BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonesia
adalah negara berdasarkan asas hukum (rechtstaat). Sebagai negara hukum, maka
Indonesia selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan menjamin
kedamaian warga negara bersamaan dan kedudukannya di dalam hukum dengan
tidak ada pengecualian. Idealnya sebagai negara hukum, Indonesia menganut
sistem kedaulatan hukum atas supremasi hukum yaitu hukum mempunyai
kekuasaan tertinggi di dalam negara- negara.1 Sehingga, segala tindakan atau
perbuatan seluruh individu tanpa terkecuali harus mengacu pada ketentuan hukum
dan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Negara berdasarkan asas
hukum ini harus mengacu pada hukum yang baik dan adil tanpa ada pengecualian.
Berbicara mengenai keadilan, Negara sangat menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia (HAM) begitu pula menyangkut Hak Asasi Anak yang di
implementasikan dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan hak anak
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
didukung dengan beberapa ketentuan-ketentuan lain.
Anak adalah manusia dan merupakan amanah serta karunia Tuhan Yang
Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, bahwa
untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan
khusus dalam berbagai segi kehidupan dan penghidupan karena pada hakikatnya
1Yulia Neta dan M. Iwan Satriawan, Ilmu Negara, Bandar Lampung : PKKPU FH
Universitas Lampung, 2013. hal. 2.
2
anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang
menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak
merupakan generasi muda yang mempunyai potensi yang diharapkan dapat
mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih
maju dan makmur sehingga patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi
kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang
jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa
akan sulit pula dibayangkan.2Berbicara mengenai anak, merupakan hal yang
sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia dihari mendatang,
dan dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap
hidup bangsa pada masamendatang.3 Defisini anak menurut Undang-undang No.
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas ) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak banyak sekali terjadi
hal-hal yang sangat kompleks yang salah satunya adalah perbuatan kenakalan
yang menjurus kepada tindak pidana. Kenakalan anak sering disebut “juvenile
delinquency”yang diartikan dengan anak cacat sosial. Definisi anak nakal yaitu
anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan hukum lain yang hidup
dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.4Masa anak adalah masasedang
mencari jati diri yang ditandai dengan perbuatan-perbuatan tertentu untuk
2Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Dibawah Umur, Bandung, PT. Alumni, 2010, hal. 1.
3Wigati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung, PT. Refika Aditama, 2006, hal. 5.
4Ibid., hal. 19.
3
menentukan sendiri siapa diri mereka yang sesungguhnya, bagaimana sikap baik
lahir maupun batin mereka, apa yang menjadi tumpuan mereka dan fungsi mereka
dalam konteks kehidupan bermasyarakat.
Dalam kondisi seperti ini, anak mencari dan menuntut kemandirian dan
tidak ingin campur tangan dari siapapun, termasuk orang tua mereka sendiri,
sehingga apabila mereka salah dalam menentukan cara untuk menentukan jati diri
mereka sendiri maka kenakalan-kenakalan itulah yang muncul dan kerap
dilakukan oleh anak bahkan sampai menjurus pada tindak pidana. Suatu
kenakalan yang dilakukan oleh anak, akan berakibat anak tersebut akan
berhadapan dengan hukum yang berlaku. Kenakalan yang dilakukan oleh anak
sangat meresahkan warga masyarakat karena masyarakat akan merasatidak
nyaman dalam lingkungannya, hal itu dianggap bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu
sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan tercela, keadaan seperti itu
tentu tidak diinginkan oleh setiap warga masyarakat sehingga masyarakat
cenderung melakukan peningkatan kewaspadaan dan upaya-upaya
penanggulangan agar tindak pidana yang dilakukan oleh anak bisa berkurang.
Salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah pencurian dengan
unsur memberatkan, atau anak melakukan tindak pidana seperti yang diatur dalam
Pasal 365 KUHP yang merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian
dengan kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur
memberatkan.Dalam sejarah peradaban manusia pencurian ada sejak terjadi
ketimpangan antara kepemilikan benda-benda kebutuhan manusia, kekurangan
akan kebutuhan, dan ketidakpemilikan cenderung membuat orang berbuat
4
menyimpang (pencurian). Pencurian dilakukan dengan berbagai cara, dari cara-
cara tradisional sampai pada cara-cara modern dengan menggunakan alat-alat
modern dengan pola yang lebih lihai. Hal seperti ini dapat terlihat dimana-mana,
dan cenderung luput dari jeratan hukum; yang lebih parah lagi banyak kasus-
kasus pencurian yang bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga
dilakukan oleh anak yang merupakan generasi penerus dimasa depan.5
Pada hakekatnya, pencurian dengan unsur memberatkan adalah perbuatan
yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta
membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan pencurian dengan unsur
memberatkan merupakan perilaku yang negatif dan merugikan terhadap moral
masyarakat.Tindak pidana pencurian merupakan salah satu tindak pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana terhadap harta kekayaan orang. Tindak pidana
pencurian ini diatur dalam BAB XXII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) “yang dirumuskan sebagai tindakan mengambil barang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain dengan tujuan memilikinya secara melanggar hukum”.6
Tindak pidana pencurian sendiri tergolong dalam beberapa jenis, salah
satunya yang akan dibahas yaitu tindak pidana pencurian dengan unsur
memberatkan. Hal ini diatur dalam Pasal 363 dan Pasal 365 KUHP. Pencurian
dengan pemberatandapat diterjemahkan sebagai pencurian khusus, yaitu sebagai
suatu pencurian dengan cara tertentu sehingga bersifat lebih berat dan maka dari
itu di ancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih tinggi, yaitu lebih dari
5Ibid., hal. 18.
6Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,Bandung, PT. Refika
Aditama, 2003, hal.15.
5
hukuman penjara lima tahun atau lebih dari pidana yag diancamkan.7Ancaman
pidana ini juga berlaku untuk pelaku tindak pidana pencurian dengan unsur
memberatkan yang mana pelakunya adalah anak. Apabila dalam menanggulangi
berbagai perbuatan dan tingkah laku anak, perlu mempertimbangkan kedudukan
anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas.
Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatan
berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, tetapi keadaan di sekitar dapat
memengaruhi perilakunya. Oleh karena itu anak, orang tua dan masyarakat
sekitarnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan,
dan pengembangan perilaku tersebut. Pada hakikatnya anak tidak dapat
melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan
kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan.
Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi
dan kondisi anak, khususnya dalam hal pelaksanaan Peradilan Pidana Anak yang
asing bagi dirinya.Setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh, berkembang,
berpastisipasi secara wajar, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, sebagaimana
disebutkan Undang-undang Perlindungan Anak, khususnya anak yang memiliki
masalah dengan hukum, baik itu sebagai tersangka, terdakwa, terpidana.
Perlindungan, perhatian, kasih sayang, dan pemenuhan kebutuhan yang lainnya
sangat dibutuhkan bagi perkembangan seorang anak didalam menjalani
kehidupannya.
7Ibid., hal. 19.
6
Seorang anak belum memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri
dari keadaan yang mengancam, oleh sebab itu merupakan suatu kewajiban dan
tanggung-jawab yang tidak dapat lepas begitu saja dari orang tua dan orang-orang
di lingkungan sekitar maupun negara untuk melindungi seorang
anak.Perlindungan anakadalah segala kegiatan untuk menjamin, melindungi anak
dan haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.8 Dengan definisi yang lebih dalam
yaitu, selain melindungi, juga mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum
agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang dan memberi
kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya
untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, berguna bagi diri
sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.9
Berbicara mengenai perlindungan anak, konsep perlindungan hukum bagi
anak berdasarkan konsep hukum yang berlaku sebagai suatu sistem dilakukan
secara sistematik yang meliputi, substansi hukum, struktur hukum, kultur hukum.
Konsephukum yang sistematik ini juga menjadi poin penting dan perlu diterapkan
dalam proses peradilan pidana anak karena perlindungan hukum adalah perbuatan
melindungi hak individu atau sejumlah individu yang kurang atau tidak mampu
atau tidak berdaya secara fisik dan mental, secara sosial, ekonomi, dan politik,
baik secara preventif maupun represif berdasarkan hukum yang berlaku dalam
upaya mewujudkan keadilan karena proses peradilan pidana anak harus
8Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, Cetakan Ketiga, Jakarta, Pena Grafika, 2013, hal.
107. 9Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Pidana Anak, Cetakan kedua, Jakarta, Aswaja
Pressindo, 2016, hal. 37.
7
memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan anak dan tetap menjunjung tinggi
harkat dan martabat anak, tidak mengesampingkan hak-hak anak yang mana ini
ditegaskan dalam Undang-undang tanpa mengabaikan terlaksananya keadilan, dan
bukan membuat nilai kemanusiaan anak menjadi lebih rendah.
Untuk itu apabila konsep perlindungan hukum berlaku secara sistematik
dan berkesinambungan bisa ditarik kesimpulan perlindungan hukum bagi anak ini
dapat mencapai tujuan filosofis pemidanaan anak yaitu demi kesejahteraan anak.
Dikarenakan pada kenyataannya hal ini belum dilaksanakan sebagaimana
mestinya, sebagai contoh terlihat bahwa dalam pemidanaan anak masih banyak
ditemui penjatuhan tuntutan atau bahkan putusan yang tergolong tinggi bagi anak,
atau dalam hal melakukan penyidikan anak penyidik anak masih memakai
pakaian dinas, atau contoh lain pemeriksaan perkara dilakukan terbuka untuk
umum, dan masih banyak contoh lain.
Undang-undang perlindungan anak menegaskan bahwa anak berhadapan
dengan hukum harus tetap di lindungi sebagaimana mestinya. Akan tetapi tetap
dibutuhkan kontrol sosial agar dapat mengarahkan anak tersebut sehingga anak
terdidik dan menerapkan nilai-nilai, asas-asas, norma-norma dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta peraturan lain atau dengan kata
lainhukum ada untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat,
apabila ada yang melakukan pelanggaran dan mendatangkan kerugian bagi pihak
lain akan dikenai sanksi seperti yang termuat di Undang-undang. Sanksi ini
bertujun untuk menciptakan kembali keseimbangan dalam masyarakat.
Walaupun proses peradilananak berlangsung dengan cara yang khusus,
proses ini harus menjadikan anak jera serta menyadari agar tidak mengulangi
8
perbuatannya sehingga dengan begitu proses peradilan anak mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu, terhadap putusan tindak pidana yang dilakukan oleh
anak hakim anak yang menangani perkara tersebut harus mempertimbangkan hak
anak dan berorientasi kepada kepentingan anak.
Kedudukan hakim sangat penting dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Karena hakim merupakan penegak hukum dan keadilan, sekaligus merupakan
kunci keberhasilan penegakan hukum yang menjadi tujuan utama kehidupan
masyarakat di negara hukum. Hakim menjadi ujung tombak dan penjaga sendi-
sendi negara hukum, merupakan jabatan yang mulia karena merupakan wakil
Tuhan di dunia, serta hakim juga dipandang sebagai simbol keadilan sekaligus
simbol ketidakadilan. Sebagaimana Indonesia merupakan negara hukum, segala
tindakan dan perbuatan harus tunduk terhadap ketentuan dan peraturan
perundang-undangan tak terkecuali bagi siapapun atau asas persamaan kedudukan
didepan hukum bagi setiap warga negara (equaly before the law)sehingga apabila
terjadi hal yang tidak sesuai atau melanggar ketentuan perundang-undangan maka
konsekuensinya adalah berhadapan dengan hukum.
Sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 bahwa,
“kekusaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untukmenyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan’’,
dipertegas oleh Pasal 1 UU No.48 Tahun 2009, bahwa “kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia’’.10
Sesuai dengan undang-undang kekuasaan
10
Muladi & Barda Narawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan Kedua, Bandung,
1984, hal 52, Bandung, PT. Alumni, 2010, hal. 1.
9
kehakiman, bahwa seorang hakim memiliki kemampuan untuk
mengimplementasikan undang-undang sacara tersendiri, serta tidak terikat pada
yurisprudensi atau putusan dari hakim yang terdahulu pada suatu perkara yang
sejenis. Implementasi pidana yang dijatuhkan oleh hakim haruslah mengandung
rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum ditengah-tengah masyarakat
sehingga dapat memberikan putusan yang terbaik bagi pelaku dan korban tindak
pidana tersebut.
Jabatan hakim merupakan organ inti dalam proses peradilan yang bertugas
menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman yang diselenggarakan
oleh Mahkamah Agung bersama-sama lingkungan peradilan yang berada di
bawahnya, adalah kekuasaan untuk menegakkan hukum dan keadilan melalui
kewenangan memeriksa dan mengadili serta memutus atas perkara-perkara pidana
yang diajukan kepadanya.11
Hakim dalam memutuskan perkara sering terjadi
disparitas pidana. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir
seluruh Negara di dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana yang disebut
sebagai the disturbingdisparity of sentencing mengundang perhatian lembaga
legislatif serta lembaga lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan hukum
pidana untuk memecahkannya.
Disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda
terhadap tindak pidana yang sejenis atau tingkat berbahayanya dapat
diperbandingkan. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang
dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan
bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat
11
Adies Kadir, Menyelamatkan Wakil Tuhan, Jakarta, PT Semesta Merdeka Utama, 2018,
hal. 214.
10
menentukan.12
Dalam pemidanaan anak, konsep dispritas putusan ini tidak hanya
dilihat dari penjatuhan putusan pada tindak pidana sejenis atau pokok perkaranya
setara dan sifat berbahayanya suatu perbuatan dapat diperbandingkan, tetapi juga
melihat kepada faktor-faktor yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut (pelaku
anak itu sendiri, lingkungan anak, pendidikan anak, dst).
Kasus yang akan dijadikan contoh dan akan diteliti yaitu suatu kasus yang
telah diputus oleh pengadilan. Kasus pencurian dengan unsur memberatkan yang
dilakukan oleh anak perkaraNo. 01/PID.SUS-ANAK/2015/PN.PWD, dengan
perkara No. 34/PID.SUS-ANAK/2015/PT.MDN. Kedua putusan pengadilan pada
tindak pidana yang mana pokok perkaranya sejenis dan telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Purwodadi dan Pengadilan Tinggi Medan, terlihat adanya
perbedaan penjatuhan putusan oleh hakim. Akan dijelaskan lebih lanjut dasar atau
pertimbangan hakim sehingga memunculkan disparitas putusan terhadap dua
kasus tersebut. Otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara
mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal
ini ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara
putusan hakim yang satu dengan hakim yang lain mengenai perkara yang sejenis,
padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama.13
Hakim dalam mengadili suatu perkara pidana selain menggunakan pedoman
undang-undang dalam penjatuhan vonis, hakim juga perlu menggunakan nilai
keadilan mengingat pelakunya adalah anak dibawah umur. Walaupun pelakunya
12
www://harkristutiharkrisnowo.com/disparitas, di kunjungi tanggal 19, oktober 2017,
pukul 09.00 WIB.
13
Bambang Sutiyoso. 2007. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang
Pasti dan Berkeadilan. Yogyakarta: UII Press. hal.38.
11
adalah anak dibawah umur sebagaimana yang ditetapkan Undang-undang, proses
peradilan harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Proses peradilan pidana
anak diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, dan unsur perlindungan anak termuat didalam Undang-undang No.
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,pada peradilan pidana anak ini
terdapatpembedaan atau pemberlakuan khusus tidak sama seperti proses peradilan
pidana yang pelakunya bukan anak. Pembedaan perlakuannya terletak pada
hukum acara dan ancaman pidananya. Pembedaan itu lebih ditujukan untuk
memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak dalam menyongsong
masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar
setelah melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia
yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara.14
Sistem peradilan pidana anak adalah sistem pengendalian kenakalan anak
(juvenile deliquency) yang terdiri dari lembaga-lembaga yang menangani
penyelidikan anak, penyidikan anak, penuntutan anak, pengadilan anak dan
pemasyarakatan anak.15
Dari segi hukum acaranya pun juga berbeda. Tindak
pidana yang dilakukan oleh anak yang akan dibahas lebih lanjut yaitu tindak
pidana pencurian dengan unsur memberatkan . Tindak pidana pencurian dengan
unsur membertakanyang diakukan oleh anak sering terjadi, bahkan ketika masalah
ini di proses dan sampai di pengadilan, hakim memiliki banyak pertimbangan
dalam memutus perkara ini, walaupun kualifikasinya sama atau melakukan tindak
14
Wigati Soetodjo, Op.Cit., Hukum Pidana Anak, hal.23. 15
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini,
1993, Jakarta, hal. 5.
12
pidana sejenis tidak semua kasus dihukum rata, tetapi tetap mempertimbangkan
aspek-aspek tertentu.
Dalam penegakan hukum, bila terjadi disparitas putusan kerap membawa
problematika. Dengan adanya disparitas putusan ini, membawa dampak
ketidakpuasan dan kecemburuan sosial bagi terpidana bakhan masyarakat pada
umumnya. Sehingga memunculkan pandangan inkonsistensi yang terjadi dalam
sistem peradilan, serta membuat pelaku anak atau bahkan masyarakat awam
bertanya-tanya apakah perbedaan penjatuhan vonis ini telah menjunjung nilai
keadilan dan memberikan perlindungan terhadap anak, lalu apakah penyelesaian
pada kasus tersebut telah mengacu pada pemenuhan hak dan berorientasi pada
kepentingan anak.
Dengan adanya berbagai pertimbangan hakim sehingga memunculkan
disparitas pidana, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pada perkara sejenis
bisa terjadi disparitas putusan dalam penjatuhan hukuman, akan dijabarkan
dengan Studi kasus Perkara Pidana No. 01/ PID.SUS.ANAK/ 2015/ PN. PWD
Dan Perkara Pidana No. 34/PID.SUS.ANAK/2015/PT. MDN.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap penyelesaian hukum pada kasus yang tersangkanya adalah
anak melalui bentuk penulisan hukum skripsi yang berjudul “Disparitas Putusan
Hakim Dalam Pemidanaan Anak SebagaiPelaku PencurianDengan
Pemberatan Dikaitkan Dengan Perlindungan Anak”.
B. RUMUSAN MASALAH
13
Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan di atas maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pertimbangan hakim di dalam memutus perkara tindak
pidana Anak dalam Perkara Nomor 01/ PID. Sus. Anak/ 2015/ PN.
Pwd dan PerkaraNomor. 34/PID.Sus. Anak/2015/PT. Mdn.
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasar rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan
penelitian adalah :
1. untuk mengetahui apa pertimbangan hakim di dalam memutus
perkara tindak pidana Anak, study kasus perkara Nomor 01/ PID.
Sus. Anak/ 2015/ PN. Pwd dan perkaraNomor. 34/PID.Sus.
Anak/2015/PT. Mdn.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini dibagi menjadi manfaat teoritis dan manfaat
praktis.
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
dalam bidang ilmu hukum pidana terkait dengan tindak pidana
pencurian kendaraan bermotor yang disertai dengan kekerasan
yang dilakukan oleh anak dibawah umur.Serta mengetahui tentang
bagaimana penyelesaian hukum tindak pidana pencurian kendaraan
14
bermotor yang disertai dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak
dibawah umur.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
para aparat penegak hukum dalam rangka meningkatkan kualitas
penegakan hukum pidana bagi pelaku anak dalam tindak pidana
pencurian kendaraan bermotor dengan kekerasan.
E. METODE PENELITIAN
1. Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu penelitian
hukum normatif ataupenelitian perpustakaan ini merupakan penelitian
yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data
sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan,
teori hukum, dan dapat berupa pendapat para pakar. Penelitian jenis
normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan
data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan
angka-angka.16
2. Jenis penelitian
16
https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/, di kunjungi tanggal 19,
oktober 2017, pukul 09.00 WIB.
15
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum (legal
research) yaitu untuk mencari dan menemukan prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah yang mengatur status, yang hendak dikemukakan adalah
kecocokan aturan hukum dengan norma hukum.17
Dengan demikian
penlitian ini hendak mengkritisi, menemukan dan menjelaskan kaidah-
kaidah atau prinsip-prinsip berkaitan dengan perbedaan penjatuhan
hukuman terhadap dua putusan dengan akibat dari suatu putusan hakim
yang berbeda tetapi kasus yang sejenis atau setara dan tingkat
berbahayanya dapat diperbandingkan.
3. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
analitis untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah
yang digunakan dalam peraturanperundang-undangan secara konseptual,
sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktek dan putusan-putusan
hukum.18
4. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang mengikat
yang terdapat dalam unit amatan, yaitu:
1. UUD 1945
2. Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
17
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, 2013, hal. 41. 18
Jonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Edisi Revisi), cetakan
kedua, Bayumedia Publisihing, Malang, Januari, 2006, hal. 310.
16
3. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Pengadilan Anak
4. Putusan Pidana Nomor 01/Pid.Sus-Anak/2015/PN Pwd/
5. Putusan Pidana Nomor 34/Pid.Sus-Anak/2015/PT Mdn
b. Bahan Hukum Sekunder, yakni memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer. Misalnya hasil-hasil penelitian dan buku-buku
yang berkaitan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder.
6. Unit Analisa
Yang menjadi unit analisa dalam tulisan ini yaitu :
1. Undang-undang No. 11 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Pengadilan Anak
3. Putusan Pidana Perkara Nomor.01/ PID. SUS. ANAK/ 2015/ PN.
PWD
4. Putusan Pidana Perkara Nomor.34/PID.SUS. ANAK/2015/PT.
MDN.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
1. BAB I : PENDAHULUAN. Pada bab ini berisikan urain orientasi tentang
penelitian yang akan dilakukan, meliputi :
a. Latar belakang Masalah
b. Rumusan Masalah
17
c. Tujuan Penelitian
d. Manfaat Penelitian
e. Metode Penelitian
2. BAB II :Bab ini berisikan uraian pembahasan atau analisis terhadap
permasalahan penelitian. Penulis akan menguraikan hasil dari analisa
tentang kasus yang dipelajari, yaitu tentang “Disparitas Putusan Hakim
Dalam Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Pencurian Dengan Pemberatan
Dikaitkan Dengan Perlindungan Anak”.
3. BAB III :Bab ini berisikan tentang Kesimpulan dan Saran penulis.