BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I .pdf · memberikan perlindungan kepada...

23
BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Masalah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjadi Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor. 76, Tambahan Lembaga Nomor. 3290 tertanggal 31 Desember 1981 membawa perubahan fundamental dengan HIR (Het Herzeiene Inlandsch Reglement) yang berlaku sebelumnya. Perubahan fundamental sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu sendiri yang memberikan perlindungan kepada hak-hak asasi manusia (tersangka/terdakwa) dengan keseimbanganya dengan kepentingan umum terutama mengenai perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Perubahan fundamental ini di harapkan dapat menghasilkan gagasan yang baru mengenai nilai-nilai keadilan yang dapat memelihara dan mempertahankan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu di suatu kepentingan masyarakat di lain pihak yang mempunyai kedudukan atau jabatan dimata hukum semua sama. Indonesia merupakan Negara hukum maka tersangka dalam kasus tindak kriminal harus diperlakukan sebagai ‘’subjek’’ tidak boleh dipaksa untuk menerangkan suatu hal baik dalam tahap pemeriksaan pendahuluan oleh pihak

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I .pdf · memberikan perlindungan kepada...

BAB I

PENDAHULUAN

1. Permasalahan

1.1 Latar Belakang Masalah

Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjadi Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) Lembaga Negara Republik Indonesia

Nomor. 76, Tambahan Lembaga Nomor. 3290 tertanggal 31 Desember 1981

membawa perubahan fundamental dengan HIR (Het Herzeiene Inlandsch

Reglement) yang berlaku sebelumnya. Perubahan fundamental sesuai dengan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu sendiri yang

memberikan perlindungan kepada hak-hak asasi manusia (tersangka/terdakwa)

dengan keseimbanganya dengan kepentingan umum terutama mengenai

perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.

Perubahan fundamental ini di harapkan dapat menghasilkan gagasan yang

baru mengenai nilai-nilai keadilan yang dapat memelihara dan mempertahankan

keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu di suatu

kepentingan masyarakat di lain pihak yang mempunyai kedudukan atau jabatan

dimata hukum semua sama.

Indonesia merupakan Negara hukum maka tersangka dalam kasus tindak

kriminal harus diperlakukan sebagai ‘’subjek’’ tidak boleh dipaksa untuk

menerangkan suatu hal baik dalam tahap pemeriksaan pendahuluan oleh pihak

kepolisian atau penyidik maupun pada tahap prapenuntutan oleh pihak kejaksaan

atau penuntut umum ataupun pada tahap pemeriksaan di depan persidangan oleh

hakim.1

Lebih lanjut yang di kemukakan oleh Mr. S.M. Amin sebagai berikut :

‘’...Terjadinya suatu perbuatan melanggar ketentuan hukum dalam lapangan

hukum pidana, mengakibatkan terjadinya tindakan-tindakan yang seperlunya oleh

petugas-petugas Negara yang bertugas memelihara keamanan dalam Negri.

Petugas-petugas Negara yang berkewajiban menyelesaikan pelanggaran hukum

tersebut dapat di golongkan dalam tiga bagian, yaitu kepolisian, kejaksaan dan

kehakiman. Masing-masing golongan ini mempunyai tugas-tugas tertentu, dengan

pemisah tugas masing-masing satu dengan lain dalam lapangan pemeliharaan

keselamatan Negara’’.2

Walaupun tidak dijelaskan oleh Mr.S.M. Amin apakah yang dimaksud

dengan tindakan-tindakan seperlunya, namun dapat dilihat dari KUHAP bahwa

salah satu dari tindakan yang dimaksud itu adalah masalah penyidikan. Istilah

penyidikan adalah istilah yang tidak asing lagi terutama dalam proses perkara

pidana. KUHAP memberi definisi penyidikan yaitu serangkaian tindakan

penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan tersangkanya.

1 Tanu Subroto, 1984, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana, Amico, Bandung, h.73.

2 S.M.Amin, Hukum Acara Pengadilan Negri, Pradnya Paramita, Jakarta, h.25.

Di dalam organisasi Kepolisian penyidik menggunakan istilah reserse.

Tugasnya terutama tentang menerima laporan dan pengaturan serta mencari orang

yang di curigai untuk di priksa baik sebagai saksi atau tersangka. Jadi, bearti

penyidikan ini tindakan untuk mendahului proses yang dilakukan oleh aparat

dalam melakukan penyidikan. Kalau di hubungkan dengan teori hukum acara

pidana seperti dikemukakan oleh Van Bemmelen di (Bab I), maka penyelidikan

ini dimaksud ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang

bearti mencari kebenaran.3

Penyidikan suatu istilah yang di maksudkan sejajar dengan pengertian

opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat

(Malaysia). KUHAP memberi definisi penyidikan sebagai berikut;

‘’...serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini untuk mencari serta pengumpulan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangka’’.

Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de Pinto,

menyidik (opsporing) bearti ‘’pemeriksaan pemulaan oleh pejabat-pejabat yang

untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan

apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu

pelanggaran hukum’’.4

3 Andi Hamzah, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.120.

4 R. Tresna, 1957, Peradilan di Indonesia dan Abad ke Abad, Jakarta, h.72.

Istilah lain yang dipakai untuk menyebut penyidikan adalah mencari

kejahatan dan pelanggaran yang merupakan aksi atau tindakan pertama dari

penegak hukum yang mempunyai wewenang akan penyidikan yang di lakukan

setelah diketahui akan terjadi atau diduga terjadinya suatu tindak pidana.

Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh

penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan terjadinya suatu tindak pidana.

Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran maka harus

di usahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah

dilakukan suatu tindak pidana dan jika benar demikian siapakah pelakunya.5

Penyidikan dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti

yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan walaupun sifatnya

masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau

tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya.

Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan

penuntutan, yaitu untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan tersebut

dilakukan penuntutan.

Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan

jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi

manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah

sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

5 Darwan Print, 1998, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Djmbatan, Jakarta,h.8.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.

3. Pemeriksaan ditempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.

5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan.

7. Pemeriksaan atau introgasi.

8. Berita acara (penggeledahan, introgasi, dan pemeriksaan ditempat)

9. Penyitaan.

10. Penyampaian perkara.

11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada

penyidik untuk disempurnakan.

Terdapat dalam bulir 1 telah diuraikan di Bab 5. Begitu pula tentang

penahanan dan penggeledahan akan di uraikan di bab tersendiri. Jadi, disini

akan diuraikan pertama tentang terjadinya delik.6

Terjadinya delik dari empat kemungkinan yaitu sebagai berikut :

1. Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP).

2. Karena laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP).

3. Karena pengaduan (Pasal 1 Butir 25 KUHAP).

4. Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik

mengetahui terjadinya delik seperti membacanya di surat kabar,

mendengar dari radio atau orang yang bercerita, dan selanjutnya.

6 Andi Hamzah, Op. Cit, h.121

Menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP tersebut, pengertian tertangkap tangan

meliputi yang berikut ini :

1. tertangkap tangan waktu sedang melakukan tindak pidana.

2. tertangkap segera sesudah beberapa saat tindakan itu dilakukan.

3. tertangkap sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang

yang melakukan delik.

4. tertangkap sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras

telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukan

bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu

melakukan tindak pidana itu.

Hal itu sama benarnya dengan ketentuan Pasal 57 HIR(Herzeine Inlandsch

Reglement) dahulu. Pengertian tertangkap tangan diperluas sehingga mempunyai

pandangan berbeda dengan pengertian sehari-hari, karena meliputi pengertian

sedang melakukan dan sesudah melakukan suatu pelanggaran hukum.

Sejak zaman romawi telah dikenal delik tertanggkap tangan itu, yaitu delik

yang tertangkap sedang atau segera setelah berlangsung yang mempunyai akibat-

akibat hukum yang berbeda dengan delik lain. Delik tertangkap tangan disebut

oleh orang Romawi delicitum flagrans Jerman atau Belanda kuno handhalft delit

dan Jerman Frische Tat.7

7 Op.Cit, h.122.

Penyidikan delik tetangkap tangan lebih mudah dilakukan karena

terjadinya baru saja, berbeda dengan delik biasa yang kejadianya sudah beberapa

waktu berselang. Untuk menjaga agar pembuktian tidak menjadi kabur, jika

penyidikan sama-sama dengan delik biasa, maka diatur secara khusus. Banyak

kelonggaran-kelonggaran yang diberikan oleh penyidik yang lebih membatasi hak

asasi manusia dari pada delik biasa.

Suatu hal yang perlu diperhatikan ialah dalam KUHAP ada definisi

tentang delik tertangkap tangan, tetapi tidak terperinci tentang cara menyidik yang

khusus seperti yang diatur dalam Pasal 58 HIR(Herzeine Inlandsch Reglement).

Dalam Pasal 58 HIR(Herzeine Inlandsch Reglement) itu diatur antara lain, bahwa

siapa saja yang dapat menangkap pelaku delik tertangkap tangan itu dan

membawa pelakunya kepada penyidik yang berwenang untuk dilakukan proses

penyidikan, terhadap pelaku maupun saksi agar dapat memberikan keterangan

kepada penyidik. Dalam Pasal 18 ayat (2) KUHAP disebut bahwa penangkapan

harus segera dilakukan kepada tersangka beserta barang bukti yang ada kepada

penyidik atau penyidik pembantu. Hal ini sama dengan ketentuan Pasal 58

HIR(Herzeine Inlandsch Reglement), tetapi tidak tegas disebut bahwa siapa saja

yang dapat menangkap pelaku, hanya disebut penagkap,(tidak dijelaskan dalam

Pasal demi Pasal).

Pemeriksaan dalam kasus pembunuhan dilakukan di tempat kejadian

terutama pada delik tertangkap tangan. Dalam Pasal 53 KUHAP yang telah, ada

pengecualian memasuki suatu tempat dalam hal tertangkap tangan seperti ruangan

MPR, DPR, DPRD dimana sedang berlangsung sidang, ditempat mana sedang

berlangsung ibadah, dan ruang ditempat kejadian sangat berkaitan dengan

penggeledahan, tetapi dapat juga dilakukan di tempat kejadian suatu peristiwa

pidana yang telah terjadi.

Pemeriksaan ditempat kejadian pada umumnya dilakukan karena terjadi

delik yang mengakibatkan kematian, kejahatan seksual, pencurian, dan

perampokan. Dalam hal terjadinya kematian dan kejahatan seksual sering

dipanggil dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian diatur dalam

Pasal 7 KUHAP.

Dalam Pasal 7 ayat (1) butir ‘b’ ditentukan bahwa penyidik sebagaimana

disebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf ‘a’ (pejabat polri) mempunyai wewenang

melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian. Pada bulir ‘h’ Pasal itu

mengatakan bahwa penyidik berwenang mendatangkan orang lain yang

diperlukan dalam hubunganya dengan pemeriksaan perkara.8

Berdasarkan ketentuan itulah dapat dipanggil seorang dokter untuk

melakukan pemeriksaan, dan apabila ia menolak ia diancam dengan pidana

menurut Pasal 224 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :‘’barangsiapa dipanggil

menurut undang-undang untuk menjadi saksi,ahli, atau juru bahasa dengan

sengaja tidak melakukan suatu kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus

dipenuhinya, diancam dengan Pasal 224 KUHP;

Ayat (1) yaitu, Dalam perkara pidana dipidana dengan pidana penjara selama

lamanya sembilan bulan.

8 M.Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan

dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, h.110.

Ayat (2) yaitu, Dalam perkara lain, dipidana dengan pidana penjara selama-

lamanya enam bulan.

Penyidik pada waktu melakukan pemeriksaan pertama kali ditempat

kejadian sedapat mungkin tidak merubah, merusak keadaan ditempat kejadian

agar bukti-bukti tidak hilang atau menjadi kabur. Hal ini terutama dimaksud agar

sidik jari begitu pula alat bukti yang lain seperti jejak kaki, bercak darah, air mani,

rambut, dan sebagiannya tidak terhapus atau hilang.

Kasus yang terjadi dalam pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku

pembunuhan di Desa Subagan Kab.Karangasem yang pelaku mengaku dalam

kondisi dibawah sadar (Trance). kelengkapan materiil bahwa tersangka di sangka

melakukan tindak pidana pembunuhan berencana melanggar Pasal 338 KUHP

dengan unsur-unsur sebagai berikut.

Unsur barang siapa;

Unsur dengan sengaja.

Unsur merampas nyawa orang lain.

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka penulis

tertarik untuk melakukann penelitian secara yuridis empiris yang di fokuskan

kepada ‘’Masalah Penyidikan Terhadap Kasus Pembunuhan yang Dilakukan

Dalam Keadaan di Bawah Sadar (Trance), (Studi Kasus Pembunuhan di Desa

Subagan Kab. Karangasem)’’

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dalam usulan penelitian ini ada dua

permasalahan pokok yang akan dibahas adapun permasalahan-permasalahan

tersebut antara lain:

1. Bagaimanakah proses penyidikan yang dilakukan dalam kasus keadaan di

bawah sadar (trance) ?

2. Bagaimanakah tindakan penyidik untuk membuktikan adanya unsur

kesengajaan dalam tindak pidana pembunuhan di bawah sadar (trance) ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Di dalam kerangka ilmiah perlu ditentukan secara tegas mengenai materi

yang diuraikan dengan suatu batasan agar isi uraiannya tidak menyimpang dari

permasalahan yang disampaikan. Demikian juga dalam usulan penelitian ini

masalah yang terjadi dalam penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dalam

rumusan masalah terutama dalam aspek yuridis akan memperoleh suatu gambaran

yang tegas tentang bagaimana penyelesaian dan pembuktian, apakah seseorang

dalam keadaan tidak sadarkan diri melakukan suatu perbuatan pidana yang

menghilangkan nyawa orang lain di atur dalam Pasal 338 KUHP dapat di

buktikan dan di berikan suatu penjelasan yuridis tentang proses penyidikan dan

pengaruhnya dengan hak asasi manusia.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penulisan terhadap judul penelitian ini, penulis kali ini

menampilkan dua skripsi yang penelitian hampir mirip dengan penelitian penulis.

dalam menumbuhkan semangat anti plagiat dalam dunia pendidikan di indonesia,

maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan Orisinalitas dari

penelitian yang sedang di tulis dengan menampilkan beberapa judul penelitian

skripsi yang terdahulu sebagai pembanding.

Pertama : Skripsi dengan judul pengalihan jenis penahanan dalam proses

penyidikan perkara pidana, yang ditulis oleh I Wayan Oka Adnyana, NMP.21 10

121 047, Dalam skripsi ini penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang

dirumuskan dalam suatu rumusan masalah, diantaranya sebagai berikut:

1. Apa kriteria yang dipergunakan oleh penyidik melakukan tindakan

pengalihan penahanan terhadap tersangka ?

2. Bagaimana konsekwensi hukum pengalihan jenis penahanan yang

dilakukan penyidik ?

Kedua : Skripsi dengan judul proses penyidikan dalam upaya penyelesaian

berita acara pemeriksaan di polresta surakatra (studi kasus pembunuhan berencana

No.Pol.BP/113/IV/2005/Reskrim), yang ditulis oleh Indrawati Darmastuti, Nim. E

1107166. Dalam skripsi tersebut penulis mengambarkan dua rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana proses penyidikan dalam upaya penyelesaian berita acara

pemeriksaan (BAP) terhadap tindak pidana pembunuhan berencana di

polresta surakarta ?

2. Hambatan apa saja yang ditemui penyidik polresta surakarta dalam proses

penyidikan dalam upaya penyelesaian upaya penyelesaian berita acara

pemeriksaan (BAP) terhadap tindak pidana pembunuhan berencana di

polresta surakatra ?

Dari judul penelitian skripsi yang telah ditampilkan bahwa skripsi yang

ditulis oleh I Wayan Oka Adnyana dan Indarwati Darmastuti berbeda dengan

skripsi ini. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya, skripsi yang ditulis oleh I

Wayan Oka Adnyana dan Indarwati Darmastuti menggunakan permasalahan yang

berbeda dengan skripsi yang saya tulis, selain itu terdapat perbedaan antara lain

diantaranya tahun terbit skripsi dimana dalam skripsi yang ditulis oleh I Wayan

Oka Adnyana pada Tahun 2005 Fakultas Hukum Universitas Warmadewa

sedangkan Indarwati Darmastuti pada tahun 2011 Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret.

1.5 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran secara ilmiah

dan tertulis melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dibidang

penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. Mengembangkan diri pribadi

mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat, kontribusi bagi perkembangan ilmu

hukum dan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum.

b. Tujuan Khusus

Untuk mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana permasalahan di

dalam melakukan penyidikan terhadap kasus pembunuhan yang di lakukan

dengan keadaan di bawah sadar (trance) dan mengetahui apa saja yang dapat di

pertanggung jawabkan dalam kasus tersebut, agar mendapat kepastian hukum di

tingkat penyidikan,sehingga menemukan pemecahan dan solusi dari penyidikan

tersebut.

1.6 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Dalam penelitian ini manfaat yang dapat diperoleh dari usulan penelitian

ini adalah pemahaman dalam masalah penyidikan dan kesulitan apa saja yang

terdapat dalam proses penyidikan yang dilakukan dalam suatu permasalahan

hukum dalam pemenuhan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan dengan

sengaja atau dengan niat ,menghilangkan nyawa orang lain akan unsur-unsur yang

harus di penuhi oleh penyelidik.

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari usulan penelitian ini adalah

pemahaman hukum kepada pembaca dan memberi kontribusi tentang aturan-

aturan hukum yang jelas akan bagaimana pembuktian yang dapat di terangkan

secara logis tentang masalah penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan dapat

di pertanggungjawabkan atas masalah penyidikan yang dilakukan.

1.7 Landasan Teoritis

Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana

adalah hukum yang mengatur tenang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan

terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang

merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Selain itu, hukum pidana adalah

hukum yang mengatur tenatang pelanggaran dan kejahatan yang merugikan

kepentingan umum. Sederhananya adalah hukum pidana adalah hukum yang

mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, jika perbuatan

tersebut dilakukan maka akan ada sangsinya.9

Hukum pidana terdiri dari dua yaitu hukum pidana objektif (ius poenale)

dan hukum pidana subjektif (ius puniedi). Hukum pidana objektif adalah semua

peraturan tentang perintah atau larangan terhadap pelanggaran yang mana

diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan,dibagi dua yaitu ;

a. Hukum pidana materiil

Hukum yang mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat

dihukum.

b. Hukum pidana formal

Hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar

peraturan pidana.

9 Jonaedi Efendi, 2013, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana, Kencana

Prenadamedia, Jakarta, h.36.

Adapun hukum pidana subjektif (ius puniendi) ialah hak Negara atau alat-

alat untuk menghukum berdasarkan hukum pidana objektif. Pembahasan dalam

definisi diatas berhubungan dengan hukum pidana formal atau disebut dengan

hukum acara pidana. Karena hak-hak dalam hukum pidana dibicarakan dalam

hukum acara pidana.10

Terdapat beberapa asas yang sangat mendasar dalam hukum acara pidana,

Asas ini menjadi kaidah-kaidah dalam menerapkan dan menjalankan hukum acara

pidana, berikut ini dalam masalah penyidikan dalam hukum acara pidana

menggunakan :

1. Asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocent) yang berbunyi ,

‘’... setiap orang wajib diduga tidak bersalah sebelum ada putusan yang

menyatakan sebaliknya. Implikasi dari asas ini, bahwa seseorang yang

melakukan tindak pidana masih memiliki hak untuk tidak dinyatakan

bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah’’.

Penjelasan umum 3 huruf c KUHAP : setiap orang yang disangaka,

ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan dimuka sidang

pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan

pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan

hukum tetap.

2. Asas Legalitas, berbunyi ‘’...penangkapan, penahanan, penggeledahan,

dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat

10 Jonaedi Efendi, Loc.cit.

yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan

dengan cara yang diatur oleh undang-undang’’.11

Berkaitan dengan permasalahan hukum yang ada maka digunakan teori sebagai

berikut yaitu ;

1. Teori Pisikologi Kriminal

Dalam teori ini menggunakan usaha untuk mencari ciri-ciri psikis pada

para penjahat didasarkan pada anggapan bahwa penjahat merupakan

orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang berbeda dengan orang-

orang yang bukan penjahat dan ciri-ciri psikis tersebut terletak pada

intelegensinya yang rendah. Di indonesia perkembangan pisikologi

kriminal lambat, terutama disebabkan oleh peraturan perundang-undangan

yang ada. Sehingga menimbulkan masalah lain yaitu; kurangnya perhatian

para penegak hukum, khususnya hakim. Masih sangat sedikit

pertimbangan-pertimbangan atau perhatian para hakim dalam memeriksa

terdakwa dengan menggunakan hasil-hasil atau pendapat-pendapat para

ahli pisikologi. Dari berbagai kasus, sikap tersebut menghambat

perkembangan pisikologi kriminal di negara indonesia, bahkan tidak

sesuai dengan jiwa Pasal 44 KUHP.12

Terdapat dalam Teori Pisikologi

Kriminal yang disebut dengan Deindividuasi yaitu : suatu situasi dimana

kesadaran diri, kemampuan menilai diri dan kepedulian terhadap orang

11 Jonaedi Efendi, Op.cit. h.40.

12 Abdussalam. H.R dan Ardi Desasfuryanto, 2014, Criminology (Pembebasan Dengan Kasus

Tindak Pidana yang Terjadi di Seluruh Indonesia), PTIK, Jakarta, h.55.

lain menurun sehingga meningkat tingkah laku impulsive, termasuk

prilaku agresif.13

2. Teori Hukuman yang Tak Perlu (Theory of pointless punishment) teori ini

dikemukakan oleh Flecther yang mengemukakan pendapatnya tentang

perbuatan yang terjadi yang dilakukan oleh seseorang diluar kesadaranya.

Jadi, dalam halnya pelakunya mengalami sakit jiwa tidak ada manfaatnya

sekali menghukum, menjatuhkan pidana terhadap pelaku yang tidak

menyadari dan tidak dapat mencegah perbuatan yang dilakukanya itu.

Jadi, tidak perlunya untuk menghukum orang yang melakukan suatu tanpa

disadarinya.14

3. Teori pertanggung jawaban pidana dapat atau tidaknya di pertanggung

jawabkan seseorang yang melakukan tindakan pidana, dalam keadaan di

bawah sadar (trance). oleh sebab itu teori ini menjadi tolak ukur akan

dapat atau tidaknya perbuatan itu di pertanggung jawabkan, karen dalam

KUHP tidak mengatur tentang orang yang kesurupan dapat di pidana.

Menurut Pasal 1 angka 4 KUHAP Penyelidik adalah pejabat Kepolisian

Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penyidikan.

Wewenang penyelidik tercantum dalam Pasal 5 KUHAP sebagai berikut :

13 Op.cit. h.64.

14 Hamdan. H.M, 2012, Alasan Penghapusan Pidana (Teori dan Study Kasus), PT.Refika

Aditama, Bandung, h.62.

1. Menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana.

2. Mencari keterangan dan barang bukti;

3. Memeriksa seseorang yang dicurigai;

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Atas perintah penyidik:

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan

penyitaan;

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

4. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.

Menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP penyidik adalah pejabat polisi Negara

Republik Indonesia atau pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh unang-undang untuk melakukan penyidikan.

Wewenang penyidik yaitu;

a. menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana;

b. melakukan tindakan pertama di TKP;

c. memeriksa seseorang yang dicurigai;

d. melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.15

Pengertian penyelidikan menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini.

Penyelidikan menurut undang-undang diatas, bahwa sebenarnya

penyelidikan itu adalah penentuan suatu perbuatan dapat dikatakan suatu tindak

pidana atau tidak. Ketika suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu tindak

pidana, baru dapat dilakukan proses penyidikan. Dalam proses penyidikan ini

biasanya dilakukan oleh polri dan untuk kasus-kasus tertentu dapat dilakukan oleh

jaksa. Di saat inilah dimana pembuktian seseorang yang diduga bersalah dapat

menjadi sebagai tersangka.

Di dalam kasus yang terjadi pelaku pembunuhan memberikan keterangan

kepada penyidik melakukan penusukan dengan tidak sadarkan diri, dan di perkuat

oleh kesaksian saksi-saksi di lapangan. Pengertianan tidak sadarkan diri atau

15 Jonaedi Efendi, Op.cit. h.43.

disebut dengan (trance) dimana ‘trance’ yang disebut suatu keadaan yang

ditandai oleh perubahan kesadaran atau hilangnya pengindraan dari identitas diri

atau tanpa suatu identitas alternatif.(DSM IV TR). Keadaan kesurupan separuh

sadar (half-light) antara realitas yang nyata dan fantasi yang gelap

(cameron,1963).16

1.8 Metode Penelitian

Penelitian menurut J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain dalam

Kamus Umum Bahasa Indonesia ialah merupakan suatu Pencarian, pengolahan

penganalisisan suatu objek yang dilakukan berdasarkan teori serta cara-cara yang

sistematis untuk memperoleh jawaban atas suatu masalah yang bersifat keilmuan,

atau untuk menguji hipotesis dalam pengembangan prinsip-prinsip umum.17

Sedangkan menurut Soedandyo Penelitian hukum adalah seluruh upaya untuk

mencari dan menemukan jawaban yang benar (right answer) dan /atau jawaban

yang tidak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan.

a. Jenis Penelitian

Berdasarkan ruang lingkup bidang kajian ini, jenis penelitian yang

digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian Yuridis Empiris. Penelitian hukum

ini dilakukan dengan cara meneliti data primer dan data skunder dari norma-

norma hukum yang berterkaitan dengan permasalahan hukum yang dihadapi dan

melihat bagaimana penerapan norma hukum tersebut dilapangan dalam hal ini di

16 Cameron N, 1963, Personality Development and Psychopathology, Mifflin Company,

Boston, h. 338-372.

17 J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka

Sinar Harapan, Jakarta.

polsek Subagan Karangasem. Dimana dalam KUHAP masalah penyidikan,

penyelidikan oleh polisi sudah diatur jelas akan prosedur dan proses yang

dilakukan oleh penyidik untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum, agar

dapat memenuhi unsur-unsur yang tidak terpenuhi dalam proses penyidikan dan

memberikan sanksi pidana untuk tersangka pelaku kejahatan.

b. Jenis Pendekatan

Pendekatan kasus (The Case Approach) yang dipergunakan dalam

penelitian ini dengan mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa sikap,

penilaian, perilaku, yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan yang

dilakukan dengan cara melakukan pendekatan kepada masyarakat kususnya di

daerah Subagan Kab.Karangasem dan aparat kepolisian di lapangan.

c. Sumber Data Hukum

Data yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan dua sumber data

hukum yaitu :

a. Sumber data primer yaitu terdiri dari, Doktrin (pendapat para sarjana

hukum terkemuka yang memiliki pengaruh besar terhadap hakim dalam

mengambil keputusan perkaran dan aparat sebagai penyidik dalam

masalah kasus yang terjadi), teori-teori dalam hukum acara pidana dalam

hal penyidikan yang dilakukan oleh aparat yang berwenang akan proses

penyidikan, hukum pidana, undang-undang republik Indonesia dan aturan

peraturan hukum yang terdapat di suatu daerah.

b. Sumber data skunder didapatkan dari hasil wawancara dengan penyidik

yang bertugas di polsek karangasem, jaksa dan para ahli yang mempunyai

pandapat tentang pembunuhan yang terjadi di Desa Subagan Karangasem.

d. Teknik Pengumpulan Data Hukum

Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan teknik pengumpulan

dokumen, wawancara dan opservasi di tempat objek lokasi dalam pengumpulan

data ini, penulis melakukan kajian terhadap permasalahan hukum yang terjadi di

Desa Subagan dengan cara melakukan penelitian terhadap kasus pembunuhan.

Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti proses-proses yang dilakukan oleh

penyidik untuk melengkapi barang bukti yang belum dipenuhi dalam hukum acara

pidana KUHAP yang berhubungan dengan topik permasalahan untuk memperoleh

data yang nyata dalam menunjang pembahasan penulisan skripsi ini.

a. Teknik Pengumpulan Dokumen

Data diperoleh dari hasil penelitian dengan menggunakan metode

deskriptif evaluasi dengan menggambarkan data yang diperoleh dari

lapangan, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.

b. Teknik Wawancara

Pendataan didapat melalui proses wawancara dengan penyidik yang

berkaitan dengan masalah pembunuhan yang terjadi di Desa Subagan

Karangasem, untuk mendapatkan data yang akurat.

e. Teknik Analisis Data Hukum

Teknik analisis data hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik analisis kualitatif dan teknik analisis deskriptif.

a. Analisis kualitatif yaitu data yang terkumpul dengan bentuk-bentuk berita

acara pemeriksaan secara sistematis.

b. Analisis deskriptif yaitu data yang diolah kemudian di interprestasikan

dengan cara penafsiran hukum yang selanjutnya dianalisa secara yuridis

kualitatif.