BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017-04-01 · kepentingan debitor dalam proses...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017-04-01 · kepentingan debitor dalam proses...
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Lembaga kepailitan merupakan lembaga yang memiliki fungsi dasar
sebagai lembaga untuk melindungi secara seimbang kepentingan kreditor dan
kepentingan debitor dalam proses penyelesaian utang piutang.1 Filosofi
lembaga kepailitan adalah sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan
permasalahan utang-piutang antara debitor dan kreditor, karena utang-utang
debitor lebih besar daripada asetnya sehingga tidak mampu membayar lunas
utang-utangnya.2 Melalui proses kepailitan penyelesaian utang-piutang antara
debitor dan kreditor dapat diselesaikan secara adil, dan memberikan jaminan
kepastian hukum.
Pailit adalah suatu keadaan dimana debitor tidak mampu lagi
melakukan pembayaran utang kepada para kreditornya.3 Ketidakmampuan
debitor tersebut terjadi karena utang-utangnya lebih besar daripada aset-
asetnya. Berbeda dengan pailit, kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas, dengan tujuan
1Man S. Sastrawidjaja, 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, PT. Alumni, Bandung, h.72
2Sunarmi, 2010, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, edisi 2, PT.
Sofmedia, Jakarta, h.v. 3M. Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,
Prenadha Media Grup Jakarta, hal.1.
2
2
utamanya menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar semua utang-
utang debitor pailit secara proporsional.
Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata untuk menjamin hak-hak kreditor
atas imbalan prestasi yang diberikan kepada debitor. Lembaga kepailitan merupakan realisasi
dari dua asas pokok hukum perdata yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH
Perdata.4
Pasal 1131 KUH Perdata menentukan:
Segala kebendaan si-berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya perseorangan.
Ketentuan tersebut menunjukkan, bahwa setiap debitor bertanggung jawab terhadap utang-
utangnya. Tanggung jawab tersebut dijamin dengan harta yang ada dan yang akan ada
dikemudian hari, baik harta yang bergerak maupun harta yang tidak bergerak. Ketentuan tersebut
didasarkan pada asas tanggung jawab terhadap utang. Asas ini diperlukan dalam upaya untuk
memberikan rasa tanggung jawab kepada para debitor supaya melaksanakan kewajibannya, dan
tidak merugikan kreditornya. Asas ini juga dimaksudkan untuk melindungi kepentingan kreditor,
supaya seimbang dengan kewajiban yang sudah dilakukannya terhadap debitor yaitu
memberikan pinjaman berupa uang.5
Ketentuan dan asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUH Perdata adalah, setiap
debitor agar menyadari bahwa perbuatannya meminjam uang kepada kreditor membawa akibat
yang berupa keadaan yang bersangkutan mempunyai utang dijamin dengan segala
kebendaannya, baik yang ada maupun yang akan ada di kemudian hari, baik yang bergerak
4Soemarti Hartono, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Seksi Hukum Dagang Fak.
Hukum UGM, Yogyakarta, hal. 56 5Man S. Sastrawijaya, op.cit. hal.75.
2
3
3
maupun yang tidak bergerak. Oleh karena itu, yang bersangkutan harus menyadari pula bahwa
apabila kewajibannya membayar utang tidak dilaksanakan pada waktunya, maka segala
kebendaanya akan disita, dan selanjutnya akan dilelang.
Pasal 1132 KUH Perdata menentukan:
kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang-orang yang
menghutangkan, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagikan kepada para kreditornya
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila
diantara para berpiutang ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Ketentuan tersebut mengandung beberapa hal dalam hubungan dengan utang-piutang, yaitu:
a. jaminan kebendaan berlaku terhadap semua kreditor;
b. apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya, kebendaan tersebut akan dijual;
c. hasil penjualan, dibagi-bagikan kepada para kreditor berdasarkan besar kecilnya piutang
(asas keseimbangan atau pondspondsgewijs);
d. terdapat kreditor yang didahulukan dalam memperoleh bagiannya (kreditor preferent dan
kreditor separatis).
Krisis moneter Tahun 1999 yang melanda beberapa Negara Asia, termasuk Indonesia,
berdampak pada para pengusaha Indonesia tidak mampu lagi membayar utang-utang mereka,
bahkan ada yang berhenti membayar utang mereka yang telah jatuh waktu.6 Kebijakan
pemerintah untuk mengatasi keadaan tersebut, dilakukan dengan memberlakukan pranata hukum
kepailitan. Pranata hukum kepailitan yang sudah ada, yaitu Faillisementsverordening Stb. Tahun
1905 No. 217 jo Stb. Tahun 1906 No.348 (selanjutnya disebut FV), sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah Indonesia
menjalin bekerja sama dengan International Monetery Fand (IMF) untuk melakukan perubahan
terhadap FV. Perubahan terhadap perauran kepailitan tersebut dilakukan dengan membuat
6Mutiara Hikmah, 2007, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Perkara-Perkara Kepailitan, PT.Refika
Aditama, Bandung, hal.1
4
4
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), No. 1 Tahun 1998,Tentang Perubahan
terhadap Undang-Undang Kepailitan. Selanjutnya Perpu No.1 Tahun 1998 tersebut ditetapkan
sebagai undang-undang dengan UU No.4 Tahun 1998. Perubahan tersebut ternyata juga belum
dapat memenuhi perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya dibuatlah Undang-
Undang Kepailitan yang baru, yaitu Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU ).
Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU No. 37 Tahun 2004) menentukan:
debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik
atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas agar debitor dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan
harus memenuhi syarat-syarat untuk dinyatakan pailit, yaitu:
a. debitor mempunyai dua atau lebih kreditor;
b. debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.
Syarat yang pertama yaitu, debitor mempunyai dua atau lebih kreditor. Syarat tersebut
telah sesuai dengan tujuan kepailitan, yaitu mekanisme pendistribusian aset debitor secara
proporsional terhadap para kreditor karena ketidakmampuan debitor melaksanakan kewajiban
membayar utang. Jika debitor hanya mempunyai satu kreditor saja maka tidak ada pembagian
aset, oleh karena itu tidak ada proses kepailitan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa keadaan
berhenti membayar tidak ada, dalam hal demikian dapat menggunakan penyitaan yang hanya
satu-satunya itu, yaitu sita jaminan (conservatoire beslag), bukan melalui sita umum.7 Sita
umum yaitu, sita terhadap seluruh aset milik debitor untuk kepentingan semua kreditor-
kreditornya melalui proses kepailitan, sedangkan sita jaminan (conservatoire beslag) adalah sita
7Hadi Subhan, 2008, op. cit. hal. 7
5
5
terhadap barang milik debitor yang menjadi agunan utang debitor kepada kreditornya,
tujuannyan agar barang agunan tersebut tidak disingkirkan.8 Syarat yang kedua yaitu debitor
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Ketentuan
tersebut tidak mensyaratkan debitor tidak membayar utangnya kepada semua kreditor-
kreditornya, melainkan cukup apabila debitor memiliki lebih dari satu kreditor dan debitor tidak
membayar lunas utang tersebut kepada sedikitnya satu kreditor.
Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU No.37 Tahun 2004 menentukan:
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.
Apabila ketentuan Pasal 8 ayat (4) tersebut dicermati dapat dipahami bahwa, ketentuan tersebut
telah memperkuat keberlakuan Pasal 2 ayat (1) dan menutup kemungkinan penerapan ketentuan-
ketentuan mengenai PKPU. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa, syarat-syarat debitor untuk
dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan sangat sederhana. Ketentuan persyaratan permohonan
pailit memudahkan debitor dinyatakan pailit, walaupun sebenarnya dalam keadaan solven. Oleh
karena itu dikatakaan bahwa UUK dan PKPU , lebih berpihak kepada kreditor.9 Keberpihakan
demikian itu pada hakikatnya merupakan bentuk penyimpangan fungsi lembaga kepailitan yang
ada dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU yang substansinya mengatur tentang syarat-syarat
kepailitan, tidak sejalan dengan asas hukum kepailitan yang diterima secara universal.10
Asas
8 Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Penerbit, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 339 9 Hikmahanto Juwana, 2004, “Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23,
No.2, hal. 58. 10
Sutan Remy Sjahdeini, .2008, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan, Grafiti, Jakarta, hal.40
6
6
universal yang dimaksud di sini adalah asas ketidakmampuan debitor. Substansi Pasal 2 ayat (1)
UUK dan PKPU , tidak memuat ketidakmampuan debitor sebagai syarat permohonan pernyataan
pailit. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, tidak sesuai dengan filosofi lembaga
kepailitan.11
Filosofi lembaga kepailitan adalah sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan
permasalahan utang-piutang antara debitor dan kreditor karena utang-utang debitor lebih besar
daripada asetnya, sehingga debitor tidak mampu membayar lunas utang-utangnya.
Kasus kepailitan Batavia Air terjadi karena adanya persaingan tidak sehat, bukan karena
perusahaan tersebut mengalami kesulitan financial. Persoalan mengenai persaingan tidak sehat
tersebut terlihat dari jumlah calon penumpang dengan potensi penumpang yang ada dan
perusahaan penerbangan yang saling memperebutkan para penumpang.12
Kasus ini pada
hakikatnya merupakan bentuk penyimpangan fungsi lembaga kepailitan pada tataran putusan
Pengadilan Niaga. Debitor (Batavia Air) dinyatakan pailit oleh pengadilan padahal tidak
mengalami masalah kesulitan financial, debitor dalam keadaan solven.
UUK dan PKPU, ditafsirkan keliru oleh sebagian kalangan. Kekeliruan interpretasi itu
menyebabkan terjadinya penyimpangan fungsi lembaga kepailitan. Seorang anggota tim perumus
UUK dan PKPU, menyatakan kecewa karena telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan
undang-undang tersebut.13
Penyimpangan fungsi lembaga kepailitan, telah meresahkan badan usaha-badan usaha
pariwisata, terutama hotel-hotel. Sekelompok orang telah menggunakan ketentuan Pasal 2 ayat
11
Ibid 12
www.http//kompasiana.com/bisnis/2013/08/15/pelajaran-dibalik-pailit-batavia-air-bagian-l.diakses hari rabu,tgl.
19-3-201 14.jam 16.00 wita.
13http://metrobali. com/201 2/07/3 1/yusril-uu-kepailitan-keliru-ditafsirkan (diakses hari rabu tanggal 27
Nopember 2013, jam 13.00.
7
7
(1) UUK dan PKPU, untuk mempailitkan hotel-hotel yang masih “sehat” (solven), salah satunya
adalah Hotel Aston Resort and Spa, Tanjung Benoa, Kuta, hingga mengalami kerugian besar.14
UUK dan PKPU , saat ini hanya dimanfaatkan untuk melakukan kejahatan oleh oknum tertentu,
Hotel Bali Kuta Residen (BKR) Kuta salah satu korban penyimpangan lembaga kepailitan.15
UUK dan PKPU, sudah selayaknya dirubah karena banyak celah yang dapat dimanfaatkan
oknum untuk menyalahgunakan lembaga kepailitan, sehingga fungsinya menyimpang.16
Fungsi
lembaga kepailitan bukan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan debitor yang
tidak mampu membayar utang-utangnya, karena utang-utangnya lebih besar daripada asetnya,
melainkan dipergunakan sebagai sarana untuk membangkrutkan debitor yang solven.
Mudahnya mempailitkan suatu perusahaan, merupakan pintu masuk bagi pihak tertentu untuk
mengambil keuntungan dari kelemahan formulasi norma undang-undang kepailitan. Kelemahan
formulasi norma undang-undang itu dipergunakan sebagai alat untuk menjatuhkan perusahaan-
perusahaan yang sesungguhnya masih dalam kategori “sehat” (solven).17
Persyaratan
permohonan pernyataan pailit yang sangat sederhana mengakibatkan bukan hanya debitor yang
tidak mampu saja yang dipailitkan, melainkan juga debitor yang secara financial “sehat”
(solven) atau mempunyai banyak aset, namun karena kreditor juga mempunyai utang pada
debitor kemudian tidak mau membayar utangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan.18
Praktek demikian itu menunjukkan bahwa UUK dan PKPU No.37 Tahun 2004 tidak
membedakan antara konsep “pailit” dengan “tidak mau membayar” utang karena alasan tertentu.
Misalnya debitor tidak mau membayar utang karena kreditor juga mempunyai utang kepada
debitor. Keadaan tersebut di atas merupakan bentuk penyimpangan fungsi lembaga kepailitan.
14
Ibid 15
Ibid 16
Ibid 17
Ibid 18
Hikmahanto Juwana, op.cit. hal 61
8
8
Dipailitkannya debitor-debitor perusahaan yang solven tidak hanya merugikan debitor itu
sendiri, melainkan juga merugikan para stakeholders, misalnya para karyawan dan pemegang
saham dari perusahaan yang dinyatakan pailit. Di samping itu dapat berpotensi menimbulkan
dampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi makro dan dapat mengurangi
tingkat kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Fenomena dipailitkannya debitor-debitor (perusahaan) yang solven, dan mempunyai aset yang
nilainya lebih besar daripada utang-utangnya, dapat diketahui antara lain dari kasus-kasus
kepailitan sebagai berikut:
1. kasus PT. Telkomsel (Persero Tbk);
2. kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI);
3. kasus Hotel Aston Bali Resort and Spa;
4. kasus Batavia Air
5. kasus Bali Kuta Residen (BKR);
6. kasus Prudential Life Assurance;
7. kasus PT. Citra Jimbaran Indah Hotel;
8. kasus PT. Dirgantara Indonesia.
Kasus-kasus kepailitan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lembaga kepailitan sudah
menyimpang dari filosofi, asas, dan tujuan timbulnya lembaga kepailitan. filosofi, asas, dan
tujuan timbulnya lembaga kepailitan diuraikan di bawah ini.
Filosofi lembaga kepailitan adalah sebagai solusi bagi debitot dan kreditor dalam menyelesaikan
masalah utang piutang. Dalam kasus-kasus di atas lembaga kepailitan bukan merupakan solusi
bagi debitor dan kreditor. Dalam kasus tersebut lembaga kepailitan semata-mata dipergunakan
sebagai alat untuk menagih utang, dan membangkrutkan perusahaan.
9
9
Asas keadilan dalam undang-undang kepailitan, maksudnya adalah untuk memenuhi rasa
keadilan bagi para pihak yaitu debitor, kreditor, serta para stakeholders, misalnya para karyawan
dan para pemegang saham dalam perusahaan milik debitor. Faktanya dalam putusan pengadilan
terhadap kasus-kasus tertentu, debitor yang dalam keadaan solven dinyatakan pailit oleh
pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa debitor yang solven tidak mendapatkan perlindungan
hukum. Hal itu bertentangan dengan asas keadilan dalam hukum kepailitan. Dimensi keadilan
dalam hukum kepailitan terletak adanya perlindungan yang seimbang antara debitor dan kreditor.
Asas keseimbangan maksudnya adalah untuk melindungi debitor dan kreditor secara seimbang.
Faktanya dalam rumusan substansi norma Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, condong melindungi
kreditor, karena syarat-syarat kepailitan yang sangat sederhana tersebut memudahkan debitor
dinyatakan pailit. Asas kelangsungan usaha maksudnya adalah untuk memberi kesempatan
kepada debitor yang usahanya masih mempunyai potensi untuk berkembang dan prospeknya
baik, diberikan kesempatan untuk melakukan restrukturisasi agar tetap dapat melangsungkan
usahanya. Faktanya dalam putusan pengadilan terhadap kasus-kasus tertentu, debitor yang
usahanya mempunyai prospek bagus dinyatakan pailit oleh pengadilan hanya karena ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, telah terpenuhi. Pada kasus PT. Jimbaran Indah Hotel,
Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK), memberikan kesempatan kepada debitor untuk
melakukan restrukturisasi karena perusahaan milik debitor mempunyai potensi untuk
berkembang dan prospeknya bagus. Hal ini merupakan terobosan yang sangat bagus bagi hakim
yang memutus perkara tersebut demikian juga terhadap kasus PT Dirgantara Indonesia.
Asas putusan pernyataan palit tidak dapat dijatuhkan terhadap debitor yang solven.
Faktanya dalam putusan pengadilan terhadap kasus-kasus tertentu, debitor yang solven,
dinyatakan pailit oleh pengadilan, karena ketentuan Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.
10
10
Filosofi tujuan lembaga kepailitan adalah untuk melakukan pembagian aset milik
debitor kepada semua kreditor-kreditornya, melalui proses kepailitan. Faktanya dalam putusan
pengadilan terhadap kasus-kasus tertentu, proses kepailitan digunakan sebagai sarana untuk
menagih utang dan membangkrutkan debitor perusahaan yang solven, bukan untuk
melaksanakan pembagian aset debitor secara proporsional.
Kasus-kasus tersebut dapat menjadi bukti bahwa di Indonesia telah terjadi
penyimpangan fungsi lembaga kepailitan. Dalam beberapa kasus kepailitan sebagaimana di
sebutkan di atas, kepailitan bukan lagi digunakan sebagai jalan ke luar untuk menyelesaikan
permasalahan utang-piutang antara debitor dan kreditor karena utang-utang debitor lebih besar
daripada aset-asetnya, sehingga debitor tidak mampu membayar lunas utang-utang tersebut,
melainkan lembaga kepailitan hanya digunakan sebagai alat untuk menagih utang, bahkan juga
untuk membangkrutkan perusahaan yang solven.19
Hal ini merupakan kekeliruan yang sangat
mendasar dalam UUK dan PKPU .
Ahli hukum kepailitan menyatakan bahwa, pada saat ini lembaga kepailitan dapat
dipergunakan oleh para kreditor sebagai alat untuk membangkrutkan debitor, bukan sebagai jalan
ke luar atau solusi untuk menyelesaikan masalah keadaan financial debitor, hal ini dapat
diketahui dari adanya putusan-putusan pengadilan yang menyatakan pailit terhadap debitor yang
solven.20
Dipailitkannya debitor perusahaan-perusahaan yang dalam keadaan solven tidak hanya
merugikan debitor itu sendiri, melainkan juga merugikan para stakeholder-nya dan dapat
berdampak negatif baik terhadap ekonomi makro, maupun gairah investasi bahkan dapat
19
Maksudnya,proses penyelesaian utang telah melalui langkah-langkah yang berupa perdamaian ataupun
restrukturisasi, tetapi tidak membuahkan hasil.
20M.Hadi Subhan, op. cit. hal. 12
11
11
berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi nasional. Kondisi seperti diuraikan di atas tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut, oleh karena itu sebaiknya segera ditanggulangi.
Fenomena penyimpangan fungsi lembaga kepailitan sebagaimana telah diuraikan di
atas, dikaji dari perspektif akademis dapat menimbulkan berbagai macam problematik terhadap
eksistensi lembaga kepailitan di Indonesia. Problematik-problematik akademis tersebut akan
diuraikan secara lebih terperinci di bawah ini.
12
12
1. Problematik Filosofis
Dari perspektif filosofis, filsafat ilmu pada dasarnya mencakup tiga komponen
pendekatan, yaitu: (a). ontologi, (b). epistemologi, dan (c). aksiologi.21
Selanjutnya di
bawah ini diuraikan masing-masing istilah tersebut.
Ad. a. Ontologi
Ontologi adalah melakukan pemikiran dan tela’ah kritis, radikal, dan
komprehensif terhadap hakikat ilmu.22
Dari aspek ontologi, alasan adanya lembaga kepailitan
adalah sebagai jalan keluar atau solusi bagi debitor dan kreditor dari persoalan utang-piutang
yang sudah tidak bisa diselesaikan lagi. Hal tersebut terjadi karena utang-utang debitor lebih
besar daripada aset-asetnya, sehingga debitor tidak mampu membayar lunas seluruh utang-
utangnya. Dalam kasus-kasus tertentu sebagaimana telah diuraikan di atas, lembaga kepailitan
bukan digunakan sebagai jalan keluar bagi debitor dan kreditor untuk menyelesaikan masalah
utang-piutang karena utang-utang debitor lebih besar daripada aset-asetnya, sehingga debitor
tidak mampu membayar lunas utang-utangnya, melainkan digunakan oleh kreditor sebagai
sarana untuk membangkrutkan debitor (perusahaan) yang solven.
Keadaan tersebut ditinjau dari perspektif ontologi, berarti telah terjadi pergeseran fungsi
lembaga kepailitan, yaitu dari fungsinya semula sebagai jalan keluar atau solusi bagi debitor dan
kreditor dalam menyelesaikan kewajiban membayar utang, bergeser sebagai sarana bagi kreditor
untuk membangkrutkan debitor yang solven. Hal ini tidak sesuai dengan filosofi timbulnya
lembaga kepailitan.
Ad. b. Epistemologi
21
Lasiyo, 2006, Hand Out Filsafat Ilmu Pengetahuan , Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
hal.1.
22Ibid
13
13
Epistemologi adalah melakukan pemikiran dan tela’ah kritis, radikal, dan
komprehensif terhadap cara yang benar untuk mendapatkan ilmu.23
Dari aspek Epistemologi,
proses kepailitan pada dasarnya merupakan metode/cara untuk melakukan pembagian aset milik
debitor yang sudah tidak mampu lagi membayar utang-utangnya. Dalam kasus-kasus kepailitan
sebagaimana diuraikan di atas, ternyata debitor yang solven juga dapat dinyatakan pailit oleh
pengadilan. Di sini terjadi benturan asas kepailitan, karena debitor yang solven seyogyanya tidak
dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan. Apabila debitor dalam keadaan solven proses
penyelesaian utang-piutangnya seyogyanya bukan melalui proses kepailitan, melainkan melalui
proses gugatan perdata biasa.
23
Ibid, hal.2.
14
14
Ad. c. Aksiologi
Aksiologi pada dasarnya adalah melakukan pemikiran dan telaah kritis,
radikal, dan komprehensif terhadap nilai kegunaan/manfaat suatu ilmu. Dari perspektif
aksiologi, apabila debitor yang dalam keadaan solven dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan,
maka proses kepailitan tidak akan dapat dirasakan manfaatnya. Di sini pada dasarnya telah
terjadi benturan nilai kemanfaatan terhadap lembaga kepailitan. Penggunaan lembaga kepailitan
akan dapat dirasakan nilai kemanfaatnya justru karena jumlah aset-aset debitor tidak mencukupi
untuk membayar lunas seluruh utangnya. Melalui proses kepailitan semua aset milik debitor
akan dijual melalui proses lelang. Kemudian hasilnya akan dibagi-bagikan kepada para
kreditornya secara proporsional, sehingga dapat dihindari terjadinya perebutan aset debitor oleh
para kreditornya.
2. Problematik yuridis
Problematik yuridis timbul dari ketentuan rumusan norma Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (4)
UUK dan PKPU . Pasal 2 ayat (1) menentukan:
debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, persyaratan agar debitor dapat dinyatakan pailit oleh
pengadilan adalah:
1. debitor mempunyai dua atau lebih kreditor;
2. debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yag telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.
Selanjutnya, Pasal 8 ayat (4) menentukan :
15
15
permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan, apabila terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.
Kemudian, penjelasan Pasal 8 ayat (4) menyebutkan:
yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederahana” adalah adanya
fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar.
Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon
pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Apabila dikaji secara mendalam, ketentuan Pasal 2 ayat (1) mengandung
kekaburan/ketidakjelasan norma, yaitu berkenaan dengan frase “tidak membayar”, dalam
pengertian menimbulkan multi interpretasi. Tidak membayar utang dapat diinterpretasikan
karena debitor “tidak mampu membayar”, dan dapat pula diinterpretasikan karena debitor “tidak
mau membayar”.24
Interpretasi yang lain bahwa “tidak membayar” utang dapat diinterpretasikan
karena debitor tidak mampu dan karena satu dan lain hal kemudian debitor tidak mau membayar,
meskipun sebenarnya ia mampu.25
Interpretasi yang lain lagi adalah bahwa, tidak membayar
dapat terjadi karena tidak mampu membayar, dan dapat pula karena tidak mau membayar.26
Berdasarkan keterangan tersebut, tidak membayar dapat diinterpretasikan karena
debitor “tidak mampu” membayar dan dapat pula diinterpretasikan debitor “tidak mau”
membayar, walaupun sebenarnya mampu. Debitor tidak mau membayar utangnya karena sesuatu
hal, misalnya karena kreditor juga mempunyai utang kepada debitor. Dalam hal ini debitor tidak
mau membayar, meskipun sebenarnya mampu. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU , di
samping mengandung norma kabur, juga tidak mengatur tentang ketidakmampuan debitor
sebagai syarat untuk dinyatakan pailit. Berarti ada norma kosong, maksudnya adalah tidak ada
24
Sutan Remy Sjahdeni, op.cit. hal.41 25
Hikmahanto Juwana, loc. cit. 26
Man S. Sartrawidjaja, op. cit. hal 2
16
16
norma yang mengatur tentang ketidakmampuan debitor sebagai syarat permohonan pernyataan
pailit.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4), apabila syarat-syarat untuk dinyatakan
pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi, maka permohonan pernyataan
pailit “harus” dikabulkan. Hal ini berarti, kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan
kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi utang dalam bentuk Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), melainkan harus menyatakan bahwa, “debitor pailit”.
Ketentuan Pasal 8 ayat (4), telah menutup kemungkinan bagi hakim untuk memberikan
keputusan lain selain putusan pailit. Ketentuan Pasal 8 ayat (4) telah memperkuat keberlakuan
Pasal 2 ayat (1) dan menutup kemungkinan penerapan ketentuan-ketentuan mengenai PKPU.
3. Problematik Sosiologis
Problematik sosiologis yang muncul adalah debitor-debitor yang solven, dan
mempunyai sejumlah aset yang nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah utang-
utangnya, dapat dinyatakan pailit oleh hakim. Hal ini sangat merugikan debitor, dan bahkan para
stakeholders, serta dapat berdampak negatif terhadap ekonomi makro, ketidakstabilan kondisi
ekonomi, perbankan, dan ketidakberlanjutan usaha debitor yang solven. Keadaan tersebut dapat
berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Berdasarkan atas latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan secara
terperinci tersebut di atas dapat diketahui bahwa di Indonesia telah terjadi penyimpangan fungsi
lembaga kepailitan. Apabila keadaan tersebut dibiarkan saja terus-menerus, dapat berdampak
negatif terhadap perkembangan iklim usaha di Indonesia, khususnya di Bali di sektor pariwisata,
misalnya perhotelan. Investor akan menjadi ragu-ragu untuk berinvestasi sebab tidak ada
kepastian hukum, khususnya dalam penyelesaian utang-piutang melalui proses kepailitan.
17
17
Menyikapi problematik-problematik tersebut, dipandang penting, dan merupakan suatu
kebutuhan untuk segera dilakukan penelitian secara mendasar, mendalam, dan menyeluruh
tentang berbagai faktor yang kemungkinan dapat menjadi penyebab terjadinya penyimpangan
fungsi lembaga kepailitan di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk memulihkan
fungsi lembaga kepailitan sesuai dengan filosofi timbulnya lembaga kepailitan. Lebih jauh lagi
untuk mengantisipasi perkembangan dunia usaha yang sangat kompleks dan berkembang pesat
dalam menyongsong keberadaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Tujuan mendasar dilakukannya penelitian adalah untuk dapat menganalisis, serta menemukan
tentang karakteristik lembaga kepailitan, karakteristik penyimpangan fungsi lembaga kepailitan,
dan formulasi pengaturan kepailitan, yang merefleksikan filosofi timbulnya lembaga kepailitan.
Hal ini untuk mencegah agar tidak terjadi lagi penyimpangan-penyimpangan fungsi lembaga
kepailitan terutama yang menggunakan proses kepailitan hanya untuk kepentingan oknum-
oknum tertentu saja. Penyimpangan fungsi lembaga kepailitan sangat merugikan debitor yang
solven, dan stakeholder, misalnya para karyawan perusahaan debitor dan para pemegang
sahamnya. Penyimpangan fungsi lembaga kepailitan berpotensi menimbulkan dampak negatif
terhadap ekonomi makro, dan stabilitas ekonomi nasional.
18
18
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana telah diruaikan di atas, selanjutnya
akan dilakukan penelitian secara mendasar, mendalam, dan menyeluruh, yang masalahnya
dirumuskan secara terperinci di bawah ini.
1. Mengapakah fungsi lembaga kepailitan di Indonesia menyimpang dari hakikat lembaga
kepailitan?
2. Bagaimanakah formulasi kebijakan hukum pengaturan kepailitan dalam rangka
memulihkan fungsi lembaga kepailitan ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk :
1. mengeksplorasi karakteristik lembaga kepailitan;
2. mengeksplorasi karakteristik penyimpangan fungsi lembaga kepailitan;
3. menemukan, solusi terhadap penyimpangan fungsi lembaga kepailitan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini secara lebih khusus bertujuan:
1. untuk menganalisis, dan menemukan faktor-faktor yang menyebabkan fungsi
lembaga kepailitan di Indonesia menyimpang dari hakikat lembaga kepailitan;
2. untuk menganalisis, menemukan, dan mengembangkan formulasi kebijakan hukum
pengaturan kepailitan dalam rangka memulihkan fungsi kepailitan yang dapat
menrefleksikan filosofi lembaga kepailitan.
1.4 Manfaat Penelitian
19
19
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak,
antara lain adalah:
1. para akademisi, baik mahasiswa, dosen, maupun golongan para pemburu ilmu
lainnya, sebagai bahan referensi dalam rangka untuk memenuhi sebagaian dari segala
bentuk rasa keingintahuannya dalam menjelajahi dunia ilmu yang tidak pernah
mandeg dalam penggaliannya;
2. bagi pustakawan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan
menambah koleksi karya ilmiah di bidang hukum, khususnya bidang hukum
kepailitan;
3. pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum kepailitan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak, antara
lain:
1. bagi pemerintah, yaitu sebagai bahan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang
Kepailitan yang akan datang atau peraturan-peraturan yang lainnya yang terkait
dengan kepailitan;
2. bagi hakim, dapat dipergunakan sebagai bahan rujukan ketika membuat putusan
tentang perkara kepailitan;
3. bagi kepolisian dapat menjadi bahan rujukan dalam memeriksa perkara pidana
penipuan dengan dalih kepailitan.
1.5 Keaslian Penelitian
20
20
Sepengetahuan peneliti, sampai saat ini belum pernah ada yang melakukan penelitian mengenai
pemulihan fungsi lembaga kepailitan sebagai lembaga penyelesaian kewajiban debitor. Oleh
karena itu, penelitian yang akan dilakukan adalah asli, dalam pengertian belum pernah dilakukan
penelitian sebelumnya. Selanjutnya dalam penelusuran beberapa disertasi ditemukan beberapa
judul disertasi.
1. Disertasi yang disusun oleh Sunarmi, doktor Ilmu hukum, alumni Iniversitas Sumatra
utara, Tahun 2005. Judul disertasinya adalah, Tinjauan Kritis Terhadap Undang-Undang
Kepailitan: Menuju Hukum Kepailitan yang Melindungi Kepentingan Debitor dan
Kreditor. Penelitian tersebut dilakukan Tahun 2005, baru kurang lebih satu tahun sejak
Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
Utang diundangkan. Asumsinya, ketika itu belum diketahui kasus-kasus terhadap
penerapan Undang-Undang Kepailitan dan terlalu dini menilai undang-undang yang baru
berlaku selama satu tahun.
2. Disertasi yang disusun oleh Arbijoto, doktor alumni Universitas Indonesia, Jakarta,
Tahun 2009. Judul disertasinya adalah, Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan Undang-
Undang Kepailitan Indonesia Bagi Debitor dan Kreditor: suatu Tinjauan Yuridis Filosofis
tentang Syarat-Syarat Kepailitan Undang-Undang Kepailitan Indonesia. Dari judul
tersebut dapat diketahui, bahwa Arbijoto menggunakan objek penelitiannya adalah
putusan-putusan pengadilan, sedang penelitian yang akan dilakukan objeknya adalah
peraturan kepailitan/undang-undang kepailitan. Hasil penelitian yang dilakukan Arbijoto
adalah, hakim menerapkan Undang-Undang Kepailitan dalam beberapa kasus secara
legistis, tekstual dan sinkronis. Akibatnya Undang-Undang Kepailitan Indonesia
dikatakan telah menimbulkan ketidakpastian hukum, dan ketidakadilan serta tidak
memberikan manfaat bagi dunia usaha di Indonesia dalam rangka pembangunan ekonomi
21
21
Indonesia. Sementara itu, penelitian yang dilakukan dalam rangka untuk menyusun
disertasi ini beranjak dari norma yang bermasalah, asumsinya bahwa dalam beberapa
kasus hakim menginterpretasikan ketentuan mengenai syarat-syarat agar debitor dapat
dinyatakan pailit secara tekstual, sehingga debitor yang solven dapat dipailitkan.
Dipailitkannya debitor yang solven ini merupakan penyalahgunaan lembaga kepailitan,
dan merupakan fenomena pergeseran fungsi lembaga kepailitan. Jadi penelitian yang
dilakukan justru dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari penelitian yang dilakukan
sebelumnya.
3. Buku, yang merupakan naskah dari disertasi yang berjudul, Hukum Kepailitan Prinsip,
Norma, dan Praktik di Peradilan, penulisnya adalah Hadi Shubhan, dosen Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Sesuai dengan judulnya buku tersebut
menjabarkan tentang prinsip- prinsip dan norma hukum kepailitan diberbagai negara dan
penerapan beberapa prinsip dan norma tersebut dalam praktik di peradilan. Bedanya
dengan penelitian yang dilakukan dalam penulisan disertasi ini adalah lebih
memfokuskan pada ketentuan yang meyebabkan terjadi penyimpangan lembaga
kepailitan dan mengapa dirumuskan seperti itu?
4. Judul Disertasi: Konstruksi Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Mengajukan
Permohonan Pernyataan Pailit Terhadap Bank. Penulisnya adalah Sylvia Janisriwati,
doktor dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Penelitian ini lebih
memfokuskan kepailitan Bank. Bedanya dengan Penelitian yang dilakukan di sini adalah
bahwa penelitian ini lebih memfokuskan pada kajian norma yang menyebabkan
penyimpangan terhadap lembaga kepailitan.
5. Judul Disertasi: Kepailitan Berdasarkan Obligasi Dijamin (Guaranted Secured Note),
yang diterbitkan oleh Perusahaan Special Purpuse Vihicle (SPY) di Luar Negeri. Hasil
penelitiannya adalah obligasi dijamin yang diterbitkan dengan tujuan menghindari
22
22
pembayaran pajak atas bunga ke pemerintah Indonesia merupakan obligasi yang dibuat
dengan dasar perbuatan melanggar hukum, atau batal demi hukum, karena tidak
memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hal ini
jelas sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan dalam rangka munulis disertasi ini
sebab, penelitian yang dilakukan memang berbeda fokusnya. Penelitian yang dilakukan
di sisni, fokusnya adalah tentang fenomena penyimpangan fungsi lembaga kepailitan. Hal
ini untuk mengetahui hakikat penyebab adanya penyimpangan yang menjadi fokus
penelitian.
1.6 Desain Penelitian
Apabila digambarkan dalam sebuah skema, desain penelitiannya akan dapat di lihat
seperti skema yang disajikan di bawah ini.
23
23
Desain Penelitian
Latar Belakang
Masalah
Problematik Filosofis
a. Ontologi
Terjadi pergeseran fungsi
lembaga kepailitan
b. Epistemologi
Terjadi benturan asas kepailitan
c. Aksiologi
Problematik yuridis
Terdapat norma kabur, dan
Problematik Sosiologi
Dipailitkannya debitor
yang solven, dapat
berdampak negatif terhadap debitor itu
sendiri, stakeholdesr,
gairah investasi dan
stabilitas ekonomi makro
Rumusan
Masalah
1.
Mengapakah
fungsi lembaga kepailitan di
Indonesia
menyimpang dari hakikat Lembaga
Kepailitan ?
2. Bagaimanakah formulasi
kebijakan hukum
pengaturan Kepailitan dalam
rangka
memulihkan fungsi Lembaga
Kepailitan ?
Landasan
Teori
1.
Teori
Kepailitan (Bankruptcy
Theory)
2. Teori
Keluar dari kesulitan
keuangan
(Exit From Financial
Distress
Theory)
3.
Teori
Penyelamatan Perusahaan
(Corporate
Rescue Theory)
4.
Teori
Keadilan (Theory of
Justice)
6..
Teori
Rekonstruksi
Norma (Recon-
struction
Theory of Norm).
7.
Teori
Hukum dengan
Orientasi Kebijakan
(Policy
Oriented Theory of
Law)
-Lasswell &
Metode
Penelitian
1. Jenis Penelitian
: Hukum
Normatif
2. Jenis
Pendekatan :
a. Perundang-
undangan
(The Statute
Approach)
b. Konseptual
(Conceptual
Approach)
c. Kasus (Case
Approach)
d. Historis
(Historical
Approach)
e. Perbanding-
an
(Comparati-ve
Approach)
3. Bahan
Penelitan :
a. BH. Primer
b. BH
Sekunder
c. BH Tersier
4. Teknik
Pengumpulan
Bahan Hukum:
Sistem Kartu (Card
System)
5. Tehnik Analisis
Bahan Diskriptif
Hasil dan
Analisis
1. Syarat-syarat
kepailitan
memudahkan debitor
dipailitkan,
sehingga fungsinya
menyimpang
2. Kebijakan pemerintah
tersebut
dilakukan dalam rangka
memulihkan situasi krisis
moneter
Kesimpulan:
1.Filosofi lembaga
kepailitan belum
dijabarkan secara
tepat dalam
substansi rumusan
norma Pasal 2 ayat
(1) UUK dan
PKPU
2. Diperlukan
reformulasi
substansi rumusan
norma Pasal 2 ayat
(1) jo Pasal 8 ayat
(4) UUK dan
PKPU
Rekomendasi
antara lain:
1..Insolvency Test,
untuk mengetahui
ketidakmampuan//k
emampuan debitor
2.Penyelamatan
24
24
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
adalah penelitian terhadap hukum berdasarkan metode penelitian hukum.27
Penelitian hukum
normatif dimaksudkan sebagai penelitian hukum yang hanya menggunakan data sekunder belaka
yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.28
Penelitian hukum tidak mengenal data, oleh karena itu penelitian hukum bersumber pada bahan-
bahan hukum. Adapun bahan hukum tersebut meliputi, bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.29
Mengenai metode dalam penelitian hukum normatif disebutkan sebagai metode
penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya.30
Dalam kaitan dengan penelitian yang telah dilakukan dalam rangka penulisan
disertasi ini penelitian hukum normatif dilakukan terhadap undang-undang kepailitan. Penelitian
ini mencakup uji validitas, uji konsistensi, dan harmonisasi norma hukum kepailitan
1.7.2 Pendekatan Masalah
Dalam rangka membedah isu hukum yang diangkat dalam penelitian, dan untuk mendapatkan
berbagai informasi tentang berbagai aspek mengenai isu hukum tersebut, diperlukan metode
27
Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Usulan Penelitian Disertasi Program Studi Ilmu
Hukum, Denpasar, hal.3. 28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, hal.l1.
29Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta hal.141.
30Jhony Ibrahim, 2011, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Pertama, Bayu Media
Publishing, Malang, hal.57.
25
25
pendekatan masalah. Pendekatan masalah ini sangat penting, sebab dengan menggunakan
pendekatan yang berbeda, maka akan diperoleh kesimpulan yang berbeda.31
Ada beberapa jenis
atau tipe pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian untuk menulis disertasi ini.
1. Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach)
Sebagai tipe penelitian hukum normatif dalam penelitian ini pendekatan perundang-undangan
merupakan pendekatan yang utama. Suatu penelitian hukum normatif bahkan harus
menggunakan pendekatan perundang-undangan.32
Prosesnya dilakukan dengan cara menelaah
semua jenis peraturan perundang-undangan yang substansinya memuat dan terkait dengan isu
hukum yang sedang diteliti. Hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang konsistensi
dan kesesuaian antara undang-undang dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Di
samping hal tersebut, yang lebih penting lagi dibalik pendekatan perundang-undangan ( The
Statute Approach) adalah untuk memperoleh ratio legis33
, serta dasar ontologis34
, lahirnya
undang-undang tersebut. Harapan yang lebih mendalam lagi adalah untuk dapat menemukan
kandungan filosofi yang ada di balik undang-undang itu, sehingga nantinya akan dapat
menyimpulkan apakah ada benturan filosofis atau tidak antara undang-undang itu dengan isu
hukum yang sedang diteliti.
2. Pendekatan Konseptual ( The Conceptual Approach)
Untuk mengantisipasi hal yang terkait dengan topik yang dibahas, tetapi belum terdapat
peraturannya, maka pendekatan perundang-undangan ini dilengkapi dengan pendekatan
konseptual. Dalam pendekatan konseptual disebutkan, apabila peneliti mengacu pada peraturan
perundangan-undangan, tapi tidak menemukan pengertian terhadap istilah yang dicari, maka
31
Ibid, hal.299. 32
Ibid, hal.302. 33
Ratio legis, secara sederhana dapat diartikan alasan mengapa ada ketentuan itu 34
Ontologis merupakan alasan adanya.
26
26
hendaknya dipergunakan pendekatan konsep.35
Dalam menggunakan pendekatan konseptual ini,
merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana
atau doktrin-doktrin hukum. Meskipun suatu konsep hukum tidak ditemukan secara eksplisit
dalam undang-undang, tetapi peneliti dapat mengidentifikasinya melalui doktrin-doktrin atau
pendapat-pendapat sarjana.36
3. Pendekatan Kasus (The Case Approach)
Isu-isu hukum mengenai fenomena penyimpangan fungsi lembaga kepailitan, baik yang
diperoleh melalui bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, dilakukan pengkajian
secara kritis. Fokus penelaahan terhadap kasus dimaksud adalah pada ratio decidendi.37
, terhadap
putusan-putusan hakim, bagaimana pertimbangan hukumnya, sehingga sampai pada putusannya
itu.
4. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Disebutkan bahwa, pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah
lembaga hukum dari waktu ke waktu.38
Bedasarkan keterangan tersebut, maka dalam penelitian
mengenai penyimpangan fungsi lembaga kepailitan ini juga dipergunakan pendekatan historis.
Dalam hal ini untuk mengetahui sejarah lembaga hukum tersebut dari waktu ke waktu,
pendekatan ini akan membantu dalam memahami filosofi lembaga kepailitan dari waktu ke
waktu. Diharapkan melalui pendekatan ini dapat memahami perubahan dan perkembangan
filosofi yang melandasi peraturan tentang hukum kepailitan.
5. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)
35
Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hal.137. 36
Peter Mahmud Marzuki, loc.cit. 37Menurut Goodheart, ratio decidendi, dapat ditemukan dengan memerhatikan fakta-fakta materiel. Ian Me Leod, 1999, Legal
Method, Micmilan , London, pp.13-34. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan segala yang menyertainya asalkan
tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta material tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari
aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut.
38Peter Mahmud Marzuki, op.cit. hal.126.
27
27
Suatu pendekatan perbandingan hukum dilakukan dengan mengadakan studi
perbandingan hukum.39
Studi perbandingan hukum adalah suatu kegiatan untuk membandingkan
hukum suatu negara dengan hukum negara lain. Dalam hal ini membandingkan lembaga
kepailitan di Indonesia dengan lembaga kepailitan negara lain, yaitu Amerika Serikat. Kegiatan
ini bermanfaat bagi penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum kepailitan di
Indonesia dengan ketentuan hukum kepailitan di negara lain. Penyingkapan tersebut dapat
dijadikan rekomendasi dalam penyusunan ataupun perubahan undang-undang kepailitan di
Indonesia. Penelitian hukum normatif sangat berguna dalam penyusunan rancangan undang-
undang.40
Pendekatan perbandingan dalam ilmu hukum sangat penting, sebab dalam bidang
hukum tidak memungkinkan dilakukan suatu eksperimen sebagaimana yang biasa dilakukan
dalam ilmu-ilmu empiris.41
Menurut doktrin ilmu hukum dengan melakukan perbandingan
hukum akan dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara
pengaturan yang sama pula, dan
2. kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu
menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.42
1.7.3 Bahan Penelitian
Penelitian untuk menyusun disertasi ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif, Bahan
penelitian yang dipergunakan meliputi baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
maupun bahan hukum tersier. Penjelasan dari masing-masing bahan hukum diuraikan secara
terperinci di bawah ini.
39
Peter Mahmud Marzuki, op.cit. hal.132. 40
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, PT. Alumni, Bandung, hal.141 41
Jhoni Ibrahim, op.cit, hal. 313. 42
Sunaryati Hartono, 1991, Kapita selekta perbandingan hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.1-2.
28
28
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas,
sehingga mengikat.43
Bahan hukum primer dalam penelitian ini antara lain meliputi Peraturan
Kepailitan yang terdapat dalam Stb. 1905 No. 217 jo Stb.1906 No.348, Perpu No. 1 Tahun 1998
tentang Perubahan terhadap Faillisementsveordening (Fv) dan Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Risalah-risalah dalam
pembuatan Perpu, risalah pembuatan undang-undang kepailitan tersebut, dan putusan-putusan
hakim Pengadilan Niaga yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah, bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer.44
Bahan hukum sekunder yang dipergunakan antara lain adalah, semua
publikasi hukum pada umumnya dan khususnya hukum kepailitan dan bahan hukum yang terkait
dengan masalah yang diteliti, baik berupa buku-buku, jurnal maupun artikel hukum.
3. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tertier adalah, bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder.45
Bahan hukum tertier yang dipergunakan
meliputi, kamus umum, kamus hukum, ensiklopedi, dan ensiklopedi hukum.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara melakukan studi terhadap
dokumen, baik dokumen-dokumen resmi maupun yang tidak resmi. Selanjutnya dicatat dalam
kartu-kartu yang sudah disiapkan dalam rangka melaksanakan penelitian ini. Kartu tersebut
disusun berdasarkan abjad, dan isi catatan dalam kartu tersebut dibuat berdasarkan pada
43
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit, hal. 14. 44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hal.15. 45
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, loc.cit.
29
29
permasalahan yang akan dipecahkan. Tehnik pengumpulan bahan hukum yang demikian ini
disebut dengan sistem kartu (card system).46
Dalam sistem kartu dikenal dua macam kartu yang
perlu dipersiapkan.
a. Kartu kutipan yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip bahan beserta
sumber dari mana bahan tersebut diperoleh (nama pengarang/penulis, judul buku atau
artikel, impresum, halaman dan lain sebagainya).
b. Kartu biografi dipergunakan untuk mencatat sumber bacaan yang dipergunakan.
Kartu ini sangat penting dan berguna pada waktu peneliti menyusun daftar
kepustakaan sebagai bagian penutup dari laporan penelitian yang ditulis atau
disusun.47
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Setelah langkah pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
dengan sistem kartu lengkap, dilanjutkan dengan proses analisis. Analisis terhadap hasil
penelitian ini menggunakan alur logika dalam penelitian hukum normatif, yang ditempuh melalui
langkah-langkah sebagai diuraikan di bawah ini.
Langkah pertama, mendiskripsikan (memaparkan), pada tahap ini diskripsi
meliputi, isi dan struktur hukum positif. Maksudnya dilakukan kegiatan untuk memaparkan isi
atau makna aturan hukum. Menentukan makna dari sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu itu,
dengan demikian memaparkan aturan hukum adalah menafsirkan aturan hukum, karena itu pula
pemaparan aturan hukum akan sangat tergantung pada teori interpretasi yang dianut ilmuwan
hukum.48
Jadi tahap ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum
46
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit.hal.13. 47
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit.hal.15. 48
Sidharta: 2009, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan,CV. Utomo, Bandung, hal.88.
30
30
dalam undang-undang kepailitan yang telah diteliti tersebut. Jika terjadi norma yang kabur, akan
diinterpretasi dengan berpedoman pada metode-metode interpretasi.
Tahap kedua adalah sitematisasi, dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur
atau hubungan hearekhis antara aturan-aturan hukum. Dalam sistematisasi ini dilakukan
koherensi antara aturan-aturan hukum yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik.
Tahap ketiga adalah, tahap eksplanasi. Pada tahap ini dilakukan penjelasan dan
analisis terhadap makna yang terkandung dalam aturan-aturan hukum. Analisis diakitkan dengan
isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini, sehingga keseluruhannya membentuk satu
kesatuan yang saling berhubungan secara logis.
1.8 Sistematika Penulisan
Laporan penelitian ini disajikan dalam lima bab, yaitu: (a) Bab I, Pendahuluan; (b) Bab II,
Kerangka Teoritik dan Konsep penelitian; (c) Bab III , dan (d) Bab IV, pada dasarnya merupakan
hasil penelitian dan pembahasanya; dan (e) Bab V, merupakan kesimpulan dan rekomendasi dari
hasil penelitian.
Bab I, substansinya meliputi tujuh unsur, yaitu: (a) latar belakang masalah; (b) rumusan masalah;
(c) tujuan penelitian; (d) manfaat penelitian; (e) keaslian penelitian; (f) desain penelitian; (g)
metode penelitian; dan (h) sistematika penulisan. Latar belakang masalah merupakan uraian
tentang fenomena yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian.
Adapun yang menjadi latar belakang dalam melakukan penelitian adalah karena ada fenomena
tentang penyimpangan fungsi lembaga kepailitan yang semakin meresahkan masyarakat. Hal
tersebut minimal dapat diketahui dari adanya kasus-kasus dipailitkannya debitor-debitor
berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang solven. Nilai aset-asetnya lebih besar daripada jumlah
utangnya. Beberapa kasus dapat disebutkan antara lain yaitu: kasus PT. Telkomsel (persero)
31
31
Tbk, kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, kasus Hotel Aston Bali and Spa., kasus
Batavia Air, kasus Bali Kuta Residence, kasus PT. Prudential Life Assurance, kasus Jimbaran
Indah Hotel, dan kasus PT. Dirgantara Indonesia. Kasus-kasus tersebut sudah cukup sebagai
bukti bahwa di Indonesia terjadi penyimpangan fungsi lembaga kepailitan.
Fenomena tersebut dipergunakan sebagai dasar untuk merumuskan masalah.
Selanjutnya berdasarkan analisis terhadap gejala itu, disimpulkan ada penyimpangan fungsi
lembaga kepailitan. Penyimpangan tersebut menyebabkan hukum kepailitan tidak berfungsi
sebagaimana yang diharapkan. Pada bab ini juga disajikan rumusan masalah, tujuan penelitian,
dan manfaat penelitian secara lebih detail. Sisi lain yang juga disajikan dalam bab ini di samping
mengenai keaslian penelitian, juga disajikan logika berpikir dalam wujud desain penelitian.
Selanjutnya sistematika penulisan, yaitu menggambarkan secara sistematis tentang hasil
penelitian.
Bab II, menyajikan dua komponen materi, yaitu: (a) kerangka teoritik dan, (b)
kerangka konsep penelitian. Penelitian ini menggunakan 7 (tuju) teori untuk membedah
permasalahan yang diteliti, yaitu: (1) teori kepailitan (Bankruptcy Theory), (2) ) teori keluar dari
kesulitan keuangan (exit from financial distrees theory), (3) teori penyelamatan perusahaan
(corporate rescue theory), (4), teori keadilan (theory of justice), (5) teori fungsi hukum
(functional theory of law), (6) teori ekonstruksi norma (reconstruction theory of norm), (7) teori
hukum dengan orientasi kebijakan (policy oriented theory of law).
Teori kepailitan (bankruptcy theory) untuk membedah mengapa fungsi lembaga kepailitan di
Indonesia menyimpang dari hakikat kepailitan, termasuk mengapa hukum kepailitan tidak
berfungsi seperti yang diharapkan sesuai dengan filosofi timbulnya lembaga kepailitan.
Selanjutnya pada kasus-kasus dimana debitor yang solven dinyatakan pailit, berarti kepailitan
32
32
bukan sebagai jalan ke luar atau solusi bagi debitor yang tidak mampu, melainkan sebagai alat
untuk menagih utang dan membangkrutkan perusahaan, dengan demikian teori keluar dari
kesulitan finansial (exit from financial distrees theory) yang dipergunakan untuk menganalisis.
Teori penyelamatan perusahaan (corporate rescue theory) juga digunakan untuk membedah
masalah yang pertama, yaitu untuk menjelaskan debitor yang usahanya masih mempunyai
prospek kedepan yang baik dan masih mempunyai harapan untuk melaksanakan kewajiban-
kewajibannya, seyogyanya tidak dipailitkan, melainkan perusahanya diselamatkan dengan cara
melakukan restrukturisasi yang dalam UUK dan PKPU disebut Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU).
Akibat penyimpangan fungsi lembaga kepailitan menimbulkan rasa ketidakadilan. Oleh karena
itu, kemudian dilanjutkan dengan analisis menggunakan teori keadilan (theory of justice). Untuk
menghindari dampak yang lebih luas terhadap penyimpangan fungsi lembaga kepailitan di
Indonesia, maka substansi norma undang-undang kepailitan, khususnya yang mengatur tentang
syarat-syarat kepailitan perlu di rekonstruksi, teori rekonstruksi (reconstruction theory)
dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai masalah kontrsuksi norma ini. Akhirnya, sudut
pandang teori hukum dengan orientasi kebijakan (policy oriented theory of law), dipergunakan
untuk menganalisis masalah kedu, yaitu bagaimana formulasi kebijakan hukum pemerintah
dalam rangka memulihkan fungsi lembaga kepailitan di Indonesia.
Di samping kerangka teoritik pada Bab II, juga disajikan tentang kerangka konseptual penelitian.
Hal ini penting untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang
dipergunakan. Konsep-konsep penelitian tersebut meliputi beberapa istilah yaitu: konsep pailit,
konsep kepailitan, konsep lembaga kepailitan, konsep utang, konsep debitor, konsep kreditor,
dan konsep fungsi hukum.
33
33
Bab III pada dasarnya merupakan hasil penelitian yang disajikan secara diskriptif dan dilanjutkan
dengan analisis kualitatif. Substansi Bab III pada hakikatnya merupakan kajian dalam rangka
membedah permasalahan yang pertama. Untuk membedah permasalahan tersebut
pembahasannya meliputi: hakikat lembaga kepailitan, penyimpangan dan pemberdayaan
kelanhsungan usaha, dan karakteristik penyimpangan fungsi lembaga kepailitan.Sub-bab tentang
hakikat lembaga kepailitan membahas secara mendalam dan terperinci mengenai: asal mula dan
perkembangan lembaga kepailitan, arti dan istilah kepailitan, fungsi dan tujuan kepailitan, syarat-
syarat permohonan pernyataan pailit, pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit, dan pihak yang dapat dipailitkan. Setelah itu, dibahas tentang karakteristik penyimpangan
fungsi lembaga kepailitan, dan akar penyimpangan fungsi lembaga kepailitan, serta kasus-kasus
yang menunjukkan fungsi lembaga kepailitan menyimpang dari hakikat kepailitan. Kasus-kasus
tersebut meliputi: kasus PT. Telkomsel (Persero) Tbk; kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife
Indonesia, kasus Hotel Aston Bali & Spa.; kasus Batavia Air, kasus Bali Kuta Residence (BKR),
kasus PT. Prudentiallife Assurance, kasus Jimbaran Indah Hotel, dan kasus PT. Dirgantara
Indonesia. Bab III juga memuat dampak penyimpangan fungsi lembaga kepailitan terhadap
ekonomi makro, serta adanya kebutuhan terhadap formulasi kebijakan hukum dalam pemulihan
fungsi lembaga kepailitan.
Pemberdayaan kelangsungan usaha, juga disajikan dalam Bab III. Selanjutnya untuk memahami
lebih mendalam mengenai pemberdayaan kelangsungan usaha, dalam Bab III dideskripsikan
kasus PT. Citra Jimbaran Indah Hotel, dan kasus PT. Dirgantara Indonesia.
Bab IV membahas tentang formulasi kebijakan hukum pengaturan kepailitan dalam rangka
memulihkan fungsi lembaga kepailitan yang sesuai dengan filosofi timbulnya lembaga
kepailitan. Substansi bab ini membahas, dan menganalisis tentang politik hukum pengaturan
34
34
kepailitan, kebijakan pemberlakuan UUK dan PKPU, amandemen terhadap
Faillisementsverordening Stb. 1905 jo Stb. 1906 menjadi Perpu No. 1 Tahun 1998.
Pembahasannya meliputi: alasan-alasan dilakukannya amandemen dengan menggunakan perpu
bukan dengan peraturan selain perpu, pokok-pokok materi perubahan dideskripsikan secara
lebih terperinci. Selanjutnya dibahas mengenai kebijakan hukum pembentukan UUK dan PKPU.
Formulasi kebijakan rekonstruksi norma undang-undang kepailitan pembahasannya meliputi:
konsep rekonstruksi, rekonstruksi norma Pasal 2 ayat (1) UUk dan PKPU, pengaturan insolvency
test, serta model-model insolvency test yang dapat pilih untuk dapat diterapkan di Indonesia. Hal
ini sekaligus merupakan penegasan tentang kontribusi dari penelitian ini terhadap pembaharuan
hukum kepailitan di Indonesia.
Bab V mendeskripsikan kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan dibuat berdasarkan rumusan
masalah, tujuan penelitian, dan temuan hasil penelitian dari penelitian ini. Demikian sistematika
sajian dari laporan hasil penelitian yang disusun dalam bentuk disertasi. Materi disertasi secara
berturut-turut disajikan mulai dari Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, dan Bab V.