BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tulang adalah satu-satunya jaringan tubuh yang mampu beregenerasi
secara spontan dan menyusun kembali (remodelling) struktur mikro dan
makronya, karena adanya interaksi antara proses osteogenic (pembentukan tulang)
dan osteoclastic (resorbsi tulang) (Brighton, 1984). Tulang rahang baik rahang
atas maupun rahang bawah merupakan sistem penopang wajah yang berfungsi
selain sebagai pembentuk wajah, juga berfungsi untuk pengunyahan, penelanan,
bicara dan tempat pertumbuhan gigi geligi sehingga mempengaruhi penampilan
estetika seseorang.
Patah tulang adalah terputusnya (diskontinuitas) struktur tulang yang dapat
disebabkan oleh trauma mekanis dari luar atau merupakan suatu kelainan
patologis seperti osteoporosis (Brighton, 1984). Fraktur maksilofasial terletak di
daerah yang memiliki anatomi spesifik, yaitu merupakan daerah tempat organ-
organ penting seperti otak dan pusat persyarafan.
Penyebab kasus patah tulang rahang berbeda-beda di setiap negara. Di
negara maju seperti Amerika dan Eropa menurut Gasner dkk. (2003), penyebab
patah tulang wajah dan rahang adalah aktivitas sehari-hari dan olah raga (69%)
serta kasus kekerasan (12%). Menurut Alvi dkk. (2003) dan Fischer dkk. (2003),
penyebab terbesar patah tulang rahang bawah adalah perkelahian (41%) dengan
2
prosentase laki-laki 5 kali lebih banyak daripada wanita yang didominasi usia
muda (20–30 th). Di kota-kota besar di Indonesia, kasus kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab terbesar kasus patah tulang wajah dan rahang
(maksilofasial) terutama rahang bawah/mandibula (Fauzi, 2010).
Prosedur tatalaksana patah tulang khususnya patah tulang wajah dan
rahang telah mengalami perubahan yaitu dari operasi tertutup (close reduction)
seperti fiksasi antar rahang (Inter Maxillary Fixation/IMF), menjadi operasi
terbuka menggunakan fiksasi internal (open reduction and internal
fixation/ORIF). Fiksasi patah tulang antar rahang (IMF) hanya menggunakan
oklusi antar gigi rahang atas dan bawah sebagai acuan, sedangkan ORIF
melakukan fiksasi patah tulang langsung pada tempat patah tulang sehingga
didapat hasil fungsional dan estetik yang lebih bagus (Perry dan Booth, 2004;
Suuronen dkk., 2007; Gerlach dkk., 2007).
Penggunaan alat fiksasi untuk mengkoreksi patah tulang wajah dan rahang
serta tulang-tulang kecil seperti pada tangan (carpal, metacarpal dan phalange)
dan kaki (tarsal, metatarsal dan phalange) telah menjadi prosedur rutin pada
empat dekade terakhir dengan menggunakan alat yang kaku dan rigid, diawali
dengan menggunakan plat dan sekrup (plate & screw) dari material logam
(biometal) seperti titanium, titanium-alloy atau krom kobalt. Material logam
titanium yang digunakan sebagai alat fiksasi patah tulang memiliki kekuatan dan
kekakuan yang tinggi. Meskipun penggunaan material ini pada awalnya
menunjukkan keberhasilan secara klinis (Van-Sickels dkk., 1986; Tulasne &
Schendel, 1989; Mazzonetto dkk., 2004), tetapi kekuatan dan kekakuan yang
3
terlalu tinggi tersebut juga menyebabkan terjadinya stimulus mekanis pada tulang
di bawahnya secara terus menerus (Tabel 1.1).
Tabel 1.1 Perbandingan karakteristik mekanis tulang dan biomaterial (Murugan dan
Ramakrishna, 2004)
Tabel 1.1 menunjukkan karakteristik mekanis material logam seperti
titanium, titanium-alloy, stainless steel dan krom kobalt alloy yang terlalu tinggi
bila dibandingkan dengan karakteristik mekanis tulang kortikal, sehingga
menyebabkan atropi tulang di bawah plat dan selanjutnya menyebabkan gangguan
pertumbuhan tulang terutama pada anak-anak (Kennady dkk., 1989; Brodke dkk.,
2001). Kekurangan material logam lainnya adalah material ini secara visual dapat
terlihat atau teraba (visibility or palpability), sekrup mudah longgar atau terlepas
(loosening) dan sensitif terhadap dingin (cold hypersensitivity) (Suuronen, 1991;
Bessho dkk., 1995; Jacobs dkk., 1998; Cilasun dkk., 2006). Material logam ini
menyebabkan gangguan pencitraan (imaging) pada computed tomography scan
(CT–Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI), sehingga mengganggu
interpretasi radiograf pada proses penyembuhan patah tulang. Material logam ini
juga merupakan penghalang pada pasien yang membutuhkan terapi radiasi (Scher
dkk., 1988; Mazzonetto dkk., 2004; Dhol dkk., 2008).
Material Young’s modulus
(GPa)
Tensile strength
(MPa)
Compressive strength
(MPa)
Tulang
Kortikal 14–20 50–150 170–193
Kanselus 0,05–0,5 10–20 7–10
Biomaterial
Ti 110 300–740 550
Ti–6Al–4V alloy 120 860–1140 860
Stainless steel 190 500–950 600
Co–Cr alloy
SR PLLA–PDLA (70:30)
210
8,5
665–1277
50–120
655
900
4
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa material logam titanium juga
mempunyai beberapa kekurangan seperti adanya penyebaran ion-ion logam yang
berakumulasi pada beberapa organ seperti kelenjar limfe regional (lymph nodes)
(Schliephake dkk., 1993; Jorgenson dkk., 1997) dan sering menimbulkan reaksi
alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan
perdebatan perlunya dilakukan operasi pengambilan kembali material fiksasi
patah tulang, yang bila dilakukan akan menambah waktu perawatan dan
pemulihan serta peningkatan jumlah biaya perawatan. Material fiksasi patah
tulang yang bisa diserap tubuh (biodegradable) berkembang untuk mengatasi
kekurangan material fiksasi dari titanium dan menghindari operasi sekunder
tersebut.
Penggunaan material polimer biodegradabel sebagai alat fiksasi patah
tulang masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Penurunan stabilitas kekuatan
mekanis yang terlalu cepat sebelum terjadinya penyembuhan tulang dan toksisitas
yang tinggi akibat produk degradasi yang berlebihan yang disebabkan degradasi
yang terlalu cepat, menyebabkan penggunaan material ini belum menjadi
alternatif sebagai pengganti titanium (Bergsma dkk., 1993; Bostman, 1998;
Kallela dkk., 2005).
Material fiksasi patah tulang yang bisa diserap tubuh seharusnya memiliki
karakteristik antara lain cukup kaku (semi rigid), stabil dan dapat terdegradasi
secara sempurna tanpa berbagai komplikasi. Selama proses degradasi, material ini
harus tetap memiliki kekuatan yang cukup stabil sampai terjadinya penyembuhan
tulang (Peltoniemi, 2000; Hasegawa dkk., 2006). Studi klinis menunjukkan
5
beberapa kekurangan penggunaan material fiksasi patah tulang yang bisa diserap
tubuh seperti penurunan kekuatan mekanis dan terjadinya pembengkakan steril
dalam jangka panjang (late aseptic swelling) (Bergsma dkk., 1993; Tegnander
dkk., 1994; Bostman dkk., 1998; Kallela dkk., 2005), penyembuhan tulang yang
tidak sempurna di bawah plat (Pihlajama dkk., 1992; Matsusue dkk., 1996) dan
pergerakan plat (Donigian dkk., 1993; Bostman dkk., 1989; Ahl dkk., 1994).
Alat fiksasi patah tulang biodegradabel yang paling banyak digunakan di
pembedahan tulang wajah dan rahang serta tulang-tulang kecil seperti pada tangan
dan kaki berasal dari material polimer kristalin yaitu poly-L-lactic acid (PLLA).
Material ini pada awalnya digunakan untuk penjahitan luka yang bisa diserap
tubuh (bioresorbable suture material) seperti halnya polyglycolic acid (PGA),
polydioxanone, polyglactin dan catgut, sehingga tidak perlu diambil kembali
(Herrmann dkk., 1970). Alat fiksasi patah tulang biodegradabel dari material
PLLA, seperti halnya titanium juga memiliki karakteristik mekanis yang tinggi
dibandingkan tulang kortikal. Tabel 1.1 menunjukkan alat fiksasi patah tulang
komersial dari material polimer yaitu SR PLLA–PDLA (70:30) memiliki modulus
young sebesar 8,5 GPa, kekuatan tarik sebesar 50–120 MPa, kekuatan tekuk
sebesar 275–400 MPa dan kekuatan tekan sebesar 900 MPa. Karakteristik
mekanis yang tinggi tersebut tidak menyebabkan transfer tekanan pada tulang
karena akan berkurang secara bertahap akibat proses degradasi (Mazzonetto dkk.,
2004; Yerit dkk., 2005).
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa SR PLLA–PDLA (70:30)
bukan sebagai material fiksasi patah tulang yang ideal karena masih terjadi reaksi
6
benda asing akibat tingginya produk berupa kristal selama proses degradasi
(Dawes dan Rushton, 1994; Kallela dkk., 1999). Monomer asam laktat (lactic
acid) yang lepas selama degradasi menimbulkan reaksi lokal dan sistemik berupa
respon seluler pada tempat implan (Wahl dan Czernuszka, 2006). Respon seluler
yang terjadi akibat penurunan pH lokal memudahkan pelepasan prostaglandin
(PGE2) oleh fibroblas dan makrofag, yang merupakan mediator kimia dan sebagai
penyebab resorbsi tulang (Dawes dan Rushton, 1994; Wahl dan Czernuszka,
2006). Untuk itu, merupakan suatu tantangan menggunakan material polimer
biodegradabel lain yang memiliki karakteristik mekanis dan biokompatibilitas
yang baik sebagai material fiksasi patah tulang yang bisa diserap tubuh, seperti
Polivinil Alkohol (PVA).
Penggunaan Polivinil Alkohol (PVA) meningkat sebagai pengganti
jaringan tubuh yang rusak akibat trauma atau penyakit, karena memiliki sifat
fisikokemikal terutama sifat bio-tribological yang sangat baik. PVA menunjukkan
keunggulan terhadap interaksi permukaan yaitu tahan terhadap gesekan (friction)
dan keausan (wearness), serta memiliki permukaan yang licin (lubrication),
sehingga dapat mencegah terjadinya erosi dan korosi (Zheng dkk., 1998;
Stammen dkk., 2001; Suciu dkk., 2004). PVA merupakan material biodegradabel
(Goodship dan Jacobs, 2005) dan memiliki biokompatibilitas yang sangat baik
(Covert dkk., 2003; Kobayashi dkk., 2005). Material ini telah digunakan pada
beberapa aplikasi biomedis seperti drug delivery, lensa kontak, graf tulang,
penutup luka dan banyak digunakan untuk perbaikan jaringan lunak sendi lutut
(articular cartilage) (Noguchi dkk., 1991; Pan dkk., 2007).
7
Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa polimer PVA memiliki
kekuatan mekanis yang lemah sebagai material fiksasi patah tulang rahang yaitu
memiliki rerata kekuatan tarik 13,01 MPa (Gambar 1.1). Dipandang perlu
penambahan suatu material sebagai penguat untuk meningkatkan kekuatan
mekanisnya.
Gambar 1.1 Rerata kekuatan mekanis pada uji pendahuluan
Material yang digunakan sebagai penguat (reinforcement) untuk
meningkatkan kekuatan mekanis adalah catgut, yaitu benang untuk penjahitan
luka yang bisa diserap tubuh (bioresorable suture). Catgut berasal dari kolagen
usus (intestine) domba dan telah digunakan secara luas di bidang medis termasuk
ortopedi untuk penutup jaringan yang dalam, sehingga tidak perlu diambil
kembali. Material ini terdegradasi secara lengkap oleh enzim proteolitik dalam
waktu 90 hari (Kruger, 1984). Catgut bila digunakan sebagai material penjahitan
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Ke
kuat
an T
eku
k (M
Pa)
Ke
kuat
an T
arik
(M
Pa)
Jenis Material
Kuat Tarik
Kuat Tekuk
8
luka, memiliki kekuatan tarik yang baik dan bertahan selama 7 hari. Penambahan
lapisan krom (chromic acid salts) meningkatkan kekuatan tariknya dan bertahan
lebih lama menjadi 21 hari (Mead, 1954). Belum diketahui stabilitas kekuatan
tarik material ini bila digunakan untuk penguat pada komposit sebagai material
fiksasi patah tulang.
Dari penelitian pendahuluan, penambahan penguat catgut dapat
meningkatkan rerata kekuatan tarik polimer PVA yaitu dari 13,01 MPa menjadi
21,5 MPa (Gambar 1.1). PVA yang diperkuat catgut tidak memiliki ketebalan dan
kekakuan sehingga tidak dapat dilakukan uji tekuk. Menurut Brydson (1999),
ketebalan dan kekakuan polimer dapat ditingkatkan dengan penambahan beberapa
zat tambahan (additive), salah satunya adalah penambahan filler. Pada penelitian
ini, yang digunakan sebagai material pengisi (filler) adalah hidroksiapatit (HA)
yaitu suatu material bioaktif dan osteokonduktif serta memiliki biokompatibilitas
yang baik.
Komposit adalah kombinasi dua atau lebih material yang berbeda,
memiliki ikatan yang cukup baik antara mereka (Vasiliev dan Morozov, 2001;
Ramakrishna, dkk., 2004). Material komposit adalah material yang mengandung
matrik yang berperan mengikat penguat (reinforcement) terus menerus dan
memberikan bentuk sehingga menjadi lebih kuat dan kaku. Matrik merupakan
struktur yang terlemah dari komposit, sebaliknya penguat merupakan struktur
yang terkuat (Miracle dan Donaldson, 2001).
Hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2] merupakan komponen anorganik utama
dari jaringan tulang dan gigi yang dimiliki mamalia (Williams, 1990).
9
Hidroksiapatit merupakan material dengan kandungan utama kalsium dan fosfat,
memiliki panjang partikel antara 102–10
6 nm dengan perbandingan rasio molar Ca
dan P adalah 1,2–2 sehingga memiliki sifat yang stabil di dalam tubuh manusia
(Specialia, 1971). Hidroksiapatit telah digunakan secara luas sebagai material
bioaktif untuk regenerasi tulang, memiliki biokompatibilitas yang baik dengan
jaringan keras, mampu melekat dengan tulang secara langsung, sangat
osteokonduktif, tidak antigenik dan sitotoksik, karena secara komposisi kimia,
biologis dan kristalnya mirip dengan tulang (Suchanek dan Yoshimura, 1998).
Hidroksiapatit memiliki kekuatan tekan yang baik tetapi tidak memiliki
elastisitas yang baik karena kekuatan tariknya yang lemah (Booth dkk, 2007).
Hidroksiapatit bersifat rapuh dan susah beradaptasi, sehingga sifat-sifat tersebut
menyebabkan hidroksiapatit memiliki keterbatasan dalam aplikasinya yaitu hanya
dapat digunakan untuk aplikasi yang mendapat tekanan yang rendah (Dewith
dkk., 1981; Salyer dan Hall, 1995; Friedman dkk., 1998). Kerapuhan HA
menyebabkan material ini tidak dapat digunakan tanpa dikompositkan dengan
material lain untuk menggantikan tulang kortikal yang memiliki karakteristik
mekanis yang lebih tinggi (Bonfield, 1984). HA sebagai keramik bioaktif, selain
digunakan untuk meningkatkan diferensiasi serta pertumbuhan sel osteoblas, juga
digunakan untuk mengisi cacat tulang pada operasi gigi dan tulang serta sebagai
lapisan (coating) pada permukaan implan logam untuk meningkatkan integrasi
implan dengan tulang host (Anusavice, 2003).
Sintesis hidroksiapatit dibuat dari berbagai sumber, baik dari sumber alami
maupun sintesis secara kimia. HA yang diproduksi dari metode sintesis kimiawi
10
merupakan metode yang paling sering dipakai, karena merupakan metode yang
bisa diandalkan untuk menghasilkan stokiometri HA tanpa adanya mineral seperti
Na, Mg, K, F dan Cl (Herliansyah dkk., 2007). HA yang disintesis secara kimiawi
membutuhkan material awal (reagen-reagen) yang mahal, menyebabkan harga
yang relatif lebih tinggi daripada HA yang disintesis dari sumber alam.
Salah satu HA yang disintesis dari sumber alam (natural sources) adalah
HA bovine yang disintesis dari tulang sapi yang tersedia melimpah di Indonesia.
Material ini memiliki morfologi dan struktural yang sama dengan tulang manusia
(Goren dkk., 2004). Penelitian oleh Herliansyah dkk. (2006), proses pemanasan
(kalsinasi) serbuk tulang sapi pada temperatur ±900 oC akan langsung
menghasilkan komposisi HA murni. HA kalsit dalam proses sinteringnya melalui
reaksi hidrotermal, sebaliknya membutuhkan larutan diamonium hydrogen
phosphate (DHP/(NH4)2HPO4) yang relatif mahal untuk mendapatkan bentuk HA
(Furuta dkk., 1998; Katsuki dkk., 1998).
Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa komposit PVA–HA bovine
memiliki rerata kekuatan mekanis yang lemah sebagai material fiksasi patah
tulang rahang yaitu rerata kekuatan tarik 15,3 MPa dan rerata kekuatan tekuk 21,2
MPa (Gambar 1.1). Selanjutnya dengan penambahan catgut sebagai penguat,
kekuatan mekanis komposit PVA–HA bovine dapat ditingkatkan yaitu rerata
kekuatan tarik 29,6 MPa dan rerata kekuatan tekuk 33,9 MPa (Gambar 1.1).
Metode lain untuk meningkatkan karakteristik mekanik dari komposit
selain penambahan penguat (reinforcement) adalah dengan penambahan sejumlah
agen crosslinker (Brydson, 1999). PVA sebagai hidrogel memiliki gugus hidroksil
11
atau amino dalam rantai utamanya, sehingga material yang sering digunakan
sebagai crosslinker adalah glutaraldehid, asetaldehid dan formaldehid
(Swieszkowski dkk., 2008). Penambahan glutaraldehid 1% (v/v) terhadap larutan
PVA–HA bovine pada penelitian pendahuluan dapat meningkatkan rerata
kekuatan tarik dari 29,6 MPa menjadi 34,85 MPa dan rerata kekuatan tekuk dari
33,9 MPa menjadi 37,04 MPa (Gambar 1.1).
Kebutuhan kekuatan mekanis komposit PVA–HA bovine dengan penguat
catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker untuk material fiksasi patah tulang
rahang dan tulang-tulang kecil mengacu pada beberapa kondisi, yaitu kekuatan
mekanis tulang kortikal (Murugan dan Ramakrishna, 2004), material fiksasi patah
tulang komersial dari PLLA (Mazzonetto dkk., 2004) dan kekuatan otot
pengunyahan (Wong dkk., 2010), seperti ditampilkan pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2 Perbandingan kekuatan tarik antara tulang kortikal, PLLA dan
m. masetter
50 50
15
150
120
25
0
40
80
120
160
200
Tulang Kortikal PLLA M.Masetter
Ke
kuat
an T
arik
(M
Pa)
Jenis Material
Min Max
12
Menurut Temenoff dan Mikos (2008), PVA merupakan polimer hidrofilik
karena banyak mempunyai gugus OH dan polimerisasi terjadi dengan cara
poliadisi. Selanjutnya menurut Temenoff dan Mikos (2008), mekanisme
biodegradasi polimer dapat terjadi dalam dua cara, yaitu mekanisme pelarutan
(swelling/dissolution) dan mekanisme pemotongan rantai (chain scission).
Biodegradasi dengan cara pelarutan terjadi melalui penyerapan air ke dalam
polimer yang menyebabkan adanya jarak antar makromolekul. Pada mekanisme
ini, air berperan sebagai plastizer yang menyebabkan material polimer menjadi
lebih lunak (ductile) yaitu terjadi pengurangan ikatan antara rantai sekunder.
Kondisi ini menyebabkan penurunan kristalinitas polimer tersebut.
Material yang digunakan untuk pengujian biodegradasi adalah larutan PBS
(phosphate–buffered saline) pH 7,4 (Pamula dkk., 2006; Annie dkk., 2008;
Vaananen dkk., 2009; Tsuji dkk., 2011). PBS digunakan untuk pengujian
biodegradasi karena dapat dilakukan pada polimer yang memiliki produk
degradasi dalam lingkungan asam atau basa. Gugus buffer posfat berperan untuk
mempertahankan pH tersebut. Osmolaritas dan konsentrasi ion dari larutan PBS
berupa larutan isotonis yaitu sesuai dengan cairan tubuh manusia. PBS juga
memiliki tingkat kristalisasi yang tinggi, sehingga kristalin mikro dapat dengan
mudah dikontrol sehingga dapat dipertahankan kristalinitas yang sama (Cho dkk.,
2000).
Menurut Temenoff dan Mikos (2008), indikator terjadinya degradasi
adalah adanya perubahan warna, keretakan (crazes) dan penurunan kekuatan
mekanis. Sedangkan menurut Laitinen dkk. (1992) dan Gijpferich (l994),
13
parameter yang digunakan untuk memonitor terjadinya biodegradasi selain
penurunan berat molekul adalah menurunnya kekuatan mekanis.
Pengujian biodegradasi in vitro pada material komposit PVA–HA bovine
dengan penguat catgut sebagai material fiksasi patah tulang rahang,
sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Pada penelitian ini, uji
biodegradasi dilakukan dengan perendaman spesimen uji pada larutan PBS pH 7,4
pada temperatur 37 oC selama 30 dan 60 hari. Periode waktu yang digunakan
tersebut didasarkan pada proses penyembuhan patah tulang yaitu terbentuknya
kalus sekunder pada 20–60 hari (Weinman dan Sicher, 1955).
Biokompatibilitas didefinisikan sebagai kemampuan dari material untuk
menimbulkan suatu respon yang baik jika material tersebut digunakan pada tubuh
(Powers dan Sakaguchi, 2006). Biokompatibilitas menentukan apakah material
tersebut dapat digunakan di dalam tubuh, di samping sifat fisikokimia, kemudahan
proses, estetika dan harga yang terjangkau. Secara umum biokompatibilitas dapat
diukur berdasarkan sitotoksisitas sistemik, setempat dan kemampuan
menimbulkan alergi serta karsinogenik (Anusavice, 2003). Tujuan uji
biokompatibilitas adalah untuk mengetahui interaksi antara material terhadap
jaringan tubuh (Williams, 1990). Respon inflamasi ditunjukkan dengan
peningkatan jumlah sel neutrofil terutama di bagian tepi dari jaringan yang
mengalami reaksi toksisitas (Robbins dan Angell, 1976). Reaksi atau respon imun
terjadi apabila terdapat penolakan terhadap material implan berupa reaksi
hipersensitivitas (Roitt dkk., 1998).
14
1.2 Perumusan Masalah
a. Apakah perbandingan konsentrasi komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA
bovine (60:40) fraksi berat dengan penguat catgut dan glutaraldehid sebagai
crosslinker mempunyai kekuatan mekanis yang memadai untuk material
fiksasi patah tulang rahang dan tulang-tulang kecil?
b. Apakah komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine (60:40) fraksi berat
dengan penguat catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker memiliki
kekuatan mekanis yang stabil untuk material fiksasi patah tulang rahang dan
tulang-tulang kecil setelah perendaman dalam larutan PBS pH 7,4 pada
temperatur 37 oC selama 30 dan 60 hari?
c. Apakah komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine dengan penguat
catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker menimbulkan reaksi toksisitas
pada hewan coba?
d. Apakah komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine dengan penguat
catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker menimbulkan reaksi
hipersensitivitas pada hewan coba?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum:
Untuk mengetahui apakah komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine
dengan penguat catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker memiliki kekuatan
mekanis yang memadai dan stabil untuk material fiksasi patah tulang rahang dan
15
tulang-tulang kecil serta memiliki biokompabilitas yang baik tanpa menimbulkan
efek toksisitas dan hipersensitivitas pada hewan coba.
1.3.2 Tujuan Khusus:
a. Menentukan perbandingan konsentrasi komposit Polivinil Alkohol (PVA)–
HA bovine fraksi berat dengan penguat catgut dan glutaraldehid sebagai
crosslinker sehingga dapat memiliki kekuatan mekanis yang memadai untuk
material fiksasi patah tulang rahang dan tulang-tulang kecil.
b. Mengkaji stabilitas kekuatan mekanis komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA
bovine (60:40) fraksi berat dengan penguat catgut dan glutaraldehid sebagai
crosslinker untuk material fiksasi patah tulang rahang dan tulang-tulang kecil
setelah perendaman dalam larutan PBS pH 7,4 pada temperatur 37 oC selama
30 dan 60 hari.
c. Mengkaji pengaruh komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine dengan
penguat catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker terhadap timbulnya
reaksi toksisitas pada hewan coba.
d. Mengkaji pengaruh komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine dengan
penguat catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker terhadap timbulnya
reaksi hipersensitivitas pada hewan coba.
16
1.4 Keaslian dan Kedalaman Penelitian
Penelitian tentang material fiksasi patah tulang yang bisa diserap tubuh
(biodegradabel) telah banyak dilakukan, dengan menggunakan material polimer
sintetis polylactide (Tabel 1.2).
Tabel 1.2 Matrik penelitian material fiksasi tulang yang bisa diserap tubuh
Material Peneliti Tahun Sumber
PolyLactic Acid
(PLA)
Kulkarni, dkk. 1966 Polylactic acid for surgical implants. Arch Surg.
93, hal. 839–843.
Cutright, dkk. 1971 Fracture reduction using a biodegradable
material, polylactic acid. J Oral Surg. 29, hal.
393–397.
Poly-L- lactide Acid
(PLLA) Rokkanen, dkk. 1985 Biodegradable implants in fracture fixation:
early results of treatment of fractures of the
ankle. Lancet 1, hal. 1422–1424.
Leenslag, dkk.
1.
1987 Resorbable materials of poly(l-lactide). In vivo
and in vitro degradation. Biomaterials 8, hal.
311–314.
Bos, dkk. 1991 Degradation of and tissue reaction to
biodegradable poly(L-lactide) for use as internal
fixation of fractures: a study in rats.
Biomaterials 12, hal. 32–36.
Bergsma, dkk. 1993 Foreign body reactions to resorbable poly(L-
lactide) bone plates and screws used for the
fixation of unstable zygomatic fractures. J Oral
Maxillofac Surg. 51, hal. 666–670.
Bergsma, dkk. 1995 Late degradation tissue response to poly(L-
lactide) bone plates and screws. Biomaterials
16, hal. 25–31.
Matsusue, dkk. 1997 A long-term clinical study on drawn poly L-
lactide implants in orthopaedic surgery. J Long
Term Effect Med Implants 7, hal. 119–137.
Self Reinforced
PLLA
Tormala, dkk. 1990 1. Totally biodegradable self-reinforced rods and
screws for internal fixation of bone fractures.
Acta Othop Scand., hal. 217–227.
Suuronen, dkk. 1991 Comparison of absorbable self-reinforced poly-
l-lactide screws and metallic screws in the
fixation of mandibular condyle osteotomies.
Experimental study in sheep. J Oral Maxillofac
Surg. 49, hal. 989–995.
Pihlajama, dkk. 1992 1. Absorbable pins of self-reinforced poly L-lactic
acid for fixation of fractures and osteotomies, J
Bone Joint Surg.74-B, hal. 857–863.
Suuronen, dkk. 1992 Comparison of absorbable self-reinforced
multilayer poly-L-lactide and metallic plates for
the fixation of mandibular body osteotomies: an
experimental study in sheep. J Oral Maxillofac
17
Surg. 50, hal. 255–262.
Suuronen, dkk.
1992 Sagittal split osteotomy fixed with
biodegradable, self-reinforced poly-L-lactide
screws. A pilot study in sheep. Int J Oral
Maxillofac Surg. 21, hal. 303–308.
Suuronen, dkk. 1992 Comparison of shear strength of osteotomies
fixed with absorbable self-reinforced poly-l-
lactide and metallic screw. J Mater Sci Mater
Med. 3, hal. 288–292.
SR-P(70L:
30DL)LA Haers dan Sailer 1998 Biodegradable self-reinforced poly-L/DL lactide
plate and screw in bimaxillary orthognathic
surgery: short-term skeletal stability and
material related failures. J Craniomaxillofac
Surg. 26, hal. 363-372.
Kallela, dkk. 1999 Fixation of mandibular body osteotomies using
biodegradable amorphous self-reinforced
(70L:30DL) polylactide or metal lag screws: an
experimental study in sheep. J Craniomaxillofac
Surg. 27, hal. 124–133.
Yerit, dkk. 2002 Fixation of mandibular fractures with
biodegradable plate and screw. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 94, hal.
294-300.
Mazzonetto, dkk 2004 A retrospective evaluation of rigid fixation in
orthognathic surgery using a biodegradable self-
reinforced (70L:30DL) polylactide. Int J Oral
Maxillofac Surg. 33, hal. 664–669.
Yerit, dkk. 2005 Biodegradable fixation of mandibular fractures
in children: stability and early results. Oral Surg
Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 100,
hal. 17-24.
Wildemann, dkk. 2005 Short term in vivo biocompatibility testing of
biodegradable poly(D,L-lactide)-growth factor
coating for orthopaedic implants. Biomaterials
26(18), hal. 4035-4040.
Vaananen, dkk. 2009 Fixation properties of a biodegradable “free-
form” osseosintesis plate with screw with cut-
off screw heads: Biomechanical evaluation over
26 weeks. Oral Surg Oral Med Oral Pathol
Oral Radiol Endod. 107, hal. 462–468
Penelitian terkini seperti ditunjukkan pada Tabel 1.2 bahwa material
polimer sintetis yang digunakan sebagai material fiksasi patah tulang adalah
komposit PLLA dan PDLA yaitu dalam bentuk self-reinforced (70L:30DL)
polylactide. Penelitian oleh Kalela dkk. (1999); Wahl dan Czernuszka (2006),
menunjukkan bahwa PLLA bukan sebagai material fiksasi patah tulang yang ideal
18
karena masih terjadi reaksi benda asing akibat tingginya produk berupa kristal dari
PLLA selama proses degradasi, sehingga menyebabkan resorbsi tulang. Untuk itu,
merupakan suatu tantangan menggunakan material polimer biodegradabel lain
yang memiliki karakteristik mekanis dan biokompatibilitas yang baik sebagai
material fiksasi patah tulang rahang yang bisa diserap tubuh, seperti Polivinil
Alkohol (PVA).
Polivinil Alkohol (PVA) telah banyak digunakan dibidang medis sebagai
drug delivery, lensa kontak, graf tulang, penutup luka, dan pengganti jaringan
lunak sendi lutut (articular cartilage), yang semuanya tidak membutuhkan
kekuatan mekanis yang tinggi. Penelitian penggunaan PVA dibidang medis
ditampilkan pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3 Aplikasi PVA dibidang medis
Material Peneliti Sumber Tahun Aplikasi
PVA Peppas dan
Merrill
Development of semicrystalline poly(vinyl
alcohol) hydrogels for biomedical
application. J Biomed Mater Res. 11, hal.
423-434
1977 Jaringan sendi
lutut
PVA Noguchi, dkk. Poly(vinyl alcohol) hydrogel as an artificial
articular cartilage: evaluation of
biocompatibility. Appl. Biomaterials 2(2),
hal. 101–107
1991 Jaringan sendi
lutut
PVA Kobayashi, dkk. Collagen immobilized PVA hydrogel-
hydroxyapatite composites prepared by
kneading methods as a material for
peripheral cuff of artificial cornea.
Materials Science and Engineering C 24,
hal. 729–735
2004 Kornea buatan
nanoHA-
PVA
Fenglan, X.,
Yubao, L., dan
Xuejiang, W.,
Preparation and characterization of nano-
hydroxyapatite/poly (vinyl alcohol)
hydrogel biocomposite. Journal of
Materials Science 39, hal. 5669–5672
2004 Jaringan sendi
lutut
PVA-gel Pal, dkk. Preparation and characterization of
polyvinyl alcohol–gelatin hydrogel
membranes for biomedical applications.
AAPS Pharm Sci Tech. 8(1), Article 21.
2007 Penutup luka
dan drug
delivery
19
PVA Pan, dkk. A study on the friction properties of
poly(vinyl alcohol) hydrogel as articular
cartilage against titanium alloy. Wear 262,
hal. 1021–1025.
2007 Jaringan sendi
lutut
nanoHA-
PVA
Pan dan Xiong Study on compressive mechanical
properties of nanohydroxyapatite reinforced
poly(vinyl alcohol) gel composites as
biomaterial, J Mater Sci: Mater Med. 20,
hal. 1291–1297
2009 Jaringan sendi
lutut
PVA/Gel/
HA
Tontowi, dkk. Effect of PVA Coating on Diametral
Tensile Strength of Porous Block of
Gelatine/Hydroxyapatite Composite,
International Seminar of QIR, Denpasar,
Bali.
2011 Graf tulang
Penelitian dengan menggunakan polimer Polivinil Alkohol (PVA) ini
berbeda dari penelitian-penelitian pada Tabel 1.2 dan Tabel 1.3 tersebut di atas.
Keterbaruan dan keaslian pada penelitian ini adalah:
a. Polivinil Alkohol (PVA) selama ini digunakan pada aplikasi yang tidak
membutuhkan kekuatan mekanis yang tinggi. Pada penelitian ini dibutuhkan
kekuatan mekanis yang tinggi sebagai material fiksasi patah tulang rahang
dan tulang-tulang kecil. Kekuatan mekanis polimer PVA yang rendah
tersebut dapat ditingkatkan dengan penambahan suatu material sebagai
penguat (reinforcement).
b. Catgut yang selama ini digunakan sebagai material untuk penjahitan luka
dalam yang bisa diserap tubuh (bioresorable suture), digunakan sebagai
penguat (reinforcement) pada komposit PVA–HA bovine dengan tujuan
untuk meningkatkan kekuatan mekanis.
c. Hidroksiapatit digunakan sebagai filler pada komposit yang bertujuan untuk
meningkatkan kekakuan komposit. Hidroksiapatit disintesis dari tulang sapi,
merupakan material lokal yang ketersediaannya melimpah di Indonesia.
20
Penggunaan material lokal yang relatif lebih murah dapat menghasilkan biaya
produksi yang lebih murah dibandingkan dengan alat fiksasi patah tulang
komersial.
d. Pada penelitian ini perbandingan konsentrasi polimer PVA dan HA (60:40)
fraksi berat menunjukkan kekuatan mekanis yang optimal dibandingkan
kelompok lainnya. Belum tercapainya kekuatan mekanis yang optimal
menyebabkan aplikasi material komposit ini dibatasi pada kasus patah tulang
dengan kekuatan mekanis yang tidak terlalu tinggi seperti patah tulang rahang
dan tulang-tulang kecil seperti pada tangan dan kaki.
e. Penggunaan material sebagai alat fiksasi patah tulang yang seluruhnya bisa
diserap tubuh (biodegradable), dapat mengatasi kekurangan material fiksasi
dari titanium terutama untuk menghindari operasi sekunder. Pada penelitian
ini dibatasi hanya sampai pembuatan spesimen uji. Diperlukan penataan
catgut yang berbeda dan penambahan material lain sehubungan pembuatan
prototipe berupa plate dan screw.
1.5 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu material yang di
samping dapat digunakan sebagai material fiksasi patah tulang rahang, dapat juga
digunakan di bidang ortopedi sebagai material fiksasi patah tulang rahang dan
tulang-tulang kecil seperti pada tangan (carpal, metacarpal dan phalange) dan
kaki (tarsal, metatarsal dan phalange). Penggunaan material biodegradabel dapat
bermanfaat bagi pasien yaitu tidak diperlukannya pembedahan tambahan untuk
21
pengambilan alat fiksasi patah tulang, yang dapat mengurangi total biaya
perawatan. Penggunaan material yang biokompatibel, tidak menimbulkan reaksi
toksisitas dan sensitivitas dan terjadi penyembuhan tulang yang lebih baik
terutama pada anak-anak. Manfaat bagi klinisi adalah diagnosis pascaoperasi lebih
mudah ditegakkan karena material ini tidak menyebabkan gangguan pencitraan
(imaging) pada radiograf (MRI atau CT scan).