BAB I...

22
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia memiliki tempat wisata yang sangat beragam dan sangat diminati oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Salah satu tempat wisata yang banyak menarik minat para wisatawan baik wisatawan lokal maupun mancanegara adalah Candi Prambanan. Kawasan Candi Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi Prambanan terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta tepatnya di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten. Kawasan wisata Candi Prambanan memiliki tiga candi utama yang berada di halaman utama kompleks candi, yaitu Candi Wisnu, Brahma dan Siwa. Komplek Candi Prambanan ini dibangun di tengah area yang memiliki taman yang indah. Oleh karena itu Kawasan Candi Prambanan tersebut harus dilestarikan oleh pihak pengelola maupun pengunjung yang berwisata ke kawasan tersebut. Pelestarian Kawasan Candi Prambanan dikelola oleh pihak PT. Taman Wisata Candi. Salah satu tindakan pelestarian yang dilakukan adalah terhadap sarana dan prasarana Kawasan Candi Prambanan tersebut yang memerlukan perencanaan, sehingga dapat dilakukan perbaikan ataupun pengembangan terhadap kawasan tersebut. Untuk memulai perencanaan yang baik sangat diperlukan proses pemetaan terhadap kawasan candi tersebut. Pemetaan tersebut dilakukan untuk mempermudah pengelolaan dan juga pengembangan agar kawasan tersebut semakin lebih baik. Pemetaan yang dimaksud meliputi pemetaan topografi (bagian atas tanah) dan juga pemetaan utilitas bawah tanah. Pemetaan topografi atau situasi merupakan pemetaan dari suatu lokasi/daerah yang mencakup penyajian dalam bentuk horizontal dan vertikal dalam suatu gambaran yang disebut peta topografi (Davis, 1981). Pemetaan topografi pada kawasan tersebut mencakup bangunan candi, topografi kawasan candi maupun seluruh utilitas yang berada di atas tanah yang ada pada kawasan Candi Prambanan. 1 PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADAR DI KAWASAN CANDI PRAMBANAN JOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of BAB I...

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki tempat wisata yang sangat beragam dan sangat diminati

oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Salah satu tempat wisata yang

banyak menarik minat para wisatawan baik wisatawan lokal maupun mancanegara

adalah Candi Prambanan. Kawasan Candi Prambanan merupakan

kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi.

Candi Prambanan terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta tepatnya di

Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Prambanan, Kabupaten

Klaten. Kawasan wisata Candi Prambanan memiliki tiga candi utama yang berada di

halaman utama kompleks candi, yaitu Candi Wisnu, Brahma dan Siwa. Komplek

Candi Prambanan ini dibangun di tengah area yang memiliki taman yang indah. Oleh

karena itu Kawasan Candi Prambanan tersebut harus dilestarikan oleh pihak

pengelola maupun pengunjung yang berwisata ke kawasan tersebut. Pelestarian

Kawasan Candi Prambanan dikelola oleh pihak PT. Taman Wisata Candi.

Salah satu tindakan pelestarian yang dilakukan adalah terhadap sarana dan

prasarana Kawasan Candi Prambanan tersebut yang memerlukan perencanaan,

sehingga dapat dilakukan perbaikan ataupun pengembangan terhadap kawasan

tersebut. Untuk memulai perencanaan yang baik sangat diperlukan proses pemetaan

terhadap kawasan candi tersebut. Pemetaan tersebut dilakukan untuk mempermudah

pengelolaan dan juga pengembangan agar kawasan tersebut semakin lebih baik.

Pemetaan yang dimaksud meliputi pemetaan topografi (bagian atas tanah) dan juga

pemetaan utilitas bawah tanah.

Pemetaan topografi atau situasi merupakan pemetaan dari suatu

lokasi/daerah yang mencakup penyajian dalam bentuk horizontal dan vertikal dalam

suatu gambaran yang disebut peta topografi (Davis, 1981). Pemetaan topografi pada

kawasan tersebut mencakup bangunan candi, topografi kawasan candi maupun

seluruh utilitas yang berada di atas tanah yang ada pada kawasan Candi Prambanan.

1

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

Pemetaan topografi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan alat seperti GPS,

Total Station maupun foto udara. Sedangkan pemetaan bawah tanah adalah pemetaan

yang dilakukan pada bagian bawah tanah kawasan candi yang meliputi pipa air

bawah tanah dan jalur listrik yang berada di bawah tanah. Untuk melakukan

pemetaan bawah tanah dapat digunakan alat Ground Penetrating Radar (GPR).

Ground Penetrating Radar atau GPR merupakan alat yang memancarkan

gelombang yang dapat menembus tanah sehingga dapat mendeteksi objek-objek yang

ada di bawah tanah kemudian mengembalikan gelombang tersebut yang diterima

kembali oleh alat GPR tersebut. Pemetaan yang dilakukan pada pekerjaan aplikatif

GPR dapat digunakan untuk mendeteksi utilitas bawah tanah yang terdapat pada

kawasan candi tersebut. Pada dasarnya teknologi GPR tidak hanya digunakan untuk

mengetahui jalur kabel listrik dan pipa air saja, melainkan semua material di bawah

tanah yang dapat mengembalikan gelombang yang dipancarkan oleh alat GPR,

termasuk juga akar-akar pohon yang sangat banyak ditemui. Alat GPR tersebut

kemudian dijalankan sesuai dengan line pengukuran yang telah memiliki desain jalur

pengukuran. Dengan menggunakan data yang diterima oleh alat tersebut dan

dilakukan interpretasi visual terhadap hasil citra GPR dapat diidentifikasi objek

bawah tanah tersebut. Pada pekerjaan aplikatif ini digunakan alat GPR MALA 500

Mhz dan kegiatan aplikatif ini difokuskan untuk memetakan jalur pipa air bawah

tanah yang menghubungkan beberapa reservoir air bersih pada kawasan Candi

Prambanan.

Kelemahan alat GPR MALA 500 Mhz tersebut adalah tidak dilengkapi dengan

alat penentuan posisi sehingga harus dilakukan penentuan posisi, dalam kegiatan

aplikatif ini dilakukan dengan menggunakan alat Total Station. Proses penentuan

posisi GPR dilakukan dengan mengukur titik awal dan titik akhir pada setiap line

pengukuran menggunakan metode terestris, menggunakan Total Station.

Kegiatan aplikatif ini melakukan pengukuran dengan alat GPR MALA 500

MHz untuk pembuatan peta utilitas pipa air bawah tanah. Hasilnya berupa peta utilitas

pipa air bawah tanah dengan profil kedalaman pipa air pada kawasan Candi

Prambanan. Hasil gabungan peta topografi dengan peta utilitas pipa air bawah tanah

yang dapat digunakan sebagai referensi untuk kegiatan perencanaan dan

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

pengembangan kawasan wisata, baik dalam kepentingan jangka pendek maupun

jangka panjang.

I.2. Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan meliputi area Kawasan Candi Prambanan yang terletak di

Kecamatan Prambanan, Sleman dan kecamatan Prambanan, Klaten, kurang lebih 17

kilometer timur laut Yogyakarta, 50 kilometer barat daya Surakarta dan 120

kilometer selatan Semarang, kawasan Candi Prambanan ini terletak di perbatasan

antara Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara lebih jelas

lokasi kegiatan terlihat pada Gambar I.1.

Gambar I.1. Gambar citra google earth kawasan Candi Prambanan

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

Dalam kegiatan aplikatif ini dibatasi permasalahan yang ada dengan

menggunakan kriteria sebagai berikut:

1. Peralatan GPR yang digunakan adalah GPR MALA 500 MHz yang tidak

dilengkapi dengan alat penentuan posisi.

2. Jalur pipa yang dipetakan hanya jalur utama pipa air bawah tanah.

3. Penentuan posisi pipa air bawah tanah dilakukan secara terestris

menggunakan Total Station.

4. Pengolahan dilakukan menggunakan perangkat lunak Object Mapper,

sedangkan interpretasi dilakukan secara visual.

5. Penggambaran peta utilitas pipa air bawah tanah dilakukan dengan

perangkat lunak Autocad Civil 2013, demikian juga dengan penggambaran

profil memanjang kedalaman dan penggabungan dengan peta topografi.

6. Validasi jalur pipa air bawah tanah tidak dilakukan karena tidak ada izin

dari pengelola taman wisata Candi Prambanan.

I.3. Tujuan

Tujuan kegiatan ini meliputi:

1. Terbentuknya desain jalur pengukuran utilitas pipa air bawah tanah dengan

menggunakan alat GPR MALA 500 MHz.

2. Terbentuknya peta utilitas pipa air bawah tanah pada kawasan wisata

Candi Prambanan.

3. Terbentuknya profil kedalaman pipa air bawah tanah pada kawasan wisata

Candi Prambanan.

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

I.4. Manfaat

Manfaat kegiatan aplikatif ini yaitu :

1. Mengetahui bagaimana prosedur melakukan pemetaan utilitas pipa air

bawah tanah dengan menggunakan GPR mulai dari persiapan, pengukuran,

pengolahan data, interpretasi dan penggambaran.

2. Diperolehnya peta gabungan antara peta topografi dan peta utilitas bawah

tanah yang dapat digunakan untuk perencanaan dan pengelolaan kawasan

wisata Candi Prambanan.

I.5. Landasan Teori

I.5.1. Pemetaan Topografi

Pemetaan topografi atau situasi merupakan pemetaan dari suatu lokasi/daerah

yang mencakup penyajian dalam bentuk horizontal dan vertikal dalam suatu

gambaran yang disebut peta topografi (Davis, 1981). Peta topografi adalah peta yang

menggambarkan fitur-fitur alami dan buatan manusia. Pemetaan situasi dapat

dilakukan dengan dua metode yaitu metode terestris dan metode ekstraterestris.

Metode terestris adalah metode menggunakan alat seperti Teodolit, Waterpass, Total

Station, sedangkan metode ekstraterestris adalah metode menggunakan alat GPS,

penginderaan jauh maupun fotogrametri. Pengukuran horizontal dan vertikal serta

detil disebut juga pengukuran situasi. Jumlah detil topografi yang diukur harus

merepresentasikan kenampakan permukaan bumi yang sebenarnya. Semakin rapat

mengambil detil maka kenampakan aslinya akan lebih sesuai. Kerapatan detil yang

diambil sesuai dengan skala peta yang dibuat. Kerapatan detil untuk skala 1:250

berbeda dengan skala 1:10.000. Untuk skala 1:250 mempunyai arti 1 cm ukuran di

peta sama dengan 250 cm di lapangan atau 2,5 di lapangan maka setiap objek yang

memiliki dimensi 2,5 di lapangan tergambar 1 cm di peta.

Pelaksanaan pengukuran topografi meliputi beberapa prosedur sebagi berikut:

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

I.5.1.1. Pengukuran kerangka kontrol. Pengadaan kerangka kontrol pemetaan

merupakan tahapan awal yang dilakukan dalam kegiatan survei topografi. Adapun

kerangka kontrol pemetaan terbagi atas dua macam yaitu kerangka kontrol horizontal

dan kerangka kontrol vertikal. Pengukuran kerangka kontrol horizontal dimaksudkan

untuk memperoleh nilai koordinat 2D (X,Y) dan kerangka kontrol vertikal untuk

memperoleh nilai ketinggian (Z) titik kontrol pemetaan yang teliti.

Pengukuran kerangka kontrol horizontal ada berbagai metode yang dapat

digunakan, antara lain metode terestris dan extra-terestris. Metode yang digunakan

untuk kegiatan aplikatif ini adalah metode extra-terestris dengan menggunakan GPS

metode Real Time Kinematik berbasis radio. Pengukuran kerangka kontrol vertikal

dilakukan menggunakan teknologi GPS maka perlu dilakukan reduksi menggunakan

undulusi geoid untuk mengetahui tinggi titik terhadap geoid bukan lagi ellipsoid.

Global Positioning System (GPS) merupakan teknologi penentuan posisi

dengan menggunakan satelit yang berbeda-beda untuk penentuan posisi. Sistem GPS

terdiri atas tiga segmen yaitu segmen angkasa (space segment) yang terdiri atas

satelit-satelit yang dimiliki GPS, segmen sistem kontrol (control system segment)

terdiri atas stasiun kontrol yang mengendalikan GPS dari bumi dan segmen pengguna

(user segment) yang merupakan pengguna GPS termasuk alat yang digunakan serta

data GPS.

Prinsip penentuan posisi oleh GPS pada dasarnya adalah pemotongan ke

belakang (space resection). Pengukuran jarak dilakukan ke beberapa satelit GPS

yang telah diketahui koordinatnya, dengan pengamatan secara simultan ke minimal

empat buah satelit untuk mendapatkan tiga parameter posisi dan satu parameter

waktu. Jarak tersebut diperoleh dengan cara mengukur waktu rambat sinyal dari

satelit ke stasiun pengamatan. Posisi yang diberikan oleh GPS adalah posisi tiga

dimensi (X, Y, Z ataupun φ, λ, h) yang dinyatakan dalam datum World Geodetic

System (WGS) 1984 (Abidin, 2000).

Penentuan posisi menggunakan GPS diperoleh dengan dua metode penentuan

posisi secara umum, antara lain metode penentuan posisi secara absolut dan relatif.

Metode penentuan posisi secara absolut atau yang lebih dikenal dengan point

positioning merupakan penentuan posisi suatu titik secara mandiri dimana suatu

posisi suatu titik direferensikan terhadap pusat dari sistem koordinat. Metode ini

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

merupakan desain awal dari penentuan posisi dengan teknologi GPS. Dalam

penentuannya, posisi titik yang ditentukan tidak bergantung pada titik lainnya, maka

receiver yang digunakan hanya satu buah. Sedangkan metode penenntuan posisi

secara relatif pada dasarnya adalah pengamatan posisi satelit GPS dalam konstelasi

yang sama secara bersamaan dengan rentang waktu yang sama dan bertujuan untuk

menentukan posisi relatif dua atau lebih stasiun pengamatan serta menentukan jarak

antara dua stasiun atau lebih yang dikenal dengan jarak basis (baseline). Dalam

metode ini posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lain yang sudah diketahui

koordinatnya. Dalam hal ini, titik referensi tersebut adalah satelit-satelit GPS dan

GLONASS yang posisinya di orbit dapat diketahui melalui data broadcast ephemeris

maupun precise ephemeris. Berdasarkan data ephemeris tersebut, dapat diketahui

posisi satelit dari sinyal yang dipancarkan oleh satelit GNSS, sehingga posisi

pengamat atau receiver GPS dapat ditentukan.

Metode pengukuran kerangka dasar pemetaan horizontal dengan survei GPS

ada beberapa macam yaitu (SNI 10-6742, 2002):

1. Metode statik adalah metode survei GPS dengan waktu pengamatan yang

relatif lama (beberapa jam) di setiap titiknya. Titik-titik yang diukur posisinya

diam (tidak bergerak).

2. Metode stop and go adalah proses pengamatan GPS dengan melakukan

inisialisasi di titik awal untuk penentuan ambiguitas fase, receiver GPS

bergerak dari titik ke titik lainnya dan melakukan pengamatan dalam waktu

yang relatif singkat (sekitar 1 menit) pada setiap titiknya. Metode penentuan

posisi ini kadang disebut juga sebagai metode semi-kinematik

3. Metode pseudo-kinematik adalah metode survei GPS yang pengamatannya

dilakukan dua kali secara singkat (5 s.d 10 menit) pada satu titik dengan

selang waktu yang relatif cukup lama (1 s.d 2 jam) antara keduanya.

Metode Real Time Kinematic (RTK) merupakan metode berbasiskan pada carier

phase dalam penentuan posisi secara relatif dengan tingkat ketelitian mencapai

satuan sentimeter secara real time. Prinsip penentuan posisi secara RTK dengan cara

menggunakan satu stasiun penerima siyal (referensi/base station) dan beberapa rover

(receiver) yang dapat bergerak (mobile). Stasiun referensi penerima sinyal carrier

phase dan unit rover yang bergerak membandingkan pengukuran fase itu sendiri

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

dengan membandingkan pengukuran fase yang diterima dari stasiun referensi (base

stasion) sehingga nantinya didapat data koreksi yang dibutuhkan untuk

pengukurannya secara real time. Ada tiga komponen penting dalam pengukuran

menggunakan metode RTK (Abidin, 2000), yaitu :

1. Stasiun referensi

Stasiun referensi atau base station ini terdiri atas receiver dan antena. Base

station ini berfungsi untuk mengolah data differential dan melakukan koreksi

carrier phase yang dikirimkan via radio modem base station ke radio modem

rover.

2. Stasiun rover

Fungsi rover adalah untuk mengidentifikasi satelit-satelit pada daerah

pengamatan dan menerima data differential dan koreksi carrier phase dari

base station. Cara kerja rover dalam melakukan pengukuran secara RTK

dengan cara menggerakkan rover (mobile) dari suatu titik ke titik lainnya

yang ingin diketahui posisinya. Koreksi carrier phase tersebut dikirim via

radio link dengan radio modem antara base station dan rover sehingga bisa

mendapatkan posisi yang lebih teliti.

3. Data link (hubungan data) differential

Data link ini berfungsi mengirimkan data differential dan koreksi carrier

phase dari base station ke rover melalui radio modem. Kecepatan radio

modem dan band frekuensi pada base station dan rover harus sama sehingga

proses pengiriman data bisa lancar. Jenis-jenis band frekuensi yang

dimanfaatkan dalam survei GPS-RTK meliputi:

a. Ultra Height Frequency (UHF)

Bekerja pada frekuensi antara 300 Mhz s.d. 3 Ghz dengan panjang

gelombang antara 10 cm s.d. 1m.

b. Very Height Frequency (VHF)

Bekerja pada frekuensi antara 30 Mhz s.d. 300 Mhz dengan panjang

gelombang antara 1 m s.d 10 m.

c. Height Frequency (HF)

Bekerja pada frekuensi antara 3 Mhz s.d. 30 Mhz dengan panjang

gelombang antara 10 m s.d. 100 m.

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

Gambar I.2. Konsep pengukuran RTK GNSS (Sumber: Atunggal, 2010)

Pengukuran pada metode RTK memiliki tiga jenis solusi pengukuran (Diggelen,

2009), yaitu:

1. Fixed

Sudah terhubung dengan base station, memiliki ketelitian posisi 1 s.d. 5 cm,

ambiguitas fase sudah terkoreksi, jumlah satelit yang ditangkap lebih dari

empat, bias multipath terkoreksi dan Link Quality (LQ) 100%.

2. Float

Sudah terhubung dengan base station, memiliki ketelitian posisi lebih dari 5

cm, ambiguitas fase belum terkoreksi, jumlah satelit yang ditangkap kurang

dari empat (too few satellite), bias multipath belum terkoreksi.

3. Standalone

Tidak terhubung dengan base station, memiliki ketelitian posisi lebih dari 1

m, ambiguitas fase belum terkoreksi secara diferensial, jumlah satelit yang

ditangkap kurang dari empat (too few satellite), bias multipath belum

terkoreksi.

Sistem RTK berkembang setelah diperkenalkannya suatu teknik untuk

memecahkan ambiguitas fase di saat receiver dalam keadaan bergerak yang dikenal

dengan metode penentuan ambiguitas fase secara On The Fly (OTF). Dengan adanya

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

radio modem, maka proses pengiriman data atau koreksi fase dapat dilakukan secara

seketika membuat informasi posisi yang dihasilkan oleh sistem ini dapat diperoleh

secara seketika (Rahmadi, 1997). Ketelitian tipikal posisi yang diberikan oleh sistem

RTK adalah sekitar 1 s.d. 5 cm, dengan asumsi bahwa ambiguitas fase dapat

ditentukan secara benar (Abidin, 2000). Dengan ketelitian yang sudah mencapai 1

s.d. 5cm maka akuisis detil topografi menggunakan teknologi RTK radio menjadi

lebih efektif dan cepat.

I.5.1.3. Pengukuran titik awal dan akhir jalur GPR. Tahapan setelah pengadaan

kerangka kontrol pemetaan adalah pengukuran titik awal dan akhir jalur GPR.

Metode pengambilan titik tersebut yang digunakan dalam kegiatan aplikatif ini

adalah metode polar menggunakan Total Station. Sebelum Total Station digunakan,

terlebih dahulu harus diketahui adanya beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih

dahulu sebelum digunakan untuk melakukan pengukuran di lapangan. Dalam praktik

pengukuran di lapangan, pada dasarnya Total Station sendiri harus memenuhi

beberapa syarat, yaitu:

1. Syarat dinamis

a. Centering adalah bahwa sumbu I segaris dengan garis gaya berat.

b. Sumbu I vertikal

2. Syarat statis:

a. Sumbu II tegak lurus sumbu I

b. Garis bidik/kolimasi tegak lurus sumbu II

c. Kesalahan indeks vertikal sama dengan nol

Penentuan posisi dari titik-titik awal dan akhir diikatkan pada titik-titik

kerangka pemetaan yang terdekat yang telah diukur sebelumnya atau mungkin juga

ditentukan dari garis ukur yang merupakan sisi-sisi dari kerangka peta ataupun garis

yang dibuat khusus untuk itu. Salah satu metode yang digunakan untuk pengukuran

titik awal dan akhir adalah metode polar atau ekstrapolasi koordinat kutub. Metode

polar dapat dilihat pada Gambar I.3.

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

Gambar 0.3. Ilustrasi pengikatan detil metode polar

Keterangan :

Xd,Yd : Koordinat planimetrik titik detil

Xbm2, Ybm2 : Koordinat planimetrik titik BM2

Xbm1, Ybm1 : Koordinat planimetrik titik BM1

αbm2-bm1 : Azimut BM2 ke BM1

αbm2-d : Azimut BM2 ke titik detil

βbm2 : Sudut ukuran yang dibentuk antara BM1-BM2-titik detil

Dbm2-d : Jarak ukuran dari BM2 ke titik detil

Metode ini mengukur posisi tiga dimensi (X, Y, Z) dari setiap detil. Posisi

detil ditentukan berdasarkan data jarak horizontal dan jarak miring, jarak vertikal,

serta sudut horisontal dan sudut vertikal (Kavanagh, 2009) dari titik ikat atau bench

mark ke titik detil. Dengan menggunakan alat Total Station yang merupakan

gabungan antara teodolit dan Electronic Distance Meter (EDM), penentuan jarak

secara optis, pengukuran sudut horizontal untuk azimut serta pengukuran sudut

vertikal untuk penentuan beda tinggi dapat dilakukan secara bersamaan. Dalam

pengukuran detil secara ekstrapolasi koordinat kutub pada metode takhimetri,

komponen yang dikur meliputi :

a. Azimut/sudut antara titik BM dan titik awal dan akhir jalur GPR

b. Jarak antara titik BM dan titik titik awal dan akhir jalur GPR

Dalam penentuan posisi secara ekstrapolasi koordinat kutub pada metode takhimetri,

penentuan koordinat horizontal (X, Y) ditentukan dengan mengukur jarak optis dan

azimut antara titik BM dengan titik detil. Penentuan beda tinggi dari setiap detil

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

dilakukan secara trigonometris, dimana pengukuran beda tinggi dengan cara

trigonometris adalah suatu proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan

dengan cara mengukur sudut miring atau vertikalnya dengan jarak yang diketahui,

baik jarak dalam bidang datar maupun jarak geodetis untuk menentukan nilai

koordinat Z dari titik detil tersebut.

I.5.1.4. Penggambaran peta topografi. Penggambaran peta topografi secara digital

dilakukan dengan mengolah data hasil download pengukuran, kemudian diolah

dengan perangkat lunak Microsoft Excel untuk data yang diperoleh melalui

pengukuran menggunakan Total Station. Untuk data hasil pengukuran GPS,

khususnya data dengan format rinex hasil pengukuran GPS metode RTK radio,

proses download data langsung dilakukan dari perangkat GPS tanpa harus diolah

menggunakan Microsoft Excel seperti data ukuran dengan Total Station. Setelah

proses download data, dapat dilakukan plotting titik-titik hasil pengukuran dengan

menggunakan perangkat lunak CAD yaitu Autocad Civil 3D 2013.

Penggambaran peta situasi secara digital menggunakan perangkat lunak

Autocad mencakup tahapan plotting, editing dan finishing dari data ukuran yang

meliputi :

1. Penggambaran titik kontrol.

2. Penggambaran titik awal dan akhir jalur GPR.

Titik awal dan akhir jalur GPR yang digambar berupa titik-titik yang telah

diukur dan telah diklompokkan menurut layernya. Titik-titik tersebut

digambarkan agar pada peta situasi yang dihasilkan jalur GPR yang

merepresentasikan kondisi sebenarnya dari daerah yang dipetakan.

3. Penggambaran garis kontur.

Garis kontur perlu digambarkan dalam suatu peta situasi dengan tujuan untuk

mengetahui gambaran topografi dari daerah yang dipetakan. Garis kontur

tersebut menggambarkan tren dari topografi di suatu daerah pemetaan karena

memuat informasi tinggi yang ditampilkan dalam bentuk nilai dari interval

kontur. Dalam proses penggambaran garis kontur harus mempertimbangkan

karakteristik dan spesifikasi garis kontur yang benar.

Garis kontur mempunyai beberapa sifat antara lain (Basuki, 2006) :

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

a. Tidak berpotongan.

b. Tidak bercabang.

c. Tidak bersilangan.

d. Semakin jarang menunjukkan daerah yang semakin datar.

e. Semakin rapat menunjukkan daerah yang semakin curam.

f. Tidak berhenti didalam peta.

Penggambaran kontur pada perangkat lunak autocad dilakukan dengan

menggunakan seluruh data dari titik tinggi topografi yang terkelompok dalam

layer khusus yang disebut spot height (kode SH). Dalam pelaksanaannya,

pembuatan kontur juga dipadu dengan layer-layer detil planimetrik yang telah

dibuat sebelumnya.

I.5.2. Ground Penetrating Radar (GPR)

GPR merupakan metode geofisika yang menggunakan elektromagnetik untuk

mendeteksi objek yang terkubur dalam tanah dan mengevaluasi kedalaman objek

tersebut. Menurut David dan Annan (1989) dalam Kearey dan Brooks (2002), GPR

merupakan teknik pencitraan tanah dan struktur batuan pada kedalaman dangkal

dengan tingkat resolusi yang tinggi. Teknik ini menggunakan propagasi gelombang

radar yang melewati media yang dikontrol oleh sumber elektrik dengan frekuensi

tinggi (900 MHz-1 GHz).

Dalam penerapannya, GPR dapat digunakan untuk pemetaan geologi

menggunakan antena < 500 MHz dan untuk rekayasa (uji tidak merusak)

menggunakan antena > 500 MHz. Metode GPR menggunakan tanggapan tanah

terhadap gelombang elektromagnetik yang merambat melaluinya. Gelombang

elektromagnetik merupakan gelombang medan yang merambat secara transversal.

Gelombang elektromagnetik terdiri atas dua komponen yang saling tegak lurus

terhadap arah getar dari medan listrik dan medan magnet.

Setelah menempuh jarak tertentu, amplitudo gelombang radar mengalami

peredaman/atenuasi (Supriyanto,2007). Amplitudo gelombang dapat dihitung

dengan persamaan I.1 :

E = E0 exp (-ax)............................................(I.1)

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

Dalam hal ini :

E0 : amplitudo medan listrik

a : koefisien atenuasi

x : jarak

Faktor-faktor yang mempengaruhi amplitudo gelombang radar sehingga

mengalami peluruhan (atenuasi) adalah :

1. Geometrical spreading (penyebaran geometris)

2. Hamburan energi karena ketidakhomogenan medium

3. Pantulan energi pada bidang batas medium

4. Penyerapan energi

5. Rugi akibat antena

Sistem GPR terdiri atas pengirim (transmitter), yaitu antena yang terhubung

ke sumber pulsa dengan pengaturan timing circuit dan bagian penerima (receiver),

yaitu antena yang terhubung ke unit pengolahan dan display sebagai tampilan akhir.

Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, GPR harus memiliki persyaratan, yaitu

kopling radiasi yang efisien ke dalam tanah, penetrasi gelombang elektromagnetik

yang efisien, menghsilkan sinyal dengan amplitudo yang besar dari objek yang

dideteksi, dan bandwith yang cukup untuk menghasilkan resolusi yang baik.

GPR memiliki kesamaan prinsip dengan seismik refleksi dan survei sonar.

Propagasi gelombang dikontrol oleh konstanta dielektrik (permitivitas relatif) dan

konduktivitas di bawah permukaan. Konstanta dielektrik dapat berpindah pada

konduktor buruk. Air memiliki konstanta dielektrik 80, dimana hampir seluruh

material geologi memiliki kisaran nilai konstanta dielektrik antara 4 s.d. 8.

Akibatnya, air yang terkandung dalam suatu material akan memiliki pengaruh kuat

untuk propagasi gelombang radar.

Kontras antara konduktivitas dan konstanta dielektrik yang melewati

permukaan mengakibatkan gelombang radar tersebut dipantulkan. Kedalaman objek

dapat diketahui dengan mengukur selang waktu antara pemancaran dan penerimaan

pulsa dimana kecepatan perambatan gelombang elektromagnetik harus diketahui

tergantung kepada kecepatan cahaya di udara. Jika konstanta dielektrik medium

semakin besar, maka kecepatan gelombang elektromagnetik yang dirambatkan

semakin kecil. Pulse Repetition Frequency (PRF) merupakan nilai yang menyatakan

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15

seberapa seringnya pulsa radar diradiasikan ke dalam tanah dan dilandasi dengan

kedalaman maksimum yang ingin dicapai.

I.5.3.1. Prinsip kerja GPR. GPR memiliki cara kerja yang sama dengan radar

konvensional. GPR mengirim pulsa energi antara 10 s.d. 1000 MHz ke dalam tanah

dari suatu antena, dan kemudian merekam pemantulannya dalam waktu yang sangat

singkat.

Gambar I.4. Prinsip kerja GPR (Sumber : https://georadargpr.files.wordpress.com/2014/10/prinsip-gpr.jpg)

Jika suatu pulsa GPR mengenai suatu lapisan atau objek dengan suatu

konstanta dielektrik berbeda, pulsa dipantulkan kembali, diterima oleh antena

receiver, waktu dan besar pulsa direkam, seperti ditunjukan pada Gambar 1.4. Pada

banyak kasus, antena transmitter dan antena receiver adalah sama. Walaupun GPR

beroperasi sama seperti sistem radar konvensional pada umumnya, dalam artian

bahwa ia mengirimkan gelombang elektromagnetik dan menerima radar yang

kembali, yang kemudian diproses untuk melihat target. Namun demikian, GPR

dikarekterisasi oleh tiga prinsip mendasar yang membedakannya dari sistem radar

konvensional.

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

16

Pertama, bandwidth operasi dari GPR diletakkan pada frekuensi rendah untuk

mendapatkan kedalaman penetrasi yang memadai ke dalam tanah. Kenyataannya,

kedalaman penetrasi dari sinyal yang dipancarkan, pada umumnya sangat terbatas

sesuai dengan panjang gelombangnya. Di sisi lain, radar harus mampu menyediakan

resolusi down-range yang memadai, untuk itu bandwidth operasi diperlukan

bandwidth operasi puluhan s.d. ratusan megahertz. Bandwidth operasi ini sesuai

dengan frekuensi tengah radar, yang menyebabkan bandwidth relatif (rasio

bandwidth terhadap frekuensi tengah) mendekati satu atau terkadang lebih besar. Ini

berarti GPR bersifat ultrawideband dan berbeda dengan sistem radar konvensional,

yang beroperasi pada band frekuensi yang lebih tinggi. Kompromi antara kedalaman

penetrasi dan resolusi harus selalu dilakukan, penetrasi yang lebih dalam dapat

dicapai dengan menggunakan frekuensi yang lebih rendah namun dengan resolusi

downrange yang lebih rendah pula.

Kedua, tidak seperti sistem radar konvensional, GPR beroperasi di dekat

permukaan tanah. Hal ini berakibat kekasaran dari permukaan tanah dan

ketidakhomogenan tanah dapat meningkatkan clutter. Dalam banyak kasus penguna

GPR dengan terpaksa harus melakukan image prosesing tingkat lanjut untuk

membedakan target dari clutter.

Ketiga, kebanyakan GPR merupakan sistem radar jarak dekat (short-range).

Pada kondisi ini target biasanya terletak di daerah medan dekat atau medan menengah

sehingga karakteristik medan dekat antenna menjadi sangat penting. Hal ini sangat

berbeda dengan radar konvensional, yang beroperasi pada medan jauh.

Kemampuan penetrasi GPR tergantung pada frekuensi sinyal, efisiensi radiasi

antena dan sifat dielektrik material. Sinyal radar dengan frekuensi yang tinggi

menghasilkan resolusi yang tinggi dengan kedalaman penetrasinya terbatas,

sebaliknya sinyal radar dengan frekuensi rendah menghasilkan penetrasi kedalaman

yang jauh tetapi resolusinya rendah (Arcone, 1984). Frekuensi gelombang radar yang

dipancarkan dapat diatur dengan mengganti antena. Dimensi antena bervariasi

dengan frekuensi gelombang radar, sebagai misal antena 1 Ghz berukuran 30 cm

sedangkan antena 25 Mhz mempunyai panjang 6 m (Astutik, 2001). Pemilihan

frekuensi yang digunakan tergantung pada ukuran target. Aproksimasi range

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

17

kedalaman dan aproksimasi maksimum kedalaman penetrasi seperti yang

ditunjukkan pada Tabel I.1.

Tabel I.1. Resolusi dan daya tembus gelombang radar (Mala Geoscience, 1997)

Frekuensi

antena (MHz)

Ukuran target

minimum yang

terdeteksi (m)

Aproksimasi range

kedalaman (m)

Penetrasi

kedalaman

maksimum (m)

25 ≥ 1,0 5 s.d. 30 35 s.d. 60

50 ≥ 0,5 5 s.d. 20 20 s.d. 30

100 0,1 – 1,0 2 s.d. 15 15 s.d. 25

200 0,05 – 0,50 1 s.d. 10 5 s.d. 15

400 ᴝ 0,05 1 s.d. 5 3 s.d. 10

1000 Cm 0,05 s.d. 2 0,5 s.d. 4

Tahapan dalam metode GPR, terdiri atas akuisisi data GPR, pengolahan data,

dan tahap interpretasi.

I.5.3.2. Sistem komponen pada GPR. Sistem GPR yang digunakan untuk mengukur

keadaan di bawah permukaan tanah terdiri atas unit kontrol, antena pengirim dan

antena penerima, penyimpanan data yang sesuai dan peralatan display. Unit kontrol

radar menghasilkan pulsa trigger tersinkronasi ke pengirim dan penerima elektronik

di antena. Pulsa ini mengendalikan pengirim dan penerima elektronik untuk

menghasilkan sampel gelombang dari pulsa radar yang dipantulkan. Antena

merupakan tranduser yang mengkonversikan arus elektrik pada elemen-elemen

antena logam (biasanya antena bowtie-dipole sederhana) untuk mengirimkan

gelombang elektromagnetik yang dipropagasikan ke dalam material. Antena

memancarkan energi elektromagnetik ketika terjadi perubahan percepatan arus pada

antena. Radiasi terjadi sepanjang garis, dan radisi terjadi sepanjang waktu ketika

terjadi perubahan arah arus (misalnya pada ujung elemen antena). Mengendalikan

dan mengarahkan energi elektromagnetik dari antena merupakan tujuan dari

perancangan antena. Antena juga mengubah gelombang elektromagnetik ke arus

pada suatu elemen antena, bertindak sebagai suatu penerima energi elektromagnetik

dengan cara menangkap bagian gelombang elektromagnetik. Frekuensi tengah

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

18

antena yang disediakan untuk tujuan komersial berkisar antara 10 s.d. 1000 MHz.

Antena ini menghasilkan pulsa yang secara khas memiliki 2 atau 3 oktav bandwidth.

Secara umum, antena dengan frekuensi rendah dapat menyediakan kedalaman

penetrasi yang lebih tinggi namun memiliki resolusi yang lebih rendah dibandingkan

dengan antena dengan frekuensi tinggi. Sistem GPR dikendalikan secara digital, dan

data selalu direkam secara digital untuk kebutuhan pemrosesan survei akhir dan

display. Kendali digital dan display bagian dari sistem GPR secara umum terdiri atas

sebuah mikroprosesor, memori, dan mass storage yaitu medium untuk menyimpan

bidang pengukuran. Sebuah mikrokomputer yang kecil dan operating system

standard kerapkali digunakan untuk mengendalikan proses pengukuran, menyimpan

data, dan bertindak sebagai penghubung dengan pengguna. Data kemungkinan dapat

mengalami proses penyaringan pada bidang untuk menghilangkan noise, atau data

kasar mungkin direkam terlebih dahulu dan pemrosesan data untuk menghilangkan

noise dilakukan di kemudian waktu. Penyaringan medan untuk menghilangkan noise

yang terdiri atas pemfilteran elektronik dan/atau pemfilteran digital dilakukan

terlebih dahulu untuk merekam data pada medium penyimpanan data. Bidang

pemfilteran secara normal harus diperkecil kecuali pada kasus-kasus tertentu ketika

data harus ditafsirkan segera setelah direkam.

I.5.3.3. Tahap akuisisi data GPR. Tahap akuisisi data GPR diawali dengan penentuan

kedalaman dan frekuensi. Kemudian dilanjutkan dengan mendeteksi kondisi bawah

permukaan dengan cara memindahkan kedua antena sesuai model yang dikehendaki.

Gelombang yang dipancarkan dapat dipantulkan setelah melalui two-way travel time

tertentu dan ditampilkan pada radargram yang berbentuk penampang. Konfigurasi

inilah yang merupakan perbedaan litologi.

Terdapat tiga model data GPR, yaitu reflection profiling, wide angel

reflection and refraction (WARR), dan radar tomografi. Reflection profiling

dilakukan dengan membawa antena yang bergerak dan kedalaman target atau

reflektor dapat diketahui jika cepat rambat gelombang diketahui. Metode WARR

dilakukan dengan meletakkan sumber pemancar dengan posisi tetap dan receiver

yang dipindahkan sepanjang lintasan penyelidikan. Metode ini biasanya dilakukan

pada reflektor yang relatif datar atau kemiringan rendah. Sedangkan metode radar

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

19

tomografi dilakukan dengan menempatkan transmitter dan receiver pada posisi

berlawanan.

I.5.3.4. Tahap pengolahan data. Setelah memperoleh data GPR, maka data ini harus

diproses. Untuk mempermudah teknik interpretasi dan visualisasi maka data perlu

diolah menggunakan teknik seperti berikut :

a. Konversi data ke penggunaan format digital.

b. Penghilangan/minimalisasi gelombang direct dan gelombang udara dari

data.

c. Penyesuaian amplitudo pada data.

d. Penyesuaian penguatan pada data.

e. Penyesuaian statis pada data.

f. Filtering data.

g. Velocity analisttis.

h. Migrasi.

Pemetaan pipa bawah tanah dengan menggunakan GPR dilakukan dengan

melakukan pengukuran cross section koridor 10 s.d. 20 m sepanjang jalur induk pipa

air yang dipetakan dengan interval 5 s.d.15 m. Material di bawah permukaan bumi

terdiri atas karakteristik yang berbeda (heterogen) sehingga sinyal yang dipancarkan

dan kembali dapat mengalami perubahan (atenuasi) di sepanjang lintasan. Tahap ini

terbagi menjadi dua fase, yaitu selama akuisisi dan setelah akuisisi. Selama akuisisi,

sinyal difiltrasi untuk mendapatkan data yang potensial sehingga tidak memerlukan

penyelidikan ulang. Sedangkan setelah akuisi, filtrasi data tetap dilakukan, terutama

data digital.

I.5.3.5. Tahap interpretasi. Yang perlu diperhatian dalam interpretasi adalah

interpretasi grafik, analisis kuantitatif, dan kegagalan interpretasi. Berdasarkan

interpretasi grafik, kecepatan gelombang dapat diketahui dengan asumsi suatu

konstanta dielektrik relatif yang mendekati suatu nilai material tertentu. Hal ini

mengakibatkan Two-Way Travel Time (TWT) dapat diterjemahkan menjadi

kedalaman dan dapat diketahui nilai sebenarnya dari kecepatan gelombang.

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

20

Dengan analisis kuantitatif, kedalaman target dapat diketahui dari cukup tidaknya

nilai yang diketahui dari analisis kecepatan, variasi konstanta dielektrik material yang

dilewati, amplitudo, dan koefisien refleksi. Namun, perlu diketahui interpretasi

menggunakan metode GPR ini memiliki kelemahan yaitu tidak mampu

mengidentifikasi permukaan tanah akibat perlakuan yang dialami oleh sinyal selama

perjalanan melewati medium.

1.5.3. Penentuan Posisi Pipa dengan Total Station

Proses interpretasi data citra dapat menghasilkan titik-titik pipa yang sudah pada citra

tersebut tetapi belum dalam bentuk titik-titik koordinat pipa. Oleh karena itu

diperlukan data pengukuran Total Station yang digabungkan sehingga titik titik pipa

yang telah diinterpretasikan dapat diketahui koordinat sesuai dengan sistem

koordinat yang telah ditentukan. Koordinat titik awal dan akhir pengukuran GPR

dapat langsung digabungkan dengan hasil dari pengolahan data GPR. Dengan

demikian diketahui posisi pipa dengan menggunakan fungsi waktu yaitu diukur

waktu tempuh alat GPR dari titik awal ke titik akhir dengan asumsi kecepatan GPR

konstan sehingga posisi pipa dapat diketahui. Ilustrasi penentuan posisi pipa dapat

diliat pada Gambar I.5.

Gambar I.5. Ilustrasi penentuan posisi pipa

Keterangan Gambar I.5. :

: jalur pipa

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

21

: cross section pengukuran GPR

XA, YA : koordinat planimetrik titik awal pengukuran GPR

XB, YB : koordinat planimetrik titik akhir pengukuran GPR

XP, YP : koordinat planimetrik titik pipa bawah tanah

∆tAB : waktu tempuh dari titik awal ke titik akhir pengukuran GPR

∆tAP : waktu tempuh dari titik awal ke titik indikasi pipa

Berdasarkan Gambar I.5. posisi pipa (XP, YP) dapat ditentukan menggunakan

interpolasi linear dari fungsi waktu. Interpolasi linear ini menggunakan data

pengukuran ∆tAB dari alat GPR sedangkan ∆tAP hasil interpretasi pipa pada data

pengukuran GPR. Persamaan interpolasi linear posisi pipa disajikan pada persamaan

I.2 dan I.3.(Sulistian, Teguh., 2015)

XP = XA + ∆tAP

∆tAB ∙ (XB − XA) …………………………….. (I.2)

YP = YA + ∆tAP

∆tAB ∙ (YB − YA) ………………………….….. (I.3)

Ada cara lain untuk mendapatkan posisi pipa yaitu dengan menghitung azimut

dari dua titik yaitu antara titik awal dan akhir kemudian mencari koordinat pipa dari

titik awal. Persamaan tersebut disajikan pada persamaan I.4, I.5 dan I.6.

𝛼𝐴𝐵 = Arc Tg (𝑋𝑏−𝑋𝑎)

(𝑌𝑏−𝑌𝑎). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(I.4)

XP = XA + D Sin α . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(I.5)

YP = YA + D Cos α . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(I.6)

Selanjutnya untuk posisi tinggi (Z) pipa dihitung menggunakan nilai

kedalaman hasil pengukuran GPR dengan bidang acuan Digital Terrain Model

(DTM). Sebelumnya perlu dicari nilai Z pipa pada bidang DTM menggunakan

metode drape. Drape merupakan langkah mencari nilai ketinggian (Z) pada DTM

berdasar posisi planimetrik (X,Y) yang diketahui. Setelah nilai Z pada DTM sudah

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

22

didapatkan maka nilai Z pipa bawah tanah dapat dihitung menggunakan persamaan

I.7.

ZP = Z DTM – D Pipa ………………………………………….(I.7)

Dalam hal ini :

ZP : tinggi pipa (m)

ZDTM : tinggi pipa pada DTM (m)

D pipa : kedalaman pipa dengan bidang acuan DTM (m)

PEMETAAN UTILITAS PIPA AIR BAWAH TANAH MENGGUNAKAN GROUND PENETRATING RADARDI KAWASAN CANDIPRAMBANANJOSUA SAHALA SILABAN Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/