BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Taman Nasional
adalah kawasan pelestarian alam yang ada di Indonesia yang masih memiliki ekosistem
asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Taman Nasional (TN) dan kawasan konservasi lainnya merupakan aset umum
yang ditetapkan pemerintah dengan tujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati
dan jasa lingkungan. Taman Nasional secara khusus ditetapkan untuk pelestarian
tempat dengan perwakilan ekosistem tertentu dan melindungi jenis-jenis tumbuhan dan
hewan yang unik dan khas untuk daerah tertentu. Pembentukan Taman Nasional
merupakan upaya sistimatis dari negara untuk proteksi lingkungan agar tidak
mengalami kerusakan sehingga tetap melindungi dan melestarikan sumber-sumber
penting tersebut. Keberlangsungan sumber daya alam hayati ini penting bagi
kelangsungan sifat alamiah dari alam, serta dapat dikatakan sebagai sumber ekonomi
bagi masyarakat, dan juga merupakan sumber devisa bagi negara. Sumber alam ini
mempunyai nilai besar, dan pengelolaannya melibatkan berbagai kepentingan di
dalamnya, baik masyarakat yang berada di dalam dan sekitarnya, pemerintah maupun
pemilik modal. Keanekaragaman sumber daya alam hayati ini dimanfaatkan sebesar-
besarnya bagi kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung. (Rudolf, 2006: 1)
2
Salah satu taman nasional yang ada di Indonesia yaitu Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (TNGGP). TNGGP adalah Unit Pelaksana Teknis Pusat Direktorat
Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (UPT PHKA) Kementerian
Kehutanan berkedudukan di Cibodas Cipanas Cianjur. TNGGP merupakan salah satu
dari 5 (lima) Taman Nasional pertama di Indonesia yang diumumkan oleh Menteri
Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980 dengan luas 15.196 Ha. Kemudian TNGGP
mengalami perluasan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-
II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang penunjukan dan perubahan fungsi kawasan cagar
alam, taman wisata alam, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas pada kelompok
hutan gunung gede pangrango. Surat keputusan tersebut ditindaklanjuti dengan berita
acara serah terima pengelolaan hutan dari Perum Perhutani unit III Jawa Barat dan
Banten kepada Balai Besar TNGGP No. 002/BAST-HUKAMAS/III/2009 dan
No.1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus 2009, menyatakan bahwa luas kawasan yang
diserahkan 7.655,030 ha sehingga luas total TNGGP menjadi 22.851,030 ha. Secara
administratif berada di Kabupaten Cianjur (Bidang Pengelolaan TN Wilayah I Cianjur),
Kabupaten Sukabumi (Bidang Pengelolaan TN Wilayah II Sukabumi dan Kabupaten
Bogor (Bidang PTN Wilayah III Bogor ). Sebagai UPT PHKA Kementerian Kehutanan
yang berada di wilayah, TNGGP dalam pengelolaannya tidak dapat berdiri sendiri atau
senantiasa berkoordinasi dengan instansi yang mengelola administratif wilayah baik
dengan Pemerintah Kabupaten Cianjur, Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan
Pemerintah Kabupaten Bogor juga stakeholders lain yang berada di ketiga wilayah
tersebut.
Dari sisi sejarah sebagai suatu kawasan konservasi, kawasan Gunung Gede
Pangrango, sebelum ditetapkan sebagai TN sejatinya memiliki rangkaian sejarah serta
3
landasan hukum panjang sejak tahun 1889 pada masa pemerintah Hindia Belanda, yang
diawali dengan penetapan Kebun Raya Cibodas dan areal hutan di atasnya sebagai
kawasan flora Pegunungan Pulau Jawa dan Cagar Alam.
TNGGP memiliki keanekaragaman hayati berupa fauna khas endemik Jawa,
seperti Macan Tutul (Panthera Pardus Javanicus), Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi),
Owa Jawa (Hylobatus Moloch), Surili (presbytis comata), trenggiling (Manis
Javanica), Kancil (Tragulus Javanicus), Kijang (Muntiacus Muntjak). Disamping itu
terdapat pula flora formasi hutan hujan tropis Pegunungan seperti Puspa (Schima
Wallicie), Rasamala (Altingia Excelsa), Jamuju (Podocarpus Imbricatus), Edelweiss
(Anaphalis Javanica), Kantong Semar (Nepenthes Gymnamphora) dan Rafflesia
Rochusseni. Karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sangat menarik
bagi wisatawan, ilmuwan dan pelajar untuk meneliti kawasan ini .
Pada perkembangannya kawasan TNGGP penting bagi Kabupaten Bogor,
Sukabumi dan Cianjur untuk penyangga kehidupan dan sumber air. Selain itu, TNGGP
memiliki nilai strategis yang menjadi penyangga Ibukota Jakarta terutama dalam hal
hydrologi dan pengendali iklim. Secara ekonomi kawasan ini mampu menjadi salah satu
andalan pendukung pertumbuhan ekonomi di tiga wilayah kabupaten tersebut.
Peranan penting kawasan Gunung Gede Pangrango tersebut belum sepenuhnya
didukung oleh kondisi ekosistem Gunung Gede Pangrango itu sendiri. Dengan kata lain
kawasan TNGGP saat ini dapat dikatakan sedang mengalami tekanan yang tinggi yang
disebabkan karena gangguan akibat berbagai aktivitas manusia yang sangat intensif di
sekitarnya. Gangguan tersebut berupa: (1) perubahan fungsi lahan secara regional; (2)
terganggunya hábitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa khas; (3) degradasi ekosistem;
4
dan (4) pengalihan status lahan kawasan TN menjadi lahan milik masyarakat melalui
proses sertifikasi lahan kawasan taman nasional menjadi hak milik masyarakat.
Secara umum pengalihan status lahan kawasan TN menjadi lahan milik
masyarakat melalui proses klaim 29,4 ha lahan Batu Karut, menggunakan mekanisme
penerbitan sertifikat tanah. Pengalihan status tersebut merupakan salah satu dari
berbagai persoalan agraria yang muncul di Indonesia. Persoalan agraria tersebut bisa
memicu konflik kepentingan yang tidak mudah diselesaikan. Konflik agraria di
Indonesia tersebut bukan sekedar masalah hukum semata, masalah agraria selalu
menyangkut konflik kepentingan lain yaitu masalah sosial, budaya, politik dan
ekonomi.
Konflik agraria menurut Ausland selalu meyangkut tentang jaringan-jaringan
sosial yang menjadi sarana bagi para pihak yang berkonflik untuk mendapatkan sumber
daya tanah. Salah satu agen yang sering terlibat dalam konflik agraria adalah para
investor. Mereka ini biasanya berkepentingan untuk mengembangkan proyek-proyek
pembangunan guna menanamkan modalnya yang memerlukan tersedianya tanah. Di
Botabek, Bandung Raya, Priangan Timur dan Cirebon, konflik agraria diwarnai oleh
masuknya investor yang bergerak dibidang sarana-sarana konsumsi kolektif misalnya
perumahan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya ( Wiradi, 2009:27).
Di Jawa Barat, konflik agraria juga terus meningkat khususnya di sektor
kehutanan, misalnya adanya kasus klaim tanah di TNGGP. Dalam kasus tersebut pihak
TNGGP kehilangan wilayahnya yaitu Petak 5 Batu Karut Bogor seluas 29,4 Ha yang
diklaim sebagai milik masyarakat dan terindikasi muncul mulai tahun 2006.
Konflik agraria kehutanan diatas ternyata bukan antara pihak TNGGP dengan
masyarakat tetapi sesungguhnya antara TNGGP berhadapan dengan pihak swasta yaitu
5
PT. Pasir Mas Perkasa (PMP). Oleh karena itu peta konflik menjadi sangat kompleks
sehingga perlu dikaji lebih mendalam untuk memahami mengenai pola-pola
kepentingan dan kontestasi dari para pihak dalam memperebutkan hak atas tanah yang
dipersengketakan.
1.2. Rumusan Masalah
Konflik perebutan kepemilikan lahan di TNGGP adalah perebutan hak milik
Petak 5 Batu Karut seluas 29,4 Ha. Di satu Pihak TNGGP mempunyai dasar hukum
dalam mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut, sementara di pihak lain masyarakat
juga mengklaim sehingga mensertifkatkan tanah tersebut meskipun di belakangnya
ada pihak swasta dalam hal ini PT PMP yang menggunakan legalitas kepemilikan
sertifikat atas nama masyarakat. Dengan kata lain ada lain ada “kerjasama” antara
swasta dan masyarakat untuk melakukan upaya kontrol atas Petak 5 Batu Karut.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana para aktor-
aktor dalam mengembangkan argumentasi dan strategi untuk mendapatkan akses,
kepemilikan dan kemanfaatan atas Petak 5 Batu Karut tersebut. Oleh karena, itu
rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengapa pihak swasta dalam hal ini PT. PMP mengklaim kepemilikan Blok Batu
Karut padahal masuk dalam pengelolaan TNGGP?
2. Mengapa masyarakat yang menjadi kepanjangan tangan PT. PMP dalam menguasai
obyek dengan cara menyertifikatkan tanah Blok Batu Karut ?
3. Bagaimana kontestasi pihak TNGGP dan PT. PMP dalam memperjuangkan
kepentingan menguasai Blok Batu Karut ?
6
4. Bagaimana solusi konflik kepemilikan Blok Batu Karut yang dilakukan oleh
TNGGP dan PT PMP ?
1.3.Tujuan Penelitian :
Berdasarkan pokok rumusan masalah tersebut diatas maka, tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk menjelaskan latar belakang munculnya konflik kepemilikan tanah Blok Batu
Karut ?
2. Untuk menjelaskan tentang peran kepentingan stakeholder dalam menguasai Blok
Batu Karut ?
3. Untuk menjelaskan Kekuatan dan strategi kontestasi stakeholder ?
4. Untuk merumuskan opsi kebijakan resolusi konflik yang bisa dilakukan dalam
konflik Blok Batu Karut ?
1.4. Manfaat Penelitian :
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai
pihak terutama :
1. Manfaat Teoritis
Sebagai sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam mengelola
sengketa pertanahan .
2. Kegunaan Praktis
Bagi TNGGP, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bogor, Pemerintah Daerah
Kabupaten Bogor dan Masyarakat dapat dijadikan acuan dalam mengambil keputusan
yang berkaitan dengan masalah pertanahan atau konflik pemanfaatan sumber daya alam
di TNGGP.
1.5. Tinjauan Pustaka
7
Tinjauan pustaka ini dimaksudkan menyajikan beberapa hasil penelitian tentang
konflik pemanfaatan agraria, pertanahan, sumber daya alam yang lebih dulu dilakukan
baik dengan objek TNGGP maupun diluar TNGGP. Umumnya studi yang dilakukan
membahas permasalahan yang terjadi di areal eks Perhutani (kawasan perluasan) dan
penanganannya bersifat sosial persuasive, mengingat dikawasan areal perluasan banyak
sekali aktivitas masyarakat yang sudah sangat bergantung di dalam kawasan sehingga
penangannya cenderung mengedepankan sisi pendekatan dan pemberdayaan agar
masyarakat lebih memahami nilai penting dari kawasan konservasi. Adapun penelitian
tersebut antara lain sebagai berikut :
Penelitian Karsodi (2007) meneliti tentang “Analisis Areal Eks Tumpang Sari
Perum Perhutani di Wilayah Perluasan TNGGP (studi kasus di dusun Gunung Putri
Desa Sukatani Resort Gunung Putri Seksi Konservasi Wilayah III Cianjur TNGGP)”
membahas konflik di areal eks Perhutani yang dijadikan kawasan konservasi. Studinya
menjelaskan tentang karakteristik pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di areal
perluasan TNGGP ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan di dapat hasil bahwa
Konflik yang terjadi berakar dari kurangnya lahan untuk pertanian sedangkan dengan
laju pertambahan penduduk kebutuhan akan lahan meningkat, kurangnya komunikasi
antara para pihak, kurangnya komunikasi, diantara masing-masing pihak, adanya
perbedaan kepentingan, pemahaman, peningkatan jumlah penduduk, keterbatasan
akses terhadap sumber daya alam dan keterpurukan ekonomi. Konflik masyarakat
dengan Perhutani adalah konflik terbuka, akan tetapi konflik masyarakat dengan taman
nasional setalah ada perluasan adalah konflik mencuat. Sedangkan konflik taman
nasional dengan stekholders lainnya adalah konflik laten. Menurut levelnya konflik
yang sudah terjadi setelah adanya perluasan taman nasional adalah konflik horisontal
8
dan konflik vertikal. Dikelompokan dan dianalisis berdasarkan kriteria-kriterianya
maka konflik yang terjadi termasuk konflik kepentingan dan konflik struktural.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Handasari (2013) dengan judul
“Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan TNGGP: Sikap dan Strategi Bertahan
Petani.” Studinya untuk mengetahui sampai sejauhmana resolusi konflik yang
dilakukan TNGGP mampu menyelesaikan persoalan penggarapan lahan di kawasan
perluasan TNGGP di Desa Ciputri Blok Sarongge Girang Cianjur. Hasil penelitian
yang dilakukan dihasilkan bahwa pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan TNGGP
di kawasan perluasan TNGGP di Desa Ciputri Blok Sarongge Girang Cianjur,
menyebabkan gabungan kelompok tani hutan yang ada yaitu Gapoktan Sawargi
terpecah menjadi dua, yakni kelompok yang telah menyatakan keluar dari garapan dan
kelompok yang masih menggarap di kawasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sikap yang dihasilkan oleh kedua kategori kelompok tani tersebut sama-sama positif.
Hal ini menunjukkan bahwa sikap terbentuk berdasarkan fakta sosial yang berlaku di
dalam Gapoktan Sawargi. Pada tingkat ketergantungan petani penggarap dan tingkat
resistensi petani yang masih menggarap tidak terdapat hubungan. Hal ini dikarenakan
keputusan strategi bertahan muncul akibat adanya pergolakan dari collective action akan
kebutuhan lahan tiap individu dan disisi lain sikap muncul akibat adanya tekanan dari
fakta sosial yang berlaku di dalam Gapoktan Sawargi.
Selanjutnya penelitian Hidayana (2011) dengan judul “Kajian Konflik di
Kawasan Hutan Konservasi : Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak”.
Penelitian dilakukan terhadap adanya villa liar di dalam kawasan TNGHS. Penelitian
memfokuskan pada perbedaan pola konflik yang terjadi dan upaya resolusi konflik
atau penanganan yang berbeda dilakukan Kementerian Kehutanan dalam hal ini
9
TNGHS terhadap dua jenis masyarakat yang berbeda (masyarakat biasa dan public
figure). Meskipun produk hukum kehutanan secara tegas mengatur hal penegakan
hukum non diskriminatif terhadap pelaku pelanggaran, namun kasus “villa yang
dianggap liar” menunjukkan bahwa figure memiliki peranan yang penting dalam pola
konflik dan resolusi. Hasil penelitian menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa benang
kusut pengelolaan hutan di Indonesia tidak terlepas dari ketidakseriusan dan
ketidaksiapan aparat dalam menangani persoalan-persoalan yang menyangkut
perbedaan persepsi konservasi, batasan kewenangan, dan tanggung jawab antar instansi/
lembaga Negara, klaim kepemilikan dan akses terhadap sumber daya hutan.
Ketidakseriusan tersebut menyebabkan persoalan lahan dikawasan konservasi semakin
berlarut-larut bahkan semakin melebar dan sulit untuk diselesaikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Marina dan Dharmawan (2011) di Taman
Nasional Halimun Salak yang membahas tentang “Analisis Konflik Sumber Daya Hutan
di Kawasan Konservasi”. Penelitian ini memfokuskan pada penguraian mengenai
bagaimana sejarah konflik dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik sumberdaya
alam, serta bentuk-bentuk penyelesaian yang telah dilakukan untuk meredam konflik di
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Hasil penelitian ini adalah bahwa : Konflik
kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970-an, ketika hak
pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani. Saat itu terjadi tumpang tindih antara
hutan-hutan milik Perhutani dan hutan adat milik Kasepuhan. Kemudian Keadaan
bertambah parah saat pemerintah mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No.
175/kpts-II/ 2003, tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak menjadi 113.357 hektar. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat,
10
baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk dalam
kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas.
Dari sisi kontestasi para pihak akan coba disajikan juga Konflik lahan
penambangan Pasir Besi di Kulon Progo yang ditulis Cahyono, Yanuardi dan Sauki
(2010) merupakan kasus menarik dimana disatu sisi negara sebagai pihak yang
diharapkan mampu menyelesaikan konflik, akan tetapi disisi akan tetapi dalam kasus
ini negara juga sebagai pihak yang menimbulkan konflik. Dalam konteks konflik pasir
besi kulon progo merupakan bentuk kolaborasi antara “negara” yang tercermin lewat
keraton Ngayogyakarta dan pakualaman berkolaborasi dengan kekuatan perusahaan
asing yang juga di dukung oleh Pemerintah Daerah Kulon Progo. Ketiga kekuatan ini
berhadapan langsung dengan masyarakat yang mempertahankan basis hidupnya dari
sektor pertanian. Konflik muncul ketika kondisi ekonomi masyarakat petani Kulon
Progo yang sudah mulai merasakan perubahan nasib menggarap lahan pertanian di
Kulon progo yang kaya akan pasir besi melalui berbagai inovasi yang dilakukan oleh
masyarakat.
Kemudian penelitian Alting (2013) dengan judul “Konflik Penguasaan Tanah di
Maluku Utara : Rakyat versus Penguasa dan Pengusaha”. Karateristik konflik
pertanahan yang melibatkan pemerintah dan pengusaha dengan masyarakat pemegang
hak dimana penanaman modal dilakukan di wilayah Provinsi Maluku Utara dalam
penelitian ini dibatasi pada lingkup permasalahan, sebagai berikut. Pertama, bagaimana
pola Konflik tanah yang terjadi di Provinsi Maluku Utara dan kedua, bagaimana bentuk
penyelesaian konflik tanah yang dapat memenuhi rasa keadilan para pihak yang
bersengketa. Dari hasil penelitian Alting di sebutkan Konflik penguasaan tanah terjadi
hampir diseluruh pelosok tanah air dimana terdapat investasi. Persoalan mendasar yang
11
menjadi akar konflik adalah penghargaan terhadap hak atas tanah serta pemberian
kompensasi/ganti rugi yang dianggap tidak layak bagi masyarakat. Berbagai cara dan
pendekatan penyelesaian telah dilakukan, namun konflik tetap ada bahkan sampai
melahirkan korban jiwa bagi masyarakat. Negara sebagai organisasi kekuasaan yang
diharapkan dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa, namun tidak dapat berperan
banyak, karena disatu sisi pemerintah mengharapkan adanya investasi dari penanaman
modal guna memperoleh devisa, disisi lain masyarakat mengklaim tanah yang diberikan
tersebut merupakan kepemilikan mereka. Diperlukan rekonseptualisasi hubungan
penguasaan tanah dalam rangka penanaman modal tidak dilakukan melalui pelepasan
atau penyerahan hak, akan tetapi melalui suatu perjanjian hak pakai/sewa antara
perusahaan dan pemilik tanah untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian
kompensasi kepada masyarakat. Dengan model tersebut, hubungan kepemilikan
masyarakat tidak akan putus, dan setelah masa perjanjian penggunaan berakhir tanah
tersebut kembali kepada masyarakat. Alting lebih menyoroti bagaimana konflik terjadi
antara masyarakat berhadapan langsung dengan pengusaha dan penguasa. Peran
pemerintah (penguasa) dalam penelitian ini hanya memberikan pelayanan pada
pengusaha melalui mekanisme investasi untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi tidak
mampu memberikan perlindungan kepada hak – hak masyarakat sebagai pemilik lahan,
sehingga konflik terus terjadi dan semakin meningkat.
Munculnya konflik Klaim Batu Karut oleh PMP yang juga di klaim sebagai
kawasan konservasi TNGGP menarik penulis untuk meneliti lebih jauh, untuk
menggali kontestasi dan isu yang muncul dalam klaim lahan antara perusahaan yang
memanfaatkan masyarakat lokal untuk menguasai lahan kawasan Batu Karut TNGGP.
12
Selanjutnya dalam penelitian ini juga ingin mengetahui sampai sejauhmana aspek
proses hukum mampu mengatasi persoalan klaim lahan kawasan Petak 5 Batu Karut.
1.6. Landasan Teori Dan Kerangka Alur Pikir
1.6.1. Landasan Teori
Melihat latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan terlihat
adanya dua kepentingan terhadap klaim obyek yang sama yaitu Blok Batu Karut. PT.
PMP dengan sudut padang regulasi SHM yang dimiliki, merasa sebagai pemilik syah
kawasan Blok Batu Karut di pihak lain TNGGP selaku pemangku kawasan menganggap
bahwa Blok Batu Karut sebagai bagian kawasan TNGGP yang sudah di serahkan dari
Perhutani berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003
tanggal 10 Juni 2003 dan Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Hutan dari Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar TNGGP nomor
002/BAST-HUKAMAS/III/2009 dan nomor 1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus
2009, sehingga berkewajiban untuk mempertahankan Blok Batu menjadi bagian
TNGGP. Untuk mengurai rumusan masalah maka penulis akan menggunakan beberapa
teori sebagai berikut :
1.6.1.1. Biografi Konflik
Menurut Johan Galtung dalam Mas‟oed (2013) konflik adalah hubungan antara
dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang „merasa”
memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sedangkan manifestasinya kekerasan
disebutkan meliputi tindakan-tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau system
yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, social atau lingkungan dan atau
13
menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Konflik juga dimaknai
sebagai persepsi mengenai ketidakselarasan kepentingan, atau keyakinan bahwa aspirasi
para pihak yang ada saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt dan Rubin,
1986: 10).
Meskipun demikian, Fisher dkk (2000: 6) menyatakan optimisme bahwa konflik
itu sendiri justru bisa menjadi bagian solusi suatu permasalahan, bukan dalam kapasitas
menekan konflik tetapi lebih kepada meresolusi konflik agar produktif. Resolusi
konflik dimaksudkan sebagai upaya menangani penyebab konflik dan berusaha
membangun hubungan baru yang bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang
bermusuhan atau tidak sejalan.
Kriesberg (1982:1998) mengungkapkan, bahwa ada dalam suatu konflik
terdapat suatu tahapan yang dia sebut dengan „biografi konflik‟,yang tahapan-
tahapannya berjalan siklikal. Dalam biografi konflik tersebut, secara berurutan tahapan
dimulai dari sumber konflik, kemunculan konflik, pemicu awal, eskalasi konflik,
deeskalasi konflik, terminasi konflik, dan hasil konflik dan konsekuensinya.
Sumber konflik yang terjadi adalah kondisi-kondisi laten dan aktual yang
kemudian memproduksi keyakinan atau kepercayaan tentang adanya tujuan-tujuan yang
tak selaras. Sumber konflik berasal dari adanya perbedaan kepentingan maupun
kontestasi sosial dan sifat dasar manusia yang mengikutinya. Misalnya secara internal
manusia memiliki insting agresif, mudah frustasi dan sebagainya. Secara interaksional
hubungan manusia dapat mengarah kepada dan diwarnai oleh proses-proses sosial yang
disintegrative. Hal ini lah yang secara laten maupun aktual menjadi sumber-sumber
konflik.
14
Kemunculan konflik merupakan rasa atau kesadaran kolektif yang dapat
menghasilkan ketidakpuasan dan tujuan-tujuan yang saling berlawanan dengan individu
lain menjadi sebuah rasa atau kesadaran kolektif.
Pemicu awal adalah provokasi para pihak yang terlibat dalam konflik ini adalah
tindakan mengaktualkan, mengeksplisitkan, verbalisasi, realisasi dari rasa, kesadaran
atau situasi ketidakselarasan antar pihak. Provokasi umumnya berbentuk peruasi, koersi,
balas jasa, atau iming-iming material maupun non material.
Eskalasi adalah perubahan dalam unit konflik pertama, secara sosio-psikologis
berupa loyalitas dan komitmen pada tujuan/posisi yang telah ditetapkan serta sense of
crisis terhadapnya; dan kedua secara organisasional berupa perubahan kelompok dan
tompitisi dalam kepemlmpinan yang semakin sengit. Eskalasi adalah juga perubahan
dalam hubungan-hubungan antara pihak yang bertikai dalam bentuk sepihak atau
bersama yang saling menyakiti.
Sementara deeskalasi adalah perubahan dalam unit konflik, yang pertama :
secara sosio psikologis berupa sikap, tindakan atau penilaian untuk menimbang kembali
ongkos atau biaya untuk mempertahankan tujuan atau posisi awal, serta mendevaluasi
tujuan atau posisi ketika dirasakan terlalu mahal ongkosnya. Deeskalasi juga perubahan
dalam hubungan-hubungan antar pihak yang bertikai dalam bentuk hubungan yang
berbentuk secara baru, kontraksi tujuan atau posisi yaitu mempertahankan posisi atau
tujuan awal menjadi berkurang atau hilang sama sekali, dan intervensi ketika terbentuk
aturan baru atau norma baru, tercipta usaha-usaha mediasi, dan terbentuknya konteks
sosial baru.
Selanjutnya teori kriesberg tersebut juga menjelaskan tahap terminasi sebagai
proses peralihan yang rawan intervensi pihak-pihak yang berkepentingan menuju hasil
15
akhir yang idealnya memuaskan kedua belah pihak (win-win) atau setidaknya bisa
disepekati keduanya atau bisa juga jika kompromi tidak bisa dilakukan maka hasilnya
adalah win lost (menang kalah)
Selanjutnya adalah konsekuensi merupakan redefinisi atas tujuan atau posisi
dimasa-masa yang akan datang, kapasitas untuk mencapainya, potensi konflik internal
dan efek-efek lain yang muncul.
Dari kerangka teoritik yang dikemukakan di atas, menegaskan kepada kita
bahwa sebenarnya dua hal yang penting dalam memahami terjadinya suatu konflik
yaitu adanya kebutuhan dan hambatan. Terjadinya konflik tidak dengan tiba-tiba, tapi
melalui serangkaian tahapan proses, mulai dari sumber konflik, kemunculan
konflik, pemicu awal, eskalasi konflik, deeskalasi konflik, terminasi konflik, dan hasil
konflik dan konsekuensinya.
1.6.1.2. Pemetaan Konflik
Pemetaan konflik (conflict mapping ) yang dijabarkan cukup detil oleh Simon
Fisher dkk (2000:22) dalam teorinya “mengelola konflik”, juga sangat membantu
penulis untuk menganalisa konflik sebagai sautu proses praktis dalam mengkaji dan
memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Pemetaan konflik yang
dimaksudkan fisher dkk menunjukan peta dasar konflik berupa : aktor utama dan pihak-
pihak yang terlibat dalam konflik, hubungan antar pihak yang terlibat, isu-isu pokok
yang berada di antara pihak dalam analisa konflik.
Lebih lanjut ditegaskan oleh Fisher dkk bahwa penting untuk menganalisa
konflik lebih mendalam agar lebih memahami latar belakang, sejarah dan
perkembangan terbaru; dapat mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat bukan
16
hanya berfokus pada kelompok secara kasat mata menonjol; mampu memahami
pandangan semua kelompok dengan mengetahui hubungan antara pihak-pihak terkait;
mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik; termasuk
yang terpenting bahwa analisa konflik dapat mengajarkan kita untuk berkaca dari
kegagalan dan selanjutnya mampu meraih kesuksesan yang diharapkan (resolusi
konflik).
Ahli resolusi konflik lain, John Paul Lederach (2001) lebih menekankan
pentingnya bagi kita untuk mengetahui isu dan aktor-aktor yang terlibat dalam situasi
konflik. Identifikasi secara tepat termasuk didalamnya kepentingan masing-masing
aktor akan mengarahkan kita untuk memahami akar permasalahan menuju transformasi
konflik yang diharapkan.
1.6.2. Kerangka Alur Pikir
Berpijak dari teori diatas maka dapat disusun kerangka pemikiran sebagaimana
terlihat pada gambar 1. Nampak pada gambar 1 terdapat 4 (empat) kolom yang terdiri
dari aktor yang terlibat konflik, peran dalam konflik, kepentingan yang dibawa dalam
konflik dan resolusi konflik. Kolom satu menunjukan aktor yang terlibat dalam konflik
yaitu : PMP, Masyarakat, BPN dan TNGGP. Masing-masing aktor tersebut memiliki
peran, kepentingan dan resolusi konflik yang mungkin sama namun dapat juga memiliki
peran, kepentingan dan resolusi konflik berbeda. Studi kedepan akan menggali lebih
dalam keterlibatan masing-masing aktor baik berupa peran dalam konflik, kepentingan
yang dibawa dalam konflik dan resolusi konflik yang dapat dilakukan oleh masing-
masing pihak pada konflik penguasaan Blok Batu Karut ini.
18
1.7. Metode dan Teknik Penelitian
1.7.1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif yang berusaha
menginterpretasikan gejala yang terjadi pada sebuah konteks sosial. Usman dan Abdi
(2012: 9) mengatakan bahwa metode kualitatif berupaya memberikan secara mendalam
tentang situasi atau proses yang diteliti. Penelitian ini menekankan pada penggalian data
melalui sumber-sumber tertulis dan wawancara dengan narasumber. Harapan dari
metode ini adalah mendapatkan data-data menyeluruh tentang situasi yang sedang di
teliti.
1.7.2. Sumber Data
Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data
yang dikumpulkan langsung dari sumber utama. Wiradi (2009: 59) menyebut bahwa
data primer adalah data yang pengumpulannya kita lakukan sendiri, artinya data tersebut
merupakan hasil pengamatan kita sendiri, hasil wawancara kita sendiri dengan orang
lain, hasil dari pengukuran kita sendiri. Kronologi permasalahan Batu Karut, mekanisme
penerbitan sertifikat, informasi terkait persoalan Batu Karut dari stakeholder lainnya,
kondisi lokasi Batu Karut, kontestasi kepentingan yang dilakukan, responden
merupakan para pihak yang berkonflik atau aliansi dalam konflik: TNGGP, BPN,
Pemda Bogor, Masyarakat, Polres Bogor, sidang pemeriksaan keterangan saksi-saksi
dan stakeholder lain.
Sementara data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui sumber kedua
seperti peta kawasan sebelum perluasan dan sesudah perluasan, peta hindia belanda,
peta zonasi, SK taman nasional sebelum dan sesudah perluasan, produk hukum
19
kementerian kehutanan seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan
menteri, surat keputusan menteri, laporan, persuratan, buku, hasil-hasil penelitian,
laporan, monografi, kamus, ensiklopedia, berita kliping media masa, web site dan lain
sebagainya.
1.7.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi, wawancara dan
observasi (pengamatan). Studi dokumentasi merupakan salah satu teknik yang hanya
digunakan untuk mengamati gejala-gejala suatu obyek yang diteliti dari kumpulan
dokumen yang tersedia. Studi dokumentasi dilakukan untuk mempelajari kebijakan,
program dan upaya yang dilakukan dalam persoalan Batu Karut. Dokumentasi yang
diteliti tentang surat persuratan dan data lainnya yang berkaitan dengan konflik Batu
Karut, dengan jalan mempelajari catatan-catatan seperti: persuratan, laporan-laporan,
koran, peraturan perundangan dll.
Sementara wawancara adalah kegiatan mencari bahan (keterangan, pendapat)
melalui tanya jawab lisan dengan siapa saja yang diperlukan. Wawancara diadakan
untuk mengungkapkan latar belakang, motif-motif yang ada di sekitar maaslah yang
diobservasi (Rianse Usman dan Abdi : 2012: 10). Dalam wawancara ini dipilih beberapa
tokoh kunci yang dianggap mampu dan kompeten menjelaskan informasi, kebijakan dan
pengalaman langsung terkait persoalan konflik Batu Karut. Wawancara dilakukan
untuk memperoleh informasi lain yang tidak didapat dalam studi pustaka atau pun
observasi lapangan. Adapun wawancara tersebut dilakukan dengan : Kepala Balai Besar
TNGGP, Kepala Seksi P3, Penyidik Polres Bogor, Kepala Seksi Sengketa Konflik dan
20
Perkara BPN, tersangka pemalsuan warkah sertifikat Batu Karut, Polhut TNGGP,
Masyarakat, tokoh masyarakat dan Sekretaris Desa Pasir Buncir.
Kemudian observasi dilakukan sebagai studi yang secara sengaja dan sistematis
untuk mengamati fenomena sosial dan gejala psikis yang ada dalam rangka analisis.
Rianse Usman dan Abdi (2012:11) menyebutkan teknik obervasi sebagai alat
pengumpul data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis
gejala-gejala yang sedang diselidiki. Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui
kondisi ril persoalan Batu Karut baik dari sisi tokoh, lokasi Batu Karut maupun
masyarakat sekitar Batu Karut sehingga memperoleh informasi tambahan dan memadai
mengenai persoalan Batu Karut. Pada observasi (pengamatan) di lakukan dengan
ground chek di Petak 5 Batu Karut Bogor, dan kampung terdekat dengan kawasan yaitu
kampung Lengkong Pasir Buncir Kecamatan Caringin Bogor, persidangan keterangan
saksi di PN Cibinong dan Penyuluhan / Sosialisasi kepada masyarakat Desa Pasir
Buncir.
1.8. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari 4 Bab, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bab satu berisi tentang mengantarkan pentingnya penelitian konflik Batu Karut
agar ditemukan adanya latar belakang konflik, dinamika dan solusi konflik bagi
pengelolaan TNGGP. Dalam Bab I digambarkan secara singkat hal yang melatar
belakangi munculnya persoalan konflik Batu Karut.
Bab dua memberikan deskripsi mengenai profil gambaran umum TNGGP tentang
kondisi fisik kawasan, potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem TNGGP. Dengan
memahami kondisi fisik TNGGP dapat difahami tentang pentingya kawasan TNGGP bagi
21
masyarakat sekitar dan bagi upaya pelestarian alam di Indonesia. Kemudian di sampaikan
mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sosial ekonomi masyarakat sekitar TNGGP
masih banyak yang kurang memiliki lahan dengan tingkat ekonomi yang rendah. Kondisi
ini menyebabkan masyarakat banyak bergantung kepada kawasan TN. Bab ini
menjelaskan juga mengenai kebijakan pengelolaan taman nasional, zonasi taman nasional.
Dengan memahami kebijakan pengelolaan TN, akan diketahui sampai sejauhmana arah
pengelolaan TN mampu mendukung perlindungan kawasan sekaligus memberikan
manfaat bagi masyarakat sekitar. Bab II juga menyampaikan mengenai sejarah kawasan
TNGGP. Sejak jaman belanda sampai dengan sekarang TNGGP merupakan kawasan
yang dianggap memiliki nilai penting bagi perlindungan dan pelestarian alam serta bagi
kehidupan masyarakat sekitarnya. Sejarah kawasan juga menggambarkan kedudukan
hukum kawasan sebagai pijakan legal dalam pengelolaan sebuah kawasan TN.
Bab tiga menjelaskan sumber konflik PMP dan TNGGP, yang dipicu oleh adanya
perbedaan regulasi maupun kondisi otentik di lapangan. Klaim PMP atas Batu Karut di
picu oleh regulasi SK Redistribusi Menteri Dalam Negeri No. 222/DJA/1984 yang
menjadi dasar pengajuan sertifikat hak milik. Dalam SK tersebut hanya menyebutkan
lokasi obyek redistribusi dan luasannya saja, sementara peta mengenai lokasi obyek yang
disebutkan tidak dicantumkan dalam SK tersebut. TNGGP mendasarkan klaim kepada
BAST kawasan sejak tahun 1926. Bab III juga menjelaskan dinamika kontestasi TNGGP
dan PMP. Dinamika konflik yang menggambarkan aktualisasi kontestasi para pihak yang
berkonflik untuk mempertahankan posisi mereka dalam mencapai tujuan yang dinginkan
yaitu mempertahankan obyek Batu Karut melalui mekanisme non litigasi dan mekanisme
litigasi. Proses non litigasi dilakukan dengan saling bersurat (permohonan dan keberatan)
kepada pihak-pihak terkait dengan masalah Batu Karut diantaranya saling bersurat antara
22
PMP dan TNGGP ke instansi-instansi : BPN Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan,
Dinas Tata Ruang dan Pertanahan dan Bupati Bogor. Kemudian mekanisme Litigasi yang
ditempuh melalui dua proses yaitu : Proses Pidana dan Perdata. Kemudian penjelasan
mengenai identifikasi aktor dan pihak dalam konflik batu karut. Identifikasi aktor
menjelaskan mengenai kontestasi aktor utama yang merupakan pihak yang secara
langsung melakukan klaim Batu Karut serta adanya pihak-pihak yang berafiliasi dalam
mendukung baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap aktor utama. Bab III
juga menjelaskan mengenai peran kepentingan pihak – pihak berkonflik. Dalam peran
kepentingan terlihat adanya peran dan kepentingan masing-masing pihak baik PMP,
TNGGP dalam lingkaran persoalan Batu Karut yang intinya ingin mempertahankan klaim
Batu Karut atas dasar klaim regulasi, ekologi dan juga alasan bisnis ekonomi. Sementara
peran dan kepentingan BPN Bogor lebih berdasar kepada alasan regulasi dan kebijakan
yang di rujuk oleh BPN Bogor. Akhir Bab III ini menjelaskan mengenai pendekatan
solusi penyelesaian batu karut yang dilakukan TNGGP dalam menyelesaikan konflik
penerbitan sertifikat Batu Karut. Pada intinya saran pendekatan solusi Batu Karut
bertumpu pada 3 hal, yaitu pendekatan hukum, pendekatan komunikasi dan pendekatan
kesejahteraan. Ketiga pendekatan tersebut ditawarkan secara tidak terpisahkan mengingat
selain dengan pendekatan hukum untuk mepertegas kepemilikan Batu Karut juga perlu
pendekatan sosial kesejahteraan mengingat ada peran masyarakat yang masih tergantung
di kawasan tersebut dan dimanfaatkan oleh PMP. Pendekatan komunikasi dilakukan
mengingat ada masalah dalam memandang obyek Batu Karut dari segi regulasi dan
kebijakan oleh BPN Bogor dan TNGGP sehingga agar tidak terjadi lagi permasalahan
yang sama muncul di kemudian hari, maka perlu dijembatani dengan pendekatan
komunikasi antara BPN Bogor dan TNGGP.
23
Bab empat menjelaskan mengenai kesimpulan yang menegaskan fenomena
persoalan klaim Batu Karut serta dinamika yang menyertainya. Tema tersebut
menegaskan bahwa persoalan Batu Karut tidak hanya persoalan regulasi kawasan akan
tetapi juga terkait dengan persoalan ekonomi bisnis Batu Karut dengan memanfaatkan
masyarakat sekitar yang menggarap atau pernah menggarap kawasan. Bab ini juga
menawarkan paket rekomendasi yang bisa dijalankan agar persoalan Batu Karut bisa
diselesaikan secara hukum sekaligus diharapkan mampu mengangkat partisipasi
masyarakat dalam pelestarian alam dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam
pelestarian kawasan TNGGP melalui pemanfaatan hasil hutan sesuai dengan koridor
hukum yang berlaku dan juga peningkatan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar
kawasan. Selain itu antisipasi kedepan perlu dibangun pola komunikasi antara institusi
TNGGP dengan otoritas penerbit sertifikat tanah yaitu BPN Bogor khususnya dan
stakeholders lain pada umumnya, dalam hal singkronisasi data (peta, regulasi dan
kebijakan lain). Komunikasi dapat di tuangkan dalam bentuk MoU (Nota Kesepahaman),
sosialisasi bersama dan penyuluhan serta pelibatan pihak desa dalam tata batas atau
rekonstruksi batas kawasan. Oleh karena itu saran yang disampaikan juga mengarahkan
agar penanganan Batu Karut bersifat kuratif dan antisipatif sehingga persoalan Batu
Karut berdampak bagi kesejahteraan masyarakat sekitar sekaligus kedepan permasalahan
klaim kawasan Batu Karut ataupun kawasan TNGGP lainnya tidak terjadi lagi.