BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · menciptakan dan memiliki pasar sendiri. ......

45
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan kegiatan yang mencakup berbagai bentuk penyediaan jasa (services supplying). Penyediaan ini dilakukan oleh pemasok jasa (services supplier) terhadap pemakai jasa (consumers, visitors) yang dilakukan melalui proses transaksi jasa. Penyediaan ini mencakup: (1) jasa akomodasi; (2) angkutan wisata; (3) jasa boga; (4) atraksi wisata; dan (5) berbagai bentuk jasa lainnya. Industri pariwisata memiliki obyek yang selalu diperbarui, diperkenalkan, dan selalu menjadi dorongan bagi manusia untuk menikmati obyek tersebut. 1 Perkembangan pariwisata yang diakibatkan oleh adanya dukungan yang diberikan oleh pemerintah pusat ataupun daerah menunjukkan bahwa dukungan pemerintah berperan sangat penting dalam pengembangan industri pariwisata, termasuk kedalamnya adalah pemeliharaan sumber daya pariwisata, menjaga kelestarian alam, mengembangkan sumber daya manusia, membina institusi komersial dan nonkomersial, dan memelihara kebudayaan, yang menciptakan atmosfir industri yang berkualitas dan berkelanjutan. Hal serupa sebagaimana dilakukan oleh pemerintah daerah di Bali membuat Bali menjadi destinasi pariwisata prioritas bagi kebanyakan wisatawan. Wisatawan yang datang ke Bali berkeinginan untuk mengulang kembali kunjungannya, atau bahkan menetap di Bali. Setiap lokasi dan kawasan di Bali 1 James J. Spillane, 1994, Pariwisata Indonesia : Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan, Lembaga Studi Realino, Yogyakarta, hal. 19.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · menciptakan dan memiliki pasar sendiri. ......

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pariwisata merupakan kegiatan yang mencakup berbagai bentuk

penyediaan jasa (services supplying). Penyediaan ini dilakukan oleh pemasok jasa

(services supplier) terhadap pemakai jasa (consumers, visitors) yang dilakukan

melalui proses transaksi jasa. Penyediaan ini mencakup: (1) jasa akomodasi; (2)

angkutan wisata; (3) jasa boga; (4) atraksi wisata; dan (5) berbagai bentuk jasa

lainnya. Industri pariwisata memiliki obyek yang selalu diperbarui, diperkenalkan,

dan selalu menjadi dorongan bagi manusia untuk menikmati obyek tersebut.1

Perkembangan pariwisata yang diakibatkan oleh adanya dukungan yang diberikan

oleh pemerintah pusat ataupun daerah menunjukkan bahwa dukungan pemerintah

berperan sangat penting dalam pengembangan industri pariwisata, termasuk

kedalamnya adalah pemeliharaan sumber daya pariwisata, menjaga kelestarian

alam, mengembangkan sumber daya manusia, membina institusi komersial dan

nonkomersial, dan memelihara kebudayaan, yang menciptakan atmosfir industri

yang berkualitas dan berkelanjutan.

Hal serupa sebagaimana dilakukan oleh pemerintah daerah di Bali

membuat Bali menjadi destinasi pariwisata prioritas bagi kebanyakan wisatawan.

Wisatawan yang datang ke Bali berkeinginan untuk mengulang kembali

kunjungannya, atau bahkan menetap di Bali. Setiap lokasi dan kawasan di Bali

1James J. Spillane, 1994, Pariwisata Indonesia : Siasat Ekonomi dan Rekayasa

Kebudayaan, Lembaga Studi Realino, Yogyakarta, hal. 19.

2

menciptakan dan memiliki pasar sendiri. Hal ini merupakan hasil pengembangan

berbagai ide serta inovasi yang menjadikan berbagai kawasan dan lokasi itu

memiliki berbagai fasilitas penunjang yang khas yang menjadikan lokasi dan

kawasan itu sebagai kawasan berstandar yang diidamkan wisatawan.

Berbagai atraksi dan kegiatan pariwisata yang ada di Bali menimbulkan

pergerakan bisnis di berbagai bidang, termasuk investasi. Pergerakan bisnis ini

terjadi di berbagai daerah pariwisata di Bali, terutama Badung dan Gianyar.

Bentuk kegiatan yang menjadi orientasi kegiatan investasi adalah kegiatan yang

memberikan pengembalian investasi yang cepat dan aman. Cara pengusaha

setempat merespon kebutuhan investor membuat kegiatan investasi dalam bidang

perdagangan jasa pariwisata juga berkembang sangat pesat. Investasi itu tidak saja

membangkitkan daya tarik bagi investor, tetapi juga wisatawan yang semula

datang untuk sekadar melakukan kunjungan biasa kemudian mengalihkan

kegiatannya menjadi kegiatan usaha.

Pihak pengembang bekerja sama dengan pemilik tanah maupun bangunan

di kawasan pariwisata tertentu di Bali yang tertarik untuk mengembangkan

berbagai bisnis yang berkaitan dengan pariwisata dan menuntut adanya investasi

yang cukup besar, terutama bisnis yang menunjang kawasan pariswisata, seperti

hotel, restoran, resort, vila, dan berbagai fasilitas jasa lainnya. Perkembangan ini

menjadi latar belakang para pemilik modal atau investor bekerja sama dengan

pemilik tanah pada lokasi-lokasi strategis untuk mengembangkan fasilitas jasa

pariwisata. Lokasi-lokasi strategis ini menjadi lahan investasi untuk perputaran

3

modal para investor karena sangat menjanjikan keuntungan bagi para pihak yang

terlibat di dalamnya.

Bali merupakan salah satu daerah tujuan utama penanaman modal dalam

bidang pariwisata sebagaimana dapat dilihat dari data pariwisata Bali yang

diklasifikasikan menurut hotel berbintang, hotel melati, pondok wisata, rumah

makan, restoran, bar, hingga biro perjalanan wisata (travel agent) yang ada di

Bali. Data yang diperoleh dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Bali Government

Tourism Office)2 tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat usaha di bidang

akomodasi sebanyak 2.343 unit, restoran sebanyak 1.715 unit, agensi travel atau

travel agent sebanyak 301 unit, meeting, insentive, conference, exhibition (MICE)

sebanyak 7 unit, cabang agensi travel (travel agent branch) sebanyak 21 unit,

konsultan bidang pariwisata (tourism consultant) sebanyak 6 unit, bar sebanyak

522 unit dan wisata olahraga air (tourism water sport) sebanyak 214 unit.

Data ini menunjukkan peningkatan jumlah akomodasi yang ada di Bali,

dimana jumlah akomodasi pada tahun 2009 adalah 2.175 akomodasi yang masing-

masing terdiri dari pondok wisata, hotel melati dan hotel bintang. Peningkatan ini

pun terlihat secara signifikan dimana data statistik terakhir pada tahun 2014

menunjukkan bahwa jumlah akomodasi di Bali meningkat sebanyak 168 unit atau

berjumlah 2.343 unit. Peningkatan jumlah akomodasi wisata yang ada di Bali

memberikan gambaran bahwa investasi di bidang pariwisata merupakan bidang

investasi yang sangat diminati oleh para investor, termasuk investor asing.

2Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2014, Bali Tourism Statistic 2014 “Statistik Pariwisata

Bali 2014”, hal. 1.

4

Sebagian besar pemilik modal yang menanamkan modalnya di Bali

bertujuan untuk mengembangkan bisnis di bidang pariwisata. Pengembangan

bisnis ini didominasi oleh investor asing (foreign investor) yang memiliki tujuan

khusus, yaitu menyediakan tempat beristirahat yang nyaman dengan fasilitas serta

layanan setara dengan hotel bintang 4 (empat) hingga bintang 5 (lima) tetapi

dengan harga yang terjangkau. Bisnis ini berkembang dengan baik karena

ditunjang dengan berbagai fasilitas penunjang seperti jasa transportasi, jasa boga,

atraksi wisata, dan jenis jasa lainnya yang bisa dipilih sesuai dengan keinginan

wisatawan. Kondisi tersebut meningkatkan kepercayaan dan keinginan investor

untuk menanamkan modalnya di bidang jasa pariwisata, khususnya properti.

Praktek penyelenggaraan fasilitas jasa pariwisata memunculkan berbagai

varian bisnis yang tidak mudah dikategorikan sebagai bentuk perdagangan jasa

pariwisata, karena tercampur dengan varian bisnis lain yang berasal dari bisnis di

luar kategori jasa pariwisata. Salah satu varian yang berkembang dengan pesat

adalah jasa pengembangan dan pengelolaan properti yang semula dikembangkan

murni berdasarkan skema bisnis properti, kemudian dikelola dengan skema

pengelolaan properti, tetapi jasa yang ditawarkan adalah jasa akomodasi wisata.

Masalah yang terkandung di dalam pengembangan dan pengelolaan properti itu

adalah bahwa properti yang dikembangkan itu dibiayai oleh pembeli asing dan

kemudian dikelola oleh pengembang (developer) untuk tujuan penyediaan jasa

akomodasi wisata. Selanjutnya, pemilik properti itu memperoleh pendapatan dari

hasil pengelolaan itu yang oleh para pihak (pengembang dan pembeli) dinilai

5

sebagai pengembalian (return) atas biaya yang dikeluarkan untuk pengembangan

akomodasi dimaksud.

Dalam jenis jasa ini, pihak pengembang (developer) menyediakan lahan,

merancang desain, dan melakukan perencanaan, dan kemudian menawarkan

pengembangan properti berdasarkan desain dan perencanaan itu kepada

wisatawan atau calon wisatawan, baik secara langsung ataupun melalui internet.

Perencanaan yang ditawarkan itu mencakup harga, pengelolaan, dan hasil yang

diperoleh dari pengelolaan itu. Pihak pembeli menjawab penawaran itu, melalui

proses negosiasi untuk membeli atau melakukan penerimaan secara langsung.

Apabila terjadi kesepakatan, para pihak membentuk perjanjian bangun-kelola,

yaitu perjanjian pengembangan dan pengelolaan properti oleh pengembang yang

ditujukan untuk penyediaan jasa pariwisata. Beberapa kegiatan penanaman modal

yang dapat dijadikan contoh adalah pengembangan dan pengelolaan properti yang

dilakukan oleh PT Cakra Buana di Jimbaran, Ubud, dan Nusa Dua.

Perjanjian bangun kelola tersusun dalam struktur sebagai berikut: (a)

pihak pengembang menyediakan lahan, merancang desain, dan melakukan

perencanaan; (b) pihak pembeli menyediakan biaya untuk

pengembangan/pembelian properti yang dikembangkan; (c) pihak pengembang

melakukan pengembangan; dan (d) pihak pengembang melakukan pengelolaan.

Layaknya pengembangan properti oleh pengembang dan pembelian properti yang

dikembangkan oleh pembeli, pembeli pada umumnya tidak membayar harga

properti secara penuh di depan melainkan hanya membayar uang muka untuk

kemudian sisa biayanya dibayarkan dalam bentuk angsuran sesuai kemajuan

6

pembangunan berdasarkan laporan kemajuan pekerjaan (progress report). Setelah

pembangunan selesai, pihak pembeli tidak mengambil alih properti yang dibelinya

melainkan menyerahkan kembali properti yang dibelinya itu kepada pengembang

untuk dikelola oleh pengembang. Bentuk pengembangan dan pengelolaan ini

umum dikenal dengan nama pengembangan dengan pemulihan investasi (Return

on Investment – ROI) atau investasi semi kelola.3 Disebut investasi semi kelola

karena investasi di dalam ROI tersebut tidak sepenuhnya merupakan investasi,

melainkan bercampur dengan jual beli, demikian juga pengelolaannya tidak

sepenuhnya merupakan pengelolaan properti melainkan bercampur dengan

pengelolaan akomodasi wisata.4 Pada model ROI, bangunan yang telah selesai

dibangun oleh pihak pengembang tidak digunakan sendiri oleh pembeli (buyer)

atau pemilik (owner) namun diserahkan kembali kepada developer untuk dikelola.

Setelah proses penyerahan terjadi, selanjutnya pihak developer membentuk

manajemen untuk pengelolaan atau melakukan kerjasama dengan penyedia jasa

manajemen pengelolaan hotel atau akomodasi wisata untuk mengelola properti

yang telah dibangun.

Bentuk yang digunakan di dalam ROI membuat kegiatan demikian ini sulit

dikategorikan sebagai kegiatan usaha properti atau kegiatan jasa pariwisata;

kegiatan usaha investasi dalam bidang pariwisata atau kegiatan usaha murni

properti; dan juga sulit dibedakan dengan bentuk kerjasama investasi yang sudah

berkembang, seperti: Build-Operate-Transfer (BOT). ROI sangat berbeda dengan

3Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, “Kontrak Semi Investasi dan Semi Kelola: Suatu Model

Kontrak Investasi dalam Perdagangan Jasa Pariwisata”, Bali Tourism Board, Bali, hal. 2. 4Ibid.

7

BOT. Perbedaannya terletak pada (1) asal-usul modal; (2) penyelenggara proyek;

(3) pengelola proyek atau obyek investasi; dan (4) penyerahan proyeknya. Bentuk

kerja sama bisnis demikian ini menimbulkan pertanyaan tentang keberlakuan

hukum. Hukum manakah diantara hukum properti, hukum investasi, dan hukum

pariwisata yang berlaku terhadap transaksi jasa akomodasi itu, demikian pula

mencakup persyaratan, prosedur dan perijinan dalam penyelenggaraannya.

Bentuk bisnis ini berkembang dengan cepat di sisi lainnya. Berinvestasi di

bidang properti memiliki beberapa keuntungan, yaitu risiko yang relatif lebih

kecil, tidak terlalu terpengaruh oleh faktor eksternal, laba atau keuntungan yang

besar, bisa menggunakan dana orang lain untuk berinvestasi, serta pendapatan

arus kas (cash flow) yang rutin.5 Hal ini membuka kemungkinan keuntungan yang

didapat dari kegiatan investasi di bidang properti lebih besar dibandingkan dengan

kegiatan usaha lainnya, termasuk pengembalian investasi atau keuntungan yang

besar.

Bentuk pengembangan properti dengan model ROI yang mengandung sifat

dan model investasi, sama dengan investasi langsung lainnya, atau penanaman

modal langsung lainnya oleh investor asing (foreign direct investment), yang

penyelenggaraannya seharusnya mengikuti ketentuan dan prosedur penanaman

modal asing. Penyelenggaraan bisnis properti dengan bisnis ini memiliki karakter

yang sangat khas dan lebih mendekati skema investasi langsung.

5Citibank, sebagaimana dikutip dari mywealth.co.id (cited 2014 June 22nd), available

from : URL : http://mywealth.co.id/topic/investasi-2/keuntungan-berinvestasi-di-bidang-properti/

8

Sifat dan ciri lain yang juga menonjol pada bentuk bisnis ini, yang lebih

menegaskan sifat investasi dari bentuk seperti ini adalah ketika properti yang

dibangun murni dikelola sebagai akomodasi wisata dengan sistem time-sharing.

Timeshare adalah pengelolaan properti dimana pihak pemilik properti diberikan

hak untuk menggunakan seluruh atau sebagian atau bagian tertentu dari

propertinya untuk jangka waktu tertentu dalam 1 (satu) tahun pengelolaan.

Disamping itu, pemilik juga diberikan hak untuk mengalihkan hak penggunaan

untuk masa penggunaannya itu kepada pihak lain (time-sharing model).

Penggunaan 3 (tiga) model bisnis itu secara bersamaan, yaitu: (1)

pengembangan properti; (2) pengelolaan akomodasi wisata; dan (3) timeshare

dalam model bisnis dengan nama Investasi Semi Kelola (ISK), terutama yang

pengembangannya dibiayai pihak asing, mengakibatkan ROI mengandung

kekaburan karakter yang selanjutnya menimbulkan pertanyaan hukum tentang

persyaratan, prosedur, dan perijinan yang seharusnya digunakan dalam

penyelenggaraan bisnis tersebut.

Perlakuan hukum yang diberikan terhadap penyelenggaraan bisnis ini,

pada saat ini, adalah perlakuan hukum properti berdasarkan Undang-Undang Jasa

Konstruksi, sementara referensi tentang ROI programme mengategorikan ROI

sebagai bentuk investasi, sehingga perlakuan hukum yang diberikan terhadap

penyelenggaraan bisnis berdasarkan model ini seharusnya adalah perlakuan

hukum investasi dimana seharusnya berlakulah persyaratan, prosedur, dan

perijinan investasi.

9

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

(selanjutnya disebut dengan UU PM) dalam kaitan dengan penyelenggaraan

investasi oleh suatu badan usaha hanya mengatur tentang (1) bentuk dan

kedudukan badan usaha (Pasal 5 UU PM); (2) perlakuan penanaman modal (Pasal

6 sampai Pasal 10 UU PM); (3) ketenagakerjaan (Pasal 10-Pasal 11 UU PM); (4)

bidang usaha (Pasal 12 UU PM) yang terbuka dan tertutup; (5) pengembangan

penanaman modal bagi UKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) (Pasal 13 UU

PM); (6) hak, kewajiban, dan tanggungjawab penanaman modal (Pasal 14 sampai

Pasal 17 UU PM); (7) fasilitas penanaman modal (Pasal 18 sampai Pasal 24 UU

PM); dan (8) perijinan perusahaan (Pasal 25 sampai Pasal 26 UU PM). UU PM

tidak mengatur tentang kategori kegiatan yang termasuk kedalam kategori

investasi atau bukan termasuk kategori demikian.

Dalam praktek, para investor melalui skema ROI dapat menikmati manfaat

investasi, tetapi mereka tidak mengikuti persyaratan dan prosedur investasi asing.

Demikian juga dengan perijinannya, mereka tidak memenuhi persyaratan dan

tidak mengikuti prosedur perijinan penanaman modal, melainkan perijinan

pengembangan properti biasa. Sehingga, penggunaan model ini dalam

pengembangan akomodasi wisata mengakibatkan berbagai kerugian terhadap

pemerintah dan masyarakat yang berasal dari kegiatan investasi, seperti retribusi

perijinan investasi dan kesempatan masyarakat untuk diutamakan dalam

kesempatan dan lapangan kerja dalam kegiatan investasi. Masalah ini

menunjukkan adanya kebutuhan hukum untuk mengatur secara jelas kegiatan

pengembangan akomodasi wisata dengan biaya asing di dalam UU PM atau

10

ketentuan pelaksanaannya agar jenis investasi perorangan melalui skema ROI

mengikuti prosedur perijinan penanaman modal asing. Misalnya, perseroan yang

menyelenggarakan pengembangan properti yang akan dikelola untuk akomodasi

wisata, yang biaya pengembangannya dibiayai sumber pembiayaan atau investasi

asing wajib mengikuti persyaratan dan prosedur perijinan penanaman modal asing

sebagaimana diatur di dalam Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman

Modal (selanjutnya: Perka BKPM) Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Tata Cara

Permohonan Penanaman Modal.

Pasal 10 Perka BKPM telah mengatur tentang bidang usaha dan bentuk

badan usaha, namun materi norma itu belum mencakup model ROI yang

menggunakan sumber pembiayaan atau modal asing dalam pengembangannya.

Pasal 10 ayat (1) Perka BKPM menentukan: “Semua bidang usaha terbuka bagi

kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang

dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan yang penetapannya diatur

dengan peraturan perundang-undangan”. Ayat (2) menentukan: “Penanam modal

yang akan melakukan kegiatan penanaman modal harus memperhatikan peraturan

perundang-undangan yang menyatakan bidang usaha atau jenis usaha yang

tertutup dan terbuka dengan persyaratan.” Selanjutnya Pasal 11 ayat (1) Perka

BKPM menentukan bahwa “Penanaman modal asing harus dalam bentuk

perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam

wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh Undang-

Undang.” Pasal 12 Perka BPKM menentukan bahwa “Penanam modal wajib

melaksanakan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku untuk kegiatan

11

penanaman modal yang dikeluarkan oleh instansi teknis yang memiliki

kewenangan perijinan dan nonperijinan.”

Pengaturan demikian itu, tanpa diikuti dengan pengaturan tentang jenis

kegiatan investasi yang wajib memenuhi persyaratan penanaman modal asing,

termasuk jenis pengembangan properti dengan model ROI dalam bidang

penyediaan akomodasi wisata, dapat menimbulkan akibat merugikan bagi negara

terutama dari segi perolehan pendapatan negara yang bersumber dari perijinan

penanaman modal asing. Kerugian juga dapat diderita oleh masyarakat dari segi

hak-hak masyarakat atas penyelenggaraan kegiatan investasi asing, seperti hak

atas kesempatan kerja dan hak untuk diperlakukan adil atas suatu lapangan kerja.

Peluang kerugian negara dan masyarakat ini menjadi lebih besar dalam

penyediaan akomodasi pariwisata dengan model ROI karena Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (selanjutnya: UU Kepariwisataan)

juga tidak mengatur persyaratan dan perijinan akomodasi wisata yang

dikembangkan dengan menggunakan model investasi semi kelola. UU

Kepariwisataan dalam kaitan dengan penyelenggaraan investasi hanya mengatur

tentang kawasan strategis pariwisata (Pasal 12 sampai Pasal 13 UU

Kepariwisataan). Sedangkan berkaitan dengan usaha pariwisata hanya mengatur

tentang jenis usaha (Pasal 14 UU Kepariwisataan); pendaftaran usaha (Pasal 15

UU Kepariwisataan); dan dalam mengatur kewajiban (Pasal 26 UU

Kepariwisataan). UU Kepariwisataan bahkan tidak mengatur tentang kewajiban

perijinan bagi pengusaha jasa pariwisata. Pasal 26 UU Kepariwisataan

menentukan bahwa:

12

Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban:

a. Menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-

nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;

b. Memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;

c. Memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;

d. Memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan

keselamatan wisatawan;

e. Memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan

yang berisiko tinggi;

f. Mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi

setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;

g. Mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam

negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja local;

h. Meingkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;

i. Berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program

pemberdayaan masyarakat;

j. Turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan

dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;

k. Memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;

l. Memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;

m. Menjaga citra negara dan Bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha

kepariwisataan secara bertanggung jawab; serta

n. Menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal 15 UU Kepariwisataan hanya mengatur tentang wajib daftar usaha,

yaitu mewajibkan pengusaha pariwisata untuk mendaftarkan perusahaannya pada

pemerintah daerah setempat. Pasal 15 UU Kepariwisataan selengkapnya

menyatakan:

(1) Untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14, pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan

usahanya terlebih dahulu kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Peraturan pelaksanaan UU Kepariwisataan yang mengatur akomodasi

pariwisata adalah Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor

PM.53/HM.001/MPEK/2013 Tentang Standar Usaha Hotel juga hanya mengatur

hal-hal yang berkenaan dengan standarisasi hotel. Adapun standarisasi hotel

13

dalam peraturan tersebut mencakup penggolongan, standar dan pengawasan

namun tidak mencakup bentuk pengembangan, pengelolaan, dan asal-usul

pembiayaan pengembangannnya.

Ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa pengaturan penanaman

modal dalam bidang pengadaan dan penyelenggaraan akomodasi wisata,

khususnya yang menggunakan model ROI, belum diatur di dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku, baik melalui UU PM maupun UU

Kepariwisataan beserta peraturan pelaksanaannya. Hal ini menimbulkan masalah

kekosongan hukum yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Untuk

mencegah kerugian demikian itu, kekosongan pengaturan itu perlu diisi dengan

pembentukan norma pengaturan yang berkenaan dengan hal itu, baik melalui

ketentuan penanaman modal maupun melalui ketentuan pengadaan dan

penyediaan jasa akomodasi wisata.

Di berbagai kawasan pariwisata di Bali seperti Jimbaran, Kuta, Seminyak,

Pecatu, Ubud, dan Nusa Dua, banyak berkembang model pengembangan jasa

akomodasi wisata dengan menggunakan bentuk ini. Model bisnis ini tidak banyak

muncul ke permukaan sehingga tidak dikenal oleh masyarakat atau bahkan

pemerintah daerah namun dalam praktek telah berkembang puluhan model

properti seperti ini. Tidak banyak pihak yang mengeksplorasi bisnis ini dari sisi

Hukum Investasi.

Berdasarkan asal-usul pembiayaannya dan kemudian pengelolaannya,

model bisnis properti ini lebih menampakkan ciri sebagai kegiatan investasi dalam

bidang pariwisata. Prakteknya, model ini cenderung diberi perlakuan hukum

14

secara terpisah yaitu di satu sisi sebagai transaksi properti murni dan pada sisi

lainnya sebagai jasa pengelolaan jasa akomodasi pariwisata. Permasalahan ini

mengaburkan karakter investasi dari bisnis ROI ini sehingga hak-hak negara dan

masyarakat terhadap bentuk bisnis seperti ini menimbulkan permasalahan dari sisi

hukum terutama dari segi persyaratan, proses dan prosedur penyelenggaraan

bisnis yang harus dipenuhi dari model bisnis ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa

telah terjadi kekosongan hukum dalam bidang hukum investasi sehingga Hukum

Investasi tidak dapat menjangkau model praktek bisnis ini.

Dalam rangka memulihkan hak-hak negara dan masyarakat atas bisnis ini,

perlu diteliti karakteristik pengembangan akomodasi wisata dengan model ROI,

karakteristik masalahnya, dan formulasi jalan keluarnya dari segi pengaturan

secara hukum. Untuk memecahkan masalah ini perlu juga diteliti dan dikaji

tentang bentuk peraturan yang dapat dipakai agar model bisnis demikian ini dapat

diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

sehingga hak-hak pemerintah dan masyarakat atas jenis usaha ini dapat dilindungi

sebagaimana mestinya.

Penulis membandingkan beberapa penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya namun tidak ditemukan tulisan oleh penulis tentang pengembalian

investasi semi kelola di bidang pariwisata. Namun penulis menemukan beberapa

penelitian yang tertarik untuk menulis tentang investasi maupun pengembalian

investasi. Adapun penelitian-penelitian tersebut yaitu:

1. Tesis Desak Putu Dewi Kasih, NIM B4A001015, Magister Ilmu Hukum,

Tahun 2003. Judul tesisnya adalah Perjanjian Bangun Guna Serah (Build

15

Operate and Transfer) Sebagai Alternatif Kerjasama Investasi Bidang

Pariwisata di Bali. Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah apakah

dasar hukum dalam perjanjian Bangun Guna Serah sebagai alternatif

kerjasama investasi di bidang pariwisata Bali, bagaimanakah pemanfaatan

perjanjian Bangun Guna Serah terhadap pengembangan bidang pariwisata di

Bali dan bagaimanakah akibat hukum dari perjanjian Bangun Guna Serah

dalam rangka kerjasama investasi bidang pariwisata di Bali;

2. Tesis Encik Latidah Hanum, NIM 057017004, Magister Ilmu Akuntansi

Tahun 2008. Judulnya adalah Pengaruh Kebijakan Modal Kerja Terhadap

Return on Investment Pada Industri Rokok Yang Terdaftar di Bursa Efek

Indonesia. Adapun rumusan masalahnya adalah apakah kebijakan modal kerja

baik secara simultan maupun secara parsial berpengaruh terhadap return on

investment pada industri rokok yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia;

3. Penelitian dari Hur Young Soon, NIM 1006766352, Magister Ilmu Hukum

Tahun 2012. Judulnya adalah Perlindungan Investor Asing dalam Hukum

Penanaman Modal di Indonesia (Studi Banding Hukum Penanaman Modal

Asing Indonesia dan Korea Selatan). Adapun rumusan masalahnya adalah

bagaimana perlindungan investor asing dalam hukum penanaman modal di

Indonesia khususnya investor Korea Selatan dan bagaimana perbandingan

hukum penanaman modal asing di Indonesia dan Korea Selatan. Penelitian ini

membahas mengenai adanya perlindungan investor asing dalam hukum

penanaman modal atau investasi di Indonesia dengan hukum penanaman

modal yang ada di Korea Selatan.

16

Munculnya berbagai permasalahan dalam bisnis investasi dengan

bentuk seperti ini, maka akan menjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji.

Berdasarkan pada latar belakang yang sebagaimana telah diuraikan tersebut

diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam dengan

menjadikan sebuah tesis dengan judul “PENGATURAN INVESTASI SEMI

KELOLA DI BIDANG PERDAGANGAN JASA AKOMODASI WISATA.”

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan dari latar belakang di

atas adalah:

1) Bagaimanakah penyelenggaraan bentuk pengembalian investasi (return on

investment) dalam investasi semi kelola di bidang perdagangan jasa

akomodasi wisata yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2007?

2) Bagaimanakah bentuk pengaturan yang diperlukan dalam penyelenggaraan

investasi semi kelola bidang perdagangan jasa akomodasi wisata?

1.3 Tujuan Penelitian

Sebuah tulisan haruslah memiliki tujuan yang nantinya ingin dicapai,

terlebih dibuat dalam bentuk sebuah tesis. Berdasarkan hal tersebut maka yang

hendak dicapai dari penelitian tesis ini adalah:

17

1.3.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan tesis ini yang berkaitan dengan

penulisan tesis ini, yaitu:

1. Mengidentifikasi karakteristik model investasi semi kelola;

2. Mengidentifikasi karakteristik model investasi semi kelola dalam bidang

perdagangan jasa akomodasi wisata;

3. Mengidentifikasi karakteristik penyelenggaraan model investasi semi

kelola dalam bidang perdagangan jasa akomodasi wisata; serta

4. Mengidentifikasi karakteristik penyelenggaraan model investasi semi

kelola dalam bidang perdagangan jasa akomodasi wisata sesuai dengan

ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

Modal.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus atas rumusan masalah diatas dari penulisan penelitian tesis

ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi karakteristik kebutuhan hukum yang timbul dari akibat

kekosongan norma dalam penyelenggaraan model investasi semi kelola

dalam bidang perdagangan jasa akomodasi wisata; dan

2. Mengidentifikasi bentuk pengaturan penyelenggaraan model investasi semi

kelola (return on investment) dalam bidang perdagangan jasa akomodasi

wisata yang perlu diatur untuk mengisi kekosongan norma dalam

pengaturan penyelenggaraan model investasi semi kelola dalam

perdagangan jasa akomodasi wisata.

18

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penulisan tesis ini diharapkan mampu untuk menemukan indikator dalam

mengukur kejelasan konsep-konsep return on investment (investasi semi kelola)

sebagai model investasi, serta memperjelas konstruksi norma yang diperlukan

untuk mengatur pengembalian investasi (return on investment) termasuk

persyaratan-persyaratan serta prosedurnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Penulisan tesis ini diharapkan mampu mengonstruksi model materi regulasi

untuk mengatur penyelenggaraan pengembalian investasi (return on investment)

dalam bisnis investasi semi kelola di bidang pariwisata.

1.5 Landasan Teoritis

1.5.1 Kerangka Teori

1.5.1.1 Teori Investasi

Kegiatan investasi menurut Adam Smith dilakukan dengan tujuan pemilik

modal (investor) menginginkan keuntungan dan harapan di masa mendatang,

dimana investasi sangat bergantung pada iklim berinvestasi pada masa sekarang

serta mengacu pada keuntungan yang diperoleh. Adam Smith menyatakan bahwa

suatu keuntungan akan semakin menurun diikuti dengan perkembangan

perekonomian yang cenderung meningkat.6 Pada masa penanaman modal yang

semakin meningkat maka persaingan-persaingan yang terjadi antarpara pemilik

6Skousen, Mark, 2006, Sang Maestro “Teori-Teori Ekonomi Modern” : Sejarah Pemikiran

Ekonomi, cet. II, terjemahan Tri Wibowo Budi Santoso, Prenada Media, Jakarta, hal.25

19

modal (investor) akan menaikkan upah namun cenderung menurunkan

keuntungan.

Adam Smith juga menyatakan bahwa modal (capital) sebagai faktor

produksi selain tenaga kerja dan tanah.7 Unsur-unsur inilah yang memberikan

sebuah keharmonisan dalam kegiatan perekonomian dimana ketiga unsur tersebut

merupakan dari bagian sebuah kebebasan (freedom) yang dikemukakan oleh

Smith dan menjadikannya sebagai hak bagi para produsen untuk menghasilkan

sebuah barang maupun jasa dan kemudian memasarkannya.

Teori Adam Smith ini semakin diperkuat oleh studi mendalam oleh James

Gwartney, Robert A. Lawson dan Walter E. Block pada tahun 1996. Studi

pengembangan tentang kebebasan ini mengonfirmasikan bahwa terdapat kaitan

erat antara kebebasan ekonomi dan kemakmuran.8 Studi yang dilakukan oleh para

ekonom ini menunjukkan adanya bukti bahwa semakin besar tingkat

kebebasannya (dalam indeks suatu negara) maka semakin tinggi pula standar

hidupnya. Negara-negara yang telah memiliki level kebebasan tertinggi misalnya

Amerika Serikat, Selandia Baru dan Hong Kong.9

Adam Smith menyatakan bahwa setiap individu dalam kegiatan

berinvestasi pun berupaya untuk mendapatkan keuntungan dari sebuah sistem

ekonomi. Andrew Carnegie pun menambahkan bahwa kapital adalah mengubah

barang mewah menjadi sebuah kebutuhan.10 Hal ini menunjukkan bahwa sebuah

benda maupun kemampuan (skill) bahkan jasa sekalipun, yang dikelola dengan

7Ibid, hal. 26

8Ibid, hal. 29

9Ibid., hal. 30

10Ibid., hal. 31.

20

baik, tentunya bisa menjadi sebuah modal yang bisa dimanfaatkan oleh

pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan para konsumennya dan tentunya

menghasilkan keuntungan.

Modal atau investasi merupakan unsur penentu makro ekonomi. Kunci

penting dari pertumbuhan ekonomi bukan kebijakan pemerintah, ataupun

lingkungan usaha yang kompetitif, melainkan tabungan dan efisiensi. Investasi

modal dan mesin merupakan elemen vital dalam usaha menaikkan standar hidup

masyarakat.11

Menurut David Hume, persediaan tabungan dan modal menentukan suku

bunga riil dan selanjutnya menentukan kualitas dan kuantitas produksi.12

Pandangan ini menunjukkan bahwa investasi dalam bentuk tabungan maupun

modal (bentuk lainnya) akan mampu mempengaruhi output-nya. Sehingga

kualitas dan kuantitas suatu hasil produksi akan mempengaruhi harga suatu

barang dan/atau jasa tersebut.

Jean Baptiste Say (J.B. Say) menyatakan bahwa input kapital merupakan

unsur dari dua unsur lainnya yaitu pengetahuan dan tenaga kerja yang menentukan

hasil pengelolaan barang dan keuntungan.13 Menurut J.B. Say, tabungan dan

penghematan merupakan sumber kapital. Peningkatan kapital akan menghasilkan

peningkatan keuntungan (profit), baik produksi barang konsumsi maupun

produksi barang investasi.

11Ibid., hal. 32. 12Ibid., hal.50. 13Ibid., hal.63.

21

Menurut Karl Marx, orientasi investasi terhadap profit dalam rangka

akumulasi kapital dapat mendorong lahirnya perilaku liar para pemilik modal

termasuk kedalamnya dalam bentuk eksploitasi, baik ekploitasi terhadap sumber

daya manusia (SDM), lingkungan tempat usaha dan sumber daya ekonomi.

Karena itu, perilaku kapital harus dikendalikan untuk menghasilkan manfaat yang

maksimal. Teori ini disebut dengan Teori Nilai Surplus.14

Berdasarkan teori-teori tersebut, maka investasi merupakan faktor penentu

produktivitas dan profit sebagai hasil produksi. Semakin tinggi tingkat investasi

maka tingkat produktivitas juga ikut meningkat. Modal (capital) merupakan

faktor investasi yang utama disamping tanah dan tenaga kerja.

1.5.1.2 Teori Pengembalian Investasi

Pengembalian investasi atau return on investment merupakan hasil dari

pendapatan yang dinyatakan dalam bentuk persen terhadap modal, dimana modal

dibagi pendapatan sebelum pendapatan bunga, pajak, dan dividen. Pengembalian

sebuah investasi digunakan untuk mencari dan menghitung penggunaan modal

terbaik dan mengarah pada pelaksanaan usaha dan produktivitas dengan

keseluruhan.

Pengembalian investasi yang dikemukakan oleh F. John Reh menyatakan

bahwa return on investment merupakan kemampuan dan tanggung jawab bagi

pihak produsen untuk mengelola aset serta modal untuk meningkatkan pendapatan

bagi para pemilik modal yang dinyatakan sebagai berikut:

14Ibid., hal 185.

22

“Return on investment is a measure company’s ability to use its assets to generate

additional value for shareholders.”15 (Terjemahan: Pengembalian investasi adalah

kemampuan yang pasti dimiliki oleh sebuah perusahaan untuk menggunakan aset-

aset mereka untuk meningkatkan pendapatan tambahan untuk perusahaan).

Pengembalian investasi menurut F. John Reh dikembangkan juga untuk

menghitung pengembalian investasi dimana keuntungan dibagi kekayaan bersih

(net worth) sehingga didapatkan hasil pengembalian investasi yang selanjutnya

ditunjukkan dalam bentuk persentase.

1.5.1.3 Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan hal yang terpenting dalam sebuah negara

yang merupakan tujuan hukum. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang

harus diperhatikan, yaitu keadilan (gerechtikeit), kepastian hukum

(rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zweckmasigkeit).16 Gustav Radbruch

menyebutkan ada tiga nilai dasar hukum atau ide dasar hukum yang berarti dapat

dipersamakan dengan asas hukum.17 Sehingga kepastian hukum merupakan tujuan

atau fungsi hukum. Tujuan hukum adalah keadilan (justice), kemanfaatan dari

segi penyelesaian masalah (expediency, suitability) dan kepastian (certainty). Hal

ini dinyatakan oleh Gustav Radbruch, bahwa “…..justice alone does not explain

the content of all legal norms. A second element of the idea of laws is expediency,

15F. John Reh, Return on Investment, URL:

http://management.about.com/cs/adminaccounting/g/returnoninv.htm, diakses tanggal 02 Maret

2104. 16Sudikno Mertokusumo, 2007, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 2. 17Gustav Radbruch : “Einfulrung in dic Rechtswissenchafts”, Stuttgart, KF. Koller,

dikutip dari Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari

Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 35.

23

suitability to a purpose. A third element of the idea of law is legal certainty.”18

(Terjemahan: ……..Keadilan tidak dapat menjelaskan isi dari seluruh norma

hukum. Sebuah unsur kedua dari ide pembentukan hukum adalah kebijaksanaan,

yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan.)

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kepastian hukum adalah salah

satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum, dimana kepastian

hukum adalah asas negara hukum yang menjadi landasan peraturan perundang-

undangan, kepastian dan keadilan dalam penyelenggaraan negara.19

Myres S. McDougal menyatakan bahwa banyak problem hukum

bersumber dari problem ambiguitas konsep, yang intinya satu istilah digunakan

untuk menunjuk beberapa pengertian. Problem ini disebut problem ambiguitas

normatif (normative ambiguity) karena itu setiap konsep yang digunakan dalam

proses kerja hukum harus diklarifikasi. Kejelasan norma (clarity of norm)

merupakan prasyarat berfungsinya norma (Teori Klarifikasi Konsep).

1.5.2 Kerangka Konsep

1.5.2.1. Konsep Hukum Investasi dan Investasi Semi Kelola

Investasi (investment) merupakan kegiatan penanaman modal, baik dalam

bentuk uang ataupun surat berharga, yang digunakan untuk membeli aset. Bentuk

investasi yang dilakukan juga bisa dalam bentuk (a) investasi di bidang

pendidikan; (b) investasi di bidang saham; (c) investasi dalam bentuk mata uang

asing; (d) maupun investasi tanah. Kegiatan investasi atau penanaman modal

18Patterson, Edwin W, 1950, 20th Century Legal Philosophy Series VOA : The Legal

Philosophies of Lask, Radbruch, and Dab, diterjemahkan oleh Wilk, Kurt, Harvard College,

United States of America, hal.17. 19Sudikno Mertokusumo I, op.cit. hal. 145.

24

memiliki pengaturannya sendiri di Indonesia. Pengaturan mengenai kegiatan

investasi atau penanaman modal telah diatur pada Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2007 (selanjutnya disebut UU PM). Istilah investasi ternyata tidak

digunakan dalam UU PM. Istilah yang digunakan adalah penanaman modal

sebagaiaman ternyata dalam Pasal 1 angka 1 UU PM bahwa “Penanaman modal

adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam

negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara

Republik Indonesia.”

Berdasarkan pada pengertian penanaman modal tersebut maka terdapat

unsur-unsur kegiatan penanaman modal, yaitu (a) adanya kegiatan menanamkan

modal; (b) dilakukan oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal

asing; dan (c) melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. UU PM

menyatakan pengertian penanam modal yang terdapat pada Pasal 1 angka 4 UU

PM bahwa “Penanam modal adalah perseorangan atau badan yang melakukan

penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam

modal asing.”

Istilah investasi memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan istilah

penanaman modal. Istilah investasi memiliki istilah yang lebih luas karena

mencakup investasi langsung (direct investment) maupun investasi tak langsung

(portfolio investment). Istilah penanaman modal lebih mengacu kepada investasi

langsung.20

20Ida Bagus Rahmadi Supancana, 2006, Kerangka Hukum & Kebijakan Investasi

Langsung di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 1

25

Jenis investasi dibedakan menjadi dua kategori besar yaitu (a) investasi

langsung (direct investment) dan (b) investasi tidak langsung (indirect

investment). Kegiatan investasi langsung dapat dilakukan dengan mendirikan

perusahaan patungan (joint venture company) dengan mitra lokal; melakukan

kerja sama operasi (joint operation scheme) tanpa membentuk perusahaan baru;

mengonversikan pinjaman menjadi pernyertaan mayoritas dalam perusahaan

lokal; serta memberikan bantuan teknis dan manajerial (technical and

management assistance) maupun dengan memberikan lisensi; dan lain-lain.21

Sedangkan investasi tidak langsung (indirect investment) pada umumnya

merupakan kegiatan menanamkan modal dengan jangka waktu yang cenderung

pendek yang biasanya mencakup kegiatan transaksi di pasar modal dan di pasar

uang.22

Kegiatan penanaman modal atau berinvestasi di Indonesia tidak bisa

terlepas dari segala peraturan dan juga pengaturannya. Hal ini bertujuan untuk

memberikan batasan-batasan, prosedur maupun instruksi terkait bagi penanam

modal (investor) dalam kegiatan investasi, khususnya bisnis investasi semi kelola

di bidang pariwisata. Bisnis investasi semi kelola di bidang pariwisata memang

masih mengalami banyak kekaburan dalam segi pengaturannya sebagaimana yang

telah diuraikan pada latar belakang masalah dan tentunya sebagaiman hal tersebut,

harus diketahui juga landasan konsep maupun hal-hal yang berkaitan dengan

prinsip dasar dalam kegiatan investasi semi kelola ini.

21Ibid., hal 3 22Ibid.

26

Pada tahun 1967 telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang dijadikan dasar bagi para

investor asing untuk berinvestasi di Indonesia; memperbaiki kondisi keuangan di

Indonesia; serta adanya pembatasan bagi investor asing untuk berusaha, bekerja

sama maupun menentukan lokasi usaha. Tahun 1968 kemudian pemerintah

mengeluarkan kebijakan tentang penanaman modal dalam negeri yang bertujuan

untuk mengundang investor dalam negeri untuk turut berpartisipasi dalam

kegiatan berinvestasi; dan tidak adanya pembatasan bagi para investor untuk

melakukan investasi di Indonesia. Aturan-aturan ini terdapat pada masing-masing

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

Kemudian pada tahun 2007 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dimana tujuan dibentuknya undang-

undang ini yaitu :

1) Adanya peningkatan perekonomian nasional ;

2) Menciptakan lapangan pekerjaan maupun peluang usaha baru ;

3) Meningkatkan daya saing di sektor bisnis tingkat nasional ;

4) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat ; dan

5) Meningkatkan kapasitas teknologi nasional.

Kegiatan berinvestasi membutuhkan modal. Modal yang digunakan ini

diperoleh dari investor yang menanamkan modal mereka baik dalam bentuk uang

ataupun bentuk lainnya yang bukan uang, dimiliki oleh penanam modal yang

bernilai ekonomis. Kegiatan bisnis investasi semi kelola di bidang pariwisata

terkait dengan penanam modal, dalam hal ini penanam modal asing, lebih

cenderung berinvestasi untuk membeli sebuah properti di Indonesia sehingga

27

mereka cenderung berinvestasi dalam bentuk uang dibandingkan bentuk modal

lainnya. Hal ini dianggap akan mendatangkan keuntungan dan juga pengembalian

investasi yang cepat dikarenakan adanya perputaran modal dengan indeks

pengembalian investasi secara berkala.

Istilah investasi merupakan istilah yang populer dalam dunia usaha,

sedangkan istilah penanaman modal lazim digunakan dalam perundang-undangan.

Namun pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama,

sehingga kadangkala digunakan secara interchangeable.23

Pengertian investasi atau penanaman modal telah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Berdasarkan

pada Pasal 1 UU PM disebutkan bahwa “Penanaman modal adalah segala bentuk

kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun

penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik

Indonesia.” Hal ini memiliki pengertian bahwa penanaman modal atau investasi

dapat dilakukan oleh penanam modal. Penanam modal atau investor dapat terdiri

dari perseorangan atau individu, badan usaha yang berbentuk badan hukum,

maupun perusahaan multinasional.

Model bisnis investasi dengan bentuk semi kelola atau time share telah

banyak digunakan di Indonesia, khususnya di bidang properti. Pembelian properti

oleh investor dari pihak pengembang atau developer cenderung memberikan

kebebasan waktu bagi investor untuk mempercayakan pengelolaan kepada orang

23Ibid.

28

lain dan untuk selanjutnya dapat dialihkan hak untuk tinggalnya kepada pihak

ketiga.

Daniel Bortz menyatakan bahwa dalam kegiatan berinvestasi semi kelola,

pihak pembeli (investor asing) akan membayar sejumlah uang, menentukan unit

yang diinginkan dan menggunakan unit tersebut untuk waktu yang sama setiap

tahunnya. Hal ini diungkapkan oleh Daniel Bortz, bahwa “With traditional

timeshares, buyers pay a lump sump upfront, which allows them use of a specific

unit at the same time every year….”24 (Terjemahan bebasnya adalah: Dengan

konsep pengembalian investasi yang tradisional, pembeli membayar uang muka

yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk menggunakan unit yang

spesifik dalam waktu yang sama setiap tahunnya).

Setiap kegiatan bertransaksi di Indonesia harus memiliki suatu bukti yang

mengikat dari adanya kegiatan transaksi tersebut yang bisa dibuktikan

kebenarannya. Sebuah perjanjian yang dibuat antarpihak tentunya bisa dijadikan

bukti kuat tersebut. Konsep perjanjian di Indonesia diatur pada Buku III Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW).

Buku III dari Burgerlijk Wetboek mengatur dalam titel 1 sampai dengan titel IV

tentang hal mengenai perjanjian pada umumnya.25

Perjanjian semi investasi atau semi kelola (Return on Investment

Agreement, selanjutnya disebut ROI atau ROI Agreement) merupakan salah satu

model perjanjian yang berkembang di bidang perdagangan jasa pariwisata

24Bortz, Daniel, 2012, Should You Invest a Timeshare?, available at URL :

http://money.usnews.com/money/personal-finance/articles/2012/07/19/should-you-invest-in-a-

timeshare, (sited on 15th of March 2014, at 14.30 WITA). 25Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit Mandar Maju,

Bandung, hal. 6.

29

khususnya di bidang jasa akomodasi. Bisnis investasi semi kelola mulai

berkembang sejalan dengan perkembangan naluri bisnis para wisatawan namun

disertai dengan adanya keterbatasan, pembatasan-pembatasan maupun persyaratan

yang menghambat kegiatan bisnis yang ingin mereka lakukan. Hal-hal yang dapt

menghambat kegiatan bisnis mereka, antara lain (a) keterbatasan waktu; (b)

pembatasan dan persyaratan hukum yang ditentukan oleh negara tujuan bisnis;

dan (c) keterbatasan untuk mengelola.

Kegiatan bisnis semi kelola ini sepenuhnya dapat dikualifikasi sebagai

bentuk kegiatan investasi langsung. Hal ini disebabkan sejumlah uang tertentu

pada pengembang (developer) oleh pembeli tidak mengakibatkan peraihan

property dari pengembang ke pembeli melainkan pembeli menyerahkan kembali

pengelolaan properti yang dibelinya sebagai obyek pengelolaan oleh pengembang

dengan tujuan untuk mendapat pengembalian uang yang dibayarkan oleh pembeli.

Dalam kegiatan investasi semi kelola, pengembalian investasi yang didapatkan

mencakup pokok uang yang dibayarkan ditambah dengan keuntungan (profit)

yang dihasilkan dari pengelolaan tersebut sehingga ROI adalah investasi.

Berdasarkan pada uraian konsep tersebut diatas, maka ROI dapat

dikonstruksikan sebagai bisnis semi kelola dimana pembelian sebuah unit

akomodasi dalam konstruksi ROI bukan pembelian dalam arti sesungguhnya

melainkan di oleh pembeli diserahkan kembali kepada pengembang atau pihak

lain untuk dikelola. Hal berikutnya yang menjadikan ROI sebagai bisnis semi

kelola adalah adanya hak kelola oleh pengembang atau pihak lain, yang ditunjuk

pembeli, atas unit yang dijualnya kepada pembeli yang oleh pembeli kembali

30

diserahkan kepadanya untuk dikelola, tidak menimbulkan hak pengelolaan dalam

arti penuh. Berdasarkan kesepakatan antara pembeli dengan pengembang atau

pihak yang ditunjuk, dimana pengelolaannya ditujukan semata-mata untuk

pengembalian harga beli ditambah keuntungan.

Bisnis investasi semi kelola mengadopsi skema time share, berkaitan

dengan hak kelola, yang memberikan hak penuh kepada pembeli untuk

menggunakan unit yang dibelinya yang kemudian digunakan pada masa-masa

tertentu sesuai dengan kesepakatan. Hak untuk menggunakan unit yang dibelinya

mencakup hak untuk mengalihkan kembali penggunaan secara komersial antara

pembeli dengan pihak ketiga.

1.5.2.2. Konsep Perjanjian

Perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum bagi para pihaknya

mengatur tentang pengertian perjanjian diatur pada Pasal 1313 KUH Perdata yaitu

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Suatu perjanjian harus

memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu,

dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.26 Syarat sahnya kontrak ini harus dipenuhi oleh

para pihak untuk menghindarkan mereka dari permasalahan yang nantinya bisa

timbul.

Sahnya sebuah perjanjian oleh Mariam Darus Badrulzaman harus

memiliki empat unsur yang harus dipenuhi oleh para pihak, yaitu :

26Suharnoko, 2007, Hukum Perjanjian “Teori dan Analisa Kasus”, Kencana Predana

Media Group, Jakarta, hal. 1.

31

(1) sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya ;

(2) cakap untuk membuat suatu perjanjian ;

(3) suatu hal tertentu ;

(4) suatu sebab yang halal.27

Empat syarat yang diatur ini dibagi menjadi dua syarat yaitu syarat subjektif dan

syarat objektif. Syarat subjektif merupakan dua syarat yang ditujukan bagi para

pihak yaitu dua syarat pertama sedangkan syarat objektif merupakan dua syarat

terakhir yang berkaitan dengan objek dari kontrak tersebut.

Unsur pertama dalam Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa sepakat

mereka untuk mengikatkan dirinya. Hal ini memberi pengertian bahwa para pihak

yang terlibat dalam pembuatan perjanjian haruslah mereka yang memang mereka

yang berkepentingan di dalamnya serta saling menyatakan sepakat untuk

mengikatkan diri antarmasing-masing pihak. Unsur kedua menyatakan bahwa

harus cakap untuk membuat suatu perjanjian. Tentunya unsur ini berkaitan dengan

syarat seseorang yang bisa membuat sebuah perjanjian maupun menjadi para

pihak yang terlibat di dalam perjanjian tertentu.

Terdapat beberapa syarat apabila seseorang tidak bisa menjadi seorang

pihak dalam pembuatan sebuah perjanjian. Berdasarkan pada Pasal 1330 KUH

Perdata menyatakan bahwa orang-orang yang belum dewasa serta orang-rang

yang berada di bawah pengampuan tentunya tidak bisa membuat perjanjian

maupun menjadi pihak yang terikat pada sebuah perjanjian. Unsur ketiga adalah

suatu hal tertentu. Tentunya dalam sebuah perjanjian yang dibuat oleh para pihak

27Mariam Darus Badrulzaman, 1998, “Kerangka Dasar Hukum Perjanjian (Kontrak)”

dalam Hukum Kontrak di Indonesia, Proyek Elips, hal.1.

32

harus menyatakan adanya obyek yang dijadikan tujuan pengikatan perjanjian

tersebut. Tentunya obyek perjanjian harusnya sesuatu yang benar telah disepakati

dan tidak bertentangan dengan dari seseorang yang seharusnya memilikinya.

Unsur keempat adalah suatu sebab yang halal. Unsur keempat ini adalah unsur

yang menjadi tujuan dari para pihak dan juga diperintahkan oleh undang-undang.

Obyek perjanjian haruslah sebuah sebab yang memang tidak dipertentangkan oleh

undang-undang dan yang pasti harus merupakan hal yang sesuai dengan akhlak,

moral dan rasa dalam menyatakan obyek tersebut adalah suatu hal yang halal.

Setiap orang yang ingin mengadakan sebuah perjanjian bisa melakukannya

dengan siapa saja. Hal ini berkaitan dengan aturan dari undang-undang dimana

pihak yang akan diajak melakukan perjanjian adalah mereka yang tidak dilarang

oleh undang-undang. Dalam melakukan perjanjian, pihak-pihak yang terlibat

dalam perjanjian tersebut bisa bertindak untuk kepentingan dan atas nama sendiri,

namun dapat pula bertindak atas nama sendiri, namun untuk kepentingan orang

lain bahkan dapat bertindak untuk kepentingan dan atas nama orang lain.28

Dalam Hukum Kontrak dikenal banyak asas, diantaranya adalah sebagai

berikut :29

(a) Asas konsensualisme, sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan

untuk lahirnya kesepakatan ;

(b) Asas kebebasan berkontrak, merupakan salah satu asas yang sangat penting

dalam hukum kontrak. kebebasan berkontrak memberikan jaminan

kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang

berkaitan dengan perjanjian ;

(c) Asas pacta sunt servanda (asas mengikatnya kontrak), setiap orang yang

membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena

28Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal. 7. 29Ibid, hal. 3.

33

kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji

tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.

(d) Asas itikad baik, merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum

perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat

(3) KUH Perdata bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad

baik.

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu

kontrak.30 Sebuah kesepakatan dapat terjadi apabila para pihak bersedia untuk

saling mengikatkan diri satu sama lain dengan cara tertulis, secara lisan, dengan

berbagai simbol, bahkan dengan berdiam diripun seseorang dianggap telah

sepakat.

Syarat lainnya untuk mengadakan sebuah perjanjian adalah para pihak

harus cakap. Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan kontrak

jika orang tersebut belum berumur 21 tahun kecuali jika ia telah kawin sebelum

cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh

hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh dibawah

pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros.31

Sementara pengertian dalam Pasal 1330 KUH Perdata, ditentukan bahwa

tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :

1. orang-orang yang belum dewasa;

2. mereka yang ditaruh dibawah pengampuan ;

3. orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang;

dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah

melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Berkaitan dengan adanya pembedaan dalam angka 3 (tiga) Pasal 1330

KUH Perdata mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-

30Ibid, hal. 14.

31Ibid, hal. 29.

34

undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki telah

disamakan dalam hal membuat perjanjian sedangkan untuk orang-orang yang

dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjajian tertentu sebenarnya tidak

tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang membuat

perjanjian tertentu.32

Suatu obyek yang ada di dalam sebuah perjanjian harus jelas dan juga

ditentukan oleh para pihak. Objek tersebut dapat berupa barang maupun jasa,

namun dapat juga tidak berbuat sesuatu.33 Objek yang nantinya akan dimuat

dalam klausula perjanjian harus telah dilakukan suatu penghitungan,

pengukuruan, penimbangan ataupun menakarnya. Apabila obyeknya berkaitan

dengan jasa, haruslah dijelaskan dalam perjanjian mengenai apa saja yang harus

dilakukan oleh salah satu pihak.

Perjanjian yang berkembang di dalam masyarakat tidak dapat dihitung

jumlahnya karena sebagian besar perjanjian ini lahir dari kebutuhan masyarakat

akan adanya jenis kontrak yang diinginkan. Salah satu jenis kontrak yang lahir

dari adanya keinginan dari para pihaknya adalah perjanjian bisnis semi kelola.

Kegiatan penanaman modal biasanya didukung oleh beberapa faktor, yaitu

(1) sistem politik dan ekonomi negara yang bersangkutan; (2) jumlah dan daya

beli penduduk sebagai calon konsumennya; (3) tanah sebagai tempat usaha; serta

(4) perundang-undangan dan hukum yang mendukung jaminan usaha. Hal

tersebut diatas yang biasanya menjadi pertimbangan bagi para investor, terutama

32Ibid, hal. 29-30. 33Ibid, hal. 30.

35

investor asing, karena kemungkinan timbulnya risiko yang bisa menimbulkan

kerugian bagi para investor yang pastinya sangat tidak diinginkan oleh para

investor tersebut dan mendapatkan keuntungan yang juga lebih optimal. Para

penanam modal atau investor biasanya mempertimbangkan banyak hal dalam

melakukan kegiatan investasi di negara lain. Hal ini tentunya merupakan tuntutan

dari para investor asing yang memiliki keinginan adanya jaminan dalam

berinvestasi dari negara tujuan investasi. Di samping itu, jaminan investasi

haruslah menghasilkan keuntungan-keuntungan.

Bagi para calon investor, biasanya menuntut adanya berbagai transparansi

dalam proses-proses penanaman modal yang menciptakan sebuah kepastian

hukum serta tidak membingungkan para calon investor asing. Ketentuan-

ketentuan di dalam KUH Perdata dapat diklasifikasi atas ketentuan-ketentuan

yang bersifat umum dan ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus. Sementara

ketentuan-ketentuan di luar KUH Perdata juga dapat diklasifikasi secara

demikian, namun dengan beberapa perkecualian berkenaan dengan ketentuan

ketentuan yang hanya memuat ketentuan yang bersifat umum saja atau

sebaliknya.34

Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan. Tentunya

kesepakatan ini memegang peran yang penting dalam pembentukan sebuah

perjanjian. Para pihak yang tidak menyatakan kesepakatan tentunya tidak akan

bisa membentuk sebuah perjanjian.

34Ida Bagus Rahmadi Supancana, Et. Al., 2009, Studi Formulasi Tentang Hukum Ekonomi

yang Terkait dengan Iklim Investasi di Indonesia, Japan International Cooperation Agency (JICA)

Indonesia Office dan Center For Regulatory Research, Jakarta, hal. 254.

36

Kesepakatan adalah proses yang timbul setelah adanya kegiatan

penawaran dan penerimaan. Biasanya para pihak akan menyepakati harga dan

obyek (barang atau jasa) yang ditawarkan salah satu pihak. Apabila salah satu

pihak menawarkan sesuatu dengan jumlah harga tertentu maka pihak satunya akan

memberikan tawar-menawar harga. Apabila telah disepakati mengenai harga yang

sesuai menurut para pihak maka transaksi akan langsung dilakukan baik dengan

maupun tanpa adanya perjanjian.

Menjelaskan sebuah kesepakatan dalam suatu transaksi dalam bidang

investasi tentunya berkaitan dengan beberapa asas, doktrin dan juga teori-teori

terkait dengan pembuatan perjanjian dengan model semi kelola di Indonesia

identik dengan kegiatan yang diawali dengan perjanjian sewa-menyewa. Pasal

1548 KUH Perdata menyatakan bahwa:

Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu

menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama jangka

waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar

harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang

ditentukan.

Adapun kewajiban para pihak terdiri dari pihak yang menyewakan serta pihak

yang menyewa. Adapun kewajiban dari pihak yang menyewakan sesuai dengan

Pasal 1550 KUH Perdata, yaitu :

a. Menyerahkan barang yang disewakan sebagaimana kepada si penyewa;

b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa, hingga barang itu

dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;

c. Memberikan si penyewa kenikmatan yang menenteramkan terhadap

barang yang disewakan, selama berlangsungnya sewa.

Sedangkan kewajiban pihak penyewa sebagaimana berdasarkan pada Pasal

1560 KUH Perdata yaitu :

37

a. Untuk memakai barang yang disewa, sesuai dengan tujuan yang diberikan

pada barang itu menurut persetujuan sewanya;

b. Untuk membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

Mengenai risiko dalam hal sewa-menyewa telah diatur dalam Pasal 1553 KUH

Perdata yaitu :

a. Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah

karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa gugur

demi hukum;

b. Jika barangnya hanya sebagian yang musnah, si penyewa dapat memilih

menurut keadaan, apakah ia meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia

akan meminta pembatalan persetujuan sewa, tetapi tidak dalam satu dari

kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi.

Berdasarkan pada hal tersebut maka bisa dikatakan bahwa kegiatan

berinvestasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari aturan-aturan yang ada, dalam

hal ini terkait dengan aturan-aturan tentang penanaman modal asing, penanaman

modal dalam negeri serta regulasi terbaru tentang penanaman modal di tahun

2007. Aturan inilah yang bisa digunakan untuk menjabarkan konsep

pengembalian investasi atau return on investment yang didalamnya terkandung

unsur kegiatan berinvestasi dengan sistem timeshare serta kegiatan bisnis properti

yang banyak diminati wisatawan asing, dalam hal ini memiliki korelasi juga

dengan ketertarikan mereka dengan pariwisata Indonesia, khusunya di Bali.

1.5.2.3. Konsep Pariwisata

Pariwisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh wisatawan

(orang yang melakukan perjalanan wisata). Wisatawan memiliki tujuan untuk

berwisata ke daerah-daerah tujuan, baik dalam negeri maupun ke luar negeri.

Wisatawan pun terdiri dari dua jenis, yaitu wisatawan asing dan wisatawan

38

domestik. Pengaturan mengenai Pariwisata di Indonesia telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (selanjutnya

disebut UU Kepariwisataan). Undang-Undang Kepariwisataan mengatur tentang

pengertian dari Pariwisata yang diatur pada Pasal 1 angka 3 dimana Pariwisata

adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta

layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah

daerah.

Pengertian tentang Pariwisata menurut Kusmayadi dan Endar Sugiarto

menyatakan bahwa Pariwisata adalah suatu kegiatan melakukan perjalanan dari

rumah dengan maksud tidak melakukan usaha atau bersantai.35 Umumnya

pariwisata, juga yang berkembang di seluruh dunia, akan memiliki keterkaitan

dengan kegiatan bisnis dimana bisnis yang berkembang pada umumnya adalah

adanya penyediaan barang dan jasa pariwisata. Barang dan jasa ini yang nantinya

akan dijadikan bisnis kepada para wisatawan dan selanjutnya bisa membantu

menghitung setiap pengeluaran mereka dalam perjalanan wisatanya untuk

menghitung pendapatan masyarakat maupun pemerintah.

Institut of Tourism in Britain (sekarang telah berubah menjadi Tourism

Society in Britain) menyatakan bahwa Pariwisata adalah kepergian orang-orang

untuk sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan di luar

tempat tinggal dan tempat bekerja sehari-hari, serta kegiatan-kegiatan mereka

selama berada di tempat-tempat tujuan tersebut.36 Yang dimaksud dengan tempat-

35Kusmayadi dan Endar Sugiarto, 2001, Metodologi Penelitian dalam Bidang

Kepariwisataan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 4. 36Ibid. hal. 5.

39

tempat tujuan di luar tempat tinggal dan tempat bekerja sehari-hari yaitu sebuah

tempat, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang berada di luar daerah

tempatnya tinggal dan memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Hal ini tidak

menutup kemungkinan bagi para wisatawan yang ingin mengunjungi obyek

wisata yang ada di wilayahnya dan bisa dimanfaatkan sebagai tempat berwisata

atau berlibur.

Gareth Shaw dan Allan M. Williams mendefinisikan Pariwisata (tourism)

yaitu “Tourism is a particularly potent agent of cultural change, especially of

internationalization…” (Terjemahan: Pariwisata adalah sebagian dari agen yang

bersifat potensial untuk pertukaran budaya, khususnya dalam hal memperkenalkan

budaya ke dunia internasional (internasionalisasi). Bisa dikatakan bahwa

pariwisata pun memiliki potensi untuk membantu pemerintah dan masyarakat

suatu daerah untuk memperkenalkan kebudayaan yang mereka miliki khususnya

kepada wisatawan asing. Lebih jauh Gareth Show dan diperkuat oleh pernyataan

dari Allan M. Williams menambahkan sebuah pernyataan bahwa “Tourism is an

important element of international trade and not surprisingly, has attracted the

interest of national governments.”37 (Terjemahan: Pariwisata adalah elemen

penting dari perdagangan internasional dan tidak mengherankan karena telah

menarik perhatian pemerintah suatu negara.) Hal ini semakin memperkuat

pernyataan-pernyataan maupun pengertian-pengertian akan pentingnya pariwisata

bagi suatu negara.

37Ibid., hal. 26.

40

Burkart dan Medlik menambahkan dampak positif pariwisata dengan

menyatakan “Tourism generates wealth and employment”.38 (Terjemahan:

Pariwisata meningkatkan kekayaan dan pekerjaan). Burkart dan Medlik

mengartikan pariwisata yang memiliki suatu manfaat yang sangat besar.

Berdasarkan pada pernyataannya tersebut diatas maka pariwisata juga mampu

meningkatkan pendapatan dan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang

dibutuhkan. Hal ini berarti pariwisata bisa membantu menurunkan jumlah

pengangguran di sebuah negara.

Mill dan Morrison sebagaimana dikutip dari buku karangan Peter M. Burns

dan Andrew Holden dengan judul Tourism A New Perspective menyatakan bahwa

“Tourism as a system, seen as comprising four parts : market, travel, destination

and marketing.”39 (Terjemahan: Pariwisata adalah sebuah sistem, dilihat dari

empat bagiannya : pasar, perjalanan wisata, tujuan wisata dan pemasaran).

Pernyataan ini semakin menunjukkan bahwa pariwisata pun digunakan sebagai

sarana memasarkan barang maupun jasa kepada wisatawan yang akan melakukan

perjalanan wisata.

Menurut Kusmayadi, pariwisata memiliki 4 (empat) komponen yang

menjadi bagian dari industri pariwisata, yaitu : (1) wisatawan; (2) industri

pariwisata; (3) lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan; dan (4) sektor

pemerintahan. Berdasarkan komponen tersebut, pariwisata memiliki sebuah

konsep yang terdiri dari 3 (tiga) konsep utama bidang pariwisata. Ketiga konsep

38Burkart and Medlik, 1981, Tourism “Second Edition”, Heinemann, London, hal. 5 39M. Burns, Peter and Holden, Andrew, 1995, Tourism “A New Perspective”, Prentice

Hall, Britain. hal. 19

41

pariwisata tersebut, yaitu (1) penyedia jasa pariwisata; (2) jasa-jasa pariwisata;

dan (3) konsumen jasa pariwisata. Penyedia jasa pariwisata adalah perseorangan

maupun perusahaan berbadan hukum yang menyediakan jasa pariwisata.

Sedangkan jasa-jasa pariwisata adalah seluruh kegiatan bisnis yang berkaitan

dengan pariwisata serta meliputi seluruh kegiatan penyediaan jasa (services) yang

dibutuhkan oleh wisatawan.40 Terdapat beberapa jasa di bidang pariwisata yang

bersifat utama, yaitu (1) jasa perjalanan dan transportasi; (2) penginapan; (3) jasa

boga; (4) rekreasi; dan jasa-jasa yang terkait seperti jasa informasi,

telekomunikasi, penyediaan tempat dan fasilitas untuk kegiatan tertentu,

penukaran uang dan jasa hiburan.41

Pengertian konsumen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik

bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup dan

tidak untuk diperdagangkan. Sehingga konsumen jasa pariwisata adalah para

wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing yang

menggunakan jasa-jasa pariwisata yang disediakan oleh para penyedia jasa

pariwisata. Konsep pariwisata ini akan selalu berkaitan seiring dengan kegiatan-

kegiatan bisnis pariwisata yang masih menarik perhatian para wisatawan tersebut.

40Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama,

Bandung. hal. 17. 41Ibid., hal. 18-19.

42

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Penulisan tesis ini akan menggunakan penelitian hukum normatif

(normative legal research) yaitu penelitian yang dilakukan beranjak dari adanya

kekosongan yang telah dibahas dalam latar belakang masalah terkait adanya

kekosongan hukum pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian

terkait atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian

normatif disebut sebagai penelitian doktrinal karena obyek kajiannya adalah

dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.

Penelitian hukum normatif ini akan digunakan untuk menelaah peraturan

tentang bisnis investasi pengembalian invetasi di bidang pariwisata (return on

investment at the tourism sector). Hal terkait lainnya adalah penelitian normatif

ini akan memakai pendekatan perundang-undangan dengan meneliti peraturan

perundangan-undangan di Indonesia terkait dengan tema penelitian ini.42

1.6.2 Jenis Pendekatan

Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian

yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-

undangan (the statute approach) yang digunakan untuk meneliti aturan-aturan

tentang bentuk investasi semi kelola di bidang pariwisata. Pendekatan perundang-

undangan (statute approach) yaitu pendekatan yang dilakukan untuk mampu

mengkaji regulasi yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang

ditangani. Pendekatan kedua adalah Pendekatan Analisis Konsep Hukum

42Johny Ibrahim, 2010, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Bayumedia, Malang, hal. 32.

43

(analytical and conceptual approach). Pendekatan ini bertujuan untuk

memberikan sebuah pandangan hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi dan

selanjutnya akan menemukan gagasan yang bisa membantu menegaskan konsep

hukum yang telah ada yang tentunya relevan dengan isu yang dihadapi.43

Pendekatan ketiga adalah pendekatan komparatif. Pendekatan ini digunakan untuk

meneliti model-model pengelolaan investasi dengan membandingkan model-

model pengelolaan investasi dalam penelitian ini.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dikenal dalam pembuatan karya tulis di

Indonesia dibagi menjadi dua macam, yaitu Library Research dan Field’s

Research. Library Research adalah teknik pengumpulan penelitian yang

bersumber dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier, sedangkan Field’s

Research merupakan bahan hukum penunjang berupa data yang bertujuan untuk

menunjang bahan-bahan hukum pada library research. Soerjono Soekanto dan Sri

Mamudji, menyatakan bahwa suatu penelitian hukum normatif mengandalkan

pada penggunaan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tertier.44

1.6.3.1 Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.45

Penulisan ini menggunakan bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor

43Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, hal. 93-95. 44Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13. 45Ibid, hal. 31.

44

25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2009 tentang Kepariwisataan.

1.6.3.2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.46 Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah

literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur hukum,

buku teks (textbook) yang ditulis oleh para ahli, jurnal hukum yang berkaitan

dengan topik penelitian, hasil-hasil penelitian dan artikel-artikel yang

berhubungan dengan investasi semi kelola di bidang pariwisata.

1.6.3.3 Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadapa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus hukum, ensiklopedia.47 Bahan hukum tertier ini dapat membantu

memberikan suatu pengertian dan penjelasan mengenai bahasa hukum serta

istilah-istilah hukum lainnya.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan

ini adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan sebuah penelaahan

peraturan perundang-undangan yang terkait, kontrak atau perjanjian terkait, serta

buku-buku, melalui media internet dan literatur sebagai bahan bacaan.

46Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal. 113. 47Moh. Nazir, 1988, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 246.

45

Studi kepustakaan bisa ditelaah melalui bahan-bahan hukum yang pokok,

yaitu undang-undang dalam arti materiil dan formal, hukum kebiasaan dan hukum

adat yang tercatat, yurisprudensi yang konstan, traktat dan doktrin, juga bahan-

bahan lainnya seperti dokumen pribadi, surat-surat, perjanjian (kontrak), surat

kabar, majalah, maupun dokumen pemerintah.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis terhadap bahan-bahan hukum tersebur dilakukan dengan cara

deskriptif analitis dimana sumber bahan hukum yang diperoleh dari peraturan

perundang-undangan, literatur serta bahan hukum sekunder dan tertier lainnya

akan disajikan secara desktiptif kemudian dilakukan analisa terkait dengan topik

penulisan ini. Bahan-bahan hukum yang telah diolah tersebut untuk selanjutnya

akan dianalisa dengan cara dijabarkan atau diinterpretasikan menggunakan

metode interpretasi hukum. Interpretasi yang digunakan yaitu interpretasi

gramatikal, interpretasi sistematis yang selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-

teori relevan dan dikaitkan dengan permasalahan hukum yang ada. Selanjutnya

hasil analisis akan digunakan untuk menarik simpulan secara sistematis. Simpulan

ini bertujuan untuk tidak menimbulkan kontradiksi antarbahan hukum yang

digunakan.