BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Provinsi Jawa Timur.
Secara administrasi luas kota Malang 110,6 kilometer persegi.Dengan segala
perkembangan dan pesonanya kota Malang memenuhi kriteria sebagai sebuah
kota atau masyarakat modern. Berbagai predikat dilekatkan pada kota Malang
mulai dari Kota Bunga, Kota Apel, Bumi Arema dan juga disebut sebagai
kota pelajar, Malang juga merupakan kota yang sedang gencar melakukan
pembangunan. Kebudayaan perkotaan identik dengan hadirnya pasar dan
tumbuhnya industri. Pasar dan industri bahkan kerap menjadi poros penting
dinamika kemajuan suatu kota. Berbagai pusat belanja berdiri baik yang
bertaraf mall maupun pertokoan dan pasar. Sehingga tidak jarang
pembangunan tersebut mengorbanan bangunan yang sudah ada, karena
keterbatasan lahan di kota Malang, atau lazim di sebut dengan Relokasi.
Relokasi adalah pemindahan suatu tempat menuju tempat yang baru.
Pada awal tahun 2012 Pemkot Malang mengadakan penataan tata ruang kota
dengan merelokasi pasar Dinoyo. Pemkot Malang berkeinginan dengan
merelokasi pasar akan dibangun menjadi pasar modern yang berdampingan
dengan pasar tradisional. Dengan pembangunan tersebut, Pemkot Malang
juga berupaya mengurangi kemacetan yang selama ini terjadi di seputaran
jalan MT Haryono yang merupakan akses utama menuju Kawasan Wisata
Batu.
2
Pasar Dinoyo awalnya terletak di jalan MT. Haryono dipindahkan
menuju ke pasar penampungan kelurahan Merjosari. Letak pasar
penampungan kelurahan Merjosari ini aksesnya sulit dijangkau, alat
transportasi juga kurang sehingga terjadi penurunan jumlah pengunjung yang
berdampak terhadap pendapatan pedagang Pasar Dinoyo yang akan
direncanakan menjadi Mall Dinoyo, akhirnya harus direlokasikan ke area
persawahan Merjosari. Hal ini memunculkan banyak persoalan. Terutama
mengenai daya tampung lokasi relokasi Merjosari yang terlalu kecil dan tidak
bisa menampung semua pedagang pasar Dinoyo.
Pasar merupakan tempat aktivitas jual beli, dimana penjual
menawarkan barang dagangan dan pembeli membeli barang tapi ternyata
pasar juga merupakan salah satu ruang publik yang berfungsi sebagai perekat
sosial dan proses distribusi informasi antara satu orang dan orang lainnya.
Pasar yang dimaksudkan disini merupakan pasar tradisional memberikan
kesempatan bagi sebagian masyarakat terutama dari golongan menengah
kebawah memiliki ruang publik karena didalamnya terdapat interaksi sosial
antara pedagang di pasar dan masyarakat sekitar sehingga menjadikan pasar
sebagai ruang berbagi informasi bagi individu di dalamnya.
Pasar yang menjadi fokus penelitian disini adalah pasar Dinoyo yang
akan di di jadikan pasar modern (mall), dimana pasar Dinoyo merupakan
salah satu pasar tradisional di Malang yang mempunyai keterkaitan sejarah
dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat Malang. Masyarakat yang
tinggal di sekitar Dinoyo lebih memanfaatkan pasar tradisional untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga bisa dikatakan pasar dinoyo
3
merupakan bagian penting minimal secara ekonomi bagi masyarakat
Dinoyo.Menghadapi kondisi tersebut pedagang kemudian berhimpun dalam
sebuah paguyuban untuk melakukan perlawanan atau menentang terkait
dengan kebijakan pemerintah dan investor tersebut.
Modernisasi dan globalisasi adalah suatu proses yang tidak dapat
ditolak karena semakin seiring dan sejalan dengan perkembangan manusia
yang senantiasa dinamis. Sejarah telah mencatat bagaimana manusia telah
melakukan hubungan dagang dengan manusia lainnya sejak berabad-abad
yang lalu melintasai benua dan samudra.
Seiring berjalannya waktu peran pasar tradisional akan terus menurun.
Selain itu peran pasar tradisional skala kecil-menengah di perkotan terancam
hadirnya pedagang keliling dan warung di perkampungan. Pada sisi lain,
kehadiran mereka adalah solusi yang jitu bagi kalangan menengah-bawah
untuk belanja harian tanpa harus ke pasar. Sehingga menghemat biaya
transportasi. Akibatnya akan terdapat beberapa pasar tradisional yang tutup
karena kehilangan fungsinya. Hilangnya pasar tradisional yang berpuluh
tahun menjadi penghubung perekonomian perdesaan dengan perkotaan,
dikhawatirkan akan mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan.
Mempertahankan pasar tradisional secara fisik, mudah.Tetapi mempertahan-
kan fungsinya jauh lebih sulit.
Dewasa ini pembangunan ekonomi semakin tinggi ditandai dengan
persaingan perusahaan selaku produsen yang menghasilkan barang dan
jasa.Pemasar dapat mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumennya salah
satunya melalui perantara yang digunakan dalam penyebaran produknya yaitu
4
melalui perdagangan eceran (retailing).Perdagangan eceran dapat di jumpai
pada pasar tradisional yang menyediakan bermacam-macam produk dengan
berbagai kwalitas dan harga. Dan pada saat ini, banyak perdagangan eceran
yang bermunculan dengan berbagai macam bentuk yaitu mini market dan
supermarket baik yang di kelola oleh individu maupun perusahaan serta
hypermarket sebagi pengecer asing di pasar domestik akan mengancam
kelangsungan hidup dari pasar tradisional tersebut.
Kementerian perindustrian dan perdagangan mencatat bahwa pada
tahun 2007 terdapat 13.450 pasar tradisional dengan 12,6 juta pedagang, akan
tetapi keberadaannya kian menurun seiring dengan pesatnya perkembangan
pasar modern khususnva di perkotaaan, dan dinamika perubahan tuntutan
konsumen maupun faktor ekonomi makro-formal lainnya. Berdasarkan
survey AC Nielsen pertumbuhan pasar Modern (termasuk hypermarket)
sebesar 31,4%, sementara pertumbuhan pasar tradisional -8,1 % (SWA, Edisi
December 2004). Bahkan perkembangan peritel modern sudah masuk hingga
wilayah pinggir kota semenjak dikeluarkannya kebijakan deregulasi
perdagangan pada tahun 2008. Jikalau tidak ada kebiiakan dan upaya-upaya
sistematis yang memahami karakteristik dan keberpihakan kepada keberadaan
pasar tradisional beserta keluarga, pegawai dan pemasok komoditasnya akan
terancam kelangsungan kehidupannya. Kota pudarnya pamor dan karakter
kota yang melekat pada-pasar tradisional akan berdampak pada menurunnya
keunggulan kota-kota di Indonesia terhadap kota-kota lain setidaknya di Asia.
(Setiyanto, 2008, Masa Depan Pasar Tradisionai. Dijen Cipta
Karya)Keberadaan pasar modern lebih banyak dicari dan di kunjungi
5
konsumen karena dari segi marketing mix yaitu product, price, place,
promotion, lebih unggul di bandingkan dengan pasar tradisional. Pertama dan
segi produk antara pasar tradisional dengan pasar modern produk yang
ditawarkan dapat dikatakan hampir sama, tetapi dalam pasar modem variasi
produk lebih banyak, penataan produk lebih rapi, dan tentu saja lebih
memudahkan konsumen untuk mencari inforrnasi dan membeli barang yang
dibutuhkannya. Kualitas produk di pasar modernpun lebih terjamin di
bandingkan pasar tradisional karena pasar modern akan senantiasa merjaga
kwalitas produknya, demi menjaga brand image-nya ke konsumen.
Dalam proses pembelian oleh konsumen diera kehidupan yang
modern seperti ini, pembelian selalu didasarkan berbagai pertimbangan yang
membuat mereka lebih rasional cerdas untuk memilih tempat belanja,
pertimbangan itu antara lain: pada kesadaran atas kebutuhan, pencarian
informasi, evaluasi alternatif (pemilihan alternatif lain), keputusan membeli
(motif rasional dan motif emosional) dan evaluasi pasca pembelian, hal-hal
tersebutlah yang menyebabkan konsumen menjadi lebih memilih di pasar
modern.Dari segi harga, memang untuk pasar modern tebih tinggi
dibandingkan dengan pasar tradisional. Meskipun begitu konsumen seringkali
tetap saja berbelanja di pasar modern, dikarenakan harga yang ditawarkan
oleh pasar modern terkadang relatif lebih menarik, sering ada penawaran
diskon, dan berbagai inovasi penawaran menarik lainnya yang sangat jauh
berbeda dibandingkan pasar tradisional.
Dalam segi tempat, pasar modern benar-benar memberikan kondisi
yang maksimal bagi para konsumen.Tempat yang digunakan pasar modern
6
seringkali berada di pusat-pusat strategis dalam kehidupan masyarakat.
Tempat berbelanja di pasar modern dibangun dengan sangat baik, kondisinya
bersih dan fasilitas pendukung konsumen untuk berbelanja yang sangat
lengkap, misalnya troly, tas berbelanja, pendingin udara, tempat parkir yang
luas, dll.Dalam hal promosi.Untuk promosi dan marketing, pasar modern
memang lebih unggul di bidang tekhnologi dan sumberdaya.Berbagai jenis
strategi dilakukan, baik itu melalui katalog produk, promo berhadiah, diskon,
package yang menarik, pelayanan yang ramah maupun fasilitas tempat yang
ditawarkan.Konsumen benar-benar dibawa dan dimanjakan dengan segala hal
demi kenyamanan dan kepuasan dalam berbelanja.(Suryadharma, 2008,
Dampak Supermarket terhadap pasar dan pedagang ritel tradisional di daerah
perkotaan di Indonesia, (SMERU RESEARCH INSTITUTE) Pasar tradisional
sebenarnya menawarkan banyak kelebihan.Selain harganya yang diberikan
lebih murah, berbagai kebutuhan di pasar tradisional masih bisa di tawar.Hal
itu sebenarnya sangat cocok dengan masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat golongan menengah kebawah, yang selalu ingin mencari barang
atau kebutuhan dengan harga serendah-rendahnya, meskipun dengan kualitas
yang “relatif miring” di bandingkan dengan supermarket atau mall.
Kondisi pasar yang kumuh dan semrawut seakan-akan dibiarkan tanpa
perhatian dari pemerintah.Aparat birokrasi yang bertugas di dalamnya justru
mencari keuntungan dari kisruh yang kerap melanda pasar.Mereka
mengambil uang retribusi (salar), uang parkir, keamanan, dan sebagainya,
tapi hanya sedikit yang masuk kas daerah, selebihnya dibagi-bagi sesama
oknum. Dengan kondisi seperti itu, jarang sekali ada petugas yang tertarik
7
dan peduli untuk memajukan pasar maupun pedagangnya. Dari sisi lain
renovasi yang dilakukan di pasar-pasar, khususnya pasar yang dibangun dan
di kelola oleh pihak swasta, dilakukan berdasarkan kepentingan “pemilik
pasar”. Renovasi dilakukan untuk menambah jumlah kios baik dengan cara
membangun lantai atas, agar sang pemilik pasar tersebut mendapatkan
keuntungan yang berlipat. Bahkan tak jarang renovasi dilakukan dengan
merubuhkan pasar yang lama lalu membangunya kembali (revitalisasi).
Kemudian harga kios yang baru di bangun, kembali akan disewakan dengan
harga berlipatlipat dari sebelumnya, sehingga dalam banyak kasus pedagang
lama (existing) harus terusir dari tempat yang lama, dan menjadi PKL di
sekitar pasar.
Persoalan modal juga menjadi permasalahan besar bagi pedagang di
pasar tradisional.Mereka tidak mampu menyewa kios, memperbesar oplah
dagangan, dan meningkatkan kualitas produk, karena keterbatasan
modal.Kondisi ini terjadi karena perbankan enggan berurusan dengan
pedagang kecil dan mikro (PKL).Bagi perbankkan lebih baik berurusan
dengan satu atau dua perusahaan besar, ketimbang berurusan dengan ratusan
pengusaha kecil. Berurusan dengan pedagang kecil dianggap merepotkatkan
karena transaksinya kecil sementara prosedurnya sama dengan mengurus satu
atau dua pengusaha besar yang tentunya lebih menguntungkan perbankan
karena nilai kredinya pun sangat besar. Hal itu lah yang akhirnya membuat
para pedagang di pasar tradisional sulit untuk berkembang.Mereka lebih
cenderung berutang pada rentenir yang banyak menjemput nasabahnya ke
pasar-pasar.Kondisi pedagang di pasar tradisional memang sangat
8
memprihatinkan. Perlu ada upaya penyelamatan agar mereka tidak semakin
terpuruk dan hanya menjadi lahan bisnis pihak lain, karena pedagang di pasar
tradisional adalah bagian dari Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
yang selama ini dikenal sebagai kutub perekonomian nasional. (Herman
Malano, 2011, Selamatkan Pasar Tradisional, Gramedia Pustaka Utama).
Tak bisa dipungkiri adanya kenyataan banyak pendirian minimarket
dan supermarket, hypermarket bahkan mall di kota-kota besar dan kota kecil
dalihnya adalah kemudahan dan kenyamanan dalam berbelanja. Namun,
pendirian minimarket, supermarket hypermarket dan mall berdampak kepada
para pegadang kecil.Omzet penjualan para pedagang kecil menurun
drastis.Bahkan, banyak pula yang bangkrut.Tak pelak jika kemudian ekonomi
kerakyatan yang diimpikan hanya menjadi slogan belaka.
Perlindungan pasar tradisional di era kapitalisme global adalah sebuah
keniscayaan.Tujuannya adalah untuk melindungi dan mempertahankan
keberadaan pasar tradisional. Berdasarkan Peraturan Daerah jatim Pasal 6
ayat (7) tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan
Pasar Modern di Provinsi Jawa Timur disebutkan Pasar tradisional yang
memiliki nilai-nilai historis, tidak dapat diubah atau dijadikan pasar modern
kecuali upaya revitalisasi agar menjadi pasar tradisional yang bersih,
teratur, nyaman, aman, memiliki keunikan, menjadi ikon kota, memiliki nilai
sebagai bagian dari industri pariwisata. Aturan ini secara prinsip
menujukkan pasar tradisional tidak bisa dipindah-pindahkan.Karena
keberadaan pasar muncul seiring adanya kesepakatan antara penjual dan
pembeli.
9
Pasar dinoyo merupakan salah satu pasar tradisional di Malang yang
mempunyai keterkaitan sejarah dengan perkembangan sosial ekonomi
masyarakat Malang. Masyarakat yang tinggal di sekitar Dinoyo lebih
memanfaatkan pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
sehingga bisa dikatakan pasar dinoyo merupakan bagian penting minimal
secara ekonomi bagi masyarakat dinoyo.
Kondisi saat ini telah beredar wacana penggusuran pasar tradisional
Dinoyo dan akan digantikan sebuah konsep pasar modern atau mall.
Permasalah disini adalah kalimat “modernisasi pasar yang membentuk pasar
modern” dimana pasar Dinoyo dianggap sangat kumuh dan tidak memiliki
sisi estetika sama sekali, padahal sekali lagi pasar Dinoyo merupakan ruang
yang tidak hanya berfungsi sebagai penjual menjual barangnya dan pembeli
membeli barang kebutuhan melainkan definisi sosial dari pasar merupakan
interaksi sosial tiap individu di ruang publik. Sialnya, pihak pemerintah telah
menjadi komprador kapitalisme sehingga melakukan perubahan pasar tanpa
komtemplasi sosial, mengenai dampak sosial yang terjadi dengan adanya
mall.
Dengan membaca analog kejadian tersebut sebenarnya bisa diartikan
terdapat paksaan mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, apa yang
pantas dan tidak pantas bagi masyarakat bahwa agresi keberadaan pasar
modern atau mall lebih baik dari pada pasar tradisional dengan rasionalisasi
mall telah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang
berkembang di masyarakat.
Pasar tradisional di kota memang tidak sebanding nilai investasinya
10
jika dibanding dengan pasar modern. Profit sharing antara investor dan
pemerintah kota pada pasar modern akan menjanjikan devisa bagi
pemerintah. Dalam skala perhitungan pertumbuhan ekonomi, kehadiran pasar
modern seperti mall membawa peningkatan nilai tambah ekonomi secara riil
bagi politik ekonomi lokal. Namun demikian, perpindahan itu telah
menggerus aktifitas ekonomi masyarakat lokal.
Memang dalam perspektif ekonomi modern, pasar modern adalah
salah satu piranti ataupun simbol pembangunan ekonomi, dimana tenaga
kerja, pajak disemaikan secara intens pada pasar modern. Namun Kalau
dianalisis dengan teori konflik borok-borok dari pasar modern akan dapat
dihidangkan. Ini berpangkal dari pertanyaan, Siapa yang mengkonstruksi
untuk apa mengkonstruksi dan siapa yang diuntungkan dalam siklus pasar
modern. Bertitik tolak dari teori konflik, Dahrendorf mendeskripsikan hanya
ada dua golongan dalam analisis konflik, yaitu orang yang berkuasa dan
orang yang dikuasai. Kalau dihubungkan dengan pasar modern, maka orang
yang berkuasa adalah pemilik modal (pedagang), sedangkan orang yang
dikuasai adalah konsumen, pedagang dalam prakteknya adalah orang yang
diutungkan dari proses permainan yang dioperasionalkan pada pasar modern.
Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai
keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu
kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau
melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak
menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan
yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam
11
masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui
mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas. Secara umum
dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu
tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang
menguntungkan (positif) maupun yang merugikan (negatif).
Pemerintah Kota/Kabupaten merelokasikan pasar tradisional dengan
beberapa alasan. Alasan yang paling utama adalah untuk pembangunan yaitu
demi terciptanya tata kota yang rapi dan indah. Namun pembangunan tersebut
sudah pasti menuai pro dan kontra dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Apalagi banyak dampak yang bisa ditimbulkan dari dan selama proses
pembangunan pasar modern (mall) tersebut. Dampak yang dirasakan bisa
berupa dampak positif dan juga dampak negatif. Hal yang biasa terlihat dalam
proses pembangunan pasar modern adalah terjadinya konflik antara para
pedagang dengan pemerintah dan investor. Kebanyakan dari masyarakat
tersebut masih berpikiran sempit dan tertutup makanya mereka sangat sulit
untuk bisa menerima perubahan.
Pasar-pasar tradisional seringkali dianggap mengganggu ketertiban
dan juga tata ruang kota. Maka dari itu pemerintah merelokasikan pasar
tradisional untuk mendukung pembangunan dalam tingkat kota atau
kabupaten. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya sering lebih
sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para
pedagangnya sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat
pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang
akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor
12
yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional.
Begitupun dengan Pasar Dinoyo, rencana relokasi dan pembangunan
pasar modern (mall) karena dianggap mengganggu ketertiban lalu lintas, juga
menemui hambatan dan penolakan, baik dari para pedagang di pasar Dinoyo
maupun warga kelurahan merjosari.Para pedagang menolak karena mereka
diharuskan kembali membayar untuk sewa kios, selain itu juga karena
sempitnya lokasi juga menjadi alasan bagi para pedagang untuk pindah.
Sementara itu, warga merjosari juga menolak, salah satu alasannya karena
nantinya dikhawatirkan akan terjadi kemacetan karena jalan di daerah
Merjosari sempit.
Pemerintah Kota (Pemkot) Malang akan merenovasi Pasar Dinoyo
dengan dana dari investor, yakni PT Citra Gading Asritama Surabaya. Nilai
investasi yang ditanamkan Rp 191,8 miliar. Sebagai kompensasi, Pemkot
Malang akan mendapatkan dana sebesar Rp 723 juta per tahun. Sedangkan
PT Citra Gading Asritama akan mendapatkan hak pengelolaan selama 30
tahun sebagai kompensasi. Pada perencanaan awal, renovasi dimulai
Desember 2010 dan akan selesai Desember 2012. Para pedagang
mengeluhkan proses renovasi ini. Selain tidak terbuka dan partisipatif dalam
proses perencanaan pembangunan, juga ada kebijakan yang tidak memihak
pedagang. Akibatnya, para pedagang menolak renovasi pasar. Pemerintah
Kota bergandengan dengan investor untuk memuluskan upaya merelokasinya,
sementara itu pedang pasar dinoyo bersatu padu dalam paguyuban pasar
Dinoyo untuk mewakili kepentingannya sebagai sebuah bentuk kompromi
untuk direlokasi ke penampungan Merjosari, karena pedagang percaya
13
dengan kata “penampungan sementara” karena sesudah pasar Dinoyo selesai
di pugar mereka akan kembali lagi kepasar terpadu Dinoyo di jalan MT
Haryono.
Dari uraian fenomena diatas, menarik peneliti untuk mengetahui
bentuk resitensi paguyuban pasar tradisional Dinoyo dalam mewakili
kepentingan pedagangan pasar Dinoyo terhadap pembangunan pasar modern
(mall) Dinoyo. Sehingga judul dalam penelitian ini yaitu “Resistensi
Paguyuban Pedagang Pasar Tradisional Terhadap Pembangunan Mall
Dinoyo City”. (studi di paguyuban pedagang pasar Dinoyo kota Malang)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang tersebut diatas maka dapat di rumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk resistensi paguyuban pedagang pasar tradisional
terhadap pembangunan mall Dinoyo?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk memgetahui bentuk-bentuk resistensi paguyubanpedagang pasar
tradisional terhadap pembangunan mall Dinoyo.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaaat dan
pengetahuan mahasiswa khususnya Jurusan Sosiologi tentang peran
paguyuban pasar tradisional dalam mengadvokasi pedagang pasar
Dinoyo dan bagi peneliti lain yang berminat untuk mengembangkan
penelitian sejenis.
14
2. Manfaat Empirik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan
menyumbangkan pemikiran kepada paguyuban pasar tradisional Dinoyo
sebagai salah satu pertimbangan tentang perannya dalam mengadvokasi
para pedagang.
1.5 Definisi Konsep
1.5.1 Pasar
Pasar adalah suatu tempat dimana pembeli dan penjual bertemu
untuk membeli atau menjual barang dan jasa atau faktor-faktor produksi.
Pasar mempunyai lima fungsi utama. Kelima fungsi tersebut menurut
Sudarman (1989) adalah:
a. Pasar menetapkan nilai (sets value). Dalam ekonomi pasar, harga
merupakan ukuran nilai.
b. Pasar mengorganisir produksi. Dengan adanya harga-harga faktor
produksi di pasar, maka akan mendorong produsen (entrepreneur)
memilih metode produksi yang efisien.
c. Pasar mendistribusikan barang. Kemampuan seseorang untuk
membeli barang tergantung pada penghasilannya.
d. Pasar berfungsi menyelenggarakan penjatahan (rationing).
Penjatahan adalah inti dari adanya harga.
e. Pasar mempertahankan dan mempersiapkan keperluan di masa yang
akan datang
f. Istitah pasar banyak mendapatkan perhatian selama bertahun-tahun.
Pada dasarnya pasar adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli
15
untuk melakukan pertukaran atas barang dan jasa. Selain itu, pasar
dapat pula diartikan sebagai himpunan para pembeli aktual dan
potensial dari suatu produk. Dalam hal demikian pasar terdiri dari
semua pelanggan potensial yang memiliki kebutuhan dan keinginan
tertentu yang sama.
Dimana setiap konsumen bersedia dan mampu melaksanakan
pertukaran untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka
(Rismayani, 1999).Pasar secara fisik adalah tempat pemusatan beberapa
pedagang tetap dan tidak tetap yang terdapat pada suatu ruangan terbuka
atau tertutup atau sebagian badan jalan.Selanjutnya pengelompokkan
para pedagang eceran tersebut menempati bangunan-bangunan dengan
kondisi bangunan temporer, semi permanen ataupun permanen (Sujarto
dalam Sulistyowati, 1999).
Berdasarkan pengertian pasar sebagaimana telah dikemukakan di
awal, yakni tempat bertemunya pembeli dan penjual, maka dapat dilihat
secara umum instrumen pasar terdiri dari perspektif pengelola, maka
pasar di satu sisi dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan dapat juga
dilaksakan oleh pihak swasta. Dilihat dari instrument pengelolaan ini,
yang digolongkan dengan pasar modem adalah seperti Mall, Plaza,
Supermarket maupun Mega Market. Baik pemerintah maupun swasta
sebagai pengelola pasar, menawarkan tempat berjualan dimaksud kepada
pedagang dan melaksanakan perawatan pasar (Bustaman, 1999).
16
1. Pasar tradisional
Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan
tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh
pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan
usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang
dagangan melalui tawar menawar.1
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan
pembeli untuk melakukan transaksi, dalam hal mana organisasi pasar
yang ada masih sangat sederhana, tingkat efisiensi dan spesialisasi yang
rendah, lingkungan fisik yang kotor dan pola bangunan yang sempit
(Agustiar, dalam Fitri, 1999).Pasar tradisional dibangun dan dikelola
olehpemerintah, pemerintah daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara
dan Badan Usaha Milik Daerah. Dalam penelitian ini juga dipaparkan
beberapa potensi dan ciri pasar tradisional, yaitu:
a. Kemampuan pasar tradisional dalam menyerap komoditi lokal dari
kawasan sekitarnya.
b. Berfungsi sebagai supplier untuk berbagai input pertanian,
perumahan, serta kebutuhan pokok masyarakat secara luas.
c. Pasar tradisional memiliki segmentasi pacar tersendiri, yang
membedakannya dari pasar modern.
d. Para pedagang yang beroperasi di pasar umumnya kaum wanita
1Presiden Republik Indonesia. 1960. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Jakarta
17
sehingga sangat bermanfaat bagi peningkatan kesempatan berusaha
untuk kaum wanita, dalam arti wanita umumnya memiliki
keunggulan dibandingkan dengan pria dalam melayani konsumen.
e. Potensi pasar akan semakin penting karena market turn over yang
cukup cepat dengan sistem pembayaran tunai.
Kekuatan pasar tradisional dapat ditihat dari beberapa aspek.
Aspek-aspek tersebut di antaranya harganya yang lebih murah dan bisa
ditawar, dekat dengan permukiman, dan memberikan banyak pilihan
produk yang segar. Kelebihan lainnya adalah pengalaman berbelanja
yang luar biasa, dimana kita bisa melihat dan memegang secara langsung
produk yang umumnya masih sangat segar. Akan tetapi dengan adanya
hal tersebut bukan berarti pasar tradisional bukan tanpa
kelemahan.Selama ini justru pasar tradisional lebih dikenal
kelemahannya.Kelemahan itu antaralain adalah kesan bahwa pasar
terlihat becek, kotor, terlalu padat lalu lintas pembelinya.Ditambah lagi
ancaman bahwa keadaan sosial masyarakat yang berubah, di mana
wanita di perkotaan umumnya berkarir sehingga hampir tidak memiliki
waktu untuk berbelanja ke pasar tradisional (Esther dan Didik, 2003).
Selain kelemahan-kelemahan di atas, faktor desain dan tampilan
pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang,
promosi pengeluaran, jam operasional pasar yang terbatas, serta
optimalisasi pemanfaatan n,iang jual merupakan kelemahan terbesar
pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modem
(Ekapribadi. W, 2007).
18
Dalam hal mata rantai pasokan, 40% pedagang menggunakan
pemasok profesional, sementara 60% lainnya mendapatkan barangnya
dari pusat-pusat perkulakan. Hampir 90% pedagang membayar tunai
kepada pemasok.Keadaan ini berarti bahwa pedagang di pasar tradisional
sepenuhnya menanggung resiko kerugian dari usaha dagangnya.Ini
berbeda dengan supermarket yang umumnya menggunakan metode
konsinyasi atau kredit.Terkait dengan modal usaha, 88% pedagang
menggunakan modal sendiri yang berarti minimnya akses atau keinginan
untuk memanfaatkan pinjaman komersial untuk mendanai bisnisnya.Hal
ini bisa menjadi hambatan terbesar dalam memperluas kegiatan bisnis
mereka (Suryadarma, dkk. 2007).
1.5.2Pedagang
Pedagang adalah orang yang melakukan usaha dengan modal relatif
sedikit, berusaha di bidang produksi dan penjualan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan kelompok tertentu dan dilaksanakan pada tempat-
tempat strategis dalam suasana lingkungan yang informal di dalam
masyarakat.2 Dalam aktivitas perdagangan atau dalam istilah ekonomi,
pedagang adalah orang atau institusi yang memperjualbelikan produk atau
barang kepada konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung.3
Dari perspektif Sosiologi Ekonomi, membedakan pedagang
berdasarkan penggunaan dan pengeolaan pendapatan yang dihasilkan dari
perdagangan dan hubungannya dengan ekonomi keluarga. Menurut Geertz
2 Siwarini, Aryati. 2009. Kajian Pedagang di Pasar Sore dan Kontribusi Hasil Terhadap
Pendapatan Keluarga di Kelurahan Dupak Kecamatan Krembangan Kota Surabaya.Skripsi tidak
diterbitkan. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya hal.20 3Dmsar.2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Prenada Media Group. Hlm. 106
19
dkk, dari studi Sosiologi ekonomi tentang pedagang dapat disimpulkan
pedagang terbagi atas:4[23]
1. Pedagang Profesional yaitu pedagang yang menganggap hasil dari
aktivitas perdagangan merupakan sumber utama dan satu-satunya bagi
ekonomi keluarga. Pedagang distributor, pedagang eceran termasuk
didalam kategori pedagang profesional.
2. Pedagang Semi Profesional adalah pedagang yang menganggap hasil
dari aktivitas perdagangan merupakan sumber tambahan bagi ekonomi
keluarga. Namun, jika pada lapisan masyarakat yang sedang
berkembang (menengah kebawah) aktivitas perdagangan tersebut tidak
dilakukan, maka bisa saja akan mengganggu, menggoncang stabilitas
ekonomi keluarga.
3. Pedagang subsistensi merupakan pedagang yang menjual produk atau
barang dari hasil aktivitas atas subsistensi untuk memenuhi ekonomi
rumah tangga. Atau dengan kata lain, pedagang seperti ini menjual
sebuah produk sesuai dengan pekerjaan yang terpengaruhi lingkungan
atau daerah tempat tinggal. Hasil dari aktivitas perdagangan tersebut
adalah untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan rumah tangga.
4. Pedagang Semu adalah orang yang melakukan kegiatan perdagangan
karena hobi atau hanya untuk mengisi waktu luang. Pedagang jenis ini
tidak mengharapkan kegiatan perdagangan sebagai sarana memperoleh
uang, mungkin saja sebaliknya pedagang tersebut memperoleh kerugian
dalam berdagang.
4[23]
Ibid. Hlm. 107
20
1.5.3 Gemeinschaft (paguyuban)
Gemeinschaft adalah suatu bentuk kehidupan bersama yang anggota-
anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah
serta bersifat kekal. Gemeinschaft digambarkan sebagai kehidupan bersama
yang intim, pribadi, dan eksklusif, dan juga merupakan keterikatan sejak
lahir. (contoh: keluarga, kelompok kekerabatan, rukun tetangga, dll)
Gemeinschaft ada 3 jenis (menurut Tonnies):
a. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood)
b. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft by place)
c. Paguyuban karena jiwa pikiran (gemeinschaft of mind)
1.5.4 Gesellschaft (patembayan)
Gesellschaft merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka
waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka
(imaginary), serta bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan
dengan sebuah mesin. (Contoh: hubungan perjanjian yang berdasarkan
ikatan timbal-balik (berdasarkan keahlian) perbedaannya adalah,
gemeinschaft, individu tetap bersatu meskipun terdapat berbagai faktor yang
memisahkan mereka, sedangkan dalam gesellschaft individu pada dasarnya
terpisah kendatipun banyak faktor pemersatu.
1.5.5 Pembangunan
Pembangunan adalah suatu proses yang dilakukan secara terus-
menerus dalam rangka memperbaiki indikator sosial maupun ekonomi pada
suatu wilayah dari waktu ke waktu (Gunawan Sumodiningrat, 2009: 6).
Disamping itu pembangunan juga merupakan suatu proses yang multi
21
dimensional yang menyangkut perubahan-perubahan penting dalam suatu
struktur, sistem sosial, ekonomi, sikap masyarakat, dan lembaga-lembaga
nasional, akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan angka
pengangguran, dan pemberantasan kemiskinan (Todaro,1997).
Sebelumnya, perencanaan pembangunan dan seluruh agenda
pembangunan ditentukan oleh pemerintah berdasarkan asumsi pejabat atas
prioritas dan kebutuhan masyarakat. Keadaan ini membuat masyarakat
cenderung bersikap pasif terhadap berbagai permasalahan pembangunan dan
cenderung melahirkan anemo masyarakat yang tidak terlalu peduli akan
masalah pembangunan sehingga ada anggapan bahwa perencanaan
pembangunan daerah hanya merupakan tanggungjawab pemerintah saja dan
kalau pun ada aspirasi masyarakat, itu hanya dianggap sebagai sumbang
saran yang tidak mengikat.
Akibat dari strategi perencanaan yang bersifat sentralistik tersebut,
berbagai masalah timbul kehadapan masyarakat antara lain pembangunan
yang dilaksananakan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga
selain hasilnya masih dirasakan kurang mengangkat kualitas hidup
masyarakat dan menjadi terbengkalai karena kurang mendapat respon positif
dari mayarakat.
Seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Mas’ud (dalam Afifuddin:
70). bahwa pada era orde baru strategi pembangunan bertumpu pada
pengejaran efisiensi daripada partisipasi. Sehingga pada saat itu
perencanaan pembangunan atau pemerintah dihadapkan kepada dua pilihan
strategi pembangunan yang dilematis, prioritas produktivitas atau prioritas
22
demokrasi.Yang mana keduanya bersifat “zero sum game”, artinya jika
salah satu yang dipilih yang satunya harus dipinggirkan.
Pemerintah pada saat itupun memilih produktivitas dengan keyakinan
bahwa demokrasi akan tercapai dengan sendirinya tatkala produktivitas
menghasilkan tingkat kemakmuran tertentu bagi rakyat seperti halnya yang
diterapkan di negara Jepang, Korea selatan, dan Singapura.Namun, strategi
tersebut terbukti gagal total.
Pembangunan yang menekan partisipasi dan demokrasi bukan hanya
menyebabkan implosi (ledakan ke dalam) namun juga eksplosi (ledakan
keluar).Akibat riilnyaadalah krisis yang berlangsung 1997 yang disusul
dengan jatuhnya rejim orde baru.
Seiring dengan gerakan reformasi yang bergulir di Indonesia pada
pertengahan tahun 1998, pemerintah dituntut untuk melakukan perombakan
sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dulunya bersifat sentralistik
menuju pada desentralisasi.Mulai dari kelembagaan, manajemen, serta
perilaku para aparatur pemerintahan. Salah satu kebijakan yang kemudian
diterapkan adalah dengan menerapkan sistem otonomi daerah dimana
daerah diberikan pelimpahan kewenangan untuk mengurus, menata, dan
mengatur daerahnya sendiri dengan asumsi bahwa daerah lebih
mengetahui/memahami potensi, kebutuhan dan segala permasalahan yang
ada di daerah yang bersangkutan serta dalam rangka percepatan pelayanan
kepada masyarakat dan menyerap aspirasi masyarakat setempat.
Pelaksanaan otonomi daerah dimulai ditetapkannya UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 tentang Perimbangan
23
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang berlaku sejak 1 Januari
2001. Dan untuk saat ini kedua undang-undang yang sangat penting dan
strategis sifatnya bagi sistem pemerintahan di daerah tersebut kemudian
diubah sebagaimana yang telah diundangkan dalam UU No.32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang pada
dasarnya tetap mempertahankan format umum otonomi daerah, namun
memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintah provinsi dan
pemerintah pusat untuk menjamin konsistensi kebijakan secara nasional.
Dengan adanya undang-undang tersebut sebagai payung hukum dari
pelaksanaan pemerintahan di daerah maka diharapkan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan lebih cepat dalam hal
pemberian pelayanan kepada masyarakat, efektif dan efisien.Salah satu
wujud dari penyelenggaraan pemerintahan itu adalah melalui pelaksanaan
pembangunan daerah.
Melalui UU No.32 tahun 2004 ini, bangsa Indonesia secara tegas
menghendaki agar ditengah euforia reformasi, sistem yang sentralistik
menuju desentralistik, pemerintah daerah harus mengarahkan berbagai hal
dalam rangka implementasi kebijakan otonomi daerah pada percepatan
perwujudan kesejahteraan masyarakat melalui kualitas pelayanan publik,
pemberdayaan masyarakat, dan optimalisasi pembangunan peran serta dan
tanggungjawab masyarakat terhadap pembangunan (partisipasi masyarakat
dalam pembangunan). Suatu skema baru otonomi daerah, yang di dalamnya
termuat semangat melibatkan masyarakat, dengan menekankan bahwa
24
kualitas otonomi akan ditentukan oleh sejauh mana keterlibatan masyarakat.
Maka dengan sendirinya harus ditunjukkan adanya saluran aspirasi
masyarakat sejak dini. Dari sini dapat kita lihat bahwa sudah seharusnya
bahwa ide awal dari proses pembangunan harus menyertakan masyarakat
dalam perumusannya.
Makna perumusan ini merupakan proses perumusan yang umum,
dimana pada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan pokok-pokok
harapan, dan kepentingan dasarnya.
1.5.6 Tinjuan Umum Tentang Resistensi
Perlawanan merupakan simbol dan realitas keberdayaan pedagang
pasar sebagai masyarakat sipil menghadapi ketidakpekaan pemerintah kota
dalam mengelola ruang dan kebijakan. Secara harfiah resistensi adalah
“perlawanan atau menentang”. Berasal dari bahasa Inggris yaitu Resist.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah semua tindakan yang menolak atau
melawan baik itu bersifat formal atau non formal jika tidak menyetujui apa
yang sudah berjalan bisa dikatakan resistensi. Resistensi terhadap
pemerintah artinya merupakan penentangan atau perlawanan terhadap
kebijakan pemerintah.
1.6 Metode Penelitian
Tipe penetitian ini adalah tipe penelitian deskriptif.Menurut Moleong
dalam buku Metode Penelitian Kualitatif disebutkan bahwa tipe penelitian
deskriptif data-data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar dan
bukan angka-angka.Hal itu disebabkan oleh adanya penerapan metode
kualitatif. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi
25
kunci terhadap apa yang sudah diteliti. (Moleong, 2007:11)
1.6.1 Jenis Penelitian
Pada penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen)
dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi
(Sugiyono, 2008:1)
1.6.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat peneliti menemukan keadaan yang
sebernarnya dari objek yang diteliti.Dalam penelitian ini lokasi yang ditentukan di
kediaman atau lokasi kerja pedagang yang dijadikan sebagai responden atau
informan dalam penelitian ini. Lokasi kerja pedagang berada kelurahan Dinoyo di
kecamatan Lowokwaru Kota malang.
1.6.3 Subjek Penelitian
Unit analisis adalah satuan yang diteliti yang bisa berupa individu,
kelompok, benda atau suatu latar peristiwa sosial. (Hamidi, 2004:75). Unitanalisis
dalam penelitian ini adalah anggota dan perangkat paguyuban pasar tradisional
Dinoyo.Dalam penelitian kualitatif ini peneliti memilih tehnik Purposive
Sampling, yaitu , yaitu pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, dimaksudkan agar tidak
terjadi pelebaran pertanyaan ataupun data yang diberikan sesuai dengan tujuan
penelitian. Dimana dalam penelitian yang akan dilakukan, sudah menentukan
26
sasaran informan yang ingin digali informasinya untuk memenuhi atau
melengkapi data penelitian ini. Hal ini dilakukan agar dalam aplikasinya
dilapangan tidak mengalami pelebaran dalam mencari data dan juga data yang
diberikan sesuai dengan tujuan dari penelitian.
1.6.4 Sumber Data
Sumber data dapat dibedakan menjadi dua, data primer dan data sekunder
yaitu :
1. Data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari
subyek yang diteliti, dengan cara wawancara langsung dan observasi
langsung di lokasi penelitian. Peneliti menggunakan data primer
dikarenakan jika informasi yang didapat secara langsung akan lebih
aktual, dalam hal ini data yang diperoleh sesuai kenyataan yang
sebenar-benarnya. Alasan peneliti menggunakan sumber data primer
adalah untu memperoleh informasi langsung dan aktual, dalam hal ini
peneliti mengambil data dari masyarakat sekitar Gang Dolly demi
memperoleh kebenaran data yang diinginkan.hasil data primer yang
didapatkan dari subjek dilapangan, merupakan data yang didapat
melalui wawancara langsung kepada subjek yang bersangkutan.
Subjek-subjek ini didapatkan melalui proses snow ball, dimana teknik
snow ball ini digunakan dikarenakan peneliti tidak berdomisili di
lingkungan tersebut, sehingga akan mengalami kesulitan jika tidak
menggunakan taknik snow ball sebagai alat untuk menetukan subjek
penelitian.
27
2. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan
dokumen-dokumen yang dianggap penting dan berkaitan dengan
penelitian ini.Dokumen-dokumen dalam penelitian ini berupa teks -
teks yang dapat ditafsirkan lebih lanjut. Teks- teks ini berbentuk arsip,
statistik, hasil laporan, buku- buku, koran harian, website, ataupun
hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap permasalahan
(berkaitan) dengan penelitian ini.
Dokumen- dokumen berupa buku berguna untuk mendapatkan
data tentang sejarah kota Makassar dan sejarah Pasar Pa’beng-baeng
yang berada di Kelurahan Jongaya itu. Untuk mengisi data- data
statistik yang diperlukan dalam penelitian ini, digunakan buku- buku
yang berasal dari Biro Pusat Statistik sebagai penunjangnya. Selain itu,
juga terdapat data dari koran harian dan website yang digunakan
sebagai penunjang kekuatan informasi dalam penelitian ini.
1.7 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara- cara yang digunakan oleh peneliti
dalam penelitian ini untuk memperoleh informasi atau data yang akurat sehingga
dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu penelitian sosial yang ilmiah. Adapun
cara- cara tersebut dapat dibagai atas tiga bagian, yakni melalui: wawancara
mendalam atau indept interview , observasi atau pengamatan, dan dokumentasi.
a. Wawancara
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan
wawancara tidak terstruktur, sesuai dengan urutan wawancara, dan tidak
28
memakai sistem angket atau kuesioner.Teknik wawancara mendalam
berguna untuk memperoleh data dengan jalan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan tentang segala sesuatu kepada informan untuk mendapatkan
penafsiran yang utuh tentang suatu informasi.Dalam teknik ini, yang
paling ditekankan adalah komunikasi antara peneliti dengan informan
berjalan lancer dan tidak terkesan formal. Untuk memperoleh validitas
data, wawancara dilakukan secara berulang terhadap informan yang
berbeda dengan item atau masalah yang sama. Dengan demikian,
diharapkan data- data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan
kevaliditasannya. Selain itu, untuk mendukung kevaliditan data, dalam
pengertian yang diungkapkan oleh K. Yin (2003), penelitian ini
menggunakan dua tipe wawancara, yaitu: wawancara yang bertipe open -
ended dan wawancara terfokus. Wawancara openended dilakukan dengan
bertanya secara langsung kepada informan kunci tentang suatu peristiwa
tertentu dan opini atau pendapat mereka tentang hal tertentu
tersebut.Seperti pendapat pedagang (secara individu) tentang pihak
pemerintah, investor, ataupun tentang masyarakat Makassar Khususnya
Kelurahan Jongaya Kecamatan Tamalate.
Sedangkan wawancara terfokus dilakukan dalam jangka waktu terbatas
(satu jam atau dua jam), walaupun masih bersifat open- ended tetapi tidak
mengikuti serangkaian daftar pertanyaan tertentu dari protokol wawancara
yang telah disiapkan.Tujuan wawancara ini adalah untuk mendapatkan
data pendukung terhadap fakta- fakta tertentu (K. Yin, 2003). Dengan
teknik ini, peneliti dapat memperoleh komentar-komentar yang segar dari
29
informan tentang sesuatu hal yang mendukung data, seperti perbandingan
tipe pemerintahan daerah Makassar dengan Sulbar-Sultar atau antara
karekteristik orang Makassar asli yang selama ini dipahami oleh para
pedagang. Selain itu peneliti juga menggunakan teknik ini untuk
mendapatkan data yang valid.
Dengan berpura- pura tidak mengerti tentang kondisi pendapat
pemerintah tentang pedagang, peneliti mendapatkan data tentang apa yang
dirasakan pedagang dan pendapat mereka (pedagang) tentang pemerintah
dan investor, misalnya sulitnya mendapatkan informasi dari pihak
pemerintah dan investor. Hal serupa juga dilakukan peneliti terhadap
pemerintah dan investor (sebagai subyek) dan pedagang sebagai obyek.
b. Observasi
Observasi adalah teknik atau cara pengumpulan data melalui
pengamatan terhadap fenomena - fenomena sosial dan gejala- gejala alam
(Kartono, 1996). Menurut Faisal (2001), pengamatan dapat juga dilakukan
terhadap benda, keadaan, kondisi, situasi, kegiatan, proses, dan penampilan
tingkah laku seseorang. Observasi yang dilakukan adalah observasi
langsung (K. Yin, 2003).Di mana peneliti melakukan kunjungan langsung
ke lapangan berkaitan dengan perilaku atau kondisi lingkunngan yang
relevan dengan maksud penelitian ini sebagai tambahan dimensi- dimensi
baru dalam konteks memahami fenomena yang diteliti tersebut.
Observasi yang dilakukan bisa bersifat formal maupun kurang formal
(K. Yin, 2003).Observasi formal dilakukan untuk mengukur peristiwa tipe
pelaku tertentu dalam periode waktu tertentu di lapangan. Sedangkan
30
observasi kurang formal dilakukan selama melangsungkan kunjungan
lapangan, termasuk kesempatan- kesempatan selama pengumpulan bukti
yang lain (wawancara dan dokumentasi).
Dalam hal penelitian ini, observasi formal dilakukan pada saat
pedagang sedang melakukan transaksi jual beli di pasar Pa’baeng-
baeng.Kebanyakan pengamatan ini dilakukan pada waktu siang hari.
Dengan harapan, observasi yang dilakukan akan lebih menyeluruh, karena
dapat melihat kondisi pedagang secara holistik ketika melakukan interaksi
sosial dengan masyarakat lainnya, dan dengan sesama pedagang dari
beragam tingkatan penghasilan dan modal yang mereka miliki. Sedangkan
observasi non formal dilakukan pada waktu peneliti melakukan kegiatan
wawancara di lapangan dengan pedagang.Dan kebanyakan observasi ini
difokuskan pada kondisi sosial yang dihadapi pedagang ketika mereka
harus mencari nafkah ditempat yang “tidak memadai”.
Berbeda dengan pedagang, observasi terhadap pemerintah dan investor
dilakukan dalam ondisi non formal, yaitu di saat peneliti melakukan
wawancara dengan pihak pemerintah dan investor. Walaupun ada observasi
formal yang dilakukan, porsinya minim, karena beberapa kendala,
diantaranya: lingkungan birokrat yang resmi, tidak memungkinkan peneliti
untuk bebas bergerak di kantor - kantor tersebut, ditambah dengan
pandangan curiga kalangan birokrat ketika mendapati orang baru yang
masuk begitu saja ke kantor mereka tanpa ada yang dicari (hanya melihat-
lihat).
31
1.8 Teknik Analisa Data
Dalam penelitian kualitatif data yang diperoleh dari berbagai sumber,
dengan menggunakan data yang bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan
secara terus menerus.Miles dan Habeman (1984) menyatakan bahwa aktivitas
dalam analisis data kualitatif dilakukan dengan cara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, hingga sampai pada data yang jenuh.
Aktivitas dalam analisis data yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data
dan penarukan kesimpulan, yakni :
a. Pengumpulan Data
Kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan data yang
diperoleh dari subyek penelitian yang ada relevansinya dengan
perumusan masalah dan tujuan penelitian.Dalam pengumpulan data ini
peneliti mengumpulkan data yang terkait dengan judul penelitian yaitu
peranan paguyuban pasar tradisional terhadap keberadaan pasar modern.
b. Reduksi Data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada
penyederhanaan, keabstrakan dan transformasi data awal yang muncul
dari catatan dilapangan. Peneliti mengedit data dengan cara memilih
bagian data untuk dikode, dipakai dan yang diringkas serta dimasukkan
dalam kategori yang diteliti. Reduksi data dilakukan secara terus menerus
selama penelitian dilakukan.
c. Penyajian Data
32
Sekumpulan data yang diorganisir sehingga dapat memberi
deskripsi menuju penarikan kesimpulan.Penyajian data harus mempunyai
relevansi yang kuat dengan perumusan masalah secara keseluruhan dan
disajikan secara sistematis.
d. Penarikan Kesimpulan
Proses penarikan kesimpulan merupakan bagian penting dari
kegiatan penelitian karena merupakan kesimpulan dari penelitian. Proses
penarikan kesimpulan ini bermaksud untuk menganalisis, mencari makna
dari data yang ada sehingga dapat ditemukan dalam penelitian yang telah
dilakukan.
Gambar 1.1
Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif
Sumber: Miles dan Haberman (Sugiyono, 2010:183)
Penyajian Data
Reduksi Data Penarikan
Kesimpulan
Pengumpulan
Data