BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I .pdf · memberikan perlindungan kepada...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I .pdf · memberikan perlindungan kepada...
BAB I
PENDAHULUAN
1. Permasalahan
1.1 Latar Belakang Masalah
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjadi Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) Lembaga Negara Republik Indonesia
Nomor. 76, Tambahan Lembaga Nomor. 3290 tertanggal 31 Desember 1981
membawa perubahan fundamental dengan HIR (Het Herzeiene Inlandsch
Reglement) yang berlaku sebelumnya. Perubahan fundamental sesuai dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu sendiri yang
memberikan perlindungan kepada hak-hak asasi manusia (tersangka/terdakwa)
dengan keseimbanganya dengan kepentingan umum terutama mengenai
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Perubahan fundamental ini di harapkan dapat menghasilkan gagasan yang
baru mengenai nilai-nilai keadilan yang dapat memelihara dan mempertahankan
keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu di suatu
kepentingan masyarakat di lain pihak yang mempunyai kedudukan atau jabatan
dimata hukum semua sama.
Indonesia merupakan Negara hukum maka tersangka dalam kasus tindak
kriminal harus diperlakukan sebagai ‘’subjek’’ tidak boleh dipaksa untuk
menerangkan suatu hal baik dalam tahap pemeriksaan pendahuluan oleh pihak
kepolisian atau penyidik maupun pada tahap prapenuntutan oleh pihak kejaksaan
atau penuntut umum ataupun pada tahap pemeriksaan di depan persidangan oleh
hakim.1
Lebih lanjut yang di kemukakan oleh Mr. S.M. Amin sebagai berikut :
‘’...Terjadinya suatu perbuatan melanggar ketentuan hukum dalam lapangan
hukum pidana, mengakibatkan terjadinya tindakan-tindakan yang seperlunya oleh
petugas-petugas Negara yang bertugas memelihara keamanan dalam Negri.
Petugas-petugas Negara yang berkewajiban menyelesaikan pelanggaran hukum
tersebut dapat di golongkan dalam tiga bagian, yaitu kepolisian, kejaksaan dan
kehakiman. Masing-masing golongan ini mempunyai tugas-tugas tertentu, dengan
pemisah tugas masing-masing satu dengan lain dalam lapangan pemeliharaan
keselamatan Negara’’.2
Walaupun tidak dijelaskan oleh Mr.S.M. Amin apakah yang dimaksud
dengan tindakan-tindakan seperlunya, namun dapat dilihat dari KUHAP bahwa
salah satu dari tindakan yang dimaksud itu adalah masalah penyidikan. Istilah
penyidikan adalah istilah yang tidak asing lagi terutama dalam proses perkara
pidana. KUHAP memberi definisi penyidikan yaitu serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan tersangkanya.
1 Tanu Subroto, 1984, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana, Amico, Bandung, h.73.
2 S.M.Amin, Hukum Acara Pengadilan Negri, Pradnya Paramita, Jakarta, h.25.
Di dalam organisasi Kepolisian penyidik menggunakan istilah reserse.
Tugasnya terutama tentang menerima laporan dan pengaturan serta mencari orang
yang di curigai untuk di priksa baik sebagai saksi atau tersangka. Jadi, bearti
penyidikan ini tindakan untuk mendahului proses yang dilakukan oleh aparat
dalam melakukan penyidikan. Kalau di hubungkan dengan teori hukum acara
pidana seperti dikemukakan oleh Van Bemmelen di (Bab I), maka penyelidikan
ini dimaksud ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang
bearti mencari kebenaran.3
Penyidikan suatu istilah yang di maksudkan sejajar dengan pengertian
opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat
(Malaysia). KUHAP memberi definisi penyidikan sebagai berikut;
‘’...serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta pengumpulan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangka’’.
Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de Pinto,
menyidik (opsporing) bearti ‘’pemeriksaan pemulaan oleh pejabat-pejabat yang
untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan
apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu
pelanggaran hukum’’.4
3 Andi Hamzah, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.120.
4 R. Tresna, 1957, Peradilan di Indonesia dan Abad ke Abad, Jakarta, h.72.
Istilah lain yang dipakai untuk menyebut penyidikan adalah mencari
kejahatan dan pelanggaran yang merupakan aksi atau tindakan pertama dari
penegak hukum yang mempunyai wewenang akan penyidikan yang di lakukan
setelah diketahui akan terjadi atau diduga terjadinya suatu tindak pidana.
Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh
penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan terjadinya suatu tindak pidana.
Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran maka harus
di usahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah
dilakukan suatu tindak pidana dan jika benar demikian siapakah pelakunya.5
Penyidikan dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti
yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan walaupun sifatnya
masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau
tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya.
Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan
penuntutan, yaitu untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan tersebut
dilakukan penuntutan.
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan
jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi
manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah
sebagai berikut :
1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
5 Darwan Print, 1998, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Djmbatan, Jakarta,h.8.
2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
3. Pemeriksaan ditempat kejadian.
4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
5. Penahanan sementara.
6. Penggeledahan.
7. Pemeriksaan atau introgasi.
8. Berita acara (penggeledahan, introgasi, dan pemeriksaan ditempat)
9. Penyitaan.
10. Penyampaian perkara.
11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada
penyidik untuk disempurnakan.
Terdapat dalam bulir 1 telah diuraikan di Bab 5. Begitu pula tentang
penahanan dan penggeledahan akan di uraikan di bab tersendiri. Jadi, disini
akan diuraikan pertama tentang terjadinya delik.6
Terjadinya delik dari empat kemungkinan yaitu sebagai berikut :
1. Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP).
2. Karena laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP).
3. Karena pengaduan (Pasal 1 Butir 25 KUHAP).
4. Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik
mengetahui terjadinya delik seperti membacanya di surat kabar,
mendengar dari radio atau orang yang bercerita, dan selanjutnya.
6 Andi Hamzah, Op. Cit, h.121
Menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP tersebut, pengertian tertangkap tangan
meliputi yang berikut ini :
1. tertangkap tangan waktu sedang melakukan tindak pidana.
2. tertangkap segera sesudah beberapa saat tindakan itu dilakukan.
3. tertangkap sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang
yang melakukan delik.
4. tertangkap sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras
telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukan
bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu
melakukan tindak pidana itu.
Hal itu sama benarnya dengan ketentuan Pasal 57 HIR(Herzeine Inlandsch
Reglement) dahulu. Pengertian tertangkap tangan diperluas sehingga mempunyai
pandangan berbeda dengan pengertian sehari-hari, karena meliputi pengertian
sedang melakukan dan sesudah melakukan suatu pelanggaran hukum.
Sejak zaman romawi telah dikenal delik tertanggkap tangan itu, yaitu delik
yang tertangkap sedang atau segera setelah berlangsung yang mempunyai akibat-
akibat hukum yang berbeda dengan delik lain. Delik tertangkap tangan disebut
oleh orang Romawi delicitum flagrans Jerman atau Belanda kuno handhalft delit
dan Jerman Frische Tat.7
7 Op.Cit, h.122.
Penyidikan delik tetangkap tangan lebih mudah dilakukan karena
terjadinya baru saja, berbeda dengan delik biasa yang kejadianya sudah beberapa
waktu berselang. Untuk menjaga agar pembuktian tidak menjadi kabur, jika
penyidikan sama-sama dengan delik biasa, maka diatur secara khusus. Banyak
kelonggaran-kelonggaran yang diberikan oleh penyidik yang lebih membatasi hak
asasi manusia dari pada delik biasa.
Suatu hal yang perlu diperhatikan ialah dalam KUHAP ada definisi
tentang delik tertangkap tangan, tetapi tidak terperinci tentang cara menyidik yang
khusus seperti yang diatur dalam Pasal 58 HIR(Herzeine Inlandsch Reglement).
Dalam Pasal 58 HIR(Herzeine Inlandsch Reglement) itu diatur antara lain, bahwa
siapa saja yang dapat menangkap pelaku delik tertangkap tangan itu dan
membawa pelakunya kepada penyidik yang berwenang untuk dilakukan proses
penyidikan, terhadap pelaku maupun saksi agar dapat memberikan keterangan
kepada penyidik. Dalam Pasal 18 ayat (2) KUHAP disebut bahwa penangkapan
harus segera dilakukan kepada tersangka beserta barang bukti yang ada kepada
penyidik atau penyidik pembantu. Hal ini sama dengan ketentuan Pasal 58
HIR(Herzeine Inlandsch Reglement), tetapi tidak tegas disebut bahwa siapa saja
yang dapat menangkap pelaku, hanya disebut penagkap,(tidak dijelaskan dalam
Pasal demi Pasal).
Pemeriksaan dalam kasus pembunuhan dilakukan di tempat kejadian
terutama pada delik tertangkap tangan. Dalam Pasal 53 KUHAP yang telah, ada
pengecualian memasuki suatu tempat dalam hal tertangkap tangan seperti ruangan
MPR, DPR, DPRD dimana sedang berlangsung sidang, ditempat mana sedang
berlangsung ibadah, dan ruang ditempat kejadian sangat berkaitan dengan
penggeledahan, tetapi dapat juga dilakukan di tempat kejadian suatu peristiwa
pidana yang telah terjadi.
Pemeriksaan ditempat kejadian pada umumnya dilakukan karena terjadi
delik yang mengakibatkan kematian, kejahatan seksual, pencurian, dan
perampokan. Dalam hal terjadinya kematian dan kejahatan seksual sering
dipanggil dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian diatur dalam
Pasal 7 KUHAP.
Dalam Pasal 7 ayat (1) butir ‘b’ ditentukan bahwa penyidik sebagaimana
disebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf ‘a’ (pejabat polri) mempunyai wewenang
melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian. Pada bulir ‘h’ Pasal itu
mengatakan bahwa penyidik berwenang mendatangkan orang lain yang
diperlukan dalam hubunganya dengan pemeriksaan perkara.8
Berdasarkan ketentuan itulah dapat dipanggil seorang dokter untuk
melakukan pemeriksaan, dan apabila ia menolak ia diancam dengan pidana
menurut Pasal 224 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :‘’barangsiapa dipanggil
menurut undang-undang untuk menjadi saksi,ahli, atau juru bahasa dengan
sengaja tidak melakukan suatu kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus
dipenuhinya, diancam dengan Pasal 224 KUHP;
Ayat (1) yaitu, Dalam perkara pidana dipidana dengan pidana penjara selama
lamanya sembilan bulan.
8 M.Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, h.110.
Ayat (2) yaitu, Dalam perkara lain, dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya enam bulan.
Penyidik pada waktu melakukan pemeriksaan pertama kali ditempat
kejadian sedapat mungkin tidak merubah, merusak keadaan ditempat kejadian
agar bukti-bukti tidak hilang atau menjadi kabur. Hal ini terutama dimaksud agar
sidik jari begitu pula alat bukti yang lain seperti jejak kaki, bercak darah, air mani,
rambut, dan sebagiannya tidak terhapus atau hilang.
Kasus yang terjadi dalam pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku
pembunuhan di Desa Subagan Kab.Karangasem yang pelaku mengaku dalam
kondisi dibawah sadar (Trance). kelengkapan materiil bahwa tersangka di sangka
melakukan tindak pidana pembunuhan berencana melanggar Pasal 338 KUHP
dengan unsur-unsur sebagai berikut.
Unsur barang siapa;
Unsur dengan sengaja.
Unsur merampas nyawa orang lain.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka penulis
tertarik untuk melakukann penelitian secara yuridis empiris yang di fokuskan
kepada ‘’Masalah Penyidikan Terhadap Kasus Pembunuhan yang Dilakukan
Dalam Keadaan di Bawah Sadar (Trance), (Studi Kasus Pembunuhan di Desa
Subagan Kab. Karangasem)’’
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dalam usulan penelitian ini ada dua
permasalahan pokok yang akan dibahas adapun permasalahan-permasalahan
tersebut antara lain:
1. Bagaimanakah proses penyidikan yang dilakukan dalam kasus keadaan di
bawah sadar (trance) ?
2. Bagaimanakah tindakan penyidik untuk membuktikan adanya unsur
kesengajaan dalam tindak pidana pembunuhan di bawah sadar (trance) ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Di dalam kerangka ilmiah perlu ditentukan secara tegas mengenai materi
yang diuraikan dengan suatu batasan agar isi uraiannya tidak menyimpang dari
permasalahan yang disampaikan. Demikian juga dalam usulan penelitian ini
masalah yang terjadi dalam penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dalam
rumusan masalah terutama dalam aspek yuridis akan memperoleh suatu gambaran
yang tegas tentang bagaimana penyelesaian dan pembuktian, apakah seseorang
dalam keadaan tidak sadarkan diri melakukan suatu perbuatan pidana yang
menghilangkan nyawa orang lain di atur dalam Pasal 338 KUHP dapat di
buktikan dan di berikan suatu penjelasan yuridis tentang proses penyidikan dan
pengaruhnya dengan hak asasi manusia.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penulisan terhadap judul penelitian ini, penulis kali ini
menampilkan dua skripsi yang penelitian hampir mirip dengan penelitian penulis.
dalam menumbuhkan semangat anti plagiat dalam dunia pendidikan di indonesia,
maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan Orisinalitas dari
penelitian yang sedang di tulis dengan menampilkan beberapa judul penelitian
skripsi yang terdahulu sebagai pembanding.
Pertama : Skripsi dengan judul pengalihan jenis penahanan dalam proses
penyidikan perkara pidana, yang ditulis oleh I Wayan Oka Adnyana, NMP.21 10
121 047, Dalam skripsi ini penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang
dirumuskan dalam suatu rumusan masalah, diantaranya sebagai berikut:
1. Apa kriteria yang dipergunakan oleh penyidik melakukan tindakan
pengalihan penahanan terhadap tersangka ?
2. Bagaimana konsekwensi hukum pengalihan jenis penahanan yang
dilakukan penyidik ?
Kedua : Skripsi dengan judul proses penyidikan dalam upaya penyelesaian
berita acara pemeriksaan di polresta surakatra (studi kasus pembunuhan berencana
No.Pol.BP/113/IV/2005/Reskrim), yang ditulis oleh Indrawati Darmastuti, Nim. E
1107166. Dalam skripsi tersebut penulis mengambarkan dua rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana proses penyidikan dalam upaya penyelesaian berita acara
pemeriksaan (BAP) terhadap tindak pidana pembunuhan berencana di
polresta surakarta ?
2. Hambatan apa saja yang ditemui penyidik polresta surakarta dalam proses
penyidikan dalam upaya penyelesaian upaya penyelesaian berita acara
pemeriksaan (BAP) terhadap tindak pidana pembunuhan berencana di
polresta surakatra ?
Dari judul penelitian skripsi yang telah ditampilkan bahwa skripsi yang
ditulis oleh I Wayan Oka Adnyana dan Indarwati Darmastuti berbeda dengan
skripsi ini. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya, skripsi yang ditulis oleh I
Wayan Oka Adnyana dan Indarwati Darmastuti menggunakan permasalahan yang
berbeda dengan skripsi yang saya tulis, selain itu terdapat perbedaan antara lain
diantaranya tahun terbit skripsi dimana dalam skripsi yang ditulis oleh I Wayan
Oka Adnyana pada Tahun 2005 Fakultas Hukum Universitas Warmadewa
sedangkan Indarwati Darmastuti pada tahun 2011 Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
1.5 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran secara ilmiah
dan tertulis melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dibidang
penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. Mengembangkan diri pribadi
mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat, kontribusi bagi perkembangan ilmu
hukum dan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum.
b. Tujuan Khusus
Untuk mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana permasalahan di
dalam melakukan penyidikan terhadap kasus pembunuhan yang di lakukan
dengan keadaan di bawah sadar (trance) dan mengetahui apa saja yang dapat di
pertanggung jawabkan dalam kasus tersebut, agar mendapat kepastian hukum di
tingkat penyidikan,sehingga menemukan pemecahan dan solusi dari penyidikan
tersebut.
1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Dalam penelitian ini manfaat yang dapat diperoleh dari usulan penelitian
ini adalah pemahaman dalam masalah penyidikan dan kesulitan apa saja yang
terdapat dalam proses penyidikan yang dilakukan dalam suatu permasalahan
hukum dalam pemenuhan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan dengan
sengaja atau dengan niat ,menghilangkan nyawa orang lain akan unsur-unsur yang
harus di penuhi oleh penyelidik.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari usulan penelitian ini adalah
pemahaman hukum kepada pembaca dan memberi kontribusi tentang aturan-
aturan hukum yang jelas akan bagaimana pembuktian yang dapat di terangkan
secara logis tentang masalah penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan dapat
di pertanggungjawabkan atas masalah penyidikan yang dilakukan.
1.7 Landasan Teoritis
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana
adalah hukum yang mengatur tenang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan
terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Selain itu, hukum pidana adalah
hukum yang mengatur tenatang pelanggaran dan kejahatan yang merugikan
kepentingan umum. Sederhananya adalah hukum pidana adalah hukum yang
mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, jika perbuatan
tersebut dilakukan maka akan ada sangsinya.9
Hukum pidana terdiri dari dua yaitu hukum pidana objektif (ius poenale)
dan hukum pidana subjektif (ius puniedi). Hukum pidana objektif adalah semua
peraturan tentang perintah atau larangan terhadap pelanggaran yang mana
diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan,dibagi dua yaitu ;
a. Hukum pidana materiil
Hukum yang mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat
dihukum.
b. Hukum pidana formal
Hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar
peraturan pidana.
9 Jonaedi Efendi, 2013, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana, Kencana
Prenadamedia, Jakarta, h.36.
Adapun hukum pidana subjektif (ius puniendi) ialah hak Negara atau alat-
alat untuk menghukum berdasarkan hukum pidana objektif. Pembahasan dalam
definisi diatas berhubungan dengan hukum pidana formal atau disebut dengan
hukum acara pidana. Karena hak-hak dalam hukum pidana dibicarakan dalam
hukum acara pidana.10
Terdapat beberapa asas yang sangat mendasar dalam hukum acara pidana,
Asas ini menjadi kaidah-kaidah dalam menerapkan dan menjalankan hukum acara
pidana, berikut ini dalam masalah penyidikan dalam hukum acara pidana
menggunakan :
1. Asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocent) yang berbunyi ,
‘’... setiap orang wajib diduga tidak bersalah sebelum ada putusan yang
menyatakan sebaliknya. Implikasi dari asas ini, bahwa seseorang yang
melakukan tindak pidana masih memiliki hak untuk tidak dinyatakan
bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah’’.
Penjelasan umum 3 huruf c KUHAP : setiap orang yang disangaka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan dimuka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
2. Asas Legalitas, berbunyi ‘’...penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat
10 Jonaedi Efendi, Loc.cit.
yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan
dengan cara yang diatur oleh undang-undang’’.11
Berkaitan dengan permasalahan hukum yang ada maka digunakan teori sebagai
berikut yaitu ;
1. Teori Pisikologi Kriminal
Dalam teori ini menggunakan usaha untuk mencari ciri-ciri psikis pada
para penjahat didasarkan pada anggapan bahwa penjahat merupakan
orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang berbeda dengan orang-
orang yang bukan penjahat dan ciri-ciri psikis tersebut terletak pada
intelegensinya yang rendah. Di indonesia perkembangan pisikologi
kriminal lambat, terutama disebabkan oleh peraturan perundang-undangan
yang ada. Sehingga menimbulkan masalah lain yaitu; kurangnya perhatian
para penegak hukum, khususnya hakim. Masih sangat sedikit
pertimbangan-pertimbangan atau perhatian para hakim dalam memeriksa
terdakwa dengan menggunakan hasil-hasil atau pendapat-pendapat para
ahli pisikologi. Dari berbagai kasus, sikap tersebut menghambat
perkembangan pisikologi kriminal di negara indonesia, bahkan tidak
sesuai dengan jiwa Pasal 44 KUHP.12
Terdapat dalam Teori Pisikologi
Kriminal yang disebut dengan Deindividuasi yaitu : suatu situasi dimana
kesadaran diri, kemampuan menilai diri dan kepedulian terhadap orang
11 Jonaedi Efendi, Op.cit. h.40.
12 Abdussalam. H.R dan Ardi Desasfuryanto, 2014, Criminology (Pembebasan Dengan Kasus
Tindak Pidana yang Terjadi di Seluruh Indonesia), PTIK, Jakarta, h.55.
lain menurun sehingga meningkat tingkah laku impulsive, termasuk
prilaku agresif.13
2. Teori Hukuman yang Tak Perlu (Theory of pointless punishment) teori ini
dikemukakan oleh Flecther yang mengemukakan pendapatnya tentang
perbuatan yang terjadi yang dilakukan oleh seseorang diluar kesadaranya.
Jadi, dalam halnya pelakunya mengalami sakit jiwa tidak ada manfaatnya
sekali menghukum, menjatuhkan pidana terhadap pelaku yang tidak
menyadari dan tidak dapat mencegah perbuatan yang dilakukanya itu.
Jadi, tidak perlunya untuk menghukum orang yang melakukan suatu tanpa
disadarinya.14
3. Teori pertanggung jawaban pidana dapat atau tidaknya di pertanggung
jawabkan seseorang yang melakukan tindakan pidana, dalam keadaan di
bawah sadar (trance). oleh sebab itu teori ini menjadi tolak ukur akan
dapat atau tidaknya perbuatan itu di pertanggung jawabkan, karen dalam
KUHP tidak mengatur tentang orang yang kesurupan dapat di pidana.
Menurut Pasal 1 angka 4 KUHAP Penyelidik adalah pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penyidikan.
Wewenang penyelidik tercantum dalam Pasal 5 KUHAP sebagai berikut :
13 Op.cit. h.64.
14 Hamdan. H.M, 2012, Alasan Penghapusan Pidana (Teori dan Study Kasus), PT.Refika
Aditama, Bandung, h.62.
1. Menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana.
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Memeriksa seseorang yang dicurigai;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Atas perintah penyidik:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan
penyitaan;
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
4. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
Menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP penyidik adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh unang-undang untuk melakukan penyidikan.
Wewenang penyidik yaitu;
a. menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. melakukan tindakan pertama di TKP;
c. memeriksa seseorang yang dicurigai;
d. melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.15
Pengertian penyelidikan menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
Penyelidikan menurut undang-undang diatas, bahwa sebenarnya
penyelidikan itu adalah penentuan suatu perbuatan dapat dikatakan suatu tindak
pidana atau tidak. Ketika suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu tindak
pidana, baru dapat dilakukan proses penyidikan. Dalam proses penyidikan ini
biasanya dilakukan oleh polri dan untuk kasus-kasus tertentu dapat dilakukan oleh
jaksa. Di saat inilah dimana pembuktian seseorang yang diduga bersalah dapat
menjadi sebagai tersangka.
Di dalam kasus yang terjadi pelaku pembunuhan memberikan keterangan
kepada penyidik melakukan penusukan dengan tidak sadarkan diri, dan di perkuat
oleh kesaksian saksi-saksi di lapangan. Pengertianan tidak sadarkan diri atau
15 Jonaedi Efendi, Op.cit. h.43.
disebut dengan (trance) dimana ‘trance’ yang disebut suatu keadaan yang
ditandai oleh perubahan kesadaran atau hilangnya pengindraan dari identitas diri
atau tanpa suatu identitas alternatif.(DSM IV TR). Keadaan kesurupan separuh
sadar (half-light) antara realitas yang nyata dan fantasi yang gelap
(cameron,1963).16
1.8 Metode Penelitian
Penelitian menurut J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia ialah merupakan suatu Pencarian, pengolahan
penganalisisan suatu objek yang dilakukan berdasarkan teori serta cara-cara yang
sistematis untuk memperoleh jawaban atas suatu masalah yang bersifat keilmuan,
atau untuk menguji hipotesis dalam pengembangan prinsip-prinsip umum.17
Sedangkan menurut Soedandyo Penelitian hukum adalah seluruh upaya untuk
mencari dan menemukan jawaban yang benar (right answer) dan /atau jawaban
yang tidak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan.
a. Jenis Penelitian
Berdasarkan ruang lingkup bidang kajian ini, jenis penelitian yang
digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian Yuridis Empiris. Penelitian hukum
ini dilakukan dengan cara meneliti data primer dan data skunder dari norma-
norma hukum yang berterkaitan dengan permasalahan hukum yang dihadapi dan
melihat bagaimana penerapan norma hukum tersebut dilapangan dalam hal ini di
16 Cameron N, 1963, Personality Development and Psychopathology, Mifflin Company,
Boston, h. 338-372.
17 J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
polsek Subagan Karangasem. Dimana dalam KUHAP masalah penyidikan,
penyelidikan oleh polisi sudah diatur jelas akan prosedur dan proses yang
dilakukan oleh penyidik untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum, agar
dapat memenuhi unsur-unsur yang tidak terpenuhi dalam proses penyidikan dan
memberikan sanksi pidana untuk tersangka pelaku kejahatan.
b. Jenis Pendekatan
Pendekatan kasus (The Case Approach) yang dipergunakan dalam
penelitian ini dengan mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa sikap,
penilaian, perilaku, yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan yang
dilakukan dengan cara melakukan pendekatan kepada masyarakat kususnya di
daerah Subagan Kab.Karangasem dan aparat kepolisian di lapangan.
c. Sumber Data Hukum
Data yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan dua sumber data
hukum yaitu :
a. Sumber data primer yaitu terdiri dari, Doktrin (pendapat para sarjana
hukum terkemuka yang memiliki pengaruh besar terhadap hakim dalam
mengambil keputusan perkaran dan aparat sebagai penyidik dalam
masalah kasus yang terjadi), teori-teori dalam hukum acara pidana dalam
hal penyidikan yang dilakukan oleh aparat yang berwenang akan proses
penyidikan, hukum pidana, undang-undang republik Indonesia dan aturan
peraturan hukum yang terdapat di suatu daerah.
b. Sumber data skunder didapatkan dari hasil wawancara dengan penyidik
yang bertugas di polsek karangasem, jaksa dan para ahli yang mempunyai
pandapat tentang pembunuhan yang terjadi di Desa Subagan Karangasem.
d. Teknik Pengumpulan Data Hukum
Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan teknik pengumpulan
dokumen, wawancara dan opservasi di tempat objek lokasi dalam pengumpulan
data ini, penulis melakukan kajian terhadap permasalahan hukum yang terjadi di
Desa Subagan dengan cara melakukan penelitian terhadap kasus pembunuhan.
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti proses-proses yang dilakukan oleh
penyidik untuk melengkapi barang bukti yang belum dipenuhi dalam hukum acara
pidana KUHAP yang berhubungan dengan topik permasalahan untuk memperoleh
data yang nyata dalam menunjang pembahasan penulisan skripsi ini.
a. Teknik Pengumpulan Dokumen
Data diperoleh dari hasil penelitian dengan menggunakan metode
deskriptif evaluasi dengan menggambarkan data yang diperoleh dari
lapangan, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.
b. Teknik Wawancara
Pendataan didapat melalui proses wawancara dengan penyidik yang
berkaitan dengan masalah pembunuhan yang terjadi di Desa Subagan
Karangasem, untuk mendapatkan data yang akurat.
e. Teknik Analisis Data Hukum
Teknik analisis data hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis kualitatif dan teknik analisis deskriptif.
a. Analisis kualitatif yaitu data yang terkumpul dengan bentuk-bentuk berita
acara pemeriksaan secara sistematis.
b. Analisis deskriptif yaitu data yang diolah kemudian di interprestasikan
dengan cara penafsiran hukum yang selanjutnya dianalisa secara yuridis
kualitatif.