BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu
pendekatan yang diperkenalkan oleh pakar hukum di Amerika Serikat sebagai
reaksi atas ketidakpuasan terhadap aparat dan institusi penegak hukum. Frank
Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang memperkenalkan
rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (system
aproach) dan gagasan mengenai sistem ini terdapat pada laporan pilot proyek
pada tahun 1958. Gagasan ini kemudian diletakkan pada mekanisme peradilan
administrasi peradilan pidana dan diberi nama criminal justice system. Istilah ini
kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh “The Presiden’t Crime
Commision.”1
Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System merupakan suatu
istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan
dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Rusli Muhammad
mengemukakan bahwa Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan peradilan
1Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen & Pelaksanaannya
Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hlm.33.
yang bekerja sama secara terpadu di antara bagian bagiannya untuk mencapai
tujuan tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang.2
Bertalian dengan pendapat di atas, M. Faal mengemukakan bahwa Sistem
Peradilan Pidana adalah suatu sistem berprosesnya suatu peradilan pidana,
masing-masing komponen fungsi yang terdiri dari Kepolisian sebagai penyidik,
Kejaksaan sebagai penuntut umum, Pengadilan sebagai pihak yang mengadili
dan Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi untuk memasyarakatkan kembali
para si terhukum, yang bekerja secara bersama-sama, terpadu di dalam usaha
untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk menanggulangi kajahatan.3
Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan terhadap sistem peradilan
pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyaratan terpidana.4 Beranjak dari
definisi tersebut di atas, Mardjono mengemukakan tujuan dari sistem peradilan
pidana adalah:5
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegaskan dan yang bersalah pidana.
2Rusli Muhammad, 2011, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm.13.
3M.Faal, 1991, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita,
Jakarta, hlm.24.
4Yesmil Anwar dan Adang, Op.cit., hlm.35.
5Luhut Pangaribuan,2013, Hukum Acara Pidana: Suarat Resmi Adokat di Pengadilan, Papas Sinar
Sinanti, Jakarta, hlm.14.
3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang ada baik yang terdapat di dalam ataupun di luar Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mempunyai perangkat struktur atau sub
sistem yang terdiri dari Kepolisian yang melakukan tugas penyelidikan dan
penyidikan, Kejaksaan yang melakukan tugas penuntutan terhadap suatu tindak
pidana, Pengadilan yang melaksanakan atau mengimplementasikan hukum
terhadap suatu perkara dengan suatu putusan hakim, serta Lembaga
Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan yang bertugas melakukan pembinaan
terhadap terpidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat
sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan
bertanggung jawab. Pembinaan terhadap terpidana yang mendapat hukuman
pidana penjara dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan, sedangkan untuk
terpidana yang mendapat hukuman berupa pidana percobaan atau pidana
bersyarat dilakukan oleh Badan Pemasyarakatan. Subsistem-subsistem tersebut
secara keseluruhan dan merupakan suatu kesatuan berusaha mentransformasikan
masukan menjadi luaran yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana yaitu
menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada
dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.
Hukum Pidana yang menduduki posisi sentral dalam Sistem Peradilan
Pidana yaitu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam rangka melindungi
dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Hukum pidana menjadi penting
peranannya, sekarang dan di masa mendatang bagi masyarakat sebagai kontrol
sosial untuk mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai pengendali
kejahatan.6 Hukum yang baik seharusnya berpijak dan mengutamakan keadilan,
kemudian kemanfaatan dan selanjutnya pijakan terakhir adalah kepastian hukum.
Keadilan dalam hukum pidana selama ini sudah dianggap ditegakkan
apabila pelaku tindak pidana setelah melalui proses peradilan pidana dijatuhi
sanksi sesuai dengan aturan-aturan hukum pidananya. Pemikiran itu tersebut
tidak terlepas dari dominasi paradigma Retributive Justice dalam pembentukan
dan implementasi hukum pidana. Paradigma Retributive Justice melihat
kejahatan sebagai persoalan antara negara dengan individu pelaku karena hukum
yang ditetapkan oleh negara untuk menjaga ketertiban, ketentraman,dan
keamanan kehidupan bermasyarakat telah dilanggar oleh pelaku.7 Retributive
Justice memandang bahwa wujud pertanggungjawaban pelaku harus bermuara
pada penjatuhan sanksi pidana. Kerugian atau penderitaan korban dianggap
sudah diimpaskan, dibayar atau dipulihkan oleh pelaku dengan menjalani dan
menerima proses pemidanaan. Banyak pendapat mengemuka terkait dengan
penjatuhan sanksi pidana, dikatakan bahwa substansi maupun prosedur
penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana yang selama ini
6Muhari Agus Santoso, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang, hlm.12.
7G.Widiartana, 2013, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan,
UAJY,Yogyakarta, hlm.102.
dijalankan hampir tidak membawa manfaat apapun bagi pemulihan penderitaan
korban. Selama ini sanksi pidana lebih merupakan “pembayaran atau penebusan”
kesalahan pelaku kepada Negara daripada wujud pertanggung jawaban pelaku
atas perbuatan jahatnya kepada korban.8 Padahal yang langsung mengalami
penderitaan atau kerugian akibat tindak pidana itu adalah korbannya.
Perkembangan selanjutnya adalah timbulnya upaya-upaya ke arah
perbaikan perlakuan terhadap hak dan kepentingan korban tindak pidana. Salah
satu upaya tersebut ialah mulai dikembangkannya paradigma Restorative Justice
yang memandang kejahatan sebagai konflik antar individu dan pertanggung
jawaban pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatannya
serta untuk membantu memutuskan mana yang paling baik bagi penyelesaian
tindak pidana dengan mempertimbangkan penderitaan atau kerugian korban.
Salah satu wujud implementasi Restorative Justice ialah melalui Mediasi Penal
(penal mediation). Melalui proses mediasi penal dapat diperoleh puncak keadilan
tertinggi karena terjadinya kesepakatan para pihak yang terlibat dalam perkara
pidana tersebut yaitu antara pihak pelaku dan korban. Pihak pelaku dan korban
diharapkan dapat mencari dan mencapai solusi serta alternatif terbaik untuk
menyelesaikan perkara tersebut dengan prinsip win-win solution.
Hukum adat yang merupakan yang merupakan hukum asli Indonesia,sudah
lama mengenal prinsip mediasi penal yang diterapkan dalam menyelesaikan
kasus-kasus adat yang muncul. Hukum adat tidak mengadakan pemisahan antara
8Ibid
pelanggaran (pemerkosaan) hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki
kembali hukum di lapangan hukum pidana dengan pelanggaran hukum yang
hanya dapat dituntut di lapangan hukum perdata.9 Suatu perbuatan hanya akan
dianggap delik adat apabila msyarakat setempat berdasarkan kesepakatan
menganggap bahwa perbuatan tersebut telah menimbulkan goncangan/
mengganggu keseimbangan kosmis. Begitu pula sanksi/reaksi adat yang
diberikan bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu
bukan semata-mata untuk menghukum/ menjerakan si pelaku. Konsep restitusi
atau pengembalian keadaan dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan
kosmis pada hukum adat sejalan dengan hakikat mediasi penal dalam hukum
pidana.
Van Ness & Strong sebagaimana dikutip oleh Fatahilah A. Syukur
memberikan pengertian mediasi penal sebagai berikut:
“Victims and opffenders are given the opportunity to meet together with the
assistance of a trained mediator to begin to resolve the conflict and to
construct their own approach to achieving justice. Unlike the formal criminal
justice system, which removes both the victim and offender from pro-active
roles, these programs seek to empower the participants to resolve their
conflict on tyheir own. “in an atmosphere of structured informality.” Unlike
arbitration, in which a third party hears both sides and makes a judgment,
theVORP process relies on the victim and offender to resolve the dispute
together. No spesific outcome is imposed by the mediator;the goal is to
empower participants, promotes dialogue and encourage mutual problem
solving”10
9Iman Sudiyat, 2008,Hukum Adat: Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta,hlm.175.
10
Fatahilah A. Syukur, 2011, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasa Dalam Rumah Tangga) dalam
Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.82
Mediasi Penal sudah dikenal dalam dimensi internasional dapat dilihat dari
beberapa konferensi misalnya Kongres PBB ke-9 tahun 1995, Konferensi
Internasional Pembaharuan Hukum Pidana (International Penal Reform
Conference) tahun 1999, dan juga dalam Kongres PBB ke-10 tahun 2000.
Sebagai tindak lanjut pertemuan internasional tersebut, mendorong munculnya
dokumen internasional yang berkorelasi dengan peradilan restoratif dan mediasi
dalam perkara pidana berupa the Recommendation of the Council of Europe 1999
No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”, berikutnya the EU
Framework Decision 2001 tentang “the Stannding of Victim in Criminal
Proceedings” dan the UN Principles 2002 (Resolusi Ecososc 2002/12) tentang
“Basic Principles on the Use Restorative Justice Programmes in Criminal
Matters”.11
Mediasi Penal ini juga dikenal dalam beberapa Undang-Undang pada
Negara Austria, Jerman, Belgia, Perancis dan Polandia.12
Secara statistik,
perkembangan mediasi penal di beberapa negara di dunia adalah sebagai
berikut:13
11
Muladi,1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, hlm.128.
12
Rommy Gumilar, 2010, Semangat Perbaikan Menuju Peradilan Restoratif, hlm. 1, tersedia di
http://romygumilar.wordpress.com/tag/mediasi-penal/, diakses 28 Desember 2014
13
Mark Umbreit, 2001, Introduction: Restorative justice through Victim Offender Mediation,” in
The handbook of Victim Offender Mediation: An Essential Guide to Practice and Research,ed. ,Jossey-
Bass, San Fransisco ,hlm.xiv
Tabel 1. Perkembangan Mediasi Penal di Beberapa Negara
No Negara Jumlah Program
1 Australia 5 2. Austria 17 3. Belgia 31 4. Kanada 26 5. Denmark 5 6. Finlandia 175 7. Prancis 159 8. Jerman 450 9. Italia 4 10. Belanda 2 11. Selandia baru Ada dalam setiap yurisdiksi
12. Norwegia 41 13. Polandia 5 14. Afrika Selatan 1 15. Swedia 50 16. Inggris 46 17. Amerika Serikat 302
Total 1.319
Sumber: Penelitian Mark Umbreit
Barda Nawawi dalam Ridwan Mansyur mengemukakan bahwa mediasi
penal dimungkinkan dalam kasus tindak pidana anak, tindak pidana orang
dewasa ada yang dibatasi untuk delik yang diancam maksimum tertentu, tindak
pidana dengan kekerasan (violent crime), tindak pidana dalam rumah tangga
(domestic violent ), dan kasus perbankan yang beraspek hukum pidana.14
Mediasi
penal dikenal secara terbatas di Indonesia melalui diskresi penegak hukum secara
parsial. Di Kepolisian Mediasi Penal diatur dalam Pasal 14 huruf f Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang
14
Ridwan Mansyur, 2008, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT(Kekerasan Dalam Rumah
Tangga),Yayasan Gema Yustisia, Indonesia, Jakarta, hlm.166.
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri yang menyebutkan bahwa:
“penerapan Konsep Alternative Dispute Resolution (pola penyelesaian
masalah sosial melalui jalur alternative yang lebih efektif berupa upaya
menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau non litigasi), misalnya
melalui upaya perdamaian”,
Surat Kapolri No.Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009
mengatur pula tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution
(ADR).
Topo Santoso dkk menjelaskan bahwa terdapat beberapa tindak pidana
yang dapat dimediasikan yaitu berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut:15
1. Ancaman pidana yang rendah
2. Tingkat kerugian yang ditimbulkan
3. Tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian
4. Tindak pidana yang merupakan delik aduan baik absolut maupun
relatif
5. Tindak pidana yang melibatkan anggota keluarga baik pelaku/ korban
6. Tindak pidana dimana pelakunya anak di bawah umur
7. Tindak pidana yang unsur-unsur tindak pidananya tidak jelas
Berpijak pada kriteria yang diungkapkan oleh Topo Santoso tersebut maka
tindak pidana yang dimungkinkan untuk dilakukan upaya mediasi penal salah
satunya adalah tindak pidana yang tergolong ringan. Mengenai istilah tindak
pidana ringan tidak ditemui dalam KUHP, namun mengacu kepada Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
15
Agustinus Pohan, dkk, 2012, Hukum Pidana dalam Perspektif, Pustaka Larasan, Denpasar,
hlm.320
tentang Hukum Acara Pidana). Pasal 205 ayat (1) KUHAP, dikatakan bahwa
yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara
yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,- .Ini tampak pula dari sudut
penempatannya, yaitu Tindak Pidana Ringan dimasukkan ke dalam Acara
Pemeriksaan Cepat, bersama-sama dengan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
Bunyi pasal tersebut dapat dicermati mengenai definisi tindak pidana
ringan, yaitu sebuah perkara yang ancaman hukuman penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah.
Jika ditelaah bunyi-bunyi pasal dalam KUHP maka tindak pidana ringan pada
umumnya adalah tindak pidana (delik) pelanggaran yang dalam KUHPidana
yang ditempatkan pada Buku III serta beberapa pasal dalam Buku II antara lain
Pasal 302 ayat (1) mengenai penganiayaan terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1)
mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373
mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384
mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai pengerusakan
barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan dan pasal 315 mengenai
penghinaan ringan.
Paradigma dalam masyarakat selalu dinamis, perkembangan terkini adalah
mulai dianggapnya jalur litigasi melalui proses peradilan pidana tidak lagi
memenuhi asas cepat, sederhana dan biaya ringan. Begitu pula korban yang
belum merasa kepentingannya diperhatikan meskipun pelaku telah diproses dan
dikenakan sanksi pidana. Perlu dicermati tentang letak stategis Kepolisian dalam
Sistem Peradilan Pidana, dimana Kepolisian merupakan lapisan pertama yang
menentukan suatu perkara pidana akan dilanjutkan melalui jalur litigasi ataupun
tidak. Mediasi penal di tingkat kepolisian memang diatur secara parsial, namun
penerapannya dapat sebagai alternatif dalam penyelesaian perkara pidana guna
lebih memperhatikan kepentingan korban, pelaku serta masyarakat. Penerapan
mediasi penal telah banyak dilakukan di tingkat kepolisian di beberapa daerah di
Indonesia terhadap kejahatan-kejahatan ringan, salah satunya di Kepolisian
Resort Banyumas, Jawa Tengah seperti yang ditulis oleh Malvino Edward dalam
bukunya "Kewenangan Melakukan Mediasi Penal".16
Sebagaimana dilansir oleh
Antara News edisi 11 Oktober 2011, Kepala Bagian Operasional Kepolisian
Resort Kabupaten Buleleng Kompol IB Wedanajati memaparkan bahwa
pihaknya mulai menerapkan langkah hukum mediasi penal atau penyelesaian
alternatif dalam kasus-kasus tindak pidana tertentu yang tergolong
ringan.17
Selain di Polres Buleleng, mediasi penal telah dilaksanakan di
Polres/Polresta lain di Bali seperti Polresta Denpasar.
16
Malvino Edward, 2011, Kewenangan Melakukan Mediasi Penal, Litera Kreasi Lestari,
Tanggerang, hlm.i.
17
Mazuki, 2011, Polres Buleleng Sudah Mulai Terapkan Mediasi Penal tersedia di
http://antarabali.com/berita/14976/polres-buleleng-sudah-mulai-terapkan-mediasi-penal, diakses 10
Januari 2015
Penelitian yang akan penulis lakukan didasarkan kepada data jumlah angka
kriminalitas di Kabupaten/Kota di Bali yang dihimpun oleh Badan Pusat
Statistik, sebagai berikut:18
Tabel 2. Angka Kriminalitas Per-Kabupaten/Kota, Provinsi Bali, 2014
No. Kabupaten/Kota Angka kriminalitas
(kasus)
1. Jembrana 1.173
2. Tabanan 408
3. Badung 667
4. Gianyar 562
5. Klungkung 255
6. Bangli 212
7. Karangasem 452
8. Buleleng 858
9. Denpasar 3.492
Total 8.079
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali
Berdasarkan data di atas dapat diamati bahwa tingkat kriminalitas di Kota
Denpasar menduduki angka tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota
lainnya di Bali. Berdasarkan penelitian awal yang penulis lakukan diperoleh data
jumlah beberapa jenis kejahatan ringan yang terjadi di Polresta Denpasar sebagai
berikut:
18
Aminullah,__,Dampak Mobilitas Penduduk terhadap Kriminalitas di Bali, tersedia di
http://www.ipadi.or.id/ipadi/p-content/files/Aminullah.pdf, diakses 9 Januari 2015
Tabel.3 Angka Kejahatan Ringan di Kota Denpasar tahun 2014
No. Jenis kejahatan Pasal (KUHP) Angka kriminalitas
(kasus)
1. Penggelapan ringan 373 196
2. Pengerusakan barang 407 11
3. Penipuan ringan 379 85
4. Penganiayaan ringan 352 181
5. Pencurian ringan 364 102
Sumber: Sat. Reskrim Polresta Denpasar
Data di atas menunjukan bahwa di antara kejahatan ringan yang terjadi
pada tahun 2014 penggelapan ringan menduduki angka paling tinggi, namun
proses mediasi jarang berhasil pada tindak pidana penggelapan ringan
disebabkan pelaku tidak bisa mengembalikan barang atau sejumlah uang untuk
mengganti kerugian materiil ataupun imateriil yang diderita korban. Diantara
tindak pidana ringan tersebut mediasi penal paling sering dilakukan pada tindak
pidana kasus penganiayaan ringan yang terjadi di wilayah hukum Polresta
Denpasar.
Pasal 109 ayat (2) KUHAP ditegaskan bahwa penyidikan hanya
dihentikan dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Tidak diperoleh bukti yang cukup
2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.
3. Penghentian penyidikan demi hukum (terdakwa meninggal dunia, perkara ne
bis in idem, perkara kedaluwarsa atau pencabutan perkara yang sifatnya delik
aduan)
Secara normatif mengacu kepada ketentuan Pasal 109 ayat (2) tersebut maka
seharusnya penyidikan tidak dapat dihentikan dikarenakan adanya mediasi atau
“kesepakatan damai” antara pelaku dan korban penganiayaan ringan. Fakta
empiris menunjukan bahwa mediasi dilakukan bahkan telah berhasil
dipergunakan sebagai penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di
Polresta Denpasar. Berangkat dari latar belakang tersebut di atas maka penulis
ingin melakukan penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah dengan judul sebagai
berikut “Urgensi Pelaksanaan Mediasi Penal di Tingkat Penyidikan dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Ringan di Kepolisian Resort Kota
Denpasar”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dapat
dikemukakan yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan mediasi penal di tingkat penyidikan dalam
penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di Polresta Denpasar?
2. Apakah faktor penghambat dan pendorong pelaksanaan mediasi penal di
tingkat penyidikan dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di
Polresta Denpasar?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Guna menghindari keluarnya pembahasan tesis ini dari pokok
permasalahan yang telah diungkapkan di atas serta agar pembahasan dalam tesis
ini menjadi sistematis demi menemukan solusi permasalahan, maka perlu untuk
menetapkan ruang lingkup dan batasan mengenai materi yang akan di bahas.
Ruang Lingkup dalam penelitian ini mengenai pelaksanaan mediasi penal
terhadap tindak pidana penganiayaan ringan di Polresta Denpasar meliputi dasar
pertimbangan, proses serta perbandingan mediasi penal dengan beberapa negara.
Pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai faktor penghambat dan
pendorong pelaksanaan mediasi penal di tingkat penyidikan kepolisian dalam
penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan serta beberapa upaya yang
dilakukan Polresta Denpasar untuk menanggulangi hambatan dalam pelaksaan
mediasi penal tersebut.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.
1.4.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui
pelaksanaan mediasi penal terhadap tindak pidana penganiayaan ringan di
Polresta Denpasar, guna mengetahui hambatan dan pendorong dalam
pelaksanaan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian kasus tindak
pidana ringan sebagai upaya pembaharuan hukum pidana (penal reform).
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk menganalisis pelaksanaan mediasi penal di Polresta Denpasar
dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan.
2. Untuk menganalisis faktor penghambat dan pendorong pelaksanaan
mediasi penal di Polresta Denpasar dalam penyelesaian tindak pidana
penganiayaan ringan.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau
kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) bagi para pembaca
mengenai paradigma pemidanaan khususnya paradigma restoratif
justice melalui metode mediasi penal dalam penyelesaian tindak
pidana penganiayaan ringan.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk
penelitian-penelitian berikutnya.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dan pemahaman tentang pelaksanaan mediasi penal dalam
penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan.
2. Bagi penegak hukum, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan serta pengetahuan tentang restoratif justice dan
mediasi penal dalam upaya untuk memenuhi rasa keadilan substantif
masyarakat.
3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan pemahaman secara mendalam mengenai pentingnya
mediasi penal sebagai perwujudan restroatif justice dalam
penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan demi kepentingan
korban dan pelaku.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Orisinalitas penelitian bertujuan untuk menunjukkan keaslian penelitian
dari seorang peneliti terhadap penelitian sebelumnya. Untuk memperkuat tingkat
orisinalitas penelitian yang penulis lakukan, maka terdapat beberapa penelitian
ilmiah di bidang hukum yang terlebih dahulu telah ada yang memiliki nilai
kesamaan yaitu obyek penelitiannya adalah mengenai mediasi penal. Adapun
penelitian- penelitian tersebut adalah :
1. I Made Widia, 2009, Mediasi Penal sebagai Suatu Pemikiran Alternatif dalam
Proses Peradilan Pidana, Universitas Udayana.
Rumusan masalah dari penelitian I Made Widia, antara lain:
a. Bagaimana pelaksanaan mediasi penal dalam proses peradilan pidana?
b. Bagaimana pengawasan terhadap pelaksanaan mediasi yang dilakukan
oleh penyidik kepolisian?
2. I Made Agus Mahendra Iswara, 2011, Mediasi Penal Penerapan Asas-Asas
Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Universitas
Indonesia.
Rumusan masalah dari penelitian I Made Agus Mahendra Iswara, antara lain:
a. Bagaimanakah eksistensi hukum pidana adat dalam peraturan perundang-
undangan?
b. Bagaimakah peran lembaga adat dalam menyelesaikan tindak pidana adat
Bali dengan mempergunakan pendekatan keadilan restoratif melalui
mekanisme mediasi penal?
c. Bagaimanakah mekanisme penerapan mediasi penal dalam menyelesaikan
tindak pidana adat Bali?
3. Nirmala Sari, 2011, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Tindak Pidana Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Universitas
Diponogoro.
Rumusan masalah dari penelitian Nirmala Sari, antara lain:
a. Mengapa mediasi penal seyogyanya menjadi alternatif penyelesaian
perkara lingkungan hidup di luar pengadilan?
b. Bagaimana konstruksi mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian
perkara tindak pidana lingkungan hidup yang ideal dalam sistem hukum
pidana di Indonesia?
Dari beberapa penelitian tersebut dapat diketahui bahwa penelitian ini
memiliki perbedaan dari segi judul, rumusan masalah serta substansi dari
penelitian-penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1. Landasan Teoritis
Untuk menganalisis urgensi mediasi penal dalam penyelesaian tindak
pidana penganiayaan ringan maka diperlukan beberapa landasan teoritis yang
relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Teori hukum memiliki tugas
antara lain untuk memberikan analisis tentang pengertian hukum dan pengertian-
pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, memberikan pengertian
hubungan antara hukum dan logika serta memberikan implikasi- implikasi
kefilsafatan.19
Adapun beberapa landasan teori yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain:
1. Teori keadilan
2. Teori hukum integratif
3. Teori sistem hukum
4. Teori penegakan hukum
Mengenai teori-teori tersebut maka dijelaskan masing-masing sebagai
berikut:
19
Meuwissen, 2007, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum, PT.Refika Aditama,Bandung, hlm.31.
a. Teori keadilan
Aristoteles menyatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari satu arti.
Adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang
semestinya. Disini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil
apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang
tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan
kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.20
Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distriutif, keadilan
komutatif dan keadilan remedial. Adapun penjelasan atas hal tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Keadilan distributive adalah keadilan yang memberikan kepada
setiap orang berdasarkan profesinya atau jasanya. Pembagian
barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang
sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Keadilan ini
menghendaki orang-orang yang mempunyai kedudukan yang
sama memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan
hukum.
b. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan hak
kepada seseorang berdasarkan statusnya sebagai manusia.
c. Keadilan remedial, yaitu menetapkan kriteria dalam
melaksanakan hukum sehari-hari, yaitu kuta harus mempunyai
standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang
dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain. Sanksi
pidana yang dijatuhkan, memulihkan yang telah dilakukan oleh
pembuat kejahatan dang anti rugi memulihkan kesalahan
20
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.156.
perdata. Standar tersebut diterapkan tanpa membeda-bedakan
orang.21
Keadilan merupakan hal yang penting, hal ini sejalan dengan pemikiran
Rawls yang mengatakan perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi
dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus
diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai yang
tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan
stabilitas hidup manusia.22
Keadilan didasarkan pada nilai, norma dan moralitas masyarakat
setempat. Masyarakat memiliki prosedur dan mekanisme sendiri dalam
menyelesaikan setiap konflik yang muncul. Beberapa yang berkembang dan
sudah menjadi rujukan kolektif adalah melalui jalan musyawarah, mediasi,
remedial, negosiasi, antar pihak-pihak yang berselisih atau berkonflik.23
Jika diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip
keadilan harus mengerjakan dua hal yakni:
a. Prinsip keadilan harus memberikan penilaian konkret tentang
adil tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.
b. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam
memperkembangan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk
21
Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.51.
22
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit, hlm. 161.
23Umar Sholehudin, 2011, Hukum & Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian Sosiologi Hukum,
Setara, Malang, hlm.23.
mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat
tertentu.24
Semua orang mempunyai kemauan mewujudkan suatu aturan masyarakat
yang adil sehingga keadilan itu yang menjadi fokus utama pembentukan
undang-undang, yang harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan di satu pihak
dan di pihak lain dengan tujuan yang sama.25
Dalam penelitian ini teori keadilan yang digunakan adalah teori keadilan
restoratif . Mengambil pengertian dari Surat Keputusan Bersama antara Ketua
Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia,
Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia, Keadilan Restorative (Restorative
Justice) di artikan sebagai :
“Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang
melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait
dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama mencari penyelesaian
terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula.”
Jim Consedine seorang pelopor keadilan Restoratif, berpendapat “konsep
keadilan retributive dan restitutif yang berlandaskan hukuman, balas dendam
terhadap pelaku, pengasingan, dan perusakan harus digantikan oleh Keadilan
24
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit, hlm. 163.
25Zainuddin Ali, Op.cit. hlm.88.
Restoratif yang berlandaskan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam
masyarakat, pemafaan, dan pengampunan.26
Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai Keadilan Restoratif,
merupkan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an
dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang
dipakai pada sistem peradilan pidana yang konvensional, pendekatan ini
menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan
masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.27
Secara hipotesis-teoritis, urgensi dipertimbangkannya keadilan restoratif
sebagai sarana merespon kejahatan karena beberapa pertimbangan:28
a. Peradilan pidana yang selama ini menjadi respon tunggal atas
terjadinya kejahatan terbukti tidak mampu menekan angka kejahatan,
bahkan kecenderungannya menjadi faktor kriminogen yang memicu
naiknya angka kejahatan
b. Mekanisme peradilan pidana sebagai respon tunggal atas terjadinya
tindak pidana dirasakan dapat memberikan keseimbangan
perlindungan khususnya antara pelaku, korban dan masyarakat.
Orientasinya yang hanya ditujukan kepada pelaku menjadikan
mekanisme peradilan pidana sebagai sarana yang berat sebelah yang
cenderung memproduksi ketidak adilan
c. Kegagalan Sistem Peradilan Pidana menekan laju kejahatan baik
yang bersifat residiv maupun kejahatan yang dilakukan oleh pelaku
pemula-mengindikasikan, bahwa peradilan tidak berfungsi secara
baik sebagai sara penanggulangan kejahatan
26
Jim Consedine, Restorative Justice : Healing the Effects of Crime, (Lyttelton : Ploughshares
Publications, 1995), hlm.11.
27
Eva Achjani Zulfa, 2009, Keadilan Restoratif, Badan Penerbit FHUI, Jakarta, hlm.2. (selanjutnya
disebut Eva Achjani Zulfa I)
28
Komisi Hukum Nasional Republik Indnesia, 2012, Kebijakan Keberpihakan Hukum: Suatu
Rekomendasi, Komisi Hukum Nasional RI, Jakarta, hlm. 126.
Penanganan perkara pidana secara umum berbeda dengan pendekatan
keadilan restoratif, dimana penanganan perkara pidana secara umum makna
dari tindak pidana pada dasarnya menyerang terhadap individu, masyarakat dan
hubungan kemasyarakatan, akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif,
korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana
dalam sistem peradilan pidana yang ada sekarang. Tahap penyidikan adalah
tahap awal dari proses peradilan pidana. Pada tahap ini dimungkinkan bagi
penyidik untuk meneruskan atau tidak meneruskan tindak pidana ke dalam
proses peradilan pidana.29
Upaya mediasi penal sebagai perwujudan prinsip-
prinsip restoratif justice dalam praktek sangat vital dilakukan terutama dalam
proses penyidikan kepolisian dalam hal ini penyelesaian terhadap tindak pidana
penganiayaan ringan. Apabila mediasi penal di tingkat penyidikan kepolisian
berjalan dengan efektif, maka kasus yang masuk ke dalam sistem peradilan
pidana menjadi lebih selektif (mencegah penumpukan perkara di pengadilan)
dan penyelesaian dari tindak pidana memenuhi rasa keadilan bagi korban,
pelaku maupun masyarakat (keadilan substantif). Keadilan substantif adalah
keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif sebagaimana yang muncul dalam
keadilan formal, tetapi kualitatif yang didasarkan pada moralitas publik dan
29
Agustinus Pohan, Op.cit, hlm.324
nilai-nilai kemanusiaan yang mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan
bagi masyarakat.30
b. Teori hukum integratif
Teori hukum integratif diungkapkan oleh Romli Artasasmita, mencoba untuk
mengakomodasi sebagian konsep-konsep hukum pembangunan dari Mocthar
Kusumaatmadja dan hukum progresif dari Satjipto Rahardjo. Meskipun
demikian, hukum integratif memiliki kekhasan tersendiri. Ada 2 (dua) kekhasan
tersebut, yaitu: Pertama, menekankan penggunaan nilai-nilai yang berkembang
dalam masyarakat untuk membuat dan menegakkan hukum. Bukan berarti alergi
terhadap dunia luar, tetapi sebenarnya setiap masyarakat memiliki nilai-nilai
yang terus hidup dan berkembang (the living law). Nilai-nilai tersebut dapat
diubah menuju nilai baru yang dapat mencerminkan kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan, dan memelihara serta mempertahankannya secara
dinamis. Kedua, penyelesaikan masalah hukum, khususnya konflik, diarahkan
pada out of court settlement sesuai dengan the living law tersebut.
Ada beberapa inti pokok dari konsep hukum ini, antara lain:
1. Kehidupan masyarakat selalu dalam keadaan konflik kepentingan, baik
konflik berdasarkan etnis, budaya, sosial, ekonomi dan politik.
2. Fungsi hukum mengatur dan menyelesaikan konflik, selain memelihara dan
mempertahankan ketertiban.
3. Westernisasi hukum secara historis memperuncing konflik dan
mendegradasikan easternisasi hukum.
4. Modernisasi hukum bukan menerima utuh sistem hukum asing, melainkan
harus beradaptasi sesuai dengan the living law.
30
Umar Sholehudin, 2011, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Setara Press, Malang, hlm.59.
5. Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan disalahgunakan menjadi alat
pemaksaan kehendak penguasa kepada rakyatnya (dark engineering).
6. Sistem hukum Indonesia telah lama abaikan the living law termasuk adat law
(hukum adat);
7. Kurang memperhatikan dan mempertimbangkan 3 (tiga) faktor penghambat
fungsi hukum sebagai alat pembaharuan.
8. In-court settlement terbukti tidak optimal menyelesaikan konflik, bahkan
dalam kasus adat menimbulkan konflik sosial, ekonomi, politik
berkepanjangan (unending conflict).
9. Heterogenitas dan varietas sosial-budaya indonesia memerlukan kearifan lokal
bersumber pada adat dalam penyelesaian sengekta.
10. Sarana pembaharuan masyarakat yang sesuai dengan the living law, selain in
court settlement harus dilengkapi dengan out of court settlement.
11. Fungsi hukum integratif adalah mengubah nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat menuju nilai baru yang mencerminkan kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan, dan memelihara serta mempertahankannya secara
dinamis.
12. Fungsi hukum integratif bertujuan menciptakan ketertiban, keteraturan,
kedamaian dan keharmonisan kehidupan dalam masyarakat.
Teori hukum integratif dipergunakan dengan tujuan untuk menganalisa
mediasi penal yang terjadi serta dasar pertimbangan mediasi penal dalam
penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di Polresta Denpasar.
c. Teori sistem hukum
Sebuah sistem adalah unit yang beroperasi dengan batas-batas tertentu.
Sistem hukum tersebut sebenarnya dapat dilihat sebagai suatu kumpulan
peraturan-peraturan hukum, dari norma- norma hukum yang teratur.31
Sistem
bisa bersifat mekanis, organis dan sosial.32
Seperti setiap hukum, sistem hukum
adalah suatu produk kesadaran hukum, yang berarti bahwa sistem hukum juga
31
Jan Gijssels,2000, Apa Teori Hukum Itu, __,Bandung, hlm.125.
32
Lawrence M. Friedman,2009,Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung,
hlm.6.
mengandung aspek- aspek irasional. Namun yang menjadi titik berat sekarang
adalah tidak pada segi itu, karena suatu sistem hukum terjadi dengan membentuk
suatu keseluruhan yang saling berkaitan, maka aspek rasionalnya yang lebih
menonjol.33
Teori tentang sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M.
Friedman yang membagi sistem hukum menjadi tiga unsur yaitu struktur hukum,
substansi hukum dan budaya (kultur) hukum. Menurut Lawrence M. Friedman
dalam Achmad Ali di dalam sistem hukum itu dihuni oleh tiga unsur, yakni :
1. Struktur Hukum;
Struktur Hukum ialah keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta
aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para polisinya,
kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan lain-lain.
2. Substansi Hukum; dan
Substansi hukum yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas
hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
3. Budaya Hukum
Selanjutnya budaya hukum merupakan yaitu opini-opini, kepercayaan-
kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan
cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga
33
Bruggink, 1999, Refleksi tentang Hukum,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,hlm.137.
masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan
hukum.34
Dalam penelitian ini institusi yang akan diteliti sebagai suatu kesatuan
dalam penerapan metode mediasi penal di tingkat penyidikan adalah Kepolisian
Resort Kota Denpasar. Substansi hukum yang dimaksud adalah landasan yuridis
dalam penerapan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan
ringan di Polresta Denpasar. Dalam budaya hukum juga akan dibahas mengenai
kesadaran masyarakat terhadap pelaksanaan mediasi penal di tingkat penyidikan
dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan.
d. Teori penegakan hukum
Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum menurut Soerjono
Soekanto terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan serta
sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan
hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan namun
juga sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.35
34
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm. 204.
35
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7.
Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum” mengemukakan ada 5 faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum yaitu:
1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi
pada undang-undang saja.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.36
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum.37
Efektivitas perundang-undangan tergantung pada
beberapa faktor, antara lain:
1) Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan,
2) Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
3) Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan
di dalam masyarakatnya.
4) Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang
tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan
instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai
sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas
buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.38
36
Ibid., hal. 8.
37
Ibid., hal. 9.
38
Achmad Ali I, Op.cit., hal. 378-379.
Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada
ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan
tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang
berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan
pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan. 39
penegakan
hukum erat kaitannya dengan fungsi penegak hukum dalam hal ini adalah
Kepolisian. Terlaksananya mediasi penal sebagai salah satu upaya penyelesaian
tindak pidanan penganiayaan ringan di Polresta Denpasar tidak terlepas dari
peranan pihak Kepolisian. Meminjam konsep penegakan hukum maka dapat
diteliti beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja kepolisian dalam merespon
ataupun mengupayakan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana
penganiayaan ringan di Polresta Denpasar.
Adapun konsep yang relevan digunakan dalam penelitian ini antara lain
sebagai berikut:
a. Konsep diskresi
Diskresi dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu kebijaksanaan,
keleluasaan.40
Sejalan dengan itu, dalam kamus hukum yang disusun oleh J.C.T
Simorangkir diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam
39
Soerjono Soekanto, Loc.cit.
40
M. John Echol & Hasan Shadilly, 2002, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hlm.185
setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri.41
Diskresi adalah
wewenang yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai
dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri. Gayus T.
Lumbun berpendapat bahwa diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara, baik
pusat maupun daerah yang intinya memperbolehkan pejabat publik untuk
melakukan sebuah kebijakan yang melanggar undang-undang dengan tiga syarat
yaitu, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan
tidak melanggar azas-azas umum pemerintahan yang baik.42
Dengan beberapa
pengertian tersebut di atas, bahwa diskresi itu dilakukan bukan lepas dari
ketentuan hukum tetapi diskresi itu tetap dilakukan dalam kerangka hukum.43
Didalam Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa :
1. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
41
Simorangkir, dkk, 2002, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.38
42
Komisi Kepolisian Nasional, 2002, Diskresi Kepolisian: Dalam Tinjauan Hukum dan
Implementasinya di Lapangan, Komisii Kepolsian nasional, Jakarta, hlm.25.
43
M. Faal, Op.cit, hlm.16.
Meskipun Polisi bertindak seolah-olah justru tidak berdasarkan hukum
positif yang berlaku, namun apabila dikaji lebih dalam justru tindakan tersebut
merupakan tindakan yang dapat menjunjung tinggi tujuan hukum itu sendiri yaitu
ketertiban dan perlindungan masyarakat. Dengan dimiliknya diskresi oleh polisi
maka polisi mempunyai kewenangan dalam menerobos suatu bentuk kekakuan
hukum yang lebih menonjolkan sisi legisme semata, dalam mencapai suatu
bentuk keadilan yang nyata. Penting untuk melakukan mediasi penal dalam tahap
penyidikan kepolisian terutama pada kasus penganiyayaan ringan mengingat
penganiyayaan ringan merupakan salah satu delik yang tidak menimbulkan
dampak/kerugian yang signifikan terhadap masyarakat. Pelaksanaan mediasi
penal oleh kepolisian merupakan penerapan asas Ultimum Remidium, hukum
pidana merupakan sarana terakhir. Dalam hal tindak pidana ringan yang yang
bisa diselesaikan dengan perdamaian dapat digunakan metode mediasi penal
dengan berlandaskan pada keadilan restoratif. Jika mediasi penal tidak
mennghasilkan kesepakatan penyelesaian dengan damai antara para pihak, maka
hukum pidana baru akan digunakan sebagai “obat terakhir”.
b. Konsep mediasi/ADR
Mediasi bukanlah metode baru dalam menyelesaikan sengketa di
Indonesia. Substansi mediasi sama dengan mekanisme musyawarah mufakat
yang telah dipakai oleh begitu banyak suku yang berbeda adat, bahasa dan cara
menyelesaikan sengketa yang tersebar di seluruh Indonesia. Pendekatan melalui
jalur mediasi (ADR), pada mulanya termasuk dalam wilayah hukum keperdataan,
namun dalam perkembangannya digunakan oleh hukum pidana, hal ini
sebagaimana diatur dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-6 Tahun 1995
dalam Dokumen A/CO NF.169/6 menjelaskan dalam perkara-perkara pidana
yang mengandung unsur fraud dan white-collar crime atau apabila terdakwanya
korporasi, maka pengadilan seharusnya tidak menjatuhkan pidana, tetapi
mencapai suatu hasil yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara
menyeluruh dan mengurangi kemungkinan terjadinya pengulangan.44
Muzlih MZ
sebagaimana dikutip Ridwan Mansyur berpendapat bahwa mediasi merupakan
suatu proses penyelesaian pihak- pihak yang bertikai untuk memuaskan pihak-
pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan melalui pihak
ketiga yang netral (mediator).45
Penerapannya mediasi pada ranah perdata hampir
sama dalam penyelesaian pada tindak pidana, namun untuk membedakan dengan
mediasi pada sengketa keperdataan maka digunakanlah istilah mediasi penal atau
penal mediation.
Berdasarkan Council of Europe Committee of Ministers dalam
recommendation no. R (99) 19 Of the Committee of Ministers to member states
Concerning Mediation in Penal di negara-negara eropa sebagai berikut:46
“penal mediation is any process whereby the victim and the offender are
enabled, if they freely consent, to participate actively in the resolution of
44
Fatahilah A. Syukur, Op.Cit. hlm.49
45
Ridwan Mansyur, Op.cit, hlm.137.
46
Agustinus Pohan, Op.cit. hlm.320
matters arising from the crime through the help of an impartial third party
(mediator)”
Dalam terjemahan bebas, dapat diartikan bahwa mediasi penal merupakan suatu
proses yang memungkinkan mempertemukan korban dan pelaku tindak pidana,
jika mereka menghendakinya secara bebas untuk secara aktif berpartisipasi
dalam menyelesaikan masalah yang muncul dari kejahatan melalui bantuan pihak
ketiga yang tidak memihak atau mediator.
Mediasi penal pertama kali dikenal di Kitchener-Ontario, Kanada pada
tahun 1974. Kemudian program ini menyebar ke Amerika Serikat, Inggris dan
negara-negara lain di Eropa. Di Amerika Serikat mediasi penal pertama kali
dipraktekan di Elkhart-Indiana dan di Inggris oleh The Exeter Youth Support
Team pada tahun 1979.47
Mediasi penal merupakan Alternatif penyelesaian
perkara pidana di luar jalur penal. Dalam penyelesaian perkara pidana jika
menempuh jalur penal biasanya selalu adanya penjatuhan pidana oleh hakim
terhadap pelaku, hal ini secara filosofis kadang-kadang tidak memuaskan semua
pihak, oleh karena itu perlu adanya pemikiran penyelesaian perkara pidana
melalui jalur mediasi dengan maksud agar dapat menyelesaikan konflik yang
terjadi antara pelaku dengan korban.
47
Fatahillah A Syukur, Op.cit, hlm.64
2. Kerangka Berfikir
Demi memperkuat alur berfikir serta mempermudah memahami isi serta
arah dari penelitian ini maka berdasarkan teori serta prinsip hukum yang telah
diungkapkan di atas dapat dibuat kerangka pemikiran dengan bagan sebagai
berikut :
\
Gambar 1. Kerangka Berfikir Penelitian
Urgensi Pelaksanaan Mediasi Penal di Tahap Penyidikan dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Ringan di Polresta Denpasar
Rumusan masalah 1
Bagaimanakah pelaksanaan mediasi
penal di tingkat penyidikan dalam
penyelesaian tindak pidana
penganiayaan ringan di Polresta
Denpasar?
Rumusan masalah 2
Apakah faktor penghambat dan pendorong
pelaksanaan mediasi penal di tingkat
penyidikan dalam penyelesaian tindak
pidana penganiayaan ringan di Polresta
Denpasar?
teori keadilan
teori hukum integratif
teori sistem hukum
teori penegakan hukum
1. Jenis penelitian : peneliitian hukum empiris
2. Sifat penelitian : empiris deskriptif kualitatif
3. Data dan sumber data : data primer field research terhadap pelaku dan korban
penganiayaan ringan yang melakukan mediasi penal
data sekunder penelitian kepustakaan
4. Teknik pengumpulan data: teknik studi kepustakaan dan wawancara
5. Teknik penentuan sampel penelitian : purposive sampling dan snowball sampling
6. Teknik pengolahan dan analisa data: analisis kualitatif dengan penyajian deskriptif
menggunakan pendekatan komparasi dan teoritis
Latar belakang masalah
Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyaratan terpidana. Dalam
perkembangannya SPP yang berdasarkan retributif justice dirasa tidak dapat berjalan sesuai
dengan tujuannya karena beberapa kelemahan, sehingga mendorong lahirnya pemikiran
restoratif justice (RJ). Munculnya RJ seolah menjadi nafas baru untuk memberikan keadilan
bukan hanya kepada pelaku, tetapi kepada korban dan masyarakat. Salah bentuk penerapan
RJ adalah mediasi penal. Dalam prakteknya mediasi penal sudah banyak dilakukan di
beberapa negara termasuk di Indonesia meskipun belum ada landasan yuridis formal
diberlakukan mediasi penal di Indonesia untuk menyelesaiakan suatu perkara pidana. Keluar
dari positivisme hukum, di beberapa daerah di Indonesia termasuk Bali, mediasi penal telah
banyak diterapkan dalam penyelesaian tindak pidana yang tergolong ringan. Data BPS
menunjukan Kota Denpasar memiliki angka kriminalitas tertinggi di Bali. Penelitian awal
yang dilakukan di Polresta Denpasar yang wilayah hukumnya Kota Denpasar menunjukan
bahwa mediasi penal dilakukan di Polresta Denpasar dalam penyelesaian tindak pidana
penganiayaan ringan.
1.8. Metode Penelitian
Dalam penulisan suatu karya ilmiah, terdapat salah satu komponen penentu
sebagai syarat yang dipergunakan untuk pencarian data dari hasil karya ilmiah
tersebut, dalam hal ini adalah metode penelitian.
Menururt Sutrisno Hadi yang dimaksud dengan metodelogi ialah suatu
cara/ metode untuk memberikan garis- garis yang cermat dan mengajukan syarat-
syarat yang keras, yang maksudnya adalah menjaga ilmu pengetahuan yang
dicapai dari suatu research dapat mempunyai harga ilmiah yang setinggi-
tingginya.48
1. Jenis penelitian
Jenis Penelitian dalam penelitian ini dipakai jenis penelitian hukum yang
bersifat empiris. Penelitian hukum empiris merupakan penelitian yang membahas
bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat. Penelitian ini mengkaji
pelaksanaan mediasi penal di tingkat penyidikan kepolisian dalam menyelesaikan
tindak pidana penganiayaan ringan di Polresta Denpasar.
2. Sifat penelitian
Seperti telah dijelaskan bahwa jenis penelitian yang dipakai adalah
penelitian empiris. Sifat penelitiannya adalah penelitian empiris deskriptif.
Penelitian empiris deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun
48
Sutrisno Hadi, 1979, Metodelogi Reserch, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, hlm.4.
fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas,
karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena
yang satu dengan fenomena lainnya. Dalam penelitian ini, fenomena yang
menjadi obyek penelitian adalah pelaksanaan mediasi penal di tingkat penyidikan
dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di Polresta Denpasar.
3. Data dan sumber data
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari lapangan yang dinamakan data primer dan data yang
diperoleh dari bahan- bahan pustaka dinamakan data sekunder. Adapun data yang
dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber data, yaitu:
1) Data primer
Untuk mendapatkan data primer dilakukan penelitian lapangan (field
research), yaitu dengan cara melakukan penelitian langsung ke lapangan
yakni diperoleh secara langsung dari pelaku dan korban penganiayaan
ringan yang melakukan mediasi penal di wilayah hukum Polresta
Denpasar
2) Data sekunder
Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan melalui penelitian
kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan berbagai data yang
diperoleh dari menelaah literatur, tesis, jurnal serta surat kabar guna
menemukan fakta maupun teori yang relevan dengan permasalahan
yang akan dibahas. Mengenai data sekunder ini berdasarkan kekuatan
mengikat dari isinya dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
a) Sumber bahan hukum primer, yaitu bahan yang isinya mengikat,
karena dikeluarkan oleh pemerintah, seperti peraturan perundang-
undangan.
b) Sumber bahan hukum sekunder, yaitu bahan- bahan yang isinya
membahas bahan primer, seperti buku, surat kabar dan artikel.
c) Sumber bahan hukum tertier, yaitu bahan– bahan yang bersifat
menunjang bahan- bahan primer dan sekunder.49
Berkaitan dengan jenis- jenis data sekunder di atas, maka dalam penulisan
tesis ini akan digunakan :
a) Sumber bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang- Undang Hukum
Pidana dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) serta Undang-Undang No 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b) Sumber bahan hukum sekunder, yaitu buku- buku, RKUHP serta
karya ilmiah yang berkaitan dengan mediasi penal di Indonesia.
c) Sumber bahan hukum tersier, yaitu kamus inggris-indonesia
4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
49
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm.12.
1) Teknik studi kepustakaan, teknik ini merupakan teknik awal yang
digunakan dalam setiap penelitian hukum. Metode pengumpulan data ini
sangat bermanfaat karena dapat dilakukan tanpa mengganggu obyek atau
suasana penelitian.50
Studi dokumen atau kepustakaan adalah kegiatan
mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumen- dokumen dan
memeriksa atau menelusuri dokumen- dokumen atau kepustakaan yang
dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh
peneliti.51
Dalam penulisan ilmiah ini, teknik studi dokumen dilakukan
atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan mediasi penal.
2) Wawancara adalah proses interaksi dan komunikasi serta cara untuk
memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada narasumber yang
akan diwawancara.52
Wawancara ini dilakukan dengan beberapa informan
yaitu KBO Satreskrim Polresta Denpasar serta Kanit I Satreskrim Polresta
Denpasar serta beberapa responden yaitu pelaku dan korban
penganiayaan ringan yang melakukan mediasi penal di wilayah hukum
Polresta Denpasar.
50
Jonathan Sarwono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Graha Ilmu, Yogyakarta,
hlm.225.
51
Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
101.
52
Ronny Hanitijo, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 57.
5. Teknik penentuan sampel penelitian
Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.53
Teknik
penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Purposive sampling adalah penarikan sampel berdasarkan tujuan
tertentu yang dipilih sendiri oleh peneliti berdasarkan pertimbangan
kriteria dan karakteristik tertentu. Dipilihnya beberapa pelaku dan
korban penganiayaan ringan di wilayah hukum Polresta Denpasar
dikarenakan motif, teknis dan pelaksanaan mediasi penal diketahui
secara jelas oleh pelaku dan korban yang secara langsung melaksanakan
mediasi penal. Dari data jumlah penganiayaan ringan yang berhasil
diselesaikan dengan mediasi penal di wilayah hukum Polresta Denpasar
yang melibatkan banyak pelaku dan orban penganiayaan ringan, maka
akan diteliti beberapa pelaku dan korban sebagai sampel untuk meneliti
pelaksanaan mediasi penal yang terjadi.
2) Snowball sampling adalah teknik penarikan sampel yang didasarkan
pada rekomendasi dari sampel sebelumnya. Dalam pengumpulan data
melalui teknik wawancara maka Snowball sampling sangat bermanfaat
untuk mencari jawaban permasalahan secara komperhensif dengan
mengajukan pertanyaan mendalam pada sampel penelitian yaitu para
53
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm.113.
informan dan responden yang telah dipilih melalui teknik purposive
sampling.
6. Pengolahan dan analisis data
Apabila keseluruhan data sudah diperoleh dan sudah terkumpul, kemudian
data diolah dan dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif atau
disebut analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah data yang diperoleh dari
beberapa sumber yang dikumpulkan untuk mendapatkan data yang relevan
dengan masalah yang diangkat kemudian diolah secara deskriptif analitis yaitu
menggambarkan secara lengkap tentang aspek- aspek tertentu yang bersangkutan
dengan permasalahan dan selanjutnya dianalisa kebenarannya.54
Data yang dikumpulkan akan diolah dan dianalisis kemudian dikaji dengan
pendekatan komparasi dan teoritis. Pendekatan komparasi yaitu dengan
melakukan perbandingan pelaksanaan mediasi penal di beberapa negara dengan
prakteknya di Indonesia. Komparasi tersebut bertujuan untuk memperoleh
gambaran tentang mediasi penal yang ideal untuk diintegrasikan ke dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia dalam rangka pembaharuan hukum pidana (penal
reform).
54
Alimudin Tuwu, 1993, Pengantar Metode Penelitian, Universiats Indonesia, Jakarta,hlm.73.