BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kawasan Timur Tengah merupakan sebuah kawasan yang masih
kontroversial, begitu pula mengenai penyebutannya. Goldsmith Jr. dan Davidson
(2006:6-7) menjelaskan secara logis mengenai penyebutan „middle east‟, ketika
„east‟ hanyalah sebutan para bangsa Eropa, yaitu Italia dan Perancis. Akan tetapi
kemudian, kawasan „east‟ tersebut merupakan „west‟ bagi India dan Cina. Dari
gambaran awal inilah sejarah kawasan Timur Tengah berawal, dengan konstruksi
pola pemikiran Barat. Sesungguhnya sebutan yanng pantas bagi kawasan ini
adalah „the Old World‟ (Goldsm ith Jr & Davidson, 2006:6-7). Hal ini disebabkan
kawasan Timur Tengah merupakan persilangan dan asal muasal beberapa
peradaban dunia, seperti persilangan antara kebudayaan Asia, Afrika, dan Eropa.
Di sebelah Timur Teluk Persia merupakan pusat Peradaban Sumeria, sedang di
kawasan Barat Laut Merah adalah pusat Peradaban Mesir Kuno, dan yang terakhir
adalah kawasan Turki di Utara yang berbatasan langsung dengan Eropa da n
terpisah oleh Selat Bosporus.
Secara geografis, definisi Timur Tengah tidak begitu jelas. Akan tetapi,
para sejarawan sepakat bahwa yang dimaksud dengan Timur Tengah adalah
wilayah yang terbentang antara Lembah Nil hingga negeri-negeri Muslim di Asia
Tengah, dari Eropa yang paling tenggara hingga Lautan Hindia. Negara -negara
Muslim di Asia yang ada di dalamnya sering disebut juga dengan Timur Dekat
dan khusus bagian benua Asia biasa disebut juga dengan Asia Barat. Amerika
2
Serikat adalah negara yang mempopulerkan istilah Timur Tengah setelah Perang
Dunia II tahun 1939-1945 (Yatim, 2008). Ada juga yang mengatakan bahwa
Timur Tengah merupakan kawasan yang berada di sekitar Teluk Persia. Namun
demikian, belum ada kesepakatan tentang definisi wilayah Timur Ten gah.
Merujuk keterangan Duta Besar Nurul Aulia, Direktur Timur Tengah
Kementrian Luar Negeri RI, kawasan Timur Tengah m encakup negara di wilayah
Syam/Masyriqi yang meliputi: (1) Iraq, (2) Israel, (3) Jordan, (4) Libanon, (5)
Palestina, (6) Suriah, dan di Teluk/Masyriqi yang meliputi (7) Bahrain, (8)
Kuwait, (9) Oman, (10) Persatuan Emirat Arab, (11) Qatar, (12) Saudi Arabia,
(13) Yaman, serta di Maghribi yang terdiri atas (14) Aljazair, (15) Eritria, (16)
Libya, (17) Maroko, (18) Mauritania, (19) Mesir, (20) Sudan, (21) Tunisia.
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa negara-negara yang seringkali dianggap
sebagai negara Timur Tengah adalah negara Arab dan non-Arab. Negara-negara
tersebut meliputi Mesir, Iran, Irak, Yordania, Lebanon, Palestina, Syria, Isra el,
Bahrain, Kuwait, Yaman Utara, Yaman Selatan, Oman, Qatar, Arab Saudi, Uni
Emirat Arab. Negara-negara yang juga dianggap sebagai negara Timur Tengah
adalah Cyprus, Yunani, Libya, Turki, Afghanistan, dan Pakistan (bdk. David,
2006; Muttaqien, 2008; Aulia, 2016).
Hubungan antara Indonesia dan negara-negara Timur Tengah, umumnya
dikenal dalam kaitannya dengan aspek agama (Islam), pendidikan dan masalah
Palestina. Melihat kembali sejarah, hubungan Indonesia dengan masyarakat Arab,
khususnya yang berasal dar i Hadramaut (Yaman), telah terjalin sejak masuknya
agama Islam ke Indonesia. Islam mulai masuk ke Indonesia seja k sekitar abad ke-
3
10 Masehi (Ricklefs, 1981:3) dan pada abad ke-13 Masehi, Islam sudah masuk
secara besar-besaran ke Indonesia (Steenbrink, 1984 :4), bahkan sampai sekarang
sejauh ini Timur Tengah tetap menjadi kiblat umat Islam. Timur Tengah
dipandang sebagai negara asal kelahiran agama Islam . Karena itulah, negara
tersebut menjadi tujuan utama bagi setiap generasi dalam menuntut ilmu
keagamaan sehingga terjadi transformasi keilmuan Islam khususnya di Indonesia .
Hal tersebut mengakibatkan lahirnya dan berkembangnya pesantren-pesantren
atau lembaga keislaman lainnya sebagai sarana pembentukan pribadi muslim yang
terpadu.
Terkait dengan masalah Palestina, seperti diketahui bahwa Indonesia
mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk memperoleh tanah air mereka
yang dicaplok kaum Zionis Israel. Diantara bentuk partisipasi Indonesia adalah
posisi Indonesia dalam masalah Israel-Palestina secara konsiten mendukung
perjuangan bangsa Palestina berdasarkan Resolusi DK -PBB No. 242 (1967) dan Resolusi
DK-PBB No. 338 (1973), yang menyebutkan pengembalian tanpa syarat semua wilayah
Arab yang diduduki Israel dan pengakuan atas hak -hak sah rakyat Palestina untuk
menentukan nasibnya sendiri, serta mendirikan negara di atas tanah ai rnya sendiri dengan
al-Quds as-Syarif (Jerussalem Timur) sebagai ibukotanya, di bawah prinsip “land
for peace” (http://www.deplu.go.id, diakses: 7/4/2016). Wilayah al-Quds as-
Syarif merupakan tempat suci agama-agama besar (agama samawi) Yahudi,
Kristen, dan Islam.
Indonesia mendukung upaya perdamaian yang sejalan dengan resolusi-
resolusi yang telah dikeluarkan baik oleh PBB maupu n OKI (Organisasi
Konferensi Islam) yang dihasilkan diantaranya pada Konferensi Perdamaian
4
Madrid (1991), Oslo (1993), Sharm Al Sheikh (1999), serta Peta Jalan
Perdamaian (Road Map) gagasan quartet AS, Russia, PBB dan UE (http://
ditpolkom.bappenas.go.id, diakses:8/4/2016). Indonesia percaya bahwa Palestina
dapat merdeka dengan menjalankan hasil-hasil resolusi dan konferensi ini.
Hubungan yang terjalin antara Indonesia dengan Mesir juga sangat erat.
Mesir adalah negara pertama kali yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Posisi
Indonesia dalam kerangka politik luar negeri Mesir, dapat dilihat pada bagaimana
Mesir memandang Indonesia. Pertama, Mesir melihat Indonesia sebagai sebuah
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam . Kedua, sebagai negara yang
memiliki „persamaan nasib‟, yaitu sebagai negara bekas jajahan. Ketiga, Indonesia
dipandang sebagai negara yang memiliki persamaan orientasi di bidang politik
luar negeri (Sihbudi, 1997:29).
Selama periode 1947-1961 banyak terjadi pergolakan di dalam negeri,
baik di Indonesia sediri maupun di Mesir. Di Indonesia terjadi agresi Belanda,
pemberontakan Madiun, Gerakan DI/TII, dan lain-lain. Sementara itu, di Mesir
pada periode tersebut menghadapi pergolakan-pergolakan, seperti perang dengan
Israel, revolusi 1952 yang mengakhiri kekuasaan Raja Farouk, pemisahan Suriah
dari Republik Persatuan Arab (RPA), konflik yang terjadi di dalam tubu h Dewan
Revolusi, serta terjadinya konflik antara pemerintah Kairo dan Gerakan Ikhwanul
Muslimin (Sihbudi,1997:27).
Walaupun demikian masalah yang dihadapi, baik oleh Mesir maupun
Indonesia, adakalanya justru dapat meningkatkan solidaritas kedua negara. K etika
terjadi konfrontasi Indonesia-Belanda mengenai status Irian Barat (Irian Jaya),
5
misalnya, Mesir secara terang-terangan mendukung Indonesia. Begitu pun
sebaliknya, ketika Presiden Nasser menasionalisasikan Perusahaan Terusan Suez
(Juli 1956), yang mengakibatkan terjadinya infasi pasukan gabungan Israe l-
Inggris-Prancis ke Mesir, di Forum Internasional Indonesia menyokong tindakan
Nasser (Roeslan, 2009:40-43).
Hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah terjalin lebih
erat. Hal tersebut disebabkan oleh solidaritas terhadap Republik Indonesia
nampak lebih nyata, ketika Liga Arab dalam sidangnya tanggal 18 November
1946 memberikan rekomendasi pada anggotanya agar mengakui Indonesia
sebagai negara merdeka (Hassan, 1980:34). Keputusan Liga Arab tersebut
kemudian disampaikan oleh Konsul Jenderal Mesir di Bombai, Abdul Mun‟im,
kepada PM. Sutan Syahrir pada bulan Maret 1947. Pada saat terjadinya agresi
Belanda terhadap RI (Juli 1947), negara-negara Liga Arab melarang pesawat-
pesawat Belanda mendarat di lapangan udara mereka sebagai protes terhadap aksi
Belanda (Natsir, 2000:35-38).
Indonesia merespon keputusan dan tindakan Liga Arab dengan
mengirimkan sebuah delegasi ke negara-negara Arab yang dipimpin oleh Haji
Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri) dengan anggota-anggota: A.R.
Baswedan (Menteri Muda Penerangan), Nazir Pamuntjak (Pejabat di Kementerian
Luar Negeri), H.M. Rasjidi (Pejabat Kementerian Agama), dan R.H. Abdulkadir
(Pejabat Kementerian Pertahanan). Negara pertama yang mereka kunjungi adalah
Mesir, dan di sana ditandatangani Perjanjian Persahabatan RI-Mesir (tanggal 10
Juni 1947). Perjanjian tersebut yang ditandatangani oleh H. Agus Salim dari pihak
6
RI, dan dari pihak Mesir diwakili oleh Mahmoud Fahmi Nokrasyi (PM
merangkap Menlu). Sebagai tindak lanjut pada tanggal 7 Agustus 1947, H. Agus
Salim membuka Perwakilan RI di Mesir, dan mengangkat H.R Rasjidi sebagai
Ketuanya dengan kedudukan Change d‟Affairs (Kuasa Usaha) (Sihbudi, 1997:26).
Bagi Indonesia, penandatanganan perjanjian persahabatan dan peresmian
perwakilan tersebut merupakan peristiwa yang sangat penting dan bersejarah,
karena untuk pertama kalinya sebagai negara merdeka, Indonesia mengadak an
kerjasama dengan negara lain (Sihbudi, 1997:26).
Sebagai pusat perkembangan agama, dunia Timur Tengah memiliki
khasanah pemikiran keagamaan yang sangat kompleks. Namun dalam batas
tertentu, sejarah perkembangan politik keagamaan di Timur Tengah diwarnai oleh
gejala konflik dari tingkat yang konstruktif sampai tingkat destruktif. Pergolakan
yang tidak henti-hentinya yang terjadi di negara-negara Timur Tengah menjadi
perhatian sekaligus keprihatinan bangsa Indonesia.
Beberapa konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah antara lain adalah
(1) konflik Arab-Israel tahun 1948, (2) konflik Israel-Palestina tahun 1967-
sekarang, (3) konflik Mesir dengan Israel pasca nasionalisasi Terusan Suez tahun
1973, (4) konflik Irak-Iran tahun 1980-1988, (5) konflik Libanon dengan Israel
tahun 1982, (5) Konflik Irak-Kuwait tahun 1990-1991.
Salah satu persoalan konflik yang paling menonjol di Timur Tengah
adalah masalah Israel dan Palestina, yang masih bergejolak hingga saat ini.
Konflik ini mulai muncul ketika Majelis Umum PBB, mengeluarkan resolusi yang
membagi wilayah Palestina menjadi tiga bagian, yaitu: wilayah Arab Palestina,
7
wilayah Israel, dan Jerussalem sebagai wilayah yang dikelola oleh dunia
internasional. Bangsa Palestina kemudian keberatan dengan menolak pembagian
tersebut. Hal ini disebabkan oleh pembagian tersebut memberikan pada bangsa
Yahudi wilayah yang lebih besar dari wilayah yang diberikan untuk bangsa
Palestina. Padahal, pada kenyataannya bangsa Palestina adalah bangsa mayoritas
yang mendiami wilayah tersebut, sedangkan bangsa Yahudi hanyalah sepertiga
dari seluruh penduduk. Berdasarkan resolusi 181 yang dikeluarkan oleh PBB,
bangsa Yahudi kemudian mengambil langkah berani untuk memproklamasikan
negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948 sebagai negara merdeka, dan diakui oleh
Dunia Internasional, dengan wilayah teritorial yang ditentukan o leh United Nation
Partition Plan (Findley, 1999:39). Sejak berdirinya negara Israel ini, para orang
Yahudi yang tesebar di seluruh dunia mulai berdatangan ke tanah Palestina.
Bangsa Yahudi kemudian, menyusun konsep yang matang untuk
menguasai seluruh wilayah Palestina. Kepercayaan bahwa, wilayah ini merupakan
tanah yang dijanjikan oleh Tuhan mereka, wilayah Palestina yang kini sudah
berada dalam genggaman tidak akan mungkin untuk dilepaskan (Sriyono, 2004:
133). Di lain pihak, berdirinya negara Israel ini m engakibatkan rakyat Palestina
banyak yang berdiaspora untuk membebaskan diri mereka dari penjajahan Israel,
ke berbagai negara-negara tetangga (Sihbudi dkk, 1993:25).
Konflik yang terjadi diantara masyarakat Arab Palestina dengan Israel
kemudian melebar menjadi konflik antara Israel dan Arab ketika Arab menolak
rencana pemisahan yang diusung oleh Perserikatan Bangsa -Bangsa (PBB) pada
tahun 1947 dan pembentukan negara Israel pada tahun 1948 (Summer, 2001).
8
Pada tahun yang sama saat terbentuknya negara Israel, negara -negara Arab yang
terdiri a tas Irak, Syria, Libanon, Mesir dan Jordan memutuskan untuk melakukan
penyerangan ke Palestina. Ada dua perang besar yang berla ngsung yakni perang
pertama, dari pertengahan Mei hingga 11 Juni 1948, ketika Arab melakukan
invasi ke wilayah Yahudi namun berhasil dihentikan oleh Israel. PBB kemudian
mengusahakan gencatan senjata di antara keduanya yang kelihatannya diterima
dengan baik oleh kedua belah pihak. Gencatan senjata berakhir pada tanggal, 6
Juni 1948 disebabkan ketidakinginan Syiria dan Mesir untuk memperpanjang
waktu karena mereka yakin akan memenangkan perang selanjutnya melawan
Israel. Akan tetapi, hal yang tidak disadari oleh Syiria dan Mesir pada saat itu
bahwa militer Israel juga berada pada keadaan yang jauh lebih baik daripada
negara-negara Arab dalam hal persenjataan dan struktur komando (Smith,
167:2001).
Perang kedua berlangsung dari tanggal 6 hingga 19 Juli 1948 dan Israel
berhasil mengalahkan pasukan Arab dari segala sisi. Israel berhasil mengambil
alih Galilea Barat yang masih termasuk wilayah Arab berdasarkan rencana
pemisahan. Ketika PBB mengusahakan gencatan se njata kembali, Israel sudah
berhasil memperluas daerah kekuasaan melebihi apa yang diatur dalam rencana
pemisahan. Israel melakukan invasi ke daerah Negev pada bulan Oktober 1948
dan menjadikan sebagai bagian wilayah Israel. Pada akhir tahun 1948 pasukan
Israel bergerak menuju pantai timur Teluk Aqaba dan berhasil mengusir pasukan
Jordania hingga ke Laut Merah (Smith, 201:2001).
9
Pasca Perang Dunia II tahun 1939-1945, Perang Suez pada tahun 1956
antara Israel yang dibantu oleh Inggris dan Perancis dengan Mesir terjadi. Hal ini
dikarenakan Inggris dan Perancis in gin tetap bertahan di Terusan Suez, Mesir.
Terusan ini dianggap memiliki nilai yang sangat strategis karena menghubungkan
Benua Eropa, Asia, dan Afrika bagian timur (Rahman, 2011:10).
Konflik yang terjadi di negara-negara Timur Tengah telah memberikan
guncangan pada perekonomian global. Hal ini dapat langsung dirasakan oleh
kondisi pasar modal dengan indikator naik turunnya indeks perdagangan saham
gabungan pada seluruh bursa di dunia. Dampak konflik di Timur Tengah terhadap
ekonomi global ini tentu saja membuat kekhawatiran yang sangat beralasan.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kawasan ini juga merupakan kawasan
yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan dunia termasuk di dalamnya
adalah minyak. Di kawasan Timur Tengah juga terdapat muatan sakral, yaitu
adanya kota-kota suci seperti Makkah, Madinah, Jerussalem, Karbala, dan juga
Qom (Burdah, 2008:61).
Keterikatan Indonesia secara emosional dengan negara -negara di Timur
Tengah tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah, yang menunjukkan bahwa
pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia sejak setelah
diproklamasikan pada tanggal, 17 Agustus 1945 berawal dari negara-negara
tersebut. Oleh karena itu, setiap pergolakan di Timur Tengah langsung ataupun
tidak langsung, akan berdampak terhadap kebijakan politik luar negeri Indonesia.
Selain faktor sejarah, pertalian emosional lain yang mengikat keduanya adalah
persamaan sebagai negara berkembang dan negara yang mayoritas penduduknya
10
Muslim, serta sama-sama negara yang terhimpun dalam organisasi-organisasi
internasional, seperti: Organisasi Konferensi Islam yang berubah nomen klaturnya
menjadi Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Gerakan Non B lok (GNB),
Development Eight atau yang lebih dikenal “Kelompok D-8” (Setiawati dkk,
2004:257).
Dalam rangka menggalang dukungan bagi upaya peningkatan peran dalam
proses perdamaian di Timur-Tengah, Indonesia secara aktif terlibat dalam
memecahkan isu-isu konflik di negara-negara Tim ur Tengah, seperti Mesir,
Sudan, Irak, Kuwait, Lebanon, dan Palestina. Khususnya Palestina, konflik yang
terjadi di wilayah tersebut menjadi salah satu yang paling banyak menyita
perhatian dunia, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia secara konsisten
mendukung perjuangan bangsa Palestina berdasarkan Resolusi DK -PBB No. 242
(1967) dan No. 338 (1973), yang menyebutkan pengembalian tanpa syarat semua
wilayah Arab yang diduduki Israel dan pengakuan atas hak-hak sah rakyat
Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri, mendirikan negara di atas tanah
airnya sendiri dengan Al-Quds As-Sharif (Jerussalem) sebagai ibukotanya serta
prinsip “ land for peace”. Indonesia selalu menyambut baik upaya perdamaian
yang sejalan dengan resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan oleh baik PBB
maupun OKI, termasuk di antaranya Konferensi Perdamaian Madrid (1991), Oslo
(1993), Sharm Al Sheikh (1999), serta Peta Jalan Perdamaian (Road Map)
gagasan quartet AS, Rusia, PBB dan UE. (www.bappenas.go.id,diakses:19/ 11/
2015).
11
Keterlibatan aktif Indonesia untuk membangun perdamaian dunia,
khususnya untuk menyelesaikan konflik Timur Tengah dari fakta dapat dicatat
partisipasi aktif Indonesia dalam berbagai misi perdamaian, yaitu selain di bawah
panji-panji GNB, OKI, dan ASEAN menjembatani rekonsiliasi Cambodia,
Myanmar, Philipina (terkait kasus Moro), dan Thailand (terkait kasus Patani/
Thailand Selatan); juga di bawah panji-panji Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
seperti di Mesir 1956 pasca nasionalisasi Terusan Suez (UNEF/ United Nations
Emergency Forces); di Konggo 1960-1964 dalam kerangka (ONUC/United
Nations Conggo Operation); di Mesir 1973-1979 (UNEF/United Nations
Emergency Forces); di Iraq 1988-1990 (UNIIMOG/ United Nations Iran-Iraq
Military Observer Group); di Kuwait 1991-2003 (UNIKOM/United Nations Iraq-
Kuwait Observation Mission); di Libanon 2003-sekarang (UNIFIL/United
Nations Interim Force in L ibanon); dan di Sudan (UNMIS/United Nations
Mission in the Sudan).
Peran nyata Indonesia untuk menciptakan perdamaian dunia, juga sudah
terbuktikan dalam sejarah perdamaian dunia. Indonesia yang terwakilkan oleh
sosok Rais Abin, terbukti mampu dan sukses menjaga perdamaian di kawasan
Timur Tengah. Dalam buku yang berjudul “Mission Accomplished, Mengawal
Keberhasilan Perjanjian Camp David (Catatan Rais Abin, Panglima Pasukan
Perdamaian PBB di Timur Tengah 1976-1979)”. Dasman Djamaluddin sang
penulis buku, menceritakan mengenai perjalanan panjang seorang Jenderal
Indonesia dalam menjalankan misinya untuk menjaga perdamaian di kawasan
Timur Tengah. Penugasan Mayor Jenderal Rais Abin sebagai Kepala Staf United
12
Nations Emergency Forces (UNEF) , Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah
yang Head Quarter (HQ) atau Markas Besarnya di Ismailia, untuk kemudian
diangkat menjadi Panglima UNEF pada tahun 1976-1979 adalah hal yang sangat
membanggakan Indonesia. Bagaimana tidak, sampai saat ini, Jenderal Rais Abin
adalah Perwira Indonesia Pertama, bahkan satu-satunya „anak bangsa‟ yang
berhasil memegang tampuk pimpinan (Panglima) Pasukan Perdamaian P BB di
Timur Tengah (Djamaluddin, 2002:xi).
Konflik yang terjadi di Palestina berawal dari terwujudnya Deklarasi
negara Israel pada tahun 1948, deklarasi tersebut tidak terlepas dari rentetan
peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan gelombang imigran Yahudi yang semakin
banyak menduduki wilayah Palaestina. Dukungan pendirian negara Israel telah
dicetuskan kerajaan Inggris sejak tahun 1917 yang dinamakan dengan Deklarasi
Balfour. Deklarasi Balfour merupakan keputusan Inggris mendukung pendirian
negara Israel secara resmi yang dideklarasikan pada tanggal, 2 November 1917.
Deklarasi ini dikenal dengan nama Deklarasi Balfour. Disebut demikian karena
keputusan ini keluar dari sebuah surat yang ditulis Sekretaris Jenderal Luar
Negeri, Lord Balfour, kepada Lord (Lionel) Rothschild, Kepala Kehormatan
Federasi Zionis di Inggris dan Irlandia (Ansary, 2009:475).
Kiprah peran Indonesia ikut serta dalam penyelesaian konflik Israel-
Palestina. Sebagaimana yang tergambar dalam dokumen A Framework for Peace
in the Middle East sesuai dengan The Camp David Accords 1979, The Madrid
Conference 1991, Resolusi DK PBB No. 242 terkait prinsip Land for Peace dan
No. 383 mengenai penyelesaian damai melalui direct negotiations, serta hasil-
13
hasil perundingan lainnya. Sebagaimana diketahui, usaha mediasi untuk
rekonsiliasi antara dua faksi ini sebelumnya telah dilakukan oleh negara -negara
Arab lain, seperti Arab Saudi, Mesir, Yaman, dan Qatar, serta non Arab, yaitu
Turki. Akan tetapi, usaha tersebut tetap menemui jalan buntu disebabkan tidak
bersatunya dua faksi Hamas dan Fatah. Sebab, jika dua faksi tidak bersatu, maka
cita-cita mewujudkan Negara Palestina yang merdeka sepertinya hanyalah
khayalan belaka dan apabila Palestina belum menjadi negara yang merdeka, maka
konflik Israel-Palestina sepertinya tidak mungkin akan berakhir (bdk. Burdah,
2008:61).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut dan untuk mempermudah dalam
pembahasan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah tentang
penyebab konflik Israel-Palestina, landasan Indonesia untuk berperan dalam
penyelesaian konflik Israel Palestina, strategi Indonesia menjalankan perannya
dalam penyelesaian konflik Israel Palestina dan peran yang telah dilakukan
Indonesia dalam penyelesaian konflik Timur Tengah dalam kaitanya konflik
Israel Palestina.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan praktis dan tujuan
teoretis. Tujuaun praktis penelitian ini adalah (1) mengembangkan ilmu
Hubungan Internasional dan Kajian Timur Tengah serta sebagai referensi untuk
14
melakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam, (2) m enambah khazanah
pustaka di Tanah Air sebagai sum bangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan, (3)
memberikan masukan pada Pemerintah Indonesia dalam pengambilan kebijakan
terkait dengan politik luar negeri Indonesia terhadap penyelesaian konflik di
Timur Tengah, terutama konflik Israel-Palestina, dan (4) menghasilkan landasan
bagi pelaksanaan peran hubungan luar negeri Indonesia pada masa yang aka n
datang dalam peran menyelesaikan konflik di Tim ur Tengah
Sementara itu, tujuan teoretisnya adalah mengokohkan bahwa tanah
Palestina pada awalnya adalah tanah yang didiami oleh bangsa Palestina. Di sisi
lain, bangsa Israel adalah kaum yang dulu pernah juga menempati tanah Palestina
dengan budayanya yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Artinya, bangsa Israel merupakan bangsa yang nomaden dan tersebar di negara
manapun untuk melangsungkan kehidupannya. Gelombang imigrasi bangsa
Yahudi ke Palestina itu merupakan pengulangan sejarah yang pernah disinggahi
pada waktu itu. Oleh karena itu, pendudukan tanah Palestina oleh Israel
merupakan tindakan yang tidak dibenarkan.
1.4 Tinjauan Pustaka
Sejauh penelusuran penelitian terhadap berbagai sumber pustaka dan hasil
penelitian yang berkaitan dengan peran Indonesia dalam penyelesaian konflik
Israel-Palestina belum pernah dilakukan. Namun demikian, ada sejumlah
penelitian yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan masalah tersebut , yaitu
sebagai berikut.
15
Pertama, buku berjudul “Mission Accomplished” diterbitkan penerbit
buku Kompas September 2002. Buku tersebut merupakan catatan Rais Abin
sebagai Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah 1976-1979. Isi
buku tersebut mengisahkan permasalahan Palestina (al-Quds) sudah terjadi
semenjak 1000 tahun sebelum Masehi hingga 636 Masehi. Lebih dari 1600 tahun,
kelompok Yahudi mendiami wilayah Palestina, sebelum akhirnya terusir oleh
tentara Romawi. Tanah yang ditinggalkan oleh bangsa Yah udi tersebut akhirnya
dikuasai oleh bangsa Arab. Semenjak itulah, sejarah mencatat bahwa tanah
Palestina menjadi hak milik rakyat Palestina, yang berbangsa Arab.
Permasalahan mulai muncul semenjak runtuhnya Kekhalifahan
Utsmaniy yang bersekutu dengan Jerm an dan dikalahkan oleh persekutuan
Inggris, Perancis dan Rusia dalam Perang Dunia I (1914-1918). Hasrat bangsa
Yahudi untuk kembali ke wilayah Palestina semakin tinggi. Hal ini disebabkan
pengalaman buruk berupa teror dan penindasan yang mereka terima dari dan oleh
gerakan anti semitisme dunia Eropa. Alasan memilih Palestina jelas, bahwa
wilayah Palestina menurut keyakinan bangsa Yahudi adalah tanah yang dijanjikan
Tuhan di dalam Kitab Taurat pada jaman Nabi Musa, dengan menyebutkan daerah
pantai Barat Baitulmaqdis sebagai Yudea dan Samaria atau Erz Israel/Negara
Israel (Djamaluddin, 2012:3).
Kedua, buku yang berjudul “Konflik Timur Tengah: Aktor, Isu, dan
Dimensi Konflik”, diterbitkan atas kerjasama Pusat Studi Timur Tengah dan
Islam (PSTII) Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga, Pusat Studi Pertahanan dan
16
Perdamaian (PSPP) Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta dan Penerbit
Tiara Wacana yang ditulis oleh Ibnu Burdah (2008).
Buku ini memaparkan masalah Timur Tengah bagaimana perseteruan
antara bangsa Arab dan Israel diawali dengan beberapa perang besar. Perang besar
pertama yang melibatkan negara-negara Arab melawan Israel terjadi pada tanggal
15 Mei 1948 sampai 7 Januari 1949, sehari menyusul deklarasi berdirinya negara
Yahudi tersebut. Perang kedua meletus pada 29 Oktober sampai 7 November
1956 terkait sengketa Terusan Suez. Perang ini melibatkan Mesir yang baru
menemukan pemimpin besarnya, Jamal Abdul Nasser, yang berhasil menggalang
kekuatan negara-negara Arab untuk menghadapi Israel, sehingga terjadilah perang
pada tanggal 5-10 Juni 1967, atau yang lebih dikenal dengan “Perang Enam Hari”.
Walaupun pada perang tersebut bangsa Arab disokong oleh kekuatan yang besar,
namun mereka tertim pa kekalahan. Hampir semua lini depan negara -negara Arab
yang berbatasan dengan Israel dirampas oleh Israel. Suriah harus kehilangan
Dataran Tinggi Gholan, Lebanon kehilangan wilayah di kawasan Selatan,
Yordania kehilangan kawasan Tepi Barat (Palestina), sedangkan Mesir harus
kehilangan wilayah Sinai, yang membentang dari Suez hingga wilayah Gaza.
Enam tahun empat bulan kemudian, Mesir kembali menyerang Israel pada tanggal
6 sampai 26 Oktober 1973. Perang yang dikenal dengan “Perang 6 Oktober”
ataupun “Perang Yom Kiffur” itu berhasil memukul mundur Israel. Yang berakhir
dengan direbutnya kembali kawasan Sinai oleh Mesir (Burdah 2008).
Burdah menjelaskan perpecahan yang terjadi antara negara -negara Arab
dan terjadinya perpecahan dalam tubuh Palestina sendiri. Perpecahan dan
17
perseteruan antara Fatah dan Hamas inilah yang semakin melemahkan posisi
Palestina berhadapan dengan Israel (Burdah, 2008).
Ketiga, buku yang berjudul Membentangkan Ketakutan: Jejak Berdarah
Perang Global Melawan Terorisme, karya Shofwan al-Banna. Dalam buku
tersebut al-Banna menjelaskan bahwa istilah “Perang Global Melawan Terorisme”
adalah strategi baru yang dicanangkan Pemerintah AS untuk melemahkan negara -
negara lawan politik AS. Istilah “Terorisme” yang sampai hari ini belum
didefinisikan secara pasti, adalah sesuatu yang disengaja. Fungsinya, agar istila h
“Terorisme” dapat didefinisikan dan digunakan untuk kepentingan „tertentu‟ sang
Aktor (Al-Banna, 2011). Dalam buku ini juga dipaparkan bagaimana kebijakan
perang AS ke negara-negara di Timur Tengah (Afganistan dan Irak),
sesungguhnya tidak bertujuan untuk menghancurkan teroris seperti yang selama
ini digembar-gemborkan oleh AS, tetapi bertujuan untuk menghancurkan negara -
negara yang menolak untuk bekerjasama dengan pihak AS. Kepentingan AS
untuk menguasai wilayah Timur Tengah sepertinya terhalang dengan keberadaan
pemimpin-pemimpin negara yang tidak mau bekejasama ini. Harapannya, dengan
dilum puhkannya negara-negara tersebut, tujuan utama AS di Timur Tengah dapat
tercapai (Al-Banna, 2011).
Keempat, Buku yang berjudul Power Systems karya Noam Chomsky,
terbit tahun 2013. Dalam buku ini dijelaskan bahwa politik campur tangan AS
terhadap negara-negara lain, bahkan kebijakan invasi yang terselubung dalam
“misi melawan teroris” adalah bentuk baru dari sistem Imperialism e yang
diterapkan Pemerintah AS untuk mencapai kepentingan politiknya di luar negeri.
18
Yang berbeda adalah, jika sebelum perang dingin AS menerapkan kebijakan
imperialisme secara terang-terangan, setelah berakhirnya perang dingin AS
menjalankan misi imperialisme secara tersirat, yang diistilahkan Noam Chomsky
sebagai The New American Imperialism (Chomsky, 2013:1).
Dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti
terdahulu yang berkaitan dengan konflik Israel-Palestina, maka tidak terdapat
penelitian yang membahas peran Indonesia dalam penyele saian konflik Timur
Tengah, khususnya konflik Israel-Palestina. Untuk itulah terdapat argumen yang
kuat untuk meneliti persoalan tersebut lebih lanjut. Namun demikian, hasil -hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu dapat membantu untuk
memperkaya dalam mengalisis persoalan yang sedang diteliti.
1.5 Kerangka Teori
Untuk menjawab pertanyaan dan masalah-masalah tersebut, diperlukan
sejumlah teori, diantaranya adalah teori konflik sosial, teori politik luar negeri,
dan teori diplomasi. Teori-teori tersebut untuk memahami berbagai kebijakan
Pemerintah Indonesia dalam upaya menciptakan perdamaian di Timur Te ngah.
Berikut ini dikemukakan secara garis besar teori-teori tersebut sebagai tuntunan
untuk mempermudah menganalisis data-data yang ada dalam pembahasan.
1.5.1 Teori Konflik Sosial
Ada beragam jenis konflik sosial yan g terjadi. Dalam buku manajemen
konflik, H.A. Rusdiana (2015:141-143) misalnya mengklasifikasikan konflik
sosial menjadi 6(enam) macam, yaitu konflik pribadi, konflik kelompok, konflik
19
antarkelas sosial, konflik rasial, konflik politik dan konflik budaya. Namun
demikian, dalam kehidupan sosial, sulit sekali membedakan antara bentuk konflik
satu dengan lainnya. Karena konflik yang satu misalnya, bisa mengakibatkan
terjadinya konflik-konflik lainnya (Rusdiana, 2015:142).
Selain itu, ada juga konflik antar kelas sosial yang melibatkan antara dua
kelas sosial yang berbeda. Misalnya antara buruh tani dengan para tuan tanah.
Atau antara kelompok buruh dengan kelompok pemodal, atau pemilik kapital.
Sementara itu, konflik rasial, politik, dan budaya merupakan pertikaian antara dua
kelompok berbeda. Jika rasial lebih pada karena adanya perbedaan fisik
kelompok, politik lebih pada perbedaan orientasi politik masing -masing
kelompok, dan budaya lebih pada perbedaan gaya dan cara hidup masing-masing.
Dalam kasus Israel-Palestina, dapat diketahui oleh peneliti bahwa konflik
kedua negara tersebut merupakan konflik rasial a tau etnis dan juga konflik politik.
Karena dalam konflik ini kelompok-kelompok berusaha menguasai negara agar
dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan dengan merugikan/merusak kelom pok-
kelompok pesaingnya (Rusdiana, 2015:134). Dapat dilihat perjuangan rakyat
Palestina dan Israel dalam perebutan wilayah dan kekuasaan mereka.
Horowitz (1985) menyatakan konflik-konflik jenis ini sering dianggap
sebagai zero sum conflict (konflik habis-habisan) atau secara sederhana
disimbolkan (+1) (-1) = 0. Artinya, tujuan dari masing-masing kelompok adalah
memenangkan pertikaian, yang berarti kekalahan bagi kelompok lain, tidak ada
win-win solusi. Artinya, jika dibiarkan konflik ini hanya akan menghasilkan
keabadian konflik tersebut; siapapun pemenangnya, Israel ataupun Palestina.
20
Konflik merupakan gejala sosial yang hadir dalam kehidupan sosial,
sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap
ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat
merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang se nantiasa
berlangsung. Oleh karena itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang
selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya
konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.
Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang me miliki
kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak,
maupun tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang
dapat diselesaikan, tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga
menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat
diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan
yang terkecil hingga peperangan (Rusdiana, 2015:143).
Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang
berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan (Elly, 2011:
345). Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena
pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada
pertentangan dan peperangan internasional. Coser mendefinisikan konflik sosial
sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang
langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau
dilangsungkan atau dieliminir saingannya (Irving, 1998: 156). Konflik artinya
percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sementara itu, konflik sosial
21
merupakan pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh
dikehidupan (Balai Pustaka, 2005:587).
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa konflik merupakan
percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau
masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara
saling menantang dengan ancaman kekerasan. Konflik sosial adalah salah satu
bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain di dalam masyarakat
yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling
menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu proses
bertemunya dua pihak atau lebih yang memiliki kepentingan yang bersifat relatif
sama terhadap suatu hal yang terbatas. Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu
dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi,
akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi orang atau
kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.
Sementara itu, Ralf Dahrendorf (dalam Lauher, 2001:102) mengatakan
bahwa konflik dapat dibedakan atas em pat macam, yaitu (1) konflik antara atau
yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik peran.
Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapan yang
berlawanan dari bermacam -macam peranan yang dimilikinya, (2) konflik antara
kelompok-kelom pok sosial, (3) konflik antara kelompok-kelompok yang
terorganisir dan tidak terorganisir, (4) konflik antara satuan nasional, seperti antar
partai politik, antar negara, atau organisa si internasional.
22
Di sisi la in, Narwoko dkk (2005:68) menjabarkan bahwa faktor yang
menyebabkan terjadinya konflik-konflik, antara lain (1) perbedaan pendirian dan
keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik antar individu (Narwoko
dkk, 2005:68) . Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan
pendirian, dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya.
Membinasakan disini tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa
pula diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran -
pikiran lawan yang tidak disetujui. Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun
individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan pendapat, tujuan,
keinginan tersebutlah yang mempengaruhi timbulnya konflik sosial, (2) perbedaan
kebudayaan. Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar
individu, akan tetapi bisa juga antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang
berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang
berbeda pula dikalangan khalayak kelompok yang luas. Selain itu, perbedaan
kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnosentrisme yaitu sikap yang
ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah yang paling baik.
Jika masingmasing kelompok yang ada di dalam kehidupan sosial sama -sama
memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya kon flik antar
penganut kebudayaan, (3) perbedaan kepentingan. Mengejar tujuan kepentingan
masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan
berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana (Susanto, 2006:70).
Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat
digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik (Soetomo, 1995:77). Adapun
23
bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi,
arbitrasi, koersi (paksaan), détente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang
mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu,
kemudian cara yang formal, jika cara pertama membawa hasil (Nasikun,
2003:22).
Menurut Nasikun (2003:25), bentuk-bentuk pengendalian konflik meliputi
(1) konsiliasi (conciliation) Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-
lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan
keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-
persoalan yang mereka pertentangkan, (2) mediasi (mediation) Bentuk
pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa bersama -
sama sepakat untk memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka
sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka, (3) arbitrasi berasal dari kata latin
arbitrium , artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai
pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang
arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,
artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak
menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih
tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi, (4) perwasitan, di dalam
hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk memberikan
keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara
mereka.
24
1.5.2 Teori Politik Luar Negeri
Pembahasan terkait peran serta pemerintah Indonesia dalam penyelesaian
konflik Timur Tengah tentunya tidak dapat dilepaskan dari teori politik luar
negeri. Dalam buku yang berjudul Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah
Pusaran Politik Domestik, Ganewati Wuryandari (2008), penulis buku tersebut
mengutip pendapat Chris Brown dalam bukunya Understanding International
Relations yang memberikan pemahaman sederhana bahwa politik luar negeri
dapat dipahami sebagai cara untuk mengartikulasikan dan memperjuangkan
kepentingan nasional terhadap dunia luar. Dari definisi tersebut dapat diketahui
bahwa politik luar negeri dan kepentingan nasional suatu negara tidak dapat
dipisahkan antara satu dan lainnya.
Selanjutnya, Wuryandari (2008) juga menjelaskan perbedaan dua
pandangan terkait kepentingan nasional itu sendiri. Pandangan pertama mengacu
pada pendekatan „objektif‟, yang menilai bahwa kepentingan nasional adalah
sesuatu yang bisa didefinisikan secara jelas dengan menggunakan kriteria yang
objektif sehingga rumusan kepentingan nasional suatu negara akan cenderung
konstan dari waktu ke waktu. Sementara itu, pada sisi lain, pandangan kedua lebih
bersifat „subjektif‟, yang melihat kepentingan nasional adalah sesuatu yang selalu
berubah mengikuti preferensi subjektif para pembuat keputusan. Pemahaman ini
akan menghasilkan persepsi bahwa kepentingan nasional dan aspek-aspek apa
saja yang ditonjolkan serta kebijakan yang dihasilkan bisa saja bergantung pada
pandangan, sikap dan preferensi pemegang kebijakan (Wuryandari, 2008:15).
25
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah yang terkait denagn
kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah.
Dalam konteks konflik Israel-Palestina, posisi Indonesia secara konsisten
mendukung perjuangan rakyat Palestina sesuai dengan Konstitusi RI yang
menentang segala bentuk penjajahan. Cita-cita Indonesia untuk mewujudkan
dunia yang damai dan segala bentuk penjajahan di muka bumi ini harus
dihapuskan adalah kepentingan nasional Indonesia yang selalu konsisten dari
waktu ke waktu. Selanjutnya mengapa penyelesaian konflik Israel-Palestina
menjadi prioritas Pemerintah Indonesia? Hal ini didasarkan pandangan
pemerintah Indonesia bahwa konflik Israel-Palestina merupakan inti dari berbagai
masalah yang terjadi di Timur Tengah, dan penundaan proses perdamaian secara
berlarut-larut hanya akan memperburuk situasi di wilayah Timur Tengah.
Asas hukum yang digunakan Indonesia untuk memperjuangkan
kemerdekaan Palestina adalah resolusi DK 242 (1967) dan 338 (1973) yang
menyebutkan pengembalian tanpa syarat seluruh wilayah Arab yang diduduki
Israel dan pengakuan atas hak-hak sah rakyat Palestina untuk menentukan
nasibnya sendiri, mendirikan negara di atas tanah airnya sendiri dengan al-Quds
al-Syarif (Jerussalem Tim ur) sebagai ibukotanya serta prinsip land for peace
(Dirjen Multilateral Deplu RI, 2008:11).
Peranan nyata Pemerintah RI dalam mengupayakan perdamaian antara
Palestina dan Israel dengan berpartisipasi dalam Konferensi Internasional
mengenai Proses Perdamaian di Timur Tengah (The International Conference on
the Middle East Process) yang diselenggarakan di Annapolis, Maryland tanggal
26
26-27 November 2007, Indonesia bersama Malaysia dan Turki yang dalam hal ini
bukan negara Arab diundang oleh OKI. Delegasi Indonesia terdiri dari Menteri
Luar Negeri dan Direktur Timur Tengah Departemen Luar Negeri (Dirjen
Multilateral Deplu RI, 2008:11). Keikut sertaan Indonesia dalam konferensi-
konferensi yang membahas penyelesaian konflik Timur Tengah juga termasuk
dalam upaya pencapaian tujuan nasional Indonesia yang lebih “subjektif” artinya
sejalan dengan kondisi dan situasi poli tik internasional yang dari waktu ke waktu
selalu berubah.
Dalam memperoleh kemerdekaannya, negara Indonesia tidak mudah untuk
mendapatkan pengakuan dari negara lain. Pengakuan yang diberikan oleh negara
lain ini akan berpengaruh terhadap jalannya politik luar negeri Indonesia sendiri.
Politik luar negeri ini merupakan upaya dalam mempertemukan kepentingan
nasional, khususnya dalam rencana pembangunan nasional dengan perkembangan
dan perubahan internasional (Alami, 2008:45). Politik luar negeri ini memiliki
tujuan yang ingin dicapai karena dengan adanya politik luar negeri akan dapat
memperlancar dalam melakukan aksi dalam kancah internasional.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia ini dijalankan karena adanya
sebuah cita-cita yang ingin dicapai. Cita-cita tersebut, yaitu dengan adanya
keinginan dalam melakukan kerjasama dan mengadakan hubungan baik dengan
bangsa-bangsa lain. Selain itu, dalam politik luar negeri, Indonesia memiliki
tujuan yaitu mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan
bangsa, memperoleh dari luar negeri barang-barang yang diperlukan untuk
memperbesar kemakmuran rakyat, perdamaian internasional, dan persaudaraan
27
segala bangsa sebagai pelaksanaan cita-cita yang tersimpul dalam Pancasila
(Hatta, 1953:6-7). Politik luar negeri Indonesia mengalami perkembangan, yaitu
telah terjadi pergantian masa enam dekade. Dalam perjalanannya tersebut terjadi
pemaknaan yang bervariasi terhadap prinsip-prinsip yang menjadi landasan
perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sendiri (Alami, 2008:
26-27).
Politik luar negeri Indonesia memiliki landasan yang membaginya ke
dalam tiga kategori, yaitu landasan idiil, landasan konstitutsional, dan landasan
operasional. Landasan idiil politik luar negeri Indonesia, yaitu Pancasila.
Pancasila dikenal sebagai dasar negara bangsa Indonesia yang terdiri dari lima
sila. Kelima sila tersebut menjelaskan mengenai pedoman dasar bagi pelaksanaan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi
kehidupan manusia (Alami, 2008:28).
Landasan konstitusional politik luar negeri Indonesia, yaitu Undang -
Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 ini mengundang pasal-pasal yang
mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menjelaskan mengenai garis -
garis besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Hal ini berfungsi sebagai
pedoman pelaksanaan untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia (Alami,
2008:28). Sedangkan , landasan operasionalnya, yaitu bebas aktif. Pelaksanaan
landasan operasional ini mengalami perubahan karena menyesuaikan den gan
kepentingan nasional. Selain itu, landasan operasional juga mengalami perluasan
makna karena politik luar negeri Indonesia yang mengalami perkembangan
selama enam dekade (Alami, 2008:28-29).
28
Landasan operasional politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan
dan dapat dilihat dengan adanya perbedaan dalam memahami landasan
operasional pada setiap masanya, misalnya pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
Pertama, masa Orde Lama dijelaskan bahwa landasan operasional politik luar
negeri Indonesia adalah bebas aktif. Hal ini dapat dilihat dalam maklumat dan
pidato-pidato Presiden Soekarno. Selain itu, pada dasawarsa 1950-an menjelaskan
bahwa landasan operasional mengalami perluasan makna. Perluasan makna
tersebut diyatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya yang berjudul
“Jalannya Revolusi”, maksud dalam pidato tersebut, yaitu mengenai prinsip bebas
aktif yang dicerminkan dengan adanya hubungan ekonomi dengan luar negeri.
Sedangkan, masa Orde Baru dijelaskan bahwa landasan operasional politik luar
negeri Indonesia semakin dipertegas dengan adanya peraturan formal. Penegasan
yang diwujudkan melalui Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1965 tanggal 5 Juli
1966, Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973, petunjuk Presiden 11 April 1973,
petunjuk bulanan Presiden sebagai Presiden sebagai ketua Dewan Stabilisasi
Politik dan Keamanan, dan keputusan-keputusan Menteri Luar Negeri, serta
dalam TAP MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Selain itu,
landasan operasional pasca Orde Baru dijelaskan bahwa mengalami perubahan
pemerintahan secara cepat. Hal ini dapat dilihat dengan adanya dua kabinet yang
memerintah pada masa pemerintahan pasca Orde Baru, yaitu Kabinet Gotong
Royong dan Kabinet Indonesia Bersatu (Alami, 2008:28-34).
Pada masa pemerintahannya, Kabinet Gotong Royong (2001-2004)
mengoperasionalkan politik luar negeri Indonesia melalui Ketetapan MPR No.
29
IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang GBHN dalam rangka
mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004, UU No.37 tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri, UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
dan Perubahan UUD 1945. Latar belakang ketetapan MPR No. IV/MPR/1999
adalah krisis ekonom i dan krisis nasional pada tahun 1997. Dalam UU No. 37
tahun 1999 menekankan pada aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
politik luar negeri. Hal ini dapat dilihat dalam politik luar negeri bebas aktif untuk
kepentingan nasional, mengatur keterlibatan pihak-pihak dalam lembaga negara
dan lembaga pemerintah dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
pelaksanaan politik luar negeri. Sementara itu, UU No. 24 tahun 2000
menekankan pada pentingnya menciptakan suatu kepastian hukum dalam
perjanjian internasional (Alami, 2008:34-37).
Pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) politik
luar negeri dioperasikan ke dalam tiga program utama, yaitu pemantapan politik
luar negeri dan optimalisasi diplomasi Indonesia dalam penyelenggaraan
hubungan luar negeri dan pelaksanaan hubungan luar negeri, peningkatan
kerjasama internasional yang bertujuan memanfaatkan secara optimal berbagai
peluang dalam diplomasi dan kerjasama internasional, dan penegasan komitmen
perdamaian dunia yang dilakukan dalam rangka membangun dan
mengembangkan semangat multilateralisme dalam memecahkan berbagai
persoalan keamanan internasional (Alami, 2008:34-40). Dalam hal ini Indonesia
melakukan diplomasi sebagai upaya mendapatkan pengakuan secara internasional.
Namun dalam pelaksanaannya, upaya tersebut tidak mudah bagi Indonesia. Selain
30
jalur diplomasi yang ditempuh, Indonesia harus melalui perjuangan fisik
bersenjata. Bukan hanya itu saja yang menyebabkan Indonesia merasa sulit dalam
mendapatkan pengakuan internasional. Hal ini juga diakibatkan dari adanya
perkembangan politik internasional yang pada saat itu sedang tidak mendukung.
Politik internasional pada masa itu mengalami persaingan tajam yang terjadi
antara blok barat dengan blok tim ur. Persaingan yang terjadi ini kemudian
mempersulit posisi Indonesia dalam berpihak. Namun, sebagai jawabannya
Indonesia tidak memilih salah satu dari kedua blok tersebut (Alami, 2008:40-41).
Indonesia tidak memilih di antara kedua blok tersebut menjadi prinsip dan
pilihan dalam politik luar negeri Indonesia yang disebut politik bebas dan aktif.
Bebas dalam artian ini adalah tidak berpihak pada blok-blok yang ada dengan
bersikap netral dan memiliki cara tersendiri dalam mengatasi persoalan
internasional. Namun demikian, dalam hal ini Indonesia tidak dapat dikatakan
sebagai negara yang netral posisinya. Sikap netral yang dimaksud di sini adalah
sikap netral yang anti sosial, namun sikap ini tidak sesuai dengan yang dilakukan
Indonesia karena Indonesia menjadi anggota PBB (Hatta, 1953:12). Hal ini
kemudian ditegaskan oleh Hatta karena Indonesia tidak dihadapkan pada suatu
pilihan dalam hubungan negara-negara yang sedang berperang, melainkan
Indonesia mengambil sikap tersebut untuk memperkokoh dan memperjuangkan
perdamaian (Alami, 2008:43-44). Sementara itu, aktif dalam artiannya
menjelaskan mengenai adanya partisipasi Indonesia dalam menjaga perdamaia n
dan meredakan ketegangan yang terjadi diantara kedua blok tersebut. Politik luar
negeri Indonesia yang berdasarkan prinsip bebas aktif ini juga tercantum dalam
31
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dalam alinea tersebut
dijelaskan bahwa Indonesia menentang segala bentuk penjajahan dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia (Alami, 2008:44-45).
Dasar politik bebas yang dipilih Indonesia pertama kali diletakkan oleh
Pemerintah Indonesia pada tahun 1948. Namun, hal ini menjadi pertentangan
dengan golongan kiri di bawah pimpinan Partai Komunis Indonesia (Hatta, 1953:
16). Prinsip bebas aktif ini juga dipengaruhi oleh posisi Indonesia yang secara
geopolitik terletak di antara dua samudra dan dua benua menjadikan Indonesia
istimewa dibanding denga n negara lain. Karena dalam posisi silang , Indonesia
mempunyai berbagai kekuatan dan kelemahan. Kekuatan yang dapat dilihat, yaitu
pada posisi kekuasaan yang kuat dalam hubungan internasional Negara Indonesia
terhadap negara-negara di sekitarnya dan besarnya potensi sumber daya alam
yang dimilikinya. Adapun yang menjadi kelemahannya adalah bentuk kepulauan
yang sangat luas sehingga rentan terhadap adanya ancaman keamanan dari pihak
luar, penyebaran penduduk yang tidak merata, ketersediaan sumber daya alam d an
terjadinya marginalisasi pulau-pulau luar (Alami, 2008:47-48).
1.5.3 Teori Diplomasi
Yang dimaksud teori diplomasi adalah sebagai suatu disiplin yang
mengungkapkan hubungan antar negara dan merupakan seni menyampaikan. S. L.
Roy, mendifinisikan diplomasi dalam suatu istilah secara jelas dan tegas bukanlah
suatu hal yang mudah. Akan tetapi ia menggaris bawahi, bahwa diplomasi dapat
dipahami sebagai hubungan antar negara dan merupakan seni menyampaikan
kepentingan dari suatu negara melalui perundingan dan cara-cara damai. Namun,
32
jika cara-cara damai itu gagal memperoleh tujuan yang dikehendaki, maka
penggunaan cara ancaman atau gun boat diplomacy yaitu menggunakan cara
kekerasan dapat digunakan sebagai sarana alternatif untuk mencapa i tujuan-tujuan
nasional negara (Roy, 1984)
Selanjutnya, S. L. Roy mengatakan bahwa, hubungan suatu negara dengan
dunia luar sangat tergantung pada tatanan dunia dan lingkungan internasional
yang senantiasa berubah. Sehubungan dengan itu, maka diplomasi suatu negara
sebaiknya harus menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut, searah
dengan kepentingan nasional suatu negara yang juga senantiasa berkembang
(Roy, 1984:4).
Diplomasi juga dimaknai suatu pelaksanaan nyata dari hubungan luar
negeri antar negara (Badri, 1993:15). Hal ini lebih rinci disampaikan oleh Hasjim
Djalal bahwa diplomasi adalah cara menjalankan politik luar negeri. Pada
dasarnya diplomasi adalah usaha meyakinkan pihak lain atau negara lain untuk
dapat memahami dan membenarkan pandangan kita dan jika mungkin mendukung
pandangan tersebut, tanpa perlu menggunakan kekerasan (Djalal, 1989:1).
Diplomasi juga sering digambarkan sebagai kebijakan luar negeri yang
terus berkembang secara berkesinambungan, dirumuskan menjadi metode dalam
menangani masalah-masalah internasional yang rum it, disebabkan adanya
persaingan antar negara yang terus menerus untuk mencapai tujuan -tujuan
nasional mereka masing-masing.
Dengan demikian, fungsi diplomasi ialah untuk mendamaikan
kepentingan-kepentingan negara yang majemuk tersebut a tau minimal
33
mensejajarkannya. Suatu negara yang melakukan sesuatu kekeliruan dalam
mengevaluasi kekuatan, kelemahan, aspirasi, dan tujuan nasional negara lain,
dapat berakibat pada kesalahan dalam pembentukan kebijakan luar negeri
negaranya. Untuk menghindari kesalahan tersebut, fungsi diplomatic agent
(diplomat) sangatlah signifikan. Yaitu sebagai penghimpun informasi, untuk
selanjutnya melakukan penilaian dan mengevaluasi rencana kebijakan luar negeri
sebelum diimplementasikan.
Diplomasi juga dapat diartikan sebagai upaya pencapaian maksimal tujuan
kelompok dengan pengorbanan sekecil mungkin dan menghindari penggunaan
cara-cara kekerasan, yang berakibat terjadinya peperangan antar kelompok yang
berkepentingan. Tujuan kelompok atau negara yang ingin dicapai dalam
diplomasi biasanya mencakup beberapa hal, yaitu:
Pertama, kepentingan dan nilai-nilai inti. Biasanya didefinisikan sebagai
tujuan utama, yang membuat kebanyakan negara bersedia mengorbankan apapun
untuk mencapainya. Kepentingan dan nilai-nilai inti, sering dihubungkan dengan
upaya mempertahankan diri sebagai satu kesatuan politik. Tujuan ini bersifat
jangka pendek dan mendesak, karena tujuan-tujuan lainnya tidak akan tercapai
tanpa terpenuhinya tujuan ini telebih dahulu. Adapun yang tercakup dalam tu juan
tersebut adalah upaya menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan nasional serta
mempertahankan sistem ekonomi, sosial, dan politik tertentu, yang berlaku di
dalam masyarakatnya. Juga upaya memperoleh jaminan keamanan dari negara -
negara tetangga. Di samping itu, upaya mempertahankan kesatuan etnis, agama
dan bahasa juga termasuk klasifikasi tujuan inti.
34
Kedua, diplomasi harus menentukan seberapa jauh kepentingan yang
berbeda-beda tersebut dapat disesuaikan antara satu dengan yang lain. Suatu
negara yang berhasrat melaksanakan politik luar negeri yang penuh kedamaian
dan kehati-hatian tidak boleh berhenti dan membanding-bandingkan kepentingan
nasionalnya dengan kepentingan negara lain. Apakah ada kesempatan untuk
disesuaikan di antara mereka?. Kesalahan atau ketidak tepatan di antara mereka di
dalam membandingkan tujuan politik luar negeri tersebut akan membawa akibat
yang fatal bagi perdamaian dan bagi upaya pencapaian tujuan nasional.
Ketiga, diplomasi harus menerapkan metode yang tepat untuk meraih
kepentingan nasional negara. Perlu dipertimbangkan kapankah penggunaan
persuasi, kompromi ataupun ancaman, guna pencapaian tujuan negara. Kesalahan
pemilihan metode, akan mengakibatkan gangguan serius terhadap perdamaian.
Tentu saja situasi seperti ini berbahaya bagi pencapaian tujuan nasional itu
sendiri.
Dalam rangka memenuhi ketiga fungsi diplomasi untuk mencapai tujuan
nasional seperti disebutkan di atas, maka diperlukan ketersediaan data/informasi
yang cukup memadai. Data-data tersebut digunakan untuk : (1) menciptakan
keserasian tujuan nasional dengan kekuatan riil atau pun potensi untuk
mencapainya, (2) penilaian tujuan negara lain dan kekuatan yang dimilikinya, (3)
menentukan apakah kepentingan nasional berseberangan atau tidak dengan
kepentingan negara lain, dan (4) penerapan cara yang tepat untuk mencapai tujuan
nasional.
35
1.6 Metodologi Penelitian
Pengertian metode, berasal dari bahasa Yunani yakni methodos yang
dimaksud adalah cara atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan
ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu
subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya (Ruslan,
2003:24).
Sutrisno Hadi (1987:3) mengungkapkan penelitian adalah usaha untuk
menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, yang
dilakukan dengan metode-metode ilm iah. Penelitian adalah suatu kegiatan atau
proses sistematis untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan
metode ilmiah (Emzir,2007:3). Penelitian sebagai aktivitas keilmuan yang
dilakukan karena ada kegunaan yang ingin dicapai, baik untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia maupun untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
(Hamidi, 2007:6).
Menurut Soerjano Soekanto penelitian adalah kegiatan ilmiah yang
berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis,
sistematis dan konsisten. Jadi Metodologi penelitiaan adalah ilmu membahas
tentang suatu kegiatan yang dilakukan untuk memecahkan masalah ataupun untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode -metode ilmiah.
1.6.1 Metode Penelitian
Yang dimaksud metode penelitian adalah metode yang ada kaitannya
dengan analisis data atau dalam kaitannya dengan teori dan metode dalam
36
kaitannya dengan prosedur penelitian (urut-urutan penelitian). Metode dalam
kaitannya dengan analisis data ada tiga macam, yaitu metode deskriptif, metode
normatif, dan metode preskriptif.
William D. Coplin (2003:3-4) berpendapat bahwa dalam proses analisis
data diperlukan beberapa tahapan yang meliputi: (1) klarifikasi dan kategorisasi
data, (2) penyajian data, (3) interpretasi secara kualitatif untuk memperoleh
temuan penelitian terkait peran Indonesia dalam menyelesaikan konflik di Timur
Tengah (Israel-Palestina). Karena itulah, analisis datanya dilakukan dengan
menggunakan tiga cara kerja, yaitu analisis deskriptif, normatif, dan preskriptif.
Analisis deskriptif, yaitu analisis yang bertujuan untuk mendeskripsikan
apa yang ada atau apa yang sudah ada. Analisis ini menyajikan suatu fotokopi dari
peristiwa tertentu atau menjelaskan apa yang telah terjadi. Analisis normatif yaitu
analisis yang bertujuan untuk membuat penilaian (eksplisit a tau implisit) terhadap
apa yang dianggap eksis atau yang eksis berdasarkan nilai-nilai yang dimiliki.
Sementara itu, analisis preskriptif yaitu analisis yang bertujuan untuk
memunculkan saran atau anjuran tentang langkah atau tindakan apa yang harus
diambil dalam merealisasi nilai-nilai.
Sementara itu, metode dalam kaitannya dengan prosedur penelitian
meliputi (1) jangkauan penelitian, (2) jenis dan sumber data (sumber primer dan
sumber sekunder), (3) pengumpulan data (observasi dan pengamatan langsung,
studi kepustakaan, wawancara), dan (4) pengolahan dan analisis data.
37
1.6.2 Jangkauan Penelitian
“No Problem, no science” . Ungkapan Archi J Bahm ini seolah sederhana
namun sarat makna. Dari ungkapan ini dapat kita ketahui bahwasanya ilmu
pengetahuan muncul dari adanya permasalahan tertentu. Menurut Bahm, ilmu
pengetahuan dapat diperoleh dari pemecahan masalah keilmuan. Tidak ada
masalah, berarti tidak ada solusi. Tidak adak solusi berarti tidak memperoleh
metode yang dapat memecahkan masalah. Ada metode berarti ada sistematika
ilmiah. Oleh karena itu, permasalahan merupakan sebuah objek untuk diteliti
sehingga dapat menghasilkan pengetahuan baru.
Menurut Husen Umar (2005:303) pengertian objek penelitian adalah
sebagai berikut : “Objek penelitian menjelaskan tentang apa dan atau siapa yang
menjadi objek penelitian. Juga dimana dan kapan penelitian dilakukan, bisa juga
ditambahkan dengan hal-hal lain jika dianggap perlu”. Sedangkan menurut
Sugiyono (2009:38) pengertian objek penelitian adalah sebagai berikut : “Suatu
atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiata n yang mempunyai
variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya”. Adapun I Made Wirartha (2006:39) berpendapat
pengertian objek penelitan adalah: “Objek penelitian (variable penelitian) adalah
karakteristik tertentu yang mempunyai nilai, skor atau ukuran yang berbeda untuk
unit atau individu yang berbeda atau merupakankonsep yang diberi lebih dari satu
nilai.” Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa objek penelitian
adalah suatu sasaran ilmiah dengan tujuan dan kegunaan tertentu untuk
mendapatkan data tertentu yang mempunyai nilai, skor atau ukuran yang berbeda.
38
Dalam penelitian ini mengangkat Peran Indonesia dalam Penyelesaian
Timur Tengah sebagai objek. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Timur Tengah mempunyai data yang
diperlukan untuk penelitian ini.
Objek dalam ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu: objek material dan objek formal. Pertama, yang dimaksud objek material
adalah sasaran material atau penyelidikan, pemikiran atau penelitian ilmu.
Menurut Surajiyo (2009:5), Objek material adalah suatu bahan yang menjadi
tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek ini merupakan hal
yang dipandang, disorot, atau dipermasalahkan oleh suatu disiplin ilmu. Objek ini
mencakup hal-hal yang bersifat konkret (seperti makhluk hidup dan benda mati)
maupun abstrak (seperti keyakinan dan nilai-nilai). Kedua adalah objek formal,
yaitu sudut pandang yang ditujukan pa da bahan penelitian atau pembentukan
pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu diselidiki. Seperti fisika,
kedokteran, agama, sastra, sejarah, budaya, dan sebagainya (Surajiyo, 2009:7).
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu bahan yang
menjadi tinjauan peneliti (objek material) dalam penelitian ini adalah peran
Republik Indonesia dalam penyelesaian konflik Timur Tengah dalam kasus Israel -
Palestina, adapun sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau
pembentukan pengetahuan (objek formal) dalam penelitian ini adalah konflik
sosial, polugri (bebas-aktif), dan diplomasi.
39
1.6.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
subjek penelitian, yang terkait dengan perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
aspek lain secara holistik. Fenomena tersebut dideskripsikan dalam bentuk kata -
kata, pada satuan konteks khusus yang alamiah dengan memanfaa tkan berbagai
metode ilmiah (Moleong, 2012:6).
Dalam setiap penelitian, peneliti dituntut untuk menguasai teknik
pengumpulan data sehingga menghasilkan data yang relevan dengan penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis data kualitatif dari sumber
primer dan sumber sekunder.
1.6.4 Sumber Primer
Menurut Umar (2003:56), data primer merupakan data yang diperoleh
langsung di lapangan oleh peneliti sebagai objek penulisan. Sumber primer berupa
data asli yang diperoleh penulis langsung dari ta ngan pertama yaitu naskah
perjanjian yang ada di kementrian Luar Negeri RI dan kedutaan RI di Luar Negeri
dan data yang didapatkan melalui observasi (pengamatan), pertemuan langsung
saat berdiplomasi serta wawancara dengan tokoh-tokoh pelaku/saksi yang
mengalami atau memiliki informasi.
Wawancara yang dilakukan peneliti adalah wawancara yang memfokuskan
pada persoalan-pesoalan yang akan diteliti. Wawancara tak berisi pertanyaan-
pertanyaan yang mendetail, tetapi sekedar garis besar tentang data atau informa si
40
apa yang ingin didapatkan dari narasumber yang nanti dapat disumbangkan
dengan memperhatikan perkembangan konteks dan situasi wawancara.
1.6.5 Sumber Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak memberikan
informasi secara langsung kepada pengum pul data. Sumber data sekunder ini
dapat berupa hasil pengolahan lebih lanjut dari data primer yang disajikan dalam
bentuk lain atau dari orang lain (Sugiyono, 2012:225).
Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan dengan
cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literatur,
artikel, jurnal serta situs di internet yang berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan (Sugiyono, 2009:137).
Data ini digunakan untuk mendukung infomasi dari data primer yang
diperoleh baik dari wawancara, maupun dari observasi langsung ke lapangan.
Penulis memanfaatkan data sekunder hasil kutipan dari sumber lain, seperti KBRI,
naskah pidato, naskah perjanjan-perjanjian, jurnal, koran, karya ilmiah, makalah,
buku dan tulisan-tulisan lain yang relevan dengan topik bahasan juga
menggunakan data sekunder yang dihasilkan dari studi pustaka. Dalam studi
pustaka, penulis membaca literatur-literatur yang dapat menunjang penelitian,
yaitu literatur-literatur yang berhubungan dengan peran Indonesia dalam
penyelesaian konflik Timur Tengah.
Sumber Sumber-sumber ini dipilih dan dianalisis sedemikian rupa untuk
memperoleh rujukan yang benar-benar otentik dan objektif terkait dengan
41
permasalahan. Juga dengan mengambil beberapa pandangan yang berbeda dari
beberapa karya kemudian dilakukan pemilihan secara objektif berdasar data yang
dimiliki oleh peneliti.
1.6.6 Pengumpulan Data
Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan
data-data yang akan disajikan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Observasi dan Pengamatan Langsung
Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dimana peneliti
melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari
dekat kegiatan yang dilakukan (Riduwan, 2004:104). Pada dasarnya teknik
observasi digunakan untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena –
fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan
perubahan atas penilaian tersebut, bagi pelaksana observasi untuk melihat objek
moment tertentu, sehingga mampu memisahkan antara yang diperlukan dengan
yang tidak diperlukan (Margono, 2007:159). Teknik ini digunakan bila penelitian
ditujukan untuk mempelajari perilaku manusia, proses kerja, gejala -gejala alam
dan dilakukan pada responden yang tidak terlalu besar.
Dengan teknik ini peneliti mengumpulkan data secara langsung dengan
terjun ke lapangan dengan maksud merekam berbagai fenomena yang terjadi
(situasi dan kondisi) tidak hanya mengukur sikap dari responden (wawancara dan
angket).
42
b. Studi Kepustakaan
Informasi yang bersumber dari pustaka, peneliti peroleh dari laporan
KBRI, naskah-naskah perjanjian, naskah pidato, koran, majalah, karya ilmiah,
makalah, buku dan tulisan-tulisan lain yang relevan dengan topik bahasan.
c. Wawancara
Peneliti melakukan wawancara kepada beberapa tokoh tentang peran
Indonesia dalam penyelesaian konflik Timur Tengah dan harapan kepada
Indonesia dalam konteks perdamaian. Wawancara ini dapat melengkapi data yang
ada, di samping observasi dan studi pustaka. Wawancara ini juga dimaksudkan
untuk menggali informasi yang lebih dalam, jujur, objektif dan akurat untuk
keperluan informasi.
1.6.7 Pengolahan dan Analisis Data
Semua data yang terkumpul dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk
deskripsi kata-kata yang dilengkapi dengan analisis. Analisis data merupakan
proses dimana data yang telah ada disederhanakan ke dalam bentuk yang lebih
mudah lagi untuk dibaca dan diinterpretasikan. Analisis data dengan interpretasi
data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam
dan luas terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan. Pembahasan hasil
penelitian dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan
teori yang relevan dan informasi masyarakat yang diperoleh dari penelitian
(Moleong, 2004:151). Setelah semua data diperoleh, selanjutnya peneliti mulai
mengklasifikasikan data-data yang diperoleh sehingga dapat disesuaikan dengan
teori dan permasalahan penelitian yang dilakukan.
43
1.7 Hipotesis
Jika melihat la tar belakang masalah, rumusan masalah, dan permasalahan,
serta tujuan penelitian, untuk kemudian dianalisis dengan memanfaatkan teori
konflik sosiail, teori politik luar negeri, dan teori diplomasi, maka asumsi peneliti
dalam disertasi ini adalah (1) Indonesia berperan aktif dalam penyelesaian
konflik yang terjadi di Palestina, sebagai bentuk prinsip politik luar negeri
Indonesia yang bebas aktif dan kesamaan identitas sebagai Negara muslim, (2)
peran Indonesia dalam konflik yang terjadi di Israel dan Palestina dilakukan
melalui multi-track diplomasi dalam organisasi dan konferensi Internasional
seperti PBB, KAA, dan OKI. Keaktifan peran Indonesia dalam konflik Israel-
Palestina dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya kesempatan kelompok Islam dalam
menyuarakan aspirasi politiknya. Indonesia harus lebih aktif berkontribusi dalam
penyelesaian konflik di Israel-Palestina, serta diharapkan mampu menunjukkan
perannya sehingga Indonesia mendapatkan posisi strategis di mata negara -negara
di dunia dalam penyelesaian tersebut.
1.8 Sistematika Penulisan
Penelitian untuk disertasi ini disajikan dalam lima bab. Bab I berisi
Pendahuluan yang meliputi latar belakang permasalahan terkait peran Indonesia
dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesis, metodologi penelitian da n sistematika
penulisan. Bab II menjelaskan geopolitik dan geostrategi Israel-Palestina dan
44
cakupan wilayah penelitian. Bab III membahas tentang kompleksitas konflik yang
terjadi di Israel dan Palestina. Pembahasan ini meliputi penjelasan tentang
konflik-konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina berawal dari berdirinya
negara Israel yang merupakan sumber konflik Timur Tengah. Bab IV
memaparkan peran politik luar negeri Indonesia dalam konflik Israel-Palestina,
dalam bab ini akan membahas tentang tiga hal penting. Pertama, kewajiban politik
Indonesia dalam penyeleasaian konflik d ua negara. Kedua, tetang esensi konflik
Israel-Palestina dan solusinya. Ketiga, membahas tentang faktor Islam dalam
konsistensi peran Indonesia dalam konflik Israel-Palestina. Sementara itu, Bab V
berisi kesimpulan yang merupakan inti dan hasil dari penelitian yang telah
dilakukan.