02 - Administrasi & Konfigurasi Fitur-fitur Mikrotik RouterOS Sebagai Gateway
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...pengaruh bahasa German yang sering ditemukan pelesapan objek...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...pengaruh bahasa German yang sering ditemukan pelesapan objek...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerolehan bahasa anak bilingual simultan merupakan salah satu topik
penelitian yang menarik untuk diteliti. Hal ini dilandasi oleh alasan praktis yang
sangat kuat tentang pentingnya penelitian bilingualisme khususnya yang
berhubungan dengan bilingualisme pada anak usia dini. Hal ini dilihat dari
kenyataan bahwa kebanyakan dari masyarakat dunia adalah masyarakat bilingual
dan banyak orang yang memperoleh kedua bahasa tersebut secara simultan. Tidak
ada telaah tentang profil linguistik anak bilingual simultan berarti mengabaikan
suatu bagian penting dalam kehidupan manusia.
Namun, sampai saat ini masih terjadi pro dan kontra terhadap
perkembangan bahasa anak bilingual yang memperoleh bahasanya secara
simultan. Pandangan yang dominan menganggap bahwa secara natural
perkembangan bahasa anak adalah monolingual dan bilingualisme dianggap
berisiko dan memberi dampak negatif terhadap perkembangan linguistik anak
(Leopold, 1978; Redlinger & Park, 1980; Vihman, 1985; Volterra & Taeschner,
1978). Di pihak lain, bukti-bukti empiris hasil-hasil penelitian terkini
menunjukkan sebaliknya, yaitu bilingualisme pada anak tidak menimbulkan risiko
dan tidak membahayakan perkembangan anak baik secara kognitif maupun
linguistik (Dehouwer, 1990; Meisel, 1989; Paradis & Genesee, 1996). Dengan
2
adanya pro dan kontra tentang bilingualisme pada anak, penelitian dalam bidang
pemerolehan bahasa anak bilingual sangat relevan dan mendesak untuk dilakukan.
Sangat disayangkan, penelitian-penelitian mengenai pemerolehan bahasa
anak yang diekspos dalam dua bahasa secara simultan masih tergolong langka.
DeHouwer (2002), yang mendata penelitian-penelitian longitudinal yang terfokus
terhadap perkembangan bahasa anak bilingual prasekolah yang mendapat
masukan bahasa yang berbeda sejak lahir, mengungkapkan bahwa hanya ada 13
bahasa yang diteliti dengan sedikitnya 14 kombinasi bahasa, di antaranya
pasangan bahasa Indo-Eropa, yaitu Inggris-Belanda (Dehouwer, 1990), Inggris-
Jerman (Dopke, 1998), Inggris-Jerman (Leopold, 1978), Prancis-Jerman (Meisel,
1989), Inggris-Portugis (Nicoladis, 1998), Italia-Jerman (Volterra & Taeschner,
1978). Secara umum, temuan-temuan atau hasil-hasil penelitian dengan pasangan
bahasa Indo Eropa ada tiga kategori, yaitu (1) pada awalnya anak menyatukan dua
sistem linguistik yang berbeda dan bilingualisme menyebabkan keterlambatan
berbahasa, (2) anak sejak awal perkembangan bahasanya mampu membedakan
dua sistem linguistik, setiap sistem berkembang secara otonomi dan bilingualisme
tidak menyebabkan gangguan perkembangan bahasa pada anak, dan (3) anak
sejak usia dini mampu membedakan dua sistem linguistik, namun dalam
perkembangannya kedua sistem linguistik tersebut saling bergantung atau terjadi
interferensi dalam perkembangan bahasanya. Sementara itu, studi yang mengkaji
pemerolehan bahasa pertama bilingual dengan pasangan bahasa Indo-Eropa dan
Non Indo-Eropa, yaitu Inggris-Jepang (Mishina-Mori, 2002; Mishina-Mori;
2005), Italia-Indonesia (Soriente, 2007), dan Inggris-Kanton (Yip, V. &
3
Matthews, S., 2007) menunjukkan temuan yang selaras dengan kategori (2) dan
(3). Kategori (1) yang menyatakan anak menyatukan sistem linguistik dan
terjadinya gangguan dalam perkembangan bahasa tidak ditemukan dalam
penelitian dengan pasangan bahasa Indo-Eropa dan Non-Indo Eropa. Dengan
demikian, penelitian yang berhubungan dengan pemerolehan bahasa anak
bilingual simultan belum konklusif.
Romaine (1995: 183) menerangkan bahwa salah satu kondisi yang
menyebabkan anak menjadi bilingual adalah ketika orang tua menggunakan dua
bahasa ibu yang berbeda yang dikenal dengan tipe satu orang satu bahasa (one
person-one language parents) dan salah satu bahasa ibu dari kedua orang tua
menjadi bahasa dominan dalam lingkungan masyarakat tempat keluarga tinggal.
Pemerolehan dua bahasa secara simultan sejak lahir sering pula diistilahkan
dengan pemerolehan bahasa pertama bilingual atau dalam bahasa Inggrisnya
diistilahkan dengan BFLA yang merupakan singkatan dari Bilingual First
Language Acquisition (Genesee & Nicoladis, 2007; Meisel, 2001; Yip, 2013).
Dalam literatur pemerolehan bahasa anak bilingual simultan yang
terbatas itu (Leopold, 1978; Volterra & Taeschner, 1978; Dehouwer, 1990;
Meisel, 1989; Nicoladis, 1998; Paradis & Genesee, 1996) terdapat beberapa
pandangan berbeda, terutama dalam hal: (1) cara anak bilingual simultan
mengembangkan dua sistem bahasa yang berbeda, dan (2) cara mereka memahami
adanya dua masukan bahasa yang berbeda. Argumen pertama yang muncul adalah
bahwa anak-anak yang memperoleh dua bahasa yang berbeda secara simultan
pada tahap awal perkembangan bahasanya menyatukan dua sistem bahasa yang
4
diperolehnya dan lambat dalam memahami adanya dua masukan bahasa yang
berbeda yang dikenal dengan hipotesis ULS (Unitary Language System).
Beberapa peneliti yang mendukung hipotesis ini, di antaranya Leopold (1978)
yang meneliti perkembangan bahasa anaknya yang dibesarkan dalam bahasa
Inggris dan bahasa Jerman menyimpulkan bahwa anak bilingual mengalami
keterlambatan bahkan gangguan dalam perkembangan bahasanya serta mengalami
kebingungan dibandingkan dengan anak monolingual.
Hasil penelitian Leopold didukung oleh Volterra dan Taeschner (1978)
yang meneliti perkembangan bahasa dua anak bilingual yang dibesarkan dalam
bahasa Italia-German. Hasil penelitian mereka mendukung pandangan bahwa
anak yang diberi masukan lebih daripada satu bahasa, secara biologis, tidak
memiliki kompetensi untuk menjadi bilingual. Bukti-bukti yang diajukan dalam
gagasan ULS adalah kenyataan bahwa pada tahap awal perkembangannya, anak-
anak bilingual mencampur kode bahasa-bahasa yang diperolehnya dalam ujaran
yang diproduksinya.
Namun, Genesee (2001) menentang hipotesis ULS dan menegaskan
bahwa penggunaan campur kode oleh anak bilingual tidaklah mencerminkan
ketidakmampuan anak untuk membedakan sistem linguistik. Dengan kata lain,
campur kode bukan masalah kompetensi, namun terjadi lebih pada tataran
performansi atau kecakapan. Munculnya anggapan bahwa anak bilingual
memiliki kompetensi untuk memperoleh dua bahasa yang berbeda dibuktikan oleh
beberapa peneliti yang menggagas hipotesis perbedaan sistem linguistik yang
dikenal dengan SDH (Separate Development Hyphothesis) (Dehouwer, 1990;
5
Meisel, 1989; Nicoladis, 1998; Paradis & Genesee, 1996). Bertolak belakang
dengan anggapan penyatuan sistem linguistik, bukti-bukti empiris, baik di bidang
fonologi, sintaksis maupun pragmatic, mengarah pada hipotesis bahwa anak
bilingual simultan dapat membedakan bahasa-bahasa yang diperolehnya sejak
usia sangat dini yang membuktikan bahwa anak bilingual secara alamiah memiliki
kapasistas untuk memperoleh dua bahasa yang berbeda.
Bukti empiris di bidang fonologi menunjukkan bahwa anak bilingual
Inggris-Spanyol mampu memperoleh dua sistem penyuaraan sejak awal
perkembangan kedwibahasaannya (Deuchar & Clark, 1996). Peneliti lain
menemukan bahwa anak bilingual memiliki kapasitas untuk membedakan bunyi
bahasa yang berbeda bahkan sejak umur beberapa bulan (Bosch & Sebastian-
Galles, 2001; Poulin-Dubois & Goodz, 2001). Di bidang perkembangan sintaksis,
bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa anak bilingual sejak berumur dua tahun
atau sejak saat anak mulai menginjak periode ujaran multikata telah mampu
menggunakan bahasa tertentu dan konstruksi sintaksis yang berbeda kepada lawan
bicara yang menggunakan bahasa yang berbeda (Dehouwer, 1990; Paradis &
Genesee, 1996). Meisel (1989) menginvestigasi perkembangan properti
morfosintaksis anak bilingual Prancis-Jerman dan menemukan bahwa anak
bilingual menggunakan tata urut kata dan pemarkah morfologi yang berbeda
dalam produksi ujaran mereka. Sementara itu, di bidang pragmatik, Nicoladis
(1998), misalnya, menemukan bahwa pada kasus pemerolehan bahasa seorang
anak yang memperoleh bahasa Inggris dan Portugis, anak tersebut menggunakan
6
setiap bahasa yang diperolehnya lebih banyak dengan orang tua yang
menggunakan setiap bahasa tersebut.
Setelah muncul gagasan SDH, berkembang pertanyaan lain yang
berkenaan dengan sistem linguistik yang diperoleh anak masing-masing
berkembang secara tersendiri (otonomi) atau saling bergantung atau terjadi
interdependensi dalam perkembangan kedua bahasa yang diperoleh anak yang
dikenal dengan Cross-linguistic Influence (CLI). Hasil penelitian DeHouwer
(1990) dan Meisel (1989) yang mendasarkan penelitiannya pada pemerolehan
pasangan bahasa-bahasa Indo-Eropa menunjukkan bahwa kedua sistem linguistik
yang diperoleh anak berkembang tersendiri tanpa saling memengaruhi. DeHouwer
(1990) menyatakan bahwa anak bilingual mengembangkan bahasanya seperti
layaknya dua anak monolingual dalam satu orang.
Di sisi lain, pendapat yang didasarkan pada hasil-hasil penelitian terkini
mendeteksi terjadinya CLI dalam perkembangan bahasa anak bilingual simultan
(Dopke, 1998; Müller & Hulk, 2001; Müller; 1998; Soriente, 2004, 2007; Yip &
Mathews, 2007). CLI merupakan efek suatu bahasa terhadap bahasa lain yang
mencakup pengertian transfer dan interferensi Yip (2013). Dopke (1998) memberi
bukti terjadinya CLI dalam perkembangan penempatan verba pada anak bilingual
Inggris-Jerman. Müller & Hulk (2001) menemukan bahwa anak-anak bilingual
Jerman-Prancis cenderung untuk melesapkan objek dalam tuturannya
dibandingkan dengan anak monolingual Prancis. Hal ini dianggap karena adanya
pengaruh bahasa German yang sering ditemukan pelesapan objek pada susunan
kalimatnya. Soriente (2004a) mengobservasi terjadinya CLI fitur-fitur bahasa
7
Indonesia dalam ujaran bahasa Italia yang diproduksi anaknya yang dibesarkan
dalam bahasa Indonesia dan Italia dengan dominasi masukan dalam bahasa
Indonesia. Studi selanjutnya, Soriente (2007) menemukan adanya pengaruh
struktur bentuk tanya dalam bahasa Indonesia yang menyebabkan terjadinya
deviasi dalam struktur kalimat tanya dalam bahasa Italia yang diproduksi anaknya.
Yip dan Matthews (2007) menunjukkan adanya bukti-bukti pengaruh bahasa
Kanton terhadap bahasa Inggris, khususnya pada pola kalimat tanya, klausa
relasional, dan pelesapan objek yang terjadi pada enam orang anak bilingual
Kanton-Inggris.
Bukti empiris yang berhubungan dengan bilingualisme pada anak yang
dibesarkan dalam dua bahasa dengan tipologi bahasa yang berbeda mengarah
pada terjadinya CLI dalam perkembangan bahasa anak seperti yang diungkap oleh
Soriente (2004, 2007) dan Yip & Matthews (2000, 2007). Dengan perbedaan-
perbedaan kedua bahasa yang mendasar dapat diasumsikan bahwa adanya kontak
antara kedua bahasa tersebut pada anak memungkinkan terjadinya pengaruh
cross-linguistic ataupun transfer.
Perbedaan pandangan juga terdapat pada faktor yang mempengaruhi
terjadinya CLI. Ada dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama
menggambarkan bahwa CLI terjadi karena adanya faktor internal, yakni adanya
ketumpangtindihan struktur-struktur bahasa yang diperoleh (Hulk & Muller,
2000). Pendapat kedua mengungkapkan bahwa CLI terjadi karena faktor
eksternal, yaitu karena adanya dominasi salah satu bahasa yang diperoleh
(Soriente, 2007; Yip & Matthews, 2007).
8
Namun, sampai saat ini, klaim tentang terjadinya CLI ataupun transfer
pada anak bilingual simultan secara spesifik ditunjukkan pada domain sintaksis
dan belum ada bukti-bukti empiris yang menunjukkan bahwa CLI terjadi pada
semua domain linguistik yang berkembang pada anak. Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan mengkaji keberlakuan atau kemunculan teori CLI ini pada domain
linguistik lain atau ada kecenderungan pada domain linguistik lain perkembangan
bahasa anak justru mengarah pada teori SDH.
Adapun kriteria yang dapat digunakan dalam mendeteksi pengembangan
bilingual bahasa anak secara SDH ataukah CLI dalam pemerolehan bahasa anak
bilingual simultan adalah dengan melihat kekhasan properti linguistik pada
pasangan bahasa yang diperoleh sehingga interferensi atau transfer antara kedua
sistem linguistik dapat dibuktikan (Meisel, 1989; Mishina-Mori, 2005). Dengan
kriteria tersebut, penelitian ini dimungkinkan untuk dilakukan didasarkan pada
studi pendahuluan yang sudah dilakukan terhadap seorang anak yang diekspos
dalam bahasa Indonesia dan Jerman sejak lahir. Penelitian yang melibatkan
pasangan berbahasa berbeda rumpun ini belum diteliti secara spesifik oleh peneliti
lain.
Studi pendahuluan dilakukan untuk mengobservasi perkembangan bahasa
anak yang difokuskan pada perkembangan-perkembangan domain linguistik yang
memiliki perbedaan pada kedua bahasa tersebut. Dalam pemerolehan pasangan
bahasa Indonesia-Jerman yang dieksplorasi dalam penelitian ini terdapat
perbedaan-perbedaan properti linguistik yang signifikan, yaitu di bidang fonologi,
morfologi, dan sintaksis.
9
Di bidang fonologi, bahasa Indonesia dan bahasa Jerman memiliki
beberapa perbedaan yang cukup signifikan. Dari segi segmen vokal, bahasa
Indonesia memiliki jumlah bunyi vokal yang lebih sedikit dibandingkan dengan
bahasa Jerman (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, 2003). Penelitian
pendahuluan studi ini yang dilakukan melalui observasi dengan pencatatan diari
dan perekaman melalui video terhadap subjek penelitian ketika berumur 1;0
sampai 2;0 menunjukkan bahwa elemen bunyi yang dikembangkan anak
menunjukkan tendensi universal, yaitu munculnya bunyi-bunyi bilabial di awal
perkembangannya. Sementara itu, beberapa proses fonologis yang kelihatan
muncul adalah proses substitusi, asimilasi, dan struktur silabis. Proses-proses
tersebut terdeteksi, baik dalam perkembangan bahasa Indonesiannya maupun
perkembangan bahasa Jermannya. Ada tidaknya transfer aspek fonologis akan
teridentifikasi melalui kajian data awal yang diperoleh secara lebih mendalam.
Di samping aspek fonologi, aspek morfologi kedua bahasa tersebut juga
berbeda. Bahasa Indonesia memiliki sistem morfologi yang tidak mengenal
infleksi. Selain itu, bahasa Indonesia tidak memiliki kategori gramatika untuk
gender, jumlah dan artikel (Soriente, 2007). Verba dalam bahasa Indonesia tidak
mengalami perubahan menurut subjek ataupun kala. Di pihak lain, bahasa Jerman
merupakan bahasa yang sangat kaya dengan infleksi dan memiliki pola
pembentukan verba yang sangat luas.
Sementara itu, di bidang sintaksis, misalnya, dalam bahasa Indonesia
bentuk negatif dalam kalimat deklaratif memiliki posisi sebelum verba, nomina
atau sebelum kelas kata lain yang mengikutinya (misalnya, Saya tidak punya
10
waktu) (Sneddon, Adelaar, Djenar, & Ewing, 2010). Sebaliknya, dalam bahasa
Jerman, bentuk negatif pada umumnya ditempatkan setelah verba finite (misalnya,
Ich habe keine Zeit) (Ellis, 1994). Jika seorang anak bilingual Indonesia-Jerman
memproduksi bentuk negative, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa
Jerman sebelum verba, ini membuktikan bahwa anak mengalami interferensi
lintas-linguistik.
Pemerolehan bahasa anak bilingual simultan Indonesia-Jerman ini
merupakan sebuah penelitian dengan pasangan bahasa yang belum pernah
dieksplorasi dengan mendetail oleh peneliti lain. Adnyani (2010) melakukan
sebuah kajian yang menitikberatkan pada perkembangan bunyi bahasa anak
bilingual Indonesia-Jerman yang mendapat masukan kedua bahasa tersebut sejak
lahir. Namun, penelitian yang dilakukan tersebut hanya terfokus pada
perkembangan bunyi dari umur satu sampai dua tahun tanpa melihat
perkembangan elemen kebahasaan lainnya. Adnyani & Hadisaputra (2013)
melakukan fokus kajian terhadap perkembangan negasi subjek yang sama.
Penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti hanya terfokus
pada elemen-elemen kebahasaan tertentu dan tidak mengkaji aspek-aspek lain
yang diperoleh anak. Oleh karena itu, peneliti beranggapan bahwa sebuah kajian
yang melihat aspek linguistik lainnya, khususnya pada level fonologi dan
sintaksis, perlu dieksplorasi.
Penelitian ini dirancang untuk melanjutkan penelitian awal yang telah
dilakukan dan mengembangkan data awal yang telah diperoleh menjadi sebuah
penelitian disertasi agar mendapatkan gambaran yang lengkap tentang
11
pemerolehan bahasa anak bilingual simultan. Disertasi ini berargumentasi bahwa
latar penelitian pemerolehan bahasa anak bilingual simultan dengan pasangan
bahasa Indonesia-Jerman menunjukkan, baik pada domain fonologi maupun
sintaksis, anak memiliki tendensi untuk mengembangkan dua sistem linguistik
secara berbeda, namun juga terdeteksi terjadinya Cross-linguistic Influence (CLI).
Dengan kata lain, anak mengembangkan dua sistem linguistik yang berbeda tidak
secara otonomi, namun lebih cenderung ke arah interdependensi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1) Elemen bunyi apa sajakah yang berkembang dan bagaimanakah proses
fonologis yang dialami anak bilingual simultan Indonesia-Jerman?
2) Bagaimanakah perkembangan leksikal anak bilingual simultan Indonesia-
Jerman?
3) Bagaimanakah perkembangan sintaksis anak, khususnya dalam penguasaan
kalimat deklaratif sederhana, kalimat perintah, dan kalimat tanya?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan yang bersifat umum dan
tujuan yang bersifat khusus. Kedua tujuan penelitian tersebut masing-masing
diuraikan sebagai berikut.
12
1.3.1 Tujuan umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menjelaskan perkembangan bahasa anak bilingual simultan Indonesia-Jerman.
1.3.2 Tujuan khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1) mendaftar bunyi vokal dan bunyi konsonan yang diperoleh anak, mendaftar
proses fonologis, serta membuat kaidah fonologisnya, dan mendaftar transfer
fonologis yang dialami anak;
2) mendeskrispsikan perkembangan leksikal anak dengan membuat alur tahapan
perkembangan leksikal dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jerman, dan daftar
padanan kata yang telah dikuasai anak;
3) menjelaskan perkembangan sintaksis anak yang terfokus dalam menjelaskan
perkembangan kalimat deklaratif sederhana, kalimat perintah, dan kalimat
tanya yang dikembangkan dengan membuat daftar analisis transfer serta
mengompilasi transfer sintaksis yang dialami anak.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki kontribusi, baik kontribusi secara teoretis maupun
secara praktis, dan kontribusi di bidang pendidikan anak pada usia dini khususnya
dalam pembelajaran bahasa. Kontribusi yang diberikan penelitian ini dapat
diuraikan sebagai berikut.
13
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini berkontribusi dalam beberapa hal. Pertama, penelitian
di bidang pemerolehan bahasa anak bilingual memiliki kontribusi yang sangat
signifikan terhadap perkembangan teori pemerolehan bahasa. Kedua, kajian dalam
bidang pemerolehan bahasa secara simultan dapat memberikan gambaran
terhadap keberadaan human language faculty, semacam kapling-kapling
intelektual yang berada pada otak manusia, dan penelitian semacam ini dapat
memberikan pemahaman tentang kapasitas otak manusia untuk dapat memperoleh
lebih daripada satu bahasa. Ketiga, penelitian ini memberi kontribusi terhadap
perkembangan ilmu psikolinguistik khususnya di bidang pemerolehan bahasa
pertama anak bilingual. Keempat, penelitian ini juga diharapkan memiliki
kontribusi terhadap keberadaan tiga teori pemerolehan bahasa anak bilingual yang
berbeda pendapat, yaitu ULS (Unitary Language System), SDH (Separate
Development Hypothesis), dan CLI (Cross- linguistic Influence). Akhirnya, hasil
penelitian ini juga dapat menjadi suplemen bahan ajar dalam mata kuliah
psikolinguistik.
Di samping kontribusi secara teoretis di bidang pemerolehan bahasa anak
bilingual simultan, penelitian ini juga memberikan kontribusi di bidang ilmu
linguistik baik di bidang fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Hal ini terkait
dengan diaplikasikannya berbagai teori linguistik dalam bidang psikolinguistik.
Salah satu teori yang diaplikasikan adalah teori generatif.
14
1.4.2 Manfaat praktis
Penelitian ini memiliki kontribusi yang sangat penting, baik bagi
keluarga yang memiliki potensi untuk membesarkan anak secara bilingual, bagi
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) maupun bagi masyarakat pada umumnya.
Secara rinci, manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Hasil penelitian ini memberikan kontribusi berupa sumbangan informasi bagi
keluarga-keluarga yang memiliki potensi untuk membesarkan anaknya dalam
dua bahasa secara simultan. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran
tentang anak bilingual bisa berhasil menggunakan kedua bahasa yang
diperolehnya secara fasih.
2) Hasil penelitian ini juga memberikan gambaran bahwa anak memiliki potensi
untuk menguasai lebih daripada satu bahasa secara simultan dan natural. Hal
ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi masyarakat untuk tidak ragu
dalam membesarkan anak dalam lingkungan lebih daripada satu bahasa secara
natural.
3) Kontribusi terhadap perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dapat
berupa hal-hal sebagai berikut.
(1) Penelitian ini menghasilkan daftar kata pemerolehan bahasa anak
bilingual Indonesia-Jerman yang dapat memberikan kontribusi
terhadap pengembangan kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) khususnya di bidang pembelajaran bahasa kepada anak.
Diharapkan bahwa pembelajaran bahasa kepada anak sesuai dengan
perkembangan kognitif anak, seperti bunyi-bunyi fonetis yang sudah
15
bisa diucapkan oleh anak pada umur tertentu, macam kosakata yang
bisa diserap dan diproduksi oleh anak, pada umur tertentu anak mampu
mengucapkan ujaran satu kata, dua kata, sampai pada ujaran kalimat
sederhana, jenis kalimat yang bisa diujarkan anak, seperti kemampuan
anak mengucapkan kalimat deklaratif, kalimat perintah, ataupun
kalimat tanya.
(2) Dengan diketahuinya pemerolehan bahasa anak bilingual yang
diekspos secara simultan, diharapkan berkontribusi terhadap
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), khususnya dalam penyusunan
bahan ajar yang menggunakan kosakata yang kerap digunakan anak.
Hal ini juga dilihat dari fakta bahwa di samping bahasa Indonesia, di
Indonesia juga ada beratus-ratus bahasa daerah yang memberikan
ruang bagi anak untuk tumbuh dan berkembang dalam lebih daripada
satu bahasa yang berbeda. Penelitian ini diharapkan memberikan
sebuah gambaran tentang perkembangan kebahasaan anak yang
diberikan masukan dua bahasa yang berbeda.
(3) Hasil penelitian ini juga berkontribusi terhadap cara berkomunikasi
guru PAUD terhadap anak khususnya anak yang dibesarkan secara
bilingual.
4) Hasil penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi terhadap masyarakat
umum berupa sumbangan informasi tentang pemerolehan bahasa anak
bilingual bahwa bahasa dapat diperoleh anak sedini mungkin bahkan jika anak
sejak lahir diberi masukan lebih daripada satu bahasa.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Bagian ini membahas kajian empiris dalam penelitian bilingual simultan
yang menggunakan teori ULS, SDH, dan CLI. Teori ULS diprakarsai oleh
Leopold (1978) yang menunjukkan bukti bahwa anak bilingual menyatukan dua
sistem linguistik pada awal perkembangan bahasanya. Leopold meneliti
perkembangan bahasa anaknya, Hildegard, yang dibesarkan secara bilingual.
Leopold mengobservasi perkembangan bahasa anaknya yang diberi masukan
bahasa Jerman dan bahasa Inggris secara longitudinal dan mencatat tahapan-
tahapan perkembangannya secara detail dalam catatan-catan harian yang
kemudian dibukukan.
Melalui hasil observasinya, Leopold melaporkan bahwa pada tahap awal
perkembangannya, Hildegard menggunakan satu sistem fonologi untuk
memproduksi kata-kata dari kedua bahasa yang diperolehnya. Leopold juga
menekankan bahwa anaknya mengalami keterlambatan dalam perkembangan
kebahasaan dan mengalami kesulitan dalam memahami adanya dua masukan
bahasa yang berbeda. Baru pada umur sekitar tiga tahun, dilaporkan bahwa
anaknya mampu membedakan kedua bahasa tersebut. Leopold juga melaporkan
bahwa Hildegard mencampur ujaran-ujaran dalam bahasa Inggris dan bahasa
Jerman dan menggunakan temuan tersebut sebagai bukti bahwa anaknya
menggabungkan dua sistem linguistik yang berbeda dan mengembangkannya
17
menjadi satu unit sistem linguistik. Leopold menegaskan bahwa pencampuran
kode leksikal dari bahasa Inggris dan bahasa Jerman menandakan anak belum
mampu untuk menjadi bilingual.
Pendapat Leopold dikukuhkan oleh hasil penelitian Volterra dan
Taeschner (1978) dengan menulis sebuah karya yang berpengaruh terhadap kajian
pemerolehan bahasa pertama anak bilingual dan yang mencetuskan teori
penyatuan dua sitem linguistik yang dikenal dengan Unitary Language System
(ULS). Volterra dan Taeschaner meneliti perkembangan bahasa anak bilingual
dari umur 1;0 sampai 4;0 dengan subjek penelitian dua bersaudara Lisa dan Giulia
yang diekspos dalam bahasa Italia-Jerman. Mereka meneliti perkembangan
leksikal dan perkembangan padanan leksikal atau translation equivalents (TEs)
anak, perkembangan sintaksis serta campur kode dalam ujaran anak. Dari hasil
penelitiannya, Volterra dan Taeschner mencetuskan tiga model perkembangan
bahasa anak bilingual, yaitu (1) pada tahap awal perkembangan bahasanya, anak
memiliki satu sistem leksikal yang terdiri atas kata-kata dari dua bahasa dan tidak
ditemukan adanya TEs, (2) pada tahap kedua, anak mampu membedakan dua
leksikal yang berbeda, namun menggunakan leksikal tersebut dalam satu pola
sintaksis yang sama dan masih tetap mencampur kode ujaran, dan (3) baru pada
sekitar umur tiga tahun anak mampu membedakan sistem leksikal dan sintaksis
dari kedua bahasa yang diperolehnya. Proposal Volterra dan Taeschner (1978)
tentang anak bilingual memiliki implikasi bahwa pada awal perkembangannya,
anak-anak bilingual mengembangkan satu sistem linguistik yang merupakan
gabungan dari dua sistem linguistik yang diperolehnya. Sistem linguistik yang
18
dikembangkan anak dipercaya memiliki hubungan yang sedikit dengan masing-
masing sistem linguistik dari masukan bahasa yang diperolehnya. Volterra dan
Taeschner menegaskan bahwa anak-anak bilingual mengalami proses
ketidakmampuan membedakan dua bahasa yang diperolehnya. Simpulan yang
dicetuskan Volterra dan Taeschner mendapat berbagai sanggahan karena memiliki
kelemahan dari segi konsep dasar perkembangan bahasa, yaitu tidak bisa
dijelaskan tentang cara anak menyatukan dua sistem bahasa yang berbeda.
Gagasan ULS mengundang berbagai sanggahan dari kalangan peneliti
dengan data empiris yang menunjukkan temuan dan pandangan yang berbeda.
Salah satu penyanggah pertama, yaitu DeHouwer (1990) meneliti perkembangan
bahasa seorang anak bilingual, Kate, yang diberi masukan bahasa Inggris dan
Belanda sejak lahir. Anak diteliti selama delapan bulan dari umur 2;7 sampai 3;4.
Penelitian DeHouwer berfokus pada perkembangan morfologi dan sintaksis anak.
Penelitian DeHouwer menemukan data tuturan anak yang hanya terdiri atas
leksikal bahasa Inggris dan tuturan yang hanya terdiri atas leksikal bahasa
Belanda dengan jumlah yang substansial. Dia juga mengklaim bahwa
pengetahuan morfosintaksis anak dalam bahasa Belanda tidak bisa berfungsi
sebagai dasar dalam produksi tuturan anak dalam bahasa Inggris. Sebagai
gantinya, anak menggunakan pengetahuan morfosintaksis bahasa Belanda untuk
memproduksi ujaran yang hanya terdiri atas leksikal dalam bahasa Belanda.
Begitu juga anak menggunakan pengetahuan morfosintaksis bahasa Inggris untuk
memproduksi ujaran dalam bahasa Inggris. Di samping itu, DeHouwer
menyatakan bahwa kedua sistem yang diperoleh anak bahkan tidak saling
19
memengaruhi. Dengan kata lain, perkembangan bilingual simultan diibaratkan
sama dengan perkembangan dua monolingual dalam satu kepala. Dengan temuan
tersebut, DeHouwer mencetuskan gagasan Separate Development Hyphothesis
(SDH) dalam perkembangan bahasa bilingual sebagai bahasa pertama.
Dengan diusulkannya hipotesis SDH, studi-studi tentang penelitian
pemerolehan bahasa anak bilingual sebagai bahasa pertama kemudian
membuktikan kemampuan anak membedakan sistem linguistik baik dari segi
pemahaman, persepsi ujaran, produksi bahasa yang mencakup bidang fonologi,
leksikal, morfosintaksis, maupun pragmatik. Nakamura (2010) meneliti
perkembangan pemahaman dan padanan kata yang dikembangkan Issa yang
diekspos dalam dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Jepang sejak lahir.
Nakamura (2010) yang berkebangsaan Malaysia memberi masukan bahasa Inggris
dan suaminya yang berkebangsaan Jepang memberi masukan bahasa Jepang.
Penelitian dilakukan sejak anak berumur 0;9 sampai 1;4. Nakamura
menyimpulkan bahwa perkembangan pemahaman anak pada masa bayi tidak
harus seimbang di antara kedua bahasa masukan. Jumlah kata yang mampu
dipahami oleh anak seimbang dengan masukan yang diberikan. Hasil penelitian
Nakamura juga menunjukkan bahwa tingkat perkembangan komprehensi anak
meningkat cepat ketika anak berumur 1;3 meskipun fenomena ini terjadi pada
bahasa yang lebih dipahami anak. Walaupun Issa menunjukkan kosakata reseptif
yang lebih besar dalam bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Jepang, dia
mampu memahami padanan kata dalam dua bahasa yang diperolehnya, bahkan
beberapa bulan sebelum mampu mengucapkan kata-kata pertama dan
20
memproduksi padanan katanya yang pertama. Hasil penelitian Nakamura
mengonfirmasi bahwa kemampuan untuk memahami padanan kata menunjukkan
bahwa sejak tahap pralinguistik, anak calon bilingual sudah memulai proses yang
diperlukan untuk perkembangan bilingual dan memiliki kapasitas untuk
memperoleh leksikal ganda.
Di bidang persepsi ujaran, Bosch dan Sebastián-Gallés (2001)
mengadakan eksperimen terhadap 28 bayi yang diberi masukan dua bahasa yng
memiliki kemiripan struktur prosodi dari pasangan bahasa Roman, yaitu bahasa
Spanyol dan Katalan, sejak lahir untuk melihat kemampuan anak calon bilingual
memersepsi ujaran yang diserap. Bahasa Spanyol dan Katalan, meskipun memiliki
ritme yang mirip, kedua bahasa tersebut memiliki perbedaan segmental dan
struktur silabis. Hasil penelitian Bosch dan Sebastián-Gallés memberi bukti
bahwa bayi-bayi calon bilingual yang berumur sedikit kurang dari lima bulan
mampu mendeteksi perubahan bahasa dari bahasa Spanyol ke bahasa Katalan
ataupun sebaliknya. Penelitian tersebut berimplikasi bahwa anak mampu
membedakan dua sistem bahasa sejak periode pralinguistik bahkan mampu
membedakan bahasa-bahasa yang memiliki kemiripan secara prosodi.
Poulin-Dubois dan Goodz (2001) membuktikan bahwa anak mampu
membedakan dua sistem linguistik sejak usia dini. Mereka meneliti produksi
ocehan 13 bayi yang berumur 12 bulan yang mendapat masukan bahasa Prancis
dan Inggris. Penelitian tersebut secara khusus melihat distribusi konsonan yang
mengandung CV, VC, dan CVC. Penelitian tersebut menemukan bahwa bayi
bilingual mengoceh lebih khas dalam bahasa yang dominan, yaitu bahasa Prancis.
21
Salah satu alasan yang diusulkan yang menjadi penyebab kecenderungan bayi
untuk mengoceh dalam bahasa Prancis adalah perbedaan properti suprasegmental
antara bahasa Prancis dan bahasa Inggris. Dominasi bunyi-bunyi konsonan dalam
bahasa Prancis yang ditemukan menyokong pendapat bahwa bayi mampu
menyeleksi salah satu dari bahasa yang diserap yang diasumsikan terjadi pada
fitur-fitur prosodi.
Bukti-bukti tentang keberadaan SDH juga dikaji oleh Nicoladis (1998).
Nicoladis melihat kemampuan anak untuk membedakan dua sistem linguistik di
bidang pembedaan pragmatik dan leksikal. Nicoladis menekankan bahwa anak-
anak bilingual yang diberi masukan dua bahasa secara simultan bisa membedakan
dua bahasa yang diperoleh sejak awal perkembangan bahasanya. Namun, menurut
Nicoladis, belum begitu dipahami tentang cara anak-anak tersebut dapat mengerti
bahwa mereka mendapat masukan dua bahasa yang berbeda. Oleh karena itu,
melalui penelitiannya terhadap seorang anak yang diberi masukan bahasa Portugis
dan bahasa Inggris sejak lahir oleh orang tuanya dengan metode masukan satu
orang satu bahasa, Nicoladis berusaha melihat pemahaman anak tentang dua
masukan bahasa yang berbeda dengan mengkaji pembedaan pragmatik
(penggunaan bahasa berdasarkan konteks) dan padanan leksikal (TEs). Anak
diteliti dari umur 1;0 sampai 1;6.
Melalui penelitiannya, Nicoladis menemukan bahwa kemampuan anak
untuk menunjukkan perbedaan pragmatik dapat menjadi bukti bahwa anak telah
memahami adanya dua masukan bahasa yang berbeda. Kemampuan pembedaan
pragmatik ini dapat mengarah pada awal mula kemampuan untuk membedakan
22
leksikon, yaitu kecepatan peningkatan jumlah padanan kata dalam kedua bahasa
yang digunakan secara eksklusif terhadap lawan bicara yang menggunakan
bahasa-bahasa tersebut.
Sebuah penelitian yang komprehensif dilakukan Carranza (2007) yang
berusaha melihat pemerolehan bahasa seorang anak bilingual simultan yang
diekspos dalam bahasa Inggris dan bahasa Spanyol dari segi perkembangan aspek
fonologi, morfosintaksis, leksikal, pragmatik, dan campur kode yang dialami
anak. Anak dengan inisial B diteliti dari umur 1;2 sampai umur 2;3.3. Penelitian
Carranza (2007) menemukan bahwa pada level fonologi, anak mulai
memproduksi bunyi vokal dan bunyi konsonan yang umum terdapat dalam bahasa
Inggris dan bahasa Spanyol. Bunyi-bunyi tersebut adalah bunyi-bunyi awal yang
juga umumnya terdeteksi pada perkembangan bunyi anak monolingual. Ketika
anak berumur 1;11.3, anak telah memproduksi bunyi-bunyi konsonan yang
khusus terdapat dalam bahasa Spanyol /ɲ/ dan bahasa Inggris /ʃ/ dan /v/, anak
mulai menggunakan bunyi-bunyi tersebut secara tepat. Pada aspek morfologi,
anak mengembangkan fitur-fitur morfologi dalam kedua bahasa yang diperoleh
paralel dengan anak-anak yang memperoleh bahasa Spanyol dan Inggris secara
monolingual. Dalam bahasa Spanyol, B pada tahap awal mengembangkan infleksi
verba untuk persona dan kala. Sementara itu, dalam bahasa Inggris, anak
mengembangkan verba tanpa infleksi kecuali pemarkah progresif –ing. Di bidang
perkembangan leksikal, anak mulai menggunakan padanan leksikal sejak berumur
1;05. Sementara itu, campur kode yang ditemukan dalam tuturan anak tidak
mengalami kendala gramatikal. Carranza menemukan bahwa campur kode
23
merupakan akibat dari kurangnya padanan leksikal yang dikuasai dan hampir
tidak ditemukan interferensi dalam penggunaan campur kode tersebut. Fakta-fakta
yang ditunjukkan menegaskan bahwa anak mengembangkan dua sistem
linguistiknya secara autonomi atau masing-masing berkembang tersendiri.
Meski Carranza (2007) dan DeHouwer (1990) tidak menemukan
terjadinya interferensi dalam produksi ujaran anak, bukti-bukti empiris lain
menemukan bahwa dua sistem linguistik yang dikembangkan anak bilingual
simultan saling bergantung atau terdeteksi terjadinya pengaruh dari satu simtem
linguistik terhadap sistem linguistik lain yang dikenal dengan Cross Linguistic
Influence (CLI). Müller (1998) dalam penelitiannnya mengidentifikasi terjadinya
transfer dalam perkembangan bahasa anak bilingual yang diekspos dalam bahasa
Jerman dan bahasa Inggris yang terfokus melihat perkembangan anak kalimat.
Berdasarkan hasil temuannya, Müller memprediksi bahwa terjadinya transfer
karena adanya ambiguitas dari pola dasar bahasa masukan Jerman yang
memperbolehkan susunan VO dan OV sementara pola dasar dalam bahasa Inggris
adalah VO tanpa memperhatikan dominasi bahasa masukan. Oleh karena itu,
dikatakan bahwa pola dasar frasa verbal dalam bahasa Jerman mengandung
ambiguitas sehingga menjadi target transfer pola dasar bahasa Inggris yang pasti.
Arah transfer menurut Mueller adalah sepihak, yaitu dari bahasa Inggris ke bahasa
Jerman.
Temuan serupa juga diungkapkan oleh Döpke (1999) yang meneliti
perkembangan empat orang anak bilingual yang diberi masukan bahasa Jerman
dan bahasa Inggris. Penelitian tersebut menemukan bukti-bukti terjadiny CLI dari
24
bahasa Inggris ke bahasa Jerman. Döpke berargumen bahwa terjadinya transfer
dari bahasa Inggris ke bahasa Jerman disebabkan oleh ketumpangtindihan pola
dasar frasa verbal yang terdapat dalam bahasa masukan, yaitu pola VO dalam
bahasa Jerman yang serupa dengan pola dasar klausa utama dalam bahasa Inggris.
Di pihak lain, dalam bahasa Jerman juga mengizinkan pola OV dalam bentuk
infinitifnya. Beberapa bukti yang diajukan, misalnya, anak-anak bilingual yang
menjadi subjek dalam penelitiannya mentransfer verba dalam bahasa Inggris
menempatkannya pada posisi khas posisi verba bahasa Jerman, yaitu pada akhir
klausa, sebelum negatif dan sebelum subjek. Fenomena transfer tersebut, oleh
Döpke dinyatakan tidak ditemukan dalam perkembangan bahasa anak
monolingual Jerman. Oleh karena itu, dia tidak menyetujui bahwa anak bilingual
sama halnya dengan dua monolingual dalam satu kepala. Namun, dua sistem yang
dikembangkan anak mengalami kontak yang disebabkan oleh ambiguitas pola
dasar masukan bahasa masukan yang menyebabkan terjadinya transfer fitur
linguistik salah satu bahasa masukan ke bahasa pasangannya.
Jika Müller (1998) dan Döpke (1999) mengidentifikasi terjadinya transfer
pada anak bilingual yang disebabkan oleh ambiguitas pola dasar dalam bahasa
masukan, Soriente (2004a) menemukan kasus-kasus CLI pada anak bilingual
simultan akibat adanya dominasi salah satu bahasa masukan. Soriente meneliti
Guglielmo, anaknya, yang diberi masukan dua bahasa dengan tipologi yang
berbeda, yaitu bahasa Indonesia dialek Jakarta dan bahasa Italia, sejak lahir
dengan dominasi masukan bahasa dalam bahasa Indonesia. Penelitian Soeriente
berfokus pada campur kode dalam tuturan anak dan terjadinya interferensi. Hasil
25
penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak mencampur kode tuturannya, baik
campur kode secara leksikal, morfologi, maupun sintaksis. Campur kode leksikal,
misalnya, terdapat dalam tuturan “Mimik latte no, Mamma.” Pada tuturan tersebut
anak menyisipkan elemen bahasa Indonesia dalam konteks tuturan berbahasa
Italia. Secara morfologis, anak diobservasi melakukan reduplikasi nomina dalam
bahasa Italia seperti layaknya yang terdapat dalam bahasa Indonesia, seperti pada
tuturan “Ini palla-palla.” Palla dalam bahasa Italia bermakna bola. Penelitian
tersebut juga mengonfirmasi terjadinya CLI dalam tuturan anak, yaitu
digunakannya fitur-fitur bahasa Indonesia dalam bahasa Italia. Soriente
menemukan bahwa Guglielmo mentransfer pengetahuannya tentang kata-kata
polifungsional dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Italia sehingga mereduksi
penggunaan kata-kata tertentu dalam bahasa Italia.
Studi Soriente (2007) kembali mengonfirmasi terjadinya transfer dalam
perkembangan bahasa Guglimeo yang disebabkan oleh adanya dominasi bahasa
Indonesia dialek Jakarta. Penelitian studi kasus Soriente kali ini difokuskan untuk
melihat perkembangan bentuk Wh-question. Simpulan yang diperoleh dari hasil
penelitiannya adalah bahwa dominasi pola sintaksis dalam bahasa Indonesia
menyebabkan susunan kata dalam kalimat Wh-questions tidak sesuai dengan
target dalam bahasa Italia. Dalam pemerolehan bahasa anak yang ditelitinya ada
faktor kognitif dan CLI yang berperan penting dalam perkembangan bahasa yang
diperoleh anak. Secara kognitif, bentuk-bentuk Wh-diperoleh secara independen
dan pada waktu yang berbeda. Urutan pemerolehan bentuk Wh- dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan pemerolehan anak monolingual. Meskipun pemerolehan
26
bentuk yang sama dalam bahasa Italia terlambat dibandingkan dengan bahasa
Indonesianya, urutan pemerolehannya tetaplah sama. Simpulannya adalah bahwa
anak bilingual mengembangkan sistem linguistik yang berbeda sejak awal.
Namun, sistem linguistik tersebut berpengaruh satu sama lain.
Soriente (2007) juga menemukan tiga tahapan perkembangan bentuk-
bentuk Wh- anak, yaitu (1) tahap praproduksi (preproduction). Pada tahap ini,
anak telah secara regular memproduksi “apa”, “mana”, dan “siapa” dalam bahasa
Indonesia, namun dalam bahasa Italia, anak masih mengalami periode
praproduksi. Tahapan ini berlanjut sampai anak bermur 2;5 ketika anak mulai
mengucapkan bentuk-bentuk Wh- nya yang pertama baik secara utuh maupun
potongan-potongan kata, (2) tahap percampuran (mixing). Pada tahap ini, anak
mulai memproduksi kalimat tanya dalam bahasa Italia, namun dalam banyak
kasus, anak masih menggunakan bentuk-bentuk dalam bahasa Indonesianya
sehingga muncul campuran (mixing). Tahap ini berlanjut sampai anak berumur
lebih daripada empat tahun, dan (3) tahap akhir, yaitu tahap kemunculan struktur
Wh-yang sesuai dalam bahasa target Italia, meskipun kemunculannya bisa
dikatakan terlambat dibandingkan dengan perkembangan Wh- anak monolingual
Italia. Alasan yang dapat menjelaskan terjadinya tahapan perkembangan ini
menurut Soriente adalah adanya dominasi dalam bahasa Indonesia.
Terjadinya transfer dalam perkembangan bahasa anak bilingual simultan
juga ditemukan oleh Yip dan Matthews (2007) yang meneliti perkembangan
bahasa enam orang anak bilingual yang mendapat masukan bahasa Inggris dan
Kanton. Yip dan Matthews menemukan bahwa transfer terjadi dari bahasa Kanton
27
ke bahasa Inggris yang diidentifikasi terjadi karena pengaruh dominasi bahasa
Kanton ataupun ambiguitas masukan bahasa masukan. Penelitian mereka
difokuskan pada perkembangan wh-questions, pelesapan objek dan klausa
relasional. Simpulan Yip dan Matthews mendukung pandangan Grosjean (1989)
yang menyatakan bahwa bilingual bukanlah dua monolingual dalam satu kepala.
Dengan melihat bukti-bukti empiris yang telah diuraikan sebelumnya,
sampai saat ini banyak peneliti membuktikan terjadinya perbedaan sistem
linguistik dalam perkembangan bahasa anak bilingual simultan. Namun, sejauh
mana anak mampu membedakan kedua sistem linguistik yang diperoleh dari
bahasa masukan dan sejauh mana kontak bahasa terjadi antara dua sistem
linguistik yang berbeda sehingga CLI menjadi fenomena dalam perkembangan
bahasa anak bilingual masih perlu diteliti, khususnya dalam perkembangan bahasa
anak bilingual dengan dua tipologi bahasa yang berbeda. Oleh sebab itu,
penelitian ini melihat pemerolehan bahasa anak bilingual simultan dengan
pasangan bahasa yang belum didokumentasikan secara ilmiah oleh peneliti lain,
yaitu pasangan bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Penelitian ini memiliki
kontribusi yang signifikan secara teoretis terhadap teori-teori pemerolehan bahasa
anak bilingual khususnya dengan pasangan bahasa yang berasal dari dua tipologi
bahasa yang berbeda.
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang pemerolehan bahasa
anak bilingual Indonesia-Jerman, berikut diulas pula sedikit tentang hasil-hasil
penelitian yang melihat perkembangan bahasa anak monolingual Indonesia dan
anak monolingual yang dibesarkan dalam bahasa Jerman. Hasil-hasil penelitian
28
tersebut sangat berguna dalam melihat urutan perkembangan bahasa anak
bilingual yang diekspos dalam bahasa Indonesia dan Jerman juga mengalami
urutan pemerolehan yang mirip dengan urutan pemerolehan anak monolingual.
Dardjowidjojo (2000) meneliti pemerolehan bahasa seorang anak monolingual
yang dibesarkan dalam bahasa Indonesia secara longitudinal selama lima tahun.
Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa secara fonologis, anak
mengembangkan elemen bunyi konsonan dan bunyi vokal dengan tendensi
keuniversalan dalam perkembangan fonologi. Dari segi perkembangan leksikal,
nomina mendominasi urutan pertama pemerolehan kategori sintaksis. Persentase
nomina pada empat tahun pertama jauh melampaui perkembangan verbanya.
Sementara itu, dalam hal pemerolehan afiks, ditemukan bahwa prefiks pasif di-
dan ter- dikuasai oleh anak mendahului sufiks yang lain. Hasil penelitian
Darjowidjojo ini bisa menjadi acuan karena anak yang diteliti dalam penelitian ini
juga memperoleh masukan bahasa pertama bahasa Indonesia di samping bahasa
Jerman. Apakah anak yang diteliti dalam penelitian ini akan menunjukkan urutan
pemerolehan bahasa Indonesia yang sama atau sedikit berbeda?
Sementara itu, urutan pemerolehan bahasa anak yang diberi masukan
dalam bahasa Jerman menunjukkan kemiripan dalam pemerolehan kategori
sintaksisnya. Mills (1985) menemukan nomina dalam pemerolehan bahasa Jerman
lebih menonjol kemunculannya yang diproduksi dalam bentuk tunggal yang tidak
bermarkah. Beberapa nomina dalam bentuk jamak juga muncul, namun hanya
bentuk-bentuk yang memang digunakan dalam bentuk jamak, seperti Schuh-e
„shoes‟. Kata-kata yang diproduksi anak juga sering muncul dalam bentuk
29
onomatopea. Pada awal perkembangannya, reduksi konsonan kluster juga
merupakan hal yang umum terjadi, misalnya, *lafen untuk schlafen. Bentuk verba
yang muncul di awal perkembangan adalah bentuk sufiks –en yang merupakan
bentuk infinitif. Menurut Mills, hal ini bisa disebabkan oleh bentuk {-en} muncul
secara produktif dalam ujaran orang dewasa ketika dalam ujaran terdapat modal
atau verba bantu yang mengharuskan leksikal verba muncul di akhir klausa. Di
samping itu, bentuk {-en} juga bertekanan. Hasil temuan Mills juga memberikan
kontribusi yang sangat signifikan dalam penelitian ini. Akan sangat menarik untuk
melihat keadaan anak yang dibesarkan secara bilingual dalam bahasa Indonesia
dan Jerman juga akan menunjukkan urutan pemerolehan bahasa yang mirip.
Dengan belum adanya publikasi yang melihat perkembangan anak
bilingual simultan Indonesia-Jerman dan adanya berbagai isu dan pandangan yang
berbeda terhadap perkembangan bahasa anak bilingual simultan, Adnyani (2010)
meneliti perkembangan bunyi bahasa Lila (bukan nama sebenarnya), anaknya
yang pertama yang dibesarkan dalam bahasa Indonesia dan Jerman sejak lahir.
Bahasa Indonesia diperoleh dari ibunya dan bahasa Jerman dari ayahnya.
Penelitian dilakukan ketika anak berumur 1;2 sampai 2;6. Penelitian tersebut
merupakan sebuah studi kasus yang menggunakan rancangan penelitian kualitatif.
Teori yang digunakan adalah teori perkembangan bahasa anak, khususnya teori
yang berhubungan dengan perkembangan bunyi bahasa anak. Penelitian ini
memperoleh hasil bahwa pada studi kasus ini, ketika penelitian selesai dilakukan
saat anak berumur 2;6, semua vokal yang muncul dalam bahasa Indonesia sudah
dikuasai dengan baik, namun vokal-vokal khusus yang terdapat dalam bahasa
30
Jerman belum dikuasai, seperti bunyi y, ʏ, [ø], dan œ. Bunyi ini sering
diganti dengan bunyi vokal yang memiliki kesamaan fonetis, sementara bunyi
konsonan yang sudah dikuasai pada semua posisi adalah [p b t d m n l w y].
Bunyi-bunyi [s k g h c ɟ ñ ŋ] muncul secara terbatas pada posisi-posisi tertentu
saja. Ada beberapa bunyi yang belum dikuasainya, seperti [f v z r]Bunyi-bunyi
yang belum dikuasai biasanya juga disubstitusi dengan bunyi-bunyi yang
memiliki kesamaan fonetis. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 tersebut
hanya melihat perkembangan bunyi bahasa anak dengan mengabaikan aspek-
aspek perkembangan bahasa yang lain, seperti perkembangan morfologi dan
sintaksisnya.
Adnyani dan Hadisaputra (2013) berusaha melihat perkembangan negasi
anak pada subjek yang sama. Penelitian yang dilakukan bertujuan (a) mengetahui
penanda-penanda negasi yang berkembang pada anak dwibahasa Indonesia-
Jerman pada umur 1;2 sampai 3;0 tahun, (b) mendeskripsikan tahapan
perkembangan negasinya, dan (c) menjelaskan fungsi penanda negasi yang
diucapkan oleh anak. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pemerolehan
negasi Lila sebagai anak dwibahasa Indonesia-Jerman memiliki pola
perkembangan secara berurutan, yaitu ndak/tidak, belum, jangan, dan bukan.
Penanda pertama dalam bahasa Indonesia yang dikuasai adalah ndak. Sementara
itu, dalam bahasa Jerman satu-satunya penanda negasi yang dikuasai anak adalah
nein yang sudah digunakan anak secara produktif sejak umur 1;6. Fungsi penanda
negasi yang diucapkan anak, yaitu penolakan terhadap suatu ajakan atau kegiatan,
pengingkaran terhadap keberadaan sesuatu, pengingkaran terhadap pengetahuan
31
tentang sesuatu, pencegahan atau larangan untuk melakukan sesuatu,
pengingkaran terhadap perfektif sudah dan pengungkapan oposisi.
Adnyani & Pastika (2016) berdasarkan data awal yang diperoleh
terhadap perkembangan bahasa ALY ketika berumur 1;0 sampai 1;8 yang diekpos
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jerman sejak lahir menunjukkan bahwa pada
domain fonologi, anak mengalami transfer elemen fonologi bahasa Indonesia
yang digunakan dalam ujaran bahasa Jerman. Meskipun transfer yang ditemukan
pada data awal tersebut hanya terjadi pada satu elemen, yaitu transfer bunyi
semivokal [y] yang digunakan untuk mengganti bunyi vokal depan tinggi bulat
/ʏ/, ini menunjukkan bahwa dalam kasus perkembangan bahasa ALY dapat
dicurigai bahwa dalam perkembangan bahasanya transfer terjadi pada level
fonologi.
Penelitian–penelitian perkembangan bahasa anak bilingual Indonesia-
Jerman terdahulu yang dilakukan oleh peneliti belum mencakup aspek-aspek
perkembangan kebahasaan lain, seperti perkembangan leksikal, aspek morfologi,
ataupun sintaksisnya. Dapat dikatakan bahwa penelitian tersebut belum berusaha
mengungkap pemerolehan bahasa anak bilingual Indonesia-Jerman secara
lengkap. Oleh karena itu, pada penelitian ini, peneliti memfokuskan perhatian
tidak hanya pada perkembangan fonologi anak, namun juga mendeskripsikan
perkembangan leksikal, dan penguasaan kalimat sederhana yang juga mencakup
perkembangan kalimat deklaratif, kalimat imperatif, dan kalimat tanya sehingga
penelitian yang dirancang lebih komprehensif dan menyeluruh.
32
Dapat dikatakan pula bahwa penelitian disertasi ini merupakan sebuah
penelitian lanjutan dengan subjek yang berbeda dari sebuah penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti pada tahun 2010 dalam rangka memperoleh gelar magister
linguistik. Pada tahun 2010, peneliti hanya melihat perkembangan elemen
fonologis ketika anak berumur dari 1;0 sampai 2;0. Penelitian ini juga merupakan
penelitian pengembangan dari data awal yang sudah digali. Di samping itu,
penelitian ini juga memiliki posisi yang sangat penting karena merupakan
penelitian pertama yang melihat perkembangan bahasa anak bilingual Indonesia-
Jerman secara komprehensif yang merupakan penelitian perkembangan bahasa
dari dua bahasa yang memiliki tipologi yang berbeda. Hasil penelitian ini akan
memberikan kontribusi secara keilmuan dan teori perkembangan bahasa anak
bilingual selain berkontribusi secara empiris ataupun pedagogis.
2.2 Konsep
Judul penelitian ini adalah “Pemerolehan Bahasa Anak Bilingual
Simultan Indonesia-Jerman”. Judul penelitian ini tampaknya memerlukan
penjelasan atas pengertian-pengertian yang tertuang di dalamnya. Penjelasan ini
dipandang perlu guna menyamakan persepsi tentang segala sesuatu yang
dimaksud dalam judul tersebut.
2.2.1 Anak Bilingual Simultan
Bilingual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bilingual simultan.
Bilingual simultan adalah salah satu bentuk bilingualisme ketika anak
33
memperoleh dua bahasa atau lebih sejak lahir (Genesee, 2001; Romaine, 1995).
Menurut DeHouwer (1990), bilingual simultan terjadi pada anak yang mendapat
masukan dua bahasa secara reguler sejak sebelum berumur dua tahun dan secara
terus menerus mendapat masukan bahasa-bahasa tersebut sampai pada tahap akhir
perkembangan bahasa mereka. Bahasa-bahasa yang diperoleh tersebut merupakan
bahasa pertama anak. Bentuk bilingualisme ini berbeda dengan bilingual runtunan
ketika bahasa kedua tidak diperoleh sejak lahir dan tidak dianggap sebagai bahasa
ibu, seperti bahasa kedua diperoleh melalui bangku sekolah.
2.2.2 Pemerolehan Bahasa Pertama Bilingual / Bilingual First language
Acquisition (BFLA)
Pemerolehan bahasa pertama bilingual atau yang dikenal dengan
Bilingual First Language Acquisition (BFLA) atau yang sering diacu dengan
(2L1) merupakan pemerolehan dua bahasa secara simultan sejak lahir (Genesee &
Nicoladis, 2007). Mengadopsi definisi bilingualisme dari Grosjean (2008) bahwa
bilingualisme merupakan pemakaian secara reguler dua bahasa atau lebih, maka
Yip (2013) mendefinisikan BFLA sebagai pemerolehan dua bahasa secara
bersamaan pada anak yang mendapat masukan kedua bahasa tersebut sejak lahir
dan anak menggunakan kedua bahasa tersebut secara reguler ketika berusia dini.
2.2.3 Dominasi Bahasa
Dominasi bahasa dalam penelitian ini mengacu pada definisi, yaitu
bahasa yang masukannya lebih banyak. Sementara itu, Nicoladis (1998)
menentukan dominasi bahasa dalam pemerolehan bilingual simultan dengan
34
mendasarkan pada jumlah kosakata yang dikuasai anak pada setiap bahasa yang
diperoleh.
2.2.4 Proses Fonologis
Proses fonologis merupakan prosedur yang bersifat universal yang
disusun secara hierarkis yang digunakan oleh anak untuk menyederhanakan ujaran
(Ingram, 1981). Bersifat universal dalam artian bahwa setiap anak dilahirkan
dengan fasilitas untuk menyederhanakan ujaran dengan cara-cara yang konsisten.
Bersifat herarkis diartikan bahwa proses-proses fonologis tertentu lebih dasar
dibandingkan yang lain. Perkembangan fonologi selanjutnya didefinisikan sebagai
penghilangan secara bertahap proses fonologis yang dialami anak sampai akhirnya
ujaran anak menyerupai ujaran orang dewasa.
2.2.5 Perkembangan Leksikal
Perkembangan leksikal yang diacu dalam penelitian ini adalah bunyi atau
bentuk fonetis yang diproduksi anak yang secara sistematis terkait dengan suatu
konteks tertentu. Bentuk yang diproduksi oleh anak ini mengandung kemiripan
fonetis dengan target bentuk kata orang dewasa secara suku kata dan/atau struktur
segmen. Anak memperoleh kata pertama ketika berumur sekita 11 bulan (Stoel-
Gammon & Sosa, 2007). Menurut Stoel-Gammon (2011), dalam banyak hal
bentuk yang diproduksi anak dengan orang dewasa berbeda secara substansial,
namun ada pola korespondensi antara bentuk keduanya yang bisa diidentifikasi.
Dapat dicontohkan kemudian bahwa bentuk [nʊm] untuk “minum” bisa berterima
35
jika bentuk tersebut diujarkan dengan konteks yang sesuai (seperti ketika ingin
minum, menunjuk gambar air atau melihat air atau benda-benda cair lainnya).
2.2.6 Perkembangan Kalimat Sederhana
Perkembangan kalimat sederhana dalam penelitin ini adalah
perkembangan kalimat sederhana dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jerman.
Susunan kata dalam bahasa Indonesia menempatkan verba pada posisi kedua
setelah subjek menghasilkan pola kalimat S-V-O (Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia, 2003). Ketika dalam kalimat terdapat modal, posisi modal adalah
sebelum verba. Pola kalimat yang dihasilkan adalah S-MOOD-V-O. Hal yang
sama berlaku jika dalam kalimat terdapat bentuk negatif. Dalam bahasa Jerman,
posisi non-finit verba adalah di akhir frasa. Posisi verba tetap di akhir jika dalam
kalimat terdapat modal atau verba bantu sehingga menghasilkan pola S-AUX-O-
V. Jika tidak terdapat verba bantu atau modal, susunan kata adalah S-V-O. Bentuk
negatif dalam bahasa Jerman pada umumnya muncul sebelum verba leksikal.
2.2.7 Tahapan Perkembangan Bahasa Anak
Tahapan perkembangan bahasa yang digunakan dalam penelitian ini
adalah tahapan perkembangan bahasa anak yang diuraikan oleh Clark & Clark
(1977) dan Clark (1993), yaitu tahap ujaran satu kata (single /one word
utterances), tahap ujaran dua kata (two-word utterances), tahap ujaran multikata
(multiword/longer utterances).
36
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan sekaligus menjelaskan
segmen bunyi dan proses fonologis yang dikembangkan oleh anak, perkembangan
leksikal, penguasaan afiks verba, serta perkembangan kalimat deklaratif
sederhana, kalimat imperatif, dan kalimat tanya. Anak diekspos secara langsung
dalam dua bahasa yang berasal dari tipologi yang sangat berbeda, yaitu bahasa
Indonesia dan bahasa Jerman. Perkembangan bahasa anak yang dikaji dalam
penelitian ini merupakan bagian kajian psikolinguistik. Menurut Clark dan Clark
(1977), ada tiga hal pokok yang dibahas dalam bidang psikolinguistik. Ketiga hal
itu adalah sebagai berikut.
1) Pemahaman merupakan proses-proses mental yang dilalui manusia ketika
mereka mendengar, memahami sesuatu yang didengar dan mengingat hal yang
mereka dengar.
2) Produksi merupakan proses-proses mental yang dilalui ketika manusia
mengeluarkan ujaran.
3) Pemerolehan bahasa merupakan cara anak memperoleh bahasa mereka,
tahapan-tahapan yang dilalui oleh anak dalam komprehensi dan produksi
bahasa pertama mereka.
Sementara itu, Dardjowidjojo (2003) mendefinisikan psikolinguistik
sebagai ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia
dalam berbahasa. Upaya penelitian ini untuk menginvestigasi perkembangan
bahasa anak yang merupakan bagian cabang ilmu psikolinguistik memerlukan
acuan teori yang dapat membantu peneliti dalam menganalisis masalah-masalah
37
sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Oleh karena itu, teori-teori yang akan
digunakan dalam mengungkap masalah tersebut adalah sebagai berikut:
(1) teori universal grammar (UG);
(2) teori keuniversalan dalam pemerolehan bunyi bahasa;
(3) fonologi generatif dalam pemerolehan bahasa anak;
(4) teori interaksionis;
(5) teori SDH (Separate Development Hypothesis) dalam pemerolehan bahasa
pertama bilingual;
(6) teori CLI (Cross-Linguistics Interference) dalam pemerolehan bahasa pertama
bilingual.
2.3.1 Teori Universal Grammar (UG)
Sebelum teori Universal Grammar (UG) berkembang, pemerolehan
bahasa anak dilandasi oleh teori-teori yang berpandangan bahwa bahasa diperoleh
melalui proses mekanis dan masukan memiliki peran yang signifikan. Diawali
oleh Bloomfield (1933) dalam bukunya yang berjudul Language disebutkan
bahwa bahasa diperoleh melalui latihan-latihan karena adanya masukan (input)
dari lingkungan. Hal yang dicetuskan Bloomfield melahirkan aliran-aliran di
bidang pemerolehan bahasa yang berpegangan pada habit formation system.
Aliran ini berpendapat bahwa pemerolehan dan pembelajaran bahasa merupakan
suatu proses mekanis yang melibatkan latihan-latihan dan pengulangan sehingga
terbentuklah suatu kebiasaan.
38
Salah satu pengikut aliran ini adalah Skinner (1957) yang memberikan
penjelasan ilmiah tentang pemerolehan bahasa anak. Skinner seorang ahli
psikologi dari Universitas Harvard melalui tulisannya “Verbal Behavior”
meyakini pengaruh lingkungan sebagai penentu dalam pemerolehan bahasa. Teori
ini percaya bahwa anak memperoleh bahasa dari lingkungannya, yaitu dari
masukan orang-orang di sekitarnya yang mencakup proses pemberian stimulus
atau rangsangan, adanya respons atau balikan, dan penguatan. Jadi, menurut teori
ini, belajar berbahasa merupakan suatu kegiatan yang diulang-ulang sehingga
memunculkan suatu kebiasaan. Ahli-ahli behaviorisme percaya bahwa sesuatu
yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata, seperti otak manusia, tidak berperan
dalam proses pemerolehan bahasa.
Pandangan behaviorisme ditentang oleh ahli-ahli mentalis atau ahli-ahli
nativisme yang meyakini bahwa otak manusia sangat berperan penting dalam
pemerolehan bahasa anak. Salah satu pencetus teori mentalisme atau yang juga
sering disebut sebagai teori nativisme adalah Chomsky (1965). Chomsky
berargumen bahwa linguistik bukanlah sekadar ilmu untuk mendeskripsikan
pemakaian bahasa (descriptive theory), melainkan yang lebih penting adalah
bagaimana bisa menjelaskan fenomena kebahasaan dan alasannya (explanatory
theory). Chomsky (1965: 4) menentang teori behaviorisme dengan meletakkan
landasan bahwa teori linguistik adalah mentalis yang berkaitan dengan realitas
mental yang mendasari perilaku nyata. Chomsky juga memopulerkan istilah
kompetensi (competence) yang juga disebut sebagai struktur batin dan
performansi (performance) yang sering disebut sebagai struktur lahir.
39
Menurut Chomsky, kompetensi merupakan pengetahuan dasar yang
terdapat pada mental manusia tentang kaidah-kaidah, atau prinsip-prinsip
kebahasaan yang bersifat abstrak, sementara performansi adalah ujaran-ujaran
nyata yang didengar atau diproduksi secara nyata. Ditekankan juga bahwa
performansi tidak selamanya mencerminkan kompetensi. Hal ini dijelaskan bahwa
sering terjadi sesuatu yang diujarkan manusia tidak sesuai dengan kaidah, namun
baik pembicara maupun pendengar bisa memahami yang diujarkan karena adanya
kompetensi kebahasaan. Chomsky juga memunculkan istilah tata bahasa generatif
(generative grammar) yang digunakan untuk mendeskripsikan adanya kompetensi
kebahasaan. Generative grammar merupakan sistem aturan yang
menampilkan/menghasilkan struktur kebahasaan secara tak terbatas.
Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa anak, Chomsky (1965:
32) berpandangan bahwa seorang anak dapat memperoleh bahasa mana pun di
dunia pastilah anak memiliki bekal ilmiah untuk memperoleh bahasa yang dibawa
sejak lahir (innate capacity). Bekal ilmiah secara kodrati tersebut dinamakan
Language Acquisition Device (LAD) yang digunakan sebagai basis empiris anak
untuk memperoleh bahasa. LAD inilah yang membedakan manusia dengan
primata lain. Dardjowidjojo (2003) menyatakan bahwa meskipun ada kemiripan-
kemiripan tertentu antara manusia dan simpanse, namun mereka memiliki
perbedaan dalam hal kemampuan berbahasa. Perbedaan ini bersifat genetis yang
artinya manusia mampu memperoleh bahasa, sedangkan primata lain tidak. Salah
satu karakteristik bahasa manusia adalah kreativitas dan produktivitas, misalnya
menggunakan kata untuk membentuk kalimat sederhana dan kalimat sederhana
40
selanjutnya dapat digunakan untuk membentuk kalimat kompleks (Steinberg,
Nagata, & Aline, 2001).
Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa anak, Chomsky (2006)
mencetuskan teori Universal Grammar (UG) yang merupakan sebuah teori
pemerolehan bahasa anak yang didasarkan pada properti genetik. Dalam
kuliahnya yang diunduh melalui kanal youtube, Chomsky (2012b) memaparkan
bahwa UG merupakan “The theory of the genetic component of the language
faculty.” Chomsky percaya bahwa setiap manusia memiliki kapasitas genetik yang
spesifik yang digunakan untuk memperoleh bahasa. Sebuah kapasitas genetis
yang membedakan manusia dengan makhluk lain di dunia. Chomsky (2012a)
berkeyakinan bahwa anak manusia sudah dibekali dengan pengetahuan tentang
struktur dasar setiap bahasa di dunia. Gagasan Universal Grammar (UG) adalah
bahwa ada prinsip-prinsip tata bahasa yang pokok atau yang sangat mendasar
yang terdapat dalam atau yang melekat pada setiap bahasa di dunia.
UG memandang bahwa masukan bahasa dari lingkungan hanyalah
sebagai penggerak perkembangan bahasa. Pendekatan UG menganggap bahwa
bahasa merupakan hal yang unik yang berbeda dengan sistem kognitif lain.
Pandangan UG mengusulkan bahwa manusia memiliki “language faculty“ yang di
antaranya adalah seperangkat prinsip linguistik bawaan, disebut UG. Pandangan
mentalis ini percaya bahwa tanpa UG pembelajaran bahasa menjadi suatu hal
yang mustahil karena data masukan tidaklah mencukupi untuk keperluan
pemerolehan bahasa. Ketidakcukupan data masukan ini juga sering dirujuk
sebagai “poverty of the stimulus“. Dengan kata lain, Hummel menjelaskan bahwa
41
bahasa yang menjadi masukan kepada anak memiliki karakteristik, yaitu ujaran
yang disederhanakan, adanya interupsi, tidak gramatikal dan lain-lainnya. Oleh
karena itu, hanya dengan masukan, anak tidak akan mendapatkan informasi yang
cukup tentang sistem gramatika yang terdapat dalam bahasa masukan. Ada
sesuatu yang lain yang membantu anak untuk mengetahui aturan-aturan yang
terdapat dalam bahasa masukan dan hal tersebut dipercaya merupakan “Universal
Grammar” yang dibawa oleh anak sejak lahir secara kodrati.
Ellis (1997) menyimpulkan bahwa pandangan kaum mentalis berkaitan
dengan pemerolehan bahasa pertama adalah (1) hanya manusia yang mampu
untuk memperoleh bahasa, (2) otak manusia dibekali secara biologis dengan
peranti untuk memperoleh bahasa yang bernama Language Acquisition Device
(LAD), peranti ini terpisah dari piranti yang bertanggung jawab terhadap aktivitas
kognitif lain, seperti logika, (3) LAD bertanggung jawab dalam pemerolehan
bahasa, dan (4) masukan diperlukan, namun hanya sebagai pemicu untuk
mengaktifkan LAD.
Yulianto (2009) menguraikan bahwa menurut pandangan nativis,
pemerolehan bahasa merupakan proses yang universal yang mengacu pada dua
hal, yaitu (1) urutan perkembangan bahasa anak, dan (2) faktor-faktor yang
menentukan proses pemerolehan bahasa itu berlangsung. Dengan kata lain,
penelitian dalam bidang pemerolehan bahasa anak pada umumnya menemukan
bahwa perkembangan bahasa anak mengikuti tahapan-tahapan (urutan)
perkembangan yang dilalui sampai akhirnya sesuai dengan target penguasaan
bahasa orang dewasa.
42
Urutan atau tahapan-tahapan perkembangan tersebut tidak hanya
ditemukan dalam pemerolehan bahasa anak monolingual, namun tahapan yang
sama juga ditemukan dalam perkembangan bahasa anak bilingual. Yip (2013)
mengemukakan bahwa kemiripan pola urutan perkembangan bahasa anak
ditemukan pada perkembangan bahasa anak monolingual dan bilingual. Dalam hal
ini dijelaskan bahwa anak bilingual juga melalui periode celotehan,
perkembangan ujaran satu kata, kemudian diikuti dengan perkembangan ujaran
dua kata dan seterusnya sampai akhirnya mencapai kompetensi orang dewasa.
Tahapan-tahapan perkembangan ini dicapai rata-rata pada usia yang sama dengan
perkembangan bahasa anak monolingual.
Teori UG dipilih dalam penelitian ini disebabkan teori ini memandang
bahwa setiap anak memiliki kapasitas bawaan dalam memperoleh bahasa.
Kapasitas bawaan ini juga berlaku bagi anak yang memperoleh dua bahasa secara
simultan. Oleh karena itu, secara umum, teori ini dapat mendasari analisis ketiga
masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
2.3.2 Teori Keuniversalan dalam Pemerolehan Bunyi Bahasa
Bahasa-bahasa di dunia memiliki fitur-fitur yang universal, seperti setiap
bahasa memiliki nomina, dan verba; setiap bahasa memiliki bentuk-bentuk
negatif, setiap bahasa juga memiliki cara tertentu untuk membedakan bentuk
tunggal dan jamak ataupun bentuk kini dan lampau. Berdasarkan fitur-fitur
universal dalam bahasa-bahasa di dunia tersebut, diperkirakan pemerolehan
bahasa anak juga melalui proses-proses yang universal.
43
Keuniversalan dalam pemerolehan bahasa salah satunya dicetuskan oleh
Jakobson (1971: 7-11) yang mengungkapkan keuniversalan dalam pemerolehan
fonologi. Jakobson menekankan adanya keberaturan dalam pemerolehan sistem
fonemik anak. Keberaturan dalam perkembangan sistem fonemik anak secara
universal ditemukan dalam pemerolehan bahasa-bahasa anak di dunia tanpa
memandang seorang anak dibesarkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Prancis,
Meksiko, Jepang dan bahasa-bahasa lain di seluruh dunia, bahwa anak-anak
memperoleh bunyi bahasa secara konsisten dan dengan urutan yang sama.
Beberapa keuniversalan dalam pemerolehan bunyi yang dicetuskan oleh
Jakobson di antaranya adalah sebagai berikut. (1) Bunyi pertama yang diperoleh
oleh anak adalah kontras antara bunyi vokal dan konsonan. Bunyi vokal yang
paling awal dikuasai biasanya bunyi vokal A sementara bunyi konsonan yang
dikuasai adalah bunyi konsonan stop bilabial. (2) Kontras konsonan pertama yang
dikembangkan adalah kontras antara konsonan oral dan konsonan nasal ([p]-[t] ,
[m]-[n]), dan (3) Kontras konsonan kedua yang muncul adalah kontras antara
konsonan labial dan konsonan dental. Kontras bunyi yang muncul oleh Jakobson
disebut sebagai Sistem Konsonantal Minimal (minimal consonantal system) yang
terdapat dalam hampir seluruh bahasa di dunia.
Selanjutnya, Jakobson juga mencetuskan Sistem Vokal Minimal
(minimal vocalic system) atau yang merupakan tiga bunyi vokal minimal yang
terdapat pada seluruh bahasa di dunia. Ketiga bunyi tersebut adalah [a], [I] dan
[u]. Jakobson juga mengobservasi bahwa perkembangan bunyi anak mengikuti
44
hukum Hukum Solidaritas Tak-terbalikkan (irreversible solidarity). Hukum
tersebut berbunyi sebagai berikut:
1) Dalam sistem fonemik yang dikembangkan anak, pemerolehan bunyi
konsonan velar dan palatal menyiratkan kemunculan bunyi konsonan labial
dan dental. Misalnya, dalam bahasa A terdapat bunyi [k]-[g], maka dalam
bahasa ini memiliki bunyi [t]- [d] dan [p] –[b].
2) Dalam bunyi bahasa-bahasa di dunia, keberadaan bunyi konsonan velar dan
palatal menunjukkan adanya bunyi labial dan dental secara simultan.
3) Hukum (1) dan (2) tidak terbalikkan. Dalam suatu bahasa keberadaan bunyi
labial dan dental tidak secara otomatis mengindikasikan bahwa dalam bahasa
tersebut terdapat bunyi velar dan palatal. Misalnya, jika dalam bahasa A
terdapat bunyi [p]-[b] dan [t]-[d], tidak secara otomatis dalam bahasa tersebut
terdapat bunyi [k] dan [g].
4) Pemerolehan bunyi frikatif oleh anak mengandung arti bahwa anak telah
berhasil menguasai bunyi hambat. Hal ini sesuai dengan keberadaan bunyi-
bunyi bahasa di dunia bahwa keberadaan bunyi frikatif mengisyaratkan
keberadaan bunyi hambat. Namun, tidak demikian sebaliknya. Misalnya,
dalam bahasa A terdapat bunyi [f] dan [v], maka dalam bahasa tersebut pasti
terdapat bunyi [p]-[b] dan [t]-[d].
5) Tidak ada bahasa di dunia yang tidak memiliki bunyi hambat, namun ada
bahasa-bahasa yang tidak memiliki bunyi frikatif seperti beberapa bahasa di
Oceania, Afrika, dan Amerika Selatan.
45
6) Pemerolehan bunyi afrikat mengindikasikan bahwa anak telah memperoleh
bunyi frikatif dan bunyi hambat. Misalnya, bahasa A memiliki bunyi [ʦ] dan
[ʤ], maka bahasa tersebut pasti memiliki bunyi [f]–[v] dan [p]-[b] (Jakobson,
1971: 9-12).
Teori keuniversalan dalam pemerolehan bunyi bahasa tersebut digunakan
untuk membahas permasalahan pertama dalam penelitian ini, yakni
pendeskripsian elemen fonologis yang diperoleh anak serta urutan
pemerolehannya. Untuk menjelaskan segmen-segmen bunyi yang diperoleh anak
dan proses fonologis yang dialaminya, berikut diuraikan perbedaan antara bunyi
bahasa dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jerman.
2.3.2.1 Bunyi bahasa dalam bahasa Indonesia
Pada bagian ini dibahas mengenai bunyi vokal dan bunyi konsonan yang
terdapat dalam bahasa Indonesia. Bunyi dan tata bunyi yang terdapat dalam
bahasa Indonesia diringkas dari Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia terbitan
Balai Pustaka tahun 2003.
Bahasa Indonesia memiliki enam fonem vokal, yaitu fonem vokal tinggi
depan /i/, vokal sedang depan /e/, vokal sedang tengah /ə/, vokal rendah tengah
/a/, vokal tinggi belang /u/, dan vokal sedang belakang /o/, seperti terlihat pada
Gambar 2.1.
46
Depan Tengah Belakang
Tinggi i u
e ə o
Gambar 2.1.Vokal dalam Bahasa Indonesia
Fonem-fonem vokal yang terdapat dalam bahasa Indonesia dapat
menempati semua posisi suku kata, yaitu posisi awal, tengah, dan akhir suku kata,
seperti yang ditampilkan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Posisi Fonem Vokal dalam Suku Kata
Posisi Awal Tengah Akhir
Fonem
/i/ /indah/ Indah /pintar/ pintar /rapi/ rapi
/e/
/enak/ Enak /pendek/ pendek /sate/ sate
/ə/
/əlaŋ/ Elang /luwəs/ luwes /tipə/ tipe
/a/
/api/ Api /pantai/ pantai /kita/ kita
/u/
/usil/ Usil /suntuk/ suntuk /satu/ satu
/o/
/olah/ Olah /potoŋ/ potong /soto/ soto
Masing-masing fonem dalam bahasa Indonesia memiliki alofon atau
variasi (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, 2003) yang dapat digambarkan
seperti Gambar 2.2 dan dengan contoh yang didaftar seperti dalam Tabel 2.2.
a
Sedang
Rendah
47
Gambar 2.2. Alofon atau Variasi Fonem dalam Bahasa Indonesia
Tabel 2.2. Contoh Fonem dan Alofonnya dalam Bahasa Indonesia
Fonem Alofon Contoh
/i/ [i] [bibi] bibi
[ɪ] [tagɪh] tagih
/e/ [e] [ekɔr] ekor
[ɛ] [kakɛʔ] kakek
/ə/ [ə] [bənaʔ] benak
/a/ [a] [asal] asal
/u/ [u] [usaŋ] usang
[ʊ] [təpʊʔ] tepuk
/o/ [o] [oli] oli
[ɔ] [pokɔʔ] pokok
Bahasa Indonesia memiliki 22 fonem konsonan yang dikategorikan
berdasarkan tiga faktor, yaitu tempat artikulasi, cara artikulasi, dan terbuka atau
tertutupnya pita suara (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, 2003). Fonem
konsonan dalam bahasa Indonesia dapat digambarkan dalam Tabel 2.3.
/i/ /e/ /ə/ /a/ /u/ /o/
[i] [ɪ] [e] [ɛ] [ə] [a] [u] [ʊ] [o] [ɔ]
48
Tabel 2.3. Fonem Konsonan dalam Bahasa Indonesia
Tempat
artikulasi Bilabial
Labio
dental Alveolar Palatal Velar Glotal
Cara Artikulasi
Hambat
tak
bersuara p t k
bersuara b
d
g
Frikatif tak bersuara f s š x h
bersaudara
z
Afrikat tak bersuara
č
bersuara
ĵ
Nasal bersuara m
n ñ ŋ
Getar bersuara
r
Lateral bersuara
l
Semivokal bersuara w
y
Dalam Tabel 2.3 dapat dilihat bahwa bahasa Indonesia memiliki
konsonan hambat /p/-/b/, /t/-/d/, dan /k-g/. Bahasa Indonesia juga memiliki
konsonan frikatif /f/, /s/, /z/, /š/, /x/, dan /h/. Ada dua konsonan afrikat, yaitu
konsonan /c/ dan /ɟ/. Konsonan lain yang terdaftar adalah konsonan nasal /m/, /n/,
/ɲ/, dan /ŋ/. Konsonan getar /r/ dan lateral /l/ adalah fonem lain yang terdapat
dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, ada juga dua fonem semivokal, yaitu /w/
dan /y/. Contoh-contoh kemunculan fonem-fonem tersebut dapat dilihat dalam
Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Contoh Kemunculan Fonem Konsonan dalam Bahasa Indonesia
Fonem Contoh Fonem Contoh
/p/ /padi/ padi /h/ /harus/ harus
/b/ /bulu/ bulu /c/ /čanda/ canda
/t/ /tadi/ tadi /j/ /ĵalan/ jalan
/d/ /dalam/ dalam /m/ /manis/ manis
/k/ /kata/ kata /n/ /nanti/ nanti
/g/ /garam/ garam /ŋ/ /suñi/ sunyi
49
/f/ /lafal/ lafal /ŋ/ /buŋa/ bunga
/s/ /sama/ sama /r/ /ratu/ ratu
/z/ /lazɪm/ lazim /l/ /lara/ lara
/š/ /šarat/ syukur /w/ /wayaŋ/ wayang
/x/ /xawatir/ khawatir /y/ /sayu/ sayu
2.3.2.2 Bunyi bahasa dalam bahasa Jerman
Bunyi vokal dalam bahasa Jerman dipaparkan oleh Ladefoged (2001) dan
Uiowa.edu (2014) seperti yang terlihat pada Gambar 2.3. Jika dibandingkan
dengan bahasa Indonesia, bahasa Jerman memiliki lebih banyak bunyi vokal.
i y
u
ɪ ʏ
ʊ
e ø
o
ə
ɛ œ
ɔ
ɐ
a
Bunyi-bunyi vokal bahasa Jerman yang tidak terdapat dalam daftar bunyi
bahasa Indonesia adalah bunyi-bunyi depan bulat, yaitu /y/, /ʏ/, /ø/ dan bunyi /œ/.
Di samping keempat bunyi tersebut, open-mid schwa /ɐ/ juga menjadi salah satu
bunyi khas bahasa Jerman yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Contoh
kemunculan bunyi vokal dalam bahasa Jerman dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Gambar 2.3. Fonem vokal dalam bahasa Jerman
50
Tabel 2.5. Distribusi Bunyi Vokal dalam Suku Kata Bahasa Jerman
Bunyi
Vokal B.
Jerman
Initial Middle Final
Transkripsi
Fonemis Kata Makna
Transkripsi
Fonemis Kata Makna
Transkripsi
Fonemis Kata Makna
/i/ /i:gəl/ Igel 'landak' /libə/ liebe 'dear, cinta' /melodi:/ Melodie 'melodi'
/ɪ/ /ɪç/ Ich 'saya' /mɪç/ mich 'saya'
/y/ /y:bəl/ Übel 'sakit' /my:də/ müde 'lelah' /fry:/ früh 'awal'
/ʏ/ /ʏpɪç/ üppig 'subur' /dʏn/ dünn 'tipis'
/e/ /e:zəl/ Esel 'pantat' /lezən/ lesen 'membaca' /te:/ Tee 'teh'
/ø/ /ø:fən/ öfen 'oven' /kønɪç/ König 'raja' /bø:/ Bö
/ɛ/ /ɛ:nlɪç/ ähnlich 'mirip' /ʃpɛ:t/ spät 'terlambat'
/ɛkə/ Ecke 'pojok' /gɛlt/ Geld 'uang'
/œ/ /œfnən/ öffnen 'terbuka' /tsvœlf/ zwölf 'dua belas'
/a/ /alt/ alt 'tua' /zaft/ Saft 'jus'
/ə/ /ha:bən/ haben 'memiliki' /afə/ Affe 'monyet'
/ɐ/ /ɛndɐn/ ändern 'perubahan' /zɪlbɐ/ silber 'perak'
/u/ /uɐ/ Uhr
'jam
dinding' /gu:t/ gut 'bagus' /u:hu/ Uhu
'burung
elang'
/ʊ/ /ʊm/ um 'tentang' /hʊnt/ Hund 'anjing'
/o/ /o:fən/ Ofen 'oven' /zon/ Sohn
'anak laki-
laki' /fro:/ froh 'senang'
/ɔ/ /ɔfən/ offen 'terbuka' /kɔx/ Koch
'tukang
mask'
Dari segi bunyi konsonan, bahasa Jerman standar memiliki 22 bunyi
konsonan (Battenburg & Swanson, 2000) yang digambarkan seperti dalam Tabel
2.6.
Tabel 2.6. Fonem Konsonan dalam Bahasa Jerman
Tempat artikulasi Bilabial Labiodental Alveolar
Post alveolar Palatal Velar Uvular Glotal
Cara
Artikulasi
Hambat tak bersuara p
t
k
ʔ
bersuara b
d
g
Frikatif tak bersuara
f s ʃ ç x
h
bersuara
v z ʒ j
ʁ
Nasal bersuara m
n
ŋ
Lateral bersuara
l
51
Dalam Tabel 2.6 dapat dilihat bahwa bahasa Jerman cukup kaya dengan
bunyi-bunyi frikatif. Ada beberapa bunyi frikatif dalam bahasa Jerman yang tidak
ditemukan dalam bahasa Indonesia, seperti bunyi /v/, /ʃ/, /ʒ/, /ç/, /j/dan /ʁ/.
Contoh-contoh kemunculan fonem dalam kata terdapat dalam Tabel 2.7.
Tabel 2.7. Kemunculan Fonem Konsonan dalam Bahasa Jerman
Konsonan
Awal Tengah Akhir
Transkripsi Kata Transkripsi Kata Transkripsi Kata
/p/ /pauzə/ pause /kapə/ Kappe /li:p/ lieb
/b/ /bananə/ Banane /a:bənt/ Abend - --
/t/ /tantə/ Tante /Katsə/ Katze /bɪlt/ Bild
/d/ /drairat/ Dreirad /ʃadə/ schade - -
/k/ /kønɪç/ König /jakə/ Jacke /gəʃɛŋk/ Geschenk
/g/ /glas/ Glas /ly:gə/ Lüge - -
/ʔ/ /ʔapfəl/ Apfel /bəʔailən/ beeilen - -
/f/ /fɪʃ/ Fisch /kafe/ Kaffee /ho:f/ Hof
/v/ /vohɪn/ wohin /løvə/ Löwe - -
/s/ - - /fɛst/ Fest /kʊs/ Kuss
/z/ /zɔnə/ Sonne /kɛzə/ Käse - -
/ʃ/ /ʃulə/ Schule /taʃə/ Tasche /fɪʃ/ Fisch
/ʒ/ /ʒʊrnal/ Journal /pasaʒə/ Passage - -
/ç/ /çemi/ Chemie /lɪçt/ Licht /ɪç/ ich
/j/ /ja:ɐ/ Jahr /aɪnjɛ:rɪç/ einjährig - -
/x/ - - /vɔxə/ Woche /kɔx/ Koch
/ʁ/ /ʁot/ rot /vɔʁt/ Wort - -
/h/ /hant/ Hand /fʁaihait/ Freiheit - -
/m/ /man/ Mann /oma/ Oma /dʊm/ dumm
/n/ /nazə/ Nase /o:nə/ Ohne /ha:n/ Hahn
/ŋ/ - - /jʊŋə/ Junge /tsaitʊŋ/ Zeitung
/l/ /ly:gən/ lügen /kla:ɐ/ klar /bal/ Ball
Tabel 2.7 menunjukkan bahwa dalam sistem fonologi bahasa Jerman,
bunyi-bunyi hambat dan bunyi-bunyi frikatif bersuara tidak muncul dalam posisi
52
akhir kata. Di pihak lain, ada tiga fonem konsonan bahasa Jerman yang tidak
berdistribusi di awal kata, yakni frikatif /s/ dan / x/ serta satu fonem nasal, yaitu
/ŋ/.
2.3.3 Fonologi Generatif dalam Pemerolehan Bahasa Anak
Seperti halnya Yulianto (2009), ada dua fokus kajian fonologis yang
dilihat dalam penelitian ini, yaitu (1) bunyi bahasa yang diucapkan oleh anak dan
dapat didengar yang berhubungan dengan performansi anak dalam kegiatan
berbahasa atau dalam menghasilkan bunyi-bunyi ujaran, dan (2) pengetahuan
yang tidak disadari tentang cara bunyi-bunyi disusun sehingga menghasilkan
bunyi-bunyi yang bermakna. Pengetahuan berbahasa ini berkaitan dengan
kompetensi untuk mengatur sistem fonologi bahasa yang diperolehnya.
Dalam penelitian ini, salah satu teori yang diaplikasikan dalam
menganalisis perkembangan fonologis anak adalah teori fonologi generatif.
Berbeda dengan fonologi struktural yang berpandangan bahwa satuan unit terkecil
adalah fonem, fonologi generatif melihat bahwa fonem masih bisa diuraikan
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang disebut dengan fitur distingtif. Oleh
karena itu, bagian terkecil menurut fonologi generatif ialah fitur distingtif.
Simanjuntak (1990) melukiskan ciri-ciri fonologi generatif melalui
Gambar 2.4.
53
Rumus-rumus Fonologi
Gambar 2.4. Model Fonologi Generatif
Gambar 2.4 menunjukkan bahwa pada dasarnya, fonologi generatif
terdiri atas tiga peringkat, yakni (1) peringkat representasi leksikon, (2) peringkat
representasi fonologi, dan (3) peringkat representasi fonetik. Dijelaskan bahwa
peringkat representasi leksikon dan fonologi bersifat abstrak, sedangkan
representasi fonetik bersifat konkret. Representasi fonetik merupakan wujud akhir
representasi fonologi yang merupakan bunyi yang diujarkan dan bisa didengar.
Dalam fonologi generatif, segmen fonetik kemudian dianalisis ke dalam fitur-fitur
distingtif.
Menurut Kenstowicz & Kisseberth (1979), ada tiga komponen yang
digunakan sebagai dasar analisis dalam fonologi generatif, yaitu (1) the
underlying representation (UR)/ representasi dasar (RD) yang menggunakan
notasi / /, (2) the phonological rules/kaidah-kaidah fonologis, dan (3) phonetic
Representasi Fonetik
Representasi Fonologi
Komponen Sintaksis
Representasi Leksikon
Struktur Dalam
Rumus-rumus fonologi
Rumus-rumus penyesuaian kembali
54
representation (PR)/representasi fonetik (RF) yang digambarkan melalui notasi [].
Hubungan antara ketiga komponen tersebut dapat diamati melalui Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Model Analisis Fonologi Generatif
Gambar 2.5 pada dasarnya menunjukkan proses penurunan sebuah segmen
dalam fonologi generatif. Representasi dasar (RD) merupakan pengetahuan
fonologis penutur yang bersifat abstrak yang terdapat dalam pikiran penutur yang
diwujudkan secara konkret dalam bentuk representasi fonetis (RF) dalam bentuk
ujaran yang didengar. Dalam proses penuruan segmen dari RD menuju RF
diperlukan kaidah-kaidah fonologis yang dapat menjelaskan terjadinya proses
penurunan tersebut.
Schane (1992) menjelaskan bahwa fonologi generatif berhubungan
dengan proses fonologis yang terjadi pada setiap bahasa. Terjadinya proses
fonologis dapat disebabkan oleh aspek-aspek morfologis ataupun sintaksis, seperti
ketika terjadi penggabungan morfem dalam pembentukan sebuah kata. Perubahan-
perubahan bisa terjadi terhadap segmen-segmen yang berdekatan atau berjejer.
Teori fonologi generatif tersebut digunakan dalam penelitian ini karena
dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa anak, dalam proses
perkembangan bahasanya, anak sering menyederhanakan tuturan orang dewasa
Representasi Dasar (RD) (/ /)
Representasi Fonetis (RF) ([ ])
Kaidah-kaidah fonologis
55
sehingga terjadi perubahan-perubahan terhadap turuan orang dewasa. Perubahan-
perubahan yang terjadi yang disebut sebagai proses fonologis yang terjadi pada
anak diuraikan oleh Ingram (1981). Ingram (1981) mendaftar proses-proses
fonologis yang terjadi pada anak sebagai berikut.
1) Proses substitusi terdiri atas penghambatan (stopping), pengedepanan
(fronting), peluncuran (gliding), vokalisasi (vocalization), dan netralisasi
vokal (vowel neutralization).
2) Proses asimilasi terdiri atas penyuaraan (voicing), harmonisasi konsonan
(consonant harmony), dan asimilasi vokal progresif (progressive vowel
assimilation).
3) Proses struktur silabis terdiri atas reduksi deret konsonan (cluster reduction),
pelesapan konsonan akhir (deletion of final consonants), pelesapan suku kata
takbertekanan (deletion of unstressed syllables), dan reduplikasi
(reduplication).
Teori genertaif tersebut digunakan untuk menjelaskan proses fonologis yang
dialami anak yang merupakan teori yang digunakan untuk membahas bagian dari
masalah pertama dalam penelitian ini.
2.3.4 Teori Interaksionisme
Pendekatan lain dalam pemerolehan bahasa pertama adalah pandangan
interaksionisme. Teori interaksionisme berpandangan bahwa baik kemampuan
mental (innate capacities) maupun lingkungan bahasa memiliki kontribusi yang
sama dalam proses pemerolehan bahasa anak. Hummel (2014) memaparkan
56
bahwa pandangan kaum interaksionis termasuk salah satu ahlinya Berko Gleason
berargumen bahwa meskipun sudah ada bukti yang substansial tentang pentingnya
bekal kodrati dalam pemerolehan bahasa anak, peran lingkungan bahasa lebih
penting daripada hanya sekadar sebagai pemicu dalam perkembangan bahasa
anak.
Baradja (dalam Yulianto, 2009) memaparkan bahwa penganut aliran
interaksionisme beranggapan bahwa terjadinya penguasaan bahasa berhubungan
dengan adanya interaksi antara masukan yang disuguhkan kepada anak dan
kemampuan internal yang dimilikinya. Dengan kata lain, anak yang sudah
dibekali secara alamiah dengan LAD tidak secara otomatis bisa menguasai bahasa
tertentu tanpa dihadirkannya masukan yang sesuai untuk keperluan dalam proses
perkembangan bahasa anak.
Hummel (2014) memaparkan pandangan interaksionis yang menunjukkan
bahwa salah satu aspek penting dalam lingkungan bahasa anak adalah adaptasi
ujaran yang diekspos kepada anak yang dirujuk sebagai child-directed speech
(CDS). Beberapa karakteristik umum CDS ini adalah ujaran-ujaran yang pendek,
penekanan-penekanan pada kata atau suku kata tertentu, pengulangan kata,
parafrase dan penggunaan intonasi yang berlebihan.
Menurut Clark dan Clark (1977), sesuatu yang dibicarakan atau cara
orang dewasa berbicara kepada anak akan memberikan gambaran tentang struktur
dan fungsi bahasa yang akan diperoleh anak. Clark dan Clark menyebutkan
adanya dua alasan penting bahwa berbahasa kepada anak sangat penting untuk
diketahui, yaitu (1) memberikan gambaran tentang model bahasa yang disuguhkan
57
kepada anak, dan (2) hal yang dibicarakan orang dewasa kepada anak dapat
digunakan sebagai ukuran banyaknya anak memahami ujaran orang di sekitarnya.
Selanjutnya, dikemukakan bahwa ada tiga faktor yang memengaruhi cara
orang dewasa berbicara kepada anak. Pertama, orang dewasa harus memastikan
bahwa anak menyadari mereka berbicara kepada anak tersebut dan bukan kepada
orang lain. Untuk melakukan hal ini, orang dewasa bisa menggunakan nama
panggilan, intonasi, tekanan dan/atau menyentuh mereka. Kedua, ketika orang
dewasa telah mendapatkan perhatian anak, diperlukan penggunaan kata dan
kalimat ataupun topik yang sesuai sehingga anak bisa memahami hal yang
diujarkan, seperti orang dewasa tidak akan berbicara tentang sejarah atau geografi,
namun lebih kepada hal yang sedang dilihat anak, didengar, sesuatu yang sedang
dipegang atau yang sedang dimakan. Dengan kata lain, hal-hal yang dibicarakan
kepada anak mengandung konsep “sini dan kini”, yaitu hal-hal yang sedang
dilakukan anak dan hal-hal yang ada di sekitar anak. Ketiga, orang dewasa bisa
mengatakan hal yang ingin dikatakan kepada anak melalui berbagai cara. Mereka
bisa berbicara cepat atau lambat, menggunakan kalimat-kalimat singkat atau
panjang, dan lain-lain.
Steinberg, Nagata, dan Aline (2001) mengulas beberapa karakteristik
ujaran-ujaran orang tua kepada anak.
1) Immediacy and concreteness
Bahasa yang digunakan orang tua untuk berbicara kepada anak
mengandung karakteristik khusus, misalnya, orang tua berbicara tentang hal yang
58
terjadi saat itu, hal-hal yang terjadi di sekitar anak, dan tentang hal-hal konkret,
bukan hal-hal yang bersifat abstrak.
2) Grammaticality of input
Bahasa yang digunakan kepada anak menggunakan tata bahasa yang baik
dan disederhanakan. Ujaran-ujaran yang tidak gramatikal jarang ditemukan ketika
orang tua berbicara kepada anak.
3) Short sentences and simple structures
Penggunaan kalimat-kalimat singkat dan sederhana serta struktur kalimat
yang kompleks biasanya dihindari.
4) Vocabulary: simple and short
Kosakata yang digunakan biasanya sederhana dan terbatas.
5) Exaggerated intonation, pitch and stress
Orang tua biasanya menggunakan intonasi yang berlebihan, dengan
tempo yang dilambatkan dan menggunakan repetisi atau memarafrasakan hal yang
diucapkan.
6) Older children too adapt their speech
Anak-anak yang lebih besar juga mengadaptasikan cara mereka berbicara
kepada anak yang lebih kecil dengan cara menyederhanakan kalimat dan
menggunakan kosakata sederhana.
7) Father versus mother speech
Ayah dan ibu menggunakan pendekatan pragmatik yang berbeda ketika
berbicara kepada anak, seperti ayah cenderung menunggu anak untuk
mengantisipasi percakapan.
59
Finegan (2004) juga memaparkan beberapa karakteristik bahasa yang
ditujukan kepada anak, yaitu (1) ketika berbicara dengan anak, suara-suara orang
dewasa lebih tinggi dari biasanya; (2) intonasinya berlebihan serta berbicara
dengan pelan dan jelas; (3) pengulang-ulangan kata atau kalimat; (4) kalimat-
kalimat yang digunakan pendek dan sederhana; (5) penggunaan nama lebih
diutamakan daripada kata ganti orang; dan (6) biasanya topik-topik yang
ditujukan kepada anak menyangkut hal-hal konkret dan mengacu pada benda-
benda atau aktivitas yang terjadi di sekitar anak.
Teori interaksionis tersebut dipilih sebagai salah satu teori yang
melandasi penelitian ini disebabkan oleh pandangan bahwa dalam memperoleh
bahasa anak baik kapasitas bawaan maupun lingkungan kebahasaan anak
memiliki pengaruh yang sama penting dalam proses pemerolehan bahasa anak.
Teori ini juga digunakan sebagai dasar dalam membahas ketiga masalah yang
berusaha dikupas dalam penelitian ini.
2.3.5 Teori SDH (Separate Development Hypothesis)
Dalam perkembangan teori-teori yang mengkaji perkembangan bahasa
pertama anak bilingual (dua bahasa pertama sejak lahir), Volterra & Taeschner
(1978) mencetuskan sebuah hipotesis perkembangan bahasa anak bilingual yang
sangat berpengaruh pada kajian-kajian tentang pemerolehan bahasa anak yang
diberi masukan dua bahasa sejak lahir. Hipotesis yang diperkenalkan oleh
Volterra dan Taeschner dikenal dengan penggabungan dua sistem linguistik yang
berbeda menjadi satu sistem linguistik atau yang dikenal dengan ULS (Unitary
60
language System) pada awal perkembangan bahasa anak bilingual. Hipotesis ULS
terdiri atas tiga tahapan perkembangan bahasa anak bilingual. Tahap-tahap
tersebut adalah sebagai berikut.
1) Tahap pertama, anak hanya memiliki satu sistem leksikal yang terdiri atas
kata-kata yang berasal dari bahasa-bahasa masukan yang diperolehnya.
2) Tahap kedua adalah tahap pembedaan leksikal dan sintaksis secara berjenjang.
Dengan kata lain, pada tahap ini anak telah membedakan leksikal yang
diperolehnya namun masih mengaplikasikannya pada sistem gramatika yang
sama.
3) Tahap ketiga adalah tahap perkembangan sistem gramatika yang berbeda yang
menghasilkan perbedaan sistem linguistik. Diperkirakan bahwa tahap ini
terjadi ketika anak berumur kira-kira tiga tahun.
Hipotesis ULS disanggah oleh peneliti-peneliti lain dengan hasil-hasil
penelitian yang mengarah pada hipotesis dan simpulan yang berbeda. DeHouwer
(1990) mencetuskan teori yang dikenal dengan Separate Development
Hyphothesis (SDH) yang berpandangan bahwa anak yang memperoleh dua bahasa
secara simultan mengembangkan dua sistem linguistik yang berbeda sejak dini.
Teori SDH tidak hanya didasarkan pada pembedaan dua sistem linguistik sejak
dini, namun juga bahwa setiap sistem linguistik berkembang secara tersendiri.
Secara empiris, teori SDH didukung oleh Bosch dan Sebastián-Gallés
(2001) yang melalui penelitiannya menemukan bahwa anak-anak bilingual
memiliki kapasitas untuk membedakan persepsi ujaran, anak bisa membedakan
bunyi-bunyi dari bahasa-bahasa yang berbeda bahkan bahasa-bahasa yang
61
memiliki kemiripan, seperti halnya bahasa Spanyol dan Katalan bahkan sejak
bulan-bulan pertama kehidupannya. Bukti empiris lain yang mendukung SDH
adalah Poulin-Dubois dan GoodZ (2001) yang menemukan bahwa bayi-bayi yang
dibesarkan secara bilingual dalam bahasa Prancis dan Inggris mengembangkan
dua sistem linguistik yang berbeda pada periode celotehan (babbling period). Hal
ini digambarkan melalui adanya dominasi bunyi-bunyi yang diproduksi yang
merupakan bunyi-bunyi yang memiliki ciri-ciri prosodik bahasa Prancis. Hal ini
membuktikan bahwa sejak usia sangat dini, anak bilingual sudah mampu
menyeleksi bunyi-bunyi yang akan dikuasainya.
Bukti lain yang menyokong terjadinya pembedaan dua sistem linguistik
juga ditemukan oleh Matthews dan Yip (1994) yang melihat terjadinya
pembedaan dari segi aspek fonologis bahasa Inggris dan bahasa Kanton yang
diperoleh oleh anaknya, Alicia, ketika berumur sekitar satu tahun. Salah satu
perbedaan yang menonjol dalam sistem fonologis bahasa Inggris dan bahasa
Kanton adalah bahwa bahasa Kanton tidak memiliki konsonan akhir yang aspirat
seperti halnya yang ditemukan dalam bahasa Inggris. Pada tahap perkembangan
satu kata ditemukan bahwa Alicia sudah bisa membedakan antara kedua jenis
konsonan akhir ini. Bahkan, anak sering memproduksi kata-kata dalam bahasa
Inggris yang berakhiran konsonan hambat bersuara ataupun konsonan hambat tak
bersuara dengan aspirasi yang berlebihan.
Peneliti lain, Meisel (2001) menyokong keberadaan bekal kodrati
manusia, dengan keberadaan kapling-kapling intelektual yang berada pada otak
manusia yang salah satunya bertanggung jawab terhadap perkembangan bahasa
62
yang memiliki kapasitas untuk memperoleh lebih daripada satu bahasa dan
menjadi bilingual. Meisel mengklaim bahwa dalam hubungannya dengan
perkembangan bahasa, penelitian-penelitian dalam dasawarsa terakhir
membuktikan keadaan anak-anak yang memperoleh dua atau lebih bahasa secara
simultan sejak lahir melalui tahapan perkembangan bahasa yang sama dan pada
akhirnya sampai pada pengetahuan gramatika yang sama dengan anak-anak yang
dibesarkan secara monolingual.
Teori SDH dipilih dalam penelitian ini karena teori ini memiliki
pandangan bahwa anak yang dibesarkan dalam dua bahasa yang berbeda sejak
lahir memiliki kapasitas untuk memperoleh dua sistem linguistik yang berbeda
sejak usia dini sekaligus memiliki kapasitas untuk memperoleh leksikal ganda.
Oleh karena itu, teori ini dapat digunakan sebagai panutan dalam membahas
ketiga masalah penelitian yang didiskusikan dalam penelitian ini.
2.3.6 Teori Cross-Linguistic Influence (CLI)
Teori ketiga yang berkembang sehubungan dengan pemerolehan bahasa
anak bilingual adalah pembedaan sistem linguistik yang disertai dengan cross-
linguistic influence (CLI). Teori ini mencatat bahwa dalam perkembangan bahasa
anak bilingual, masing-masing sistem linguistik berkembang secara terpisah,
namun bisa memengaruhi satu sama lain.
Yip (2013) menjelaskan bahwa pengaruh satu bahasa pada bahasa
lainnya secara kolektif dikenal dengan cross-linguistic influence (CLI), sebuah
istilah yang mencakup gagasan tradisional tentang transfer dan interferensi.
63
Transfer menurut Paradis dan Genesee (1996), adalah penggabungan properti
gramatikal dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Sementara itu, Grosjean (2013)
menjelaskan bahwa bentuk interferensi adalah penyimpangan bahasa yang terjadi
karena adanya pengaruh dari bahasa lainnya. Interferensi menurut Grosjean bisa
terjadi pada semua level linguistik dari aspek fonetik sampai aspek pragmatik.
Yip dan Matthews (2007) menggambarkan hubungan antara transfer dan
cross-linguistic influence seperti pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Hubungan Antara Cross-Linguistic Influence dan Transfer
Yip dan Matthews menjelaskan bahwa jika transfer merupakan penggabungan
antara properti gramatikal suatu bahasa ke bahasa yang lainnya, kasus yang paling
jelas yang berhubungan dengan transfer adalah ketiadaan properti tersebut dalam
bahasa penerima. Oleh karena itu, properti ini secara langsung dan jelas
merupakan bagian dari bahasa sumber. Transfer seperti ini tidak ditemukan dalam
anak yang memperoleh bahasa secara monolingual.
Menurut Yip dan Matthews (2007), terjadinya cross-linguistic influence
bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya, yaitu (1) dominasi salah satu
bahasa, (2) perkembangan yang tidak sinkron, dan (3) ambiguitas masukan dan
ketumpangtindihan struktur kedua bahasa yang diterima oleh anak. Sementara itu,
Cross-Linguistic
Influence
Transfer
64
Hulk dan Müller (2000) memaparkan ada dua kondisi tempat cross-linguistic
influence terjadi, yaitu (1) adanya interaksi antara struktur bahasa-bahasa yang
diperoleh anak, dan (2) adanya ketumpangtindihan dalam struktur kedua bahasa,
yaitu bahasa A mengizinkan suatu opsi dan bahasa α mengizinkan opsi lainnya
(yang salah satunya tumpang tindih dengan bahasa A).
Selanjutnya, Yip dan Matthews memberi batasan bahwa transfer bersifat
sistemik. Paradis dan Genesee (1996) menegaskan bahwa sistemik di sini berarti
bahwa pengaruh satu bahasa ke bahasa lainnya terjadi pada level kompetensi,
yaitu terjadi secara terus menerus pada periode waktu tertentu. Oleh karena itu,
transfer ini berbeda dengan code-mixing tempat dua bahasa berinteraksi pada level
performansi dan terjadi secara insidental.
Sementara itu, Romaine (1995) mengungkapkan bahwa menjadi bilingual
dan belajar berbicara dalam dua bahasa sering melibatkan penggabungan elemen-
elemen kedua bahasa tersebut. Menurut Romaine (1995), fenomena yang sering
terjadi dalam bilingualisme adalah alih kode (code-switching) yang di antaranya
mencakup alih kode antarkalimat (inter-sentential switching) dan alih kode
intrakalimat (intra-sentential switching). Alih kode antarkalimat mencakup
peralihan klausa atau kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain. Misalnya, “Have
you seen the movie When Harry met Sally? Aku paling suka adegan di restoran,
lucu, bikin ngakak!” Sementara itu, alih kode intrakalimat mencakup peralihan
dari satu bahasa ke bahasa lain yang terjadi dalam satu klausa atau kalimat, seperti
pada contoh “Aduh, anak itu memang clumsy banget!”
65
Teori CLI tersebut dipilih sebagai salah satu teori anutan dalam
penelitian ini karena teori itu dapat menjelaskan apabila dalam penelitian ini
ditemukan terjadinya transfer. Hipotesis dalam penelitian ini adalah terjadinya
transfer dalam aspek perkembangan fonologis dan sintaktsis. Oleh karena itu,
teori itu dapat membantu peneliti dalam membahas masalah penelitian pertama
yang menyangkut perkembangan fonologis dan masalah penelitian ketiga, yakni
perkembangan sintaktis.
Salah satu aspek linguistik yang memungkinkan atau dicurigai transfer
bisa terjadi pada tataran morfosintaksis seperti yang ditemukan oleh sejumlah
linguis (Dopke, 1998; Muller, 1998; Soriente 2007; Yip & Matthews, 2007).
Untuk memprediksi bahwa transfer bisa terjadi, perlu dilihat perbedaan-perbedaan
domain linguistik kedua bahasa yang diperoleh anak. Bahasa Indonesia dan
bahasa Jerman, secara etimologis, berasal dari dua rumpun bahasa yang berbeda.
Bahasa Indonesia merupakan bagian rumpun bahasa Austronesia, sedangkan
bahasa Jerman merupakan bagian rumpun bahasa Indo-Eropa. Di samping
perbedaan etimologis, secara tipologis, bahasa Indonesia dan Jerman juga sangat
berbeda. Secara tipologis, tata urut kata dalam bahasa Indonesia menempatkan
verba pada posisi sebelum nomina atau praverba (misalnya, “makan nasi”)
dengan pola dasar S-V-O seperti pada contoh “Saya makan nasi”. Namun, jika
terdapat verba modal dalam klausa, modal memiliki posisi sebelum verba leksikal
menghasilkan pola S-MOD-V-O, seperti dalam kalimat “Saya akan makan nasi”.
Sebaliknya, dalam bahasa Jerman, posisi dasar verba non-finite adalah di akhir
frasa verba atau posverba (misalnya, Reis essen). Posisi verba ini tetap di akhir
66
jika terdapat kata bantu atau modal menghasilkan kontsruksi S-AUX-O-V, seperti
Ich wil Reis essen. Jika tidak terdapat verba bantu atau modal, fitur finite melekat
pada verba leksikal dan mengambil posisi kata bantu atau modal sehingga pola
susunan katanya menjadi S-V-O, seperti dalam kalimat Ich esse Reis. Dengan
perbedaan pola dasar tersebut, ada prediksi bahwa dimungkinkan terjadinya
transfer dalam perkembangan bahasa anak. Oleh karena itu, bagian selanjutnya
akan membahas secara lebih rinci tentang fitur-fitur morfosintaksis, baik dalam
bahasa Indonesia maupun bahasa Jerman.
2.3.6.1 Fitur morfosintaksis bahasa Indonesia
a) Verba dari segi bentuknya
Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003) dijelaskan bahwa
verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat. Hal ini disebabkan
oleh, dalam kebanyakan hal, verba memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
unsur-unsur lain dalam kalimat. Dalam pembentukan verba ada dua macam dasar
yang digunakan sebagai penentu, yaitu (1) dasar yang tanpa afiks dan telah
memiliki kategori sintaksis dan memiliki makna yang mandiri, dan (2) dasar yang
kategori sintaksisnya ataupun maknanya baru dapat ditentukan setelah diberi
afiks. Dengan dua macam dasar tersebut, bahasa Indonesia memiliki dua bentuk
verba, yaitu verba asal dan verba turunan yang dapat diringkas seperti Tabel 2.8.
67
Tabel 2.8. Bentuk Verba dalam Bahasa Indonesia
Verba
Verba Asal
(tanpa afiks)
Verba Turunan
makan (1) dasar bebas, afiks wajib mendarat, membesar
tidur
(2) dasar bebas, afiks
manasuka (mem)baca, (mem)beli
cinta (3) dasar terikat, afiks wajib bertemu, berjuang
jatuh (4) berulang
berjalan-jalan, memukul-
mukul
datang (5) majemuk
campur tangan, panjang
tangan
Dalam pembentukan verba turunan ada prefiks verbal meng-, per- , ber-, di- dan
ter-. Sufiks ada tiga, yaitu –kan, -i, dan –an. Konfiks verba, yaitu ke-an dan ber-
an.
b) Kalimat Dasar
Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003) dipaparkan bahwa
kalimat dasar merupakan kalimat yang (1) terdiri atas satu klausa, (2) unsur-
unsurnya lengkap, (3) susunan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling
umum, dan (4) tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran. Hal ini berarti
bahwa kalimat dasar identik dengan kalimat tunggal deklaratif afirmatif. Setiap
kalimat memiliki bentuk, kategori, dan fungsi sintaksis yang dijabarkan seperti
dalam Tabel 2.9.
Tabel 2.9. Hubungan Bentuk, Kategori, dan Fungsi Sintaksis
Bentuk Ibu saya tidak memasak nasi untuk kami minggu lalu
Katagori Kata N Pron Adv V N Prep N N Adv
Frasa FN FV FN Fprep FN
Fungsi
Subjek Predikat Objek Pelengkap Keterangan
68
Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003) selanjutnya
dipaparkan bahwa dalam sebuah kalimat dasar harus ada konstituen fungsi
sintaksis pengisi subjek dan predikat. Kehadiran konstituen lainnya biasanya
ditentukan oleh konstituen pengisi predikat. Pola-pola kalimat dasar dalam bahasa
Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 2.10.
Tabel 2.10. Pola-pola Kalimat Dasar dalam Bahasa Indonesia
No Tipe Subjek Predikat objek pelengkap Keterangan
1 S-P Teman saya penari
Ali sedang mandi
2 S-P-O Ibu Santi membeli kue
Deo melempar bola
3 S-P-Pel Suta menjadi
ketua jurusan
Rudi adalah
adik saya
4 S-P-Ket Mereka berangkat
ke Jakarta
Abdur siaran
minggu depan
5 S-P-O-Pel Joni membukakan ayah saya pintu
Adiknya mengambilkan ayah Joni sepatu
6
S-P-O-
Ket Bu Bida mengirimkan buku
kemarin
Pak Tardi mencari
buku
linguistik
di perpustakaan
2.3.6.2 Fitur morfosintaksis bahasa Jerman
Bahasa Jerman merupakan bahasa Indo-Eropa yang termasuk dalam
kelompok Germanik. Mills (1985) mendeskripsikan bahwa bahasa Jerman yang
dituturkan di negara Jerman terdiri atas berbagai dialek yang memiliki variasi baik
di bidang fonologi, kosakata, maupun yang lain-lainnya yang bisa menyebabkan
terjadinya kekurangpahaman antara penutur suatu dialek dan penutur dialek lain.
Karena adanya perbedaan-perbedaan dialek tersebut, bahasa Jerman yang
digunakan di wilayah Hannover, dianggap sebagai bahasa Jerman standar. Mills
(1985) menguraikan secara singkat fitur-fitur sintaksis bahasa Jerman yang akan
69
dijadikan sebagai pedoman dalam bagian ini. Di samping itu, uraian fitur-fitur
sintaksis bahasa Jerman juga diringkas dari (Schroedel, 2011).
a) Susunan kata
Susunan kata dalam bahasa Jerman bervariasi, namun mengikuti kaidah
yang ketat, khususnya berhubungan dengan posisi verba. Bahasa Jerman
merupakan bahasa yang mengikuti susunan kata dalam kalimat subjek-verba-
objek (SVO). Posisi verba finit (finite verb) pada posisi kedua dalam kalimat
deklaratif merupakan hal yang wajib.
(1) Meine Mutter kommt aus Deutschland. POSS. PRON ibu berasal PREP Jerman.
FEM:TG:NOM
„Ibu saya berasal dari Jerman‟.
Dalam anak kalimat, posisi verba finite secara umum terletak pada akhir kalimat.
(2) Das Kind, das wein -t. DEF. ART: anak REL.PRO: menangis 3TG:ASP
NET:TG:NOM NEUT:SG:NOM
„Anak yang menangis itu‟
Setelah kata bantu atau modal, verba berada pada posisi final dalam kalimat
utama.
(3) Der Mann muss zum Zahnarzt (geh -en). DEF.ART: laki-laki harus:MOD PREP dokter gigi pergi INF
MSK:TG:NOM „laki-laki itu harus pergi ke dokter gigi‟
(4) Der Mann wird zum Zahnarzt geh -en. DEF.ART: laki-laki ASP.KBV PREP dokter gigi pergi INF
MSK:TG:NOM „Laki-laki itu akan pergi ke dokter gigi‟
70
b) Morfologi dalam verba
Verba kala dalam bahasa Jerman dibentuk secara pasti melalui infleksi
terhadap akar verba atau dengan menggunakan kata bantu. Contoh-contoh
penggunaan verba dan kata bantu terdapat dalam Tabel 2.11.dan Tabel 2.12.
Tabel 2.11. Infleksi pada Verba present tense
Pronomina persona
Verba Ending
1SG ich komm-e wohn-e -e 2SG du komm-st wohn-st -st 3SG er komm-t wohn-t -t
sie komm-t wohn-t -t
es komm-t wohn-t -t
1PL wir komm-en wohn-en -en
2PL ihr komm-t wohn-t -t 3PL sie komm-en wohn-en -en
Tabel 2.12. Kata Bantu dalam Bahasa Jerman
Pronomina persona
Kata bantu
1SG ich bin
2SG du bist 3SG er ist
sie ist
es ist
1PL wir sind 2PL ihr sind 3PL sie sind
c) Negasi
Pada dasarnya negasi dalam bahasa Jerman memerlukan kata nicht
setelah verba finit (finite verb). Pada klausa subordinat, ketika verba finit terletak
71
pada posisi akhir klausa, nicht diletakkan sebelum verba. Namun, aturan ini
memiliki beberapa variasi. Bentuk negasi pada nomina memerlukan kata kein.
(5) Er geh -t nicht ins Restaurant.
dia (laki-laki) pergi 3TG NEG ke restoran
„Dia(laki-laki) tidak pergi ke restoran‟
(6) Ich hab -e kein Handy.
saya punya 1TG NEG telepon genggam
„Saya tidak punya telepon genggam„
d) Pertanyaan
Ada dua tipe pertanyaan dalam bahasa Jerman, yaitu pertanyaan dengan
jawaban “ya” atau “tidak” dan pertanyaan yang diawali dengan kata tanya.
Pertanyaan dengan jawaban “ya” atau “tidak” juga bisa dibentuk melalui
peninggian intonasi. Berikut adalah contoh-contohnya.
(7) Bring-st du mein Buch? bawa 2TG kamu POSS.PRON:NET:TG:AK buku
„Apa kamu membawa buku saya?‟
(8) Du bring-st mein Buch?
kamu bawa 2TG POSS.PRON:NET:TG:AK buku
„Kamu bawa buku saya?„
(9) Wo wohn -en sie?
LOK tinggal 3JMK mereka
„Di mana mereka tinggal?‟
e) Imperatif
Kalimat imperatif digunakan untuk meminta seseorang melakukan
sesuatu, memperingatkan seseorang, membuat sebuah permintaan, atau
memerintahkan seseorang melakukan sesuatu. Dalam bahasa Jerman, ada tiga
aturan yang digunakan untuk menyampaikan permintaan ataupun perintah
bergantung pada subjeknya, yakni du/kamu (orang kedua tunggal; cara informal),
72
sie/anda (orang kedua tunggal; cara formal) dan ihr/kalian (orang kedua jamak;
cara informal). Namun, yang dibahas pada bagian ini adalah kalimat imperatif
untuk subjek du. Hal ini disebabkan oleh, dalam kasus pemerolehan bahasa anak
dalam penelitian ini, yang dilihat adalah ujaran-ujaran bahasa yang berbentuk
informal, yaitu ujaran-ujaran yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya, bentuk imperatif untuk subjek du hanya menggunakan
bentuk konjugasi dari verba du tanpa akhiran „st‟ seperti yang terdapat pada
contoh (10) sampai (12).
(10) Komm mit! (Ayo ikut!)
(11) Sag mall! (Ayo bilang!)
(12) Trink das! (Minum ini!)
Bentuk-bentuk formal tidak akan dibahas pada bagian ini. Hal ini
disebabkan oleh data awal yang telah dikumpulkan anak belum mampu untuk
memproduksi ujaran-ujaran imperatif yang berbentuk formal.
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya merupakan sebuah kajian psikolinguistik
yang secara umum bertujuan mendeskripsikan sekaligus menjelaskan
pemerolehan bahasa anak bilingual simultan yang diekspos dalam dua bahasa
yang berbeda sejak lahir, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Secara
khusus, penelitian ini membahas tiga masalah penelitian. (1) Bagaimanakah
pemerolehan fonologi anak? (2) Bagaimanakah perkembangan leksikal anak? (3)
73
Bagaimanakah penggunaan kalimat deklaratif sederhana, kalimat tanya dan
kalimat perintah yang dikembangkan anak?
Berdasarkan ketiga masalah yang dibahas dalam penelitian ini, tujuan
yang ingin dicapai adalah (1) mendaftar bunyi vokal dan bunyi kosonan yang
diperoleh anak, mendaftar proses fonologis, serta membuat kaidah proses
fonologis yang dialami anak; (2) mendeskripsikan perkembangan leksikal anak
dengan membuat alur tahapan perkembangan leksikal dalam bahasa Indonesia,
bahasa Jerman, dan daftar padanan kata yang telah dikuasai anak; (3) menjelaskan
penggunaan kalimat deklaratif sederhana, kalimat tanya, dan kalimat perintah
yang dikembangkan anak dengan membuat daftar analisis transfer, serta
mengompilasi transfer sintaksis yang dialami anak
Sehubungan dengan itu, secara lebih spesifik, model penelitian yang
dikembangkan dalam penelitian ini dapat dilihat seperti Gambar 2.7.
74
Dalam model penelitian yang terlihat seperti pada Gambar 2.7 dapat
dijelaskan bahwa untuk mencapai tujuan penelitian ada enam teori yang
dipadukan. Dua teori, yaitu teori Universal Grammar (UG) dan teori Interaksionis
Gambar 2.7. Model Penelitian
Pemerolehan Bahasa Bilingual Simultan
Perkembangan
Fonologi
Perkembangan
Leksikal
Perkembangan
Kal. Deklaratif,
Kal. Tanya dan
Kal. Perintah
Sederhana
Teori Keuniversalan
dalam
Pemerolehan
Bunyi
Teori UG
Teori
Interaksionis
SDH
CLI
Metode
Kualitatif
Studi kasus:
Kajian
Psikolinguistik
Temuan Penelitian:
1) Daftar bunyi vokal dan bunyi kosonan yang diperoleh
anak, daftar proses fonologis, kaidah fonologis, dan daftar
transfer fonologis.
2) Alur tahapan perkembangan leksikal dalam bahasa
Indonesia, bahasa Jerman, dan daftar padanan kata yang
telah dikuasai anak.
3) Daftar analisis transfer dan penempatan verba dalam
frasa, kompilasi transfer sintaksis yang dialami anak.
Fonologi
Generatif
75
merupakan teori pemerolehan bahasa secara umum yang memayungi pemerolehan
bahasa baik pemerolehan bahasa monolingual maupun bilingual. Teori
selanjutnya, yaitu teori keuniversalan dalam pemerolehan bunyi yang dicetuskan
Jakobson merupakan teori yang khusus melihat perkembangan fonologis anak dan
fonologi generatif. Sementara itu, dua teori lain, yaitu teori Separate Development
Hyphothesis (SDH) dan Cross-Linguistics Influence (CLI), merupakan teori-teori
yang berkembang dalam pemerolehan bahasa pertama bilingual yang diperoleh
secara simultan.
Tujuan pertama penelitian diwujudkan dengan memadukan teori
keuniversalan dalam pemerolehan bunyi, fonologi generatif, dan teori CLI.
Pemaduan kedua teori tersebut digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan
fonologis anak. Tujuan kedua penelitian ini dibahas dengan menggunakan teori
SDH. Teori SDH ini digunakan untuk melihat perkembangan leksikal anak
sekaligus padanan leksikal yang telah dikuasai anak. Sementara itu, tujuan kelima
penelitian dibahas menggunakan teori CLI. Teori CLI ini digunakan untuk melihat
penggunaan kalimat deklaratif sederhana.
Selanjutnya, data penelitian dikumpulkan, ditabulasi, dan
diinterpretasikan melalui penerapan metode kualitatif yang digunakan untuk
mencapai ketiga tujuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya.
76
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian yang berfokus mengkaji pemerolehan bahasa anak bilingual
simultan ini merupakan sebuah kajian di bidang psikolinguistik. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif, merupakan sebuah penelitian studi kasus
yang menggunakan metode eksperimentasi melalui observasi sistematis dengan
melihat pemerolehan bahasa anak bilingual yang diekspos dalam dua bahasa yang
secara tipologi sangat berbeda, yaitu bahasa Indonesia (mulai sekarang: BI) dan
bahasa Jerman (mulai sekarang: BJ). Anak yang menjadi partisipan dalam
penelitian ini adalah Alyssa, untuk selanjutnya disebut dengan inisial ALY,
merupakan anak kedua peneliti yang diberi masukan kedua bahasa tersebut sejak
lahir dengan pola satu bahasa satu orang tua. Dalam studi kasus ini, anak
memperoleh masukan BI dari ibu dan BJ dari ayahnya. Penelitian ini didasarkan
pada observasi terhadap lingkungan keluarga yang dilakukan secara natural
karena peneliti dekat dengan sumber data sehingga peneliti mendapat akses untuk
mengeksplorasi dan mengkaji pemerolehan bahasa anak bilingual.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Kalibukbuk, Kecamatan Buleleng.
Penelitian dilakukan dalam lingkup keluarga. Salah satu individu dalam keluarga,
ALY, merupakan subjek utama penelitian ini. Keluarga tinggal di Dusun
Celukbuluh, Desa Kalibukbuk. Penduduk di lingkungan tempat tinggal
77
menggunakan bahasa pergaulan sehari-hari bahasa Bali (mulai sekarang: BB),
sedangkan bahasa yang digunakan dalam keluarga yang menjadi fokus penelitian
ini menggunakan bahasa sehari-hari yang beragam bergantung pada masing-
masing individu dalam keluarga, yaitu BI, BJ, BB dan Bahasa Inggris (mulai
sekarang: BING). Lokasi desa tempat tinggal keluarga yang diteliti dapat dilihat
dalam Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Lokasi Desa Kalibukbuk
(Sumber: http://www.northbali.info/places/kalibukbuk.php)
Pengambilan data penelitian ini dilaksanakan ketika ALY berumur 1;0
sampai 3;0, yaitu dari bulan September 2012 sampai dengan September 2014.
Dalam kurun waktu tersebut, peneliti mengumpulkan data berupa produksi bahasa
anak baik dari aspek perkembangan bunyi bahasa, perkembangan leksikal, serta
penggunaan kalimat deklaratif sederhana, kalimat imperatif, dan kalimat tanya.
78
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data verbal yang
secara garis besar mengkaji perkembangan fonologi, perkembangan leksikal, dan
perkembangan sintaksis. Data fonologi berupa perkembangan produksi bunyi
bahasa yang diperoleh anak mencakup segmen-segmen bunyi yang dikembangkan
anak sekaligus proses fonologis yang dialaminya. Data leksikal mencakup
perkembangan leksikal dalam BI, BJ, dan perkembangan padanan leksikal. Data
sintaksis berupa data perkembangan kalimat deklaratif sederhana, kalimat
imperatif, dan kalimat tanya.
Sumber data penelitian ini adalah ALY, ayah, ibu, saudara, pengasuh,
guru serta teman bermainnya. ALY merupakan anak kedua peneliti. Dia lahir pada
tanggal 24 September 2011 dengan berat badan 3.3 kilogram di Singaraja, Bali.
Dia lahir secara normal dan memiliki keadaan fisik yang sehat. Ketika ALY
berumur 2;10, anak mulai didaftarkan dan mengikuti kelompok bermain
(playgroup) yang sekaligus memiliki ruang untuk TPA (Tempat Penitipan Anak).
Kelompok bermain ini berlokasi di salah satu taman kanak-kanak dari sebuah
yayasan di kota Singaraja. Lokasi kelompok bermain terlihat seperti dalam
Gambar 3.2 .
Di kelompok bermain tersebut, terdapat 42 orang anak dengan tiga orang
guru, satu kepala sekolah, satu tenaga administrasi, dan satu orang pegawai.
Anak-anak dalam kelompok bermain terdiri atas anak-anak dari keluarga Bali,
keluarga keturunan etnis Cina, keluarga Jawa, dan keluarga campuran, Bali-
Eropa. Bahasa yang digunakan dalam kelompok bermain adalah BI, baik bahasa
79
pergaulan anak dalam kesehariannya maupun bahasa pengantar yang digunakan
oleh para guru dan pegawai di kelompok bermain tersebut.
Gambar 3.2. Lokasi Kelompok Bermain Anak
(Sumber: http://www.balitourism.nl/singarajamapeng.htm)
Anak mengikuti kelompok bermain setiap Senin sampai Jumat dari pukul
08.00 sampai pukul 12.45 dan setiap Sabtu sampai pukul 10.30. Jarak tempuh dari
rumah sampai ke lokasi kelompok bermain sekitar delapan kilometer dengan
waktu tempuh sekitar 15 menit.
ALY lahir dari seorang ibu, yaitu peneliti sendiri yang berasal dari Bali
dengan bahasa pertama BB dan bahasa kedua BI. Peneliti juga memiliki
kemampuan berbahasa Inggris yang diperoleh melalui jalur pendidikan formal di
80
Jurusan S-1 Pendidikan Bahasa Inggris. Pada tahun 2008, peneliti melanjutkan
studi di Program S-2 Linguistik Universitas Udayana dengan mengambil bidang
kajian perkembangan bunyi anak yang dirampungkan pada tahun 2010. Sebagai
ibu ALY, peneliti memiliki pekerjaan tetap di luar rumah sebagai dosen di
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha. Ketika peneliti
bekerja, seorang gadis Bali, Kadek, menjaga anak sampai pukul 16.00 WITA dari
Senin sampai Jumat. Untuk berkomunikasi dengan anak, Kadek menggunakan BI.
Ayah ALY, JU, berasal dari Jerman dan sejak tahun 2005 sudah menetap
di Bali. Bahasa pertamanya adalah BJ dan sejak tinggal di Bali mempelajari
bahasa Indonesia dan kini sudah bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Dia
memiliki usaha sendiri dan memiliki kantor di rumah. Oleh karena itu, dia
mempunyai waktu luang yang fleksibel untuk bergaul dengan ALY setiap hari.
Ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya, dia menggunakan BJ, sedangkan
ketika berkomunikasi dengan istrinya pada umumnya menggunakan BI dan
kadang-kadang menggunakan BING.
ALY memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Michelle. Dia
dibesarkan dalam dua bahasa sejak lahir, yaitu BI dan BJ. Kini Michelle mampu
berkomunikasi dalam kedua bahasa tersebut secara fasih. Di samping itu,
Michelle juga mampu berkomunikasi dalam BB yang diperoleh melalui pergaulan
teman sebaya dan bahasa Inggris dasar yang diperoleh melalui jalur pendidikan
formal dan informal. Lingkungan kebahasaan subjek penelitian dalam keluarga
dapat dilihat dalam Gambar 3.3 dan masukan bahasa dapat dilihat seperti pada
Gambar 3.4.
81
Gambar 3.3. Lingkungan Kebahasaan Keluarga Inti
Gambar 3.4. Lingkungan Kebahasaan dan Masukan Bahasa kepada Anak
Ibu
Pengasuh
Ayah Kakak ALY
BI
BING
BI
BI
BI
BI
BI
BI
BJ
BJBI/BJ
BB
BI
Lingkungan
kebahasaan
teman sebaya
di lingkungan
tempat
tinggal
Lingkungan kebahasaan kelompok
bermain di playgroup
Media
televisi, dvd,
internet dan
buku anak-
anak
Pengasuh
h
BJ BI/BJ BI
BI BB
BI
BI BJ/BING
Kakak Ayah Ibu
ALY
Nenek + Paman Nenek + Paman + Bibi
BI BJ
82
Pada Gambar 3.4 dapat dilihat bahwa lingkungan kebahasaan anak
cukup kompleks. Dalam lingkungan keluarga, orang tua anak menggunakan pola
masukan bahasa kepada anak berupa satu orang satu bahasa, yaitu ayah
menggunakan BJ dan Ibu menggunakan BI, sedangkan kakak perempuannya
memberikan masukan dua bahasa, yaitu BI dan BJ. Frekuensi penggunaan BJ
lebih banyak digunakan oleh kakaknya kepada ALY setiap kali ayahnya berada di
antara mereka.
Di lingkungan keluarga besar, nenek dan paman dari pihak ayah
menggunakan BJ ketika berbicara kepada anak, namun hal ini terjadi hanya pada
waktu-waktu tertentu dan dilakukan melalui Skype. Sementara itu, keluarga besar
dari pihak ibu ketika berkomunikasi dengan anak menggunakan BI. Komunikasi
antara anak dan keluarga besar dari pihak ibu pun terjadi pada waktu-waktu
tertentu ketika saling mengunjungi. Hal ini disebabkan oleh keluarga besar dari
pihak ibu yang tinggal di kabupaten yang berbeda.
Sementara itu, di lingkungan tempat tinggal, anak memiliki kelompok
teman sebaya. Kelompok teman sebaya anak dalam kesehariannya berkomunikasi
menggunakan dua bahasa, yaitu BB dan BI. Namun, ketika teman bermain
berkumpul dengan ALY dan Michelle, mereka pada umumnya menggunakan BI.
Pada usia 2;10, ALY didaftarkan pada sebuah kelompok bermain (playgroup) di
kota Singaraja yang berjarak sekitar delapan kilometer dari tempat tinggal.
Didaftarkannya anak ke kelompok bermain bukan untuk tujuan penelitian,
melainkan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan tumbuh kembang anak. Di
83
lingkungan kelompok bermain, anak mendapat masukan BI baik dari teman
bermain maupun para guru.
Selain dari lingkungan keluarga, kelompok teman sebaya dan kelompok
bermain (playgroup), anak juga mendapat masukan bahasa melalui media televisi,
dvd, internet, ataupun buku anak-anak. Anak terbiasa menonton satu sampai dua
jam per hari program televisi berbahasa Indonesia, BING atau menonton film
anak-anak atau kartun dalam BJ. Di samping itu, anak sering disuguhi buku-buku
cerita, baik dalam BI maupun BJ.
Secara metodologis, meneliti anak sendiri dalam kasus pemerolehan
bahasa anak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Beberapa peneliti
pemerolehan bahasa anak yang meneliti anaknya sendiri, di antaranya Hakuta
(1986) mengulas bahwa Werner F. Leopold yang dianggap sebagai pemrakarsa
penelitian terhadap pemerolehan bahasa anak yang bilingualisme meneliti
perkembangan bahasa anaknya sendiri yang dibesarkan dalam bahasa Jerman dan
bahasa Inggris. Hakuta menegaskan bahwa sebagai orang tua yang memiliki
keahlian fonetik, Leopold memiliki kepekaan pendengaran dan keobjektifan
untuk melakukan observasi yang rinci dan mendalam. Peneliti lain yang meneliti
pemerolehan bahasa anak sendiri adalah Nakamura (2010) yang meneliti anaknya
yang memperoleh bahasa Inggris-Jepang, Soriente (2004, 2007) yang anaknya
dibesarkan dalam bahasa Indonesia-Italia, Yip & Matthews (2007) dalam bahasa
Kanton dan bahasa Inggris, sedangkan Darjowidjojo (2000) meneliti pemerolehan
bahasa cucunya sendiri yang memperoleh bahasa Indonesia.
84
3.4 Instrumen Penelitian
Dalam pengumpulan data penelitian, ada tiga jenis instrumen yang
digunakan, yaitu buku catatan harian/jurnal harian, handycam merk JVC, dan
pedoman wawancara. Data mulai dikumpulkan ketika anak berumur 1;0 sampai
3;0. Buku catatan harian digunakan untuk mencatat segala bentuk perkembangan
kebahasaan anak sekaligus konteks ketika suatu bentuk kebahasaan berkembang
pada anak. Catatan harian dilakukan hampir setiap hari, kecuali suatu bentuk telah
muncul berulang-ulang, maka bentuk tersebut tidak dicatat lagi.
Peranti kedua yang digunakan adalah sebuah kamera video handycam
merk JVC. Perekaman dilakukan rata-rata setiap seminggu sekali sejak anak
berumur 1;0. Pada umur ini anak sudah mulai merespons ujaran-ujaran orang di
sekitarnya dengan respons nonverbal yang berupa gerakan-gerakan tubuh ataupun
perlakuan yang bisa diobservasi.
Untuk menjaga validitas data, penelitian ini juga menggunakan pedoman
wawancara. Wawancara dilakukan kepada anggota keluarga, pengasuh, dan para
guru di kelompok bermain. Pedoman wawancara digunakan untuk menggali
informasi tentang bentuk-bentuk kebahasaan yang berkembang pada anak dan
konteksnya ketika anak tidak sedang diobservasi oleh peneliti. Wawancara
terhadap sumber data dilakukan secara insidental.
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Berikut akan dijabarkan metode dan teknik yang digunakan dalam
pengumpulan data. Menurut Friedman (2012), ada tiga metode umum yang
85
digunakan dalam pengumpulan data dalam bidang pemerolehan bahasa. Ketiga
metode tersebut adalah metode simak (pengamatan/observasi), metode perekaman
audio/video, dan metode cakap/wawancara. Mahsun (2005) juga mengonfirmasi
penggunaan ketiga metode tersebut dalam penelitian kebahasaan. Setiap metode
yang digunakan dapat diuraikan sebagai berikut.
3.5.1 Metode Pengumpulan Data
Trianggulasi dalam metode pengumpulan data dilaksanakan untuk
mempertahankan validitas data yang diperoleh. Metode pengumpulan data yang
dilakukan, yaitu metode simak (pengamatan/observasi), metode perekaman
audio/video, dan metode cakap (wawancara).
1) Metode simak (pengamatan/observasi)
Metode simak atau yang sering disebut sebagai pengamatan atau
observasi digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara menyimak
penggunaan bahasa. Metode observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi partisipan atau oleh Mahsun (2005) disebut simak libat cakap. Peneliti
sambil menyimak juga berpartisipasi dalam pembicaraan. Dalam hal ini, peneliti
terlibat langsung dalam dialog yang dilakukan dengan subjek penelitian. Dalam
melakukan pengamatan, peneliti menggunakan catatan lapangan yang terperinci.
Dalam hal ini, penggunaan bahasa yang diamati adalah penggunaan bahasa yang
diproduksi oleh subjek penelitian ketika berkomunikasi dengan orang-orang di
sekitar anak, baik orang tua, keluarga dekat, teman maupun guru di taman
86
bermain. Pengamatan atau observasi di lingkungan keluarga inti dilakukan hampir
setiap hari, sementara di lingkungan kelompok bermain dilakukan dua minggu
sekali.
2) Metode perekaman audio/video
Seiring berkembangnya teknologi dalam pengumpulan data, dalam
penelitian ini, metode perekaman melalui audio video juga dilakukan. Perekaman
melalui video memfasilitasi dalam pengidentifikasian partisipan sekaligus
merekam hal-hal nonverbal, seperti bahasa tubuh, gestur, ataupun kontak mata.
3) Metode cakap (wawancara)
Metode ketiga yang digunakan adalah metode cakap atau yang juga
disebut dengan metode wawancara. Metode ini dilakukan dengan cara peneliti
melakukan percakapan dengan informan. Metode wawancara yang digunakan
adalah wawancara semi terstruktur (semi-structured interview). Dalam wawancara
semi terstruktur, peneliti menyiapkan daftar pertanyaan (pedoman wawancara)
yang digunakan sebagai tolok ukur dalam proses wawancara, namun peneliti bisa
mengembangkan pertanyaan untuk memperoleh data yang diperlukan.
Wawancara dilakukan kepada ayah, kakak perempuan, pengasuh, serta guru-guru
di sekolah untuk mengetahui ujaran atau bentuk-bentuk bahasa yang digunakan
oleh anak beserta konteks ketika bentuk tersebut muncul. Dalam penelitian ini,
percakapan dilakukan oleh peneliti secara langsung, baik dengan subjek penelitian
87
maupun pemberi masukan bahasa kepada anak. Wawancara dilakukan secara
insidental untuk melengkapi data yang diperoleh melalui pengamatan/observasi.
3.5.2 Teknik Pengumpulan Data
Beberapa teknik pengumpulan data digunakan untuk mengaplikasikan
metode pengumpulan data yang diterapkan. Dalam menunjang metode simak
(pengamatan/observasi) teknik yang digunakan, yaitu (1) teknik catat dan (2)
teknik simak libat cakap (teknik observasi partisipatif). Dalam teknik catat,
peneliti mencatat perkembangan bahasa anak melalui buku catatan harian. Teknik
simak libat cakap yang juga dikenal dengan observasi partisipatif dilakukan oleh
peneliti untuk melihat secara langsung perkembangan bahasa anak dan elemen-
elemen linguistik yang muncul.
Data juga dikumpulkan secara reguler melalui teknik rekam. Perekaman
dilakukan dengan menggunakan instrumen video kamera dengan rata-rata
perekaman sekali per minggu. Perekaman dilakukan oleh ayah Alyssa dan
kadang-kadang oleh peneliti sendiri.
Selanjutnya, dalam mengaplikasikan metode cakap atau wawancara,
teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menunjang metode tersebut
adalah teknik pancing. Teknik pancing ini digunakan untuk memancing atau
mengonfirmasi bentuk-bentuk bahasa yang telah berkembang pada anak.
Untuk lebih lengkapnya, metode dan teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1.
88
Tabel 3.1. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Tujuan
Penelitian
Metode dan
Teknik
Pengumpulan
Data
Instrumen Sumber
Data
Data
Analisis/Penyaj
i-an Hasil
Analisis Data
Data
Mendaftar bunyi
vokal dan bunyi
kosonan yang
diperoleh anak,
mendaftar proses
fonologis, serta
membuat kaidah
proses fonologis
yang dialami
anak, serta daftar
transfer fonologis
Metode:
observasi,
perekaman
adusio/video
wawancara semi
terstruktur,
Teknik: catat,
rekam,
observasi
partisipatif,
pancing
Buku catatan
harian
Handycam
JVC
Pedoman
wawancara
ALY
Orang tua
Kakak
perempuan
Teman
sebaya
Kelompok
bermain
Guru
Deskriptif,
narasi, tabel,
kaidah
fonologis, daftar
transfer
fonologis
Daftar bunyi vokal
dan bunyi kosonan
yang diperoleh
anak, daftar proses
fonologis, serta
kaidah proses
fonologis yang
dialami anak, dan
daftar transfer
fonologis
Mendeskrispsikan
perkembangan
leksikal anak
dengan membuat
alur tahapan
perkembangan
leksikal dalam
bahasa Indonesia,
bahasa Jerman
dan daftar
padanan kata
yang telah
dikuasai anak
Metode:
observasi,
perekaman
adusio/video
wawancara semi
terstruktur,
Teknik: catat,
rekam,
observasi
partisipatif,
pancing
Buku catatan
harian
Handycam
JVC
Pedoman
wawancara
ALY
Orang tua
Kakak
perempuan
Teman
sebaya
Kelompok
bermain
Guru
Deskriptif,
narasi, tabel,
grafik
perkembangan
Alur tahapan
perkembangan
leksikal dalam
bahasa Indonesia,
bahasa Jerman dan
daftar padanan kata
yang telah dikuasai
anak
Menjelaskan
penggunaan
kalimat deklaratif
sederhana,
kalimat imperatif,
dan kalimat tanya
yang
dikembangkan
anak dengan
membuat daftar
analisis transfer
serta
mengompilasi
transfer sintaksis
yang dialami
anak
Metode:
observasi,
perekaman
adusio/video
wawancara semi
terstruktur,
Teknik: catat,
rekam,
observasi
partisipatif,
pancing
Buku catatan
harian
Handycam
JVC
Pedoman
wawancara
ALY
Orang tua
Kakak
perempuan
Teman
sebaya
Kelompok
bermain,
guru
Deskriptif,
narasi, tabel,
dan grafik
Daftar kalimat
deklaratif sederhana,
kalimat imperatif
dan kalimat tanya,
daftar analisis
transfer penempatan
verba dalam frasa,
serta kompilasi
transfer sintaksis
yang dialami anak
89
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data
3.6.1 Metode analisis data
Data kualitatif dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Untuk
lebih jelasnya, metode yang digunakan dalam menganalisis data perkembangan
bahasa anak bilingual dalam penelitian ini adalah metode padan intralingual dan
metode padan ekstralingual. Menurut Mahsun (2005), metode padan intralingual
adalah metode analisis data dengan cara menghubung-hubungkan unsur-unsur
yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun dalam
beberapa bahasa yang berbeda. Tahap pertama dalam analisis data ini, peneliti
mendeskripsikan elemen-elemen fonologi, leksikal, dan sintaksis, serta urutan
kemunculannya. Parameter yang digunakan untuk mengetahui penguasaan anak
pada unsur-unsur yang diteliti adalah kriteria komprehensibilitas yang diusulkan
oleh (Dardjowidjojo, 2000). Kriteria komprehensibilitas menentukan bahwa suatu
elemen yang diujarkan anak dianggap sebagai refleksi kompetensi bila elemen
yang dipakai dalam produksi ujaran telah menunjukkan adanya koherensi
semantik dengan elemen-elemen lain dalam kalimat tersebut.
Metode padan ekstralingual merupakan metode yang digunakan untuk
menganalisis data yang memiliki unsur ekstralingual. Unsur ekstralingual yang
dilihat dalam penelitian ini, seperti ekspresi wajah, gestur, dan respons nonverbal
lainnya yang menyertai ujaran anak yang diperoleh melalui catatan lapangan. Di
samping itu, catatan lapangan yang dilakukan juga dapat merekam latar, yang
meliputi tempat, waktu, dan peristiwa tutur. Unsur ekstralingual dan latar sangat
90
penting untuk dilihat karena kedua hal tersebut berkaitan erat dengan penafsiran
makna tuturan anak.
Dalam menganalisis data ada dua instrumen yang digunakan, yaitu
ELAN dan Toolbox. ELAN digunakan untuk menganotasi atau mentranskripsi
data yang sudah dikumpulkan. Kemudian, data yang telah ditranskripsi dalam
peranti lunak ELAN diinterlinearisasi ke dalam peranti lunak Toolbox sehingga
menghasilkan data yang sudah disusun secara rapi, baik secara fonologis, leksikal
maupun sintaktis. Adapun deskripsi teknik analisis data dijabarkan dalam bagian
3.6.2.
3.6.2 Teknik Analisis Data
Dalam penggunaan peranti lunak ELAN dan Toolbox dalam
menganalisis data ada enam teknik analisis data yang diterapkan, yaitu dalam
ELAN terjadi proses (1) pengodean data (coding), (2) menentukan tipe linguistik
dan tiers (defining linguistic types and tiers), (3) menyeleksi interval waktu
(selecting time intervals), (4) transkripsi data (annotating) yang kemudian
dilanjutkan dalam Tollbox melalui proses (5) interlinearisasi data
(interlinearizing), dan (6) menguraikan dan mengurutkan data (sorting& parsing).
Untuk lebih jelasnya, tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini dan
prosedur penelitian yang dilakukan dijabarkan melalui Tabel 3.2.
91
Tabel 3.2. Prosedur Penelitian
Tahapan
Penelitian
Nama
Kegiatan
Keterangan Waktu
pelaksanaan
Tahap 1 Studi awal Studi awal dilakukan dengan mengobservasi
perkembangan bahasa ALY dari umur 1;0-1;8
pada lingkungan keluarga. Studi awal ini
dilakukan untuk melihat elemen fonologis
yang dikembangkan, baik dalam bahasa
Indonesia (BI) maupun (BJ). Dari studi awal
tersebut dicurigai bahwa dalam perkembangan
fonologisnya ada potensi terjadinya transfer.
Kecurigaan bahwa adanya potensi transfer
pada domain fonologi mendorong peneliti
untuk mengobservasi lebih lanjut apakah
transfer memang terjadi pada domain fonologi
dan apakah transfer juga terjadi pada domain
linguistik lain, misalnya dalam perkembangan
sintaksisnya.
September 2012-
Mei 2013
Tahap 2
Pengumpulan
Data (Data
collection)
Melanjutkan pengumpulan data melalui
perekaman video (video recording) dengan
data dalam bentuk file audio-video dan
catatan harian dengan data dalam bentuk
jurnal harian, dan konfirmasi data melalui
wawancara dengan interlokutor
Juni 2013-
Oktober 2014
Data dikumpulkan sampai ALY berumur 3;0
dengan loksasi penelitian di lingkungan
keluarga dan lingkungan sekolah.
Fokus data yang dilihat adalah elemen-elemen
fonologis yang diproduksi anak, baik dalam
BI maupun BJ, kosakata yang dikembangkan,
frasa, serta kalimat-kalimat sederhana yang
diucapkan anak
Tahap 3
Analisa Data
(Data
analysis)
a) Pengenalan terhadap data dan
pengorganisasian data: 1) melalui
membaca dan membaca kembali data
dalam catatan harian, 2) melihat dan
mendengar data audio-video, 3)
pemotongan video, dan 4) pereduksian
data
Minggu ke-1
Januari 2015-
Minggu ke-4
November 2015
b) Transkripsi data dengan menggunakan
peranti ELAN dan interlinierisasi data
menggunakan Toolbox.
Dalam ELAN
- Pengodean data (coding), data dikode
berdasarkan penutur, tuturan/ujaran, umur
(tanggal, bulan, tahun/ALY),
konteks/situasi
- Menentukan tipe linguistik dan tier. Tier
yang digunakan adalah tuturan ALY yang
di dalamnya terdapat phonetik ALY dan
komen, tier tuturan Ayah, tier tuturan Ibu,
dan tier interlokutor lain.
- Menentukan interval waktu (selecting
Minggu ke-3
Februari 2016-
Minggu ke-4 Mei
2016
92
time intervals) untuk menentukan ujaran
ALY, ujaran satu kata, dua kata atau sudah
lebih dari dua kata, dan ujaran interlokutor
- Transkripsi data (annotating), yaitu
mulai mentranskripsi ujaran anak,
menentukan bunyi fonetis dan menulis
konsteks/situasi dan ujaran interlokutor
c) Interlinerisasi data yang sudah
ditranskripsi dalam ELAN ke peranti
lunak Toolbox
-sorting & parsing menguraikan data
tuturan/ujaran ALY ke dalam bentuk
morfeme, bunyi fonetis, part of speech, dan
gloss (makna).
- Mengurut data secara alfabetikal
Minggu ke-1
Juni 2016-
Minggu ke-4 Juni
2016
d) Interpretasi dan menyajikan data
- Memaknai, menjelaskan dan
mendeskripsikan data
- Menyajikan data dalam bentuk tabel,
grafik dan narasi data
Minggu ke-1 Juli
2016-Minggu ke-
4 September
2016
Tahap 4 Konfirmasi
terhadap
hipotesa
- Terhadap perkembangan fonologis
- Terjadinya transfer fonologis
- Alur perkembangan leksikal dalam BI dan
BJ
- Perkembangan padanan leksikal
- Terjadinya transfer sintaksis
Minggu ke-1
Oktober –
Minggu ke-2
Oktober 2016
Tahap 5 Simpulan - Daftar elemen fonologi yang berkembang
dalam BI dan BJ
- Proses fonologis yang dialami ALY
- Daftar transfer fonologis
- Jumlah leksikal yang dikembangkan
dalam BI jan BJ
- Jumlah padanan leksikal
- Perkembangan sintaksis
- Daftar transfer sintaksis
Minggu ke-2
Oktober 2016-
Minggu ke-4
Oktober 2016
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan baik secara formal
maupun informal. Secara formal penyajian data dilakukan dengan tabel, bagan,
dan grafik. Sementara itu, secara informal hasil analisis data dinarasikan. Produk
akhir penelitian ini, di antaranya, (1) daftar segmen bunyi vokal dan konsonan
yang diproduksi anak dalam BI dan BJ, (2) daftar proses fonologis yang dialami
anak, (3) kaidah fonologis, (4) daftar transfer fonologis, (5) dihasilkannya daftar
93
kata yang diperoleh oleh anak dalam BI dan daftar kata yang diperoleh dalam BJ,
(6) daftar padanan leksikal, dan (7) kompilasi analisis transfer sintaksis yang
terjadi pada anak bilingual simultan Indonesia-Jerman.