BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulang adalah satu-satunya jaringan tubuh yang mampu beregenerasi secara spontan dan menyusun kembali (remodelling) struktur mikro dan makronya, karena adanya interaksi antara proses osteogenic (pembentukan tulang) dan osteoclastic (resorbsi tulang) (Brighton, 1984). Tulang rahang baik rahang atas maupun rahang bawah merupakan sistem penopang wajah yang berfungsi selain sebagai pembentuk wajah, juga berfungsi untuk pengunyahan, penelanan, bicara dan tempat pertumbuhan gigi geligi sehingga mempengaruhi penampilan estetika seseorang. Patah tulang adalah terputusnya (diskontinuitas) struktur tulang yang dapat disebabkan oleh trauma mekanis dari luar atau merupakan suatu kelainan patologis seperti osteoporosis (Brighton, 1984). Fraktur maksilofasial terletak di daerah yang memiliki anatomi spesifik, yaitu merupakan daerah tempat organ- organ penting seperti otak dan pusat persyarafan. Penyebab kasus patah tulang rahang berbeda-beda di setiap negara. Di negara maju seperti Amerika dan Eropa menurut Gasner dkk. (2003), penyebab patah tulang wajah dan rahang adalah aktivitas sehari-hari dan olah raga (69%) serta kasus kekerasan (12%). Menurut Alvi dkk. (2003) dan Fischer dkk. (2003), penyebab terbesar patah tulang rahang bawah adalah perkelahian (41%) dengan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tulang adalah satu-satunya jaringan tubuh yang mampu beregenerasi

secara spontan dan menyusun kembali (remodelling) struktur mikro dan

makronya, karena adanya interaksi antara proses osteogenic (pembentukan tulang)

dan osteoclastic (resorbsi tulang) (Brighton, 1984). Tulang rahang baik rahang

atas maupun rahang bawah merupakan sistem penopang wajah yang berfungsi

selain sebagai pembentuk wajah, juga berfungsi untuk pengunyahan, penelanan,

bicara dan tempat pertumbuhan gigi geligi sehingga mempengaruhi penampilan

estetika seseorang.

Patah tulang adalah terputusnya (diskontinuitas) struktur tulang yang dapat

disebabkan oleh trauma mekanis dari luar atau merupakan suatu kelainan

patologis seperti osteoporosis (Brighton, 1984). Fraktur maksilofasial terletak di

daerah yang memiliki anatomi spesifik, yaitu merupakan daerah tempat organ-

organ penting seperti otak dan pusat persyarafan.

Penyebab kasus patah tulang rahang berbeda-beda di setiap negara. Di

negara maju seperti Amerika dan Eropa menurut Gasner dkk. (2003), penyebab

patah tulang wajah dan rahang adalah aktivitas sehari-hari dan olah raga (69%)

serta kasus kekerasan (12%). Menurut Alvi dkk. (2003) dan Fischer dkk. (2003),

penyebab terbesar patah tulang rahang bawah adalah perkelahian (41%) dengan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

2

prosentase laki-laki 5 kali lebih banyak daripada wanita yang didominasi usia

muda (20–30 th). Di kota-kota besar di Indonesia, kasus kecelakaan lalu lintas

merupakan penyebab terbesar kasus patah tulang wajah dan rahang

(maksilofasial) terutama rahang bawah/mandibula (Fauzi, 2010).

Prosedur tatalaksana patah tulang khususnya patah tulang wajah dan

rahang telah mengalami perubahan yaitu dari operasi tertutup (close reduction)

seperti fiksasi antar rahang (Inter Maxillary Fixation/IMF), menjadi operasi

terbuka menggunakan fiksasi internal (open reduction and internal

fixation/ORIF). Fiksasi patah tulang antar rahang (IMF) hanya menggunakan

oklusi antar gigi rahang atas dan bawah sebagai acuan, sedangkan ORIF

melakukan fiksasi patah tulang langsung pada tempat patah tulang sehingga

didapat hasil fungsional dan estetik yang lebih bagus (Perry dan Booth, 2004;

Suuronen dkk., 2007; Gerlach dkk., 2007).

Penggunaan alat fiksasi untuk mengkoreksi patah tulang wajah dan rahang

serta tulang-tulang kecil seperti pada tangan (carpal, metacarpal dan phalange)

dan kaki (tarsal, metatarsal dan phalange) telah menjadi prosedur rutin pada

empat dekade terakhir dengan menggunakan alat yang kaku dan rigid, diawali

dengan menggunakan plat dan sekrup (plate & screw) dari material logam

(biometal) seperti titanium, titanium-alloy atau krom kobalt. Material logam

titanium yang digunakan sebagai alat fiksasi patah tulang memiliki kekuatan dan

kekakuan yang tinggi. Meskipun penggunaan material ini pada awalnya

menunjukkan keberhasilan secara klinis (Van-Sickels dkk., 1986; Tulasne &

Schendel, 1989; Mazzonetto dkk., 2004), tetapi kekuatan dan kekakuan yang

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

3

terlalu tinggi tersebut juga menyebabkan terjadinya stimulus mekanis pada tulang

di bawahnya secara terus menerus (Tabel 1.1).

Tabel 1.1 Perbandingan karakteristik mekanis tulang dan biomaterial (Murugan dan

Ramakrishna, 2004)

Tabel 1.1 menunjukkan karakteristik mekanis material logam seperti

titanium, titanium-alloy, stainless steel dan krom kobalt alloy yang terlalu tinggi

bila dibandingkan dengan karakteristik mekanis tulang kortikal, sehingga

menyebabkan atropi tulang di bawah plat dan selanjutnya menyebabkan gangguan

pertumbuhan tulang terutama pada anak-anak (Kennady dkk., 1989; Brodke dkk.,

2001). Kekurangan material logam lainnya adalah material ini secara visual dapat

terlihat atau teraba (visibility or palpability), sekrup mudah longgar atau terlepas

(loosening) dan sensitif terhadap dingin (cold hypersensitivity) (Suuronen, 1991;

Bessho dkk., 1995; Jacobs dkk., 1998; Cilasun dkk., 2006). Material logam ini

menyebabkan gangguan pencitraan (imaging) pada computed tomography scan

(CT–Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI), sehingga mengganggu

interpretasi radiograf pada proses penyembuhan patah tulang. Material logam ini

juga merupakan penghalang pada pasien yang membutuhkan terapi radiasi (Scher

dkk., 1988; Mazzonetto dkk., 2004; Dhol dkk., 2008).

Material Young’s modulus

(GPa)

Tensile strength

(MPa)

Compressive strength

(MPa)

Tulang

Kortikal 14–20 50–150 170–193

Kanselus 0,05–0,5 10–20 7–10

Biomaterial

Ti 110 300–740 550

Ti–6Al–4V alloy 120 860–1140 860

Stainless steel 190 500–950 600

Co–Cr alloy

SR PLLA–PDLA (70:30)

210

8,5

665–1277

50–120

655

900

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

4

Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa material logam titanium juga

mempunyai beberapa kekurangan seperti adanya penyebaran ion-ion logam yang

berakumulasi pada beberapa organ seperti kelenjar limfe regional (lymph nodes)

(Schliephake dkk., 1993; Jorgenson dkk., 1997) dan sering menimbulkan reaksi

alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan

perdebatan perlunya dilakukan operasi pengambilan kembali material fiksasi

patah tulang, yang bila dilakukan akan menambah waktu perawatan dan

pemulihan serta peningkatan jumlah biaya perawatan. Material fiksasi patah

tulang yang bisa diserap tubuh (biodegradable) berkembang untuk mengatasi

kekurangan material fiksasi dari titanium dan menghindari operasi sekunder

tersebut.

Penggunaan material polimer biodegradabel sebagai alat fiksasi patah

tulang masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Penurunan stabilitas kekuatan

mekanis yang terlalu cepat sebelum terjadinya penyembuhan tulang dan toksisitas

yang tinggi akibat produk degradasi yang berlebihan yang disebabkan degradasi

yang terlalu cepat, menyebabkan penggunaan material ini belum menjadi

alternatif sebagai pengganti titanium (Bergsma dkk., 1993; Bostman, 1998;

Kallela dkk., 2005).

Material fiksasi patah tulang yang bisa diserap tubuh seharusnya memiliki

karakteristik antara lain cukup kaku (semi rigid), stabil dan dapat terdegradasi

secara sempurna tanpa berbagai komplikasi. Selama proses degradasi, material ini

harus tetap memiliki kekuatan yang cukup stabil sampai terjadinya penyembuhan

tulang (Peltoniemi, 2000; Hasegawa dkk., 2006). Studi klinis menunjukkan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

5

beberapa kekurangan penggunaan material fiksasi patah tulang yang bisa diserap

tubuh seperti penurunan kekuatan mekanis dan terjadinya pembengkakan steril

dalam jangka panjang (late aseptic swelling) (Bergsma dkk., 1993; Tegnander

dkk., 1994; Bostman dkk., 1998; Kallela dkk., 2005), penyembuhan tulang yang

tidak sempurna di bawah plat (Pihlajama dkk., 1992; Matsusue dkk., 1996) dan

pergerakan plat (Donigian dkk., 1993; Bostman dkk., 1989; Ahl dkk., 1994).

Alat fiksasi patah tulang biodegradabel yang paling banyak digunakan di

pembedahan tulang wajah dan rahang serta tulang-tulang kecil seperti pada tangan

dan kaki berasal dari material polimer kristalin yaitu poly-L-lactic acid (PLLA).

Material ini pada awalnya digunakan untuk penjahitan luka yang bisa diserap

tubuh (bioresorbable suture material) seperti halnya polyglycolic acid (PGA),

polydioxanone, polyglactin dan catgut, sehingga tidak perlu diambil kembali

(Herrmann dkk., 1970). Alat fiksasi patah tulang biodegradabel dari material

PLLA, seperti halnya titanium juga memiliki karakteristik mekanis yang tinggi

dibandingkan tulang kortikal. Tabel 1.1 menunjukkan alat fiksasi patah tulang

komersial dari material polimer yaitu SR PLLA–PDLA (70:30) memiliki modulus

young sebesar 8,5 GPa, kekuatan tarik sebesar 50–120 MPa, kekuatan tekuk

sebesar 275–400 MPa dan kekuatan tekan sebesar 900 MPa. Karakteristik

mekanis yang tinggi tersebut tidak menyebabkan transfer tekanan pada tulang

karena akan berkurang secara bertahap akibat proses degradasi (Mazzonetto dkk.,

2004; Yerit dkk., 2005).

Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa SR PLLA–PDLA (70:30)

bukan sebagai material fiksasi patah tulang yang ideal karena masih terjadi reaksi

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

6

benda asing akibat tingginya produk berupa kristal selama proses degradasi

(Dawes dan Rushton, 1994; Kallela dkk., 1999). Monomer asam laktat (lactic

acid) yang lepas selama degradasi menimbulkan reaksi lokal dan sistemik berupa

respon seluler pada tempat implan (Wahl dan Czernuszka, 2006). Respon seluler

yang terjadi akibat penurunan pH lokal memudahkan pelepasan prostaglandin

(PGE2) oleh fibroblas dan makrofag, yang merupakan mediator kimia dan sebagai

penyebab resorbsi tulang (Dawes dan Rushton, 1994; Wahl dan Czernuszka,

2006). Untuk itu, merupakan suatu tantangan menggunakan material polimer

biodegradabel lain yang memiliki karakteristik mekanis dan biokompatibilitas

yang baik sebagai material fiksasi patah tulang yang bisa diserap tubuh, seperti

Polivinil Alkohol (PVA).

Penggunaan Polivinil Alkohol (PVA) meningkat sebagai pengganti

jaringan tubuh yang rusak akibat trauma atau penyakit, karena memiliki sifat

fisikokemikal terutama sifat bio-tribological yang sangat baik. PVA menunjukkan

keunggulan terhadap interaksi permukaan yaitu tahan terhadap gesekan (friction)

dan keausan (wearness), serta memiliki permukaan yang licin (lubrication),

sehingga dapat mencegah terjadinya erosi dan korosi (Zheng dkk., 1998;

Stammen dkk., 2001; Suciu dkk., 2004). PVA merupakan material biodegradabel

(Goodship dan Jacobs, 2005) dan memiliki biokompatibilitas yang sangat baik

(Covert dkk., 2003; Kobayashi dkk., 2005). Material ini telah digunakan pada

beberapa aplikasi biomedis seperti drug delivery, lensa kontak, graf tulang,

penutup luka dan banyak digunakan untuk perbaikan jaringan lunak sendi lutut

(articular cartilage) (Noguchi dkk., 1991; Pan dkk., 2007).

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

7

Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa polimer PVA memiliki

kekuatan mekanis yang lemah sebagai material fiksasi patah tulang rahang yaitu

memiliki rerata kekuatan tarik 13,01 MPa (Gambar 1.1). Dipandang perlu

penambahan suatu material sebagai penguat untuk meningkatkan kekuatan

mekanisnya.

Gambar 1.1 Rerata kekuatan mekanis pada uji pendahuluan

Material yang digunakan sebagai penguat (reinforcement) untuk

meningkatkan kekuatan mekanis adalah catgut, yaitu benang untuk penjahitan

luka yang bisa diserap tubuh (bioresorable suture). Catgut berasal dari kolagen

usus (intestine) domba dan telah digunakan secara luas di bidang medis termasuk

ortopedi untuk penutup jaringan yang dalam, sehingga tidak perlu diambil

kembali. Material ini terdegradasi secara lengkap oleh enzim proteolitik dalam

waktu 90 hari (Kruger, 1984). Catgut bila digunakan sebagai material penjahitan

0

5

10

15

20

25

30

35

40

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Ke

kuat

an T

eku

k (M

Pa)

Ke

kuat

an T

arik

(M

Pa)

Jenis Material

Kuat Tarik

Kuat Tekuk

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

8

luka, memiliki kekuatan tarik yang baik dan bertahan selama 7 hari. Penambahan

lapisan krom (chromic acid salts) meningkatkan kekuatan tariknya dan bertahan

lebih lama menjadi 21 hari (Mead, 1954). Belum diketahui stabilitas kekuatan

tarik material ini bila digunakan untuk penguat pada komposit sebagai material

fiksasi patah tulang.

Dari penelitian pendahuluan, penambahan penguat catgut dapat

meningkatkan rerata kekuatan tarik polimer PVA yaitu dari 13,01 MPa menjadi

21,5 MPa (Gambar 1.1). PVA yang diperkuat catgut tidak memiliki ketebalan dan

kekakuan sehingga tidak dapat dilakukan uji tekuk. Menurut Brydson (1999),

ketebalan dan kekakuan polimer dapat ditingkatkan dengan penambahan beberapa

zat tambahan (additive), salah satunya adalah penambahan filler. Pada penelitian

ini, yang digunakan sebagai material pengisi (filler) adalah hidroksiapatit (HA)

yaitu suatu material bioaktif dan osteokonduktif serta memiliki biokompatibilitas

yang baik.

Komposit adalah kombinasi dua atau lebih material yang berbeda,

memiliki ikatan yang cukup baik antara mereka (Vasiliev dan Morozov, 2001;

Ramakrishna, dkk., 2004). Material komposit adalah material yang mengandung

matrik yang berperan mengikat penguat (reinforcement) terus menerus dan

memberikan bentuk sehingga menjadi lebih kuat dan kaku. Matrik merupakan

struktur yang terlemah dari komposit, sebaliknya penguat merupakan struktur

yang terkuat (Miracle dan Donaldson, 2001).

Hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2] merupakan komponen anorganik utama

dari jaringan tulang dan gigi yang dimiliki mamalia (Williams, 1990).

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

9

Hidroksiapatit merupakan material dengan kandungan utama kalsium dan fosfat,

memiliki panjang partikel antara 102–10

6 nm dengan perbandingan rasio molar Ca

dan P adalah 1,2–2 sehingga memiliki sifat yang stabil di dalam tubuh manusia

(Specialia, 1971). Hidroksiapatit telah digunakan secara luas sebagai material

bioaktif untuk regenerasi tulang, memiliki biokompatibilitas yang baik dengan

jaringan keras, mampu melekat dengan tulang secara langsung, sangat

osteokonduktif, tidak antigenik dan sitotoksik, karena secara komposisi kimia,

biologis dan kristalnya mirip dengan tulang (Suchanek dan Yoshimura, 1998).

Hidroksiapatit memiliki kekuatan tekan yang baik tetapi tidak memiliki

elastisitas yang baik karena kekuatan tariknya yang lemah (Booth dkk, 2007).

Hidroksiapatit bersifat rapuh dan susah beradaptasi, sehingga sifat-sifat tersebut

menyebabkan hidroksiapatit memiliki keterbatasan dalam aplikasinya yaitu hanya

dapat digunakan untuk aplikasi yang mendapat tekanan yang rendah (Dewith

dkk., 1981; Salyer dan Hall, 1995; Friedman dkk., 1998). Kerapuhan HA

menyebabkan material ini tidak dapat digunakan tanpa dikompositkan dengan

material lain untuk menggantikan tulang kortikal yang memiliki karakteristik

mekanis yang lebih tinggi (Bonfield, 1984). HA sebagai keramik bioaktif, selain

digunakan untuk meningkatkan diferensiasi serta pertumbuhan sel osteoblas, juga

digunakan untuk mengisi cacat tulang pada operasi gigi dan tulang serta sebagai

lapisan (coating) pada permukaan implan logam untuk meningkatkan integrasi

implan dengan tulang host (Anusavice, 2003).

Sintesis hidroksiapatit dibuat dari berbagai sumber, baik dari sumber alami

maupun sintesis secara kimia. HA yang diproduksi dari metode sintesis kimiawi

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

10

merupakan metode yang paling sering dipakai, karena merupakan metode yang

bisa diandalkan untuk menghasilkan stokiometri HA tanpa adanya mineral seperti

Na, Mg, K, F dan Cl (Herliansyah dkk., 2007). HA yang disintesis secara kimiawi

membutuhkan material awal (reagen-reagen) yang mahal, menyebabkan harga

yang relatif lebih tinggi daripada HA yang disintesis dari sumber alam.

Salah satu HA yang disintesis dari sumber alam (natural sources) adalah

HA bovine yang disintesis dari tulang sapi yang tersedia melimpah di Indonesia.

Material ini memiliki morfologi dan struktural yang sama dengan tulang manusia

(Goren dkk., 2004). Penelitian oleh Herliansyah dkk. (2006), proses pemanasan

(kalsinasi) serbuk tulang sapi pada temperatur ±900 oC akan langsung

menghasilkan komposisi HA murni. HA kalsit dalam proses sinteringnya melalui

reaksi hidrotermal, sebaliknya membutuhkan larutan diamonium hydrogen

phosphate (DHP/(NH4)2HPO4) yang relatif mahal untuk mendapatkan bentuk HA

(Furuta dkk., 1998; Katsuki dkk., 1998).

Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa komposit PVA–HA bovine

memiliki rerata kekuatan mekanis yang lemah sebagai material fiksasi patah

tulang rahang yaitu rerata kekuatan tarik 15,3 MPa dan rerata kekuatan tekuk 21,2

MPa (Gambar 1.1). Selanjutnya dengan penambahan catgut sebagai penguat,

kekuatan mekanis komposit PVA–HA bovine dapat ditingkatkan yaitu rerata

kekuatan tarik 29,6 MPa dan rerata kekuatan tekuk 33,9 MPa (Gambar 1.1).

Metode lain untuk meningkatkan karakteristik mekanik dari komposit

selain penambahan penguat (reinforcement) adalah dengan penambahan sejumlah

agen crosslinker (Brydson, 1999). PVA sebagai hidrogel memiliki gugus hidroksil

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

11

atau amino dalam rantai utamanya, sehingga material yang sering digunakan

sebagai crosslinker adalah glutaraldehid, asetaldehid dan formaldehid

(Swieszkowski dkk., 2008). Penambahan glutaraldehid 1% (v/v) terhadap larutan

PVA–HA bovine pada penelitian pendahuluan dapat meningkatkan rerata

kekuatan tarik dari 29,6 MPa menjadi 34,85 MPa dan rerata kekuatan tekuk dari

33,9 MPa menjadi 37,04 MPa (Gambar 1.1).

Kebutuhan kekuatan mekanis komposit PVA–HA bovine dengan penguat

catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker untuk material fiksasi patah tulang

rahang dan tulang-tulang kecil mengacu pada beberapa kondisi, yaitu kekuatan

mekanis tulang kortikal (Murugan dan Ramakrishna, 2004), material fiksasi patah

tulang komersial dari PLLA (Mazzonetto dkk., 2004) dan kekuatan otot

pengunyahan (Wong dkk., 2010), seperti ditampilkan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2 Perbandingan kekuatan tarik antara tulang kortikal, PLLA dan

m. masetter

50 50

15

150

120

25

0

40

80

120

160

200

Tulang Kortikal PLLA M.Masetter

Ke

kuat

an T

arik

(M

Pa)

Jenis Material

Min Max

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

12

Menurut Temenoff dan Mikos (2008), PVA merupakan polimer hidrofilik

karena banyak mempunyai gugus OH dan polimerisasi terjadi dengan cara

poliadisi. Selanjutnya menurut Temenoff dan Mikos (2008), mekanisme

biodegradasi polimer dapat terjadi dalam dua cara, yaitu mekanisme pelarutan

(swelling/dissolution) dan mekanisme pemotongan rantai (chain scission).

Biodegradasi dengan cara pelarutan terjadi melalui penyerapan air ke dalam

polimer yang menyebabkan adanya jarak antar makromolekul. Pada mekanisme

ini, air berperan sebagai plastizer yang menyebabkan material polimer menjadi

lebih lunak (ductile) yaitu terjadi pengurangan ikatan antara rantai sekunder.

Kondisi ini menyebabkan penurunan kristalinitas polimer tersebut.

Material yang digunakan untuk pengujian biodegradasi adalah larutan PBS

(phosphate–buffered saline) pH 7,4 (Pamula dkk., 2006; Annie dkk., 2008;

Vaananen dkk., 2009; Tsuji dkk., 2011). PBS digunakan untuk pengujian

biodegradasi karena dapat dilakukan pada polimer yang memiliki produk

degradasi dalam lingkungan asam atau basa. Gugus buffer posfat berperan untuk

mempertahankan pH tersebut. Osmolaritas dan konsentrasi ion dari larutan PBS

berupa larutan isotonis yaitu sesuai dengan cairan tubuh manusia. PBS juga

memiliki tingkat kristalisasi yang tinggi, sehingga kristalin mikro dapat dengan

mudah dikontrol sehingga dapat dipertahankan kristalinitas yang sama (Cho dkk.,

2000).

Menurut Temenoff dan Mikos (2008), indikator terjadinya degradasi

adalah adanya perubahan warna, keretakan (crazes) dan penurunan kekuatan

mekanis. Sedangkan menurut Laitinen dkk. (1992) dan Gijpferich (l994),

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

13

parameter yang digunakan untuk memonitor terjadinya biodegradasi selain

penurunan berat molekul adalah menurunnya kekuatan mekanis.

Pengujian biodegradasi in vitro pada material komposit PVA–HA bovine

dengan penguat catgut sebagai material fiksasi patah tulang rahang,

sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Pada penelitian ini, uji

biodegradasi dilakukan dengan perendaman spesimen uji pada larutan PBS pH 7,4

pada temperatur 37 oC selama 30 dan 60 hari. Periode waktu yang digunakan

tersebut didasarkan pada proses penyembuhan patah tulang yaitu terbentuknya

kalus sekunder pada 20–60 hari (Weinman dan Sicher, 1955).

Biokompatibilitas didefinisikan sebagai kemampuan dari material untuk

menimbulkan suatu respon yang baik jika material tersebut digunakan pada tubuh

(Powers dan Sakaguchi, 2006). Biokompatibilitas menentukan apakah material

tersebut dapat digunakan di dalam tubuh, di samping sifat fisikokimia, kemudahan

proses, estetika dan harga yang terjangkau. Secara umum biokompatibilitas dapat

diukur berdasarkan sitotoksisitas sistemik, setempat dan kemampuan

menimbulkan alergi serta karsinogenik (Anusavice, 2003). Tujuan uji

biokompatibilitas adalah untuk mengetahui interaksi antara material terhadap

jaringan tubuh (Williams, 1990). Respon inflamasi ditunjukkan dengan

peningkatan jumlah sel neutrofil terutama di bagian tepi dari jaringan yang

mengalami reaksi toksisitas (Robbins dan Angell, 1976). Reaksi atau respon imun

terjadi apabila terdapat penolakan terhadap material implan berupa reaksi

hipersensitivitas (Roitt dkk., 1998).

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

14

1.2 Perumusan Masalah

a. Apakah perbandingan konsentrasi komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA

bovine (60:40) fraksi berat dengan penguat catgut dan glutaraldehid sebagai

crosslinker mempunyai kekuatan mekanis yang memadai untuk material

fiksasi patah tulang rahang dan tulang-tulang kecil?

b. Apakah komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine (60:40) fraksi berat

dengan penguat catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker memiliki

kekuatan mekanis yang stabil untuk material fiksasi patah tulang rahang dan

tulang-tulang kecil setelah perendaman dalam larutan PBS pH 7,4 pada

temperatur 37 oC selama 30 dan 60 hari?

c. Apakah komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine dengan penguat

catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker menimbulkan reaksi toksisitas

pada hewan coba?

d. Apakah komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine dengan penguat

catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker menimbulkan reaksi

hipersensitivitas pada hewan coba?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum:

Untuk mengetahui apakah komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine

dengan penguat catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker memiliki kekuatan

mekanis yang memadai dan stabil untuk material fiksasi patah tulang rahang dan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

15

tulang-tulang kecil serta memiliki biokompabilitas yang baik tanpa menimbulkan

efek toksisitas dan hipersensitivitas pada hewan coba.

1.3.2 Tujuan Khusus:

a. Menentukan perbandingan konsentrasi komposit Polivinil Alkohol (PVA)–

HA bovine fraksi berat dengan penguat catgut dan glutaraldehid sebagai

crosslinker sehingga dapat memiliki kekuatan mekanis yang memadai untuk

material fiksasi patah tulang rahang dan tulang-tulang kecil.

b. Mengkaji stabilitas kekuatan mekanis komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA

bovine (60:40) fraksi berat dengan penguat catgut dan glutaraldehid sebagai

crosslinker untuk material fiksasi patah tulang rahang dan tulang-tulang kecil

setelah perendaman dalam larutan PBS pH 7,4 pada temperatur 37 oC selama

30 dan 60 hari.

c. Mengkaji pengaruh komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine dengan

penguat catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker terhadap timbulnya

reaksi toksisitas pada hewan coba.

d. Mengkaji pengaruh komposit Polivinil Alkohol (PVA)–HA bovine dengan

penguat catgut dan glutaraldehid sebagai crosslinker terhadap timbulnya

reaksi hipersensitivitas pada hewan coba.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

16

1.4 Keaslian dan Kedalaman Penelitian

Penelitian tentang material fiksasi patah tulang yang bisa diserap tubuh

(biodegradabel) telah banyak dilakukan, dengan menggunakan material polimer

sintetis polylactide (Tabel 1.2).

Tabel 1.2 Matrik penelitian material fiksasi tulang yang bisa diserap tubuh

Material Peneliti Tahun Sumber

PolyLactic Acid

(PLA)

Kulkarni, dkk. 1966 Polylactic acid for surgical implants. Arch Surg.

93, hal. 839–843.

Cutright, dkk. 1971 Fracture reduction using a biodegradable

material, polylactic acid. J Oral Surg. 29, hal.

393–397.

Poly-L- lactide Acid

(PLLA) Rokkanen, dkk. 1985 Biodegradable implants in fracture fixation:

early results of treatment of fractures of the

ankle. Lancet 1, hal. 1422–1424.

Leenslag, dkk.

1.

1987 Resorbable materials of poly(l-lactide). In vivo

and in vitro degradation. Biomaterials 8, hal.

311–314.

Bos, dkk. 1991 Degradation of and tissue reaction to

biodegradable poly(L-lactide) for use as internal

fixation of fractures: a study in rats.

Biomaterials 12, hal. 32–36.

Bergsma, dkk. 1993 Foreign body reactions to resorbable poly(L-

lactide) bone plates and screws used for the

fixation of unstable zygomatic fractures. J Oral

Maxillofac Surg. 51, hal. 666–670.

Bergsma, dkk. 1995 Late degradation tissue response to poly(L-

lactide) bone plates and screws. Biomaterials

16, hal. 25–31.

Matsusue, dkk. 1997 A long-term clinical study on drawn poly L-

lactide implants in orthopaedic surgery. J Long

Term Effect Med Implants 7, hal. 119–137.

Self Reinforced

PLLA

Tormala, dkk. 1990 1. Totally biodegradable self-reinforced rods and

screws for internal fixation of bone fractures.

Acta Othop Scand., hal. 217–227.

Suuronen, dkk. 1991 Comparison of absorbable self-reinforced poly-

l-lactide screws and metallic screws in the

fixation of mandibular condyle osteotomies.

Experimental study in sheep. J Oral Maxillofac

Surg. 49, hal. 989–995.

Pihlajama, dkk. 1992 1. Absorbable pins of self-reinforced poly L-lactic

acid for fixation of fractures and osteotomies, J

Bone Joint Surg.74-B, hal. 857–863.

Suuronen, dkk. 1992 Comparison of absorbable self-reinforced

multilayer poly-L-lactide and metallic plates for

the fixation of mandibular body osteotomies: an

experimental study in sheep. J Oral Maxillofac

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

17

Surg. 50, hal. 255–262.

Suuronen, dkk.

1992 Sagittal split osteotomy fixed with

biodegradable, self-reinforced poly-L-lactide

screws. A pilot study in sheep. Int J Oral

Maxillofac Surg. 21, hal. 303–308.

Suuronen, dkk. 1992 Comparison of shear strength of osteotomies

fixed with absorbable self-reinforced poly-l-

lactide and metallic screw. J Mater Sci Mater

Med. 3, hal. 288–292.

SR-P(70L:

30DL)LA Haers dan Sailer 1998 Biodegradable self-reinforced poly-L/DL lactide

plate and screw in bimaxillary orthognathic

surgery: short-term skeletal stability and

material related failures. J Craniomaxillofac

Surg. 26, hal. 363-372.

Kallela, dkk. 1999 Fixation of mandibular body osteotomies using

biodegradable amorphous self-reinforced

(70L:30DL) polylactide or metal lag screws: an

experimental study in sheep. J Craniomaxillofac

Surg. 27, hal. 124–133.

Yerit, dkk. 2002 Fixation of mandibular fractures with

biodegradable plate and screw. Oral Surg Oral

Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 94, hal.

294-300.

Mazzonetto, dkk 2004 A retrospective evaluation of rigid fixation in

orthognathic surgery using a biodegradable self-

reinforced (70L:30DL) polylactide. Int J Oral

Maxillofac Surg. 33, hal. 664–669.

Yerit, dkk. 2005 Biodegradable fixation of mandibular fractures

in children: stability and early results. Oral Surg

Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 100,

hal. 17-24.

Wildemann, dkk. 2005 Short term in vivo biocompatibility testing of

biodegradable poly(D,L-lactide)-growth factor

coating for orthopaedic implants. Biomaterials

26(18), hal. 4035-4040.

Vaananen, dkk. 2009 Fixation properties of a biodegradable “free-

form” osseosintesis plate with screw with cut-

off screw heads: Biomechanical evaluation over

26 weeks. Oral Surg Oral Med Oral Pathol

Oral Radiol Endod. 107, hal. 462–468

Penelitian terkini seperti ditunjukkan pada Tabel 1.2 bahwa material

polimer sintetis yang digunakan sebagai material fiksasi patah tulang adalah

komposit PLLA dan PDLA yaitu dalam bentuk self-reinforced (70L:30DL)

polylactide. Penelitian oleh Kalela dkk. (1999); Wahl dan Czernuszka (2006),

menunjukkan bahwa PLLA bukan sebagai material fiksasi patah tulang yang ideal

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

18

karena masih terjadi reaksi benda asing akibat tingginya produk berupa kristal dari

PLLA selama proses degradasi, sehingga menyebabkan resorbsi tulang. Untuk itu,

merupakan suatu tantangan menggunakan material polimer biodegradabel lain

yang memiliki karakteristik mekanis dan biokompatibilitas yang baik sebagai

material fiksasi patah tulang rahang yang bisa diserap tubuh, seperti Polivinil

Alkohol (PVA).

Polivinil Alkohol (PVA) telah banyak digunakan dibidang medis sebagai

drug delivery, lensa kontak, graf tulang, penutup luka, dan pengganti jaringan

lunak sendi lutut (articular cartilage), yang semuanya tidak membutuhkan

kekuatan mekanis yang tinggi. Penelitian penggunaan PVA dibidang medis

ditampilkan pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3 Aplikasi PVA dibidang medis

Material Peneliti Sumber Tahun Aplikasi

PVA Peppas dan

Merrill

Development of semicrystalline poly(vinyl

alcohol) hydrogels for biomedical

application. J Biomed Mater Res. 11, hal.

423-434

1977 Jaringan sendi

lutut

PVA Noguchi, dkk. Poly(vinyl alcohol) hydrogel as an artificial

articular cartilage: evaluation of

biocompatibility. Appl. Biomaterials 2(2),

hal. 101–107

1991 Jaringan sendi

lutut

PVA Kobayashi, dkk. Collagen immobilized PVA hydrogel-

hydroxyapatite composites prepared by

kneading methods as a material for

peripheral cuff of artificial cornea.

Materials Science and Engineering C 24,

hal. 729–735

2004 Kornea buatan

nanoHA-

PVA

Fenglan, X.,

Yubao, L., dan

Xuejiang, W.,

Preparation and characterization of nano-

hydroxyapatite/poly (vinyl alcohol)

hydrogel biocomposite. Journal of

Materials Science 39, hal. 5669–5672

2004 Jaringan sendi

lutut

PVA-gel Pal, dkk. Preparation and characterization of

polyvinyl alcohol–gelatin hydrogel

membranes for biomedical applications.

AAPS Pharm Sci Tech. 8(1), Article 21.

2007 Penutup luka

dan drug

delivery

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

19

PVA Pan, dkk. A study on the friction properties of

poly(vinyl alcohol) hydrogel as articular

cartilage against titanium alloy. Wear 262,

hal. 1021–1025.

2007 Jaringan sendi

lutut

nanoHA-

PVA

Pan dan Xiong Study on compressive mechanical

properties of nanohydroxyapatite reinforced

poly(vinyl alcohol) gel composites as

biomaterial, J Mater Sci: Mater Med. 20,

hal. 1291–1297

2009 Jaringan sendi

lutut

PVA/Gel/

HA

Tontowi, dkk. Effect of PVA Coating on Diametral

Tensile Strength of Porous Block of

Gelatine/Hydroxyapatite Composite,

International Seminar of QIR, Denpasar,

Bali.

2011 Graf tulang

Penelitian dengan menggunakan polimer Polivinil Alkohol (PVA) ini

berbeda dari penelitian-penelitian pada Tabel 1.2 dan Tabel 1.3 tersebut di atas.

Keterbaruan dan keaslian pada penelitian ini adalah:

a. Polivinil Alkohol (PVA) selama ini digunakan pada aplikasi yang tidak

membutuhkan kekuatan mekanis yang tinggi. Pada penelitian ini dibutuhkan

kekuatan mekanis yang tinggi sebagai material fiksasi patah tulang rahang

dan tulang-tulang kecil. Kekuatan mekanis polimer PVA yang rendah

tersebut dapat ditingkatkan dengan penambahan suatu material sebagai

penguat (reinforcement).

b. Catgut yang selama ini digunakan sebagai material untuk penjahitan luka

dalam yang bisa diserap tubuh (bioresorable suture), digunakan sebagai

penguat (reinforcement) pada komposit PVA–HA bovine dengan tujuan

untuk meningkatkan kekuatan mekanis.

c. Hidroksiapatit digunakan sebagai filler pada komposit yang bertujuan untuk

meningkatkan kekakuan komposit. Hidroksiapatit disintesis dari tulang sapi,

merupakan material lokal yang ketersediaannya melimpah di Indonesia.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

20

Penggunaan material lokal yang relatif lebih murah dapat menghasilkan biaya

produksi yang lebih murah dibandingkan dengan alat fiksasi patah tulang

komersial.

d. Pada penelitian ini perbandingan konsentrasi polimer PVA dan HA (60:40)

fraksi berat menunjukkan kekuatan mekanis yang optimal dibandingkan

kelompok lainnya. Belum tercapainya kekuatan mekanis yang optimal

menyebabkan aplikasi material komposit ini dibatasi pada kasus patah tulang

dengan kekuatan mekanis yang tidak terlalu tinggi seperti patah tulang rahang

dan tulang-tulang kecil seperti pada tangan dan kaki.

e. Penggunaan material sebagai alat fiksasi patah tulang yang seluruhnya bisa

diserap tubuh (biodegradable), dapat mengatasi kekurangan material fiksasi

dari titanium terutama untuk menghindari operasi sekunder. Pada penelitian

ini dibatasi hanya sampai pembuatan spesimen uji. Diperlukan penataan

catgut yang berbeda dan penambahan material lain sehubungan pembuatan

prototipe berupa plate dan screw.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu material yang di

samping dapat digunakan sebagai material fiksasi patah tulang rahang, dapat juga

digunakan di bidang ortopedi sebagai material fiksasi patah tulang rahang dan

tulang-tulang kecil seperti pada tangan (carpal, metacarpal dan phalange) dan

kaki (tarsal, metatarsal dan phalange). Penggunaan material biodegradabel dapat

bermanfaat bagi pasien yaitu tidak diperlukannya pembedahan tambahan untuk

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75528/potongan/S2-2014... · alergi (Rosenberg dkk., 1993). Beberapa kekurangan tersebut menimbulkan perdebatan

21

pengambilan alat fiksasi patah tulang, yang dapat mengurangi total biaya

perawatan. Penggunaan material yang biokompatibel, tidak menimbulkan reaksi

toksisitas dan sensitivitas dan terjadi penyembuhan tulang yang lebih baik

terutama pada anak-anak. Manfaat bagi klinisi adalah diagnosis pascaoperasi lebih

mudah ditegakkan karena material ini tidak menyebabkan gangguan pencitraan

(imaging) pada radiograf (MRI atau CT scan).