BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk...

41
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia telah memproklamirkan sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa dampak terhadap tatanan kehidupan masyarakatnya, termasuk tatanan politik dan tatanan hukum. Dengan kemerdekaan tersebut telah lahir suatu negara baru yaitu Negara Indonesia, yang akan menyelenggarakan tatanan kehidupan masyarakat berdasarkan pada kehendak Negara sendiri. Negara Indonesia sebagai negara merdeka memiliki kedaulatan untuk menentukan arah tatanan hukum dan cita hukum yang akan dianutnya. Tatanan hukum yang dianut dan dibentuk oleh Negara Indonesia sudah sewajarnya menggantikan tatanan hukum kolonial Belanda, yang dibentuk berdasarkan cita hukum Belanda. Tatanan hukum nasional Indonesia merupakan penjabaran dari cita hukum yang dianut oleh masyarakat Indonesia dan dituangkan dalam kaidah hukum positif dan lembaga hukum. Cita hukum tersebut terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan kenyataan kemasyarakatan yang diproyeksikan pada

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia telah memproklamirkan sebagai negara yang merdeka pada tanggal

17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa dampak terhadap

tatanan kehidupan masyarakatnya, termasuk tatanan politik dan tatanan hukum.

Dengan kemerdekaan tersebut telah lahir suatu negara baru yaitu Negara Indonesia,

yang akan menyelenggarakan tatanan kehidupan masyarakat berdasarkan pada

kehendak Negara sendiri. Negara Indonesia sebagai negara merdeka memiliki

kedaulatan untuk menentukan arah tatanan hukum dan cita hukum yang akan

dianutnya.

Tatanan hukum yang dianut dan dibentuk oleh Negara Indonesia sudah

sewajarnya menggantikan tatanan hukum kolonial Belanda, yang dibentuk

berdasarkan cita hukum Belanda. Tatanan hukum nasional Indonesia merupakan

penjabaran dari cita hukum yang dianut oleh masyarakat Indonesia dan dituangkan

dalam kaidah hukum positif dan lembaga hukum. Cita hukum tersebut terbentuk

dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk berpadunya pandangan hidup,

keyakinan keagamaan dan kenyataan kemasyarakatan yang diproyeksikan pada

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

2

proses pengkaidahan perilaku warga masyarakat yang mewujudkan unsur-unsur

tersebut.1

Para Pendiri Negara Indonesia (founding fathers), telah menentukan dan

menetapkan Pancasila sebagai ideologi dasar bagi Negara Indonesia, dan merupakan

dasar didirikannya Negara Indonesia.

Pancasila dibentuk/dipersiapkan kelahirannya oleh bangsa Indonesia, hingga

akhirnya dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, pada tanggal 1 Juni 1945 telah lahir

di tangan Soekarno sebagai dasar negara Republik Indonesia. Bermula dari janji

kemerdekaan Indonesia yang diucapkan secara resmi oleh Perdana Menteri Jepang

Kaiso bulan September 1944. 2 Berkaitan dengan lahirnya Pancasila, Badan

Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia bersidang pada tanggal 28 Mei

1945 sampai dengan 1 Juni 1945. Pada 1 Juni 1945 Soekarno memberikan pidato

tentang dasar negara. Dalam menentukan dasar negara Soekarno terlebih dahulu

menyampaikan arti kemerdekaan yang dianalogikan sebagai jembatan emas (risalah

mencapai Indonesia merdeka), dinyatakan bahwa di seberang jembatan itulah kita

sempurnakan masyarakat sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Dasar negara yang

diusulkan oleh Soekarno berjumlah 5 prinsip dasar, yaitu:3

1 B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.

180-181. 2 Saafroedin Bahar & Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia, Sekteraris Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. xxiv. 3 Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Gatra

Pustaka, tanpa tahun, hlm. 113-114.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

3

1. Kebangsaan Indonesia;

2. Internasionalisme dan Kemanusiaan;

3. Mufakat, Perwakilan dan Permusyawarahan atau Demokrasi;

4. Prinsip Kesejahteraan Sosial; dan

5. Ketuhanan.

Lima prinsip dasar di atas oleh Soekarno diberi nama Pancasila dan dari kelima

dasar tersebut dapat diperas menjadi tiga:

1. Sosio-nasionalisme;

2. Sosio-demokrasi; dan

3. Ketuhanan.

Atau disebut menjadi tri sila, yang apabila diperas lagi menjadi satu adalah gotong-

royong atau disebut eka sila. Menurut Soekarno, gotong royong adalah paham yang

dinamis yang didalamnya terdapat Indonesia buat Indonesia (semua untuk semua).

Pancasila kemudian diformulasikan ke dalam alinea IV Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”), sebagai

berikut:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

4

Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang menjiwai segala

aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan diwujudkan dalam berbagai

bidang kehidupan di Indonesia, diantaranya adalah pada bidang hukum. Dengan

demikian Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) sudah seharusnya menjiwai dan

menjadi landasan penyelenggaraan tatanan hukum nasional Indonesia, yakni:4

1. pembentukan tata hukum Indonesia;

2. penerapan atau pelaksanaan hukum; dan

3. penegakan hukum.

Menurut B. Arief Sidharta, tata hukum nasional Indonesia yang dikehendaki

untuk diselenggarakan adalah bangunan tata hukum nasional Indonesia yang secara

hierarkhis berdasarkan cita hukum Pancasila sebagai landasan filosofisnya, yang

kemudian dioperasionalkan ke dalam kenyataan melalui asas-asas hukum nasional

Indonesia pada proses pembentukan kaidah hukum positif maupun proses penemuan

hukum. Asas-asas hukum nasional Indonesia ini harus merupakan penjabaran dan

mengacu pada cita hukum Pancasila sebagai landasan filosofisnya. Asas-asas hukum

nasional Indonesia tersebut terdiri atas asas-asas hukum yang digali dan dijabarkan

4 Handy Sobandi, Pembaharuan Hukum Benda Nasional Berdasarkan Cita Hukum Pancasila, tidak

dipublikasikan, disertasi Doktor Hukum, Universitas Katolik Parahyangan, 2011, hlm. 2.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

5

secara langsung dari Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang

memuat esensi dari jiwa dan jati diri Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara. Cita

hukum Pancasila dan asas-asas hukum nasional Indonesia berperan sebagai:5

1. norma kritik (kaidah evaluasi);

2. faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan hukum,

pelaksanaan hukum atau penerapan hukum dan penegakan hukum) dan perilaku

hukum;

3. asas umum yang memberikan pedoman (guiding principles); dan

4. batu uji proses pembentukan perundang-undangan dan pembentukan hukum

melalui yurisprudensi dan praktek hukum.

Sudah seharusnya tata hukum yang ada dan berlaku di Indonesia mengacu pada

cita hukum Pancasila. Pembentukan tata hukum nasional Indonesia masih bersifat

pluralistis, berupa peraturan zaman Hindia Belanda, Hukum Adat, Hukum Islam,

perundang-undangan nasional Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan.6

Upaya untuk merumuskan isi dari cita hukum Pancasila telah dilakukan oleh

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia

dalam seminar “Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum

Nasional” yang diselenggarakan pada tanggal 22-24 Mei 1995 di Jakarta. Seminar

tersebut telah menghasilkan identifikasi tentang asas-asas hukum nasional, namun

5 B. Arief Sidharta, supra note no. 1, hlm. 81. 6 Id., hlm. 80.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

6

yang menjadi isi dari cita hukum Pancasila masih belum dapat dirumuskan dan

dihasilkannya, dengan demikian seminar tersebut merekomendasikan agar isi dari cita

hukum Pancasila dapat didalami dan dikembangkan lebih lanjut terutama dalam

kaitannya dengan pengembangan ilmu hukum nasional. Seminar tersebut juga

memberikan saran diantaranya agar hasil-hasil seminar ini dan seminar tahun 1989

tentang “Asas-asas Hukum Nasional” dikaji lebih lanjut untuk melakukan identifikasi

secara rinci tentang asas-asas hukum nasional pada seluruh cabang atau bidang

hukum yang berlaku di Indonesia, dengan demikian hukum positif Indonesia dan

penegakannya sesuai dengan cita hukum Pancasila.7

Sampai dengan saat ini tata hukum kolonial masih berlaku dan dipergunakan,

yang dibuktikan dengan masih berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Indonesia (“KUH Perdata”), khususnya mengenai hukum benda yang masih tetap

berlaku berdasarkan Aturan Peralihan UUD NRI 1945. Dengan berlakunya Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(“UUPA”) pada tanggal 24 September 1960 terjadi pergeseran atas keberlakuan KUH

Perdata, khususnya yang terdapat di dalam Buku II KUH Perdata tentang hukum

benda, yakni benda tidak bergerak berupa tanah beserta benda-benda yang ada di

atasnya. Dengan demikian pasal-pasal dalam Buku II KUH Perdata tentang bumi, air

7 Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam Majalah Hukum Nasional Edisi Khusus 50 Tahun

Pembangunan Nasional Nomor 1 Tahun 1995, Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 136-142.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

7

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sudah tidak berlaku lagi, sedangkan

benda-benda lainnya tetap berlaku Buku II KUH Perdata.

Hal ini berarti terjadi dualisme atas hukum benda yang ada dan berlaku di

Indonesia, yakni benda tanah tunduk pada UUPA, sedangkan benda lain yang bukan

tanah tunduk pada Buku II KUH Perdata.8

Dengan demikian dapat disimpulkan dalam lapangan hukum perdata,

khususnya hukum benda yang berlaku di Indonesia saat ini masih bersifat dualisme,

karena masih terdapat dua perangkat hukum yang mengatur mengenai hukum benda,

yaitu sebagian diatur dalam Buku II KUH Perdata, yang mengatur benda tidak

bergerak selain tanah dan benda bergerak, dan sebagian lagi diatur dalam UUPA

mengenai benda tidak bergerak berupa tanah.

Kemajemukan hukum benda dapat ditunjukkan dengan masih berlakunya

hukum adat untuk benda tetap tanah, begitu pula dengan cita hukum, yakni cita

hukum Belanda pada hukum benda yang bersifat individual, hal ini dapat

dicerminkan dari ketentuan Pasal 499 KUH Perdata yang menyebutkan:

“Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.”

dan Pasal 570 KUH Perdata yang menyebutkan:

“Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum

8 R. Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 88.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

8

yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”

Dari rumusan Pasal 499 KUH Perdata yang dimaksud dengan kebendaan

adalah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan hak milik, tanpa memperdulikan

jenis atau wujudnya. Satu hal yang perlu dicatat dan diperhatikan disini adalah bahwa

penguasaan dalam bentuk hak milik ini adalah penguasaan yang memiliki nilai

ekonomis. Suatu kebendaan yang dapat dimiliki tetapi tidak memiliki nilai ekonomis

bukanlah kebendaan yang menjadi objek pembicaraan.9 Dengan kata lain benda

adalah setiap barang atau setiap hak yang dapat menjadi objek kepemilikan, termasuk

setiap apa yang melekat terhadap barang tersebut, dan setiap hasil dari barang

tersebut, baik hasil karena alam, maupun hasil karena tindakan manusia. Karena itu,

yang dimaksud dengan hukum benda atau hukum kebendaan adalah seperangkat

kaidah hukum yang mengatur tentang benda dengan segala aspeknya, termasuk

pengaturan tentang hakikat dan berbagai jenis benda, mengatur juga hubungan antara

benda dengan pemegang atau pemilik dari benda tersebut, sehingga sebagian besar

dari kaidah hukum benda mengatur tentang hak-hak kebendaan.10

9 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan, Kebendaan Pada Umumnya,

Kencana, Jakarta, 2003, hlm. 31-32. 10 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 25.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

9

Selain itu dari Pasal 570 KUH Perdata tersebut terlihat bahwa hak milik

merupakan hak yang paling utama jika dibandingkan dengan hak-hak lainnya, karena

yang memiliki hak milik tersebut dapat menikmati dan menguasai sepenuhnya dan

sebebasnya, dalam arti dapat mengalihkan, menyewakan, menjadikan sebagai

jaminan utang atas suatu objek yang mempunyai nilai ekonomis.

Dari pencerminan Pasal 499 dan Pasal 570 KUH Perdata tersebut dapat

disimpulkan bahwa hak milik merupakan hak yang utama atau induk dari

kepemilikan dalam hukum benda sebagaimana diatur dalam KUH Perdata serta

memiliki sifat dan jiwa individualis.

Berbeda dengan hukum adat yang bersifat komunal, setiap hak milik atas tanah

memiliki fungsi sosial, artinya hak milik mempunyai hubungan dengan hak ulayat

masyarakat hukum adat. Apabila di atas hak ulayat itu diciptakan hak perseorangan,

seperti jalan membuka hutan dan mengerjakannya secara terus menerus sehingga

lahir hak perseorangan di atas hak ulayat tersebut, maka peranan atau daya berlaku

hak ulayat menjadi semakin berkurang, namun demikian apabila tanah tersebut

ditinggalkan sehingga menyebabkan tidak terurusnya tanah tersebut seperti

tumbuhnya rumput dan pohon liar, maka peranan atau daya berlaku akan muncul

kembali dan hak perseorangan tadi menjadi lenyap. Hak milik dalam hukum adat

dianggap sebagai sesuatu yang bersumber dari pengakuan komunitas atas usaha

individu dalam mengolah tanah tersebut menjadi tanah yang produktif. Dengan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

10

demikian menurut hukum adat, sumber pengakuan hak milik berawal dari komunitas

bukan berasal dari individu.11

Perbedaan sifat dan jiwa dari KUH Perdata dengan hukum adat, ini tentu saja

memberikan dampak yang berbeda dalam peralihan dan penyerahan atas benda

bergerak, dalam Buku II KUH Perdata peralihan hak milik atas benda bergerak

dilakukan melalui jual beli, yang dibedakan antara perjanjian obligatoir dengan

perjanjian kebendaan, sehingga diperlukan adanya penyerahan (levering) atas benda

tersebut, sedangkan dalam hukum adat tidak dikenal lembaga hukum tentang

penyerahan benda (levering). Dalam hukum adat, jual beli adalah suatu transaksi

tunai (kontan), dan perkataan jual mengacu pada pengalihan kepemilikannya

(overdracht), sedangkan menurut KUH Perdata, jual beli tertuju pada suatu perbuatan

hukum sebagaimana dimaksudkan dalam perjanjian obligatoir, oleh karenanya jual

beli hanya bersifat obligatoir, dan yang memindahkan kepemilikannya adalah

perbuatan hukum lain yang dinamakan “levering”, sebagai suatu “zakelijke

overeenkomst”.12

11 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Pustaka Alvabet, Jakarta, 2008, hlm. 52-53. 12 R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 36-38.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

11

C.F.G. Sunaryati Hartono dalam bukunya Kapita Selekta Perbandingan Hukum

mengemukakan:13

“di Indonesia landasan idiil dari hak milik adalah Pancasila dan UUD NRI 1945, landasan idiil itu tidak hanya didasari oleh salah satu sila atau salah satu pasal dari UUD NRI 1945 tetapi oleh Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagai satu keseluruhan yang sistematis.”

Hal ini berarti Indonesia harus mendasarkan cita hukum Pancasila dan juga UUD

NRI 1945, dan tidak lagi mendasarkan pada aturan hukum yang mendasarkan cita

hukumnya pada cita hukum Belanda, seperti aturan mengenai hukum benda

sebagaimana diatur dalam KUH Perdata.

Pembagian benda menurut hukum benda sebagaimana diatur dalam KUH

Perdata adalah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 503 KUH Perdata dan 504 KUH

Perdata, yang menyebutkan:

Pasal 503 KUH Perdata:

“Tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tak bertubuh”

Pasal 504 KUH Perdata:

“Tiap-tiap kebendaan adalah bergerak atau tak bergerak, satu sama lain menurut ketentuan-ketentuan dalam kedua bagian tersebut.”

13 C.F.G. Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1991, hlm. 58-59.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

12

Benda bergerak (roerende zaken, movable goods) adalah setiap benda yang

karena sifatnya memang bergerak, dapat bergerak atau dapat digerak-gerakan, atau

karena undang-undang digolongkan ke dalam benda-benda bergerak, kecuali benda

yang karena sifatnya dapat bergerak atau digerakkan tetapi oleh undang-undang telah

dikategorikan sebagai benda tidak bergerak. Sedangkan yang dimaksud dengan benda

tidak bergerak (onroerende zaken, immovable goods) adalah benda yang karena

sifatnya tidak bergerak atau tidak dapat digerak-gerakkan, dan benda yang secara

hakikat sebenarnya merupakan benda bergerak, tetapi oleh undang-undang

dinyatakan sebagai benda tidak bergerak, sehingga oleh hukum dikategorikan juga

sebagai benda tidak bergerak.14

Kemudian, yang dimaksud dengan benda berwujud (lichamelijke zaken) adalah

semua benda yang mempunyai fisik, yang fisiknya tersebut dapat dilihat atau diraba.

Dan yang dimaksud dengan benda tidak berwujud (onlichamelijke zaken) adalah

segala benda yang tidak ada fisiknya, yakni fisiknya tidak terlihat atau teraba, yang

terdiri dari hak-hak atau tagihan. Pembagian kepada benda berwujud dengan benda

tidak berwujud penting artinya dalam hukum berhubung berkonsekuensi yang

berbeda di antara keduanya, misalnya berbeda dalam hal penyerahan/pengalihannya.

Dalam hal ini jika benda bergerak dialihkan dengan menyerahkan fisik benda

tersebut, dan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama dan pencatatan.

Maka dalam hubungan dengan benda tidak berwujud, jika terhadap penyerahan benda 14 Munir Fuady, supra note no. 10, hlm. 29.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

13

berwujud yang juga merupakan benda bergerak diserahkan cukup dengan

menyerahkan fisik dari tangan ke tangan, kemudian penyerahan benda tidak berwujud

atas unjuk (aan toonder) dilakukan dengan cara menyerahkan fisik suratnya dari

tangan ke tangan, tetapi piutang atas nama diserahkan dengan jalan pengalihan

piutang (cessie), dan piutang atas pengganti dilakukan dengan jalan endorsemen dan

penyerahan fisik.15

Dengan demikian dapat disimpulkan berdasarkan KUH Perdata pembagian

benda adalah sebagai berikut:

1. Berwujud/Tidak Berwujud; dan

2. Bergerak/Tidak Bergerak.

Pada umumnya hukum benda mencakup hukum yang mengatur hak kebendaan

dalam arti hak terikat benda. Menurut hukum adat, benda itu dibedakan atas benda

tetap, yaitu tanah dan benda lepas atau benda-benda bergerak (bukan tanah):16

1. Hukum Benda Tetap (Hukum Tanah)

Subyek hukum atas benda, khususnya benda tetap (tanah) adalah pribadi

kodrati dan pribadi hukum. Dengan demikian yang mempunyai hak atas tanah

itu adalah juga pribadi kodrati dan pribadi hukum (masyarakat, keluarga luas,

kerabat, dan seterusnya). Jadi hak-hak atas tanah itu dapat diperinci dalam:

a. Hak Pribadi Hukum Atas Tanah

15 Id., hlm. 30. 16 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 171-197.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

14

i. Hak Ulayat

Bagi masyarakat hukum adat, maka tanah mempunyai fungsi

yang sangat penting. Tanah merupakan tempat di mana warga

masyarakat hukum adat bertempat tinggal, dan tanah juga

memberikan penghidupan baginya. Masyarakat hukum adat

tersebut, sebenarnya dapat ditinjau sebagai suatu totalitas, kesatuan

publik atau badan hukum. Sebagai totalitas, maka masyarakat

hukum adat sebenarnya merupakan suatu badan penguasa yang

mempunyai hak untuk menertibkan masyarakat serta mengambil

tindakan-tindakan tertentu terhadap warga masyarakat. Sebagai

badan hukum, maka masyarakat hukum adat diwakili oleh kapala

adatnya.

Ter Haar menyatakan, bahwa sebagai suatu totalitas, maka

masyarakat hukum adat menerapkan hak ulayat dengan cara

menikmati atau memungut hasil tanah, hewan maupun tumbuh-

tumbuhan. Sebagai badan penguasa, maka masyarakat hukum adat

membatasi kebebasan warga masyarakat untuk memungut hasil-

hasil tersebut. Hak ulayat dan hak-hak warga masyarakat secara

pribadi, mempunyai hubungan timbal-balik yang bertujuan untuk

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

15

mempertahankan keserasian sesuai dengan kepentingan masyarakat

dan warga-warganya.17

Dengan demikian, maka masyarakat hukum adat sebagai

suatu totalitas, memiliki tanah dan hak tersebut dinamakan hak

ulayat yang oleh Hazairin disebut sebagai hak bersama.

ii. Hak Dari Kelompok Kekerabatan atau Keluarga Luas

Kelompok kekerabatan atau keluarga luas tertentu, dapat

dikategorikan sebagai pribadi hukum di dalam hukum adat. Di

dalam kenyataannya maka kelompok kekerabatan atau keluarga

luas tertentu mempunyai hak atas lingkungan tanah dalam bentuk

penguasaan dan pemilikan. Pengelolaan tanah kelompok

kekerabatan atau keluarga luas, dapat diserahkan pada suatu

keluarga batih tertentu. Pengelolaan secara berkelanjutan tersebut,

cenderung tidak menciptakan hak milik pribadi atas tanah tersebut.

Tanah yang dikuasai oleh kelompok-kelompok kekerabatan,

secara teknis pun dimiliki oleh desa dengan pengertian bahwa jika

semua anggota suatu kelompok kekerabatan meninggal dunia, maka

tanah tersebut akan berada kembali di bawah wewenang pemerintah

desa.

17 Id., hlm. 175.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

16

b. Hak Pribadi Kodrati

Di dalam hak bersama atau hak ulayat, terselip apa yang disebut

hak pribadi kodrati atas lingkungan tanah dari masyarakat hukum adat, di

mana pribadi tersebut menjadi anggotanya.

Dari sudut isinya maka lingkungan tanah juga mencakup

lingkungan perusahaan tersebut sangat penting bagi masyarakat

diusahakan oleh warga masyarakat hukum adat, atas dasar hak peserta

(yang merupakan hak pribadi kodrati). Lingkungan perusahaan tersebut

sangat penting bagi masyarakat hukum adat yang menguasai dan

memiliki lingkungan tanah bersama.

2. Hukum Benda Lepas atau Hukum Benda Bergerak18

Menurut hukum adat, maka yang dinamakan sebagai benda lepas atau

benda bergerak adalah benda-benda di luar tanah. Ruang lingkupnya mencakup:

a. rumah;

b. tumbuh-tumbuhan;

c. ternak;

d. benda-benda lainnya.

Pada asasnya setiap warga suatu masyarakat hukum adat tertentu dapat

mempunyai kepemilikan atas rumah, tumbuh-tumbuhan, ternak dan benda-

18 Id, hlm. 197.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

17

benda lainnya. Mengenai rumah berlaku asas, bahwa kepemilikan atas rumah

terpisah dengan kepemilikan atas tanah tempat bangunan berada.

Dengan demikian dapat disimpulkan pembagian benda menurut hukum adat

adalah sebagai berikut:

1. Tanah; dan

2. Bukan Tanah.

Pembahasan mengenai hukum benda tentunya tidak terlepas dari UUPA,

sebelum memasuki lebih dalam ke UUPA, perlu juga dibahas mengenai ketentuan

Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyebutkan:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA dijabarkan hak menguasai sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 memberikan wewenang kepada negara

Indonesia untuk:

1. mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa;

3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

18

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian

menguasai adalah:

1. melakukan pengaturan;

2. melakukan pengendalian; dan

3. melakukan pengawasan.

Dengan demikian negara Indonesia tidak mempunyai kepemilikan atas bumi dan air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya melainkan hanya menguasai bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

UUPA tidak memberikan pengertian tentang agraria, hanya memberikan ruang

lingkup agraria sebagaimana yang tercantum dalam konsiderans, pasal-pasal maupun

penjelasannya. Ruang lingkup agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang

angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.19

A. P. Parlindungan menyatakan bahwa pengertian agraria memiliki ruang

lingkup yaitu dalam arti sempit, bisa berwujud hak-hak atas tanah, ataupun pertanian

saja, sedangkan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah mengambil sikap dalam pengertian

yang meluas, yaitu bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan yang terkandung di

dalamnya.20

19 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, hlm. 2. 20 A. P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV Mandar Maju, Bandung,

1991, hlm. 36.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

19

Dalam Pasal 16 UUPA disebutkan pengertian mengenai tanah, hak-hak atas air

dan ruang angkasa, dengan rincian sebagai berikut:

1. Hak-hak atas tanah.

a. Hak Milik;

b. Hak Guna Usaha;

c. Hak Guna Bangunan;

d. Hak Pakai;

e. Hak Sewa;

f. Hak Membuka Tanah;

g. Hak Memungut Hasil Hutan; dan

h. Hak-Hak Lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

akan ditetapkan dalam undang-undang (seperti Hak Pengelolaan).

2. Hak-hak atas air dan ruang angkasa.

a. Hak Guna Air;

b. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan; dan

c. Hak Guna Ruang Angkasa.

Pembentukan UUPA sebenarnya merupakan salah satu upaya yang dilakukan

oleh Negara Indonesia guna menghilangkan sifat dualisme mengenai hukum benda.

Namun demikian upaya ini belum dapat menghilangkan sifat dualisme dari hukum

benda, hal ini dikarenakan upaya tersebut tidak dilakukan secara menyeluruh dalam

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

20

kerangka struktur (bangunan tata hukum) dan sistem dari hukum benda nasional.

Hukum benda yang ada dan berlaku di Indonesia bersifat dualisme, yaitu benda tanah

diatur dalam UUPA, sedangkan benda lain yang bukan tanah tunduk pada aturan

Buku II KUH Perdata.21 Dualisme ini lebih jauh tentunya juga akan menimbulkan

perbedaan mengenai hukum jaminan yang berlaku bagi benda-benda tersebut.

Selain dalam UUPA, perundang-undangan lainnya yang telah mengatur tentang

benda, diantaranya adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang

No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang No. 24 Tahun 2002 tentang

Surat Utang Negara, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

dan Undang-Undang mengenai Hak Kekayaan Intelektual, yakni Undang-Undang

No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang No. 31 Tahun 2000

tentang Desain Industri, Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata

Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,

Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten serta Undang-Undang No. 20

Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

21 R. Subekti, supra note no. 8 hlm 88.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

21

Adapun pengertian benda menurut Undang-Undang yang disebutkan terakhir

adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Perbankan

Undang-Undang Perbankan mengatur mengenai cek, giro, sertifikat deposito

dan lain-lain surat berharga.

2. Undang-Undang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Perseroan Terbatas mengatur mengenai saham.

3. Undang-Undang Pasar Modal

Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga

komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi

kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek.

4. Undang-Undang Surat Utang Negara

Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang

dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga

dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa

berlakunya.

Adapun surat utang negara terdiri dari:

a. Surat Perbendaharaan Negara.

b. Obligasi Negara.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

22

5. Undang-Undang Rahasia Dagang

Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang

teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam

kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.

6. Undang-Undang Desain Industri

Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi

garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang

berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan

dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai

untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan

tangan.

7. Undang-Undang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang

di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari

elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling

berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor

yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik.

Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari

berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen

aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

23

peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan

Sirkuit Terpadu.

8. Undang-Undang Paten

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada Inventor atas

hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan

sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk

melaksanakannya.

9. Undang-Undang Merek

Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo,

nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 dimensi dan/atau 3

dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 atau lebih unsur tersebut untuk

membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan

hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.

10. Undang-Undang Hak Cipta

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis

berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk

nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

24

Dari 10 Undang-Undang yang disebutkan terakhir tersebut tidak semuanya

mengatur tentang jaminan atas benda sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

tersebut, hanya Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Paten dan

Undang-Undang Hak Cipta, yang menyebutkan mengenai jaminan atas benda.

Hukum jaminan yang berlaku di Indonesia masih pluralistik ada yang

mendasarkan pada KUH Perdata yang secara cita hukum bukanlah mengacu pada cita

hukum Pancasila, melainkan mengacu pada cita hukum Belanda, ada juga yang sudah

merupakan produk hukum setelah Indonesia merdeka. Adapun hukum jaminan yang

sampai dengan saat ini berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Gadai

Gadai sampai sekarang peraturannya masih berlaku KUH Perdata. Gadai

diatur dalam Buku Kedua Bab Kedua Puluh, dari Pasal 1150 hingga Pasal 1160

KUH Perdata.

Pasal 1150 KUH Perdata menyebutkan:

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

25

2. Hipotek

Peraturan hipotek pada awalnya berlaku Buku Kedua KUH Perdata yang

diatur Pasal 1162 – Pasal 1232, yang digunakan untuk semua barang tidak

bergerak. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan

Tanah (“Undang-Undang Hak Tanggungan”) mempengaruhi hipotek mengenai

tanah tidak berlaku lagi.22 Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria

dan Undang-Undang Hak Tanggungan, objek hipotek adalah kapal laut yang

berukuran 20 M3 yang sudah didaftarkan.

Hipotek atas pesawat terbang dan helikopter, pada awalnya diatur dalam

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menyebutkan:

“Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek.”

Dalam penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menyebutkan:

“Terhadap hipotek pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini berlaku ketentuan-ketentuan hipotek dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

Ketentuan dalam pasal ini tidak menutup pembebanan pesawat terbang dan helikopter dengan hak jaminan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

22 Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 131.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

26

Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menyebutkan:

“Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan tersebut

sudah tidak berlaku lagi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan (“Undang-Undang Penerbangan”). Namun

demikian Undang-Undang Penerbangan yang saat ini berlaku tidak mengatur

lagi ketentuan tentang pembebanan hipotek. Dalam Undang-Undang

Penerbangan terkait dengan pemberian hak jaminan kebendaan diatur dalam

Pasal 71.

Pasal 71 Undang-Undang Penerbangan menyebutkan:

“Objek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat dan/atau perjanjian sewa guna usaha.”

Penjelasan Pasal 71 Undang-Undang Penerbangan menyebutkan:

“Yang dimaksud dengan objek pesawat udara adalah rangka pesawat udara, mesin pesawat udara, dan helikopter. Mesin pesawat udara yang dipasang pada rangka pesawat udara disebut pesawat terbang.

Yang dimaksud dengan “rangka pesawat udara” adalah rangka pesawat udara (selain rangka pesawat udara yang digunakan untuk dinas kemiliteran, beacukai, atau kepolisian) yang apabila dipasang mesin-

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

27

mesin pesawat udara yang sesuai pada rangka pesawat udara itu, disertifikasi oleh lembaga penerbang yang berwenang untuk mengangkut: a. paling sedikit 8 orang termasuk awak pesawat; atau b. barang-barang yang lebih dari 2.750 kg, beserta seluruh perlengkapan, komponen, dan peralatan yang terpasang dimasukkan atau terkait (selain mesin pesawat udara) dan seluruh data buku petunjuk dan catatan yang berhubungan dengan itu.

Yang dimaksud dengan “mesin pesawat udara” adalah mesin pesawat udara (selain mesin pesawat udara yang digunakan untuk dinas kemiliteran, beacukai, atau kepolisian) yang digerakkan oleh tenaga propulsi jet atau turbin atau teknologi piston dan: a. dalam hal mesin pesawat udara dengan propulsi jet, mempunyai paling sedikit gaya dorong sebesar 1.750 lbs atau yang setara; dan b. dalam hal mesin-mesin pesawat udara yang diberi tenaga oleh turbin atau piston, mempunyai paling sedikit 550 tenaga kuda yang digunakan untuk lepas landas rata-rata atau yang setara, beserta seluruh modul dan perlengkapan, komponen dan peralatan lain yang terpasang, dimasukkan atau terkait, dan seluruh data, buku petunjuk dan catatan yang berhubungan dengan itu.

Yang dimaksud dengan “helikopter” adalah helikopter tertentu (yang tidak digunakan dalam dinas-dinas militer, beacukai, atau kepolisian) yang disertifikasi oleh lembaga penerbangan yang berwenang untuk mengangkut: a. paling sedikit 5 orang termasuk awak, atau b. barang yang lebih dari 450 kg, beserta seluruh perlengkapan, komponen, dan peralatan yang terpasang, dimasukkan atau terkait (termasuk rotor-rotor) dan seluruh data, buku petunjuk, dan catatan yang berhubungan dengan itu.

Yang dimaksud dengan “kepentingan internasional” adalah suatu kepentingan yang diperoleh kreditur yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat dan/atau perjanjian hak sewa guna usaha yang tunduk pada konvensi tentang kepentingan internasional dalam peralatan bergerak dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan udara (Protocol to the Convention on Interests in MobileEquipment on Matters Specific to Aircraft Equipment).

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

28

Yang dimaksud dengan “pemberian hak jaminan kebendaan (security agreement)” adalah suatu perjanjian di mana pemberi hak jaminan kebendaan (chargor) memberikan atau menyetujui untuk memberikan kepada penerima hak jaminan kebendaan (chargee) suatu kepentingan (termasuk kepentingan kepemilikan) atas objek pesawat udara untuk menjamin pemenuhan kewajiban yang terjadi atau yang akan terjadi dari pemberi hak jaminan kebendaan atau pihak ketiga.

Yang dimaksud dengan “perjanjian pengikatan hak bersyarat (title reservation agreement)” adalah suatu perjanjian penjualan objek pesawat udara dengan ketentuan bahwa kepemilikan tidak akan beralih sampai terpenuhinya persyaratan yang tercantum dalam perjanjian.

Yang dimaksud dengan “perjanjian sewa guna usaha (leasing agreement)” adalah suatu perjanjian di mana seseorang (pemberi sewa guna usaha/lessor) memberikan hak kepada orang lain (penerima sewa guna usaha/lessee) untuk menguasai suatu objek pesawat udara (dengan atau tanpa opsi untuk membeli) dengan kompensasi berupa uang sewa atau pembayaran lainnya.”

Berdasarkan Undang-Undang Penerbangan tersebut tidak disebutkan

secara tegas mengenai pembebanan hipotek, dalam Undang-Undang

Penerbangan tersebut hanya menyebutkan bahwa dapat dibebani akibat

perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan. Walaupun dalam Pasal 465

Undang-Undang Penerbangan disebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ini

mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3481) dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku, dalam bagian penjelasan umum di alinea kedua terakhir

disebutkan bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang ini, berbagai

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

29

ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan nasional dan

internasional sepanjang tidak bertentangan tetap berlaku dan merupakan

peraturan yang saling melengkapi.

3. Hak Tanggungan

Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang dapat

dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-

benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak

Tanggungan tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak

Tanggungan adalah sebagai berikut:

a. Hak Milik;

b. Hak Guna Usaha;

c. Hak Guna Bangunan;

d. Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku

wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;

e. Hak-Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang

telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah

tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah.

Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas dinyatakan di dalam Akta

Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.23

23 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 51.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

30

Pada prinsipnya, objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang

memenuhi dua persyaratan, yaitu:24

a. wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas); dan

b. dapat dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran

utang yang dijamin pelunasannya.

Sesuai dengan amanat Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria, hak atas tanah

yang ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha

dan hak guna bangunan. Di dalam perkembangan kemudian, yaitu menurut

Peraturan Menteri Agraria No. 1 tahun 1966, tanggal 5 Januari 1966, hak pakai

atas Tanah Negara juga wajib didaftarkan, sehingga hak pakai tersebut dapat

dialihkan. Oleh karena itu, disamping untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,

hak pakai atas tanah negara tertentu yang memenuhi kedua syarat tersebut juga

dapat dijadikan objek Hak Tanggungan.

Disamping hak pakai atas tanah negara, juga ada kemungkinan hak pakai

terjadi di atas tanah hak milik yang sampai dengan saat ini belum diatur, tetapi

oleh Undang-Undang Hak Tanggungan dibuka kemungkinan untuk dapat

dijadikan objek Hak Tanggungan apabila telah memenuhi kedua syarat tersebut

di atas.

24 Id., hlm. 52-53.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

31

Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan

ditegaskan bahwa terhadap tanah hak milik yang sudah diwakafkan dan tanah-

tanah yang digunakan untuk keperluan suci lainnya, walaupun memenuhi kedua

persyaratan tersebut, karena kekhususan sifat dan tujuan penggunaannya, tidak

dapat dijadikan objek Hak Tanggungan. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2)

Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut juga dijelaskan bahwa hak pakai

atas tanah negara yang diberikan kepada orang perorangan dan badan-badan

hukum perdata, yang memenuhi kedua syarat tersebut di atas, dapat dijadikan

objek Hak Tanggungan. hak pakai atas tanah negara yang diberikan kepada

instansi Pemerintah, Badan Keagamaan dan Sosial, dan Perwakilan Negara

asing walaupun wajib didaftarkan, tetapi karena menurut sifatnya tidak dapat

dipindahtangankan, bukan merupakan objek Hak Tanggungan.

4. Jaminan Fidusia

Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia (“Undang-Undang Fidusia”). Ruang lingkup jaminan

fidusia diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia.

Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan:

“Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda Jaminan Fidusia.”

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

32

Pasal 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan:

“Undang-undang ini tidak berlaku terhadap: a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,

sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar;

b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M3 atau lebih;

c. Hipotek atas pesawat terbang; dan d. Gadai.”

Dari keempat lembaga hukum jaminan di Indonesia tersebut sebenarnya belum

semua benda dapat dijaminkan dengan lembaga-lembaga jaminan tersebut, sebagai

contoh kapal laut yang dibawah ukuran 20M3 dan belum didaftarkan, tanah yang

belum didaftarkan, tanah wakaf, tidak dapat dijadikan sebagai objek jaminan.

Menjadi suatu pertanyaan apakah tepat jika sekiranya benda-benda tersebut

menggunakan jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Fidusia?.

Selanjutnya bagaimana dengan kapal laut dengan ukuran 20M3 atau lebih, pesawat

udara, pesawat terbang, helikopter yang secara jelas Undang-Undang Fidusia

menyatakan bahwa atas benda-benda tersebut tidak dapat diberlakukan Undang-

Undang Fidusia?.

Solusi atas permasalahan sebagaimana diuraikan tersebut di atas dapat

diselesaikan dengan diberlakukannya pembaharuan hukum yang ada dan berlaku di

Indonesia, dengan membentuk hukum benda di Indonesia yang berdasarkan pada cita

hukum Pancasila melalui asas-asas hukum nasional, dan setelah itu ditentukan hukum

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

33

jaminan yang berlaku bagi masing-masing benda sebagaimana diatur dalam hukum

benda di Indonesia yang berdasarkan pada cita hukum Pancasila.

Dalam disertasi Handy Sobandi dengan judul Pembaharuan Hukum Benda

Nasional Berdasarkan Cita Hukum Pancasila dikemukakan bahwa sebagai cita

hukum, Pancasila dapat memiliki fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif,

Pancasila ini merupakan sumber hukum material bagi hukum yang dibentuk dan

diselenggarakannya. Pancasila menjiwai segala aspek dan dinamika kehidupan

bermasyarakat dan bernegara yang diwujudkan dan diterapkan ke dalam berbagai

bidang kehidupan yang salah satunya adalah pada bidang hukum. Penerapan atau

realisasi Pancasila pada bidang hukum tersebut, menumbuhkan dan membentuk

ketentuan-ketentuan hukum sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang dijiwai

oleh Pancasila. Keseluruhan ketentuan hukum (Tata Hukum) sebagai suatu sistem

aturan hukum positif yang merupakan penjabaran atau penerapan Pancasila pada

bidang hukum itu disebut Hukum Pancasila. Hukum yang dijiwai oleh Pancasila

adalah hukum yang berasaskan kerukunan, kepatutan dan keselarasan sebagai ciri-ciri

khasnya. Hukum Pancasila tersebut dapat dicakup dengan satu istilah, yakni sifat

kekeluargaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Hukum Pancasila adalah hukum

yang bersemangat kekeluargaan.

Cita hukum Indonesia adalah Pancasila yang berakar dalam pandangan hidup

atau jiwa “Kekeluargaan” sebagaimana ditetapkan oleh para founding fathers untuk

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

34

mengayomi manusia sehingga tercapai tujuan negara Indonesia sebagaimana tertuang

dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yang pokok-pokok atau materi muatannya itu

terdiri dari: Pertama, Nilai-nilai Dasar Dalam Hukum Pancasila (Pengayoman), yang

terdiri dari Nilai Ketuhanan, Nilai Kekeluargaan, dan Nilai Kebahagiaan Bersama;

Kedua, Asas-asas Hukum Pancasila (Pengayoman) yang terdiri dari: Asas Taqwa dan

Percaya Kepada Tuhan Yang Maha Esa; Asas Penghormatan Terhadap Martabat

Manusia; Asas Kepatutan; Asas Kebangsaan/Nasionalisme; Asas Kerakyatan; Asas

Negara Kasatuan; Asas Negara Hukum; Asas Musyawarah/Mufakat; Asas

Kesejahteraan dan Kebahagiaan Bersama; Asas Keselarasan; Asas Tolong-menolong

dan Gotong-royong; dan Asas Kerukunan.

Selanjutnya dalam disertasi Handy Sobandi tersebut juga dipaparkan bahwa

konsepsi benda menurut cita hukum Pancasila tersebut pada dasarnya adalah

penjabaran lebih lanjut dari asas taqwa dan percaya kepada Tuhan Yang Masa Esa,

asas keselarasan dan asas kesejahteraan/kebahagiaan bersama. Asas-asas tersebut

didasari oleh pandangan dan keyakinan bahwa alam semesta dengan segala hal yang

ada di dalamnya sebagai suatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan

oleh Tuhan Yang Maha Esa. Asas keselarasan menghendaki terselenggaranya

harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Bangsa Indonesia percaya dan taqwa

kepada Tuhan sebagai sang pencipta alam semesta dan seluruh isinya masing-masing

dengan keunikan dan fungsinya. Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan Yang

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

35

Masa Esa yang paling sempurna, karenanya manusia memiliki akal budi dan hati

nurani yang tidak dimiliki oleh mahkluk hidup lainnya. Karena itu pula manusia

dikaruniai tanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam semesta dan isinya, dan

untuk menjaga agar kelangsungan hidup umat manusia tetap terselenggara secara

harmonis di dalam alam semesta ini. Selain itu, manusia dikaruniai pula tanggung

jawab untuk menjaga kesatuan hidup umat manusia dalam pergaulan hidupnya. Hal

ini dikarenakan Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia itu dalam bentuk satu

kesatuan umat manusia dan alam semesta lengkap dengan segala keunikannya

masing-masing.

Lebih lanjut dalam disertasi Handy Sobandi tersebut disebutkan bahwa bertitik

tolak dari Pancasila sebagai cita hukum Indonesia, maka menurut alam pikiran

Pancasila tidak dikenal adanya pembagian benda secara dikotomis, sehingga hukum

benda nasional dapat diselenggarakan sesuai dengan kesadaran hukum

masyarakatnya. Pandangan ini dapat dilihat dalam asas-asas hukum adat Indonesia

sebagai salah satu aspek ekspresi isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun.

Dalam asas-asas hukum adat tidak dikenal pola pemikiran yang bersifat dikotomis

sebagaimana yang dianut oleh KUH Perdata. Walaupun sepintas mengenai benda ini

dibedakan antara benda tanah dan bukan tanah. Pembedaan ini didasari oleh

pemikiran bahwa tanah adalah memiliki arti penting dalam kehidupan manusia.

Namun hal ini tidak selalu membawa akibat hukum yang ajeg. Adakalanya dalam hal

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

36

tertentu, benda bukan tanah diperlakukan sama seperti benda tanah, misalnya bahwa

tanah itu selalu memiliki aspek komunalitas, maka benda bukan tanah seperti hewan

ternak yang bertubuh besar (sapi) pun memiliki aspek komunalitas pula, yakni

apabila pemiliknya ingin memotongnya, maka pemilik tersebut wajib mengadakan

upacara adat tertentu dan komunitasnya berhak pula atas bagian tertentu dari daging

ternak tersebut.

Berdasarkan pada uraian dan latar belakang tersebut di atas, maka menurut

penulis merasa perlu dilakukannya suatu penataan hukum benda di Indonesia yang

dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia dan

setelahnya ditentukan pula hukum jaminan yang berlaku bagi benda sebagaimana

diatur dalam hukum benda di Indonesia yang berdasarkan pada cita hukum Pancasila.

Adapun penataan yang akan dilakukan oleh penulis adalah penataan sehubungan

dengan pembagian benda yang didasarkan pada cita hukum Pancasila beserta dengan

penataan terhadap hukum jaminan yang berlaku atas benda-benda yang didasarkan

pada cita hukum Pancasila tersebut. Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa

pembagian benda yang saat ini berlaku sebagai hukum positif adalah mengacu pada

KUH Perdata, yakni benda dibagi menjadi:

1. Berwujud/Tidak Berwujud; dan

2. Bergerak/Tidak Bergerak.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

37

Sedangkan sebagai hukum yang hidup di Indonesia berlaku pula hukum adat, yang

membagi benda menjadi sebagai berikut:

1. Tanah; dan

2. Bukan Tanah.

Di atas telah dijabarkan pula bahwa hukum jaminan yang berlaku di Indonesia

sampai dengan saat ini adalah sebagai berikut:

1. Gadai;

2. Hipotek;

3. Hak Tanggungan; dan

4. Jaminan Fidusia.

Atas dasar tersebut penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian disertasi

mengenai PENATAAN HUKUM JAMINAN BERDASARKAN PEMBAGIAN

HUKUM BENDA DI INDONESIA. Sekiranya analisis yang dihasilkan dapat

menjadi suatu sumbangan bagi dasar pemikiran Hukum Benda di Indonesia beserta

dengan Hukum Jaminan yang berlaku bagi benda-benda yang diatur dalam Hukum

Benda di Indonesia yang berdasarkan pada cita hukum Pancasila.

Dari penelusuran yang penulis lakukan sekurang-kurangnya terdapat 2 disertasi

yang mengangkat permasalahan hukum benda nasional, keduanya berasal dari

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

38

Universitas Katolik Parahyangan, namun tidak satupun membahas penataan hukum

jaminan berdasarkan pada hukum benda yang didasarkan pada cita hukum Pancasila.

Disertasi-disertasi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Handy Sobandi, Pembaharuan Hukum Benda Nasional Berdasarkan Cita

Hukum Pancasila, Universitas Katolik Parahyangan, 2011; dan

2. Debiana Dewi Sudradjat, Menggali Asas dan Penggolongan Benda Berdasarkan

Hukum Adat Indonesia Sebagai Landasan Penyusunan Sistem Hukum Benda

Nasional, Universitas Katolik Parahyangan, 2017.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas penulis akan merumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan pembagian benda dan bentuk-bentuk jaminan

berdasarkan pada hukum benda dan hukum jaminan yang berlaku saat ini di

Indonesia?

2. Bagaimanakah implementasi pembagian benda dan bentuk-bentuk jaminan

dalam praktek di Indonesia?

3. Bagaimanakah struktur pembagian benda dan bentuk-bentuk jaminan yang

sesuai dengan cita hukum Pancasila?

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

39

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian mengenai 3 (tiga) pokok permasalahan yang menjadi fokus

kajian dari penelitian disertasi ini sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, maka

yang menjadi tujuan atau yang hendak dicapai dari dilakukannya penelitian disertasi

ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis pengaturan pembagian benda dan bentuk-bentuk jaminan

berdasarkan pada hukum benda dan hukum jaminan yang berlaku saat ini di

Indonesia.

2. Menganalisis implementasi pembagian benda dan bentuk-bentuk jaminan

dalam praktek di Indonesia.

3. Membentuk struktur pembagian benda dan bentuk-bentuk jaminan yang sesuai

dengan cita hukum Pancasila.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis. Secara

teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan

ilmu hukum, khususnya hukum benda dan hukum jaminan yang berdasarkan pada

cita hukum negara Indonesia, yakni cita hukum Pancasila. Secara Praktis, penelitian

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

40

ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi praktisi hukum dalam melaksanakan

proses jaminan kebendaan terkait dengan benda-benda yang ada di Indonesia.

1.5. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian disertasi PENATAAN HUKUM JAMINAN

BERDASARKAN PEMBAGIAN HUKUM BENDA DI INDONESIA, maka

penelitian hukum normatif ini dikelompokan menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika

penulisan, sebagai berikut:

Penulisan disertasi ini diawali dengan uraian tentang Pendahuluan yang

dicantumkan dalam Bab I. Bab I ini akan menguraikan mengenai gambaran umum

pokok-pokok materi yang akan dibahas dalam penelitian disertasi ini, yaitu meliputi

latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan diakhiri

dengan sistematika penulisan.

Selanjutnya dalam Bab II menguraikan mengenai landasan teori, landasan

konseptual. Salah satu hal yang penting dikemukakan dalam Bab II ini adalah tentang

teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian disertasi ini.

Berikutnya adalah Bab III menguraikan tentang Metodologi Penelitian

menguraikan langkah-langkah yang dilakukan oleh penulis dalam rangka

memperoleh hasil penelitian disertasi ini. Baik tentang jenis penelitian, data yang

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uph.edu/5307/4/chapter 1.pdf · Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

41

digunakan, cara mengumpulkan data dan bagaimana penulis menggunakan metode

tersebut dalam penelitian disertasi ini.

Kemudian pada Bab IV menguraikan mengenai analisis dari fokus kajian

penelitian disertasi ini, yang berisi uraian mengenai pembagian benda berdasarkan

hukum benda di Indonesia beserta dengan jaminan kebendaan yang berlaku terhadap

benda-benda tersebut, struktur pembagian benda berdasarkan cita hukum Pancasila

beserta dengan jaminan yang berlaku terhadap benda yang didasarkan pada cita

hukum Pancasila.

Akhirnya penulisan disertasi ini akan ditutup pada Bab V yang merupakan

kesimpulan guna menjawab perumusan permasalahan dan saran untuk dijadikan

bahan kajian suatu penyempurnaan teori hukum tentang hukum benda di Indonesia

dan hukum jaminan yang berlaku atas benda-benda sebagaimana ditetapkan oleh

hukum benda di Indonesia.