BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi...
-
Upload
truongduong -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus
menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat baik materil maupun spiritual.1 Untuk merealisasikan
tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan
pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu
bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri
berupa pajak.
Pajak yang dipungut oleh pemerintah digunakan untuk menjaga
kelangsungan hidup negara dan sumber pembiayaan belanja-belanja yang
dikeluarkan oleh pemerintah guna menjalankan roda pemerintahan. Sektor
pajak merupakan sumber penerimaan negara, penerimaan negara dari sektor
perpajakan memberikan sumbangan dalam menurunkun volume dan rasio
deficit anggaran. Maka peranan pajak sebagai salah satu sumber Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat penting dan strategis. Oleh
sebab itu, pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar
masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama.
1 Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 2001, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat. Jakarta, h.
2.
2
Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu
kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian
pemungutan pajak berdasarkan undang–undang mengandung pengertian
bahwa terhadap mereka yang ternyata mengabaikan atau melanggar
ketentuan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi penagihan secara paksa
dalam bentuk penyitaan, penyegelan ataupun penahanan.2
Tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan
pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar
pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Hal ini mendorong pemerintah
menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi
para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut
adalah gijzeling atau lembagapaksa badan. Keberadaan lembaga ini masih
kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan
lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul
pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera
yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.3
Dalam meraih target pendapatan pajak, ketetapan pajak yang
diterbitkan oleh pejabat pajak yang berwenang tidak selalu dapat diterima
oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, tentu ada perbedaan pendapat antara
Wajib Pajak dan Fiskus yang disebabkan karena adanya perbedaan dalam
menafsirkan peraturan atau perundang-undangan perpajakan. Kemudian,
2 Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, 1984, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada,
Jakarta, h. 3.
3 Ibid.
3
terkait dengan mekanisme perpajakan yang tentunya juga melibatkan Wajib
Pajak dan aparat perpajakan, dalam mekanisme ini dapat juga melibatkan
orientasi yang berbeda. Aparat perpajakan perpajakan di satu sisi tentunya
berkepentingan untuk mengamankan pendapatan negara dari bidang
perpajakan, sedangkan bagi Wajib Pajak disisi lain berkepentingan untuk
memenuhi kewajiban perpajakan dengan tetap menjalankan bisnisnya.
Perbedaan orientasi ini tentunya berpotensi untuk menimbulkan
sengketa, terhadap sengketa tersebut tentunya memerlukan penyelesaian
yang memadai, baik secara administratif maupun secara yuridis. Dalam hal
penyelesaian secara administratif menemui jalan buntu, maka opsi
penyelesaian yuridis melalui upaya banding di peradilan pajak. Perbedaan
pendapat tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya sengketa pajak.
Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740, selanjutnya disebut UU
KUP) menjamin hak setiap Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan
sampai dengan tingkat banding atas ketetapan pajak yang dikenakan
terhadapnya, hal ini dikarenakan pada prosesnya peradilan bebas dari setiap
pembatasan-pembatasan atau hasutan-hasutan secara langsung ataupun tidak
langsung. Terlebih saat ini masih ada peluang untuk mengajukan peninjauan
4
kembali atas putusan banding ke Mahkamah Agung, yang tidak hanya
berlaku untuk Wajib Pajak tetapi juga untuk pejabat pajak yang berwenang.
Definisi sengketa pajak sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189, selanjutnya disebut UU
Pengadilan Pajak) Pasal 1 angka 5 menjelaskan bahwa,
“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan
antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang
berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat
diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.”
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan
telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan
Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa
pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang
menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (selanjutnya di sebut BPSP).
Penyelesaian sengketa pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun
1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3684, selanjutnya disebut UU BPSP) banyak
mengandung kelemahan, dimana dalam pelaksanaannya masih terdapat
5
ketidakpastian hukum yang pada akhirnya dapat menimbulkan
ketidakadilan.
Dengan disahkannya UU Pengadilan Pajak sebagai pengadilan yang
khusus menangani sengketa di bidang pajak dan merupakan penyempurnaan
UU BPSP, maka terjadi beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam
penyelesaian sengketa pajak antara Wajib Pajak dengan Fiskus. Salah satu
alasan mengapa UU BPSP diubah antaralain adalah meminimalisasi ketidak
pastian hukum yang dapat menimbulkan ketidak-adilan.4
Menurut Pasal 12 ayat (1) UU KUP, setiap Wajib Pajak wajib
membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak. Yang dimaksud Surat Ketetapan Pajak
berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU KUP adalah surat ketetapan yang meliputi
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar.
Kadangkala terjadi selisih perhitungan pajak yang terutang menurut
wajib pajak dan pihak kantor pelayanan pajak. Namun, kalau wajib pajak
yakin pembukuan sudah benar dan penerapan pajaknya juga sudah benar,
Surat Ketetapan Pajak (SKP) bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada jalan
untuk mencari kebenaran dan keadilan. Pertama, menempuh jalur keberatan.
4 Gunawan Pribadi, 2014, UU Pengadilan Pajak sebagai Penyempurna UU BPSP,
tersedia dalam URL: http://www.klikpajak.com, diakses tanggal 25 Desember 2015.
6
Keberatan merupakan hak bagi wajib pajak yang dijamin oleh undang-
undang perpajakan, dan itu merupakan pilihan.5 Hak keberatan juga
diberikan kepada wajib pajak terkait pemotongan atau pemungutan pajak
oleh pihak ketiga. Pengajuan keberatan harus memenuhi syarat formal dan
material agar dapat diterima atau dikabulkan.6 Syarat formal menyangkut
aspek formalitas pengajuan dan banding sesuai keberatan UU KUP,
sedangkan syarat material sengketa, yaitu penetapan SKP atau penerapan
ketentuan pajak yang tidak disetujui oleh wajib pajak.
Syarat formal akan terlebih dahulu disetujui dan sangat menentukan
hasil akhir. Apabila syarat formal tidak terpenuhi oleh wajib pajak, maka
permohonan keberatan atau banding pasti ditolak dan hak wajib pajak
terbuang sia-sia.7 Bila formalitas keberatan terpenuhi, baru materi sengketa
ditelaah. Selanjutnya keberatan akan dikabulkan atau ditolak tergantung
bukti dan pembuktian kedua belah pihak. Perlu diperhatikan pula, meskipun
bukan merupakan syarat utama, pemenuhan aspek formalitas oleh wajib
pajak saat pemeriksaan pajak, bahkan pemenuhan kewajiban Surat
Pemberitahuan (SPT) juga mempengaruhi hasil putusan keberatan.8
Terhadap adanya keberatan wajib pajak dapat mengajukan keberatan
hanya kepada Direktur Jenderal Pajak. Keberatan diajukan dalam jangka
5 Fidel, 2014, Tax Law: Proses Beracara di Pengadilan Pajak dan Peradilan Umum, PT
Carofin Media, Jakarta, h. 28.
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Ibid.
7
waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal
pemotongan atau pemungutan pajak secara tertulis. Keberatan diajukan
dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang
terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi
menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi
dasar penghitungan. Kemudian berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU KUP,
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima sudah harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan. Jika jangka waktu telah terlampaui dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan
tersebut dianggap dikabulkan. Tata cara pengajuan keberatan dan
penyelesaian diatur lebih lanjut melalui Permenkeu No. 9/PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dan jika wajib
pajak tidak puas dengan keputusan Dirjen Pajak atas keberatan yang
diajukan, wajib pajak dapat mengajukan upaya hukum berupa banding
maupun gugatan kepada pengadilan pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 27
ayat (1) UU KUP.
Pada dasarnya pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat
pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak
sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU
Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, setelah Pengadilan Pajak menjatuhkan
putusan terhadap upaya hukum banding maupun gugatan yang diajukan oleh
wajib pajak, namun wajib pajak masih tetap tidak puas dengan putusan
8
tersebut maka wajib pajak hanya dapat mengajukan upaya hukum luar biasa
berupa Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 89 sampai dengan Pasal 93 UU Pengadilan Pajak.
Penyelesaian sengketa pajak seharusnya mampu memberikan
jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pihak yang bersengketa
serta dapat dilakukan melalui prosedur dan proses yang cepat, transparan,
biaya ringan dan sederhana. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) juga
mengamanatkan bahwa peradilan seharusnya dilaksanakan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan. Butuh waktu yang cukup lama untuk
menyelesaikan satu kasus pajak. Ada yang bisa selesai sampai proses
keberatan saja, atau berlanjut ke proses banding, bahkan sampai peninjauan
kembali. Masing-masing proses juga memakan waktu yang cukup lama,
paling cepat selama satu tahun, dan jika dihitung sampai ke proses banding,
bisa membutuhkan waktu tiga tahun lamanya.9 Berikut adalah tabel jumlah
perkara yang masuk pada Pengadilan Pajak sejak didirikan pada tahun
2002:10
9 Direktorat Jenderal Pajak RI, 2013, Perlu Terobosan dalam Penyelesaian Sengketa
Pajak, tersedia dalam URL: http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 25 Desember 2015.
10 Direktorat Jenderal Pajak RI, 2011, Jumlah Perkara di Pengadilan Pajak Meningkat,
tersedia dalam URL: http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 25 Desember 2015.
9
Gambar 1: Tabel jumlah perkara yang masuk pada Pengadilan Pajak
Jakarta sejak didirikan pada tahun 2002.
Tahun Perkara Yang Masuk Perkara Yang Diselesaikan
2002 2.120 1.288
2009 14.473 4.650
2013 16.000 6.000
2014 10.866 8.845
Menurut Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi (PKE) Budi
Christiadi, jika kasus pajak bisa diselesaikan tanpa proses hukum berbelit
dan panjang tentu akan mempermudah Ditjen Pajak dalam menyelesaikan
persoalan. Selain itu juga dapat memberikan pelayanan ke wajib pajak
dalam proses penyelesaian sengketa dengan lebih cepat.11
Proses hukum panjang yang berujung pada adanya penumpukan
perkara di pengadilan pajak menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas
upaya hukum keberatan itu sendiri dalam penyelesaian sengketa di bidang
pajak. Sebagai upaya hukum yang pertama kali ditempuh oleh wajib pajak
dalam menyelesaikan sengketa pajaknya, sebaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (1) UU KUP, upaya hukum keberatan seharusnya dapat
dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk menyelesaikan sengketa pajak tanpa
11 Direktorat Jenderal Pajak RI, 2013, Perlu Terobosan dalam Penyelesaian Sengketa
Pajak, tersedia dalam URL: http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 25 Desember 2015.
10
harus dilanjutkan ke lembaga Pengadilan Pajak. Upaya hukum keberatan
yang efektif juga seharusnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum
kepada setiap wajib pajak. Tidak efektifnya upaya hukum keberatan dalam
penyelesaian sengketa pajak juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
penghambat, baik berupa ketentuan peraturan perundang-undangannya,
aparat penegak hukumnya, maupun budaya dari masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis dalam penulisan penelitian
ini mengangkat judul “Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian
Sengketa di Bidang Perpajakan”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, maka dapat
dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam
penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal
Pajak Kantor Wilayah Bali?
2. Hambatan-hambatan apa yang timbul serta bagaimana solusi untuk
menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan upaya hukum
keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada
Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali?
11
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam Usulan Penelitian ini diperlukan ruang lingkup permasalahan
untuk membatasi pembahasan guna menghindari pembahasan yang
menyimpang dan keluar dari topik yang dibahas. Adapun ruang lingkup
masalah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Terkait rumusan masalah yang pertama dibahas mengenai efektivitas
pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di
bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.
b. Terkait rumusan masalah yang kedua dibahas mengenai hambatan-
hambatan yang timbul serta solusi untuk menyelesaikan hambatan-
hambatan dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam
penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal
Pajak Kantor Wilayah Bali.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Penelitian Hukum dengan judul “Upaya Hukum Keberatan dalam
Penyelesaian Sengketa di Bidang Perpajakan” merupakan hasil karya asli
penulis. Sejauh observasi yang penulis lakukan baik di ruang koleksi Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun di internet, tidak terdapat
penelitian yang sama yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan baik di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan juga di suatu
perguruan tinggi manapun kecuali yang secara tertulis diacu dalam
penulisan penelitian ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
12
Untuk penelitian yang serupa dengan penelitian yang diajukan,
ditulis oleh Putu Riyani Kartika Sari, 2014, Universitas Udayana, Denpasar,
dengan judul skripsi “Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Luar Pengadilan bagi Sengketa Hak Kekayaan Intelektual di Propinsi Bali”.
Skripsi ini membahas mengenai dua permasalahan yaitu:
1. Mengapa mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa di
luar pengadilan penting untuk diterapkan dalam menyelesaikan sengketa
Hak Kekayaan Intelektual?
2. Bagaimanakah presisi mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
di luar pengadilan dalam menyelesaikan sengketa Hak Kekayaan
Intelektual di Propinsi Bali dan faktor apa saja yang mempengaruhi
pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa Hak
Kekayaan Intelektual?
Selain itu terdapat juga penelitian yang ditulis oleh Ayu Komang
Sari Merta Dewi, 2014, Universitas Udayana, Denpasar, dengan judul
skripsi “Efektivitas Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Mediasi pada
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Denpasar”. Skripsi
ini membahas mengenai dua permasalahan yaitu, efektivitas penyelesaian
sengketa konsumen melalui mediasi pada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota Denpasar dan akibat hukum dari penyelesaian sengketa
konsumen melalui mediasi pada Badan Penyelesaian Konsumen Kota
Denpasar.
13
Dari kedua judul penelitian sebagaimana yang telah dijabarkan diatas
tidak ditemukan kesamaan baik dari segi judul, rumusan masalah maupun
lokasi penelitian.
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk
mengetahui penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian
sengketa di bidang perpajakan.
1.5.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai dari usulan penelitian ini
meliputi:
1. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan upaya hukum keberatan
dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat
Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul serta solusi
untuk menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang
perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.
14
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan bagi ilmu pengetahuan dalam pengembangan hukum
formil khususnya dalam hal pemahaman mengenai penerapan upaya
hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan.
1.6.2 Manfaat Praktis
Manfaat Praktis yang diharapkan dari penelitian ini yakni agar
penelitian ini dapat memberikan informasi terkait kondisi yang nyata
di masyarakat dalam hal penerapan upaya hukum keberatan dalam
penyelesaian sengketa di bidang perpajakan serta memberikan
kontribusi dan solusi bagi masyarakat yang sedang mengalami
sengketa perpajakan.
1.7 Landasan Teoritis
Adapun landasan teoritis yang berkaitan dan digunakan untuk
membahas rumusan masalah dalam penelitian mengenai Upaya Hukum
Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa di Bidang Perpajakan adalah teori
yang berkaitan dengan asas-asas hukum acara peradilan pajak dan sengketa
pajak, upaya hukum dalam penyelesaian sengketa perpajakan, teori tentang
penegakan hukum serta teori tentang efektivitas hukum.
15
1.7.1 Teori tentang Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Pajak
Hukum acara peradilan pajak tidak berbeda dengan hukum
acara lainnya yang diberlakukan, karena memiliki asas-asas hukum
sebagai pedoman untuk menciptakan norma hukum atau kaidah
hukum.12 Asas-asas hukum merupakan suatu sarana yang
menyebabkan hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang sebagaimana
perkembangan hukum pajak akhir-akhir ini. Satjipto Rahardjo
mengatakan13 apabila kita sekarang sampai pada pembicaraan
mengenai asas hukum, maka pada saat itu kita membicarakan unsur
yang paling penting dan pokok dari peraturan hukum. Hal ini
dikarenakan asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya suatu peraturan hukum. Dengan adanya asas hukum, hukum
itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu
disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan
etis.14
Berpatokan pada undang-undang yang berkaitan dengan
perpajakan yang berlaku maka asas-asas hukum yang diberlakukan
atau diterapkan dalam hukum acara peradilan pajak, antara lain:
a. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas;
12 Muhammad Djafar Saidi, 2013, Hukum Acara Peradilan Pajak, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 7.
13 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, h. 45.
14 Ibid.
16
b. Pengadilan sebagai instrumen terakhir untuk mendapatkan
perlindungan hukum;
c. Objektivitas;
d. Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan;
e. Kesatuan beracara dalam sengketa atau perkara yang sejenis;
f. Praduga rechmatig;
g. Pencegahan untuk tidak menunda penagihan pajak;
h. Ne bis in idem;
i. Sidang terbuka untuk umum;
j. Hakim wajib aktif;
k. Kesamaan di hadapan lembaga peradilan;
l. Satu saksi bukan saksi;
m. Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15
Asas-asas hukum memiliki fungsi yang bersifat universal dan
mengayomi kaidah hukum yang terdapat dalam hukum itu sendiri.
Tidak boleh dianggap bahwa asas-asas hukum acara peradilan pajak
hanya untuk kepentingan hukum pajak, khususnya pada pembentukan
kaidah hukum dalam kerangka penegakan hukum pajak.16 Asas-asas
hukum pajak bersifat sangat fleksibel yang berfungsi sebagai pedoman
untuk menegakkan hukum pajak secara utuh dan menyeluruh dalam
kerangka mengisi kekosongan hukum pajak.
15 Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 8.
16 Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 11.
17
1.7.2 Teori tentang Upaya Hukum
Dalam UU Pengadilan Pajak dikenal empat upaya hukum
dalam menyelesaikan sengketa yaitu keberatan, banding, gugatan dan
peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan keberatan dalam
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
kemungkinan terjadi dikarenakan wajib pajak merasa kurang atau tidak
puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya, maupun
atas pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga. Maka dalam hal
ini wajib pajak dapat mengajukan keberatan.
Upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya
hukum keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum melalui
keberatan karena yang diajukan banding adalah surat keputusan
keberatan sebagai bentuk penyelesaian sengketa pajak di tingkat
Lembaga Keberatan. Hukum acara peradilan pajak tidak hanya
mengenal keberatan dan banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi
termasuk pula gugatan untuk melawan kebijakan fiskus yang terkait
dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat tagihan pajak dan
penagihan secara paksa. Gugatan dan banding keduanya merupakan
upaya hukum biasa.17
Pengadilan Pajak dalam menangani masalah gugatan
kompetensinya diperluas sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2)
UU KUP. Di samping terhadap pelaksanaan penagihan pajak, gugatan
17 Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam
Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 183.
18
dapat diajukan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.18
Bagi pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan
Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
Berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak, terhadap putusan
Pengadilan Pajak dapat diajukan upaya hukum luar biasa berupa
Peninjauan Kembali oleh pihak-pihak yang bersengketa ke Mahkamah
Agung berdasarkan alasan tertentu yang diatur dalam Pasal 91 UU
Pengadilan Pajak.
1.7.3 Teori tentang Penegakan Hukum
Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi
dengan sesama sehingga memerlukan aturan untuk menjaga perilaku
para pihak agar tidak terjadi gesekan antar individu selama berinteraksi
di masyarakat. Dalam rangka menjaga ketentraman dan kedamaian di
masyarakat selama berinteraksi, maka aturan atau norma-norma yang
ada harus ditegakkan. Arti dari penegakan hukum di masyarakat
terletak pada penyerasian hubugan antara nilai yang ada dalam kaidah
atau norma dengan realisasi atau penerapan dalam tindakan sebagai
penjabaran nilai tersebut untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian dalam pergaulan.19 Dengan demikian
18 Widayatno Sastrohardjono dan TB. Eddy Mangkuprawira, 2002, dalam Makalah
“Prosedur Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak”, Jakarta,
hlm.2
19 Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
cet.XI, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), h. 5.
19
secara konsepsional penegakan hukum berkisar dalam hal penerapan
kaidah atau norma sebagai pedoman bagi prilaku yang dianggap pantas
aau yang seharusnya yang mana ditujukan untuk memelihara
kedamaian.
Kemudian penegakan hukum sebagai suatu proses pada
hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut
pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah
hukum.20 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa dalam
rangka penegakan hukum identik dengan penerapan hukum di
masyarakat yang mana amat dipengaruhi berbagai faktor untuk dapat
terselenggaranya penegakan hukum yang baik. Oleh karena itu dalam
hal penegakan hukum di masyarakat sering kali dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain:
a. Faktor hukumnya sendiri yakni yang berkaitan dengan undang-
undang;
b. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk atau
menerapkan hukum;
c. Faktor sarana atau fasilitas yakni fasilitas yang mendukung
penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut
diterapkan;
20 Soerjono Soekanto I, op.cit., h. 7.
20
e. Faktor kebudayaan yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang
dirasakan manusia dalam pergaulan hidup.21
1.7.4 Teori tentang Efektivitas Hukum
Efektivitas Hukum artinya bahwa seseorang atau masyarakat
benar-benar berbuat sesuai dengan ketentuan norma-norma hukum
sebagaimana yang harus mereka perbuat dalam norma-norma hukum
tersebut dan bahwa norma hukum tersebut benar-benar diterapkan dan
dipatuhi. Menurut L.J. Van Apeldorn, Efektivitas Hukum berarti
keberhasilan, kemajemukan, atau kemujaraban hukum atau Undang-
Undang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.22
Penerapan hukum di masyarakat dalam berbagai teori ditujukan
sebagai alat untuk mengubah masyarakat serta mendukung
pembagunan. Sebagai sarana pengubah masyarakat terdapat beberapa
kondisi yang diperhatikan agar hukum dapat digunakan sebagai sarana
pengubah masyarakat antara lain:
a. Hukum merupakan aturan umum yang tetap, bukan aturan yang
bersifat ad-hoc;
b. Hukum harus jelas dan diketahui oleh warga masyarakat yang
kepentingannya diatur;
c. Dalam penerapan hukum sebaiknya dihindari penerapan peraturan
yang bersifat retroaktif;
21 Ibid., h. 8.
22Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 11.
21
d. Hukum harus dimengerti oleh umum;
e. Tidak ada konflik peraturan;
f. Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan warga
masyarakan untuk mematuhi;
g. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya perubahan pada hukum karena
masyarakat dapat kehilangan pegangan bagi kegiatannya;
h. Adanya korelasi antara hukum dengan penerapannya.23
Suatu kaidah hukum yang diterapkan di masyarakat agar dapat
berlaku efektif harus memenuhi dua syarat utama yakni:
1. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan;
2. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima oleh masyarakat.24
Dalam rangka penerapan atau pemberlakuan hukum yang baik
di masyarakat perlu memperhatikan beberapa faktor yang
mempengaruhi penerapan hukum itu sendiri yakni faktor yuridis,
filosofis dan sosiologis. Secara yuridis, hukum berlaku apabila hukum
tersebut dibentuk melalui proses tertentu oleh Badan atau lembaga
negara yang berwenang. Secara filosofis, hukum yang berlaku di
masyarakat sesuai dengan cita-cita hukum dari masyarakat. Secara
23 Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Ed.I-Cet.XVI, RajaGrafindo,
Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h. 148. 24 Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Kencana,
Jakarta, h. 117.
22
sosiologis, hukum yang berlaku di masyarakat apabila hukum tersebut
dapat diakui, ditaati oleh masyarakat meskipun diterima atau tidak.25
Berbicara mengenai hukum yang berlaku di masyarakat
(efektivitas hukum) menurut Laurence M. Freidman dalam bukunya
yang berjudul The Legal System A Social Science Perspective
menyebutkan bahwa suatu sistem hukum tersusun atas tiga perangkat
yakni struktur hukum (lembaga hukum); substansi hukum (peraturan
perundang-undangan); dan kultur atau budaya hukum.26 Dengan
demikian untuk melihat bahwa hukum tersebut berlaku secara efektif
atau tidak di masyarakat maka dapat tolak ukurnya dapat kita lihat dari
penerapan ketiga unsur dari sistem hukum tersebut sesuai dengan
fungsinya masing-masing disesuaikan dengan kebutuhan di
masyarakat.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Penulisan Skripsi ini menggunakan jenis penelitian hukum
empiris. Artinya, penelitian hukum tersebut dalam penulisannya
mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat
diamati dalam kehidupan nyata.
25 Soerjono Soekanto II, Op.cit., h. 171. 26 Saifullah, 2010, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, h.26.
23
Dalam konteks penelitian terhadap efektivitas hukum dibahas
mengenai bagaimana hukum tersebut diterapkan dan beroperasi dalam
masyarakakat.27 Dalam konteks efektivitas hukum diteliti bahwa
hukum tidak semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literatur-
literatur hukum, namun sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan
masyarakat atau proses penerapan hukum di dalam masyarakat
berdasarkan suatu gejala yang akan menimbulkan berbagai efek dalam
kehidupan sosial dengan merumuskan kesenjangan antara das sein dan
das solen, yaitu kesenjangan antara teori dengan realita atau fakta
hukum. Senada dengan hal tersebut, Soetandyo Wignjosoebroto
mengemukakan bahwa penelitian hukum non doctrinal merupakan
penelitian yang berupa studi empiris untuk menemukan teori mengenai
proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam
masyarakat.28
1.8.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini digunakan beberapa jenis pendekatan
yakni:
a. Pendekatan Perundang-undangan
b. Pendekatan Fakta
c. Pendekatan Analisis Konsep Hukum
d. Pendekatan Kasus
27 Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 31.
28 Bambang Sunggono, 2012, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta,
h.42.
24
Pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan dengan
berdasarkan kepada perundang-undangan, norma/kaidah hukum dalam
hukum positif di Indonesia yang berkaitan dengan penerapan upaya
hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan.
Pendekatan Fakta adalah pendekatan dengan mendasarkan pada
fakta-fakta yang didapat dari data-data yang ada di lapangan terutama
berkaitan dengan pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam
penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal
Pajak Kantor Wilayah Bali.
Kemudian pendekatan analisis konsep hukum dimaksudkan
untuk memahami konsep-konsep yang dapat dijadikan acuan untuk
menjawab rumusan masalah terkait hambatan-hambatan yang timbul
dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian
sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor
Wilayah Bali.
1.8.3 Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini bersifat eksploratif dimana dalam
penelitian ini mengeksplorasi mengenai penerapan upaya hukum
keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan di
masyarakat, pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian
sengketa di bidang perpajakan serta hambatan-hambatan yang timbul
dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian
25
sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor
Wilayah Bali.
1.8.4 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian hukum empiris didapatkan
melalui data primer dan data sekunder. Data primer atau dikenal juga
dengan nama data dasar adalah data yang diperoleh secara langsung
dari masyarakat.29 Adapun data Primer berdasarkan atas data diperoleh
di masyarakat yang berkaitan dengan rumusan masalah yang dibahas
dengan kondisi yang ada di masyarakat. Data ini diperoleh dengan
mengadakan penelitian secara langsung di lapangan yang akan
dilakukan di Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali baik
berupa hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung.
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari
bahan-bahan pustaka.30 Dalam penelitian ini data sekunder bersumber
dari bahan-bahan pustaka dalam bentuk bahan-bahan hukum yang
memiliki kekuatan mengikat. Adapun beberapa bahan hukum yang
dipergunakan dalam penelitian ini sebagai data sekunder dibedakan
menjadi tiga, yakni:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan
hukum mengikat, seperti Peraturan Perundang-undangan. Adapun
29Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2013, Penelitian Hukum Normatif, Cet.XV, Raja
Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III) h. 12.
30 Soerjono Soekanto III, loc.cit.
26
peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain:
- Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak;
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
- Permenkeu No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan
dan Penyelesaian Keberatan.
2. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan
mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian hukum;
hasil karya ilmiah, literatur-literatur yang ditulis para ahli yang
relevan dengan rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian
ini.
3. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan hukum yang memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder seperti kamus, ensiklopedia, kamus hukum, bahan dari
internet.
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain menggunakan Teknik Wawancara (interview) dan Teknik
Studi Dokumen. Adapun Teknik Wawancara dilakukan untuk
mengumpulkan data primer yang akan dilakukan dengan melakukan
27
wawancara terhadap beberapa staf di Direktorat Jenderal Pajak Kantor
Wilayah Bali. Sedangkan teknik studi dokumen yang dilakukan untuk
mengumpulkan data sekunder sebagaimana yang telah dijabarkan
diatas.
1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini pengolahan dan analisis data dilakukan
secara kualitatif. Dalam pengolahan dan analisis data secara kualitatif
yaitu dengan menghubungkan antara data yang diperoleh di lapangan
dengan permasalahan terkait. Setelah dilakukan analisis secara
kualitatif maka data yang diperoleh akan disajikan dengan secara
deskriptif kualitatif dan sistematis. Hal tersebut dimaksudkan dengan
menganalisis data yang didapat dikaitkan dengan teori-teori dalam
landasan teoritis kemudian disajikan secara mendetail dan tersusun
untuk merampungkan tulisan ini.