono menunjuk Bambang Dramono

(seorang Jenderal senior yang pernah bertugas dalam konflik Aceh) untuk memimpin sebuah unit

khusus penyelesaian masalah Papua. Dalam banyak kasus pemerintah pusat selalu memprioritas

kekuatan militer dalam upaya penyelesaian masalah-masalah di Papua.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

16

menyelesaikan masalah Papua. Dalam dimensi tertentu kita dapat belajar dari

pengalaman masyarakat Fakfak dan sekitarnya, dimana perdamaian dan hamonisasi

melibatkan masyarakat dan nilai-nilai lokal yang mengikat mereka dalam

keseimbangan, sehingga relasi sosial yang terbentuk adalah keberadaan (ko-

eksistensi), kerjasama (kolaborasi) dan kerekatan (kohesi) yang membentuk integrasi

sosial. Apa yang terjadi di Fakfak tentu sangat menarik untuk dikaji dan diteliti, di

tengah harapan untuk mengelola konflik yang terjadi di Papua dengan cara-cara yang

lebih baik, demokratis dan bisa diterima oleh semua kekuatan sosial politik. Apalagi

dalam perkembangan mutakhir telah muncul keinginan untuk menyelesaikan konflik

Papua secara demokratis dan bermartabat melalui dialog yang damai antara Papua

dan Jakarta. Berkaitan dengan proses tersebut, maka studi-studi yang

mempromosikan perdamaian dan inisiatif pembentukan integrasi di tingkat lokal,

sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Fakfak, memiliki makna penting dalam

studi ilmu sosial di Indonesia dewasa ini. “Pertama”, karena hal ini akan memberi

peluang untuk menemukan alternatif atas konsepsi lama tentang integrasi sosial yang

cenderung dikuasai oleh tafsir Negara. Sebagaimana ditegaskan Heru Nugroho

(2011:178)

“...kita memerlukan perimbangan wacana public secara seimbang dengan cara

ikut serta dan terlibat dalam diskursus tentang isu-isu SARA (keragaman),

tanpa harus ada pemaksaan dari negara terhadap masyarakat sipil”.

“Kedua”, meyakinkan bahwa kemajemukan selain berpeluang menciptakan konflik,

dapat juga menjadi energy positif dalam mewujudkan proses pemberdayaan atau

demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. “Ketiga”, kajian ini berpeluang

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

17

menemukan factor-faktor penunjang perdamaian yang dapat mendukung

pembangunan ideologi kebangsaan (national unity and integrity) di atas

keanekaragaman struktur sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini bisa dicapai dengan

menggali strategi dan metode integrasi sosial yang telah dikembangkan oleh

masyarakat melalui kebijaksanaan lokalnya (lokal wisdom) di berbagai daerah di

Indonesia, termasuk di wilayah Papua.

1.2. Rumusan Masalah

Penggambaran tentang integrasi sosial dan perdamaian pada sebagian

masyarakat Papua, khususnya yang terjadi pada masyarakat Fakfak menunjukkan

bahwa meskipun terdapat perbedaan kepentingan politik, keanekaragaman budaya,

etnis dan agama, namun kondisi tersebut tidak serta merta menimbulkan konflik dan

kekerasan di tengah masyarakat. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, sebab

fenomena perdamaian dan harmonisasi kehidupan sosial yang berlangsung di Fakfak

dan sekitarnya dapat disebut sebagai sebuah anomali sosial, di tengah berbagai

pertentangan politik, ekonomi, etnis, agama dan budaya yang sering terjadi di Papua.

Perkembangan di Fakfak tentu positif dan memberikan sumbangan berharga pada

menguatnya integrasi sosial masyarakat Papua. Mengingat saat ini konflik politik di

Papua semakin menjauhkan wilayah tersebut dari nasionalisme Indonesia.

Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana integrasi

sosial dalam masyarakat Papua khususnya dinamika yang terjadi pada masyarakat di

wilayah Fakfak dan facktor-faktor determinan apa yang menjadi penentu di

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

18

dalamnya. Untuk memetakan lebih rinci permasalahan tersebut maka pertanyaan

penelitian (research question) yang diajukan dalam disertasi ini adalah sebagai

berikut:

1. Mengapa masyarakat Fakfak secara spesifik memiliki nilai-nilai dasar dalam

integrasi sosial? Faktor-faktor apa saja yang melahirkan nilai dan norma

tersebut?

2. Bagaimana pelembagaan nilai (institusionalization value) dan proses

kontestasi dalam integrasi sosial masyarakat Fakfak, dan sejauhmana

kontribusinya dalam penguatan perdamaian?

3. Apa saja tantangan yang dihadapi masyarakaat Fakfak dalam

mempertahankan integrasi sosial masyarakatnya di tengah perubahan sosial

yang terus terjadi di Papua?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang dikemukakan di

atas, maka ada tiga hal yang menjadi tujuan dalam penelitian disertasi ini. “Pertama”,

penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi factor-faktor determinan yang

berperan dalam mengintegrasikan sebuah masyarakat. Faktor-faktor determinanan

yang dimaksud di sini bisa agama, budaya (tradisi) ataupun sistem politik yang

bekerja secara alamiah untuk memperkuat perdamaian. “Kedua”, penelitian ini juga

dimaksudkan untuk menganalisis proses penguatan (pelembagaan) nilai-nilai

integrasi sosial dalam masyarakat Fakfak dan menjelaskan dampaknya terhadap

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

19

pembentukan masyarakat yang damai untuk memperkuat integrasi nasional di

wilayah Papua. Hal ini secara praksis diharapkan akan memberikan masukan bagi

proses penyelesaian berbagai permasalahan sosial yang terjadi di Papua. “Ketiga”,

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tantangan-tantangan yang

dihadapi oleh masyarakat Fakfak dalam mempertahankan integrasi sosial yang telah

terjalin baik di antara mereka.

Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat ganda baik

secara teoritis maupun praksis dalam pembangunan masyarakat yang damai dan

harmonis di Indonesia. “Pertama”, secara teoritis penelitian ini akan memberi

kontribusi penting dalam hal memeriksa dan mengkonsepsikan kembali teori-teori

sosial tentang integrasi sosial yang cenderung hegemonik, serta relevansinya

terhadap penguatan perdamaian dan harmoni sosial di masyarakat. Sebab konflik-

konflik sosial bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang terjadi

pasca reformasi perlu mendapatkan penjelasan teortis yang tepat sesuai dengan

konteks perubahan sosial yang sedang beralngsung. “Kedua”, penelitian ini juga

diharapkan dapat memberikan mafaat praksis yakni sebagai masukan informasi

kepada para pengambil kebijakan untuk mencari solusi terbaik mengatasi berbagai

konflik sosial, ekonomi dan politik yang sering terjadi di Papua. Konflik di Papua

sudah saatnya dikelola dengan pendekatan-pendekatan yang demokratis, partisipatif

dan memberdayakan, sehingga masyarakat diharapkan terlibat secara aktif dalam

setiap usaha untuk menciptakan perdamaian di Papua. Demikian pula pada aras

nasional, studi ini akan memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengelola

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

20

keragaman dengan bijaksana dan tidak perlu ragu mengadopsi berbagai kearifan lokal

sebagai bagian dari kebijakan pengendalian konflik sehingga memberi sumbangasih

pada menguatanya integrasi nasional di seluruh Indonesia.

1.4. Studi Pustaka.

Studi tentang integrasi sosial di Indonesia bukan merupakan topik atau tema

yang baru. Studi tentang hal ini telah berlangsung lama, namun menjadi penting dan

mengemuka setelah muncul konflik sosial bernuansa SARA yang melanda Indonesia

sejak gerakan reformasi tahun 1998. Gerakan reformasi seakan membuka “Kotak

Pandora”, sehingga berbagai potensi konflik yang selama ini dapat diredam melalui

kekuatan represif Orde Baru, akhirnya muncul ke permukaan dalam bentuk konflik

dan kekerasan yang terjadi di hampir semua tempat.

1.4.1. Studi Tentang Integrasi Sosial

Sejauh ini terdapat sejumlah studi yang mencoba menjelaskan tentang

fenomena konflik dan kekerasan dari berbagai persepektif, terutama perspektif

sosiologi. Pendekatan sosiologi (konflik) biasanya menempatkan masyarakat dalam

suasana yang selalu antagonistic, sehingga konflik dan disintegrasi sosial dipandang

sebagai sesuatu yang akan selalu hadir (omni present) dan tidak bisa dihindari. Oleh

sebab itu diperlukan intervensi sosial untuk dapat menciptakan stabilitas sosial dan

perdamaian. Pendekatan ini tentu menafikkan adanya kenyataan bahwa masyarakat

juga memiliki mekanisme sosial dan modal sosial untuk selalu menciptakan integrasi

sosial secara mandiri. Hal ini sejalan dengan paradigma baru integrasi sosial yang

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

21

didasari alam pikiran demokratis, dimana integrasi sosial dipahami sebagai suatu

penerimaan sukarela terhadap setiap individu maupun kelompok untuk berperan aktif

dalam kehidupan masyarakat tanpa membedakan etnisitas, agama, budaya dan juga

jenis kelamin.

Belum banyak yang mencoba mencermati dinamika masyarakat dewasa ini

dengan menggunakan konsep baru tentang harmoni dan integrasi yang lebih

demokratis. Sebagai gambaran dapat disebut beberapa studi di antaranya. Misalnya

studi paling awal yang dilakukan oleh Nazaruddin Syamsudin (1989), tentang

integrasi politik di Indonesia. Nazaruddin melakukan studi yang serius tentang factor-

faktor yang mempengaruhi integrasi nasional di Indonesia. Menurut Nazaruddin,

konsep integrasi nasional pada dasarnya mencakup dua persoalan mendasar.

“Pertama”, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan dan

kepentingan Negara. “Kedua”, bagaimana meningkatkan consensus normatif yang

mengatur tingkalaku positif masyarakat atau individu-individu yang ada di dalamnya.

Studi Nazaruddin banyak mengulas tentang gerakan-gerakan politik yang

mengancam integrasi nasional yang terutama di bahas adalah PRRI, Gerakan Aceh

Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka yang kesemuanya didasari oleh kesetiaan

terhadap kelompok primordial.

Penelitian Erni Budiwanti 1996, tentang Minoritas Islam dalam perspektif

integrasi nasional di Desa Pengayam Bali Utara. Menurut temuan Erni, sebetulnya

setiap masyarakat biasanya memiliki mekanisme sosial untuk mendorong integrasi

sosial pada masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan komunitas

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

22

Muslim di Desa Pengayam yang mampu menyesuaikan diri dengan budaya Hindu

Bali yang mayoritas. Mereka mampu menerima tradisi dan budaya Bali sebagaimana

tercermin dalam nama-pertama maupun dalam jabatan-jabatan cultural di tingkat

desa. Komunitas minoritas muslim Bali juga dapat menunjukkan penghormatan yang

tinggi pada tradisi, kepercayaan dan berbagai taboo yang ada dalam kepercayaan

masyarakat. Mereka, misalnya, turut memelihara suasana hening selama upacara

Nyepi dan bergembira bersama dalam hari bersamaan seperti Galungan. Sementara

itu beberapa penelitian terakhir yang berhubungan dengan integrasi sosial, misalnya

yang dilakukan oleh Liber Siagian, Hedi Sri Ahimsa dan Syafiq Efendi di Kota

Medan tentang integrasi sosial antar etnik dalam konteks ketahanan nasional pada

tahun 2004. Berdasarkan penelitiannya, Liber dan kawan-kawannya berkesimpulan

bahwa integrasi sosial yang terjadi dikota Medan merupakan hasil dari semangat

toleransi yang terbangun dari komunikasi yang baik antar etnis-etnis yang berbeda di

Kota Medan.

Kajian yang sama juga pernah juga dilakukan oleh kelompok peneliti yang

tergabung dalam Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tahun 2011. CSRC mempublikasikan hasil kajian yang

berjudul Kebebasan Beragama dan Integrasi Sosial yang menegaskan bahwa

sebetulnya masih banyak praktik-praktik terbaik (best practices) dalam masyarakat

Indonesia yang berhasil melindungi kekebasan beragama dan berkeyakinan yang

mendorong terciptanya integrasi sosial yang lebih baik. Seperti tradisi Bela Baja di

Pantar, Nusa Tenggara Timur yang mampu membentengi masyarakat dari provokasi

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

23

yang ingin memecah belah umat Islam dan Kristen di sana. Atau praktik Pecalang di

Bali yang berfungsi mengjaga ruma-rumah ibadah pada saat hari-hari besar agama

lain. Kajian ini secara sepesifik ingin mempromosikan Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan (KBB) di Indonesia.

1.3.1. Studi Integrasi Sosial dalam Konteks Papua

Dalam konteks lokal di Papua, ada beberapa studi dan hasil penelitian yang

memiliki relevansi dengan penelitian ini. Penggambaran paling awal tentang

masyarakat Papua yang identik dengan ras Melanesia dikemukakan oleh para

Antropolog, seperti; Kondjaraninggrat, Sutarga, dan Ajamiseba (1994). Dalam Seri

Etnografi Indonesia 5, “Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk,”

Koendjaraninggrat dan Sutarga (1994:110-116) menulis tentang kebinekaan ras

penduduk Papua, sedangkan Ajamiseba menulis tentang kebinekaan bahasa di

Papua. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kebinekaan ciri-ciri ras

penduduk Irian Jaya sangat jelas terlihat pada ciri-ciri ras fenotip mereka seperti

warna dan bentuk rambut. Sementara itu, Ajamiseba (dalam Koencaraningrat,

1994:119-122) mengatakan adanya 234 bahasa orang Papua dimana sebagian

(19,5%) termasuk rumpun bahasa Melanesia. Berdasarkan data tersebut maka

Koencaraningrat, Sutarga, Ajamiseba berpendapat bahwa masyarakat Papua bersifat

majemuk berdasarkan ciri-ciri fisik dan bahasa.

Studi berikutnya yang dilakukan oleh tim peneliti Centre for Strategic and

Internasional Studies (CSIS) di Wamena, sebagaimana telah dipublikasikan pada

tahun 2006, dengan Judul Partisipasi, Kohesi Sosial, dan Resolusi Konflik;

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

24

Pengalaman dari Wamena Papua. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa

kondisi masyarakat dengan kohesi sosial yang rendah sebagaimana yang terjadi di

Wamena merupakan hasil kontenstasi berbagai factor yang kompleks dan saling

terkait; seperti lumpuhnya kepemimpinan tradisional, kesenjangan ekonomi serta

diskriminasi sosial dan politik. Artinya rendahnya kohesi sosial di Papua, bukan

merupakan suatu hal yang “given”, tetapi merupakan by product dari persoalan-

persoalan di tingkat nasional dan lokal. Dengan kata lain, kebijakan nasional yang

dituangkan dalam program-program pembangunan, yang dirumuskan di tingkat pusat

sangat berpengaruh terhadap kondisi integrasi maupun disintegrasi masyarakat di

Papua.

Penelitian tentang faktor-faktor penyebab konflik di Papua dapat dilihat pada

hasil penelitian Tim LIPI (2008) yang dipublikasikan dengan judul Papua Road

Map; Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future.

Penelitian tersebut menjelaskan secara komprehensif bahwa konflik di Papua

mencakup empat isu strategis yang saling terkait sebagai berikut: sejarah integrasi

Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua; kekerasan politik dan

pelanggaran HAM; gagalnya pembangunan di Papua; dan inkonsistensi dalam

implementasi Otsus serta marjinalisasi orang Papua. Tim LIPI menawarkan

Rekognisi dan pemberdayaan orang asli Papua, merubah paradigma pembangunan

yang lebih melayani dan menghormati orang Papua, mebangun dialog yang

partisipatoris hingga membuat rekonsiliasi yang mengungkap secara jelas kebenaran

dan pertanggungjawaban hokum berbagai pelanggaran HAM di Papaua.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

25

Disertasi Bernarda Materay (2012) yang diterbitkan dengan judul

Nasionalisme Ganda Orang Papua, juga mengungkapkan sejarah konflik Papua yang

berakar pada kontestasi pengaruh pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah

republik Indonesia. Pengaruh tersebut malahirkan nasionalisme ganda di kalangan

orang-orang Papua. Persemaian nasionalisme Papua oleh pemerintah kolonial melalui

partai politik dan kampanye cultural yang menegaskan edintitas ras melanesia yang

berkulit hitam legam dan berambut keriting. Sedangkan kampanye nasionalisme

Indonesia menurut Bernard, tidak sistematis dan sangat terbatas tanpa klaim kultural

yang jelas. Inilah yang menjelaskan mengapa kelompok nasionalis Papua cenderung

militan dan dapat bertahan dalam tekanan kekuasaan pemerintah Indonesia.

Tesis Cahyo Pamungkas (2008) tentang Papua Islam dan Otonomi Khusus

menjelaskan tentang usaha orang-orang Papua Islam yang minoritas untuk

menegosiakaan identitas keagamaan mereka di tengah masyarakat Papua yang

mayorotas beragama Kristen. Usaha terus ditunjukkan dengan merumuskan jati

dirinya secara fleksibel, yaitu memadukan antara ke-Islaman dan ke-Papuan,

mengkontestasikan identitas budayanya dengan Muslim pendatang dan Kristen Papua

dalam arena politik identitas. Studi ini menunjukkan bahwa identitas budaya seperti

etnik dan agama, tidak hanya berfungsi sebagai penanda objektif, tetapi juga

kekuasaan simbolik. Identitas tersebut dikonstruksi, dikontestasikan dan digunakan

sebagai instrumen politik. Implikasinya, konstruksi identitas diperlukan untuk

melegitimasi relasi dominasi dalam ranah kekuasaan objektif.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

26

1.3.2. Studi Spesifik tentang Fakfak

Selama ini kajian-kajian tentang Fakfak belum banyak dilakukan, terdapat dua

kemungkinan yang menyebabkan kondisi tersebut. “Pertama”, studi-studi tentang

Papua lebih fokus pada isu konflik dan wacana-wacana besar yang menjadi

perbincangan di pusat-pusat kekuasaan di Jayapura atau Manokwari, sehingga kurang

memberi tempat pada daerah-daerah “pinggiran” seperti Fakfak. “Kedua”, hal ini

membuat banyak peneliti sangat minim pengetahuan dan kurang mengenal berbagai

suku bangsa di Papua dengan dinamika sosial dan keunikan budayanya yang berbeda-

beda. Akan tetapi penelusuran literatur yang dilakukan dalam penelitian ini

menemukan publikasi yang telah dihasilkan oleh dua orang peneliti asli Fakfak

sebagai bagian dari tesis dalam studi pascasarjana.

“Pertama”, studi yang dilakukan J.F. Onim (2006) tentang sejarah perjumpaan

Islam dan Kristen di tanah Papua yang mengambil lokasi di wilayah Fakfak.

Peneltian Onim memberikan banyak informasi penting tentang bagaiamana interaksi

kedua agama tersebut sejak awal kedatangannya di Papua. Bahwa perjumpaan Islam

dan Kristen telah melahirkan sebuah hubungan keagamaan yang unik, karena dari situ

justru muncul toleransi antara umat beragama di Fakfak. Namun Onim tidak

menjelaskan bagaimana masyarakat Fakfak mempertahankan dan melembagakan

nilai-nilai tersebut dalam praktik kehidupan mereka.

“Kedua”, studi antropologis yang dilakukan oleh Suparto Iribaram (2011),

yang berjudul Satu Tungku Tiga Batu (Kerjasama Tiga Agama dalam Kehidupan

Beragama di Fakfak), memiliki relevansi yang cukup penting dengan penelitian ini.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

27

Iribaram menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mendukung kerukunan

beragama di Fakfak adalah filosofi Satu Tungku Tiga Batu. Tradisi ini merupakan

pengejawantahan dari hubungan yang harmonis antara tiga agama; Islam, Kristen dan

Katolik di Wilayah Fakfak. Studi Iribaram merupakan salah satu pintu masuk untuk

mengkaji lebih jauh tentang bagaimana kebijaksanaan lokal (local wisdom) tersebut

melembaga dan berperan dalam memperkuat integrasi sosial di Kabupaten Fakfak

Papua Barat.

Bila kita memperhatikan paparan berbagai studi dan penelitian tersebut, maka

paling tidak terdapat dua hal yang belum memperoleh perhatian secara memadai.

“Pertama”, studi tentang integrasi sosial masih mengedepankan model integrasi

politik yang menjadikan hubungan antara negara dan masyarakat sebagai objek

kajian. Integrasi sosial model ini (versi Orde Baru) berkembang menjadi politik

penundukan yang memaksa individu dan kelompok kecil melebur dalam kelompok

arus besar. Dalam hal ini keragaman dalam masyarakat belum dilihat sebagai modal

sosial dan kultural yang sangat penting untuk membangun masyarakat yang

demokratis di Indonesia. “Kedua”, Berbagai penelitian tentang Papua yang ada

selama ini, masih didominasi oleh wacana dominan tentang konflik. Papua masih

dilihat sebagai wilayah penuh konflik sehingga perlu ditangani secara sistematis

melalui kebijakan politik semata. Padahal berbagai narasi kegagalan kebijakan

tentang Papua, seharusnya mendorong kita untuk mengkaji lebih mendalam tentang

alternatif lain untuk mengelola potensi konflik di Papua dengan mengedepankan

spirit sosio-kultural yang selama ini telah berkembang di Papua. Oleh sebab itu untuk

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

28

mengisi ruang kosong tersebut maka penulis memandang perlu untuk melakukan

penelitian tentang integrasi sosial pada masyarakat Papua dengan menetapkan fokus

pada dinamika perdamaian yang terjadi pad masyarakat Fakfak di Propinsi Papua

Barat.

1.5. Kajian Konsep dan Teori

Reformasi politik 1998 membawa berbagai perubahan politik yang cukup

mendasar bagi kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk

memberikan otonomi dan kewenangan yang lebih luas kepada daerah, dalam banyak

hal telah membuka ruang bagi tumbuhnya kesadaran-kesadaran identitas; etnisitas,

agama dan budaya. Di tingkat lokal, menguatnya politik identitas yang disertai

kekecewaan sosial politik, sering melahirkan ketegangan, konflik sosial, disintegrasi

dan disharmoni yang meluas di tengah masyarakat. Segera tampak bahwa bangunan

politik perdamaian yang dibangun rezim Orde Baru ternyata memiliki kelemahan dan

menyimpan berbagai potensi destruktif yang muncul bersamaan dengan melemahnya

negara.

Beberapa jawaban kuncinya adalah, “pertama”, karena politik integrasi dan

harmoni yang dibangun oleh rezim Orde Baru cenderung mengedepankan asas

persamaan dan penyeragaman. Sebab itu slogan yang muncul adalah persatuan dan

kesatuan dengan menampilkan simbol-simbol tunggal yang didominasi oleh tafsir

negara. “Kedua”, untuk membungkam perbedaan maka digunakan pendekatannnya

represif dari unsur-unsur keamanan, demikian juga sentralisasi terhadap semua proses

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

29

sosial, politik dan ekonomi. Daerah-daerah hanya menjadi perpanjangan tangan

negara yang direpresentasikan oleh pemerintah pusat dalam sebuah hubungan yang

bersifat komando. Maka begitu keran kebebasan dibuka terkuaklah semua kelemahan

sistemik tersebut, dan bersamaan dengan itu muncul konflik dan kekerasan yang

terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Namun demikian, beberapa daerah berhasil

mengelola keragamannya dengan cara-cara yang tepat sehingga berhasil

mempertahankan perdamaian di tengah keragaman masyarakatnya.

Dalam studi ini konsep damai atau perdamaian dipakai untuk menjelaskan

satu situasi dimana kekerasan dapat dicegah dalam relasi sosial masyarakat.

Kekerasan merupakan bentuk yang paling nyata dari rusaknya perdamaian dalam

masyarakat, sebagai akibat dari ketidakmampuan mengelola perbedaan. Namun lebih

fundamental lagi perdamaian pada dasarnya bukan saja terkait dengan absentnya

kekerasan, tetapi lebih dari itu perdamaian berkaitan dengan meningkatnya kualitas

kehidupan karena keadilan dan kesejahteraan sosial berhasil diwujudkan. Itulah

sebabnya dalam studi perdamaian, misalnya yang dilakukan Jhon Galtung (2011),

perdamaian dibedakan menjadi dua katogeri. Pertama adalah perdamaian negatif,

yaitu pengendalian terhadap konflik dan kekerasan, dan kedua, perdamaian positif

dimana terdapat kebebasan dan keadilan yang dirasakan wrga masyarakat tanpa

memandang suku, agama, budaya atau kelas sosial.

Selain konsep perdamaian juga digunakan konsep harmoni yang dimaknai

sebagai sebuah konsep sosial yang menjelaskan situasi dimana berbagai suku, agama

dan budaya dapat mengekspresikan identitas sosialnya tanpa ada dominasi atau

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

30

intimidasi dari kelompok lain. Masyarakat harmonis yang dimaksudkan di sini adalah

sebuah kondisi masyarakat yang meskipun berbeda-beda (suku, agama, bahasa dan

golongan), tetapi dapat bekerjasama dan saling berinteraksi dalam sebuah kehidupan

sosial yang saling menjaga. Dalam masyarakat yang harmonis masing-masing

individu memiliki kesadaran yang tinggi tentang keragaman dan berusaha untuk lebih

mengedepankan kepentingan bersama daripada mempermasalahkan perbedaaan-

perbedaan. Konsep harmoni yang akan dikonseptualisasi dalam tulisan ini adalah

sebuah situasi yang terbentuk secara partisipatif, sebab masyarakat terlibat

didalamnya dengan penuh kesadaran. Hal ini untuk membedakan konsep harmoni

hegomonik yang terhadi selama kekuasaan Orde Baru5.

Studi ini dilakukan untuk memahami dan menjelaskan fenomena perdamaian

pada sebuah masyarakat lokal di Papua, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat

Fakfak di Propinsi Papua Barat dalam konteks integrasi sosial. saat ini wilayah

Fakfak dan sekitarnya telah dikenal sebagai tempat yang aman, damai dan harmonis

di tengah situasi sosial dan politik di Papua yang penuh konflik dan kekerasan.

Masyarakat Fakfak ternyata memiliki semacam strategi pertahanan diri sehingga

mampu mengelola berbagai perbedaan dan potensi konflik di wilayahnya. Menurut

penulis, fenomena Fakfak tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, tetapi banyak

faktor yang saling terkait dan memberikan kontribusi pada perdamaian, seperti nilai-

5Dalam studi ini konsep harmoni tetap dipakai, namun dibedakan secara tegas dengan konsepsi

harmoni yang dipersepsikan rezim Orde Baru. Harmoni sosial dalam pendekatan rezim Orde Baru

adalah sebuah proyek politik yang dibangun untuk menjamin keberlangsungan pembangunan dan

eksistensi kekuasaan. Harmoni sosial dibentuk dan dirawat lewat tangan-tangan kekuasaan yang

menetralisir semua perbedaan yang berpotensi menimbulkan konflik. Negara menjadi dominan dan

penafsir utama apa yang disebut harmoni sosial.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

31

nilai kearifan lokal, agama, sejarah, ekonomi dan politik. Penting pula untuk

menjelaskan adalah bagaimana faktor-faktor integratif tersebut melembaga dan

membentuk praktik-praktik sosial.

Oleh sebab itu untuk menganalisis dan menjelaskan fenomena Fakfak tidak

bisa dengan satu pendekatan teoritik tertentu saja, tetapi harus melibatkan sejumlah

teori dan konsep yang saling terkait untuk membangun sebuah landasan teoritis yang

kuat. Secara umum teori utama yang dipilih sebagai grand theory dalam memahami

fenomena yang menjadi locus penelitian ini adalah teori integrasi sosial (sosial

integration). Namun untuk menjelaskan fenomena integrasi sosial yang terjadi di

Papua, maka grand theory tersebut akan diperkuat oleh beberapa teori dan konsep

lain yang memiliki relevansi dalam studi ilmu sosial tentang masyarakat, seperti teori

tentang konflik dan teori tentang konstruksi reproduksi sosial. Berikut ini akan

dijelaskan konsep-konsep kunci dari teori tersebut sehingga membentuk sebuah

kerangka teoritik yang diperlukan untuk menjelaskan fenomena integrasi sosial yang

terjadi pada masyarakat Fakfak Papua Barat.

1.5.1. Konsepsi Integrasi Sosial

Integrasi (integration) merupakan kata serapan dalam bahasa Inggris yang

mempertahankan makna kata aslinya integrat dalam bahasa Latin, berarti

menyatukan berbagai komponen dalam satu entitas (Nazarudin, 1989). Istilah

integrasi sosial pertama kali digunakan sebagai konsep ilmiah oleh Emile Durkheim,

sosiolog Perancis yang disebut-sebut memulai tradisi fungsionalisme dalam sosiologi.

Menurut Masumura (1977), Durkheim menggunakan istilah ini untuk menjelaskan

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

32

fenomena lebih tingginya tingkat bunuh diri di lingkungan masyarakat Protestan

dibandingkan masyarakat Katolik. Durkheim menyimpulkan bahwa tingkat integrasi

sosial berperan dalam menjelaskan perbedaan ini. Masyakat Protestan lebih tinggi

tingkat bunuh dirinya karena tingkat integrasi sosial mereka rendah, sementara

masyarakat Katolik tingkat integrasi sosial mereka normal. Durkheim tidak

memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang apa yang dimaksudnya dengan

integrasi sosial, tetapi para pengulas pemikirannya menyimpulkan bahwa integrasi

sosial yang dimaksud Durkheim adalah kondisi dimana masyarakat bisa mengaitkan

dirinya dengan anggota kelompok masyarakat lain.

Secara sosiologis teori integrasi sosial merupakan bagian dari paradigma

fungsionalisme yang diperkenalkan Talcot Parson (1927-1979). Paradigma ini

mengandaikan bahwa masyarakat berada dalam sebuah sistem sosial yang mengikat

mereka dalam keseimbangan (equilibrium). Masyarakat merupakan sebuah sistem

yang terdiri dari berbagai unit sosial yang merupakan sebuah kesatuan. Hal ini

tercermin dari dua pengertian dasar integrasi sosial yaitu, “pertama”, pengendalian

terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu, dan

“kedua”, menyatukan unsur-unsur tertentu dalam suatu masyarakat sehingga tercipta

sebuah tertib sosial (social order) (Ritzer, 2009:258). Dari sini bisa dilihat bahwa

konsep integrasi sosial merupakan sebuah proses horizontal yang berlangsung dalam

kehidupan sosial kemasyarakatan. Proses ini ingin mengintegrasikan antara

kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, dengan cara menjembatani perbedaan–

perbedaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor teritorial/kultur, agama, kepentingan,

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

33

kelas sosial dan sebagainya, dengan mengurangi kesenjangan yang ditimbulkan oleh

factor-faktor tersebut. Integrasi sosial lazim dikonsepsikan sebagai suatu proses

ketika kelompok sosial tertentu dalam masyarakat saling menjaga keseimbangan

untuk mewujudkan kedekatan hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan politik.

Kelompok-kelompok sosial tersebut bisa terwujud atas dasar agama dan kepercayaan,

suku, ras dan kelas.

Selama ini integrasi sosial merupakan sebuah konsep yang cukup dilematis,

dan banyak mendapat kritik. Konsep integrasi sosial sering dipengaruhi oleh wacana

kekuasaan tentang penyatuan dalam sebuah kesatuan identitas. Suatu tafsir sosial

yang menonjolkan adanya penundukan terhadap kekuatan-kekuatan minoritas untuk

tunduk dan menyatu di bawah kuasa identitas yang mayoritas. Maka sebagai

kelanjutan dari cara pandang yang demikian itu, dikedapankan konsep asimilasi,

dimana identitas dan kebudayaan yang minoritas lebih diharapkan menyatu dengan

identitas budaya yang mayoritas. Dalam studinya tentang Integrasi nasional,

Nazaruddin Syamsudin (1989) menyebutkan bahwa integrasi sosial adalah bagian

dari konsep integrasi nasional yang pada dasarnya mencakup dua persoalan

mendasar. Pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan dan

kepentingan bersama yakni berbangsa dan bernegara. Kedua, bagaimana

meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku positif masyarakat

atau individu-individu yang ada di dalamnya. Pandangan Nazaruddin, sejatinya

mewakili banyak ilmuwan politik pada zamannya yang memandang negara sebagai

satu-satunya entitas sosial politik yang harus dirawat eksistensinya, meskipun dalam

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

34

proses tersebut secara tidak terelakkan mengabaikan keragaman dan perbedaan yang

telah menjadi fakta sosial di Indonesia.

Paradigma semacam ini yang kemudian mendorong lahirnya kebijakan politik

asimilasi (pembauran) nasional. Pembauran harus dilakukan untuk menghilangkan

sentimen-sentimen primordialisme. Pendeknya politik asismilasi adalah jembatan

untuk meretas perbedaan dan antagonisme di dalam masyarakat. Melalui kebijakan

ini diharapkan sentimen dan semangat kolektif atau segala atribut politik identitas

yang tidak bersebadan dengan negara diluruhkan. Setiap warga negara pada saat yang

sama adalah sebuah warga bangsa, dimana sentimen kebangsaan tidak boleh berada

di luar jangkar politik negara. Itulah pijakan paling mendasar bagi eksistensi negara

yang dalam kata-kata Ernest Gellner (John Hall (ed.), 1998), merupakan prinsip

ideologi yang utama, suatu prinsip ideologi yang mau tidak mau pasti akan

berlangsung melalui proses homogenisasi kultural.

Sejak reformasi 1998 yang ditandai dengan demokrasi dan demokratisasi

yang mendorong wacana keterbukaan, maka banyak ilmuan mengkritik konsep

integrasi sebagai bagian dari wacana kekuasaan yang cenderung hegemonik itu.

Secara sarkarstis konsep integrasi sosial dianggap sebagai konsep ilmu sosial yang

telah kehilangan konteksnya, di tengah tuntutan demokrasi dan penghormatan

terhadap perbedaan. Maka setiap studi yang mempromosikan integrasi sosial

dianggap sebagai aktifitas teoritis yang membosankan dan tidak menarik, sebab

cenderung mengesahkan adanya status quo. Padahal menurut penulis, yang

diperlukan oleh ilmuan sosial adalah melepaskan sebuah konsep keilmuan dari tafsir

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

35

kekuasaan yang selama ini menghegemoninya. Sebagaimana ditegaskan oleh sosiolog

Heru Nugroho (2011:178), para ilmuan sosial dewasa ini memerlukan perimbangan

wacana publik secara seimbang dengan cara ikut serta dan terlibat dalam diskursus

tentang keragaman, tanpa harus ada pemaksaan dari negara terhadap masyarakat sipil.

Pada dasarnya studi ini merupakan upaya untuk melakukan kritik terhadap

konsepsi integrasi sosial rezim Orde Baru yang masih kuat dengan paradigma

fungsionalisme Parsonian tentang keseimbangan sosial (social equilibrium) yang

menyederhanakan masyarakat berdasarkan fungsi-fungsi yang bekerja secara statis.

Studi ini mencoba mendudukan kembali konsep integrasi sosial dalam alam pikiran

demokratis, yang melihat perbedaan sebagai realitas politik dalam masyarakat

sebagai sesuatu yang given, dan oleh sebab itu mesti dikelola dengan cara-cara yang

demokratis pula. Pandangan demokratis terhadap konsep integrasi sosial

meniscayakan bahwa perbedaan tidak boleh dibunuh tetapi dibiarkan saling

berinteraksi, meskipun dalam proses tersebut terjadi dinamika yang kontestatif.

Dengan begitu keseimbangan sosial yang tercipta bukanlah sebuah konsep yang statis

karena dikendalikan oleh sebuah sistem yang dominan dan hegemonik, namum

merupakan sebuah keseimbangan yang dinamis yang menghubungkan unsur-unsur

dalam masyarakat. Melalui dinamisasi yang terjadi maka tercipta nilai-nilai bersama

yang menjadi dasar bagi proses integrasi sosial yang genuin dalam masyarakat.

Berkaitan dengan cara pandang tersebut, maka studi ini akan memanfaatkan konsep-

konsep sosial dari beberapa ilmuan yang mengusulkan nilai-nilai baru yang

demokratis sebagai dasar bagi integrasi sosial.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

36

1.4.1.1 Sumber Nilai Integrasi Sosial;

Moral Contract, Kearifan Lokal dan Agama

Salah satu ilmuan sosial yang membicarakan integrasi sosial dengan

pendekatan yang baru adalah Biku Parekh. Dalam bukunya A New Politics of

Identity, Parekh menjelaskan bahwa proses integrasi sosial dalam sebuah masyarakat

hanya dapat tercipta bila terdapat kesepakatan dari sebagian besar anggotanya

terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental dan krusial (2008:84-

87). Parekh menyebut nilai-nilai fundamental itu dengan istilah a moral contract

(kontrak moral). Kontrak moral adalah ketaataan terhadap nilai-nilai yang menjadi

platform bersama dalam masyarakat, sehingga membentuk semacam kepemilikaan

bersama atas nilai-nilai tersebut. Ia menjadi titik temu perbedaan yang harus ditaati

dalam sebuah masyarakat untuk menjamin tegaknya perdamaian. Parekh (2008:87)

menulis,

“..... how immigrant (society) can be assimilated or integrated, we should ask

how they can become equal citizens and be bound to the rest by the ties of

common belonging. Common belonging refers to abroadly shared feeling

among the citizens that they form part of the same community, belong

together, share common interests, are bound to each other by common

systems of right and obligation, depend on each other for their well-being, and

wish to live together on peace for the foreseeable future”.

Nilai-nilai moral yang menjadi norma bersama bisa berasal dari nilai-nilai agama atau

budaya yang telah berkembang dalam sebuah masyarakat dalam waktu yang lama.

Nilai-nilai tersebut bisa merupakan hasil negosiasi dalam sebuah realasi sosial yang

saling mempengaruhi.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

37

Meskipun pandangan Parekh sejalan dengan pandangan para penganut

fungsionalisme yang mempercayai bahwa struktur sistem sosial senantiasa

terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar

anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental

(Ritzer, 1992). Namun bagi Parekh, proses pembentukan nilai tidak boleh direpresi

oleh sebuah kekuatan dominan. Pembentukan nilai bersama haruslah merupakan

sebuah proses yang dinamis dalam masyarakat yang multikultur, sehingga terbentuk

nilai-nilai secara alami yang melahirkan rasa memiliki (belonging) dalam masyarakat.

Seperti konsepsi tentang nilai-nilai lokal yang selama ini menjadi dasar bagi

hubungan sosial di tingkat lokal.

Kearifan lokal adalah suatu sintesis budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor

lokal melalui proses yang dinamis dan berulang-ulang, melalui internalisasi dan

interpretasi terhadap budaya dan ajaran-ajaran agama yang disosialisasikan dalam

bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi

masyarakat (Ahmad, 2006: 102). Dalam pengertian yang lain, Syamsul Maarif (2013)

memberikan devinisi yang singkat tentang kearifan lokal sebagai berikut:

A systematic means consisting of a set of values and practices that a

community uses to reach its communal ideals, i.e. cohesiveness and solidarity.

Jadi kearifan lokal bisa menjadi alat kohesifitas dan solidaritas dalam sebuah

masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan ideal mereka. Kearifan lokal dapat berupa

institusi, simbol-simbol, ritual adat, kata-kata bijak, dan pepatah yang memiliki

makna tertentu. Di sejumlah daerah, sebagian kearifan lokal ada yang masih dalam

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

38

bentuk aslinya, ada juga yang merupakan reka cipta kearifan lokal baru (institutional

development), dalam memenuhi kebutuhan sosial-politik tertentu pada suatu masa

tertentu, yang terus menerus direvisi dan direkacipta ulang sesuai dengan perubahan

kebutuhan sosial-politik dalam masyarakat (Amri Marzali, 2005). Pengembangan

institusi ini harus dilakukan oleh masyarakat lokal secara partisipatif, dengan

melibatkan unsur pemerintah dan unsur-unsur non-pemerintah, dengan kombinasi

pendekatan top-down dan bottom-up. Konsensus berdasarkan nilai-nilai lokal

merupakan sumber moralitas bersama yang diyakini sebagai salah satu faktor yang

memungkinkan masyarakat berada dalam keseimbangan.

Sementara itu agama juga menjadi sumber nilai yang sangat penting dalam

integrasi sosial, karena menurut Emile Durkheim (2008), hakikat agama secara

fungsional merupakan sumber pembentuk solidaritas mekanis. Ia berpendapat bahwa

agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat

individu menjadi satu kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus.

Melalui simbol-simbol yang sifatnya suci, agama mengikat orang-orang yang

terpecah kedalam berbagai kelompok masyarakat untuk terikat dalam satu kesamaan

identitas. Bahkan dalam The Elementary Forms of Religious Life (2001), Durkheim

mengatakan “pada dasarnya ide tentang masyarakat adalah jiwa dari agama”.

Agama sebagai sumber nilai dalam masyarakat juga disebutkan sosiolog

seperti Max Weber (1958) yang mengakui bahwa nilai-nilai etik Protestanisme

tentang keselamatan telah menjadi pendorong tumbuhnya kapitalisme di Eropa Barat.

Demikian juga Robert N. Bellah (1967:3-4), ketika mengidentifikasi elemen-elemen

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

39

umum oriantasi keagamaan yang dimiliki mayoritas terbesar orang Amerika. Bellah

menunjukkan bagaimana dimensi keagamaan menjadi dasar bagi kearifan teologi dan

sosial, yang selanjutnya dijadikan dasar keagamaaan publik (civic religion). Apa yang

bisa dicatat dari studi Bellah adalah bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal bisa

membentuk struktur kehidupan masyarakat yang akan menjadi perspektif baru bagi

bentuk konseptualisasi teologi dengan kerangka dan konteks kultur lokal. Dalam

kultur masyarakat Indonesia yang religius dan multi agama, peluang untuk

mengembangkan nilai-nilai agama yang postif untuk membangun masyarakat yang

integratif dimungkinkan dengan mengidentifikasi nilai-nilai keagamaaan yang bisa

menyumbang pada kerjasama, kerukunan dan perdamaian. Meskipun dalam satu

dasawarsa terakhir kita menyaksikan wajah agama yang menyeramkan karena dibalut

amarah umatnya yang cenderung membangun militansi dan radikalime atas nama

agama.

1.4.1.2 Relasi dalam Proses Integrasi sosial; Civic Association

Secara sosiologis masyarakat bisa terintegrasi bila mereka menjadi anggota

dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation), sehingga selalu terhubungkan

dalam sebuah sistem sosial yang mengikat mereka. Setiap kemungkinan konflik yang

terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera

dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota

masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Dalam hal ini agama bisa menjadi alat

afiliasi sosial yang kuat, kesamaan agama memungkinkan individu-individu yang

berbeda etnis, bahasa dan budaya bisa saling menerima dan bekerjasama. Di daerah

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

40

transmigrasi seperti di Bomberay Kab. Fakfak, masyarakat yang berasal dari Jawa,

meyakini bahwa mereka bisa diterima oleh masyarakat pribumi yang tinggal di

sekitar lokasi transmigrasi karena adanya kesamaan agama. Solidaritas atas nama

agama Islam menyelamatkan mereka pada saat terjadi ketegangan sosial yang luas di

Papua pada tahun 2000-2002. Akan tetapi agama sebagai alat afiliasi sosial memiliki

kelemahan, karena membangun integrasi dalam masyarakat yang memiliki kesamaan

identitas agama, cenderung mengkesampingkan kelompok lain yang berbeda agama.

Oleh sebab itu, dalam masyarakat yang memiliki integrasi sosial yang kuat, kesatuan-

kesatuan sosial dalam masyarakat harus tersedia dalam jumlah yang banyak dan

beragam. Masyarakat juga memerlukan kesatuan sosial yang lain yang melintasi

sekat-sekat agama.

Masyarakat memerlukan sebuah struktur social yang mengikat seperti

diidentifikasi Petter Blau (1984) sebagai social circle affiliation, karena perbedaan-

perbedaan etnis, agama bahkan kelas social dapat dicairkan oleh sistem social yang

mengikat tersebut. Penelitian Asutosh Varsney (2003) tentang konflik social antar

Hindu dan Muslim di India, menjelaskan mengapa sebagian kota di India begitu

rentan dengan konflik komunal sementara yang lainnya bisa mempertahankan

kerukunan antar kelompok. Ada satu faktor yang dimiliki oleh hampir semua kota

yang damai itu, yang disebut Varsney sebagai civic association, yaitu pola relasi

lintas etnik, baik yang terorganisasi (organized civic network) atau yang muncul

dalam kehiduapan sehari-hari (everyday civic network). Varsney sebagaimana dikutip

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

41

Iqbal Ahnaf (2013) menjelaskan kedua bentuk civic association tersebut sebagai

berikut:

The former (everyday civic network) include a variety of assocional forms of

engagement between different etnics groups, as realized through bussiness

association., profesional organization, reading clubs, film clubs, non-

governmental organization, trade unions, and political parties. By contrast,

everydays form of engagement includ simple routine interaction of

neighbourhood lifes, such us families from different etnic groups sharing

meals together or visiting each other, participating in joint festival, and

permitting their children to play together. If robust, both form of engagement

promote etnic peace. Of the two, however, assocional forms are sturdier than

everyday forms us bulwarks against etnic violence. Vigorous associatonal or

organizational life can act as a serious constraint against the polarizing

strategies of political elites intent on manipulating ethnic conflict for thei

owen political purposes (Varsney, 2003)

Masyarakat di kota-kota tersebut terlibat dalam organisasi-organisasi yang

anggotanya beragam (lintas kelompok). Selain itu, tersedia ruang public yang bebas

untuk manfasilitasi keterikatan antar kelompok warga yang memiliki latar belakang

agama, identitas dan kelompok social yang berbeda. Tidak hanya itu ada kesadaran di

tingkat massa maupun pemuka masyarakat untuk berpaling pada dialog. Di sini

dialog terjadi karena adanya kepercayaan (trust), pengakuan (recognition) dan

kesetaraan (equality) antar warga masyarakat.

Modal utama lahirnya integrasi sosial dalam masyarakat adalah adanya

kepercayaan (Trust). Jika ada kepercayaan maka kelompok yang berbeda dalam

masyarakat tidak akan terlibat dalam aksi kekerasan kepada yang lain. Kepercayaan

juga akan membuat masyarakat yang berbeda akan bersedia untuk mendirikan

organisasi-organisasi yang anggotanya beragam dan mau bekerjasama dengan

mereka. Saling percaya juga akan menimbulkan iklim dialog terlebih dahulu dalam

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

42

menyelesaikan perselisihan karena yakin kelompok yang lain juga berfikir hal yang

sama. Penelitian Varsney jelas menunjukkan bahwa trust adalah modal utama bagi

penduduk kota-kota yang rukun untuk mempertahankan kerukunan dan perdamaian

di tempat mereka (Pranawati, 2011:11). Integrasi sosial juga membutuhkan nilai

lainnya yakni pengakuan (recognition) terhadap absahnya perbedaan dan hak bagi

perbedaan itu untuk hidup dalam masyarakat. Dengan adanya pengakuan seperti itu,

maka lahir sikap yang toleran terhadap perbedaan.

1.5.2. Teori Konflik dan Konsensus

Meskipun studi ini secara faktual adalah studi perdamaian, tetapi penulis

menganggap perlu untuk menggunakan konsep tertentu dari teori konflik untuk

menganalisis masyarakat yang semakin dinamis. Konflik dalam masyarakat yang

dinamis adalah bagian yang tak terpisahkan dari fenomena social, atau dalam bahasa

Ralf Dahrendrof (Ritzer, 2009) konflik adalah fenomena social yang selalu hadir

(inherent omni presence) dalam setiap masyarakat manusia. Perbedaan pandangan

dan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat merupakan fenomena

sosial yang alamiah dan tidak terhindarkan. Konflik dipercaya sebagai konsekwensi

dari adanya perbedaan yang sudah merupakan hukum alam (sunnatullah) yang

berlaku pada semua ciptaan Tuhan, termasuk manusia. Hakekat perbedaan watak dan

kecenderungan manusia itulah yang sering mengakibatkan terjadinya konflik. Para

teoritisi Marxian menganggap konflik dibutuhkan -bahkan perlu diciptakan- agar

terjadi proses dialektika untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

43

Pandangan tersebut mengandaikan bahwa konflik adalah fenomena yang

selalu hadir, sekalipun dalam sebuah masyarakat yang sangat harmonis. Di sini

terdapat dua kemungkinan, “pertama”, pada masyarakat yang harmonis konflik tidak

menimbulkan kekerasan dan hanya muncul dalam bentuk pertentangan, kontestasi

dan kompetisi. Atau seperti yang dibayangkan Pierre Bourdieu (1991) konflik hanya

terjadi dalam bentuk symbolic, dimana terjadi perebutan wacana, dominasi dan

hegemoni. “Kedua”, sejatinya ditemukan potensi konflik namun suatu kelompok

masyarakat memiliki kemampuan untuk mengelola situasi konfliktual tersebut

dengan baik, sehingga tidak menimbulkan ekses kekerasan. Hal ini sejalan dengan

padangan Giddens (2002:116) yang menyebutkan bahwa kekerasan pada dasarnya

adalah manifestasi dari suatu konflik yang tidak terlembaga (un-institutionalized

conflict). Sementara keadaan sebaliknya, yaitu konflik yang terlembaga dengan baik

(institutionalized conflict), akan dapat diselesaikan dengan cara-cara damai dan

demokratis.

Dengan demikian studi terhadap terhadap konflik tidak mesti berpusat pada

manifestasi kekerasan, namun juga mencermati proses-proses relasi sosial yang

terjadi dalam masyarakat yang sering diwarnai kontestasi dan negosiasi untuk

menemukan keseimbangan. Seperti yang didevinisikan dalam International

Dictionary, “Clash, competition, or mutual interference or incompatible, force or

qualities (as idea, interest, will)”. (Bahwa konflik memiliki cakupan yang cukup luas

meliputi pertentangan atau bentrokan, persaingan atau gangguan oleh kelompok

secara fisik atau benturan antara kekuatan-kekuatan yang sulit didamaikan atau

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

44

pertentangan-pertentangan dalam tataran kualitas seperti ide-ide, kepentingan-

kepentingan atau kehendak-kehendak).6 Pengertian ini menghendaki agar

pembahasan teoritik tentang konflik harus dianalisis dari berbagai paradigma (sudut

pandang).

Para sosiolog biasanya memahami konflik dalam paradigma fakta. Yaitu

sebuah pemahaman yang mempercayai bahwa manusia pada prinsipnya tunduk dan

mengikuti fakta sosialnya. Pandangan seperti ini menyoroti bahwa wewenang dan

posisi dalam fakta sosial merupakan sumber pertentangan sosial, karenanya

merupakan sentral dari teori konflik (Robert A. Levine dan Donalt T. Campbell,

1972:17). Perbedaan posisi itu pada gilirannya dapat memicu timbulnya konflik

dalam masyarakat.

Ide-ide pokok dari teori konflik, menurut Ritzer (2009) dapat dirinci menjadi

tiga hal, yaitu “pertama”, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang

ditandai oleh adanya pertentangan terus menerus di antara unsur-unsurnya. “Kedua”,

Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. “Ketiga”,

keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya

tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa7. Jadi

sekali lagi harus ditegasan bahwa konflik tidak selalu hadir dalam bentuk-bentuk

6 lihat, International Dictionary, Meriam – Webster Inc. Publisher, 1993

7 Perspektif sosiologis ini berbeda dengan perspektif strukturalis yang bersandar pada tiga pemikiran

pokok. Pertama, masyarakat berada dalam kondisi statis atau bergerak dalam kondisi keseimbangan.

Kedua, setiap elemen atau institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas. Ketiga, anggota

masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum (Ritzer, 1992:

72)

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

45

kekerasan, karena ia bisa hadir dalam bentuk-bentuk pertentangan yang bersifat

simbolik.

Tampaknya teori konflik merupakan resistensi atas konservatisme

fungsionalisme struktural yang dianggap sulit untuk menjelaskan proses perubahan

sosial yang dinamis dalam sebuah masyarakat. Namun seperti yang diungkap

Dahrenrof (Ritzer, 2009:282) teori konflik memiliki sisi yang lain yaitu konsensus.

Konflik hanya dapat dikelola dengan memperkuat konsensus dalam sebuah

masyarakat. Teori konsensus digunakan untuk menelaah negosiasi dan relasi yang

terjadi dalam masyarakat yang menghadirkan nilai-nilai yang mendorong mereka

pada struktur sosial yang damai (Maswadi Rauf, 2000:15). Dengan kata lain konflik

yang hebat sekalipun memiliki peluang untuk dapat dipadamkan atau didamaikan

dengan mengkombinasikan dua pola sekaligus. “Pertama”, membangun konsensus

yang mempertemukan “kepentingan-kepentingan” kelompok yang bertikai tersebut

kedalam sebuah tatanan kekuasaan yang bisa mengurangi perbedaan. “Kedua”,

dibutuhkan usaha yang serius untuk mendorong penguatan kembali nilai-nilai

kebersamaan yang disebut Parekh (2008:87) sebagai “contract moral” antar kelompok

dan individu dalam sebuah masyarakat majemuk.

Berbagai studi tentang konflik dan kekerasan di Indonesia menunjukkan

bahwa penanganan konflik (resolusi konflik) di daerah-daerah yang dilanda konflik

horisontal (seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi tengah,

Maluku dan Maluku Utara) memperlihatkan kecenderungann yang masih berpola

elitis dengan keterlibatan aktor atau kelompok dominan tertentu saja dengan men-

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

46

exlude publik (tidak melibatkan masyarakat), yang justru paling menderita akibat

konflik. Hal yang sama dapat dilihat pada pola penanganan konflik di Papua yang

cenderung didominasi kekuatan negara yang hegemonik. Negara menjadi institusi

yang memegang kendali atas konflik Papua sekaligus usaha penyelesaian konflik.

Negara berusaha membangun konsensus untuk mempertemukan kepentingan negara

dan elit Papua melalui serangkaian kebijakan politik dan ekonomi yang diyakini akan

mengurangi ketegangan dan konflik di Papua. Namun proses tersebut tenyata belum

berhasil karena mengabaikan kekuatan-kekuatan lokal yang sebetulnya mendukung

tegaknya perdamaian. Fenomena kelompok masyarakat yang harmonis di wilayah

Fakfak di Propinsi Papua Barat, bisa menjadi pintu masuk untuk mendiskusikan

teorisasi konflik dan konsensus yang telah dijelaskan di atas.

Secara paradigmatik pemanfaatan teori konflik merupakan sesuatu yang

bertentangan dengan teori integrasi sosial. Namun penjelasan teori konflik tetap

diperlukan untuk menjelaskan fenomena Fakfak, karena sebagai salah satu wilayah di

Papua, Fakfak tentu memiliki potensi konflik yang hampir sama dengan daerah di

sekitarnya. Misalnya isu tentang wacana kemerdekaan Papua, diskriminasi dan

peminggiran sosial. Dengan kata lain potensi konflik di Fakfak merupakan fakta

yang mesti juga diakui sebelum membicarakan integrasi sosial. Perbedaannya ada

pada sistem nilai yang mampu mendorong masyarakat untuk mengelola berbagai

potensi konflik tersebut sehingga tidak memunculkan ekses kekerasan yang

destruktif.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

47

1.5.3. Teori Konstruksi dan Reproduksi Sosial

Sebagaimana telah dikemukakan dimuka bahwa konsep integrasi sosial dapat

digunakan untuk menjelaskan penyatuan yang dapat mengintegrasikan kelompok-

kelompok sosial dalam masyarakat, dengan cara menjembatani perbedaan–perbedaan

yang ditimbulkan oleh faktor-faktor teritorial; kultur, agama, kepentingan, kelas

sosial dan sebagainya, dengan mengurangi kesenjangan yang ditimbulkan oleh factor-

faktor tersebut. Namun konsep integrasi sosial memiliki kelemahan untuk

menjelaskan bagaimana proses-proses tersebut terjadi, sehingga diperlukan konsep-

konsep lain untuk memperkuat penjelasan tentang dinamika kemasyarakatan.

Kompilasi teoritis teoritik diperlukan untuk menkonseptualisasi gagasan bahwa

perdamaian dalam masyarakat pada dasarnya adalah sebuah konstruksi sosial (social

construction) yang melibatkan berbagai aktor untuk membentuk makna tertentu, yang

dibangun bahkan diubah dalam suatu ruang dengan serangkaian pilihan nilai dan

kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing aktor dengan tingkat kekuasaan yang

berbeda (Irwan Abdulla, 2006;2). Proses pemaknaam itu yang menjadikan

masyarakat sebagai produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus

(Berger dan Luckman, 1967). Pernyataan ini menegaskan satu bentuk konstruksi

sosial bahwa dinamika kemasyarakatan bukan merupakan sebuah keseimbangan yang

tunggal dan statis, sebagaimana dibayangkan oleh para penganut fungsionalisme

tentang equilibrium dalam integrasi sosial. Ternyata keseimbangan dalam masyarakat

adalah keseimbangan yang dinamis, bahkan juga kontestatif.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

48

Oleh sebab itu, meskipun disertasi ini mengetengahkan pendekatan integrasi

sosial dalam memotret dinamika perdamaian di Fakfak, namun integrasi sosial yang

dipahami bukanlah sesuatu yang statis dan tunggal, tetapi dinamis dan kontestatif.

Masyarakat beserta segenap produknya adalah hasil konstruksi sosial, yang

mengalami reproduksi dalam ruang-ruang budaya yang kompleks. Cara pandang

seperti ini membutuhkan kerangka teoritis yang lebih kritis seperti konstruksi dan

reproduksi sosial untuk menganalisis dinamika integrasi sosial yang terjadi. Upaya

memahami fenomena sosial kemasyarakan di Fakfak dengan pendekatan kontruksi

dan reproduksi sosial, dapat menjadi solusi teoritik terhadap kritik yang menyebutkan

bahwa konsep integrasi sosial adalah penguatan pada status quo. Untuk memenuhi

kebutuhan konseptual tersebut, maka dalam disertasi ini penulis akan memanfaatkan

pandangan Berger dan Luckman (1994) tentang konstruksi sosial dan pandangan

Pierre Bourdieu (2002) tentang reproduksi sosial. Kedua teori tersebut akan

membantu untuk melihat sejauhmana norma-norma sosial di Fakfak dibentuk,

dimanfaatkan dan dilembagakan dalam sebuah proses sosial yang dinamis.

Konstruksi sosial yang diperkenalkan oleh Berger dan Luckman (1990),

menggambarkan bahwa proses pelembagaan nilai dalam dalam sebuah masyarakat

terjadi dalam tiga tahapan yang saling terintegrasi, yakni eksternalisasi-objektivasi-

internalisasi. Eksternalisasi ialah proses penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural

sebagai produk manusia. Sebab setiap individu dalam masyarakat yang diakui mesti

menyerap nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat “society is a human

product”. Sedangkan objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

49

dilembagakan atau mengalami institusionalisasi, “Society is an objective reality”.

Adapun internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga

sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “man is a

social product” .

Proses antara eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi berjalan simultan,

artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu

berada di luar (objektif) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam

(internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada

dalam diri atau kenyataan subyektif. Konstruktivisme Berger ini bisa dilihat sebagai

sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena

terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di dekitarnya.

Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu

berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh

Berger dan Luckman (1990) disebut dengan konstruksi sosial.

Pendekatan konstruksi sosial sebagaimana yang digambarkan Berger dan

Luckman dapat dilihat dalam fenomena masyarakat Fakfak. Hubungan antar manusia

dalam kehidupan masyarakat di Fakfak telah melahirkan lembaga-lembaga sosial

sebagai realitas. Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi di sisni, ketika semua

kegiatan masyarakat Fakfak mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya

tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang

kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang

dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipikasi yang timbal-balik dari

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

50

tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain,

tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga sosial (Sukidin Basrowi, 2002:206)

Sebagai tindak lanjut dari pelembagaan nilai terdapat proses reproduksi sosial

untuk menjamin kehidupan sosial tetap dalam satu keseimbangan. Piere Bourdieu

(1977) memperkenalkan konsep habitus dan field (ranah) untuk menganalisis

reproduksi sosial dalam masyarakat. Pemanfaatan kerangka teoritis Bourdeu untuk

menganalisis keterlibatan individu dalam sebuah proses sosial, diperlukan untuk

memverifikasi apakah struktur damai yang terjadi di Fakfak dikembangkan

berdasarkan kesadaran yang bebas atau karena tunduk pada suatu struktur sosial yang

teratur dan dominatif.

Dalam Outline of a Theory of Practice Bourideu (1977:72) mendefinisikan

habitus sebagai berikut:

Habitus adalah sistem yang terdiri dari struktur yang bertahan lama. Sebuah

struktur yang cenderung berfungsi sebagai struktur yang memberikan struktur,

atau sebagai asas yang melahirkan dan menyusun kebiasaan dan

penggambaran yang dapat disesuaikan secara objektif pada hasilnya, tanpa

mensyaratkan tujuan yang sadar terhadap hasil-hasil atau penguasaan terhadap

langkah-langkah yang perlu untuk dicapai.

Dalam bahasa yang lebih sederhana habitus bisa ditafsirkan sebagai struktur mental

atau kognitif yang dengannya orang-orang berhubungan dengan dunia sosial.

Individu menggunakan habitus untuk berhubungan dengan realitas sosial karena ia

telah dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk

mempersepsi, memahami, mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial (Ritzer,

2010:577). Seperti benar-salah, baik-buruk, berguna-tidak berguna, terhormat-terhina

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

51

(Adib, 2012:97). Skema-skema tersebut berhubungan sedemikain rupa sehingga

membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka tindakan kepada individu

dalam hidup kesehariannya bersama orang-orang lain.

Habitus bekerja di bawah level kesadaran dan bahasa, diluar jangkauan

pengawasan dan kontrol introspeksi kehendak. Dengan demikian habitus adalah

produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan

masyarakat dalam ruang waktu tertentu. Bourdieu meyakini bahwa kebiasaan

seseorang bukan diturunkan dari bakat tetapi oleh habitus yang merupakan hasil

pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain dan juga pendidikan masyarakat

dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus, tidak disadari dan tampil

sebagai hal yang wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah (Richad Harker,

(edit.), 2009:xix).

Bourdieu melihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena ia

bersifat sentral dalam membangkitkan serta mengatur praktik-praktik yang

membentuk kehidupan social. Misalnya ketika berjalan di lajur sebelah kiri,

kebanyakan dari kita tidak lagi memperhatikan petugas polisi. Tidak diperlukan lagi

pemasangan rambu-rambu lalulintas yang mengingatkan kita untuk berjalan di

sebelah kiri. Sebab berjalan disebelah kiri telah menjadi kebiasaan yang bersifat

teratur dan berpola, tetapi bukan merupakan ketundukan pada peraturan tertentu

(Adib, 2012:101). Tegasnya berjalan disebelah kiri merupakan habitus atau kebiasaan

sosial yang menjadi sebuah tindakan.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

52

Kerangka pikir Bourdieu tentang habitus sebagaimana dijelaskan di atas pada

dasarnya bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena keteraturan sosial dalam

sebuah masyarakat yang harmonis, sebagaimana akan ditunjukkan dalam penelitian

ini. Nilai-nilai tentang harmoni dan perdamaian seperti kearifan-kearifan lokal

sebetulnya adalah habitus yang berproses secara tidak disadarai dan dilaksanakan

mayarakat sebagai sebuah bentuk kebiasaan yang tidak terikat dengan berbagai aturan

formal yang ada. Tetapi ia menjadi sebuah struktur yang menundukkan kehidupan

sosial. Dalam kasus Fakfak, habitus perdamaian yang kuat memungkinkan siapapun

yang datang ke Fakfak, tanpa menyadari turut menjalankan berbagai norma lokal

yang mempromosikan toleransi, harmoni dan perdamaian. Hal ini pula yang

menejelaskan mengapa masyarakat Fakfak memiliki kecenderungan untuk menolak

kekerasan, termasuk institusi-institusi yang berpeluang melahirkan kekerasan di

wilayahnya. Habitus sosial di Fakfak mewujud dalam serangkaian modal kultural

yang dimaknai oleh masyarakat dalam relasi sosial sehingga membentuk kebiasaan

yang positif dan mendukung perdamaian.

Konsep habitus tidak bisa dipahami tanpa melihat hubungannya dengan

konsep field (ranah). Bourdieu memandang rana sebagai jaringan relasional antar

posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaram

indvidual. Oleh karena itu ranah bukan ikatan intersubektif antara individu, namun

semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi

individu. Ranah merupakan metafora yang digunakan Bourdieu untuk

menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

53

yang dikandungnya. (Ritzer dan Goodmanm 2010:582-590). Posisi-posisi dalam

ranah ini ditentukan oleh banyaknya volume kapital yang dimiliki masing-masing

pelaku atau kelompok sosial. Dengan kata lain, struktur distribusi kekuasaan dalam

Ranah merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya perjuangan untuk

memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk memperoleh akses tertentu

yang dekat dengan kekuasaan; (2) semacam hubungan terstruktur yang tanpa disadari

mengatur posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk

secara spontan. Ranah menjadi pasar kompetitif yang didalamnya berbagai jenis

modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan dan dimanfaatkan (Adib,

2012).

Bourdieu melihat pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam

mereproduksi dan melestarikan relasi kekuasaan dan hubungan kelas dalam

masyarakat. Dalam menekankan pentingnya habitus dan ranah, Bourdieu menolak

untuk memisahkan anatara metodologi individualis dan metodologi menyeluruh.

Dengan kata lain ranah menkondisikan habitus; di pihak lain, habitus menyusun

ranah, sebagai sesuatu yang bermakna, yang mempunyai arti dan nilai. Ranah yang

dimaksud Bourdieu adalah sistem yang telah berkembang menjadi kebiasaan. Sebuah

contoh menarik, misalnya dikemukkaan Adib (2012:106), terkaitkan dengan pola

kebersihan dan atau cara orang membuang sampah di Singapura yang memang sudah

terbentuk dan terkondisikan tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungannya.

Di Singapura tidak ada orang yang membuang sampah di sembarangan tempat.

Merek sudah terbiasa membuang sampah di tempat yang telah disediakan. Ranah

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

54

serta sistem yang telah berkembang sudah menyiapkan segala sesuatunya sehingga

pola hidup bersih sudah menjadi hal yang wajar dan seharusnya dijaga oleh semua

pihak. Di sini field atau ranah yang dimaksud Bourdieu telah terbentuk dengan baik.

Adapun field (ranah) yang dimaksud dalam studi ini adalah struktur

perdamaian dalam masyarakat Fakfak. Ranah bisa mewujud pada keberadaan

pemerintah, institusi adat, institusi agama, civil society, yang dalam perspektif

Bourdieu, merupakan agen yang menyerap nilai-nilai budaya untuk menstrukturkan

struktur sosial masyarakat Fakfak agar tetap harmonis. Proses menstrukturkan dan

distrukturkan tersebut bisa terjadi melalui kontestasi, negosiasi atau kompromi.

Dalam bentuk yang nyata bisa dilihat pada berbagai upacara keagamaa, ritual-ritual

adat, aturan-aturan perudangan-undangan, praktik politik lokal yang dilembagakan

ataupun kebiasaan berbahasa dan simbol-simbol kutural lainnya.

Dengan demikian praksis dari kerangka konseptual Bourdieu tentang habitus

dan field (ranah), memiliki relevansi untuk menjelaskan fenomena harmoni sosial

yang tebentuk pada masyarakat Fakfak. Situasi harmonis yang tejadi merupakan

produk kultural yang telah terbingkai dalam modal kultural masyarakat setempat,

sepertinya adanya kearifan lokal satu tungku tiga batu, yang tanpa disadari menjadi

habitus dalam pikiran dan tindakan masyarakat. Hal ini ditambah dengan keberadaan

kepemimpian adat yang kuat, struktur pemerintahan lokal yang cenderung

akomodatif pada perbedaan dan adanya dukungan berbagai kelompok sosial lain yang

mendukung pelembagaan nilai-nilai kultural masyarakat Fakfak tersebut kedalam

arena politik, ekonomi, budaya dan pemerintahan. Arena politik (pemerintahan) dan

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

55

ekonomi yang selama ini menjadi medan kontestasi yang melahirkan berbagai kisah

konflik di seluruh Papua, dalam kasus Fakfak berhasil distrukturkan oleh habitus

sosial setempat yang bermodalkan nilai-nilai kearifan lokal. Proses pembentukan

struktur harmoni dan perdamaian pada masyarakat Fakfak tentu bukan merupakan

sesuatu stagnan, tetapi juga dinamis dan kontestatif. Melalui relasi sosial yang

demikian, masyarakat Fakfak membangun kehidupan sosialnya yang terus

berkembang dari waktu ke waktu.

1.6. Metode Penelitian.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (studi kasus) yang menggunakan

metode fenomenologi dengan pendekatan kualitatif. Objek yang dikaji adalah

integrasi sosial di Papua, khususnya yang terjadi pada masyarakat Fakfak di Propinsi

Papua Barat. Asumsi-asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah bahwa

integrasi sosial yang terjadi di Fakfak tampaknya disebabkan oleh beberapa faktor

atau variabel yang saling berkaitan, yaitu (1) Fakfak memiliki sejumlah karakteristik

dan keunikan dibandingkan wilayah lainnya di Papua, sehingga dinamika intergasi

sosial yang tercipta memiliki keberhasilan yang sangat tinggi; (2) adat dan agama

dalam masyarakat Fakfak merupakan elemen-elemen sosial yang sangat penting dan

strategis yang mampu merekatkan perbedaan-perbedaan agama, etnisitas, pandangan

politik hingga kepentingan-kepentingan ekonomi dalam satu hubungan sosial yang

harmonis; (3) nilai-nilai kultural tersebut sudah dapat dilembagakan dalam aktifitas

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

56

politik pemerintahan dan praktik-praktik ekonomi lokal sehingga memberikan

jaminan yang kuat pada keberlanjutan harmoni dan perdamaian.

Melalui metode fenomenologi diharapkan deskripsi atas fenomena yang

tampak di lapangan dapat diiterpretasi makna dan isinya secara lebih baik dan

mendalam. Selain itu berbagai fenomena sosial yang menjadi objek penelitian ini

dapat diluksikan melalui penyederhaan dan klasifikasi dengan memanfaatkan konsep-

konsep yang bisa menjelaskan secara analitis dan sistematis (J. Vredenbregt,

1983:345). Karena tujuan penelitian adalah interpretasi terhadap makna, maka

penelitian ini dilakukan secara kualitatif tanpa uji hipotesis. Namun demikian, asumsi

diperlukan dalam rangka merumuskan hubungan dan keterkaitan antar-variabel, yaitu

antar variabel-variabel independen (pengaruh) dan variabel dependen (terpengaruh),

sehingga komlpeksitas realitas sosial yang diteliti menjadi lebih sederhana dan relatif

mudah untuk dilakukan analisis.

Adapun data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui

model penelitian lapangan (field research) yang akan didukung oleh penelitian

pustaka (library research). Penelitain lapangan merupakan pengambilan data

lapangan tentang bagaimana proses integrasi sosial yang terjadi dalam masyarakat

Fakfak di Papua Barat. Mengingat penelitian ini merupakan qualitative research,

maka data-data yang tersaji dikumpulkan dengan cara-cara dan strategi pengumpulan

data yang lazim digunakan dalam pengumpulan data yang bersifat qualitative. Seperti

pengamatan (observation), wawancara mendalam (indepth-interview), serta studi

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

57

dokumentasi. Berikut akan dijelaskan secara singkat beberapa aspek signifkan dari

empat tahapan tersebut.

1) Pengamatan (observation)

Fokus observasi dalam penelitian ini adalah masyarakat fakfak yang

berada di Sembilan Distrik (kecamatan) di Kabupaten Fakfak Propinsi Papua

Barat. Observasi langsung ke lapangan bertujuan untuk menggali data tentang

kehidupan sosial masyarakat Fakfak, dengan memperhatikan beberapa hal

pokok. “Pertama”, bagaimana proses interaksi antar masyarakat yang berbeda

agama, suku, bahasa dan status ekonomi. “Kedua”, mengidentifikasi factor-

faktor apa saja yang membuat masyarakat dapat tetap hidup, rukun dan damai

dalam perbedaan-perbedaan tersebut. Hal-hal yang diamati adalah aktifitas

sosial-budaya, agama, ekonomi, politik dan pemerintahan. Dalam hal ini saya

penulis melakukan pengamatan secara partisipatif melalui penelusuran

lapangan untuk mengetahui kehidupan sehari-hari, serta ikut serta dalam

berbagai aktifitas, baik praktek budaya, sosial, agama, ekonomi dan lain

sebagainya. Selama satu tahun penulis telah mengunjungi Papua sebanyak dua

kali dan berdiam diri selam 3 bulan pada masing-masing kunjungan tersebut.

Proses ini penting untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang sistuasi

politik, sosial, ekonomi dan budaya setempat.

2). Wawancara mendalam (indepth interview)

Wawancara mendalam merupakan proses menggali informasi dari

informan kunci yang ditemukan dalam proses penelitian di lapangan

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

58

berdasarkan kebutuhan penelitian lapangan (Denzin dan Lincoln, 1994:12).

Dalam hal ini penulis telah melakukan wawancara mendalam dengan 28

tokoh masyarakat Fakfak yang terdiri dari kalangan intelektual, raja yang

pemimpin kerajaan lokal (pertuanan), kepala suku, pemimpin agama,

pemimpin politik dan pejabat birokrasi.

Wawancara akan dilakukan secara langsung, dengan memanfaatkan

dua akses secara simultan. Yakni proses tatap muka (face to face) dengan

informan dan proses komunikasi yang memanfaatkan kemajuan teknologi saat

ini seperti wawancara melalui handphone dan jejaring sosial yang tersedia

secara on-line di internet. Pertanyaan-pertanyaan dan pengayaan topik

pertanyaan akan dikembangkan oleh peneliti menurut situasi dan kondisi yang

berlangsung ketika penelitian dilakukan. Oleh sebab itu, wawancara

mendalam dapat dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terstruktur

maupun tidak terstruktur terhadap para informan yang dianggap mengetahui

data-data yang dibutuhkan dalam penelitian. Peneliti dalam melakukan

penelitian akan dituntut untuk selalu mengembangkan keterampilan

mengembangkan gagasan dan mengujinya melalui wawancara secara terus-

menerus, sehingga dapat diperoleh gambaran komprehensif dan data teoritis

final terhadap objek yang diteliti. Sehingga tidak ada lagi keterangan empiris

yang bertentangan dengan gagasan yang dibangun dalam proses penelitian.

Selain model wawancara yang bersifat formal, dimana para informan

mengetahui posisi penulis sebagai peneliti, penulis juga melakukan

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

59

perbincangan-perbindangan ringan dengan masyarakat Fakfak, baik

masyarakat asli maupun pendatang untuk mendengarkan kisah-kisah mereka,

kesan (persepsi) mereka tentang kondisi Fakfak dan kesaksian-kesaksian

mereka yang terkait dengan tema yang dikembangkan dalam disertasi ini.

Penulis harus mengakui bahwa, seringkali melalui perbincangan informal

tersebut banyak hal-hal baru yang tidak terungkap melalui wawancara dengan

para informan kunci.

3). Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen

yang terkait dengan masyarakat Fakfak. Termasuk membuat perbandingan

(comparasi) dengan masyarakat lainnya di Indonesia yang memiliki

kesamaan dengan permasalahan yang dihadapi dalam objek penelitian ini.

Berbagai dokumen tersebut akan mendukung dan memperkaya analisis

tentang dinamika masyarakat dan interaksi sosial yang produktif dan positif.

Setelah proses pengumpulan data dalam penelitian ini sudah dianggap cukup

dan telah dilakukan pencatatan secara seksama atas semua data tersebut secara

lengkap, maka tahapan terakhir yang dilakukan adalah melakukan analisis terhadap

data-data tersebut. Meskipun dalam proses penelitian, penulis telah menempatkan diri

sebagai bagian dari masyarakat Fakfak, namun pada tahapan analisis, penulis tetap

menjaga netralitas dan sikap kritis sehingga proses ini berlangsung secara objektif.

Proses analisis yang dimaksud adalah sebagai berikut. “Pertama”, menelaah data-data

yang telah dikumpulkan dalam penelitian dan dikelompokkan secara tematis sesuai

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75437/potongan/S3...4 keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu

60

topic-topik yang menjadi pertanyaan utama dalam penelitian. “Kedua”, mengkaji

kaitan data dengan konteks eksternal, seperti lingkungan social, politik, ekonomi dan

budaya. Pada bagian ini ditentukan factor-faktor yang membentuk harmoni dan

perdamaian, nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama (comman platform), actor-

aktor dan isntitusi yang terlibat serta proses-proses negosiasi yang terjadi. “Ketiga”,

dilanjutkan dengan menyusun/memproses data dalam satuan (unitizing), serta

melakukan kategorisasi dan penafsiran terhadap data. Metode interpretatif

fenomenologis digunakan untuk melihat makna yang telah didapatkan dari data-data

yang terkumpulkan. Dalam perspektif integrasi sosial di Fakfak, data-data yang telah

terkumpul dalam penelitian selanjutnya dinventarisir, dikelompokkan sesuai

pertanyaan penelitian dan dideskripsikan dalam tulisan, sehingga menghasilkan

sebuah pemahaman yang utuh.