BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017-04-01 · kepentingan debitor dalam proses...

34
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lembaga kepailitan merupakan lembaga yang memiliki fungsi dasar sebagai lembaga untuk melindungi secara seimbang kepentingan kreditor dan kepentingan debitor dalam proses penyelesaian utang piutang. 1 Filosofi lembaga kepailitan adalah sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan utang-piutang antara debitor dan kreditor, karena utang-utang debitor lebih besar daripada asetnya sehingga tidak mampu membayar lunas utang-utangnya. 2 Melalui proses kepailitan penyelesaian utang-piutang antara debitor dan kreditor dapat diselesaikan secara adil, dan memberikan jaminan kepastian hukum. Pailit adalah suatu keadaan dimana debitor tidak mampu lagi melakukan pembayaran utang kepada para kreditornya. 3 Ketidakmampuan debitor tersebut terjadi karena utang-utangnya lebih besar daripada aset- asetnya. Berbeda dengan pailit, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas, dengan tujuan 1 Man S. Sastrawidjaja, 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. Alumni, Bandung, h.72 2 Sunarmi, 2010, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, edisi 2, PT. Sofmedia, Jakarta, h.v. 3 M. Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Prenadha Media Grup Jakarta, hal.1.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017-04-01 · kepentingan debitor dalam proses...

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Lembaga kepailitan merupakan lembaga yang memiliki fungsi dasar

sebagai lembaga untuk melindungi secara seimbang kepentingan kreditor dan

kepentingan debitor dalam proses penyelesaian utang piutang.1 Filosofi

lembaga kepailitan adalah sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan

permasalahan utang-piutang antara debitor dan kreditor, karena utang-utang

debitor lebih besar daripada asetnya sehingga tidak mampu membayar lunas

utang-utangnya.2 Melalui proses kepailitan penyelesaian utang-piutang antara

debitor dan kreditor dapat diselesaikan secara adil, dan memberikan jaminan

kepastian hukum.

Pailit adalah suatu keadaan dimana debitor tidak mampu lagi

melakukan pembayaran utang kepada para kreditornya.3 Ketidakmampuan

debitor tersebut terjadi karena utang-utangnya lebih besar daripada aset-

asetnya. Berbeda dengan pailit, kepailitan adalah sita umum atas semua

kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas, dengan tujuan

1Man S. Sastrawidjaja, 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, PT. Alumni, Bandung, h.72

2Sunarmi, 2010, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, edisi 2, PT.

Sofmedia, Jakarta, h.v. 3M. Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,

Prenadha Media Grup Jakarta, hal.1.

2

2

utamanya menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar semua utang-

utang debitor pailit secara proporsional.

Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata untuk menjamin hak-hak kreditor

atas imbalan prestasi yang diberikan kepada debitor. Lembaga kepailitan merupakan realisasi

dari dua asas pokok hukum perdata yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH

Perdata.4

Pasal 1131 KUH Perdata menentukan:

Segala kebendaan si-berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik

yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala

perikatannya perseorangan.

Ketentuan tersebut menunjukkan, bahwa setiap debitor bertanggung jawab terhadap utang-

utangnya. Tanggung jawab tersebut dijamin dengan harta yang ada dan yang akan ada

dikemudian hari, baik harta yang bergerak maupun harta yang tidak bergerak. Ketentuan tersebut

didasarkan pada asas tanggung jawab terhadap utang. Asas ini diperlukan dalam upaya untuk

memberikan rasa tanggung jawab kepada para debitor supaya melaksanakan kewajibannya, dan

tidak merugikan kreditornya. Asas ini juga dimaksudkan untuk melindungi kepentingan kreditor,

supaya seimbang dengan kewajiban yang sudah dilakukannya terhadap debitor yaitu

memberikan pinjaman berupa uang.5

Ketentuan dan asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUH Perdata adalah, setiap

debitor agar menyadari bahwa perbuatannya meminjam uang kepada kreditor membawa akibat

yang berupa keadaan yang bersangkutan mempunyai utang dijamin dengan segala

kebendaannya, baik yang ada maupun yang akan ada di kemudian hari, baik yang bergerak

4Soemarti Hartono, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Seksi Hukum Dagang Fak.

Hukum UGM, Yogyakarta, hal. 56 5Man S. Sastrawijaya, op.cit. hal.75.

2

3

3

maupun yang tidak bergerak. Oleh karena itu, yang bersangkutan harus menyadari pula bahwa

apabila kewajibannya membayar utang tidak dilaksanakan pada waktunya, maka segala

kebendaanya akan disita, dan selanjutnya akan dilelang.

Pasal 1132 KUH Perdata menentukan:

kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang-orang yang

menghutangkan, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagikan kepada para kreditornya

menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila

diantara para berpiutang ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.

Ketentuan tersebut mengandung beberapa hal dalam hubungan dengan utang-piutang, yaitu:

a. jaminan kebendaan berlaku terhadap semua kreditor;

b. apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya, kebendaan tersebut akan dijual;

c. hasil penjualan, dibagi-bagikan kepada para kreditor berdasarkan besar kecilnya piutang

(asas keseimbangan atau pondspondsgewijs);

d. terdapat kreditor yang didahulukan dalam memperoleh bagiannya (kreditor preferent dan

kreditor separatis).

Krisis moneter Tahun 1999 yang melanda beberapa Negara Asia, termasuk Indonesia,

berdampak pada para pengusaha Indonesia tidak mampu lagi membayar utang-utang mereka,

bahkan ada yang berhenti membayar utang mereka yang telah jatuh waktu.6 Kebijakan

pemerintah untuk mengatasi keadaan tersebut, dilakukan dengan memberlakukan pranata hukum

kepailitan. Pranata hukum kepailitan yang sudah ada, yaitu Faillisementsverordening Stb. Tahun

1905 No. 217 jo Stb. Tahun 1906 No.348 (selanjutnya disebut FV), sudah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah Indonesia

menjalin bekerja sama dengan International Monetery Fand (IMF) untuk melakukan perubahan

terhadap FV. Perubahan terhadap perauran kepailitan tersebut dilakukan dengan membuat

6Mutiara Hikmah, 2007, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Perkara-Perkara Kepailitan, PT.Refika

Aditama, Bandung, hal.1

4

4

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), No. 1 Tahun 1998,Tentang Perubahan

terhadap Undang-Undang Kepailitan. Selanjutnya Perpu No.1 Tahun 1998 tersebut ditetapkan

sebagai undang-undang dengan UU No.4 Tahun 1998. Perubahan tersebut ternyata juga belum

dapat memenuhi perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya dibuatlah Undang-

Undang Kepailitan yang baru, yaitu Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU ).

Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU No. 37 Tahun 2004) menentukan:

debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik

atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas agar debitor dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan

harus memenuhi syarat-syarat untuk dinyatakan pailit, yaitu:

a. debitor mempunyai dua atau lebih kreditor;

b. debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat

ditagih.

Syarat yang pertama yaitu, debitor mempunyai dua atau lebih kreditor. Syarat tersebut

telah sesuai dengan tujuan kepailitan, yaitu mekanisme pendistribusian aset debitor secara

proporsional terhadap para kreditor karena ketidakmampuan debitor melaksanakan kewajiban

membayar utang. Jika debitor hanya mempunyai satu kreditor saja maka tidak ada pembagian

aset, oleh karena itu tidak ada proses kepailitan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa keadaan

berhenti membayar tidak ada, dalam hal demikian dapat menggunakan penyitaan yang hanya

satu-satunya itu, yaitu sita jaminan (conservatoire beslag), bukan melalui sita umum.7 Sita

umum yaitu, sita terhadap seluruh aset milik debitor untuk kepentingan semua kreditor-

kreditornya melalui proses kepailitan, sedangkan sita jaminan (conservatoire beslag) adalah sita

7Hadi Subhan, 2008, op. cit. hal. 7

5

5

terhadap barang milik debitor yang menjadi agunan utang debitor kepada kreditornya,

tujuannyan agar barang agunan tersebut tidak disingkirkan.8 Syarat yang kedua yaitu debitor

tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Ketentuan

tersebut tidak mensyaratkan debitor tidak membayar utangnya kepada semua kreditor-

kreditornya, melainkan cukup apabila debitor memiliki lebih dari satu kreditor dan debitor tidak

membayar lunas utang tersebut kepada sedikitnya satu kreditor.

Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU No.37 Tahun 2004 menentukan:

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau

keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.

Apabila ketentuan Pasal 8 ayat (4) tersebut dicermati dapat dipahami bahwa, ketentuan tersebut

telah memperkuat keberlakuan Pasal 2 ayat (1) dan menutup kemungkinan penerapan ketentuan-

ketentuan mengenai PKPU. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa, syarat-syarat debitor untuk

dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan sangat sederhana. Ketentuan persyaratan permohonan

pailit memudahkan debitor dinyatakan pailit, walaupun sebenarnya dalam keadaan solven. Oleh

karena itu dikatakaan bahwa UUK dan PKPU , lebih berpihak kepada kreditor.9 Keberpihakan

demikian itu pada hakikatnya merupakan bentuk penyimpangan fungsi lembaga kepailitan yang

ada dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU yang substansinya mengatur tentang syarat-syarat

kepailitan, tidak sejalan dengan asas hukum kepailitan yang diterima secara universal.10

Asas

8 Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan

Putusan Pengadilan, Penerbit, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 339 9 Hikmahanto Juwana, 2004, “Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23,

No.2, hal. 58. 10

Sutan Remy Sjahdeini, .2008, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan, Grafiti, Jakarta, hal.40

6

6

universal yang dimaksud di sini adalah asas ketidakmampuan debitor. Substansi Pasal 2 ayat (1)

UUK dan PKPU , tidak memuat ketidakmampuan debitor sebagai syarat permohonan pernyataan

pailit. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, tidak sesuai dengan filosofi lembaga

kepailitan.11

Filosofi lembaga kepailitan adalah sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan

permasalahan utang-piutang antara debitor dan kreditor karena utang-utang debitor lebih besar

daripada asetnya, sehingga debitor tidak mampu membayar lunas utang-utangnya.

Kasus kepailitan Batavia Air terjadi karena adanya persaingan tidak sehat, bukan karena

perusahaan tersebut mengalami kesulitan financial. Persoalan mengenai persaingan tidak sehat

tersebut terlihat dari jumlah calon penumpang dengan potensi penumpang yang ada dan

perusahaan penerbangan yang saling memperebutkan para penumpang.12

Kasus ini pada

hakikatnya merupakan bentuk penyimpangan fungsi lembaga kepailitan pada tataran putusan

Pengadilan Niaga. Debitor (Batavia Air) dinyatakan pailit oleh pengadilan padahal tidak

mengalami masalah kesulitan financial, debitor dalam keadaan solven.

UUK dan PKPU, ditafsirkan keliru oleh sebagian kalangan. Kekeliruan interpretasi itu

menyebabkan terjadinya penyimpangan fungsi lembaga kepailitan. Seorang anggota tim perumus

UUK dan PKPU, menyatakan kecewa karena telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan

undang-undang tersebut.13

Penyimpangan fungsi lembaga kepailitan, telah meresahkan badan usaha-badan usaha

pariwisata, terutama hotel-hotel. Sekelompok orang telah menggunakan ketentuan Pasal 2 ayat

11

Ibid 12

www.http//kompasiana.com/bisnis/2013/08/15/pelajaran-dibalik-pailit-batavia-air-bagian-l.diakses hari rabu,tgl.

19-3-201 14.jam 16.00 wita.

13http://metrobali. com/201 2/07/3 1/yusril-uu-kepailitan-keliru-ditafsirkan (diakses hari rabu tanggal 27

Nopember 2013, jam 13.00.

7

7

(1) UUK dan PKPU, untuk mempailitkan hotel-hotel yang masih “sehat” (solven), salah satunya

adalah Hotel Aston Resort and Spa, Tanjung Benoa, Kuta, hingga mengalami kerugian besar.14

UUK dan PKPU , saat ini hanya dimanfaatkan untuk melakukan kejahatan oleh oknum tertentu,

Hotel Bali Kuta Residen (BKR) Kuta salah satu korban penyimpangan lembaga kepailitan.15

UUK dan PKPU, sudah selayaknya dirubah karena banyak celah yang dapat dimanfaatkan

oknum untuk menyalahgunakan lembaga kepailitan, sehingga fungsinya menyimpang.16

Fungsi

lembaga kepailitan bukan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan debitor yang

tidak mampu membayar utang-utangnya, karena utang-utangnya lebih besar daripada asetnya,

melainkan dipergunakan sebagai sarana untuk membangkrutkan debitor yang solven.

Mudahnya mempailitkan suatu perusahaan, merupakan pintu masuk bagi pihak tertentu untuk

mengambil keuntungan dari kelemahan formulasi norma undang-undang kepailitan. Kelemahan

formulasi norma undang-undang itu dipergunakan sebagai alat untuk menjatuhkan perusahaan-

perusahaan yang sesungguhnya masih dalam kategori “sehat” (solven).17

Persyaratan

permohonan pernyataan pailit yang sangat sederhana mengakibatkan bukan hanya debitor yang

tidak mampu saja yang dipailitkan, melainkan juga debitor yang secara financial “sehat”

(solven) atau mempunyai banyak aset, namun karena kreditor juga mempunyai utang pada

debitor kemudian tidak mau membayar utangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan.18

Praktek demikian itu menunjukkan bahwa UUK dan PKPU No.37 Tahun 2004 tidak

membedakan antara konsep “pailit” dengan “tidak mau membayar” utang karena alasan tertentu.

Misalnya debitor tidak mau membayar utang karena kreditor juga mempunyai utang kepada

debitor. Keadaan tersebut di atas merupakan bentuk penyimpangan fungsi lembaga kepailitan.

14

Ibid 15

Ibid 16

Ibid 17

Ibid 18

Hikmahanto Juwana, op.cit. hal 61

8

8

Dipailitkannya debitor-debitor perusahaan yang solven tidak hanya merugikan debitor itu

sendiri, melainkan juga merugikan para stakeholders, misalnya para karyawan dan pemegang

saham dari perusahaan yang dinyatakan pailit. Di samping itu dapat berpotensi menimbulkan

dampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi makro dan dapat mengurangi

tingkat kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Fenomena dipailitkannya debitor-debitor (perusahaan) yang solven, dan mempunyai aset yang

nilainya lebih besar daripada utang-utangnya, dapat diketahui antara lain dari kasus-kasus

kepailitan sebagai berikut:

1. kasus PT. Telkomsel (Persero Tbk);

2. kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI);

3. kasus Hotel Aston Bali Resort and Spa;

4. kasus Batavia Air

5. kasus Bali Kuta Residen (BKR);

6. kasus Prudential Life Assurance;

7. kasus PT. Citra Jimbaran Indah Hotel;

8. kasus PT. Dirgantara Indonesia.

Kasus-kasus kepailitan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lembaga kepailitan sudah

menyimpang dari filosofi, asas, dan tujuan timbulnya lembaga kepailitan. filosofi, asas, dan

tujuan timbulnya lembaga kepailitan diuraikan di bawah ini.

Filosofi lembaga kepailitan adalah sebagai solusi bagi debitot dan kreditor dalam menyelesaikan

masalah utang piutang. Dalam kasus-kasus di atas lembaga kepailitan bukan merupakan solusi

bagi debitor dan kreditor. Dalam kasus tersebut lembaga kepailitan semata-mata dipergunakan

sebagai alat untuk menagih utang, dan membangkrutkan perusahaan.

9

9

Asas keadilan dalam undang-undang kepailitan, maksudnya adalah untuk memenuhi rasa

keadilan bagi para pihak yaitu debitor, kreditor, serta para stakeholders, misalnya para karyawan

dan para pemegang saham dalam perusahaan milik debitor. Faktanya dalam putusan pengadilan

terhadap kasus-kasus tertentu, debitor yang dalam keadaan solven dinyatakan pailit oleh

pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa debitor yang solven tidak mendapatkan perlindungan

hukum. Hal itu bertentangan dengan asas keadilan dalam hukum kepailitan. Dimensi keadilan

dalam hukum kepailitan terletak adanya perlindungan yang seimbang antara debitor dan kreditor.

Asas keseimbangan maksudnya adalah untuk melindungi debitor dan kreditor secara seimbang.

Faktanya dalam rumusan substansi norma Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, condong melindungi

kreditor, karena syarat-syarat kepailitan yang sangat sederhana tersebut memudahkan debitor

dinyatakan pailit. Asas kelangsungan usaha maksudnya adalah untuk memberi kesempatan

kepada debitor yang usahanya masih mempunyai potensi untuk berkembang dan prospeknya

baik, diberikan kesempatan untuk melakukan restrukturisasi agar tetap dapat melangsungkan

usahanya. Faktanya dalam putusan pengadilan terhadap kasus-kasus tertentu, debitor yang

usahanya mempunyai prospek bagus dinyatakan pailit oleh pengadilan hanya karena ketentuan

Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, telah terpenuhi. Pada kasus PT. Jimbaran Indah Hotel,

Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK), memberikan kesempatan kepada debitor untuk

melakukan restrukturisasi karena perusahaan milik debitor mempunyai potensi untuk

berkembang dan prospeknya bagus. Hal ini merupakan terobosan yang sangat bagus bagi hakim

yang memutus perkara tersebut demikian juga terhadap kasus PT Dirgantara Indonesia.

Asas putusan pernyataan palit tidak dapat dijatuhkan terhadap debitor yang solven.

Faktanya dalam putusan pengadilan terhadap kasus-kasus tertentu, debitor yang solven,

dinyatakan pailit oleh pengadilan, karena ketentuan Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.

10

10

Filosofi tujuan lembaga kepailitan adalah untuk melakukan pembagian aset milik

debitor kepada semua kreditor-kreditornya, melalui proses kepailitan. Faktanya dalam putusan

pengadilan terhadap kasus-kasus tertentu, proses kepailitan digunakan sebagai sarana untuk

menagih utang dan membangkrutkan debitor perusahaan yang solven, bukan untuk

melaksanakan pembagian aset debitor secara proporsional.

Kasus-kasus tersebut dapat menjadi bukti bahwa di Indonesia telah terjadi

penyimpangan fungsi lembaga kepailitan. Dalam beberapa kasus kepailitan sebagaimana di

sebutkan di atas, kepailitan bukan lagi digunakan sebagai jalan ke luar untuk menyelesaikan

permasalahan utang-piutang antara debitor dan kreditor karena utang-utang debitor lebih besar

daripada aset-asetnya, sehingga debitor tidak mampu membayar lunas utang-utang tersebut,

melainkan lembaga kepailitan hanya digunakan sebagai alat untuk menagih utang, bahkan juga

untuk membangkrutkan perusahaan yang solven.19

Hal ini merupakan kekeliruan yang sangat

mendasar dalam UUK dan PKPU .

Ahli hukum kepailitan menyatakan bahwa, pada saat ini lembaga kepailitan dapat

dipergunakan oleh para kreditor sebagai alat untuk membangkrutkan debitor, bukan sebagai jalan

ke luar atau solusi untuk menyelesaikan masalah keadaan financial debitor, hal ini dapat

diketahui dari adanya putusan-putusan pengadilan yang menyatakan pailit terhadap debitor yang

solven.20

Dipailitkannya debitor perusahaan-perusahaan yang dalam keadaan solven tidak hanya

merugikan debitor itu sendiri, melainkan juga merugikan para stakeholder-nya dan dapat

berdampak negatif baik terhadap ekonomi makro, maupun gairah investasi bahkan dapat

19

Maksudnya,proses penyelesaian utang telah melalui langkah-langkah yang berupa perdamaian ataupun

restrukturisasi, tetapi tidak membuahkan hasil.

20M.Hadi Subhan, op. cit. hal. 12

11

11

berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi nasional. Kondisi seperti diuraikan di atas tidak boleh

dibiarkan berlarut-larut, oleh karena itu sebaiknya segera ditanggulangi.

Fenomena penyimpangan fungsi lembaga kepailitan sebagaimana telah diuraikan di

atas, dikaji dari perspektif akademis dapat menimbulkan berbagai macam problematik terhadap

eksistensi lembaga kepailitan di Indonesia. Problematik-problematik akademis tersebut akan

diuraikan secara lebih terperinci di bawah ini.

12

12

1. Problematik Filosofis

Dari perspektif filosofis, filsafat ilmu pada dasarnya mencakup tiga komponen

pendekatan, yaitu: (a). ontologi, (b). epistemologi, dan (c). aksiologi.21

Selanjutnya di

bawah ini diuraikan masing-masing istilah tersebut.

Ad. a. Ontologi

Ontologi adalah melakukan pemikiran dan tela’ah kritis, radikal, dan

komprehensif terhadap hakikat ilmu.22

Dari aspek ontologi, alasan adanya lembaga kepailitan

adalah sebagai jalan keluar atau solusi bagi debitor dan kreditor dari persoalan utang-piutang

yang sudah tidak bisa diselesaikan lagi. Hal tersebut terjadi karena utang-utang debitor lebih

besar daripada aset-asetnya, sehingga debitor tidak mampu membayar lunas seluruh utang-

utangnya. Dalam kasus-kasus tertentu sebagaimana telah diuraikan di atas, lembaga kepailitan

bukan digunakan sebagai jalan keluar bagi debitor dan kreditor untuk menyelesaikan masalah

utang-piutang karena utang-utang debitor lebih besar daripada aset-asetnya, sehingga debitor

tidak mampu membayar lunas utang-utangnya, melainkan digunakan oleh kreditor sebagai

sarana untuk membangkrutkan debitor (perusahaan) yang solven.

Keadaan tersebut ditinjau dari perspektif ontologi, berarti telah terjadi pergeseran fungsi

lembaga kepailitan, yaitu dari fungsinya semula sebagai jalan keluar atau solusi bagi debitor dan

kreditor dalam menyelesaikan kewajiban membayar utang, bergeser sebagai sarana bagi kreditor

untuk membangkrutkan debitor yang solven. Hal ini tidak sesuai dengan filosofi timbulnya

lembaga kepailitan.

Ad. b. Epistemologi

21

Lasiyo, 2006, Hand Out Filsafat Ilmu Pengetahuan , Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,

hal.1.

22Ibid

13

13

Epistemologi adalah melakukan pemikiran dan tela’ah kritis, radikal, dan

komprehensif terhadap cara yang benar untuk mendapatkan ilmu.23

Dari aspek Epistemologi,

proses kepailitan pada dasarnya merupakan metode/cara untuk melakukan pembagian aset milik

debitor yang sudah tidak mampu lagi membayar utang-utangnya. Dalam kasus-kasus kepailitan

sebagaimana diuraikan di atas, ternyata debitor yang solven juga dapat dinyatakan pailit oleh

pengadilan. Di sini terjadi benturan asas kepailitan, karena debitor yang solven seyogyanya tidak

dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan. Apabila debitor dalam keadaan solven proses

penyelesaian utang-piutangnya seyogyanya bukan melalui proses kepailitan, melainkan melalui

proses gugatan perdata biasa.

23

Ibid, hal.2.

14

14

Ad. c. Aksiologi

Aksiologi pada dasarnya adalah melakukan pemikiran dan telaah kritis,

radikal, dan komprehensif terhadap nilai kegunaan/manfaat suatu ilmu. Dari perspektif

aksiologi, apabila debitor yang dalam keadaan solven dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan,

maka proses kepailitan tidak akan dapat dirasakan manfaatnya. Di sini pada dasarnya telah

terjadi benturan nilai kemanfaatan terhadap lembaga kepailitan. Penggunaan lembaga kepailitan

akan dapat dirasakan nilai kemanfaatnya justru karena jumlah aset-aset debitor tidak mencukupi

untuk membayar lunas seluruh utangnya. Melalui proses kepailitan semua aset milik debitor

akan dijual melalui proses lelang. Kemudian hasilnya akan dibagi-bagikan kepada para

kreditornya secara proporsional, sehingga dapat dihindari terjadinya perebutan aset debitor oleh

para kreditornya.

2. Problematik yuridis

Problematik yuridis timbul dari ketentuan rumusan norma Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (4)

UUK dan PKPU . Pasal 2 ayat (1) menentukan:

debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas

sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit berdasarkan

putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih

kreditornya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, persyaratan agar debitor dapat dinyatakan pailit oleh

pengadilan adalah:

1. debitor mempunyai dua atau lebih kreditor;

2. debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yag telah jatuh waktu dan dapat

ditagih.

Selanjutnya, Pasal 8 ayat (4) menentukan :

15

15

permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan, apabila terdapat fakta atau keadaan yang

terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.

Kemudian, penjelasan Pasal 8 ayat (4) menyebutkan:

yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederahana” adalah adanya

fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar.

Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon

pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.

Apabila dikaji secara mendalam, ketentuan Pasal 2 ayat (1) mengandung

kekaburan/ketidakjelasan norma, yaitu berkenaan dengan frase “tidak membayar”, dalam

pengertian menimbulkan multi interpretasi. Tidak membayar utang dapat diinterpretasikan

karena debitor “tidak mampu membayar”, dan dapat pula diinterpretasikan karena debitor “tidak

mau membayar”.24

Interpretasi yang lain bahwa “tidak membayar” utang dapat diinterpretasikan

karena debitor tidak mampu dan karena satu dan lain hal kemudian debitor tidak mau membayar,

meskipun sebenarnya ia mampu.25

Interpretasi yang lain lagi adalah bahwa, tidak membayar

dapat terjadi karena tidak mampu membayar, dan dapat pula karena tidak mau membayar.26

Berdasarkan keterangan tersebut, tidak membayar dapat diinterpretasikan karena

debitor “tidak mampu” membayar dan dapat pula diinterpretasikan debitor “tidak mau”

membayar, walaupun sebenarnya mampu. Debitor tidak mau membayar utangnya karena sesuatu

hal, misalnya karena kreditor juga mempunyai utang kepada debitor. Dalam hal ini debitor tidak

mau membayar, meskipun sebenarnya mampu. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU , di

samping mengandung norma kabur, juga tidak mengatur tentang ketidakmampuan debitor

sebagai syarat untuk dinyatakan pailit. Berarti ada norma kosong, maksudnya adalah tidak ada

24

Sutan Remy Sjahdeni, op.cit. hal.41 25

Hikmahanto Juwana, loc. cit. 26

Man S. Sartrawidjaja, op. cit. hal 2

16

16

norma yang mengatur tentang ketidakmampuan debitor sebagai syarat permohonan pernyataan

pailit.

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4), apabila syarat-syarat untuk dinyatakan

pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi, maka permohonan pernyataan

pailit “harus” dikabulkan. Hal ini berarti, kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan

kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi utang dalam bentuk Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), melainkan harus menyatakan bahwa, “debitor pailit”.

Ketentuan Pasal 8 ayat (4), telah menutup kemungkinan bagi hakim untuk memberikan

keputusan lain selain putusan pailit. Ketentuan Pasal 8 ayat (4) telah memperkuat keberlakuan

Pasal 2 ayat (1) dan menutup kemungkinan penerapan ketentuan-ketentuan mengenai PKPU.

3. Problematik Sosiologis

Problematik sosiologis yang muncul adalah debitor-debitor yang solven, dan

mempunyai sejumlah aset yang nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah utang-

utangnya, dapat dinyatakan pailit oleh hakim. Hal ini sangat merugikan debitor, dan bahkan para

stakeholders, serta dapat berdampak negatif terhadap ekonomi makro, ketidakstabilan kondisi

ekonomi, perbankan, dan ketidakberlanjutan usaha debitor yang solven. Keadaan tersebut dapat

berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Berdasarkan atas latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan secara

terperinci tersebut di atas dapat diketahui bahwa di Indonesia telah terjadi penyimpangan fungsi

lembaga kepailitan. Apabila keadaan tersebut dibiarkan saja terus-menerus, dapat berdampak

negatif terhadap perkembangan iklim usaha di Indonesia, khususnya di Bali di sektor pariwisata,

misalnya perhotelan. Investor akan menjadi ragu-ragu untuk berinvestasi sebab tidak ada

kepastian hukum, khususnya dalam penyelesaian utang-piutang melalui proses kepailitan.

17

17

Menyikapi problematik-problematik tersebut, dipandang penting, dan merupakan suatu

kebutuhan untuk segera dilakukan penelitian secara mendasar, mendalam, dan menyeluruh

tentang berbagai faktor yang kemungkinan dapat menjadi penyebab terjadinya penyimpangan

fungsi lembaga kepailitan di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk memulihkan

fungsi lembaga kepailitan sesuai dengan filosofi timbulnya lembaga kepailitan. Lebih jauh lagi

untuk mengantisipasi perkembangan dunia usaha yang sangat kompleks dan berkembang pesat

dalam menyongsong keberadaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Tujuan mendasar dilakukannya penelitian adalah untuk dapat menganalisis, serta menemukan

tentang karakteristik lembaga kepailitan, karakteristik penyimpangan fungsi lembaga kepailitan,

dan formulasi pengaturan kepailitan, yang merefleksikan filosofi timbulnya lembaga kepailitan.

Hal ini untuk mencegah agar tidak terjadi lagi penyimpangan-penyimpangan fungsi lembaga

kepailitan terutama yang menggunakan proses kepailitan hanya untuk kepentingan oknum-

oknum tertentu saja. Penyimpangan fungsi lembaga kepailitan sangat merugikan debitor yang

solven, dan stakeholder, misalnya para karyawan perusahaan debitor dan para pemegang

sahamnya. Penyimpangan fungsi lembaga kepailitan berpotensi menimbulkan dampak negatif

terhadap ekonomi makro, dan stabilitas ekonomi nasional.

18

18

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana telah diruaikan di atas, selanjutnya

akan dilakukan penelitian secara mendasar, mendalam, dan menyeluruh, yang masalahnya

dirumuskan secara terperinci di bawah ini.

1. Mengapakah fungsi lembaga kepailitan di Indonesia menyimpang dari hakikat lembaga

kepailitan?

2. Bagaimanakah formulasi kebijakan hukum pengaturan kepailitan dalam rangka

memulihkan fungsi lembaga kepailitan ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk :

1. mengeksplorasi karakteristik lembaga kepailitan;

2. mengeksplorasi karakteristik penyimpangan fungsi lembaga kepailitan;

3. menemukan, solusi terhadap penyimpangan fungsi lembaga kepailitan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini secara lebih khusus bertujuan:

1. untuk menganalisis, dan menemukan faktor-faktor yang menyebabkan fungsi

lembaga kepailitan di Indonesia menyimpang dari hakikat lembaga kepailitan;

2. untuk menganalisis, menemukan, dan mengembangkan formulasi kebijakan hukum

pengaturan kepailitan dalam rangka memulihkan fungsi kepailitan yang dapat

menrefleksikan filosofi lembaga kepailitan.

1.4 Manfaat Penelitian

19

19

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak,

antara lain adalah:

1. para akademisi, baik mahasiswa, dosen, maupun golongan para pemburu ilmu

lainnya, sebagai bahan referensi dalam rangka untuk memenuhi sebagaian dari segala

bentuk rasa keingintahuannya dalam menjelajahi dunia ilmu yang tidak pernah

mandeg dalam penggaliannya;

2. bagi pustakawan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan

menambah koleksi karya ilmiah di bidang hukum, khususnya bidang hukum

kepailitan;

3. pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum kepailitan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak, antara

lain:

1. bagi pemerintah, yaitu sebagai bahan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang

Kepailitan yang akan datang atau peraturan-peraturan yang lainnya yang terkait

dengan kepailitan;

2. bagi hakim, dapat dipergunakan sebagai bahan rujukan ketika membuat putusan

tentang perkara kepailitan;

3. bagi kepolisian dapat menjadi bahan rujukan dalam memeriksa perkara pidana

penipuan dengan dalih kepailitan.

1.5 Keaslian Penelitian

20

20

Sepengetahuan peneliti, sampai saat ini belum pernah ada yang melakukan penelitian mengenai

pemulihan fungsi lembaga kepailitan sebagai lembaga penyelesaian kewajiban debitor. Oleh

karena itu, penelitian yang akan dilakukan adalah asli, dalam pengertian belum pernah dilakukan

penelitian sebelumnya. Selanjutnya dalam penelusuran beberapa disertasi ditemukan beberapa

judul disertasi.

1. Disertasi yang disusun oleh Sunarmi, doktor Ilmu hukum, alumni Iniversitas Sumatra

utara, Tahun 2005. Judul disertasinya adalah, Tinjauan Kritis Terhadap Undang-Undang

Kepailitan: Menuju Hukum Kepailitan yang Melindungi Kepentingan Debitor dan

Kreditor. Penelitian tersebut dilakukan Tahun 2005, baru kurang lebih satu tahun sejak

Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran

Utang diundangkan. Asumsinya, ketika itu belum diketahui kasus-kasus terhadap

penerapan Undang-Undang Kepailitan dan terlalu dini menilai undang-undang yang baru

berlaku selama satu tahun.

2. Disertasi yang disusun oleh Arbijoto, doktor alumni Universitas Indonesia, Jakarta,

Tahun 2009. Judul disertasinya adalah, Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan Undang-

Undang Kepailitan Indonesia Bagi Debitor dan Kreditor: suatu Tinjauan Yuridis Filosofis

tentang Syarat-Syarat Kepailitan Undang-Undang Kepailitan Indonesia. Dari judul

tersebut dapat diketahui, bahwa Arbijoto menggunakan objek penelitiannya adalah

putusan-putusan pengadilan, sedang penelitian yang akan dilakukan objeknya adalah

peraturan kepailitan/undang-undang kepailitan. Hasil penelitian yang dilakukan Arbijoto

adalah, hakim menerapkan Undang-Undang Kepailitan dalam beberapa kasus secara

legistis, tekstual dan sinkronis. Akibatnya Undang-Undang Kepailitan Indonesia

dikatakan telah menimbulkan ketidakpastian hukum, dan ketidakadilan serta tidak

memberikan manfaat bagi dunia usaha di Indonesia dalam rangka pembangunan ekonomi

21

21

Indonesia. Sementara itu, penelitian yang dilakukan dalam rangka untuk menyusun

disertasi ini beranjak dari norma yang bermasalah, asumsinya bahwa dalam beberapa

kasus hakim menginterpretasikan ketentuan mengenai syarat-syarat agar debitor dapat

dinyatakan pailit secara tekstual, sehingga debitor yang solven dapat dipailitkan.

Dipailitkannya debitor yang solven ini merupakan penyalahgunaan lembaga kepailitan,

dan merupakan fenomena pergeseran fungsi lembaga kepailitan. Jadi penelitian yang

dilakukan justru dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari penelitian yang dilakukan

sebelumnya.

3. Buku, yang merupakan naskah dari disertasi yang berjudul, Hukum Kepailitan Prinsip,

Norma, dan Praktik di Peradilan, penulisnya adalah Hadi Shubhan, dosen Fakultas

Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Sesuai dengan judulnya buku tersebut

menjabarkan tentang prinsip- prinsip dan norma hukum kepailitan diberbagai negara dan

penerapan beberapa prinsip dan norma tersebut dalam praktik di peradilan. Bedanya

dengan penelitian yang dilakukan dalam penulisan disertasi ini adalah lebih

memfokuskan pada ketentuan yang meyebabkan terjadi penyimpangan lembaga

kepailitan dan mengapa dirumuskan seperti itu?

4. Judul Disertasi: Konstruksi Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Mengajukan

Permohonan Pernyataan Pailit Terhadap Bank. Penulisnya adalah Sylvia Janisriwati,

doktor dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Penelitian ini lebih

memfokuskan kepailitan Bank. Bedanya dengan Penelitian yang dilakukan di sini adalah

bahwa penelitian ini lebih memfokuskan pada kajian norma yang menyebabkan

penyimpangan terhadap lembaga kepailitan.

5. Judul Disertasi: Kepailitan Berdasarkan Obligasi Dijamin (Guaranted Secured Note),

yang diterbitkan oleh Perusahaan Special Purpuse Vihicle (SPY) di Luar Negeri. Hasil

penelitiannya adalah obligasi dijamin yang diterbitkan dengan tujuan menghindari

22

22

pembayaran pajak atas bunga ke pemerintah Indonesia merupakan obligasi yang dibuat

dengan dasar perbuatan melanggar hukum, atau batal demi hukum, karena tidak

memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hal ini

jelas sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan dalam rangka munulis disertasi ini

sebab, penelitian yang dilakukan memang berbeda fokusnya. Penelitian yang dilakukan

di sisni, fokusnya adalah tentang fenomena penyimpangan fungsi lembaga kepailitan. Hal

ini untuk mengetahui hakikat penyebab adanya penyimpangan yang menjadi fokus

penelitian.

1.6 Desain Penelitian

Apabila digambarkan dalam sebuah skema, desain penelitiannya akan dapat di lihat

seperti skema yang disajikan di bawah ini.

23

23

Desain Penelitian

Latar Belakang

Masalah

Problematik Filosofis

a. Ontologi

Terjadi pergeseran fungsi

lembaga kepailitan

b. Epistemologi

Terjadi benturan asas kepailitan

c. Aksiologi

Problematik yuridis

Terdapat norma kabur, dan

Problematik Sosiologi

Dipailitkannya debitor

yang solven, dapat

berdampak negatif terhadap debitor itu

sendiri, stakeholdesr,

gairah investasi dan

stabilitas ekonomi makro

Rumusan

Masalah

1.

Mengapakah

fungsi lembaga kepailitan di

Indonesia

menyimpang dari hakikat Lembaga

Kepailitan ?

2. Bagaimanakah formulasi

kebijakan hukum

pengaturan Kepailitan dalam

rangka

memulihkan fungsi Lembaga

Kepailitan ?

Landasan

Teori

1.

Teori

Kepailitan (Bankruptcy

Theory)

2. Teori

Keluar dari kesulitan

keuangan

(Exit From Financial

Distress

Theory)

3.

Teori

Penyelamatan Perusahaan

(Corporate

Rescue Theory)

4.

Teori

Keadilan (Theory of

Justice)

6..

Teori

Rekonstruksi

Norma (Recon-

struction

Theory of Norm).

7.

Teori

Hukum dengan

Orientasi Kebijakan

(Policy

Oriented Theory of

Law)

-Lasswell &

Metode

Penelitian

1. Jenis Penelitian

: Hukum

Normatif

2. Jenis

Pendekatan :

a. Perundang-

undangan

(The Statute

Approach)

b. Konseptual

(Conceptual

Approach)

c. Kasus (Case

Approach)

d. Historis

(Historical

Approach)

e. Perbanding-

an

(Comparati-ve

Approach)

3. Bahan

Penelitan :

a. BH. Primer

b. BH

Sekunder

c. BH Tersier

4. Teknik

Pengumpulan

Bahan Hukum:

Sistem Kartu (Card

System)

5. Tehnik Analisis

Bahan Diskriptif

Hasil dan

Analisis

1. Syarat-syarat

kepailitan

memudahkan debitor

dipailitkan,

sehingga fungsinya

menyimpang

2. Kebijakan pemerintah

tersebut

dilakukan dalam rangka

memulihkan situasi krisis

moneter

Kesimpulan:

1.Filosofi lembaga

kepailitan belum

dijabarkan secara

tepat dalam

substansi rumusan

norma Pasal 2 ayat

(1) UUK dan

PKPU

2. Diperlukan

reformulasi

substansi rumusan

norma Pasal 2 ayat

(1) jo Pasal 8 ayat

(4) UUK dan

PKPU

Rekomendasi

antara lain:

1..Insolvency Test,

untuk mengetahui

ketidakmampuan//k

emampuan debitor

2.Penyelamatan

24

24

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif

adalah penelitian terhadap hukum berdasarkan metode penelitian hukum.27

Penelitian hukum

normatif dimaksudkan sebagai penelitian hukum yang hanya menggunakan data sekunder belaka

yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.28

Penelitian hukum tidak mengenal data, oleh karena itu penelitian hukum bersumber pada bahan-

bahan hukum. Adapun bahan hukum tersebut meliputi, bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.29

Mengenai metode dalam penelitian hukum normatif disebutkan sebagai metode

penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya.30

Dalam kaitan dengan penelitian yang telah dilakukan dalam rangka penulisan

disertasi ini penelitian hukum normatif dilakukan terhadap undang-undang kepailitan. Penelitian

ini mencakup uji validitas, uji konsistensi, dan harmonisasi norma hukum kepailitan

1.7.2 Pendekatan Masalah

Dalam rangka membedah isu hukum yang diangkat dalam penelitian, dan untuk mendapatkan

berbagai informasi tentang berbagai aspek mengenai isu hukum tersebut, diperlukan metode

27

Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Usulan Penelitian Disertasi Program Studi Ilmu

Hukum, Denpasar, hal.3. 28

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, hal.l1.

29Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta hal.141.

30Jhony Ibrahim, 2011, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Pertama, Bayu Media

Publishing, Malang, hal.57.

25

25

pendekatan masalah. Pendekatan masalah ini sangat penting, sebab dengan menggunakan

pendekatan yang berbeda, maka akan diperoleh kesimpulan yang berbeda.31

Ada beberapa jenis

atau tipe pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian untuk menulis disertasi ini.

1. Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach)

Sebagai tipe penelitian hukum normatif dalam penelitian ini pendekatan perundang-undangan

merupakan pendekatan yang utama. Suatu penelitian hukum normatif bahkan harus

menggunakan pendekatan perundang-undangan.32

Prosesnya dilakukan dengan cara menelaah

semua jenis peraturan perundang-undangan yang substansinya memuat dan terkait dengan isu

hukum yang sedang diteliti. Hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang konsistensi

dan kesesuaian antara undang-undang dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Di

samping hal tersebut, yang lebih penting lagi dibalik pendekatan perundang-undangan ( The

Statute Approach) adalah untuk memperoleh ratio legis33

, serta dasar ontologis34

, lahirnya

undang-undang tersebut. Harapan yang lebih mendalam lagi adalah untuk dapat menemukan

kandungan filosofi yang ada di balik undang-undang itu, sehingga nantinya akan dapat

menyimpulkan apakah ada benturan filosofis atau tidak antara undang-undang itu dengan isu

hukum yang sedang diteliti.

2. Pendekatan Konseptual ( The Conceptual Approach)

Untuk mengantisipasi hal yang terkait dengan topik yang dibahas, tetapi belum terdapat

peraturannya, maka pendekatan perundang-undangan ini dilengkapi dengan pendekatan

konseptual. Dalam pendekatan konseptual disebutkan, apabila peneliti mengacu pada peraturan

perundangan-undangan, tapi tidak menemukan pengertian terhadap istilah yang dicari, maka

31

Ibid, hal.299. 32

Ibid, hal.302. 33

Ratio legis, secara sederhana dapat diartikan alasan mengapa ada ketentuan itu 34

Ontologis merupakan alasan adanya.

26

26

hendaknya dipergunakan pendekatan konsep.35

Dalam menggunakan pendekatan konseptual ini,

merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana

atau doktrin-doktrin hukum. Meskipun suatu konsep hukum tidak ditemukan secara eksplisit

dalam undang-undang, tetapi peneliti dapat mengidentifikasinya melalui doktrin-doktrin atau

pendapat-pendapat sarjana.36

3. Pendekatan Kasus (The Case Approach)

Isu-isu hukum mengenai fenomena penyimpangan fungsi lembaga kepailitan, baik yang

diperoleh melalui bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, dilakukan pengkajian

secara kritis. Fokus penelaahan terhadap kasus dimaksud adalah pada ratio decidendi.37

, terhadap

putusan-putusan hakim, bagaimana pertimbangan hukumnya, sehingga sampai pada putusannya

itu.

4. Pendekatan Historis (Historical Approach)

Disebutkan bahwa, pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah

lembaga hukum dari waktu ke waktu.38

Bedasarkan keterangan tersebut, maka dalam penelitian

mengenai penyimpangan fungsi lembaga kepailitan ini juga dipergunakan pendekatan historis.

Dalam hal ini untuk mengetahui sejarah lembaga hukum tersebut dari waktu ke waktu,

pendekatan ini akan membantu dalam memahami filosofi lembaga kepailitan dari waktu ke

waktu. Diharapkan melalui pendekatan ini dapat memahami perubahan dan perkembangan

filosofi yang melandasi peraturan tentang hukum kepailitan.

5. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

35

Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hal.137. 36

Peter Mahmud Marzuki, loc.cit. 37Menurut Goodheart, ratio decidendi, dapat ditemukan dengan memerhatikan fakta-fakta materiel. Ian Me Leod, 1999, Legal

Method, Micmilan , London, pp.13-34. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan segala yang menyertainya asalkan

tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta material tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari

aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut.

38Peter Mahmud Marzuki, op.cit. hal.126.

27

27

Suatu pendekatan perbandingan hukum dilakukan dengan mengadakan studi

perbandingan hukum.39

Studi perbandingan hukum adalah suatu kegiatan untuk membandingkan

hukum suatu negara dengan hukum negara lain. Dalam hal ini membandingkan lembaga

kepailitan di Indonesia dengan lembaga kepailitan negara lain, yaitu Amerika Serikat. Kegiatan

ini bermanfaat bagi penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum kepailitan di

Indonesia dengan ketentuan hukum kepailitan di negara lain. Penyingkapan tersebut dapat

dijadikan rekomendasi dalam penyusunan ataupun perubahan undang-undang kepailitan di

Indonesia. Penelitian hukum normatif sangat berguna dalam penyusunan rancangan undang-

undang.40

Pendekatan perbandingan dalam ilmu hukum sangat penting, sebab dalam bidang

hukum tidak memungkinkan dilakukan suatu eksperimen sebagaimana yang biasa dilakukan

dalam ilmu-ilmu empiris.41

Menurut doktrin ilmu hukum dengan melakukan perbandingan

hukum akan dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara

pengaturan yang sama pula, dan

2. kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu

menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.42

1.7.3 Bahan Penelitian

Penelitian untuk menyusun disertasi ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif, Bahan

penelitian yang dipergunakan meliputi baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

maupun bahan hukum tersier. Penjelasan dari masing-masing bahan hukum diuraikan secara

terperinci di bawah ini.

39

Peter Mahmud Marzuki, op.cit. hal.132. 40

Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, PT. Alumni, Bandung, hal.141 41

Jhoni Ibrahim, op.cit, hal. 313. 42

Sunaryati Hartono, 1991, Kapita selekta perbandingan hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.1-2.

28

28

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas,

sehingga mengikat.43

Bahan hukum primer dalam penelitian ini antara lain meliputi Peraturan

Kepailitan yang terdapat dalam Stb. 1905 No. 217 jo Stb.1906 No.348, Perpu No. 1 Tahun 1998

tentang Perubahan terhadap Faillisementsveordening (Fv) dan Undang-Undang No. 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Risalah-risalah dalam

pembuatan Perpu, risalah pembuatan undang-undang kepailitan tersebut, dan putusan-putusan

hakim Pengadilan Niaga yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah, bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer.44

Bahan hukum sekunder yang dipergunakan antara lain adalah, semua

publikasi hukum pada umumnya dan khususnya hukum kepailitan dan bahan hukum yang terkait

dengan masalah yang diteliti, baik berupa buku-buku, jurnal maupun artikel hukum.

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tertier adalah, bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder.45

Bahan hukum tertier yang dipergunakan

meliputi, kamus umum, kamus hukum, ensiklopedi, dan ensiklopedi hukum.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara melakukan studi terhadap

dokumen, baik dokumen-dokumen resmi maupun yang tidak resmi. Selanjutnya dicatat dalam

kartu-kartu yang sudah disiapkan dalam rangka melaksanakan penelitian ini. Kartu tersebut

disusun berdasarkan abjad, dan isi catatan dalam kartu tersebut dibuat berdasarkan pada

43

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit, hal. 14. 44

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hal.15. 45

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, loc.cit.

29

29

permasalahan yang akan dipecahkan. Tehnik pengumpulan bahan hukum yang demikian ini

disebut dengan sistem kartu (card system).46

Dalam sistem kartu dikenal dua macam kartu yang

perlu dipersiapkan.

a. Kartu kutipan yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip bahan beserta

sumber dari mana bahan tersebut diperoleh (nama pengarang/penulis, judul buku atau

artikel, impresum, halaman dan lain sebagainya).

b. Kartu biografi dipergunakan untuk mencatat sumber bacaan yang dipergunakan.

Kartu ini sangat penting dan berguna pada waktu peneliti menyusun daftar

kepustakaan sebagai bagian penutup dari laporan penelitian yang ditulis atau

disusun.47

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah langkah pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

dengan sistem kartu lengkap, dilanjutkan dengan proses analisis. Analisis terhadap hasil

penelitian ini menggunakan alur logika dalam penelitian hukum normatif, yang ditempuh melalui

langkah-langkah sebagai diuraikan di bawah ini.

Langkah pertama, mendiskripsikan (memaparkan), pada tahap ini diskripsi

meliputi, isi dan struktur hukum positif. Maksudnya dilakukan kegiatan untuk memaparkan isi

atau makna aturan hukum. Menentukan makna dari sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu itu,

dengan demikian memaparkan aturan hukum adalah menafsirkan aturan hukum, karena itu pula

pemaparan aturan hukum akan sangat tergantung pada teori interpretasi yang dianut ilmuwan

hukum.48

Jadi tahap ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum

46

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit.hal.13. 47

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit.hal.15. 48

Sidharta: 2009, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan,CV. Utomo, Bandung, hal.88.

30

30

dalam undang-undang kepailitan yang telah diteliti tersebut. Jika terjadi norma yang kabur, akan

diinterpretasi dengan berpedoman pada metode-metode interpretasi.

Tahap kedua adalah sitematisasi, dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur

atau hubungan hearekhis antara aturan-aturan hukum. Dalam sistematisasi ini dilakukan

koherensi antara aturan-aturan hukum yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik.

Tahap ketiga adalah, tahap eksplanasi. Pada tahap ini dilakukan penjelasan dan

analisis terhadap makna yang terkandung dalam aturan-aturan hukum. Analisis diakitkan dengan

isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini, sehingga keseluruhannya membentuk satu

kesatuan yang saling berhubungan secara logis.

1.8 Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini disajikan dalam lima bab, yaitu: (a) Bab I, Pendahuluan; (b) Bab II,

Kerangka Teoritik dan Konsep penelitian; (c) Bab III , dan (d) Bab IV, pada dasarnya merupakan

hasil penelitian dan pembahasanya; dan (e) Bab V, merupakan kesimpulan dan rekomendasi dari

hasil penelitian.

Bab I, substansinya meliputi tujuh unsur, yaitu: (a) latar belakang masalah; (b) rumusan masalah;

(c) tujuan penelitian; (d) manfaat penelitian; (e) keaslian penelitian; (f) desain penelitian; (g)

metode penelitian; dan (h) sistematika penulisan. Latar belakang masalah merupakan uraian

tentang fenomena yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian.

Adapun yang menjadi latar belakang dalam melakukan penelitian adalah karena ada fenomena

tentang penyimpangan fungsi lembaga kepailitan yang semakin meresahkan masyarakat. Hal

tersebut minimal dapat diketahui dari adanya kasus-kasus dipailitkannya debitor-debitor

berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang solven. Nilai aset-asetnya lebih besar daripada jumlah

utangnya. Beberapa kasus dapat disebutkan antara lain yaitu: kasus PT. Telkomsel (persero)

31

31

Tbk, kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, kasus Hotel Aston Bali and Spa., kasus

Batavia Air, kasus Bali Kuta Residence, kasus PT. Prudential Life Assurance, kasus Jimbaran

Indah Hotel, dan kasus PT. Dirgantara Indonesia. Kasus-kasus tersebut sudah cukup sebagai

bukti bahwa di Indonesia terjadi penyimpangan fungsi lembaga kepailitan.

Fenomena tersebut dipergunakan sebagai dasar untuk merumuskan masalah.

Selanjutnya berdasarkan analisis terhadap gejala itu, disimpulkan ada penyimpangan fungsi

lembaga kepailitan. Penyimpangan tersebut menyebabkan hukum kepailitan tidak berfungsi

sebagaimana yang diharapkan. Pada bab ini juga disajikan rumusan masalah, tujuan penelitian,

dan manfaat penelitian secara lebih detail. Sisi lain yang juga disajikan dalam bab ini di samping

mengenai keaslian penelitian, juga disajikan logika berpikir dalam wujud desain penelitian.

Selanjutnya sistematika penulisan, yaitu menggambarkan secara sistematis tentang hasil

penelitian.

Bab II, menyajikan dua komponen materi, yaitu: (a) kerangka teoritik dan, (b)

kerangka konsep penelitian. Penelitian ini menggunakan 7 (tuju) teori untuk membedah

permasalahan yang diteliti, yaitu: (1) teori kepailitan (Bankruptcy Theory), (2) ) teori keluar dari

kesulitan keuangan (exit from financial distrees theory), (3) teori penyelamatan perusahaan

(corporate rescue theory), (4), teori keadilan (theory of justice), (5) teori fungsi hukum

(functional theory of law), (6) teori ekonstruksi norma (reconstruction theory of norm), (7) teori

hukum dengan orientasi kebijakan (policy oriented theory of law).

Teori kepailitan (bankruptcy theory) untuk membedah mengapa fungsi lembaga kepailitan di

Indonesia menyimpang dari hakikat kepailitan, termasuk mengapa hukum kepailitan tidak

berfungsi seperti yang diharapkan sesuai dengan filosofi timbulnya lembaga kepailitan.

Selanjutnya pada kasus-kasus dimana debitor yang solven dinyatakan pailit, berarti kepailitan

32

32

bukan sebagai jalan ke luar atau solusi bagi debitor yang tidak mampu, melainkan sebagai alat

untuk menagih utang dan membangkrutkan perusahaan, dengan demikian teori keluar dari

kesulitan finansial (exit from financial distrees theory) yang dipergunakan untuk menganalisis.

Teori penyelamatan perusahaan (corporate rescue theory) juga digunakan untuk membedah

masalah yang pertama, yaitu untuk menjelaskan debitor yang usahanya masih mempunyai

prospek kedepan yang baik dan masih mempunyai harapan untuk melaksanakan kewajiban-

kewajibannya, seyogyanya tidak dipailitkan, melainkan perusahanya diselamatkan dengan cara

melakukan restrukturisasi yang dalam UUK dan PKPU disebut Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU).

Akibat penyimpangan fungsi lembaga kepailitan menimbulkan rasa ketidakadilan. Oleh karena

itu, kemudian dilanjutkan dengan analisis menggunakan teori keadilan (theory of justice). Untuk

menghindari dampak yang lebih luas terhadap penyimpangan fungsi lembaga kepailitan di

Indonesia, maka substansi norma undang-undang kepailitan, khususnya yang mengatur tentang

syarat-syarat kepailitan perlu di rekonstruksi, teori rekonstruksi (reconstruction theory)

dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai masalah kontrsuksi norma ini. Akhirnya, sudut

pandang teori hukum dengan orientasi kebijakan (policy oriented theory of law), dipergunakan

untuk menganalisis masalah kedu, yaitu bagaimana formulasi kebijakan hukum pemerintah

dalam rangka memulihkan fungsi lembaga kepailitan di Indonesia.

Di samping kerangka teoritik pada Bab II, juga disajikan tentang kerangka konseptual penelitian.

Hal ini penting untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang

dipergunakan. Konsep-konsep penelitian tersebut meliputi beberapa istilah yaitu: konsep pailit,

konsep kepailitan, konsep lembaga kepailitan, konsep utang, konsep debitor, konsep kreditor,

dan konsep fungsi hukum.

33

33

Bab III pada dasarnya merupakan hasil penelitian yang disajikan secara diskriptif dan dilanjutkan

dengan analisis kualitatif. Substansi Bab III pada hakikatnya merupakan kajian dalam rangka

membedah permasalahan yang pertama. Untuk membedah permasalahan tersebut

pembahasannya meliputi: hakikat lembaga kepailitan, penyimpangan dan pemberdayaan

kelanhsungan usaha, dan karakteristik penyimpangan fungsi lembaga kepailitan.Sub-bab tentang

hakikat lembaga kepailitan membahas secara mendalam dan terperinci mengenai: asal mula dan

perkembangan lembaga kepailitan, arti dan istilah kepailitan, fungsi dan tujuan kepailitan, syarat-

syarat permohonan pernyataan pailit, pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan

pailit, dan pihak yang dapat dipailitkan. Setelah itu, dibahas tentang karakteristik penyimpangan

fungsi lembaga kepailitan, dan akar penyimpangan fungsi lembaga kepailitan, serta kasus-kasus

yang menunjukkan fungsi lembaga kepailitan menyimpang dari hakikat kepailitan. Kasus-kasus

tersebut meliputi: kasus PT. Telkomsel (Persero) Tbk; kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife

Indonesia, kasus Hotel Aston Bali & Spa.; kasus Batavia Air, kasus Bali Kuta Residence (BKR),

kasus PT. Prudentiallife Assurance, kasus Jimbaran Indah Hotel, dan kasus PT. Dirgantara

Indonesia. Bab III juga memuat dampak penyimpangan fungsi lembaga kepailitan terhadap

ekonomi makro, serta adanya kebutuhan terhadap formulasi kebijakan hukum dalam pemulihan

fungsi lembaga kepailitan.

Pemberdayaan kelangsungan usaha, juga disajikan dalam Bab III. Selanjutnya untuk memahami

lebih mendalam mengenai pemberdayaan kelangsungan usaha, dalam Bab III dideskripsikan

kasus PT. Citra Jimbaran Indah Hotel, dan kasus PT. Dirgantara Indonesia.

Bab IV membahas tentang formulasi kebijakan hukum pengaturan kepailitan dalam rangka

memulihkan fungsi lembaga kepailitan yang sesuai dengan filosofi timbulnya lembaga

kepailitan. Substansi bab ini membahas, dan menganalisis tentang politik hukum pengaturan

34

34

kepailitan, kebijakan pemberlakuan UUK dan PKPU, amandemen terhadap

Faillisementsverordening Stb. 1905 jo Stb. 1906 menjadi Perpu No. 1 Tahun 1998.

Pembahasannya meliputi: alasan-alasan dilakukannya amandemen dengan menggunakan perpu

bukan dengan peraturan selain perpu, pokok-pokok materi perubahan dideskripsikan secara

lebih terperinci. Selanjutnya dibahas mengenai kebijakan hukum pembentukan UUK dan PKPU.

Formulasi kebijakan rekonstruksi norma undang-undang kepailitan pembahasannya meliputi:

konsep rekonstruksi, rekonstruksi norma Pasal 2 ayat (1) UUk dan PKPU, pengaturan insolvency

test, serta model-model insolvency test yang dapat pilih untuk dapat diterapkan di Indonesia. Hal

ini sekaligus merupakan penegasan tentang kontribusi dari penelitian ini terhadap pembaharuan

hukum kepailitan di Indonesia.

Bab V mendeskripsikan kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan dibuat berdasarkan rumusan

masalah, tujuan penelitian, dan temuan hasil penelitian dari penelitian ini. Demikian sistematika

sajian dari laporan hasil penelitian yang disusun dalam bentuk disertasi. Materi disertasi secara

berturut-turut disajikan mulai dari Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, dan Bab V.