BAB I fisologi hidung.docx

17

Click here to load reader

Transcript of BAB I fisologi hidung.docx

Page 1: BAB I fisologi hidung.docx

 BAB IPENDAHULUAN

Epistaksis atau pendarahan dari hidung banyak di jumpai sehari-hari baik pada anak-anak

maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.

Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum.

Terdapat dua sumber perdarahan dari epistaksis, yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior.

Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, sedangkan epistaksis posterior dapat

berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.

Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai

pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7

penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian

anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior

sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.1 2

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan

mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Epistaksis kebanyakan ringan dan

seing dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis. Epistaksis berat, walaupun jarang

dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal bila tidak

segera ditolong. Oleh karena itu akan kita bahas mengenai epistaksis pada makalah ini.3

BAB II

ANATOMI

2.1 ANATOMI HIDUNG

Hidung terbagi 3 bagian, yaitu bagian luar, septum, dan bagian dalam. Hidung luar

berbentuk piramid, terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), kolumela,

dan lubang hidung (nares anterior). Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulang terdiri

dari krista nasalis os maxilla, krista nasalin os palatum, vomer, dan lamina prependikularis os

etmoid. Bagian tulang rawan terdiri dari tulang rawan septum dan kolumela. Sedangkan hidung

bagian dalam terdiri dari konka, meatus, dan vestibulum. Konka dibagi menjadi 4 bagian, yaitu

konka suprema, superior, media, dan inferior. Meatus terbagi menjadi 3, yaitu meatus superior,

media, dan inferior.4

Page 2: BAB I fisologi hidung.docx

2.2 PERDARAHAN HIDUNG 4

Perdarahan pada hidung terdiri dari perdarahan bagian atas, bawah, dan depan. Bagian

depan dipendarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Arteri tersebut

merupakan cabang dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri carotis interna. Bagian bawah

hidung dipendarahi oleh arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina, merupakan cabang dari

arteri maksilaris interna. Bagian depan dipendarahi oleh cabang-cabang dari arteri fasialis. Pada

bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri

tmoidalis anterior, arteri labialis superior, dan arteri palatine mayor, yang disebut sebagai

pleksusKiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera

oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi

mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

2.3 PERSARAFAN HIDUNG 4

Persarafan hidung bagian depan dan atas oleh persarafan sensoris dari nervus etmoidalis

anterior, cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n. V1). Bagian

hidung lain dipersarafi juga secara sensoris oleh nervus maksilaris melalui ganglion palatina.

Ganglion sfenofalatina, slain memberikan persarafan sensoris, juga membaerikan

persarafan vasomotor atau otonam untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf

sensoris dari n.maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan

Page 3: BAB I fisologi hidung.docx

serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak do belakang dan

sedikit di atas ujung posterior konka media.

Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari

permukaan bawah bulbus olfaltorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada

mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

BAB III

EPISTAKSIS

3.1 DEFINISI 4

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari hidung. Epistaksis bukan suatu penyakit,

melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri.

3.2 ETIOLOGI 4

Seringkali epistaksis terjadi spontan tanpa dapat diketauhi penyebabnya, kadang-kadang

jelas disebabkan karena trauma, epistaksis dapat di sebabkan oleh kelainan lokal pada hidung

atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelaianan pembuluh

darah, infeksi lokal, tumor, benda asing, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti

penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmospir, kelainan

hormonal, dan kelainan kongenital.

3.3 PATOFISIOLOGI

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,

terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen.

Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi

jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena

hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada

orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis

memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan

oleh iskemia lokal atau trauma.5

Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:

1. Epistaksis anterior

Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan

biasanya dapat berhenti sendiri.4 Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach

(little area). Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan “little area” berada diseptum kartilagenous

Page 4: BAB I fisologi hidung.docx

anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar arteri

yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini. Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi

di “little area”. Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung

dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma

pada pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti

menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma

ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi

pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi

saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.

2. Epistaksis posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid

posterior.Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan

pada pasien dengan hipertensi,arteriosklerosis karena pecahnya arteri sfenopalatina akibat dari

ketidakstabilan dinding pembuluh darah.Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior

berasal dari dinding nasal lateral

3.4 PEMERIKSAAN

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang

hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada

bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.

Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian

yang memudahkan pemeriksa bekerja. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat

pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah

membeku. Sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari

penyebab perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:

a) Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa

hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan

cermat.

b) Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis

berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

Page 5: BAB I fisologi hidung.docx

c) Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi.

d) Rontgen sinus

Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.

e) Skrining terhadap koagulopati

Tes-tes termasuk jumlah platelet dan waktu perdarahan.

f) Riwayat penyakit

Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari

epistaksis.

3.5 PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber

perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya

perdarahan.4 Hal-hal yang penting adalah :

1. Riwayat perdarahan sebelumnya.6

2. Lokasi perdarahan.

3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari

hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.

4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya

5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

6. Hipertensi

7. Diabetes melitus

8. Penyakit hati

9. Gangguan koagulasi

10. Trauma hidung yang belum lama

11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon

Bila pasien dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernafasan serta

tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang

Page 6: BAB I fisologi hidung.docx

infus. Jalan nafas dapat tersumbat dengan darah atau dengan bekuan darah perlu di

bersihkan atau di hisap.

Untuk dapat menghentikan pendarahan perlu dicari sumbenrnya, setidaknya dilihat

apakah perdarahan dari anterior atau posterior. Alat-alat yang perlukan untuk

pemeriksaan adalah lampu kepala,spekulum hidung, alat penghisap. Ananmnesis yang

lengkap sangat membantu dlam menentukan sebab pendarahan.

Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir

keluar dari hidung sehingga dapat di monitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya

setengah duduk atau berbaring dengan kepala di tinggikan. Harus perhatikan jangan

sampai darah mengalir ke saluran nafas bawah

Pasien anak duduk di panggku, badan dan tangan di peluk, kepala di pegangi agar

tegak dan tidak bergerak-gerak.

Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan

darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang tampon sementara yaotu kapas

yang telah di basahi oleh adrenalin 1/5000 – 1/10.000 dan pantokain atau lidokain 2% di

masukan kedalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa

nyeri pada saat di lakukan tindakan selanjutnya, tampon di biarkan selama 10-15 menit.

Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat di lihat apakah perdarahan dari bagian

anterior atau posterior hidung.

Menghentikan pendarahan

A. Pendarahan anterior

1. Penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dan mudah membatukkan darah

dari tenggorokan. Epistaksis anterior yang ringan biasanya bisa dihentikan dengan cara menekan

cuping hidung selama 5-10 menit.

2. Kauterisasi

Jika tindakan diatas tidak mampu menghentikan perdarahan, maka dipasang tampon anterior

yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidocain atau pantocain untuk menghentikan

perdarahan dan mengurangi rasa nyeri. Lalu Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan

menggunakan larutan perak nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%.3 Becker (1994)

Page 7: BAB I fisologi hidung.docx

menggunakan larutan asam triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber

perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan

akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena

dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau

laser.7 Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.

3. Tampon anterior

Bila dengan kaustik, perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan

tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat

antibiotika. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah masuk dan tidak menimbulkan

pendarahan baru saat di masukan atau di cabut. Tampon di masukan sebanyak 2-4 buah, disusun

dengan teratur dan harus menekan asal pendarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam,

harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.

B. Pendarahan Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit

dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior.2 Epistaksis posterior dapat diatasi dengan

menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri. 2

1. Tampon Posterior

Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq,

dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah

pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares

posterior).

Teknik pemasangan tampon bellocq

Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior

sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik keluar melalui mulut. Ujung kateter kemudian

diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter

ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari

telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ke arah nasofaring. Jika masih terjadi

perdarahan, dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah

kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.

2. Balloon tamponade

Page 8: BAB I fisologi hidung.docx

Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan

tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada

dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah

bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi

topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang

dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan

salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior.

Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi

tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan

mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal

mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.

3. Ligasi arteri 6

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi pembuluh

darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi

kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang

berat atau persisten.

Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Karena banyaknya anastomosis,ligasiarteri karotis eksterna tidak dapat dapat selalu

menghentikan pendarahan. Namun, bila mana perlu metode ini dpat di lakukan pada semua

pasien oleh dokter yang trampil dalam pembedahan leher dan kepala. Insisi di lakuakn secara

melintang atau memanjang sepanjang batas anterior otot sternokleidomastoideus setinggi tulang

hiod. Setelah otot platisma di angkat, dapat dikenali batas anterior otot sternokleidomastoideus.

Dengan diseksi yang hati-hati dapat di kenali selubung karotis. Arteri karotis interna dan

eksterna harus dikenali secara khusus. ,eskipun dinamakan arteri karotis ekterna, namun pada

leher sebenarnya arteri ini terletak dimedial arteri karotis interna. Ligasi dilakukan dengan suatu

ikatan memakai benang sutra di atas percabangan arteri lingualis. Hilangnya denyutan temporalis

harus di periksa dua kali sebelum ligasi di eratkan. Luka dapat di tutup dalam beberapa lapis dan

drain di pasang selama 24 jam

Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Page 9: BAB I fisologi hidung.docx

Ligasi arteri maksilaris umumnya di lakukan oleh mereka yang ahli dalam teknik bedah

dan anatomi sehingga dapat mencapai fossa pterigomaksilaris. Prosedur ini dilakukan dengan

anastesi lokal atau umum. Sebelum operasi ini dilakukan perlu dibuat radiogram sinus

paranasalis. Pada mukosa gusi pipi bagian atas dibuat insisi caldwell mulai dari garis tengah

hingga daerah gigi molar atas dua. Mukoperitoneum di angkat dari dinding atas sinus maksilaris,

sinus maksilaris di masuki dan sisa dinding diangkat sambil menjaga saraf intraorbita. Dinding

sinus posterior yang bertulang kemudian di angkat dengan hati-hatidan lubang ke dalam fosa

pterigomaksilaris di perbesar. Bila lubang sudah cukup besar, gunakan mikroskop operasi untuk

diseksi lebih lanjut. Pembuluh darah di identifikasi dan klip logam di pasang pada arteri

maksilaris interna, spenopalatina dan palatina desensence. Luka di tutup dan tampon hidung

posterior diangkat. Suatu tampon hidung anterior yang lebih kecil mungkin masih diperlukan.

Jika terdapat bukti-bukti infeksi atau bila di takuti terjadi infeksi, dapat di buat suatu fenestra

antrum hidung saat melakukan prosedur.

Ligasi arteri etmoidalis anterior

Perdarahandari cabang-cabang terminus arteri oftalmikus terkadang memerlukan ligasi arteri

etmoidalis anterior. Pembuluh ini di capai melalui suatu insisi melengkung memanjang pada

hidung di antara dorsum dan daerah kantus media. Insisi langsung di teruskan ke tulang, dimana

periostium di angkat dengan hati-hati dan ligamen kantus media di kenali. Arteri etmoidalis

anterior selalu terletal pada sutura pemisah tulang frontal dengan tulang etmoidalis. Pembuluh ini

terjepit dengan suatu klip hemostatik atau suatu ligasi tunggal. Karena terletak deket dengan

saraf optikus, makapembulh darah etmoidalis harus di capai dengan retraksi bola mata yang

sangat hati-hati.

3.7 KOMPLIKASI TINDAKAN 4

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai

akibat dari penanganan yang kita lakukan. Akibat dari epistaksis yang hebab dapat terjadi

syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang mendadak dapat menimbulkan iskemi

cerebri, insufisiensi koroner dan infarkmiocard, hal-hal inilah yang menyebabkan

kematian. Bila terjadi hal seperti ini maka penatalaksaan terhadap syok harus segera

dilakukan.

Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus

tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd

Page 10: BAB I fisologi hidung.docx

melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior

dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit

bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.

BAB VI

KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suat penyakit, yang

disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat

ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun

dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan

menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam

memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang

memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber

perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan

rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus, skrining

koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan

adalah:

a. Epistaksis Anterior : Kauterisasi, pemasangan tamon anterior

b. Epistaksis Posterior : Pemasangan tampon Posterior, Pemasangan Balloon tamponade dan ligasi

arteri

Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras ke dalam

hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui mulut,

menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan terutam berhenti merokok.

DAFTAR PUSTAKA

1. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s Otolaryngology.

Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann, 1997: 1–19.

2. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD.Rhinology and Sinus Disease Aproblem-

Oriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc,1998: 43 – 9.

Page 11: BAB I fisologi hidung.docx

3. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam:

Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI,

1998: 127 – 31.

4. Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidumg Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Indonesia.

Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2008. Hal 118-9; 155-9

5. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s Otolaryngology.

olume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann, 1997: 1–19.

6. Adam GL, Boies LR, Hilger PA. Boies Fundamentals of Otolaryngology, Sixth Ed.,

Philadelphia : WB Saunders, 1997. Hal 224-37

7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference.

Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 – 80 dan 253 –

60.