BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdfJika melihat pengertian di atas, seni dapat...

40
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seni merupakan salah satu karya cipta manusia yang memiliki berbagai macam bentuk, yang sudah diciptakan sejak zaman purbakala. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “seni” adalah keahlian membuat karya yang bermutu. 1 Menurut Sudarsono seni merupakan segala macam keindahan yang diciptakan oleh manusia, dan seni tersebut telah menyatu dalam kehidupan sehari- hari setiap manusia, baik bagi dirinya sendiri maupun dalam bermasyarakat. Menurut Sumarjo seni merupakan ungkapan perasaan yang dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar, maupun dilihat dan didengar. Dengan kata lain, seni adalah isi jiwa seniman (pelaku seni) yang terdiri dari perasaan dan intuisinya, pikiran dan gagasannya. 2 Jika melihat pengertian di atas, seni dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diciptakan manusia sebagai hasil dari isi jiwanya (perasaan, intuisi, pikiran dan gagasan), yang dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar maupun dilihat dan didengar, dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari setiap manusia. Seni yang berwujud atau yang dapat dilihat selain penciptanya baik secara kasat mata maupun tidak disebut dengan karya seni. Karya seni yang dianggap paling awal adalah cap-cap telapak tangan di dinding goa yang biasanya berwarna 1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), p. 1037. 2 Dikutip dari makalah H Aprilia Noor Permainan Kesenian Musik Tradisional, p.7, diunduh dari google dengan alamat : eprints.uny.ac.id/8148/3/ BAB 2- 07208241025.pdf (diunduh pada tanggal 1 Novermber 2014).

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdfJika melihat pengertian di atas, seni dapat...

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seni merupakan salah satu karya cipta manusia yang memiliki berbagai

macam bentuk, yang sudah diciptakan sejak zaman purbakala. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “seni” adalah keahlian membuat karya yang

bermutu.1 Menurut Sudarsono seni merupakan segala macam keindahan yang

diciptakan oleh manusia, dan seni tersebut telah menyatu dalam kehidupan sehari-

hari setiap manusia, baik bagi dirinya sendiri maupun dalam bermasyarakat.

Menurut Sumarjo seni merupakan ungkapan perasaan yang dituangkan dalam

media yang dapat dilihat, didengar, maupun dilihat dan didengar. Dengan kata

lain, seni adalah isi jiwa seniman (pelaku seni) yang terdiri dari perasaan dan

intuisinya, pikiran dan gagasannya.2

Jika melihat pengertian di atas, seni dapat diartikan sebagai segala sesuatu

yang diciptakan manusia sebagai hasil dari isi jiwanya (perasaan, intuisi, pikiran

dan gagasan), yang dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar maupun

dilihat dan didengar, dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari setiap manusia.

Seni yang berwujud atau yang dapat dilihat selain penciptanya baik secara kasat

mata maupun tidak disebut dengan karya seni. Karya seni yang dianggap paling

awal adalah cap-cap telapak tangan di dinding goa yang biasanya berwarna

1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), p. 1037. 2 Dikutip dari makalah H Aprilia Noor “Permainan Kesenian Musik

Tradisional”, p.7, diunduh dari google dengan alamat : eprints.uny.ac.id/8148/3/ BAB 2-

07208241025.pdf (diunduh pada tanggal 1 Novermber 2014).

2

merah, hitam, atau putih.3 Kemudian seiring dengan zaman dan kekompleksitasan

hidup manusia maka seni pun ikut berkembang. Segala hal yang berkaitan dengan

seni disebut dengan kesenian. Kesenian memiliki arti yang lebih luas bila

dibandingkan dengan seni. Menurut KBBI “kesenian” berarti perihal seni. Perihal

seni yang dimaksud di sini adalah unsur di luar seni itu sendiri, misalnya sejarah

perkembangannya. Seperti contoh perkembangan kesenian Gandrung yang

dijelaskan dari masa ke masa.

Kesenian ini sangat terpengaruh oleh keadaan sosial, budaya, ekonomi

dimana karya seni itu diciptakan.4 Hal ini dikarenakan kesenian diciptakan oleh

jiwa manusia yang terbagi dalam perasaan, pikiran ataupun intuisi, yang mana

proses pengolahan ini sangat terpengaruh oleh alam kejiwaan manusia itu sendiri.

Alam kejiwaan manusia sangat terpengaruh oleh keadaan dimana manusia atau

pencipta seni itu berada. Oleh sebab itu keadaan-keadaan tadi menjadi faktor-

faktor atau setidaknya memiliki andil yang cukup besar dalam penciptaan

kesenian. Misalnya keadaan sosial dan ekonomi yang dirasa penuh ketimpangan

seperti keadaan anak-anak jalanan atau pengamen-pengamen akan menciptakan

seni yang sifatnya lebih kritis, penolakan, dan protes terhadap keadaan sosial.

Kesenian ini terbagi dalam beberapa bentuk sesuai dengan bentuk-bentuk dalam

seni, yaitu seni pertunjukan, seni rupa dan seni sastra.

Sebagai bagian dari kesenian, seni pertunjukan juga memiliki sifat yang

sama, yaitu mudah terpengaruh oleh keadaan di sekitarnya. Dalam seni

3 Sumaryono, et al., Tari Tontonan, (Jakarta : Lembaga Pendidikan Seni

Nusantara, 2006), pp. 6-7. 4 Ini sesuai dengan pernyataan Umar Kayam yang menyatakan bahwa kesenian

tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat, kesenian menjadi ungkapan kreativitas dari

kebudayaan dan masyarakat itu sendiri. (Jakarta : Sinar Harapan, 1981), p. 38.

3

pertunjukan terdapat interaksi-interaksi yang lebih dari model seni yang lain,

seperti misalnya seni rupa ataupun seni sastra. Interaksi ini dalam bentuk interaksi

antara pelaku seni dengan penonton maupun antara penonton dengan penonton,

yang mana hal ini memungkinkan terjadi hubungan yang lebih dari sekedar

mempertunjukkan tarian ataupun menikmati pertunjukan tari. Seperti contoh

selama pertunjukan seni terdapat hubungan atau interaksi antar penonton, yang

mana penonton tersebut terdiri dari banyak golongan, baik dari aspek ekonomi,

sosial, budaya, etnis bahkan agama, sehingga dalam proses pertunjukan interaksi

yang terjadi juga bisa mengenai aspek-aspek tersebut. Oleh sebab itu, seni

pertunjukan dianggap juga sebagai media ungkap rasa, nilai, dan suasana batin,

sehingga yang merasa terwadahi ungkapannya tidak hanya seorang penari atau

pelaku seni melainkan juga semua pihak yang berpartisipasi.5 Salah satu contoh

seni pertunjukan adalah seni tari, baik tari tradisional maupun tari modern.

Dalam sejarah kesenian di Indonesia kesenian banyak mengalami

perubahan, yang diakibatkan oleh adanya kebijakan pemerintahan. Ketika masa

pemerintahan Soekarno banyak kesenian yang dipertunjukan di luar negeri. Hal

ini karena pada waktu itu Indonesia baru merdeka sehingga ada upaya untuk

memperkenalkan budaya Indonesia di luar negeri. Salah satu contoh program

tersebut adalah pengiriman penari-penari dari sanggar tari yang ada di Yogyakarta

oleh Kantor Djawatan Kebudayaan Urusan Kesenian ke Republik Rakyat Cina

5 I Wayan Dibia, et al., Tari Komunal, (Jakarta : Lembaga Pendidikan Seni

Nusantara, 2006), p. 239.

4

(RRC) pada tahun 1954.6 Rombongan ini tampil di Beijing dalam rangka

perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Upaya memperkenalkan kesenian ini

mengakibatkan munculnya kesenian-kesenian kreasi baru yang sifatnya lebih

kepada hiburan. Selain itu ada juga kesenian-kesenian rakyat yang sifatnya untuk

religi digubah menjadi lebih “profan” atau hiburan. Pada masa itu muncul nama-

nama seperti Bagong Kussudiardja dan Wisnoe Wardana yang mendirikan Pusat

Latihan Tari Bagong Kussudiardja dan Contemporary Dance School

Wisnoewardhana (CDSW) di tahun 1958. Selain itu ada juga nama Rd. Tjetje

Soemantri dan Tb. Oemay Martakusuma yang sama-sama ahli dalam bidang

kesenian Sunda, yang akhirnya menciptakan Tari Kukupu.7 Selain pertunjukan

yang diadakan di luar negeri, presiden Soekarno juga sering mengadakan

pertunjukan di Istana Negara dan Istana Merdeka. Pergelaran ini menjadi ajang

berkumpulnya seniman-seniman dari daerah-daerah di Indonesia.

Pada saat itu di Indonesia memang banyak bermunculan lembaga atau

organisasi yang berkaitan dengan kebudayaan, seperti Badan Kesenian Indonesia

(BKI), Badan Kesenian Jawa Barat (BKDB), Himpunan Seni Budaya Islam

(HSBI), Lembaga Kebudayaan Syariat Muslim Indonesia (Laksmi), Lembaga

Kesenian Indonesia (Leksi), Lembaga Kebudayaan Kristen Indonesia (Lekrindo),

Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi), Lembaga Seniman Budayawan Muslim

Indonesia (Lesbumi), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga

Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Majelis Seniman Budayawan Islam (Masbi).

6 Jenifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi

Indonesia 1950-1965, (Denpasar : Pustaka Larasan, 2011), p. 222. 7 Ibid., p. 442.

5

Organisasi atau lembaga-lembaga ini membawa kepentingannya sendiri yang

tidak jarang tergabung dalam organisasi politik saat itu, misalnya Lesbumi yang

dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), Lekra yang dekat dengan Partai Komunis

Indonesia (PKI), ataupun LKN yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia

(PNI). Organisasi inilah yang sering mengundang para seniman untuk menggelar

pertunjukan, yang tentunya untuk keperluan kelompoknya.

Kesenian terkena dampak ketika terjadi peristiwa tahun 1965 yang dikenal

dengan peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S). Pada waktu itu banyak

kesenian yang mulai mati, karena jarang dipertunjukkan. Hal ini sebagai sebab

dari usaha pemerintah yang berkuasa pada saat itu di Indonesia untuk

memberantas golongan Partai Komunis Indonesia (PKI) terkait peristiwa G 30 S.

Keadaan politik pada waktu itu memang menempatkan PKI pada posisi yang

tertindas atau dianggap sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan dan ditertibkan

atau musuh pemerintahan. Hal ini dikarenakan saat itu PKI dianggap sebagai

pelaku atau “dalang” dari peristiwa tersebut.

Salah satu yang menjadi target adalah Lekra (Lembaga Kebudayaan

Rakyat). Pada saat itu Lekra dianggap sebagai bagian dari PKI.8 Padahal

kebanyakan kesenian rakyat banyak yang tergabung dalam Lekra. Keadaan inilah

yang membuat kesenian mulai “mati”, karena memang segala sesuatu yang

berhubungan dengan PKI juga ikut ditertibkan.9 Seperti contoh kesenian angklung

8 Julius Pour, Gerakan 30 September : Pelaku, Pahlawan dan Petualang,

(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), p. 11. 9 Hal ini diakhiri dengan pelarangan terhadap PKI dan Lekra yang didasarkan

pada TAP MPRS.25/1966 pada tanggal 12 Maret 1966. Lihat Jenifer Lindsay dan Maya

H.T. Liem “Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965”, (Denpasar :

Pustaka Larasan, 2011), p. 536.

6

di Banyuwangi, yang pelakunya banyak ditahan sehingga pelaku-pelaku seni lain

tidak berani menggelar pertunjukan.10

Bahkan salah satu karya grup angklung

pada saat itu dilarang untuk dimainkan, yaitu lagu “Genjer-Genjer”.11

Ada juga

kesenian Ludruk di Jawa Timur yang terhenti secara mendadak karena peristiwa

ini.12

Program pengiriman penari keluar negeri juga sempat terganggu, misalnya

karena hubungan dengan Cina (RRC). Pada saat itu terjadi pemutusan poros

Jakarta – Beijing, yang dilanjutkan dengan pemberhentian operasi Cina di

Indonesia.13

Pada saat itu juga terjadi penarikan duta besar Cina di Indonesia, duta

besar Indonesia untuk Beijing pun diperintahkan pulang, meskipun pada akhirnya

diberikan suaka oleh Cina bagi mereka yuang tidak ingin pulang ke Indonesia.

Setelah peristiwa itu seni pertunjukan juga masih mengalami perubahan.

Pada masa pemerintahan Soeharto kesenian kerap digunakan sebagai alat

untuk legitimasi politik pemerintahan. Kesenian sering menjadi bagian dari

kampanye pemerintahan untuk memperoleh suara dukungan dari rakyat. Misalnya

dalam suatu kampanye kesenian Gandrung sering menjadi bagian hiburan dari

acara. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Helene Bouvier (2002) tentang

kesenian Ludruk sebagai media politik yaitu Ludruk kerap digunakan untuk

10

Selain tidak berani menggelar pertunjukan, kebanyakan dari mereka bahkan

sampai tidak berani mengaku “bisa berkesenian”. Hal ini untuk menghindari tudingan-

tudingan dari masyarakat sekitar yang bisa membahayakan mereka. Wawancara dengan

Abdullah Fauzi (Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bagian Kebudayaan dan

Penggiat Kesenian Banyuwangi) pada 13 November 2014 di Kantor Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata, Jalan Ahmad Yani No.76, Penganjuran-Banyuwangi. 11

Wawancara dengan Prama (Ketua Dewan Kesenian Blambangan). Pada 18

November 2014 di kantor Dewan Kesenian Blambangan, Jalan Diponegoro, Kepatihan-

Banyuwangi. 12

Helene Bouvier, Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan Dalam Masyarakat

Madura, (Bogor : Percetakan Grafika Mardi Yuana, 2002), p. 134. 13

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, (Jakarta : Serambi

Ilmu Semesta, 2007), p. 569.

7

menyampaikan berbagai slogan politik dan sekaligus dijadikan sebagai juru bicara

Partai yang memerintah, yang dalam hal ini adalah Partai Golkar.14

Selain itu kesenian juga dijadikan sebagai bagian industri pariwisata yang

mana pada waktu itu memang menjadi program pemerintah untuk meningkatkan

devisa Negara. Perubahan ini pun berlanjut terus menerus pada masa-masa

selanjutnya yang mana disebabkan oleh keadaan-keadaan sosial, budaya,

ekonomi, dan politik, seperto krisis moneter dan kebebasan pada masa reformasi

pada tahun 1998.

Perkembangan kesenian ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah Jawa

Barat ataupun Jawa Tengah (terutama daerah Surakarta dan Yogyakarta).15

Di

daerah-daerah di luar itu juga mengalami perkembangan atau perubahan yang

dikarenakan keempat faktor tadi. Seperti daerah di Jawa Timur, yaitu daerah

Kabupaten Banyuwangi. Di Kabupaten Banyuwangi terdapat dua kesenian

tradisional yang sangat populer, yakni kesenian Seblang dan kesenian Gandrung

disamping kesenian Angklung. Dalam perjalanannya kesenian Seblang tidak

terlalu banyak mengalami perubahan, hal ini dikarenakan fungsi dan sifatnya

sangat religi. Kesenian Seblang hanya dimainkan satu kali dalam satu tahun, yakni

dua hari setelah hari raya Idul Fitri, dan ini hanya dimainkan di dua desa, yaitu

desa Olesari dan Bakungan. Beda halnya dengan kesenian Gandrung. Kesenian

Gandrung mengalami cukup banyak perubahan sesuai dengan keadaan yang

14

Helene Bouvier, op.cit., p. 421. 15

Kebanyakan perubahan ini memang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah,

karena selain sangat dekat dengan pusat pemerintahan, keduanya memiliki warisan

budaya yang lebih kaya dari daerah-daerah lainnya. Hal ini bisa dilihat ketika kita

berbicara tentang budaya atau kesenian Jawa maka yang menjadi rujukan adalah daerah

Surakarta dan Yogyakarta, selain itu kekayaan budaya yang mampu mengimbangi budaya

Jawa di pulau Jawa adalah budaya Sunda, dan itu terdapat di daerah-daerah Jawa Barat.

8

terjadi pada masanya. Hal ini dikarenakan fungsi kesenian Gandrung lebih untuk

hiburan.16

Akan tetapi dalam beberapa kesempatan kesenian Gandrung juga

berfungsi untuk ritual, seperti untuk mengiringi ritual Petik Laut.17

Beberapa kalangan menganggap bahwa kesenian Gandrung pada awalnya

memang untuk hiburan. Akan tetapi ada juga yang beranggapan bahwa kesenian

Gandrung diciptakan untuk kepentingan ritual, hal ini karena kesenian Gandrung

merupakan bagian dari tari tradisional. Anggapan yang kedua ini sesuai dengan

pendapat Soedarsono yang mengatakan bahwa salah satu fungsi dari tari

tradisional adalah untuk mendatangkan hujan, menyucikan desa, mengeluarkan

penyakit, mengalahkan musuh, berburu binatang, kelahiran, kematian, perkawinan

dan sebagainya.18

Anggapan pertama didasarkan pada sejarah perlawanan orang

Blambangan dalam Perang Puputan Bayu yakni perang antara orang Blambangan

dengan Belanda yang dibantu Mataram dan orang-orang Ambon.19

Akan tetapi

16

Dariharto, Kesenian Gandrung Banyuwangi, (Banyuwangi : Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, 2009), p. 7. 17

Petik laut adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat pesisir Banyuwangi

(Muncar) untuk memohon anugrah dari Tuhan agar hasil laut melimpah dan dijauhkan

dari malapetaka selama melaut. Ritual ini dilaksanakan pada awal bulan Muharam (bulan

Islam) atau bulan Suro (bulan Jawa). Dalam ritualnya penduduk akan melarung sesaji

dengan perahu ke laut, dan sebelumnya sudah diadakan pengajian dan khataman Al-

Quran. Tomi Latu Farisa “Ritual Petik Laut Dalam Arus Perubahan Sosial Di Desa

Kedungrejo, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur”. Skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta :

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Yogyakarta), pp. 1-2. 18

Dikutip dari makalah Rebecca Wells (2000) Tarian Tradisional Dalam

Masyarakat Jawa dan Bali. p. 11, diunduh dari google dengan alamat :

www.acicis.murdoch. edu.au/../wells.pdf (diunduh tanggal 15 November 2014). 19

Dalam perang ini pasukan Blambangan mendapatkan kemenangan, akan

tetapi karena takut serangan balasan dari Belanda maka sisa-sisa pasukan itu segera

melarikan diri ke hutan-hutan atau daerah-daerah pedalaman. Kesenian Gandrung ini

diciptakan oleh pasukan Blambangan tersebut guna menghibur sisa-sisa pasukan

sekaligus untuk menumbuhkan semangat perjuangan. Selain itu juga kesenian Gandrung

juga digunakan untuk mengumpulkan sisa-sisa pasukan yang sudah tercerai berai di

hutan-hutan. Puputan sendiri berarti perang habis-habisan, sampai titik darah

penghabisan.

9

kedua pendapat ini menjadi satu paham ketika masa-masa berkuasanya Belanda,

yaitu untuk keperluan hiburan dan perjuangan.

Kesenian Gandrung dalam penampilannya memiliki lima tahapan yakni

Topengan (tari yang dilakukan sebelum pagelaran), Jejer Gandrung (tari

pembuka), Ngrepen atau Repenan (penari Gandrung turun dari panggung atau

keluar panggung dan menuju ke penonton untuk menyanyikan lagu atau gendhing

sesuai permintaan), Paju atau Maju Gandrung (penari Gandrung menari dengan

penonton) dan terakhir Seblang-Seblangan (tari penutup yang diiringi dengan

pantun-pantun oleh Gedhog atau pemimpin pertunjukan).

Pertunjukan kesenian Gandrung awalnya dimulai dari pukul 21.00 sampai

04.00 atau sebelum subuh akan tetapi kemudian berubah menjadi siang hari atau

sore hari, perubahan ini dilakukan sesuai permintaan dari pengundang. Kesenian

Gandrung awalnya juga ditarikan oleh laki-laki, baru kemudian pada tahun 1895

kesenian Gandrung dimainkan oleh perempuan, dan perempuan pertama yang

menjadi penari Gandrung adalah Semi.20

Perubahan ini diakibatkan oleh adanya

penari Gandrung yang memiliki kebiasaan buruk (menyukai sesama jenis), dan

adanya penolakan dari kaum agamawan terhadap pemeranan perempuan oleh laki-

laki. Sebagai bagian dari kesenian, kesenian Gandrung juga memiliki sifat yang

sama dengan kesenian yaitu tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat.

Masyarakat pendukung kesenian ini akan menciptakan, memelihara, menularkan

20

Ujang Herman, “Gandrung : Kesenian Rakyat Di Kabupaten Banyuwangi

(1895 – 1974)”, Skripsi tidak diterbitkan. (Denpasar : Fakultas Sastra, 1995), pp. 35-36.

10

serta mengembangkan kesenian tersebut.21

Selain itu kesenian Gandrung yang

merupakan tari komunal (tari yang diciptakan oleh masyarakat dan untuk

kepentingan masyarakat) selalu akan berhubungan dengan masyarakat. Hal inilah

yang membuat fungsi, peran dan keadaan kesenian Gandrung terus mengalami

perubahan pada masa-masa selanjutnya.

Peran dan fungsi kesenian Gandrung berubah ketika memasuki masa-masa

awal kemerdekaan Indonesia. Kesenian Gandrung berfungsi sebagai media

hiburan dan sekaligus menjadi bagian dari program pemerintah untuk

memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia internasional. Belum ada bukti

mengenai peranan kesenian Gandrung dalam dunia politik saat itu, mengingat

pada masa itu untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia mengadakan pemilu

yang diikuti oleh banyak Partai, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi

(Majelis Syura Muslimin Indonesia), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis

Indonesia (PKI). Selain itu juga belum ditemukan bukti mengenai peranan

kesenian Gandrung dalam upaya pemerintah untuk menguatkan rasa nasionalisme

rakyat Indonesia. Padahal waktu itu pemerintah memang tengah berupaya untuk

menguatkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia. Dalam dunia seni saat itu muncul

moto yang terkenal, yang sering didengungkan oleh pemerintah, yaitu “Seni untuk

seni No, Seni untuk revolusi Yes!!”.22

Dari moto ini bisa digambarkan bahwa

usaha pemerintah untuk menguatkan rasa nasionalisme kebangsaan ini masuk

dalam berbagai macam bidang selain bidang politik.

21

Umar Kayam. Seni, Tradisi, Masyarakat, (Jakarta : Sinar Harapan, 1981), p.

38. 22

Sumaryono, op.cit., p. 18.

11

Sama seperti kesenian di Indonesia secara umum, kesenian Gandrung juga

terkena dampak dari adanya peristiwa G 30 S. Kesenian Gandrung bersama

kesenian-kesenian di Banyuwangi mengalami kevakuman. Hal ini disebabkan

oleh keadaan politik dan sosial di masyarakat pada saat itu tidak kondusif, yang

akhirnya membuat mereka tidak bisa menggelar pertunjukan.23

Keadaan ini juga

ada kaitannya dengan bergabungnya kesenian-kesenian itu dalam Lekra. Selain

tidak bisa menggelar pertunjukan para seniman pada waktu itu juga tidak berani

mengaku kalau dirinya seniman atau setidaknya bisa berkesenian. Hal ini

dikarenakan itu sangat berbahaya untuk mereka, mengingat saat itu banyak

seniman yang langsung ditangkap atau ditahan tanpa ada proses peradilan.24

Keadaan-keadaan yang seperti inilah yang membuat kesenian Gandrung

mengalami kevakuman meskipun tidak mati. Barulah ditahun 1973-an kesenian

Gandrung dan kesenian-kesenian lainnya di Banyuwangi mulai tampil kembali.25

Pelakunya pun masih tetap pelaku-pelaku lama, yaitu pelaku sebelum terjadinya

peristiwa G 30 S. Keadaan ini terus berlanjut, kesenian Gandrung semakin

memiliki peranan dalam dunia hiburan dan pariwisata Banyuwangi. Pemerintah

pun juga ikut ambil bagian dalam upaya melestarikan kesenian Gandrung. Hal ini

bisa dilihat dari dibentuknya Dewan Kesenian Blambangan (DKB) oleh

pemerintah Banyuwangi pada tahun 1970.

23

Keadaan tidak kondusif ini diakibatkan oleh peristiwa penangkapan seniman-

seniman yang dianggap bagian dari Lekra. 24

Wawancara dengan Abdullah Fauzi pada 13 November 2014 di Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata, Jalan Ahmad Yani No.76, Penganjuran-Banyuwangi. 25

Wawancara dengan Prama pada 18 November 2014 di Kantor Dewan

Kesenian Blambangan, Jalan Diponegoro, Kepatihan-Banyuwangi.

12

Selain itu juga pada tahun 1974 untuk pertama kalinya diadakan festival

Kesenian Gandrung. Festival ini diadakan oleh Pemerintah Daerah Banyuwangi

untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian Gandrung. Peran kesenian

Gandrung sebagai hiburan ini tidak hanya terhenti dalam pariwisata. Kesenian

Gandrung juga menjadi bagian dalam urusan politik di Banyuwangi. Kesenian

Gandrung sering digunakan dalam kampanye partai-partai politik, terutama Partai

Golkar. Bahkan pada waktu itu selendang yang digunakan oleh penari Gandrung

berubah warnanya menjadi kuning, yang mana awalnya adalah berwarna merah.26

Warna kuning adalah warna identik dari Partai Golkar.

Keadaan ini sempat terhenti karena krisis moneter yang terjadi di

Indonesia pada tahun 1998. Kesenian Gandrung juga sempat jatuh dengan

sedikitnya penampilan, karena memang tidak banyak yang mengundang. Ini

dikarenakan untuk mengundang satu rombongan kesenian Gandrung juga

membutuhkan biaya yang tidak sedikit.27

Padahal saat itu untuk keperluan sehari-

hari sangatlah sulit. Memasuki masa reformasi keadaan berangsur-angsur

membaik seiring dengan keadaan ekonomi yang semakin membaik. Kesenian

Gandrung kembali sering ditampilkan, sering dijadikan sebagai tari sambutan

pada acara-acara penyambutan. Bahkan tanggal 31 Desember 2002 kesenian

Gandrung dijadikan sebagai ikon pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Hal ini

berdasarkan pada Surat Keputusan Bupati Banyuwangi tanggal 31 Desember 2002

26

Wawancara dengan Abdullah Fauzi pada 13 November 2014 di Kantor Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata, Jalan Ahmad Yani No.76, Penganjuran-Banyuwangi. 27

Pada tahun 1960-1970 biaya untuk mengundang satu rombongan Gandrung

sekitar Rp. 10.000 – 30.000. Pada saat itu beras 1 Kg masih seharga Rp. 40 – 50. Ujang

Herman, “Gandrung : Kesenian Rakyat Di Kabupaten Banyuwangi (1895 – 1974)”,

Skripsi tidak diterbitkan. (Denpasar : Fakultas Sastra, 1995), pp. 35-36.

13

Nomor 173 tahun 2002.28

Setelah adanya surat keputusan ini pemerintah

melanjutkan dengan pelatihan-pelatihan Gandrung tiap tahunnya. Peserta-peserta

dari pelatihan ini yang nantinya menjadi penari Gandrung, meskipun tidak

semuanya. Sekolah-sekolah banyak mengajarkan kesenian Gandrung melalui

kegiatan ekstrakurikuler, dan ketika acara di sekolah para siswa yang mengikuti

kegiatan ini sering ditampilkan dalam acara sambutan.

Keadaan ini membantu kesenian Gandrung semakin berkembang. Akan

tetapi selama terjadi perkembangan itu, kesenian Gandrung sempat terpengaruh

dengan adanya protes-protes dari kaum agamawan yang dalam hal ini adalah

golongan Islam. Kaum agamawan menolak kesenian Gandrung karena

menganggap penampilannya terlalu seronok atau tidak sopan.29

Terutama

mengenai tarian dan pakaian penarinya. Pakaiannya yang sangat ketat sehingga

membentuk lekuk tubuh penarinya dianggap memamerkan keindahan tubuh

wanita, dan hal ini dilarang oleh agama menurut mereka. Selain itu tarian

Gandrung juga dianggap terlalu erotis. Hal ini membuat para pelaku kesenian

Gandrung harus berkompromi dan sedikit merubah penampilannya, seperti waktu

pertunjukan yang dibuat lebih singkat, dan juga pakaiannya dibuat lebih tertutup

terutama pada bagian pundak sampai lengan. Mereka biasanya menggunakan

deker, sejenis kain tipis yang warnanya mirip dengan kulit tubuh. Hal ini juga

pernah terjadi pada kesenian Madura, yaitu pada tari Retep yang berubah karena

28

Dariharto, op.cit., p. 36. 29

Pada tahun 2000-an terjadi protes yang dilakukan oleh kaum agamawan

terhadap pemerintah. Kebanyakan mereka adalah dari pondok pesantren, seperti dari

daerah Genteng dan Cluring. Wawancara dengan Prama tanggal 18 November 2014 di

Kantor Dewan Kesenian Blambangan, Jl. Diponegoro, Kepatihan-Banyuwangi.

14

tuntutan keadaan sosial yang didasarkan pada aspek agama dan ekonomi atau

hiburan.30

Ini bukan pertama kalinya kesenian Gandrung mendapat kritik dari kaum

agamawan, sebelumnya kesenian Gandrung juga pernah mendapat kritik yang

akhirnya ikut menjadi faktor dalam penggantian penari Gandrung laki-laki

menjadi perempuan.31

Kaum agamawan pada saat itu mengkritik pemeranan

penari Gandrung laki-laki yang didandani seperti perempuan. Bagi mereka itu

tidak pantas, dan dilarang dalam agama. Keadaan inilah yang kemudian

menghentikan regenerasi penari Gandrung laki-laki. Akan tetapi hal ini justru

membuat kesenian Gandrung memiliki peran yang lebih besar. Mulai muncul

peranan perempuan dalam tarian Gandrung. Perempuan memiliki peranan penting

dalam pertunjukan, seperti tarian-tarian lainnya, penari selalu memiliki peran

sentral dalam pagelaran tari. Peran baru ini mendobrak batasan-batasan yang ada

dalam masyarakat saat itu yang menganggap peran perempuan terbatas pada

tugas-tugas domestik yaitu sekitar sumur, dapur dan kasur.32

Pada masa itu dan masa-masa selanjutnya perempuan memiliki posisi

penting dari upaya penyelamatan dan pelestarian budaya masyarakat Banyuwangi

dan juga menjadi penyelamat bagi ekonomi keluarganya, meskipun dengan

resiko-resiko yang harus diterimanya. Dapat dikatakan perempuan dalam kesenian

Gandrung sudah menjadi bagian dan benih dari upaya emansipasi wanita yang

terjadi di masa-masa selanjutnya khususnya di daerah Banyuwangi. Hal ini

30

Helene Bouvier, op.cit., p. 193. 31

Sri Suci Dewi Wulandari, Sejarah dan Budaya Banyuwangi : Sejumlah

Tulisan dan Catatan, (Banyuwangi : Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2011), p. 51. 32

Ibid., pp. 51-52.

15

menegaskan kembali bahwa peran kesenian Gandrung sangatlah luas dalam

kehidupan masyarakat Banyuwangi. Selain keadaan ini, dunia kesenian Gandrung

juga sempat tegang dengan adanya protes yang dilakukan oleh para penari lama

kepada pemerintah dan DKB, mereka menganggap pemerintah dan DKB telah

membuat kesenian Gandrung kehilangan pakem aslinya. Hal ini didasarkan pada

kebijakan pemerintah yang lebih cenderung menampilkan kesenian Gandrung

modern atau kesenian Gandrung kreasi baru, yang mana dalam pertunjukannya

lebih singkat dan simple bila dibandingkan dengan kesenian Gandrung yang lama.

Keadaan-keadaan yang seperti inilah yang membuat kesenian Gandrung

menarik untuk dikaji. Bagaimana kesenian Gandrung terus berubah karena

keadaan disekitarnya, ataupun bagaimana kesenian Gandrung dapat memberikan

dampak terhadap lingkungan di sekitarnya. Dampak ini juga terjadi dalam lingkup

personal atau pribadi pelaku kesenian Gandrung yang mana salah satunya

disebabkan oleh keikutsertaan perempuan dalam kesenian Gandrung, seperti

misalnya penari Gandrung dianggap sebagai pekerja murahan yang berhubungan

dengan dunia malam atau maksiat, karena biasanya penari Gandrung kerap

mendapat perlakuan negatif oleh para penonton.33

Padahal di sisi lain kesenian

Gandrung adalah kebanggan masyarakat Banyuwangi dan penyelamat budaya

Osing diantara maraknya budaya-budaya dari luar Banyuwangi.34

Anggapan ini

tidak terlepas dari adanya kritik dari kaum agamawan dan juga karena dalam

pertunjukannya selalu dekat dengan kegiatan meminum minuman keras dan

33

Ibid., p. 48. 34

Osing atau Using adalah etnis asli Banyuwangi. Mereka dianggap sebagai

orang asli Banyuwangi sebelum masuknya para pendatang yang dibawa oleh Belanda

setelah Perang Puputan Bayu tahun 1771.

16

mabuk-mabukan. Selain itu kesenian Gandrung juga dianggap sebagai

representasi budaya Osing.35

Kesenian Gandrung dianggap sebagai identitas dari

budaya Osing dan juga penyelamat dari budaya Osing. Selain itu penari Gandrung

juga menjadi penyelamat perekonomian keluarganya. Sesuai dengan yang

disebutkan oleh Dariharto (2009) dalam bukunya Kesenian Gandrung

Banyuwangi bahwa kesenian Gandrung dapat dilihat dari berbagai macam aspek,

seperti aspek perjuangan, aspek sosial budaya, aspek seni dan budaya, aspek

ekonomi, dan aspek etnis dan religius.36

Hal ini menjadi bukti tentang besarnya

peran kesenian Gandrung dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi.

Batasan tahun yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 1950

sampai dengan 2013. Tahun 1950 digunakan sebagai tahun awal untuk penelitian

ini karena dianggap pada tahun ini untuk pertama kalinya Indonesia berada pada

kondisi yang kondusif atau tenang setelah kemerdekaan yang hanya dirasa

sebentar karena adanya agresi militer Belanda tahun 1946 – 1949. Selain itu juga

penjelasan kesenian Gandrung pada tahun ini bisa dijadikan sebagai bahan

perbandingan untuk tahun 1965, mengingat peristiwa G 30 S yang terjadi di tahun

itu memberikan dampak yang sangat besar terhadap perjalanan kesenian

Gandrung, sedangkan tahun 2013 dipilih sebagai batasan akhir tahun penelitian

karena ditahun tersebut perkembangan dalam kesenian Gandrung sangat besar

bersamaan dengan perkembangan pariwisata di Banyuwangi yang sudah dimulai

dari tahun 2010-an, selain itu tahun 2013 dianggap pencarian data atau sumber-

35

Dikutip dari jurnal Novie Anoegrajekti (2011) “Gandrung Banyuwangi :

Kontestasi dan Representasi Identitas Using”, p. 32, diunduh dari google dengan alamat :

http://jurnal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-humaniora/article/view/1007/836 (diunduh

tanggal 7 November 2014). 36

Dariharto, op.cit., pp. 10-14.

17

sumbernya lebih mudah. Aktivitas kesenian Gandrung pun sudah dapat

terdokumentasikan secara menyeluruh, mengingat tahun penelitian ini adalah

tahun 2015.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah awal dan pagelaran dari kesenian Gandrung di

Banyuwangi?

2. Seberapa jauh hubungan kesenian Gandrung terhadap keadaan politik,

ekonomi, sosial, dan budaya di masyarakat Banyuwangi pada tahun

1950 sampai 2013?

3. Makna apa yang ditimbulkan dari hubungan kesenian Gandrung

dengan keadaan sosial, budaya, ekonomi dan politik di Banyuwangi?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai

yaitu :

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam

tentang kehidupan kesenian Gandrung pada tahun 1950 sampai 2013, serta

dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa tentang

kesenian Gandrung.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk memahami sejarah dari kesenian Gandrung di

Kabupaten Banyuwangi

18

2. Untuk menjelaskan dampak dari keadaan yang terjadi pada

tahun 1950 sampai 2013 terhadap perjalanan kesenian

Gandrung.

3. Untuk membahas peranan yang diberikan kesenian Gandrung

terhadap lingkungan disekitarnya.

4. Untuk menambah wawasan peneliti khususnya dalam

melakukan penelitian lebih lanjut.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Dapat mengetahui bagaimana kehidupan kesenian Gandrung

pada tahun 1950 sampai 2013.

b. Hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai referensi

bagi pengembangan penelitian yang terkait dengan seni tari

tradisional di Kota Banyuwangi pada umunya dan kesenian

Gandrung pada khususnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti

1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam hal-

hal yang berkaitan dengan kesenian Gandrung di Kota

Banyuwangi.

19

2. Mendapat pengalaman tentang cara melaksanakan suatu

penelitian, sehingga nantinya dapat melaksanakan penelitian

lebih baik.

b. Bagi masyarakat umum

1. Dapat memberikan dokumentasi atau rekaman tertulis

mengenai kesenian Gandrung dan juga kehidupannya pada

tahun 1950-2013.

2. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum bahwa

kesenian Gandrung memiliki sejarah yang cukup panjang

dengan berbagai perubahan pada setiap masanya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah suatu bentu pengkajian pustaka-pustaka

terdahulu yang dianggap yang relevan dengan penelitian ini dan dipakai

sebagai bahan perbandingan bagi penelitian. Adapun pustaka yang

dipergunakan sebagai acuan dan bahan dalam penelitian ini sebagai

berikut :

Ujang Herman (1995) Gandrung : Kesenian Rakyat Di Kabupaten

Banyuwangi (1895 – 1974). Dalam penelitian ini yang menjadi

pembahasannya adalah perubahan dari penari Gandrung, tata rias, busana,

tembang-tembang dalam Gandrung serta dampak-dampak yang terjadi dari

kesenian Gandrung. Dampak dalam hal ini adalah dampak kesenian

Gandrung dalam bidang sosial budaya, sosial ekonomi dan pertumbuhan

pariwisata. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa penari Gandrung pada

20

awalnya adalah laki-laki, penari laki-laki yang sangat terkenal saat itu

adalah Marsan, bahkan pada saat itu Marsan berhasil menguasai atau

meonopoli pementasan kesenian Gandrung.37

Barulah pada tahun 1895

Gandrung mulai ditarikan oleh perempuan, perempuan pertama yang

menarikan Gandrung adalah Semi. Semenjak Semi inilah pertunjukan

Gandrung semakin berkembang. Di tahun 1988 Gandrung menjadi wakil

Jawa Timur dalam acara kesenian daerah tingkat nasional.

Perkembangan ini tidak hanya terjadi dalam penari Gandrung,

melainkan juga dalam bentuk tembang-tembangnya (lagu-lagunya),

instrument serta dalam atraksinya. Contohnya adalah penambahan

tembang-tembang diluar tembang Osing pada waktu Gandrung ditarikan

oleh perempuan, yaitu seperti tembang berbahasa Melayu, Jawa dan Bali.38

Perubahan dalam hal instrumennya terlihat dari penambahan biola sebagai

alat musik pengiring. Penambahan pemberian sampur oleh penari

Gandrung kepada para undangan merupakan salah satu perubahan dalam

hal atraksi Gandrung yang dimulai pada tahun 1972.

Dampak yang dijelaskan dalam skripsi ini terbagi dalam tiga

kelompok, yaitu dampak dalam bidang sosial budaya, sosial ekonomi, dan

pertumbuhan pariwisata. Contohnya adalah Gandrung menjadi sumber

inspirasi bagi kesenian-kesenian daerah lainnya.39

Selain itu tembang-

tembang dalam Gandrung menjadi inspirasi kesenian Angklung. Dalam

37

Ibid., pp. 33-35. 38

Ibid., pp. 47-48. 39

Ibid., p. 66.

21

bidang sosial ekonomi Gandrung menjadi sumber penghasilan dari para

pelakunya. Dalam sekali pertunjukan biasanya mereka mendapat upah

yang nantinya dibagi dengan seluruh anggota rombongan. Dalam bidang

pariwisata Gandrung menjadi bagian dari pengembangan pariwisata yang

digagas oleh pemerintah Banyuwangi, meskipun hal ini berdampak pada

perubahan dalam pertunjukan Gandrung yang menjadi lebih singkat.40

Skripsi ini dapat menjadi bahan pustaka dalam penelitian. Hal ini

dikarenakan terdapat beberapa kesamaan, yakni sama-sama membahas

kesenian Gandrung dengan tinjauan sejarah, serta melihat dampak-dampak

yang ditimbulkannya. Akan tetapi terdapat perbedaan dari skripsi ini

dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu pertama dalam hal skup

temporalnya (penelitian ini menggunakan skup temporal antara tahun 1950

sampai 2013 sedangkan skripsi ini menggunakan skup temporal 1895

sampai 1974). Kedua dalam kajiannya, dalam skripsi ini yang menjadi

pembahasan hanyalah perubahan dari kesenian Gandrung itu sendiri

seperti dari tembang, syair dan instrumennya dengan sedikit menjelaskan

alasan mengenai perubahan tersebut. Dalam penelitian ini yang menjadi

pembahasan adalah hubungan antara kesenian Gandrung dengan keadaan-

keadaan yang ada disekitarnya, seperti keadaan sosial, budaya, ekonomi

dan politik, yang mana didalamnya terdapat dampat-dampak yang

ditimbulkan dari hubungan ini. Perbedaan yang paling terlihat adalah

penelitian ini membahas mengenai hubungan Gandrung dengan keadaan

40

Ibid., pp. 78-79.

22

politik yang terbagi dalam kurun waktu tersebut, sedangkan skripsi ini

tidak membahas mengenai hal ini.

Dariharto (2009) Kesenian Gandrung Banyuwangi. Dalam buku ini

dibahas mengenai sejarah awal atau asal usul kesenian Gandrung,

dilanjutkan dengan peranan Gandrung dalam masyarakat Banyuwangi,

Gandrung dilihat dari beberapa aspek, serta bentuk pagelaran kesenian

Gandrung. Dalam bukunya Dariharto menyebutkan bahwa kesenian

Gandrung sudah ada sejak tahun 1880an, akan tetapi ia menyebutkan

bahwa pada zaman Kerajaan Blambangan sudah ada pertunjukan tari di

keraton yang mirip dengan kesenian Gandrung. Sehingga ada

kemungkinan bahwa kesenian Gandrung sudah ada sejak zaman

kerajaan.41

Mengenai peranan kesenian Gandrung, Dariharto membaginya

dalam empat bagian, yaitu pada masa kerajaan, masa perjuangan, masa

kemerdekaan, dan masa sekarang (reformasi sampai tahun 2009). Dalam

setiap masanya peranan kesenian Gandrung berbeda-beda. Seperti pada

masa perjuangan Gandrung berfungsi membantu para pejuang melalui

perbekalan, membangkitkan semangat para pejuang dengan syair-syair

dari gendingnya, serta menjadi cara untuk memantau kekuatan dan

kegiatan musuh. Pada masa kemerdekaan kesenian Gandrung berfungsi

sebagai pemberi petuah-petuah karena syair-syairnya mengandung petuah-

41

Dariharto, op.cit., p. 5.

23

petuah untuk menjalani kehidupan ini dengan penuh semangat, kesabaran,

kejujuran dan menjaga kerukunan.42

Pada masa sekarang kesenian Gandrung menjadi poros kesenian di

Banyuwangi dengan cara menjadi acuan dan sumber inspirasi bagi jenis-

jenis kesenian tradisional lain di Banyuwangi. Kesenian Gandrung yang

dilihat dari beberapa aspek, dibagi menjadi 5 aspek, yakni aspek nilai

perjuangan, aspek sosial masyarakat, aspek seni dan budaya, aspek

ekonomi, dan aspek etnis dan religius. Aspek perjuangan dilihat dari

peranan kesenian Gandrung yang terus menjadi bagian dari perjuangan

masyarakat, baik dari masa penjajahan sampai masa sekarang. Aspek

sosial masyarakat dilihat dari peran kesenian Gandrung yang menjadi

media berkumpulnya masyarakat yang terdiri dari berbagai macam

golongan sehingga terjadi banyak interaksi di dalamnya. Aspek seni dan

budaya dilihat dari peran kesenian Gandrung yang menjadi sumber

inspirasi bagi kesenian-kesenian lain di Banyuwangi, serta memperkaya

khasanah budaya tradisional Banyuwangi.

Aspek ekonomi dilihat dari bagaimana kesenian Gandrung

memberikan dampak ekonomi, baik kepada pelaku tarinya maupun

kelompok-kelompok yang menjadi bagian dari pertunjukan Gandrung.

Seperti misalnya, kesenian Gandrung dapat menjadi lapangan pekerjaan

bagi para pelakunya ataupun banyak kelompok-kelompok yang

diuntungkan dalam pertunjukan seni, seperti para pedagang makanan dan

42

Ibid., p. 35.

24

minuman di sekitar pertunjukan Gandrung, sedangkan aspek etnis dan

religius dilihat dari peran kesenian Gandrung yang menjadi pelestari

bahasa Osing yang mana terlihat dalam syair-syair gendingnya yang

menggunakan bahasa Osing.43

Dalam pagelarannya Dariharto menjelaskan

bahwa kesenian Gandrung terbagi dalam lima bagian, yakni Topengan,

Jejer Gandrung, Ngrepen atau Repenan, Paju atau Maju Gandrung dan

Seblang-Seblangan.

Topengan adalah pertunjukan pra Gandrung, Jejer Gandrung

adalah tarian pembuka yang berfungsi sebagai pertanda bahwa kegiatan

pagelaran kesenian Gandrung sudah dimulai. Ngrepen atau Repenan

adalah fase dimana penari Gandrung turun dari panggung atau

menghampiri para tamu dan menyanyikan lagu-lagu permintaan para tamu

tersebut. Paju atau Maju Gandrung adalah fase dimana penari Gandrung

menari bersama dengan penonton. Seblang-Seblangan adalah fase penutup

yang berisi tarian-tarian yang mirip tari Seblang dan diiringi oleh pantun-

pantun oleh pemimpin pertunjukan.

Rebecca Wells (2000) Tarian Tradisional dalam Masyarakat Jawa

dan Bali. Dalam penelitian ini ada beberapa hal penting yang dikaji, yaitu

seperti mengenai masih relevan kah tarian tradisional, apakah tarian

tradisional masih dihargai oleh masyarakat Jawa dan Bali, perubahan

tarian yang diakibatkan oleh modernisasi, sikap masyarakat terhadap tarian

tradisional dan juga pengaruh kehadiran turisme terhadap tarian

43

Ibid., pp. 13-15.

25

tradisional. Dalam penelitiannya Rebecca mengatakan bahwa tarian

tradisional Bali dan Jawa banyak mengalami perubahan sebagai akibat

modernisasi. Ada pengaruh modernisasi baik dan buruk yang dihadapi

tarian tradisional.44

Bahkan dalam pembahasannya Rebecca menganggap

bahwa turisme adalah salah satu dampak yang paling besar pada tarian

tradisional.

Penelitian ini bisa dijadikan bahan pustaka atau rujukan sekaligus

perbandingan untuk penelitian yang peneliti teliti. Kesenian Gandrung

juga merupakan tarian tradisional, dan apabila dilihat dari segi

geografisnya kedua tarian ini adalah bagian dari tarian tradisional Jawa,

meskipun kemungkinan kata Jawa dalam penelitian Rebecca mengacu

pada suku Jawa. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh peneliti juga

mengenai kehidupan tari. Jadi penelitian yang dilakukan Rebecca masih

relevan dengan penelitian ini. Akan tetapi perbedaannya penelitian ini

mengambil tempat hanya di Kabupaten Banyuwangi dan dengan skup

waktunya yakni dari tahun 1950-2013. Dengan skup waktu tersebut

penelitian ini lebih mengacu pada jejak perkembangan dan kehidupan

kesenian pada masa itu.

1.6 Metodologi

Metodologi yang digunakan adalah metodologi sejarah

kebudayaan. Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah

44

Dikutip dari makalah Rebecca Wells (2000) Tarian Tradisional Dalam

Masyarakat Jawa dan Bali, p. 44, diunduh dari google dengan alamat :

www.acicis.murdoch. edu.au/../wells.pdf. (diunduh tanggal 15 November 2014).

26

menyebutkan bahwa sejarah kebudayaan dapat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan materialistis. Pendekatan ini menggambarkan

produk-produk estetisk dan intelektual yang ada dalam masyarakat

hanyalah ekspresi dari kegiatan-kegiatan sosial masyarakat. Jadi dengan

menggunakan pendekatan ini kebudayaan dapat dibatasi sebagai sebuah

dimensi simbolik dan ekspresi dari kehidupan sosial di masyarakat.

Menurut Burckhardt dalam bukunya Kuntowijoyo (Metodologi Sejarah)

menyebutkan bahwa setiap detil yang kecil dan tunggal yang didapatkan

dalam penelitian sejarah kebudayaan sebenarnya adalah simbol dari

keseluruhan dan satuan yang lebih besar.45

Oleh karena itu Burckhardt

menggambarkan kebudayaan sebagai sebuah kenyataan campuran. Tugas

sejarawanlah yang mengkoordinasikan atau mengumpulkan elemen-

elemen itu ke dalam suatu gambaran umum. Cara yang dapat dipakai

dalam membuat gambaran umum ini ialah dengan memparalelisasikan

fakta-fakta. Paralelisasi ini dapat didapat melalui proses membandingkan

dan melawankan, mencari persamaan dan perbedaan, sehingga fakta-fakta

itu dapat ditemukan kaitannya. Penulisan yang seperti ini akan

menghasilkan tulisan sejarah yang menyuguhkan pemandangan

menyeluruh atau penggambaran yang konkret dari sebuah objek.

Metodologi ini dianggap cocok dengan tema yang dipakai dalam

penelitian ini. Metodologi ini dapat memberikan gambaran yang konkret

mengenai kehidupan kesenian Gandrung di Banyuwangi dalam

45

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003),

p. 137.

27

hubungannya dengan keadaan disekitarnya serta dampak-dampak apa yang

ditimbulkan sebagai akibatnya.

1.7 Kerangka Teoritis

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.7.1 Teori Sejarah

Dalam tulisannya “Lima Masalah Pokok Dalam Teori Sejarah”,

Sidemen (1991) menyatakan bahwa terdapat lima masalah atau

pembahasan dalam teori sejarah, yaitu masalah pemahaman dalam

sejarah, penjelasan tentang masa lampau, objektifitas dalam sejarah,

kausalitas dalam sejarah dan kelima adalah determinasi dalam

sejarah.46

Dalam penelitian ini permasalahan yang digunakan adalah

pemahaman dalam penjelasan sejarah (eksplanasi sejarah). Golongan

positivis melalui Popper menjelaskan mengenai penjelasan sejarah

dengan menawarkan konsep deduksi yaitu penjelasan dari umum ke

khusus, sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa dalam

menjelaskan sejarah hanya dibutuhkan tiga hal, yaitu mengumpulkan

sebanyak-banyaknya bukti kejadian sejarah, menempatkan kejadian-

kejadian itu dalam keterkaitannya yang intrinsik, dan menempatkan

hubungan kait mengkait itu pada konteks sejarahnya. Apa yang

dimaksud di sini adalah untuk melakukan eksplanasi (penjelasan)

46

Ida Bagus Sidemen “Lima Masalah Pokok Dalam Teori Sejarah”, dalam

Majalah Widya Pustaka. No 2. (Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana,1991), p.

30.

28

sejarah dapat dilakukan dengan memberikan sejumlah penjelasan

besar tentang perubahan yang lengkap dan akurat.

Dalam penjelasan sejarah ini sejarawan harus menerangkan

mengapa sesuatu itu terjadi, yang dapat dilakukan dengan

menggabungkan bagian-bagian menjadi keseluruhan yang baru. Hal

ini dikarenakan tugas sejarah adalah melihat sebab atau alasan dari

suatu kejadian. Teori sejarah dapat digunakan untuk menjelaskan

permasalahan-permasalahan dalam penelitian Gandrung ini. Teori ini

akan bermanfaat untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang

konkrit atau lengkap bersama dengan alasan atau sebab dibalik

fenomena-fenomena kesenian Gandrung.

1.7.2 Teori Dekonstruksi

Teori Dekonstruksi ini diciptakan dan dipoulerkan oleh Jacques

Derrida. Teori ini masuk dalam teori-teori post-modernisme.

Dekonstruksi dapat diartikan sebagai upaya penelusuran terhadap

objek yang ditimbulkan oleh jaringan tanda.47

Dalam kerjanya

dekonstruksi berusaha memilah-milah suatu pemikiran atau

kenyataan yang telah tersusun rapi sampai ke dasar-dasarnya,

sehingga dekonstruksi bisa dianggap sebagai kaca pembesar dalam

melihat suatu objek. Selain itu dekonstruksi menolak kebenaran

tunggal atau kenyataan yang dirasa benar dengan cara mencari

47

Makalah Izzam Izzul Islamy dengan Judul “Madzhab Tafsir Perspektif

Post-Strukturalisme”, p. 103, diunduh dengan alamat : eprints.walisongo.

ac.id/271/4/074211004_Bab3.pdf (diunduh pada tanggal 28 Januari 2015).

29

makna-makna atau kenyataan lain. Sebenarnya Derrida menolak

untuk mendefinisikan dekonstruksi, karena baginya deinisi akan

berarti pembatasan, sedangkan dekonstruksi berusaha untuk

menerobos batasan, sehingga dekonstruksi tidak dapat didefinisikan

dengan jelas.

Dekonstruksi dapat dianggap sebagai sebuah sikap atau

metode kritis yang majemuk, yang mana berusaha untuk

membongkar kemapanan dan kebakuan, serta berusaha untuk

memberi ruang atas timbulnya makna-makna baru. Jadi tugas

dekonstruksi adalah mengungkapkan makna-makna baru yang belum

terungkap. Dapat diartikan bahwa dekonstruksi menolak makna

tunggal, dan memberikan peluang munculnya makna baru. Teori

Derrida ini kerap digunakan dalam pemahaman teks, yakni dengan

cara menyelami kedalaman dibalik penampakan teks dan memahami

sesuatu yang akan di-kata-kan dan yang tidak ter-kata-kan.

Teori dekonstruksi juga menjelaskan fenomena-fenomena

budaya. Sebagai bagian dari teori post-modernisme dekonstruksi

memiliki karakteristik yakni tidak suka pada makna tunggal sebuah

fenomena budaya.48

Menurutnya makna dalam fenomena budaya

dapat terdapat dalam apa saja, bisa dalam hal-hal kecil, kurang

diperhatikan kemungkinan justru memiliki makna yang besar.

48

Dikutip dari Blog Teaching of History dengan alamat :

teachingofhistory.blogspot.com/2012/05/teori-dekonstruksi-derrida.html (diunduh pada

tanggal 28 Januari 2015).

30

Dekonstruksi melihat sebuah fenomena budaya dengan unsur

sejarahnya dan latar belakang di balik fenomena itu. Teori ini dapat

digunakan untuk menjelaskan permasalahan dalam penelitian

Gandrung dengan cara memberikan penjelasan atau pemaknaan

terhadap fenomena-fenomena yang terjadi.

1.8 Kerangka Konsep

Adapun konsep yang digunakan pada penelitian ini yakni sebagai

berikut.

1.8.1 Sejarah Seni Pertunjukan

Menurut Sumardjo seni merupakan ungkapan perasaan yang

dituangkan dalam media yang dapat dilihat, didengar, maupun

dilihat dan didengar.49

Dengan kata lain, seni adalah isi jiwa seniman

(pelaku seni) yang terdiri dari perasaan dan intuisinya, pikiran dan

gagasannya. Seni dapat dibagi menjadi dua, yaitu seni rupa dan seni

pertunjukan. Menurut Murgiyanto (1996), Seni pertunjukan berarti

“tontonan yang bernilai seni,” yang disajikan sebagai pertunjukan di

depan penonton.50

Pada dasarnya, sebuah seni pertunjukan memiliki fungsi yang

terkait dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Beberapa fungsi dari

49 Dikutip dari makalah H Aprilia Noor “Permainan Kesenian Musik

Tradisional”, p. 7, diunduh dari google dengan alamat : eprints.uny.ac.id/8148/3/ BAB 2-

07208241025.pdf (diunduh tanggal 1 November 2014). 50

Dikutip dari makalah Eka Meigalia “Pergeseran Fungsi Seni Pertunjukan”,

p.1, diunduh dari google dengan alamat : repository.unand.ac.id/4118/1/

Pertunjukan_dan_fungsinya.rtf (diunduh tanggal 30 Oktober 2014).

31

pertunjukan tersebut antara lain fungsi religius, fungsi sosial, fungsi

pendidikan, fungsi estetik, dan fungsi ekonomi. Fungsi-fungsi yang

terdapat dalam sebuah pertunjukan terkadang tidak hanya satu, tapi

bisa lebih. Hal itu tergantung dengan kebutuhan manusia itu sendiri.

Seni pertunjukan berbeda dengan seni rupa. Secara konseptual seni

pertunjukan dalam pertunjukannya memerlukan ruang dan juga

waktu pertunjukan, sedangkan seni rupa hanya memerlukan ruang

saja. Contoh dari seni pertunjukan adalah seni tari, seni tarik suara

(menyanyi), dan seni drama. Dalam pengkajian ini yang digunakan

adalah seni tari.

Terdapat beberapa konsep mengenai tari, yaitu seperti

Suryoningrat “Tari adalah gerakan-gerakan dari seluruh bagian

tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta

mempunyai maksud tertentu”.51

Selain itu ada juga konsep tari

menurut Sudarsono , yaitu tari adalah ekspresi jiwa manusia yang

diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah. Menurut

Sumaryono (2006) dalam bukunya Tari Tontonan menyebutkan

bahwa tari adalah jenis seni yang terkait langsung dengan gerak

tubuh manusia.52

Tubuh menjadi alat utama dan gerak tubuh menjadi

media dasar dalam pengungkapan ekspresi.

51

Dikutip dari makalah Makalah Wells (2000) Tarian Tradisional Dalam

Masyarakat Jawa dan Bali. p. 10, diunduh dari google dengan alamat :

www.acicis.murdoch. edu.au/../wells.pdf (diunduh tanggal 15 November 2014). 52

Sumaryono, op.cit., p. 2.

32

Dalam bukunya ia juga menjelaskan bahwa ada lima aspek

yang dapat menjadi acuan dalam menilai tari, yaitu aspek gerak

tubuh, irama, tenaga, perasaan dan makna. Oleh karena itu tari

terikat oleh elemen ruang (ruang yang dibutuhkan dalam menari),

waktu (gerakan tari adalah gerakan yang berirama, yang diatur

waktunya, dan irama ini pada dasarnya adalah suatu

pengorganisasian atau penyusunan waktu), energi (pengaturan energi

seperti besar-kecilnya atau keras-lemahnya energi yang digunakan

sehingga menghasilkan dinamika gerak yang sesuai dengan maksud

dan irama), dan terakhir adalah rasa dan makna gerak (penjiwaan

yang ada dalam menari, penjiwaan ini digambarkan sebagai daya

yang kuat yang membuat gerakan itu “hidup”). Selain itu dalam

buku ini juga dijelaskan bahwa tidak semua gerakan itu disebut

gerak tari, akan tetapi gerakan yang dimaksudkan untuk menari

adalah yang disebut gerak tari.53

Dalam pembahasan sejarah, seni pertunjukan memiliki

tempat tersendiri. Seni pertunjukan dapat dijadikan sebagai bahan

kajian sejarah. Sejarah seni pertunjukan tidak hanya membahas

mengenai bentuk dari seni pertunjukan itu saja, seperti komposisi

dalam seni ataupun pemaknaan dari seni tersebut. Sejarah seni

pertunjukan membahas mengenai perubahan-perubahan yang terjadi

dalam seni tersebut, baik itu perubahan bentuk maupun perubahan

53

Ibid., p. 12.

33

makna dan fungsinya. Sejarah seni pertunjukan juga dapat

membahas seni dalam konteks sosialnya, dapat juga dari konteks

ekonominya. Jadi sejarah tidak hanya melihat seni pertunjukan

sebagai seni saja melainkan juga melihatnya dalam konteks sosial,

seperti bagaimana seni pertunjukan berdampak dalam lingkup sosial

masyarakat, atau bagaimana seni pertunjukan diposisikan dalam

lingkup sosial (masyarakat). Penelitian ini merupakan bagian dari

kajian sejarah seni pertunjukan.

1.8.2 Tari Komunal

Menurut I Wayan Dibia (2006) dalam bukunya Tari Komunal

mengartikan tari komunal sebagai suatu peristiwa pertunjukan tari

yang melibatkan masyarakat yang besar.54

Terdapat prinsip yang

mendasari pelaksanaan tari komunal, yakni semangat kebersamaan,

rasa persaudaraan dan solidaritas terhadap kepentingan bersama.

Adapun beberapa ciri yang menandakan bahwa ini adalah tari

komunal, yakni diadakan untuk kepentingan komunitas (yang

menjadi landasan ciri ini adalah tujuan tari komunal, yakni untuk

memenuhi kebutuhan komunitas, baik dalam tatanan yang bersifat

spiritual, sosial, maupun kultural).55

Kedua adalah melibatkan sistem sosial yang telah ada. Dalam

pelaksanaannya tari komunal selalu melibatkan komponen-

komponen sosial yang telah ada, seperti tetua adat, tokoh agama,

54

I Wayan Dibia, op.cit., p. 1. 55

Ibid., p. 54.

34

perangkat Desa, dan seniman. Keterlibatan komponen masyarakat ini

sudah diatur sedemikian rupa sebagai kebiasaan yang sudah

disepakati bersama. Ketiga adalah pengabdian sosial dan lingkungan.

Partisipasi masyarakat dalam pertunjukan tari komunal dianggap

sebagai sebuah sumbangan atau pengabdian terhadap komunitas

sosial dan lingkungannya. Keempat adalah ditarikan oleh satu atau

banyak orang.

Tari komunal dapat ditarikan oleh orang banyak dan dapat

juga ditarikan oleh satu orang sebagai penari tunggal. Kelima adalah

dilaksanakan secara spontan atau terencana. Tari komunal ini bisa

diselenggarakan dengan struktur yang jelas (tarian formal) dan

menari yang tidak memiliki bentuk yang baku (tarian informal).

Terakhir keenam menampilkan rasa solidaritas dan keakraban.

Suasana yang terlihat dalam tari komunal adalah suasana

kebersamaan dan keakraban, cenderung homogen dan adanya

ekspresi solidaritas sosial yang kental.56

Dalam tari komunal terdapat

partisipasi dari para penonton yang memiliki perbedaan latar

belakang, budaya, etnis dan status sosial. Sehingga terjadi interaksi

yang mencirikan suatu kebersamaan.

Tari komunal ini bisa berfungsi sebagai ritual atau upacara,

budaya, dan hiburan. Jadi dapat diartikan bahwa tari komunal

sebagai sebuah kesenian yang dimiliki orang banyak atau

56

Ibid., p. 63.

35

masyarakat, yang di dalamnya terdapat aktivitas yang melibatkan

instrumen atau struktur sosial kemasyarakatan, baik atas dasar

kepentingan bersama dalam komunitas maupun kepentingan

individual. Kesenian Gandrung yang terdapat di daerah Banyuwangi

juga menjadi bagian dari tari Komunal, karena memiliki prinsip-

prinsip dan keenam ciri tersebut.

1.8.3 Tari Kreasi Baru

Tari kreasi baru dapat diartikan sebagai sebuah tarian baru yang

tetap bernuansa tradisi kedaerahan dan didasarkan atas kebutuhan-

kebutuhan baru.57

Istilah tari kreasi baru ini mulai terkenal pada

tahun 1960an yang menjadi pertanda munculnya tari-tari baru yang

masih tetap bersumber pada tari-tari tradisi. Hal yang paling

mendasar dalam tari kreasi baru adalah konsep penyajiannya.

Konsep penyajian tarian ini didasarkan pada ide dan gagasan dari

pengatur pertunjukan atau koreografernya. Tari kreasi baru dapat

terbagi dalam dua jenis, yaitu tari-tarian kreasi baru yang

menonjolkan elemen-elemen seni tradisi lokal, dan yang kedua tari

kreasi baru yang dihasilkan melalui percampuran dengan unsur-

unsur seni daerah lain.

1.8.4 Kesenian Gandrung

Kesenian Gandrung adalah tari asli masyarakat Banyuwangi. Dalam

pagelaran kesenian Gandrung terbagi menjadi lima fase yakni

57

Suamryono, op.cit., p. 127.

36

topengan, jejer Gandrung, ngrepen atau repenan, paju atau maju

Gandrung, dan Seblang-Seblangan. Kesenian Gandrung

dipertunjukan pada malam hari mulai pukul 21.00 sampai pukul

04.00 pagi.58

Akan tetapi semenjak tahun 1980an kesenian

Gandrung lebih banyak dipertunjukan dengan penyajian baru yang

biasanya hanya berdurasi 60 menit atau 90 menit. Kesenian

Gandrung memiliki unsur-unsur yang mencirikannya sebagai

kesenian Gandrung, yang dapat dilihat dari segi busana, musik

pengiring dan gending-gendingnya (lagu-lagu). Busana Gandrung

terdiri dari Omprog, Basahan yang terdiri dari Kemben, Kelat bahu,

Ilat-ilat, Pending, Gelang dan Cincin, Sembong, Oncer, Sempur,

Kain panjang, kipas, dan kaos kaki warna putih. Peralatan yang

menjadi musik pengiringnya seperti Biola atau Baolah, kethuk,

Gong, dan Kluncing (besi yang berbentuk segitiga). Gending-

gending yang dinyanyikan sangat banyak jumlahnya, seperti Podo

Nonton, Ayun-ayun, Dang Cap go mek, Kembang Piring, Sekar

Jenang, dan Gebyar-gebyur.

1.9 Metode Penelitian dan Sumber

Metode penelitian dan sumber ini terdiri dari empat tahapan, yakni

heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi atau penulisan. Tahap

pencarian data (heuristik) terdiri dalam beberapa teknik, yakni sebagai

berikut.

58

Dariharto, op.cit., p. 16.

37

1.9.1 Studi Pustaka

Studi pustaka adalah langkah pencarian data yang relevan melalui

buku-buku, artikel, penelitian sebelumnya atau pustaka-pustaka

yang lain yang sesuai dengan masalah penelitian. Studi ini

dilakukan di perpustakaan, arsip daerah ataupun dari artikel di

media masa.

1.9.2 Observasi

Observasi ini dilakukan dengan terjun langsung dilapangan atau di

masyarakat. Hal ini bertujuan untuk melihat keadaan lapangan dan

objek penelitian dan mencari info. Hal ini tentu saja bermanfaat

untuk langkah selanjutnya. Teknik ini digunakan untuk mecari

gambaran umum tentang tema yang digunakan.

1.9.3 Wawancara

Wawancara ini berupa percakapan langsung dengan para informan

yang telah ditunjuk guna mencari data yang sesuai dengan

permasalahan penelitian. Hal ini sangat mendukung dalam

pencarian data, mengingat tema yang dipakai oleh peneliti sangat

sedikit sumber yang tertulis. Sehingga untuk mencari data dapat

menggunakan wawancara. Selain itu dengan wawancara data yang

diperoleh akan lebih spesifik atau terperinci. Dalam wawancara

penulis menggunakan key informan. Key informan dalam

penelitian ini adalah Bapak Abdullah Fauzi. Key Informan ini

merupakan penggiat kesenian Banyuwangi, selain itu juga

38

termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Banyuwangi. Dari sinilah nantinya peneliti akan

mencari informan-informan yang lain sesuai arahan atau masukan

dari key informan, seperti para pelaku kesenian Gandrung,

Budayawan dan juga tokoh-tokoh masyarakat yang berkaitan.

1.9.4 Dokumentasi

Dokumentasi ini dilakukan dengan cara pegambilan gambar-

gambar sesuai dengan objek penelitian dan juga keadaan pada saat

penelitian. Langkah ini bermanfaat karena bisa menjadi sumber

dari keadaan daripada objek penelitian, baik itu keadaan saat ini

maupun gambar-gambar dulu yang diambil kembali untuk

dijadikan sumber. Teknik ini akan menguatkan atau mendukung

penjelasan-penjelasan yang dijelaskan oleh sumber-sumber

sebelumnya.

Setelah melewati tahapan ini dilanjutkan dengan tahapan kritik.

Kritik sumber ini digunakan untuk membuktikan keotentikan atau

keasliannya sumber yang didapatkan serta menguji atau mengkarifikasi

apakah sumber yang didapatkan sesuai dengan tema yang diteliti. Kritik

ini akan berguna untuk membuat tulisan sejarah yang kredibel atau bisa

dipertanggungjawabkan.

Setelah itu tahapan selanjutnya adalah interpretasi atau penafsiran.

Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan kembali data-data yang

ditemukan dilapangan. Interpretasi ini berguna untuk mengetahui isi

39

ataupun makna-makna yang tersirat dari sumber yang ditemukan, serta

berguna untuk menghubungkan fakta-fakta yang sudah ditemukan

dilapangan. Seperti misalnya SK Bupati Banyuwangi tahun 31 Desember

2002 Nomor 173 Tahun 2002 tentang penetapan Gandrung sebagai

maskot pariwisata Banyuwangi dapat pula diartikan atau memiliki makna

bahwa pada tahun 2002 sudah ada upaya atau campur tangan dari

pemerintah dalam pelestarian tari Gandrung. Penetapan ini yang kemudian

dibarengi dengan pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah dan

menjadi salah satu indikator berkembangnya tari Gandrung.

Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah di Kabupaten

Banyuwangi. Tidak secara keseluruhan, tetapi di beberapa tempat yang

dirasa sesuai dengan tema, yakni seperti di Desa Olesari, Cungking,

Bakungan dan di Desa Kemiren. Alasan pemilihan tempat ini karena di

desa-desa tersebut Tari Gandrung diciptakan. Serta pada desa-desa

tersebut kesenian ini masih bertahan dan sering dipertunjukkan.

1.10 Sistematika Penulisan

Penulisan dari hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab,

yakni sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi sejarah

yang digunakan, kerangka teori dan konsep, metode penelitian dan

sumber, lokasi penelitian dan sistematika penulisan.

40

Bab II. Berisi gambaran umum daerah Banyuwangi. Gambaran umum ini

dilihat dari segi geografis dan demografis Banyuwangi. Geografis ini

berisi tentang keadaan alam, batas-batas daerah dan iklim di Banyuwangi.

Demografi berisi tentang keadaan masyarakat Banyuwangi yang dapat

terbagi dari jumlah penduduknya, etnisnya, budayanya, mata

pencahariannya, kondisi sosial ekonominya, kepercayaannya serta

kekhususannya.

Bab III berisi tentang sejarah awal dari kesenian Gandrung Banyuwangi

serta penjelasan secara detail dari pagelaran kesenian Gandrung.

Bab IV berisi tentang kehidupan kesenian Gandrung dalam hubungannya

dengan keadaan disekitarnya pada tahun 1950 sampai 2013, serta dampak-

dampak yang ditimbulkannya.

Bab V Simpulan, berisi tentang simpulan yang dapat diambil dari

penjelasan kehidupan kesenian Gandrung di Banyuwangi yang dijelaskan

dalam Bab I sampai bab IV.