BAB I- III Lptk Ppg (1)
-
Upload
sastyalvionita -
Category
Documents
-
view
223 -
download
0
description
Transcript of BAB I- III Lptk Ppg (1)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sesuai dengan amanat konstitusi (UUD 1945), bahwa setiap warga negara
Indonesia harus memperoleh pendidikan yang baik, dalam rangka untuk
mewujudkan kecerdasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilihat dari asal
katanya yang bersumber dari UU NO.14/2005 pasal 1, ayat 1 dan 4, yaitu guru
ialah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Lalu, profesional adalah pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi strandart mutu atau norma tertentu
serta memerlukan pendidikan profesi. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK) merupakan lembaga yang bertanggung jawab mengembang tugas untuk
menyiapkan calon tenaga pendidik. LPTK di Indonesia ditugaskan untuk
meningkatkan kualifikasi guru menjadi minimal sarjana (S1), setelah melalui
perdebatan panjang sejak 2005 yang lalu.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut.
1. Apa pengertian dari LPTK ?
2. Bagaiman tugas, peranan dan tanggung jawab LPTK dan lembaga lain
yang relevan dalam pengembangan profesi guru?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas maka dituliskan tujuan sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian dari LPTK.
2. Untuk mengetahui tugas, peran dan tanggung jawab LPTK dan lembaga
lain yang relevan dalam pengembangan profesi guru.
1
BAB II
ISI
2.1 Pengertian LPTK
Selama ini (sebelum diberlakukannya UU tentang Guru dan Dosen),
secara eksplisit lembaga yang menghasilkan tenaga kependidikan (guru) di
jenjang pendidikan tinggi adalah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK). Bentuk pendidikannya dapat berupa Sekolah Tinggi (STKIP), Institut
(IKIP) atau FKIP (di bawah universitas), dan lain-lain. Adapun penyelenggaraan
pendidikannya bersifat pendidikan akademik mau[pun profesional.
Sebagaimana disebutkan oleh Ibrahim (1993) bahwa : ‘Dari kedua
karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing pendidikan ini (akademik dan
profesional), maka LPTK mempunyai kedua ciri tersebut di atas, artinya LPTK
merupakan pendidikan yang akademik professional”. Secara umum ada dua
fungsi LPTK yaitu : pertama, LPTK yang fungsinya hanya menyelenggarakan
pendidikan prajabatan, dan kedua adalah LPTK yang hanya menyelenggarakan
pendidikan dalam jabatan (Natawidjaya, 1992)
2.2 Tugas, Peranan dan Tanggung jawab LPTK dan lembaga lain yang
relevan
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merupakan lembaga
yang kegiatannya berkaitan dengan upaya pengadaan atau penyiapan tenaga
kependidikan. Khusus bagi LPTK dalam kedudukannya sebagai lembaga
pendidikan tinggi secara jelas selain mengemban tugas dharma pendidikan, juga
harus mengemban dharma penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
sebagaimana yang berlaku bagi lembaga pendidikan lainnya. Dengan demikian
secara akademis LPTK harus setaraf dengan lembaga pendidikan tinggi (institut
atau universitas) lainnya, sama halnya sebagai pusat pembaharuan dan
pembangunan masyarakat.
LPTK merupakan akronim dari Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan
sebagai generik dari semua lembaga atau satuan pendidikan yang bidang garapan
kegiatannya bertalian dengan upaya pengadaan atau penyiapan dan/atau
pengembangan tenaga kependidikan. Penggunaannya secara resmi di lingkungan 2
Depdiknas, khususnya Ditjen Dikti, dimulai dengan terbitnya dokumen PPSPTK
(1978). Sedangkan dokumen formal lebih lanjut (PP No. 38 tahun 1992) untuk
maksud yang serupa menggunakan ungkapan Lembaga Pendidikan Tenaga
Keguruan, tanpa akronim. Yang terakhir itu dipandang serupa dengan terdahulu
berdasarkan asumsi bahwa perkataan GURU dalam versi UNESCO/ILO
mencakup semua personel yang terlibat dalam tugas pekerjaan kependidikan
(Dokumen resmi Internasional Hasil Konferensi Antar Pemerintah, termasuk
Indonesia terwakili di dalamnya, yang diselenggarakan oleh UNESCO/ILO
tanggal 21 September s.d. 5 oktober 1966 di Paris).
Bentuk kelembagaan dari LPTK memang cukup bervariasi sesuai dengan
diversifikasi (jenis kategori bidang keahlian/pekerjaan) dan stratifikasi (tingkat
dan/atau jenjang kualifikasi keahlian/kemampuan) tenaga guru yang harus
disiapkan atau dibina dan dikembangkan baik persekolahan maupun lembaga lain.
Selain bentuk kelembagaan LPTK yang bersifat persekolahan (IKIP yang
sekarang berubah menjadi universitas dengan wider mandate-nya, STKIP, dan
FKIP), sesungguhnya masih terdapat berbagai format lainnya yang titik berat
garapannya pada segi pengembangan (keprofesian) guru. Di antaranya, terdapat
BPG – Balai Pendidikan Guru (sekarang berganti fungsi menjadi LPMP) yang
selanjutnya diasosiasikan dengan gagasan PPPG-Pusat Pengembangan Pendidikan
Guru (sekarang berganti fungsi menjadi P4TK) dengan bidang garapannya yang
secara spesifik difokuskan kepada pengembangan kemampuan guru-guru bidang
studi, sebagai program sertifikasi.
Berdasarkan asumsi bahwa proses penyiapan (pre-service) dan
pengembangan (in-service) tenaga guru dengan segala kategorinya seyogianya
digariskan sebagi suatu kesatuan yang integral. Seperti direkomendasikan oleh
Konferensi Pendidikan Internasonal yang diselenggarakan di Jenewa mulai 27
Agustus s.d. 4 Sepetember 1974 oleh UNESCO (Goble, 1977: 206).
Pendidikan lanjutan hendaknya merupakan bagian integral dari proses
pendidikan guru sehingga perlu ditata secara teratur bagi semua kategori tenaga
kependidikan. Prosedur hendaknya seluwes mungkin dan dapat disesuaikan
terhadap kebutuhan guru individual maupun terhadap ciri-ciri khas setiap daerah,
3
dengan memperhitungkan perkembangan kekhususan yang berbeda dan perluasan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara konseptual, kedua tahapan proses pendidikan guru tersebut pada
dasarnya tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab LPTK. Dengan demikian,
LPTK itu seyogianya mampu menjalankan peranannya baik dalam pelaksanaan
fungsi pendidikan prajabatan maupun fungsi pendidikan dalam jabatan.
Sebagaimana halnya direkomendasikan pula oleh UNESCO (Goble, 1977:206).
Fungsi lembaga pendidikan guru hendaknya tidak saja diperluas untuk
memberikan pendidikan prajabatan kepada para guru, melainkan juga
memberikan banyak sumbangan bagi pendidikan lanjutan mereka; dengan
demikian, lembaga-lembaga tersebut hendaknya memberikan pendidikan
prajabatan dan pendidikan lanjutan.
Di Indonesia, sesungguhnya gagasan UNESCO itu telah dicoba untuk
diimplementasikan dalam rangka pengembangan pola pembaharuan sistem
pendidikan tenaga kependidikan. Pengadaan (penyiapan) tenaga kependidikan
yang termasuk kategori tenaga guru TK, SD, SL, dan juga sebagian PLS pada
dasarnya merupakan tugas dan tanggungjawab LPTK. Terdapat kemungkinan
juga pendidikan prajabatan saat itu dikonsepsikan dapat ditempuh melalui
pendidikan dalam jabatan, dengan asumsi bahwa hingga saat itu masih terdapat
sejumlah guru yang telah bertugas. Sedangkan aturan lain menunjukkan bahwa
pada dasarnya semua jenis kategori tenaga kependidikan dari semua jenang
dan/atau tingkat kelembagaan satuan dan program pendidikan dapat menempuh
program pendidikan lanjutan baik di LPMP maupun di LPTK. Dengan catatan
bahwa kepada jenis dan jenjang satuan pendidikan TK itu termasuk Raudhatul
Atfhal, kepada SD itu mencakup Pondok Pesantren dan kepada PT mencakup
IAIN dan sejenisnya, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun
oleh swasta (LSM).
Khusus bagi LPTK, dalam kedudukannya sebagi lembaga pendidikan
tinggi (telaah PP NO. 38 pasal 11-16 serta pasal 32) secara jelas selain
mengemban tugas dharma pendidikan (menyiapkan dan mengembangkan tenaga
kependidikan profesional) itu juga harus mengemban dharma penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat sebagaimana yang berlaku bagi lembaga
4
pendidikan lainnya (non LPTK). Dengan demikian, secara akademis LPTK-pun
harus setaraf dengan lembaga pendidikan tinggi (universitas/institut) lainnya,
sama halnya juga sebagai pusat pembaharuan dan pembangunan masyarakat. Dari
LPTK itulah diharapkan lahirnya IPTEK dan humaniora yang relevan dengan
bidang kependidikan sebagai sumber dan pendukung serta penunjang profesi
kependidikan
Peran LPTK
a. Menghasilkan guru SD, SMP dan SMA yang bermutu dan meliputi
berbagai bidang studi sesuai dengan kebutuhan.
b. Menghasilkan tenaga kependidikan lain yang menunjang berfungsinya
sistem pendidikan, seperti petugas administrasi pendidikan , petugas
bimbingan dan konseling, pengembang kurikulum dan teknologi
pendidikan, petugas pendidikan luar sekolah, dan lain-lain sesuai dengan
ketentuan sistem.
c. Menghasilkan tenaga ahli pendidik dalam berbagai bidang studi, yang
mampu memenuhi kebutuhan tenaga pendidik/instruktur bagi lembaga
pendidikan pemerintah maupun swasta.
d. Menghasilkan ilmuan/peneliti dalam ilmu pendidikan baik bidang studi
maupun bidang pendidikan lainnya.
e. Mengembangkan ilmu, teknologi dan seni kependidikan untuk menunjang
praktek profesional kependidikan.
f. Mempersiapkan dan membina tenaga akademik untuk LPTK, sesuai
dengan kebutuhan.
g. Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam jabatan
(in-service) untuk tenaga kependidikan.
h. Melayani usaha perbaikan dan pengembangan aparat pengelola
pendidikan sesuai dengan pengembangan ilmu, metodologi dan teknologi
serta seni kependidikan.
i. Melaksanakan penelitian dalam bidang kependidikan, baik pendidikan
formal maupun pendidikan nonformal dan informal.
j. Melaksanakan program pengabdian pada masyarakat, yang berhubungan
dengan masalah-masalah kependidikan (Natawidjaya, 1993)
5
2.3 Model Penyelenggaraan Pendidikan Guru
Menurut Nurulpaik (2008) bahwa selama ini dikenal ada dua model
penyelenggaraan pendidikan guru yaitu concurrent model dan consecutive
model“.
1. Concurrent model (model seiring).
Concurrent model yaitu suatu model penyelenggaraan pendidikan guru
yang menyiapkan calon guru yang dilakukan dalam satu napas, satu fase, antara
penguasaan bidang studinya (subject matter) dengan kompetensi pedagogi(ilmu
pendidikan). Model inilah yang dipakai selama lebih dari 50 tahun dalam
penyelenggaraan pendidikan guru di Indonesia. PTPG, FKIP, IKIP, SGB, SGA,
SPG, SGO, PGA, sebagai bentuk LPTK yang pernah ada di Indonesia
menggunakan model ini. Model ini mengasumsikan bahwa seorang calon guru
sejak awal sudah mulai memasuki iklim, menjiwai, menyadari akan dunia
profesinya. Seorang guru tidak hanya dituntut menguasai bidang studi yang akan
diajarkannya, melainkan juga kompetensi pedagogi, sosial, akademik, dan
kepribadian sebagai pendidik.
Kompetensi tersebut bukan sesuatu yang terpisah, melainkan jadi ramuan
komposisi yang khas yang dijiwainya. Kalau guru diasumsikan sebagai petugas
profesional, harus disiapkan secara profesional, secara sengaja untuk jadi guru,
juga di lembaga yang sengaja dibuat dan dipersiapkan untuk mendidik calon
guru. Kritik terhadap model ini, penguasan subject matter (bidang ilmu) dianggap
lemah karena perolehan kemampuan bidang ilmu yang diajarkannya dianggap
kurang dari sarjana bidang ilmu (murni). Ini dianggap kelemahan dan dinisbahkan
sebagai salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kompentensi guru yang
selama ini dipersipkan di LPTK.
2. Consecutive model (pendekatan berlapis).
Asumsi yang dipakai dalam model ini menghendaki penyiapan guru
dilakukan dalam napas atau rangkaian yang berbeda. Artinya, calon guru
sebelumnya tidak dididik dalam setting LPTK. Mereka adalah para sarjana bidang
ilmu, kemudian setelah itu menempuh pendidikan lanjutan di LPTK untuk
memperoleh akta kependidikan yang selama ini diposisikan sebagai lisensi profesi
6
guru. Model ini menghendaki sarjana dulu di bidangnya kemudian mengikuti
pendidikan akta kependidikan sebagai sertifikasi profesi kependidikan.
Keunggulan model ini dianggap memiliki penguasaan bidang studi lebih baik
unggul, tetapi lemah dari aspek kompetensi ilmu pendidikan (pedagogis), sosial,
dan kepribadian sebagai calon guru. Dalam pola ini penyiapan subject matter
dengan kompetensi pedagogi, sosial, dan kepribadian adalah hal yang berbeda,
bukan desain pendidikan profesional yang terpadu. Sejak diberlakukannya UU
Guru dan Dosen, nampaknya penyelenggaraan pendidikan guru saat ini cenderung
dilakukan dengan menggunakan concecutive model, ini dapat dilihat pada 12 yang
berbunyi :
“Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki
kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan
tertentu”. Salah satu dampak nya adalah meningkatnya minat dan apresiasi
masyarakat terhadap profesi guru. Disamping itu, UU tersebut juga menggariskan
bahwa profesi guru minimal berpendidikan S-1 atau D-4, baik kependidikan
maupun nonkependidikan. Hal ini mengisyaratkan bahwa profesi guru merupakan
profesi yang bersifat terbuka, bukan hanya bagi lulusan dari lembaga pendidikan
tenaga kependidikan (LPTK), melainkan pula dari non-LPTK.
Lalu apa urgensi eksistensi LPTK kalau profesi guru itu pun secara yuridis
dan akademik berhak dimasuki oleh mereka yang tidak dipersiapkan di LPTK.
Mereka yang berlatar pendidikan dari non-LPTK/nonkependidikan untuk menjadi
guru cukup mengikuti pendidikan sertifikasi profesi guru. Pertanyaannya sekarang
adalah manakah yang lebih baik dari kedua model penyelenggaraan pendidikan
tersebut (concurrent atau consesutive). Jawabannya masing-masing mempunyai
kelebihan dan kelemahan, disamping itu tergantung kepada penafsiran apakah
sebaiknya profesi guru merupakan profesi yang tertutup atau terbuka. Artinya :
Jika profesi guru adalah “profesi tertutup’, maka concurrent model yang
dijadikan acuannya dengan memberikan penguatan lebih dalam pada
penguasaan bidang ilmu (subject matter). Artinya, perguruan tinggi yang
berperan sebagai LPTK harus semakin diperkuat dan didorong untuk lebih
bagus lagi. Pemerintah pun wajib memberikan perhatian yang tinggi terhadap
penyelenggaraan pendidikan guru di LPTK. Sejalan dengan semakin
7
bergengsinya profesi guru maka LPTK akan semakin menjadi perhatian
publik dan minat menjadi guru akan semakin kompetitif.
Jika profesi guru adalah “profesi terbuka”, maka berarti model
concecutiveyang dijadikan acuan. Akibatnya akan terjadi kecenderungan
tereduksinya keberadaan LPTK hanya sebagai lembaga sertifikasi profesi guru
semakin mendekati kenyataan, sebab untuk menjadi guru, tidak perlu studi di
LPTK. Berlatar belakang perguruan tinggi apapun (sepanjang bidang studinya
relevan) bila akan jadi guru cukup mengikuti pendidikan sertifikasi profesi
guru yang diselenggarakan oleh pemerintah di LPTK. Lebih lanjut Nurulpaik
(2008) mengatakan bahwa : “disinilah keharusan redefinisi dan refungsi
kelembagaan LPTK. Yang diperlukan adalah keputusan yang jelas dan tegas
dari pemerintah dalam menetapkan model mana yang akan dipilih dalam
penyelenggaraan pendidikan guru”.
Dari kedua model di atas dan jika melihat semangat UU No. 14 Tahun
2005, nampaknya yang dijadikan rujukan dewasa ini tampaknya consecutive
modelakan menjadi arah baru model pendidikan guru di Indonesia. Dengan
demikian, menurut Nurulpaik (2008) implikasinya bahwa LPTK hanya akan
difungsikan sebagai lembaga sertifikasi dan universitas eks IKIP harus secara total
berubah menjadi universitas biasa, tidak lagi menjadi universitas yang diperluas
fungsinya (wider mandate)dengan basis ke-LPTK-an.
2.4 Lembaga yang Berkaitan dengan LPTK
Ada beberapa lembaga yang berkaitan dengan LPTK, yaitu:
A. IKIP
Institut keguruan dan ilmu pendidikan, disingkat IKIP,
adalah perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan
akademik, khususnya dalam disiplin ilmu pendidikan. Sebagian besar fakultas
dan jurusan IKIP mencetak mahasiswanya untuk menjadi guru atau tenaga
kependidikan lainnya. IKIP dapat berbentuk perguruan tinggi negeri maupun
swasta.
Sejak akhir tahun 1990-an, sejumlah IKIP negeri diubah statusnya
menjadi universitas. Jurusannya pun tidak terbatas hanya dalam bidang
8
pendidikan, tetapi merambah ilmu murni, teknik, dan program profesi
lainnya.
B. STKIP
Sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan, disingkat STKIP, adalah
sekolah yang termasuk jenjang pendidikan tinggi. Sebagai sekolah tinggi,
setiap STKIP mempunyai beberapa program studi yang berasal dari rumpun
yang sama, yaitu rumpun kependidikan. Sekolah ini merupakan salah satu
jenis perguruan tinggi yang mempunyai misi untuk menghasilkan tenaga
kependidikan terutama tenaga guru, atau sering disebut sebagai lembaga
pendidikan tenaga kependidikan (LPTK).
Pada masa lalu, STKIP bisa dianggap sebagai miniatur institut
keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP). Seiring perubahan beberapa IKIP
menjadi universitas, STKIP sekarang menjadi sebagai satu-satunya jenis
perguruan tinggi yang merupakan LPTK murni, karena universitas-
universitas jelmaan IKIP kini juga memperluas mandatnya dengan membuka
jurusan-jurusan non-kependidikan.
Umumnya STKIP diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perguruan
tinggi swasta. Saat ini di Indonesia ada 98 STKIP antara lain:
1. STKIP Abdi Pendidikan di Payakumbuh
2. STKIP Abdi Wacana Wamena di Wamena
3. STKIP Agama Hindu Amlapura di Amlapura
4. STKIP Agama Hindu Singaraja di Singaraja
5. STKIP Ahlussunnah di Bukittinggi
6. STKIP Aisyiyah Riau di Pekanbaru
7. STKIP Fiam S-gsa di Langsa Aceh
8. STKIP Albana di Jakarta
9. STKIP Al-Washliyah di Banda Aceh
9
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. Dilihat dari perspektif pendidikan, dianggap sebagai suatu bentuk investasi
modal, dan oleh sebab itu ia harus di kelola secara efisien, ka-rena
pendidikan dilaksanakan berdasarkan prinsip efisiensi. Pendidikan yang
berkualitas adalah pendidikan yang dilaksanakan secara efisien.
2. Sebagai pendidik, guru merupakan salah satu faktor penentu ke-berhasilan
pendidikan. Turun atau meningkatnya mutu pendidikan yang diperoleh
anak didik tidak hanya ditentukan oleh kurikulum yang bagus dan sarana
yang lengkap saja, namun peranan guru sangat menentukan
3. Peningkatan kualitas guru merupakan tanggung jawab LPTK, baik melalui
koncurrent model atau pun konsecutive model, di sam-ping itu tugas LPTK
lainnya adalah melaksanakan disertifikasi, sehingga guru menjadi guru
yang profesional.
3.1 Saran
Adapun saran dalam penulisan makalah ini yaitu:
1. Sebaiknya referensi yang digunakan dalam pembuatan makalah ini
lebih diperbanyak lagi.
10
DAFTAR RUJUKAN
Ibrahim, (1993). Kurikulum Pendidikan Tinggi. (Makalah). Bandung.
Natawidjaya, Rochman. 1992. Peningkatan Kualitas Profesional Guru Sekolah
Dasar Melalui Pemantapan Lembaga Kependidikannya. Jurnal
Pendidikan No.1 Tahun XI April 1992.
Nurulpaik, Lik. 2008. LPTK. Jakarta ; Press.
11