BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdf · posisi Partai Golden Dawn di...

25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses integrasi Kawasan Uni Eropa kini tengah diuji. Pandangan skeptis terhadap integrasi Uni Eropa (Euroscepticism) semakin meluas dan populer di kalangan masyarakat negara anggota Uni Eropa. Data survey Eurobarometer dari tahun 1990 hingga 2011 menunjukkan adanya peningkatan persepsi publik yang mengatakan bahwa unifikasi negara terhadap Uni Eropa adalah hal yang buruk (European Commission, n.d. a). Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi pandangan skeptis terhadap Uni Eropa diantaranya adalah ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, ketidakpercayaan terhadap institusi supranasional, kekhawatiran terhadap hilangnya identitas nasional, dan refleksi terhadap kepentingan pribadi (McLaren, 2007). Euroscepticism didorong oleh kebijakan Uni Eropa yang dianggap merugikan (McLaren, 2007). Kebijakan Schengen yang memberikan peluang untuk bergerak secara bebas dalam Area Schengen dan kemajuan pesat ekonomi Uni Eropa telah menarik minat imigran dari negara non- Uni Eropa untuk bermigrasi menuju Uni Eropa (Kasimis, 2012). Akibatnya, angka imigran di Uni Eropa meningkat pesat sejak 1990-an (Triandafyllidou & Gropas, 2007b). Awalnya imigrasi dianggap bermanfaat bagi ketersediaan tenaga kerja (labor supply) di negara penerima migran di Uni Eropa. Namun, seiring perlambatan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara penerima migran, imigrasi dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdf · posisi Partai Golden Dawn di...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses integrasi Kawasan Uni Eropa kini tengah diuji. Pandangan skeptis

terhadap integrasi Uni Eropa (Euroscepticism) semakin meluas dan populer di

kalangan masyarakat negara anggota Uni Eropa. Data survey Eurobarometer dari

tahun 1990 hingga 2011 menunjukkan adanya peningkatan persepsi publik yang

mengatakan bahwa unifikasi negara terhadap Uni Eropa adalah hal yang buruk

(European Commission, n.d. a). Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi

pandangan skeptis terhadap Uni Eropa diantaranya adalah ketidakpuasan terhadap

kinerja pemerintah, ketidakpercayaan terhadap institusi supranasional,

kekhawatiran terhadap hilangnya identitas nasional, dan refleksi terhadap

kepentingan pribadi (McLaren, 2007). Euroscepticism didorong oleh kebijakan Uni

Eropa yang dianggap merugikan (McLaren, 2007). Kebijakan Schengen yang

memberikan peluang untuk bergerak secara bebas dalam Area Schengen dan

kemajuan pesat ekonomi Uni Eropa telah menarik minat imigran dari negara non-

Uni Eropa untuk bermigrasi menuju Uni Eropa (Kasimis, 2012). Akibatnya, angka

imigran di Uni Eropa meningkat pesat sejak 1990-an (Triandafyllidou & Gropas,

2007b).

Awalnya imigrasi dianggap bermanfaat bagi ketersediaan tenaga kerja

(labor supply) di negara penerima migran di Uni Eropa. Namun, seiring

perlambatan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara penerima migran, imigrasi

dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi

2

(McLaren, 2003). Krisis ekonomi Eropa di tahun 2010 mengakibatkan tingginya

tingkat pengangguran di berbagai negara Uni-Eropa, terutama di Spanyol dan

Yunani yang tingkat penganggurannya mencapai lebih dari 20% (Eurostat, 2014).

Selain itu, jumlah imigran yang besar juga dapat menjadi ancaman terhadap nilai-

nilai budaya yang menjadi identitas nasional masyarakat lokal negara anggota Uni

Eropa (Jozwiak, 2012). Ancaman ekonomi dan budaya ini kemudian memicu

ketegangan antara masyarakat lokal dengan penduduk imigran yang cenderung

berujung pada tindak kekerasan terhadap imigran. Tindak kekerasan yang muncul

seperti pelecehan, pemukulan, penikaman, bahkan pembunuhan. Penyerangan

terhadap imigran di Yunani mencapai 900 kasus sejak tahun 2010 (Kotsoni, 2013).

Berbagai tindakan kekerasan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk

mengintimidasi para imigran untuk kembali ke negara asalnya.

Alih-alih mendeportasi para imigran, pemerintah negara-negara penerima

migran di Uni Eropa justru memberlakukan kebijakan regularisasi dan reunifikasi

yang memberikan kesempatan bagi imigran untuk tetap berada di negara tersebut.

Bahkan, kebijakan untuk membatasi jumlah imigran yang masuk dinilai tidak

efektif, sebab masuknya imigran tercatat tetap tinggi di berbagai negara Uni-Eropa

(McLaren, 2003). Keinginan masyarakat lokal untuk memulangkan penduduk

imigran dari negara mereka tidak dapat terakomodasi dengan baik oleh partai

politik mainstream yang mendominasi pemerintahan. Akibatnya, masyarakat lokal

memilih untuk memberi dukungan pada partai politik radikal kanan yang

menawarkan agenda politik anti-imigrasi. Sejak tahun 1980-an, dukungan terhadap

partai radikal kanan di Eropa mengalami peningkatan (Mudde, 2014). Terdapat 14

3

dari 27 negara anggota Uni Eropa yang memiliki anggota dewan parlemen dari

partai radikal kanan (Red Pepper, 2009). Salah satu partai radikal kanan yang sukses

meraih dukungan suara adalah Partai Golden Dawn di Yunani pada tahun 2012.

Peningkatan dukungan terhadap partai radikal kanan di Yunani ditunjukkan

dengan meningkatnya elektabilitas partai radikal kanan Golden Dawn dalam pemilu

parlemen Yunani tahun 2012. Hasil pemilihan umum Parlemen Yunani

menunjukkan hasil yang menarik. Dua partai mainstream Yunani yaitu Partai New

Democracy (ND) dan Partai Pan Hellenic Socialist Movement (PASOK)

mengalami penurunan perolehan suara yang cukup tinggi dibandingkan hasil

pemilu sebelumnya. Sementara, partai radikal kanan Golden Dawn berhasil

memperoleh peningkatan perolehan suara secara drastis sehingga berhasil

menduduki 18 kursi di parlemen Yunani (Igraphics, 2012). Padahal, Partai Golden

Dawn tidak pernah memperoleh dukungan suara lebih dari 1% pada pemilu

sebelumnya (Hellenic Republic Ministry of Interior, 2014). Perolehan ini

merupakan keberhasilan terbesar sejak partai tersebut berdiri pada tahun 1985.

Peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn pada pemilu Parlemen

Yunani tahun 2012 menjadi menarik sebab Golden Dawn tidak pernah meraih

perolehan suara yang tinggi sebelumnya. Selain itu, ideologi yang diadopsi oleh

Partai Golden Dawn mirip dengan ideologi partai radikal kanan lainnya di Eropa.

Ideologi tersebut ialah fasisme atau nasionalisme. Ideologi ini sebenarnya tidak

populer di Yunani pasca berakhirnya pemerintahan junta militer tahun 1974.

Peningkatan perolehan suara Partai Golden Dawn yang tinggi dipengaruhi

oleh berbagai agenda politik yang ditawarkan oleh partai tersebut. Salah satu

4

agenda politik yang ditawarkan adalah kebijakan anti-imigrasi yang bertujuan

untuk mengurangi imigran di Yunani. Agenda politik anti-imigrasi tersebut berbeda

dengan kebijakan imigrasi yang diimplementasikan oleh Pemerintah Yunani.

Kebijakan imigrasi Pemerintah Yunani sejak tahun 1997 menunjukkan bahwa

pemerintah masih mentolerir keberadaan penduduk migran ilegal di Yunani

(Kiprianos, et al., 2003). Penelitian ini menganalisis pengaruh agenda politik anti-

imigrasi partai radikal kanan di Kawasan Uni Eropa dengan melihat contoh kasus

kemenangan partai radikal kanan Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani

tahun 2012.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang dijelaskan sebelumnya, penelitian

ini menjelaskan mengapa agenda politik anti-imigrasi Partai Golden Dawn dapat

mempengaruhi perolehan suara partai tersebut pada pemilu Parlemen Yunani tahun

2012.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh agenda politik

anti-imigrasi Partai Golden Dawn terhadap perolehan suara partai tersebut dalam

pemilu Parlemen Yunani tahun 2012.

5

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman mengenai

pengaruh agenda politik anti-imigrasi pada perubahan dukungan publik terhadap

partai politik sayap kanan dalam suatu negara. Penelitian ini juga diharapkan

mampu menjelaskan peningkatan peran kawasan dalam isu imigrasi yang

mempengaruhi pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat domestik yang tidak lagi

mengakomodir kepentingan masyarakat lokal. Ini dapat memberikan manfaat

praktis bagi pengambil kebijakan suatu negara bahwa kebijakan domestik yang

diambil sebagai hasil dari perjanjian integrasi suatu kawasan harus tetap

mencerminkan kepentingan nasionalnya. Penelitian ini juga bermanfaat bagi

akademisi Ilmu Hubungan Internasional yang menekuni kajian kawasan bahwa

kebijakan di tingkat kawasan dapat memunculkan dukungan terhadap partai politik

radikal kanan di tingkat domestik.

1.5 Kajian Pustaka

Penelitian ini menggunakan beberapa literatur sebagai kajian yang menurut

Peneliti relevan dengan fokus penelitian ini. Literatur pertama yang digunakan oleh

Peneliti adalah tulisan karya Antonis A. Ellinas (2013) yang berjudul The Rise of

Golden Dawn: The New Face of the Far Right in Greece. Tulisan ini membahas

secara umum beberapa faktor yang menjadi penyebab peningkatan elektabilitias

Partai Golden Dawn pada pemilu 2012. Faktor-faktor tersebut antara lain; sistem

politik Yunani yang korup dan sarat dengan praktik patronase, dampak dari krisis

ekonomi Yunani, peningkatan perhatian publik pada isu imigrasi dan persepsi

6

publik tentang kegagalan kinerja pemerintah dalam menangani isu imigran ilegal,

posisi Partai Golden Dawn di tengah masyarakat Yunani sebagai partai yang

mengusung nasionalisme ekstrim, konsistensi Partai Golden Dawn sebagai partai

anti-imigrasi yang terwujud dalam agenda politik partai dan aksi kekerasan

terhadap penduduk migran, dan pemberitaan mengenai Partai Golden Dawn oleh

media.

Ellinas (2013) menggunakan teori Critical Elections oleh Valdimer Orlando

Key, Jr. dalam menganalisis peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn pada

pemilu Parlemen Yunani tahun 2012. Teori Critical Elections menjelaskan salah

satu tipe pemilu yang memiliki ciri adanya perubahan besar yang terjadi pada pola

dukungan publik terhadap partai politik mainstream. Teori ini juga menjelaskan

bahwa perubahan pola dukungan masyarakat tersebut dapat bertahan dengan stabil

hingga beberapa pemilu yang akan datang. Critical Elections terjadi bila intensitas

dukungan publik dalam pemilu sangat tinggi, terdapat perubahan yang besar pada

pola hubungan kekuasaan dalam kehidupan masyarakat, dan munculnya kelompok

pendukung baru (electorate grouping) dalam kehidupan politik masyarakat. Pemilu

Parlemen Yunani tahun 2012 merupakan Critical Election di Yunani (Ellinas,

2013). Pemilu tersebut telah memunculkan kelompok pendukung (electoral

grouping) baru yang suportif terhadap kebijakan anti-imigrasi yang ditawarkan oleh

Partai Golden Dawn. Hal ini menurut Ellinas (2013) dipengaruhi oleh keadaan

ekonomi Yunani sejak tahun 2008 yang terus memburuk. Pendekatan ekonomi

menjadi fokus utama dalam tulisan Ellinas (2013) untuk menjelaskan perubahan

pola dukungan masyarakat Yunani pada pemilu Parlemen Yunani tahun 2012.

7

Penjelasan Ellinas (2013) mengenai berbagai faktor yang mendukung

peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn memberikan gambaran kepada

Peneliti mengenai penyebab perubahan pola dukungan publik terhadap partai

politik mainstream di Yunani pada tahun 2012. Penelitian ini juga menganalisis

peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani tahun

2012. Namun, penelitian ini menganalisis pengaruh agenda politik anti-imigrasi

sebagai faktor yang mendukung peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn. Ini

berbeda dengan tulisan Ellinas (2013) yang menggunakan teori Critical Election

dan berfokus pada aspek ekonomi dalam menjelaskan fenomena tersebut.

Tulisan kedua yang digunakan oleh Peneliti sebagai referensi adalah tulisan

karya Andrew Geddes (2005) yang berjudul Europe’s Border Relationships and

International Migration Relations. Geddes (2005) menjelaskan bahwa keterkaitan

antara pola hubungan perbatasan (border relations) negara anggota Uni Eropa dan

migrasi internasional merupakan faktor penentu dimensi eksternal dari kebijakan

suaka dan migrasi Uni Eropa yang menjadi semakin penting pasca Perang Dunia II.

Pola perbatasan yang dimaksud Geddes (2005) tersebut terbagi atas tiga tipe;

perbatasan teritori (territorial), organisasi (organizational), dan konseptual

(conceptual).

Perkembangan isu imigrasi yang semakin kompleks di Eropa pasca Perang

Dunia II dalam tulisan Geddes (2005) menunjukkan bahwa isu imigrasi menjadi isu

yang sentral bagi Uni Eropa. Ini terlihat dari arah kebijakan imigrasi Uni Eropa

yang mencoba menekan jumlah imigran yang masuk ke Uni Eropa dengan berbagai

kebijakan, baik berupa kebijakan kontrol arus masuk imigran, maupun kebijakan

8

preventif yang dilakukan pada negara asal para imigran. Kebijakan preventif yang

merupakan dimensi eksternal dari kebijakan migrasi Uni Eropa ini menunjukkan

bahwa peran Uni Eropa dalam isu imigrasi mengalami peningkatan sebab dalam

kebijakan tersebut Uni Eropa mengintegrasikan isu imigrasi ke dalam isu keamanan

dan isu sentral lainnya yang menjadi perhatian utama seluruh negara anggota Uni

Eropa. Ini berarti, isu imigrasi tidak lagi menjadi isu yang hanya dikelola oleh

pemerintah negara anggota Uni Eropa saja. Isu imigrasi menjadi sebuah isu sentral

yang menjadi pilar berbagai aspek kebijakan Uni Eropa yang meliputi kebijakan

luar negeri dan keamanan (foreign and security policy), keadilan dan urusan dalam

negeri (justice and home affairs), dan perdagangan dan pembangunan (trade and

development).

Sejak tahun 2004 usaha untuk mengintegrasikan berbagai aturan (acquis)

mengenai suaka dan migrasi Uni Eropa kepada negara anggota Uni Eropa telah

dilakukan secara intensif. Geddes (2005) juga mengungkapkan bahwa terjadi

perubahan yang besar pada definisi batas teritori negara anggota Uni Eropa. Ini

berdampak pada perubahan proses pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat

nasional. Perjanjian Schengen menyebabkan batas teritori negara anggota Uni

Eropa tidak lagi menjadi tanggung jawab negara tersebut secara penuh, melainkan

menjadi tanggung jawab bersama. Hal ini terlihat pada Program The Hague yang

mengkonsolidasi berbagai aturan mengenai migrasi dan suaka seperti sistem suaka

Eropa bersama (Common European Asylum System), aturan bersama mengenai

imigrasi legal (common measures on legal immigration), sistem informasi

9

Schengen (the Schengen information system), dan aturan visa bersama (common

visa rules).

Tulisan Andrew Geddes (2005) berkontribusi dalam menjelaskan hubungan

antara regionalisme Uni Eropa dengan kebijakan imigrasi yang berlaku di negara

anggota Uni Eropa. Geddes (2005) menjelaskan bahwa isu imigrasi yang semakin

meluas pasca Perang Dunia II menyebabkan peran Uni Eropa menjadi semakin aktif

dalam mengatur arus imigrasi. Uni Eropa kemudian melakukan berbagai langkah

konsolidasi batas teritori melalui berbagai inisiatif dan program untuk mengatur

imigrasi. Ini menunjukkan bahwa kebijakan integrasi Uni Eropa memiliki pengaruh

yang besar terhadap pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat nasional.

Tulisan ketiga yang digunakan Peneliti adalah tulisan karya Scott H.

Corroon (1989) yang berjudul The Re-emergence of Europe’s Far-Right. Corroon

(1989) menjelaskan dalam tulisannya bahwa sejak tahun 1980-an, partai sayap

kanan ekstrim (far-right party) memperoleh peningkatan dukungan publik secara

drastis (Corroon, 1989). Tulisan Corroon (1989) mendeskripsikan fenomena

peningkatan dukungan publik terhadap partai sayap kanan ekstrim Republican

Citizens Party (RCP) dan National Democratic Party (NDP) di Jerman Barat dan

Partai National Front di Perancis. Peningkatan dukungan publik ini menurut

Corroon (1989) disebabkan oleh kekecewaan masyarakat terhadap partai politik

mainstream untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat Jerman

Barat dan Perancis pada saat itu (Corroon, 1989).

Kegagalan partai politik mainstream dalam menanggulangi persoalan

publik di Jerman dan Perancis seperti jumlah penduduk migran yang tinggi, tingkat

10

pengangguran yang tinggi, dan pengurangan anggaran jaminan sosial, telah

mendorong masyarakat di Jerman dan Perancis untuk melakukan aksi protes

dengan memberikan dukungan terhadap partai politik sayap kanan ekstrim dalam

pemilu (Corroon, 1989). Isu imigrasi merupakan faktor utama yang mendorong

masyarakat Jerman dan Perancis untuk mendukung Partai RCP, NDP, dan National

Front (Corroon, 1989).

Tulisan Corroon (1989) memberikan kontribusi bagi Peneliti dalam melihat

fenomena peningkatan dukungan terhadap partai politik sayap kanan ekstrim di

Eropa sejak tahun 1980-an. Ini membantu peneliti dalam mendeskripsikan

kebangkitan partai sayap kanan ekstrim di Eropa, terutama Eropa bagian barat dan

utara. Corroon (1989) juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara

isu imigrasi dan dukungan terhadap partai sayap kanan ekstrim. Peneliti

mengembangkan argumen Corroon (1989) mengenai fenomena tersebut. Peneliti

menganalisis pengaruh kebijakan integrasi Uni Eropa terhadap perolehan suara

Partai Golden Dawn dalam pemilu Parlemen Yunani tahun 2012. Ini akan

mengembangkan argumen Corroon (1989) bahwa peningkatan dukungan terhadap

partai sayap kanan juga dapat terjadi pada negara anggota Uni Eropa bagian selatan

seperti Yunani.

1.6 Kerangka Pemikiran

Analisis mengenai pengaruh kebijakan integrasi Uni Eropa terhadap

perolehan suara partai radikal kanan Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani

11

tahun 2012 dilakukan dengan berpedoman pada kerangka pemikiran yang disusun

Peneliti.

1.6.1 EU Issue Voting dan Integrasi

Peneliti menggunakan sebuah teori EU Issue Voting yang diungkapkan oleh

Catherine E. De Vries (2007). Vries (2007) menganalisis penyebab pengaruh

integrasi Uni Eropa terhadap elektabilitas partai politik pada pemilu nasional negara

anggota Uni Eropa dengan membandingkan hasil pemilu Negara Inggris, Denmark,

Belanda, dan Jerman dari tahun 1992 hingga 2002. Proses integrasi Uni Eropa yang

semakin erat menyebabkan peran Uni Eropa yang semakin tinggi. Ini terlihat dari

meningkatnya otoritas yuridis Uni Eropa pada berbagai aspek kebijakan. Aspek

kebijakan tersebut antara lain integrasi pasar, kebijakan imigrasi dan luar negeri,

kebijakan mata uang tunggal, dan sebagainya. Namun, tidak semua masyarakat

Eropa setuju dengan hal ini sehingga Vries (2007) mengungkapkan bahwa terdapat

opini publik yang skeptis terhadap integrasi Uni Eropa. Opini publik yang skeptis

ini dirasakan secara meluas namun belum diekspresikan secara jelas karena

minimnya partai politik yang menawarkan agenda politik anti-Uni Eropa. Vries

(2007), meminjam istilah dari Van der Eijk dan Franklin (2004), menyebut

fenomena ini sebagai ‘Raksasa Tidur’ (Sleeping Giant) yang dapat sewaktu-waktu

dibangunkan oleh partai politik yang diuntungkan dengan menawarkan agenda

politik anti-Uni Eropa. Bila hal ini terjadi, Vries (2007) mengungkapkan bahwa

pola hasil pemilu nasional negara anggota Uni Eropa dapat terpengaruhi.

Integrasi Uni Eropa dapat mempengaruhi hasil pemilu di tingkat nasional sebab

isu integrasi Uni Eropa merupakan agenda alternatif yang dapat dieksploitasi oleh

12

partai politik radikal kiri atau kanan untuk memobilisasi massa agar mendukung

partai politik tersebut seperti yang telah diungkapkan oleh Vries (2007):

Extreme, Eurosceptic parties, have an electoral incentive to play up the

EU issue…far left and far right political entrepreneurs have strategic

incentive to mobilize the EU issue in order to reap electoral gains.

Partai politik radikal kiri dan kanan cenderung skeptis terhadap integrasi Uni

Eropa (Eurosceptic) sebab berlawanan dengan landasan ideologi ekstrim partai

mereka. Partai radikal kiri cenderung menolak integrasi Uni Eropa sebab integrasi

tersebut mengarah pada paradigma neo-liberalisme yang berlawanan dengan

paradigma Marxisme yang diusung partai radikal kiri. Integrasi Uni Eropa juga

cenderung ditentang oleh partai radikal kanan sebab integrasi Uni Eropa dinilai

mengikis kedaulatan negara dan identitas nasional. Ini sesuai dengan pernyataan

Vries (2007):

Eurocepticism is rooted in the partisan ideology of far left and far right

parties… radical right parties oppose European integration because it

erodes national sovereignty and national identity; the radical left resists

further integration in Europe owing to its neo-liberal character.

Perbedaan tersebut kemudian menyebabkan partai radikal kiri dan radikal

kanan melakukan kampanye secara masif dan berperan aktif untuk menolak

integrasi Uni Eropa lebih jauh lagi. Ini terlihat dari berbagai agenda politik mereka

yang tidak suportif terhadap kebijakan integrasi Uni Eropa. Teori Vries (2007) juga

mengungkapkan bahwa perubahan pola dukungan publik terhadap partai radikal

kanan dapat terjadi bila isu mengenai integrasi Uni Eropa merupakan isu yang

dominan (high EU issue salience) dalam sebuah negara dan tingkat konflik antar

partai mengenai isu integrasi Uni Eropa tinggi (high partisan conflict).

13

Teori yang diungkapkan oleh Vries (2007) ini digunakan Peneliti untuk

menganalisis bagaimana respon masyarakat Yunani terhadap integrasi Uni Eropa,

khususnya dalam isu imigrasi dan kaitannya dengan usaha Partai Golden Dawn

mendapatkan dukungan publik dengan menawarkan agenda politik anti-imigrasi.

Agenda politik anti-imigrasi yang ditawarkan Partai Golden Dawn merupakan

agenda politik yang tidak suportif terhadap integrasi Uni Eropa, sebab agenda

tersebut berbeda dengan kebijakan imigrasi Uni Eropa yang berlandaskan pada

nilai-nilai kemanusiaan dan suportif terhadap imigran. Integrasi Uni Eropa yang

semakin kuat menyebabkan kebijakan imigrasi model Uni Eropa harus diterapkan

pada kebijakan imigrasi di tingkat nasional. Kesenjangan antara kebijakan imigrasi

model Uni Eropa dan kebijakan imigrasi yang dikehendaki masyarakat Eropa dapat

memicu pandangan skeptis yang lebih besar terhadap integrasi Uni Eropa seperti

yang diungkapkan oleh Vries (2007). Peneliti menggunakan konsep integrasi Uni

Eropa untuk lebih memahami bagaimana integrasi Uni Eropa dapat mempengaruhi

kebijakan imigrasi di Yunani.

Integrasi Uni Eropa berkaitan dengan konsep regionalisme. Fawcett (2004)

mendefinisikan regionalisme sebagai sebuah kebijakan ketika aktor negara dan

non-negara saling bekerja sama dan mengkoordinasikan strategi untuk berbagai isu

dalam sebuah kawasan (region). Regionalisme tercipta akibat munculnya

permasalahan bersama (common concern) yang menuntut adanya sebuah

mekanisme kerja sama lintas batas kedaulatan negara-negara yang mampu

menyelesaikan permasalahan tersebut. Misalnya, permasalahan ekonomi yang

dialami negara-negara Eropa pasca Perang Dunia I dan II telah mendorong

14

terciptanya kerja sama kawasan. Alasannya, kerja sama ekonomi dan perang

merupakan dua hal yang saling bertentangan sebab tidak mungkin kerja sama

ekonomi antara dua pihak dapat terjalin bila kedua pihak sedang terlibat perang.

Begitu juga sebaliknya, bila kerja sama ekonomi antara kedua pihak terjalin erat

dan saling menguntungkan, maka kemungkinan terjadinya perang antar kedua

pihak semakin minim terjadi. Kedua pihak akan senantiasa mengusahakan

pendekatan damai dalam menyelesaikan konflik demi menghindari perang dan

rusaknya kerja sama ekonomi yang terjalin. Hal ini kemudian menjadi dasar

pemikiran bahwa demi menjaga perdamaian, kerja sama antar negara Eropa harus

ditingkatkan.

Studi regionalisme menjelaskan bahwa kerja sama di tingkat kawasan dapat

ditingkatkan melalui proses integrasi kawasan. Louise Fawcett & Andrew Hurrell

(1995) menjelaskan mengenai proses integrasi sebuah organisasi kawasan dapat

dimulai dengan tahapan kerjasama ekonomi, kemudian berlanjut ke tahapan politik

dan identitas seperti yang dapat dilihat pada model integrasi Uni Eropa. Integrasi

sebuah kawasan dapat dipahami sebagai bentuk peningkatan peran dan fungsi

sebuah organisasi kawasan dalam mengatur hubungan antar negara anggotanya dan

negara di luar kawasan dan berbagai kebijakan yang berlaku di tingkat kawasan.

Uni Eropa merupakan entitas supranasional yang memiliki pengaruh besar

pada pembuatan kebijakan sosial dan ekonomi negara anggotanya. Melalui Piagam

Maastricht tahun 1992, Uni Eropa (pada saat itu disebut European Community)

sebagai entitas supranasional memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan

berbagai aturan yang berlaku di kawasan Uni Eropa sekaligus memiliki pengaruh

15

langsung terhadap proses pembuatan kebijakan domestik negara anggotanya. Peran

Uni Eropa yang semakin kuat ini ditunjukkan dengan penetapan tiga pilar Uni

Eropa melalui Piagam Maastricht. Ketiga pilar tersebut meliputi Komunitas Eropa

(European Communities), Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Terintegrasi

(Common Foreign and Security Policy), dan Kerja Sama Kepolisian dan Peradilan

dalam Isu Kriminal (Police and Judicial Cooperation in Criminal Matters) (EUR-

Lex, 2010). Peneliti menggunakan pilar Komunitas Eropa dalam menjelaskan

integrasi Uni Eropa yang semakin kuat sehingga mengaburkan identitas nasional

masyarakat Eropa dengan menguatkan identitas Komunitas Eropa yang sama.

Pilar Komunitas Eropa terdiri dari Treaty of Rome yang telah di revisi

berdasarkan Single European Act, Pasar Tunggal (Single Market), Demokratisasi

Institusi (Democratization of the Institutions), Kewarganegaraan Eropa (European

Citizenship), dan Uni Ekonomi dan Moneter (Economic and Monetary Union)

(ILSP, 2000). Melalui pilar ini, Uni Eropa menegaskan bahwa tiap individu yang

merupakan warga negara anggota Uni Eropa adalah masyarakat Uni Eropa. Hak-

hak yang dimiliki oleh masyarakat Uni Eropa diantaranya (European Council,

1992); (1) berhak berpindah dan menetap di negara Uni Eropa manapun, (2) Berhak

memilih dan dipilih sebagai anggota dewan Parlemen Uni Eropa mewakili negara

tempat ia tinggal, (3) berhak memilih dan dipilih sebagai anggota dewan perwakilan

tingkat daerah di negara tempat ia tinggal, (4) berhak mendapatkan perlindungan

diplomatik dari negara anggota Uni Eropa manapun di negara ketiga (non-Uni

Eropa) ketika negara asal individu tersebut tidak memiliki perwakilan diplomatik

di negara ketiga tersebut, dan sebagainya. Hak-hak tersebut telah mengaburkan

16

batas negara anggota Uni Eropa. Masyarakat Uni Eropa tidak lagi hanya menjadi

bagian dari negara asalnya, namun juga bagian dari sebuah organisasi kawasan

supranasional.

Pilar Komunitas Eropa telah menciptakan sebuah identitas Komunitas

Eropa yang berada di atas identitas nasional masyarakat Uni Eropa (EUR-Lex,

2010). Alasannya, pilar Komunitas Eropa menyebabkan peran Dewan Uni Eropa

(European Council) semakin kuat melalui penetapan mekanisme pengambilan

keputusan co-decision procedure yang diatur dalam Pasal 189 Piagam Maastricht.

Mekanisme co-decision procedure adalah suatu mekanisme yang memperbolehkan

Dewan Uni Eropa bersama dengan Parlemen Uni Eropa menetapkan berbagai

aturan (regulations), keputusan (decision), dan instruksi (directive) yang bersifat

mengikat (European Council, 1992). Proses pengambilan keputusan melalui

mekanisme ini menunjukkan bahwa masyarakat Uni Eropa harus tunduk pada

kebijakan yang telah disepakati bersama tanpa menghiraukan posisi pemerintah

negara asalnya terhadap kebijakan tersebut. Berdasarkan hal ini, identitas

masyarakat Uni Eropa sebagai bagian dari sebuah Komunitas Eropa memiliki posisi

lebih tinggi daripada identitas nasionalnya.

Penguatan peran regionalisme menimbulkan setidaknya dua reaksi.

Pertama, regionalisme dapat mendorong peningkatan jumlah imigran. Kedua, peran

organisasi kawasan sebagai wujud regionalisme yang semakin kuat dapat menuai

reaksi negatif dari masyarakat lokal negara anggotanya (Betts, 2009, hal. 170 &

Ash, 1998).

17

1.6.2 Imigrasi

Pengertian imigrasi merujuk pada perpindahan lintas batas negara yang

dilakukan oleh individu dengan identitas kebangsaan (nationality) yang berbeda.

Imigrasi mencakup peran negara dalam mengontrol arus keluar-masuk imigrasi

dalam wilayah kedaulatan negara (Torpey, 2000). Ini meliputi berbagai kebijakan

tentang imigrasi yang pada proses pembuatannya dipengaruhi oleh berbagai hal,

termasuk rezim supranasional yang mengatur tentang imigrasi. Imigrasi juga

mencakup identifikasi individu terhadap negara (Guild, 2009). Istilah imigrasi

hanya akan memiliki makna apabila individu yang berpindah-pindah memiliki

identitas yang diakui. Elspeth Guild (2009) kemudian menyebutkan bahwa imigrasi

melibatkan kedaulatan negara dalam mendefinisikan warga negara (citizen) dan

warga asing (foreigner). Dengan kata lain, imigrasi tidak hanya mencakup

perpindahan individu ke negara lain, namun juga mencakup perbedaan hak yang

dimiliki seorang imigran dengan seorang warga negara.

Motivasi seorang individu untuk melakukan migrasi ke wilayah negara lain

sangat beragam. Menurut data laporan Eurostat (2000), motivasi atau alasan

tersebut terbagi dalam tiga kategori, yaitu:

1. Alasan Ekonomi: meliputi ketersediaan lapangan pekerjaan, keadaan

atau perlakuan dalam bekerja, potensi karir yang lebih baik, upah yang

lebih baik, dan standar kehidupan yang lebih baik.

2. Alasan Keluarga: meliputi reunifikasi dengan anggota keluarga dan

pernikahan.

18

3. Alasan Lainnya: meliputi pendidikan, ketakutan terhadap perang atau

perlakuan buruk (persecution), pensiun, habis kontrak, keinginan untuk

kembali ke daerah asal (homesickness), pengusiran (expulsion), dan

sebagainya.

Imigran yang berpindah ke sebuah negara untuk mencari pekerjaan

cenderung menempati sektor ekonomi informal dengan upah yang rendah. Ini

menciptakan preferensi terhadap pekerja imigran dibandingkan pekerja lokal bagi

para pengusaha, sehingga persaingan lapangan kerja pada sektor informal dan

peningkatan upah minimum pekerja informal yang rendah sangat mungkin terjadi

(Keeton, 2005). Imigrasi juga memiliki hubungan yang berbanding lurus terhadap

peningkatan kriminalitas. Ini semakin jelas terlihat apabila keadaan ekonomi di

negara penerima imigran sedang berada pada situasi krisis (Hadjimatheou, 2012).

Tingginya jumlah imigran di sebuah negara menyebabkan semakin tinggi pula

beban anggaran pemerintah dalam penyediaan layanan publik. Selain itu, kinerja

pemerintah dalam menyediakan layanan publik secara optimal pun kian menurun

akibat jumlah imigran yang tinggi (Congressional Budget Office, 2007). Bentuk

lain dari ancaman yang dapat timbul akibat adanya arus masuk imigran adalah

jumlah imigran yang tinggi dapat memodifikasi komposisi etnis sebuah negara-

bangsa. Ini tentu saja akan mengancam kestabilan kontrak sosial antara warga

negara dan negara yang juga nantinya akan mengancam legitimasi negara tersebut

(Hollifield, 2004).

19

1.6.3 Politico-Territorial Identity

Politico-territorial identity adalah sebuah konsep yang menjelaskan

identitas individu yang terbentuk dari latar belakang politik seseorang dalam sebuah

wilayah teritori (Knight, 1982). Identitas individu menurut konsep ini terbentuk

karena individu tersebut tinggal dan berada dalam sebuah wilayah teritori entitas

politik yang sama sehingga definisi politico-territorial identity sebuah kelompok

masyarakat bergantung pada abstraksi identitas mereka terhadap legitimasi entitas

politik pada berbagai tingkatan dalam wilayah tersebut. Abstraksi identitas seorang

individu berbeda-beda pada tiap tingkatan hirarki organisasi politik. Hirarki

organisasi politik yang dimaksud Knight (1982, hal. 515) adalah ruang lingkup

organisasi politik tersebut dimulai dari organisasi politik di tingkat lokal atau daerah

yang memiliki ruang lingkup kecil hingga organisasi di tingkat supranasional yang

ruang lingkupnya sangat luas dan terdiri dari berbagai organsisasi politik lainnya.

Abstraksi identitas yang berbeda-beda ini menyebabkan keterikatan individu yang

berbeda pula pada tiap tingkatan hirarki organisasi politik. Meskipun demikian,

abstraksi identitas tiap individu, menurut Knight (1982), sangatlah kuat di tingkat

nasional bila dibandingkan di tingkat yang lebih luas seperti kawasan dan global.

Ini disebabkan karena individu yang tergabung dalam sebuah komunitas bangsa

memiliki hubungan keterikatan yang kuat terhadap teritori yang sama (common

territory).

Reaksi terhadap unifikasi sebuah negara ke dalam sebuah organisasi

kawasan yang lebih luas dapat berupa reaksi positif dan negatif. Reaksi negatif

adalah reaksi yang mengidentifikasi tiap individu secara unik eksklusif sehingga

20

menciptakan antagonisme dengan individu lain yang identitasnya berbeda. Knight

menyatakan bahwa keterikatan individu pada komunitas yang lebih kecil

disebabkan oleh adanya penolakan terhadap unifikasi identitas pada komunitas

yang lebih luas dan adanya keinginan untuk menentukan nasib sendiri.

Konsep politico-territorial identity kemudian menjelaskan reaksi negatif

terhadap unifikasi negara pada sebuah organisasi kawasan. Proses integrasi Uni

Eropa melalui penguatan peran Uni Eropa dalam kebijakan imigrasi kawasan

memicu reaksi negatif dari masyarakat yang menolak untuk meleburkan identitas

mereka menjadi sebuah identitas Eropa yang sama. Identitas Eropa yang dimaksud

adalah nilai-nilai yang disepakati oleh Uni Eropa seperti menjunjung tinggi hak

asasi manusia dan kebebasan individu untuk berpindah ke mana saja. Reaksi negatif

juga ditunjukkan oleh masyarakat yang resisten terhadap pengaruh Uni Eropa yang

semakin meningkat dalam proses pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat

domestik. Reaksi ini diekspresikan melalui dukungan publik terhadap partai radikal

kanan di berbagai negara anggota Uni Eropa yang menawarkan agenda politik anti-

imigrasi sebagai alternatif dari kebijakan imigrasi Uni Eropa.

1.6.4 Partai Radikal Kanan

Partai radikal kanan merupakan tipe partai politik yang menganut ideologi

sayap kanan ekstrim dalam spektrum ideologi politik. Spektrum ideologi politik

menjelaskan perspektif politik kiri dan kanan. Norberto Bobbio (1996)

menyebutkan bahwa perspektif dalam spektrum ideologi politik dibedakan

berdasarkan prinsip kesetaraan (equality) dan ketidaksetaraan (inequality).

21

Semakin mengarah ke kiri, maka semakin kental pula suatu perspektif politik

terhadap prinsip kesataraan (equality). Maksudnya, semakin mengarah ke kiri

(semakin ekstrim kiri), maka semakin tinggi pula kepercayaan dalam sebuah

perspektif politik bahwa seluruh manusia adalah sama dan oleh sebab itu memiliki

hak yang sama. Perspektif politik kiri akan menghasilkan berbagai bentuk

kebijakan politik yang bertujuan untuk mendistribusikan manfaat atau

kesejahteraan secara seimbang (sama rata) kepada sebagian, bila tidak seluruh,

masyarakat. Sebaliknya, semakin mengarah ke kanan (semakin ekstrim kanan),

maka semakin kental suatu perspektif politik terhadap prinsip ketidaksetaraan

(inequality). Maksudnya, semakin mengarah ke kanan, maka semakin tinggi pula

kepercayaan dalam sebuah perspektif politik bahwa seluruh manusia sejatinya

tidaklah sama dan oleh sebab itu memiliki hak yang tidak sama pula. Perspektif

politik kanan percaya bahwa ketidaksetaraan justru dapat menciptakan komunitas

masyarakat yang lebih baik (Bobbio, 1996). Perspektif politik kanan akan

menghasilkan berbagai kebijakan politik yang mengarah pada penjaminan

kebebasan tiap individu dalam memenuhi kebutuhannya dan mengusahakan

kesejahteraannya tanpa harus dibatasi oleh negara (libertan). Berbagai perspektif

politik (kiri dan kanan) ini kemudian mempengaruhi ideologi politik yang diadopsi

oleh partai politik yang tampak dari berbagai karakteristik partai, termasuk agenda

politiknya. Partai politik sayap kiri lebih egaliter daripada partai sayap kanan (non-

egaliter) (Bobbio, 1996).

Partai sayap kanan ekstrim adalah partai yang percaya bahwa negara dapat

menjadi lebih kuat dengan cara homogenisasi (satu negara satu kultur) (Rydgren,

22

2007). Partai ini juga bercermin pada nilai-nilai tradisional di masa lalu yang

kemudian dijadikan acuan dalam kehidupan bernegara (konservatif). Pengakuan

terhadap hak individu warga negara secara universal merupakan tujuan sekunder

sebuah negara menurut perspektif partai kanan ekstrim. Tujuan utamanya adalah

memperkuat posisi negara dengan cara homogenisasi etnis warga negara dan

berpedoman pada nilai-nilai tradisional.

Partai radikal kanan adalah partai politik yang mengadopsi paham radikal

kanan sebagai landasan ideologis partainya. Paham radikal kanan merupakan varian

yang berbeda dengan paham kanan ekstrim (right-wing extremist). Menurut Cas

Mudde (2000), paham kanan ekstrim merupakan sebuah paham yang menolak

dengan tegas segala prosedur dan nilai demokrasi. Partai yang berpaham kanan

ekstrim cenderung menjadi sebuah partai politik yang mencoba merombak tatanan

pemerintahan demokrasi di suatu negara, bila tidak hingga merombak sistem

konstitusi negara tersebut. Ini menunjukkan bahwa partai kanan ekstrim tidak

mendukung adanya sistem pemerintahan yang dibentuk melalui mekanisme

pemilihan umum. Sedangkan, paham radikal kanan merupakan paham oposisi dari

paham politik kiri dan mainstream (sentral), tetapi masih berjalan dalam prosedur

dan tatanan demokrasi. Partai radikal kanan akan menyasar berbagai isu dan

permasalahan politik berdasarkan perspektif politik kanan tanpa harus merombak

tatanan demokrasi suatu negara, termasuk mekanisme pemilihan umum.

Partai radikal kanan secara umum memiliki agenda politik yang bergerak

dalam aspek sosio-kultural yang mencakup berbagai isu seperti imigrasi, peraturan

hukum, identitas nasional, aborsi, dan lain sebagainya (Rydgren, 2007). Partai

23

radikal kanan yang non-egaliter percaya bahwa identitas nasional yang berbeda

merujuk pada perbedaan pengakuan hak dalam negara. Sesuai dengan perspektif

politik kanan yang dijelaskan oleh Norberto Bobbio (1996) yang menyatakan

bahwa ketidaksetaraan (inequality) akan merujuk pada komunitas masyarakat yang

lebih baik, maka partai radikal kanan percaya bahwa pemisahan berbagai identitas

kebangsaan dalam kelompok masyarakat suatu negara akan menjadikan negara

tersebut lebih baik. Partai radikal kanan percaya bahwa sebuah negara akan menjadi

lebih baik bila memiliki identitas nasional (kebangsaan) yang homogen. Atas dasar

inilah sebagian besar partai radikal kanan, terutama di Eropa, merupakan partai

yang mengadopsi agenda politik anti-imigrasi.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif

yang mendeskripsikan sebuah fenomena sosial. Menurut Hadari Nawawi (2012),

metode deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-

fakta yang ada. Selanjutnya, Nawawi menyatakan bahwa metode deskriptif juga

dapat meliputi analisa dan interpretasi data. Dalam penelitian kualitatif deskriptif,

hasil penelitian berupa hasil analisis kata maupun angka yang menggambarkan

sebuah fenomena. Penelitian ini akan meneliti pengaruh agenda politik anti-

imigrasi di Kawasan Uni Eropa dengan melihat contoh kasus kemenangan Partai

Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani tahun 2012.

24

Sumber data yang digunakan dalam Penelitian ini adalah sumber data

sekunder yang diperoleh melalui berbagai pustaka seperti buku, jurnal, artikel

ilmiah, surat kabar, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan imigrasi,

partai radikal kanan, dan kemenangan partai Golden Dawn.

Penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan (library

research). Pengumpulan data lebih berfokus kepada data-data dari berbagai

literatur baik dari buku-buku, media online (internet) seperti artikel-artikel jurnal

ilmiah, ataupun berbagai website berita dan website resmi Pemerintah Yunani.

Semua data disajikan oleh Peneliti melalui langkah-langkah pengolahan

data seperti pengumpulan informasi dari berbagai sumber data, reduksi data dengan

memilih informasi yang sesuai dengan ruang lingkup penelitian, penyajian data

penelitian baik dalam bentuk uraian penjelasan lewat kata-kata, tabel ataupun

grafik, dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan.

1.8 Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian ini akan disusun dalam empat bab. Bab pertama berisi

pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian beserta pendekatan metodologis,

termasuk kerangka pemikiran yang digunakan untuk menganalisis pengaruh agenda

politik anti-imigrasi Golden Dawn. Selanjutnya, Bab kedua akan membahas

mengenai hubungan antara proses integrasi Uni Eropa dan imigrasi Yunani,

perkembangan imigrasi di Yunani, kebijakan imigrasi Yunani, dan sentimen negatif

terhadap imigran di Yunani. Bab ketiga akan membahas mengenai latar belakang,

25

agenda politik, dan peningkatan dukungan suara Partai Golden Dawn. Penelitian

ini kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang ditulis pada Bab keempat.