BAB I - Digital library - Perpustakaan Pusat Unikom...
Transcript of BAB I - Digital library - Perpustakaan Pusat Unikom...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Semantik
Menurut Verhar (2004:13) semantik merupakan cabang linguistik yang
membahas arti atau makna. O’Grady, et, al (1997:268) menyatakan bahwa
“Semantics is the study of meaning in human language,” maksudnya bahwa
semantik adalah studi atau pembelajaran mengenai makna di dalam bahasa
manusia. Kemudian Kridalaksana (2001:193) mengatakan bahwa semantik adalah
subsistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa. Dengan anggapan
bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari
linguistik. Hal yang senada dengan kridalaksana dikemukakan oleh Palmer,
“Semantics is the technical term used to refer to the study of meaning and since
meaning is part of language, semantics is part of linguistics” (1976:1), dari
pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa semantik merupakan suatu bagian dari
bahasa, dan semantik itu sendiri merupakan bagian dari linguistik.
Menurut Rodman dan Fromkin (1983:200) “Semantics is the meaning of
words and sentences”, maksudnya semantik merupakan makna dari kata dan
kalimat. Dari semua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa semantik
merupakan studi mengenai makna dalam bahasa manusia yang tentu saja meliputi
dua makna, yaitu kata dan kalimat.
7
8
2.2.1 Makna
Objek studi semantik adalah makna dan makna yang dimaksud
yaitu makna yang terdapat dalam ujaran-ujaran, seperti frasa, klausa,
kalimat dan wacana, (Chaer, 1990:6).
Makna mempunyai pengertian yang sangat luas dan sulit untuk
didefinisikan. Definisi yang ada pada saat ini sangatlah bervariasi dari satu
ahli bahasa ke ahli bahasa lainnya. Hal ini disebabkan karena tiap ahli
bahasa hanya membahas makna berdasarkan bidang ilmu yang
ditekuninya. Kesulitan lain disebabkan karena makna kelihatannya tidak
stabil dan tergantung kepada pemakai, pendengar, dan konteksnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Palmer (1976:7) bahwa “… meaning do no seem
to be stable but to depend upon speaker, hearers, and context.”
Beberapa pengertian dan teori telah dibahas oleh para ahli
linguistik mengenai apa yang dimaksud dengan makna atau what is
meaning? Makna adalah maksud si pembicara; pengaruh satuan bahasa
dalam pemahaman persepsi/perilaku manusia atau sekelompok manusia.
(Kridalaksana, 2001:132).
Selanjutnya para ahli linguistik selalu membedakan antara makna
leksikal dengan makna gramatikal. Makna leksikal merupakan makna
yang diberikan kepada suatu objek oleh si penutur atau makna yang sesuai
dengan apa yang terdapat dalam kamus. Kridalaksana (2001:133)
mengatakan bahwa makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa
sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain yang dipunyai unsur-unsur
9
bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya. Sedangkan makna
gramatikal dapat diartikan sebagai hubungan yang muncul di antara
elemen-elemen linguistik. Kridalaksana (2001:132) mengatakan bahwa
makna gramatikal adalah hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam
satuan-satuan yang lebih besar; misalnya hubungan antara kata dengan
kata lain dalam frasa atau klausa.
2.2.2. Ambiguitas
Ambiguitas menurut Kridalaksana (2001:11) adalah sifat kontruksi
yang dapat diberi lebih dari satu tafsiran. Kata sifatnya adalah ambigu,
yang berarti mempunyai lebih dari satu makna. Rodman dan Fromkin
(1993:129) menyatakan bahwa “A word or sentences is ambiguous if it
can be understood or interpreted in more than one way”. Hal ini sejalan
dengan apa yang dianggap oleh Hurford dan Heasley (1984:121), mereka
menyatakan bahwa “A word or sentence is ambiguous when it has more
than one sense”. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa satu kata
atau kalimat dikatakan ambigu jika mempunyai lebih dari satu makna.
Sementara itu Chaer (1995:104) menyatakan bahwa ambiguitas atau
ketaksaan diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti.
Dari semua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ambiguitas
merupakan suatu kata atau kalimat yang memiliki makna lebih dari satu.
Ambiguitas dapat timbul dalam berbagai macam tulisan atau tuturan.
Jika kita membaca sebuah tulisan atau mendengarkan pembicaraan seseorang,
kadang kita sulit untuk memahami makna dari kata yang kita baca atau yang
10
dituturkan. Hal ini terjadi apabila kata atau kalimat tersebut merupakan kata
atau kalimat yang ambigu.
Pada umumnya ambiguitas dapat disebabkan oleh tiga faktor,
yaitu: faktor leksikal, struktur fonetik, dan struktural (Hurford, et al;
1984:128 ; Ulmann, 1972:156).
Hurford, et al. (1983:128) menyatakan bahwa
“Any ambiguity resulting from the ambiguity of a word is a lexical ambiguity” dan “A sentences which ambiguous because its word relate to each other in different way, even though none of the individual word are ambiguous” is structurally (or Grammatically) ambiguous.
Kemudian Ulmann (1972:156) menyatakan bahwa dalam bahasa
lisan, keambiguan dapat disebabkan oleh struktur fonetis kalimat (phonetic
structure of sentence).
Dari pernyataan-pernyataan tersebut nampak bahwa ambiguitas
leksikal adalah ambiguitas yang disebabkan oleh ambiguitas dari suatu kata,
ambiguitas fonetik adalah ambiguitas yang disebabkan oleh ambiguitas dari
unsur fonetik dalam kalimat, sedangkan ambiguitas struktur adalah
ambiguitas yang disebabkan oleh struktur kalimat yang ambigu karena kata-
kata didalamnya berkaitan satu sama lain dengan cara yang berbeda-beda,
meskipun tidak satupun dari kata-kata tersebut yang ambigu
2.2.2.1 Ambiguitas Leksikal
Ambiguitas leksikal menurut Rodman dan Fromkin
(1983:169) yaitu “Sentences maybe ambiguous because they
contain one or more ambiguous word”. Dari pernyataan tersebut
11
dapat diketahui bahwa kalimat bisa berarti ambigu karena kalimat-
kalimat tersebut mempunyai satu atau lebih kata yang ambigu,
misalnya kata ground. Ground memiliki dua arti; ground yang bisa
merupakan past tense dari kata grind yang berarti ‘menggerinda’
dan ground yang berarti ‘tanah’ (earth).
Ambiguitas leksikal dapat dilihat dari dua segi, yaitu
polisemi dan homonimi (Chaer 1995:104-105), kemudian
Kridalaksana membagi homonimi menjadi dua bagian, yaitu
homografi dan homofoni (2001:76).
2.2.2.2 Ambiguitas Struktur Fonetis
Menurut Ulmann (1972:156) bahwa dalam bahasa lisan
keambiguan dapat disebabkan oleh struktur fonetis kalimat
(Phonetic structure of the sentence). Karena unit akustik dari
ucapan yang berhubungan adalah jeda dan bukan satuan kata, maka
ada kemungkinan terjadinya kegandaan makna yang sebenarnya
disebabkan oleh kata-kata yang berlainan, contoh:
a. The sun’s rays meet and the sons raise meet.
b. A near (ginjal) dan an ear (telinga).
2.2.2.3 Ambiguitas struktur
Ambiguitas struktur menurut Rodman dan Fromkin
(1983:172) adalah “Structural ambiguity is the structure of the
sentence that permits more than one interpretation, rather than the
12
words in the sentence”. Hurford, et, al, (1983:128) menyatakan
bahwa “A sentence which is ambiguous because its word related to
each other in different ways, even though none of the individual
word are ambiguous, is structurally (or grammatically)
ambiguous”, dan O’Grady (1996:284) menyatakan bahwa “Some
sentence are structurally ambiguous in that the meaning of their
component word can be combined in more than way”.
Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan ambiguitas struktur adalah struktur kalimat
yang tiap katanya dapat saling berhubungan satu sama lainnya dalam
dua atau lebih struktur yang berbeda, meskipun tidak ada kata yang
ambigu. Jadi, kalimat tersebut ambigu meskipun tiap katanya tidaklah
ambigu, contoh: Nicole saw the people with binoculars (O, Grady).
Kalimat diatas memiliki konstruksi gramatikal yang dapat
diinterpretasikan berbeda, yaitu:
a. Nicole saw the people who have the binoculars, yang
artinya Nicole melihat orang yang mempunyai teropong
b. Nicole saw the people by using the binoculars, yang
artinya Nicole melihat orang dengan menggunakan
teropong.
Perbedaan konstruksi gramatikal pada kalimat di atas akan
labih jelas terlihat dalam diagram pohon atau tree diagram berikut ini:
13
Kegandaan makna dalam ambiguitas struktur berasal dari
satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frasa, atau kalimat, dan
terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda
(Chaer, 1995:105).
2.2.3. Konteks
Konteks merupakan salah satu aspek yang turut mempengaruhi dan
menentukan makna, apabila kita hendak memahami makna maka kita
harus memahami terlebih dahulu konteks yang melingkupi pembicaraan.
Hurford, et, al, mengemukakan:
“The context of utterance is a small sub part of the universe of discourse shared by the speaker and the hearers, and included facts about the topic of conversation in which the utterance occurs, and also fact about the situation in which the conversation itself takes place,” (1983:68).
Maksud pernyataan tersebut adalah bahwa konteks suatu
pembicara merupakan bagian dari wacana semesta yang dibawakan oleh si
penutur dan si petutur yang meliputi fakta tentang keadaan dimana
pembicaraan dilakukan. Tanpa melihat konteks, kita akan kebingungan
karena satu kata mungkin memiliki lebih dari satu makna dan hal ini akan
menyebabkan ambiguitas
with binoculars
PPN
NPV
VP
Nicole saw the people
N
NP
Det
S
with binoculars
PPN
VP
Nicole saw the people
N
NP
Det
S
NP
V
14
Selain pernyataan di atas, Hornby (1995:250) mengemukakan
bahwa” Context is word that come before and after a word, phrase,
statement, etc helping to show its meaning is.” Konteks merupakan kata-
kata yang ada sebelum dan sesudah kata, frasa, kalimat, dan sebagainya.
yang membantu menunjuk makna kata, frasa, dan kalimat tersebut.
Kridalaksana (2001:120) juga menyatakan bahwa konteks merupakan
aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait mengait dengan ujaran
tertentu; pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendengar
sehingga pendengar paham akan apa yang dimaksud pembicara.
Kridalaksana (2001:120) membagi konteks menjadi tiga yaitu
konteks budaya (cultural context), linguistik (linguistic context) dan situasi
(context of situation) atau non-linguistik. Konteks budaya (cultural
context) adalah konteks yang berhubungan dengan kebudayaan, yaitu
situasi non-linguistik di mana sebuah komunikasi terjadi yang timbul dari
keseluruhan kebudayaan. Konteks linguistik (linguistic context) adalah
konteks yang memberikan makna yang paling cocok pada unsur bahasa;
meliputi hubungan antar kata, frasa dan kalimat. Konteks linguistik juga
mencakup konteks sintaksis dan konteks semoktatis. Konteks linguistik
juga dikenal sebagai endofora, yaitu hal atau fungsi yang menunjukkan
kembali kepada hal-hal yang ada pada wacana; mencakup katafora dan
anafora (2001:51). Melalui konteks linguistik atau konteks wacana maka
kalimat dapat ditemukan dengan melihat apa yang dibicarakan sebelumnya
(anafora) dan sesudah nya (katafora). Konteks situasi (Context of
15
situation) adalah lingkungan non-linguistik ujaran yang merupakan alat
untuk memperinci ciri-ciri situasi yang diperlukan untuk memahami
ujaran. Konteks situasi dikenal juga sebagai eksofora (exophora), yaitu hal
atau fungsi yang menunjukkan kembali pada sesuatu yang ada di luar
bahasa atau pada situasi (2001:49).
2.2 Kajian Sintaksis
Kata ‘sintaksis’ berasal dari bahasa Yunani, sun ‘dengan’ dan tattein
‘menempatkan’. Istilah tersebut secara etimologi berarti menempatkan bersama-
sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat dan kelompok-kelompok
kata menjadi kalimat (Verhaar, J.W.M. 1981:70). Definisi lain juga dikemukakan
oleh O’Grady, et, al; (1996:181) bahwa “Syntax is the system of rules and
categories that underlies sentences formation in human language”. Dari
pernyataan di atas dapat diketahui bahwa sintaksis adalah sistem dari kaidah-
kaidah dan kategori-kategori yang melandasi formasi kalimat dalam bahasa
manusia. Selain pernyataan di atas, Chaer (1995:206), menyatakan bahwa secara
etimologis sintaksis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi
kelompok kata atau kalimat.
Dari semua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sintaksis adalah
cabang linguistik yang mempelajari semua hubungan antar kata dan bagaimana
kata-kata tersebut disusun sehingga membentuk suatu konstruksi yang lebih besar
yaitu frasa, klausa dan kalimat.
Di dalam sintaksis terdapat dua macam kaidah, yaitu: kaidah struktur frasa
atau phrase structure rules (PS rules) dan kaidah transformasi atau transformational
16
rules (MC Manis. et. al, 1987:153). Kaidah struktur frasa atau phrase structure rules
(PS rules) digunakan dalam skripsi ini karena dapat digunakan untuk melihat
komponen-komponen pembentuk sebuah kalimat, sementara kaidah transformasi
akan lebih bermanfaat untuk memetakan proses terbentuknya sebuah kalimat dimulai
dengan struktur lahir dan struktur batin atau sebaliknya.
2.2.1 Diagram Pohon dan Konstituen
2.2.1.1 Diagram Pohon
Menurut Kridalaksana (2001:41) bahwa diagram pohon
(tree diagram) adalah gambaran visual dari penjabaran suatu
satuan atas konstituen-konstituen secara hierarkis. Kemudian
Rodman dan Fromkin (1993:519) menyatakan bahwa “Tree
diagram is a graphical representation of the hierarchical
structure of a phrase or sentence, misalnya kalimat the child
found the puppy digambarkan dengan diagram pohon sebagai
berikut:
Jadi dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa tree diagram adalah diagram pohon yang menjabarkan
konstituen-konstituen struktur pada frasa atau kalimat secara
beruntutan unsur bahasanya mulai dari yang terkecil
(terendah) sampai yang terbesar (tertinggi).
The child found the puppy
NP
VP
V Det N
S
NP
Det N
17
2.2.1.2 Konstituen
Menurut kridalaksana (2001:118) bahwa konstituen
adalah unsur bahasa yang merupakan bagian dari satuan yang
lebih besar. Kemudian Gleason (1955:132) menyatakan “A
constituent is any word or construction (or morphemes) which
enter into some larger construction”. Sementara itu, Ramelan
(1992:112) menyatakan “Constituent is each of parts or
morphemes which forms the construction larger constituent.
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
konstituen adalah unsur atau elemen yang merupakan bagian
dari konstruksi yang lebih besar, dengan kata lain bahwa unsur
tersebut dapat membentuk sebuah konstruksi yang lebih besar.
Berdasarkan kemampuannya untuk dapat di pecah lagi
kedalam bentuk yang lebih kecil lagi, maka konstituen
diklasifikasikan kedalam dua jenis yaitu: ultimate constituent
dan immediate constituent.
18
a. Ultimate Constituent
Menurut Ramlan (1992:112) bahwa ultimate
constituent adalah konstituen yang tidak dapat dipecah
lagi menjadi bagian yang lebih kecil, misalnya, kata dis-
dan agree dari kata disagree.
b. Immediate Constituent
Menurut Gleason (1955:132) bahwa “ Immediate
constituent is one of two, or a few, constituent of which
any given construction is directly formed.” Parera
(1988:47) mengatakan bahwa unsur bawahan langsung
merupakan teknik analisis secara struktural untuk
menemukan satuan-satuan bahasa yang secara beruntun,
bertahap membentuk satu konstruksi bahasa yang lebih
tinggi. Kemudian Huddleson menambahkan bahwa
immediate constituent adalah satu, dua, atau lebih
konstituen yang masih dapat dibagi lagi kedalam
konstituen yang lebih kecil, misalnya frasa nomina the
boss dalam kalimat the boss must have made a mistake,
frasa nomina the boss dapat dibagi kedalam dua
konstituen yaitu the dan boss (1984:03).
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa IC
adalah satu atau lebih konstituen yang masih dapat dibagi lagi
19
kedalam konstituen yang lebih kecil dan secara langsung dapat
membentuk sebuah konstruksi.
2.2.2 Kategori Sintaksis
Pendapat O’Grady , et, al. (1996:182) tentang kategori sintaksis
sebagai berikut:
“A fundamental fact about word in all human languages is that they can be grouped together into relatively small number of classes, called syntactic categories. This classification reflects a variety of factor, including the type of meaning that word express, the type of affixes that they take, and the type of structures in which they can occur”. (Includes both lexical and functional categories) .
Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa faktor
yang mendasar mengenai kata-kata dalam semua bahasa manusia
adalah bahwa kata-kata tersebut dapat dikelompokan kedalam kelas-
kelas kata yang relatif lebih kecil dikenal dengan kategori sintaksis.
Pengelompokkan ini menggambarkan macam-macam faktor termasuk
jenis makna yang ditunjukkannya, jenis afiks yang digunakannya,
dan jenis struktur yang sesuai dengan konteks kalimatnya (termasuk
juga kategori leksikal dan kategori fungsional). Selain definisi
diatas, Kridalaksana (2001:101) mengungkapkan bahwa kategori
sintaksis merupakan golongan yang diperoleh suatu satuan sebagai
akibat hubungan dengan kata-kata lain dalam konstruksi sintaksis
atau golongan. Satuan bahasa di beda-bedakan atas bentuk, fungsi,
dan makna.
20
Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kategori
sintaksis adalah pengelompokkan kata-kata menjadi kelompok kata yang
lebih kecil lagi berdasarkan pada fungsi, bentuk, dan makna, atau yang
disebut juga sebagai part of speech.
O’Grady, et.al, (1996:182-183) membagi kategori sintaksis
menjadi dua kategori, yaitu kategori leksikal (Lexical categories) dan non-
leksikal (Non-lexical categories). Kategori leksikal memainkan peranan
yang penting dalam formasi kalimat, kategori leksikal terdiri dari nomina
atau noun (N), verba atau verb (Verb), ajektifa atau adjective (Adj),
preposisi atau preposition (P), dan adverbia atau adverb (Adv). Kategori
non-leksikal atau yang disebut juga functional categories mempunyai
makna yang lebih sulit untuk didefinisikan dan dimaknai bila
dibandingkan dengan kategori leksikal. Kategori non-leksikal terdiri atas
beberapa kategori yaitu;
a. Determiner (Det), Contoh; these, this, the, a
b. Auxiliary verb (Aux), Contoh; can, must, will.
c. Conjunction (Con), Contoh; and, but, or.
d. Qualifier (Qual), Contoh; always, perhaps, often, never,
almost.
e. Degree Word (Deg), Contoh; too, so, very, quite, more.
2.2.3 Frasa
Mengenai frasa ada beberapa definisi yang diungkapkan. M. Blace
Lewis (1963) yang dikutip oleh Pateda (1994:89) mengatakan bahwa
21
“Phrase are sequences of two or more word below the rule of clauses and
a many these words there obtain interior relationship”. Swan
(1995:XXVI) mengemukakan bahwa “Phrase are two or more words that
function together as a group.” Dari kedua pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa frasa terdiri dari dua kata atau lebih, lebih kecil dari
klausa dan antara kata-kata tersebut terdapat hubungan.
Kemudian definisi lain mengatakan bahwa frasa adalah suatu
konstruksi yang dapat dibentuk oleh dua kata atau lebih, tetapi yang tidak
mempunyai ciri konstruksi sebuah klausa, dan sering pula ia mengisi slot
atau gatra dalam tingkat klausa (Parera, 1978:35) yang dikutip oleh
(Pateda, 1994:89).
Dari ketiga definisi di atas dapat diketahui bahwa frasa terdiri dari
dua kata atau lebih dan tidak berisi subjek dan predikat. Karena frasa
merupakan sebuah konstruksi yang dapat dibentuk dari dua kata atau
lebih, maka dari hal ini dapat dilibatkan kaidah struktur frasa. Kaidah
struktur frasa menurut pendapat Rodman dan Fromkin (1983:222) adalah
“Phrase structure rules is the rules that determine the basic constituent
structure of sentence”. Kemudian Mc. Manis, et, al. (1998:153)
mengemukakan bahwa “What the phrase (constituent) structure rules
actually do is to specify the internal composition and ordering of different
syntactic categories.” Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
kaidah struktur frasa atau PS rules adalah kaidah yang menjabarkan atau
menentukan komposisi internal satuan sintaksis (struktur dasar), seperti
22
kalimat, dan frasa, dan menjelaskan struktur satuan-satuan kategori
sintaksis yang berbeda.
Kemudian Mc. Manis, et, al (1987:725) menambahkan bahwa PS
Rules juga bisa dikatakan sebagai kaidah untuk membuat diagram pohon yang
menunjukkan struktur dan pengkategorisasian konstituen-konstituen yang
terdapat dalam sebuah kalimat. Menurut O’Grady, et, al, (1996:725) bahwa
“phrase structure rule is a rule of grammar that states the composition of
phrase.” Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa phrase structure rules
(PS Rules) adalah suatu kaidah bahasa yang merumuskan komposisi frasa.
Dari semua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa PS Rules
merupakan kaidah yang menjabarkan bagaimana konstituen-konstituen
pada frasa dan kalimat dikonstruksikan dan dikatagorikan.
Kaidah PS Rules yang dikemukakan oleh O’Grady, et, al
(1996:189) berikut ini menentukan posisi specifier, heads, dan
complements dalam berbagai frasa yang telah disebutkan sebelumnya.
O’Grady (1996:186) menyatakan bahwa “Specifier helps to make more
precise the meaning of the head”. Leech (1982:35) mengatakan bahwa
“Head is the word which can not be omitted from the phrase”. Kemudian
O’Grady (1996: 187) mengatakan bahwa “Complement provides
information about entities and location whose existence is implied by the
meaning of the head.” Dari ketiga pernyataan tersebut dapat diketahui
bahwa specifier adalah sebuah kata yang menjelaskan atau
mengspesifikasikan arti head, misalnya Determiner, kata the pada frasa
23
nomina the book dapat mengspesifikasikan arti book, kemudian yang
dimaksud dengan head adalah sebuah kata yang tidak dapat dihilangkan
dari sebuah frasa yang bearti head ini bersifat obligatory, misalnya, kata
bicycle dalam frasa nomina my bicycle, dan yang dimaksud dengan
complement adalah kata yang dapat memberikan informasi tentang
keberadaan karakter head atau sabjek., misalnya, kata hamburger pada
frasa verba eat hamburger yang dapat menunjukan sebuah objek yang
dimakan.
Dalam kategori sintaksis tanda panah () yang ada pada kaidah-
kaidah di bawah ini mempunyai arti ‘terdiri dari’ atau ‘cabang dari’. Tanda
tiga buah titik (…) di belakang tiap-tiap kaidah tersebut melambangkan
bahwa tiap-tiap kaidah tersebut masih dapat diikuti oleh berbagai pilihan
komplemen atau complement option yang lain. Tanda kurung ( ) pada
kaidah-kaidah tersebut menandakan bahwa kategori sintaksis yang pertama
merupakan spesifier dan yang kedua merupakan complement. Spesifier dan
complement bersifat optional atau tidak wajib.
Berikut ini adalah kaidah-kaidah struktur frasa yang diambil dari
O’Grady, Rodman dan Fromkin, dan Thomas Linda.
1. Frasa Nomina (NP)
Pendapat A. Pyle (1995: 44) tentang frasa nomina sebagai
berikut:
“The noun phrase is a group of words that ends with a noun. It can contain determiners (the, a, this, etc), adjectives, adverbs, and nouns. It can not begin with a preposition. Remember that both subjects are complements are generally noun phrases “.
24
Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa frasa nomina merupakan
frasa yang dapat terdiri dari determiner, ajektifa, adverbia, dan
nomina, dan tidak dapat didahului oleh sebuah preposisi, serta
dapat bertindak sebagai subjek dan komplemen. Frasa nomina
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Kaidah pertama merumuskan bahwa frasa nomina atau
noun phrase (NP) dapat di bentuk dari tiga kaidah, yaitu: pertama,
frasa nomina yang terdiri dari determiner (Det) yang bersifat
optional, sebuah nomina atau noun (N) yang bersifat obligatory,
dan sebuah komplemen frasa preposisi atau prepositional phrase
complement (PP Complement) yang bersifat optional, misalnya;
the books about the war. Kedua, frasa nomina dapat terdiri dari
artikel (Art) atau determiner yang bersifat obligatory, frasa ajektifa
(AP) yang bersifat optional, dan Nomina yang bersifat obligatory,
misalnya; a large red ancient building. Ketiga, Frasa nomina
dapat hanya terdiri dari pronomina saja (Pro) yang bersifat
obligatory, misalnya; They. Dari ketiga kaidah tersebut dapat
disimpulkan bahwa frasa nomina dapat terdiri dari determiner
(Det) dan frasa ajektifa yang keduanya bersifat optional, nomina
(N) yang bersifat obligatory, dan komplemen frasa preposisi atau
25
prepositional phrase complement (PP Complement) yang bersifat
optional. Selain itu, frasa nomina juga bisa hanya terdiri dari
pronomina atau pronoun saja yang bersifat obligatory.
Rodman dan Fromkin serta O’Grady memakai penamaan
yang berbeda yaitu Det dan Art. Namun pada dasarnya kedua
penamaan tersebut tetap mengacu pada konsep dan definisi yang
sama.
Kridalaksana (2001:42) mengemukakan bahwa determiner
adalah partikel yang ada dilingkungan nomina (di
depan/dibelakang) dan membatasi maknanya. Kemudian O’Grady,
et,al, (1996:711) mengemukakan bahwa “Determiner (Det) is
functional category that serves as the specifier of a anoun.” Hal
senada juga diungkapkan oleh Thomas Linda (1993:6) bahwa
“Determiners are a small group of words and they act to limit or
determine to some extent the possible range of things which the
noun can refer to.” Kemudian Aik, et, al (1992:21)
mengemukakan fungsi determiner, yaitu “A limiting adjective (or
determiner) limits the reference of the noun or pronoun. It tells us
either which person, thing or idea is referred to or how many
persons, things, or idea there are.” Dari ketiga definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa determiner adalah suatu kategori
fungsional yang ada di lingkungan nomina yang berfungsi sebagai
spesifikator dan membatasi maknanya.
26
Aik, et,al, juga berpendapat bahwa determiner terbagi
kedalam kategori-kategori berikut:
1. Artikel atau article, contoh; a, an, the.
2. Demonstrative adjective, contoh; this, that, there, those, such.
3. Possessive adjective, contoh: my, his, her, your. Our, its,
their.
4. Interrogative Adjective, contoh; whose, which, what.
5. Qualifier terbagi tiga, yaitu definite numerical quantities
(tree, five, twenty), Indefinite quantities (some, few, most),
dan Distributive reference (Whose, which, what).
6. Relative adjective, contoh; whose, which, what.
Nomina (N) bersifat obligatory karena nomina (N)
berfungsi sebagai head dari frasa nomina (NP). Dalam kaidah ini,
terdapat kemungkinan bahwa sebuah frasa dapat berdiri asalkan
posisi head-nya, yaitu nomina (N) dapat terisi (O’Gra1996:185).
Berikut ini adalah contoh tree diagram atau diagram pohon frasa
nomina (NP).
2. Frasa Verba (VP)
PP
aboutbooks
The
Det N
warthe
NP
O’Grady (1996:188)
N
Adj
the
Det AP
NP
lazy child
Rodman dan Fromkin(1983:208)
27
Menurut A. Pyle bahwa “The verb phrase consists of the
main verb and any auxiliaries” (1995:54). Dari pernyataan
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa frasa verba terdiri dari
verba utama dan auxiliarly. Frasa verba dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Kaidah kedua dalam PS Rules merumuskan bahwa kaidah
frasa verba atau Verb Phrase (VP) dapat dibentuk dalam empat
kaidah. Pertama, frasa verba dapat terdiri dari qualifier (Qual)
yang bersifat optional, verba (V) yang bersifat obligatory, dan
komplemen frasa nomina (NP) yang bersifat optional, misalnya;
never eat a hamburger. Kedua, frasa nomina dapat terdiri dari
verba (V) yang bersifat obligatory, komplemen frasa nomina (NP)
dan frasa preposisi (PP) yang keduanya bersifat optional,
misalnya; the woman put the cake on the cupboard. Ketiga, frasa
verba dapat terdiri dari verba (V) dan kalimat (S) yang keduanya
bersifat obligatory, misalnya; they say you love the boy. Ke empat,
frasa verba dapat terdiri dari verba (V) yang bersifat obligatory
dan komplemen frasa adverbia yang bersifat optional, misalnya;
Ken snores very loudly. Dari keempat kaidah tersebut dapat
disimpulkan bahwa frasa verba (VP) dapat terdiri dari Qualifier
(Qual) yang bersifat optional, Verba (V) yang bersifat obligatory.
Kemudian verba (V) ini dapat diikuti oleh komplement adverbial
28
phrase (Adv P), frasa nomina (NP), dan frasa preposisi (PP) yang
ketiganya bersifat optional. Selain itu verb phrase (VP) dapat
terdiri dari verb (V) dan kalimat atau sentence (S) yang keduanya
bersifat obligatory.
Menurut Kridalaksana (2001:158) bahwa Pemeri (Qualifier)
adalah kata atau kelompok kata yang membatasi atau meluaskan
makna kata lain. Kemudian O’Grady,et, al (1996:187)
mengemukakan bahwa “Qualifier (Qual) is functional category that
serves as the spesifier of a verb.” Sementara itu, Hornby (1995:950)
menambahkan dengan mengatakan “Qualifier is a word, esp an
adjective or adverb, that Qualifies another word.” Dari ketiga
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Qualifier
adalah suatu kategori fungsional terutama adjective atau adverb
yang berfungsi sebagai spesifikator yang menerangkan kata lain
seperti verba. Contohnya; never eat, perhaps come, often go, always
work, almost finish.
Perbedaan antara Qualifier dengan adverbial phrase
(AdvP) adalah adverbial phrase sangat serbaguna artinya bahwa
AdvP tidak hanya bisa menjelaskan verba tetapi ajektifa dan juga
seluruh kalimat, seperti yang diungkapkan oleh Thomas Linda
(1993: 25) bahwa “Adverb Phrases are, however, very versatile.
They not only modify verb, but adjective and whole sentences too.”
29
Pada kaidah frasa verba atau verb phrase (VP), verba
bersifat obligatory karena verba (V) ini merupakan head dari frasa
verba. Sama halnya dengan frasa nomina (NP), frasa verba (VP)
juga dapat berdiri, asalkan posisi head terisi, (O’Grady, et, al,
1996:185). Berikut ini adalah contoh tree diagram atau diagram
pohon frasa verba (VP).
3. Frasa Ajektifa (AP)
Menurut Roberts (Roberts dalam Malina, 2002:22) frasa
adjektiva, digunakan sebagai adjektifa yang menerangkan nomina.
Frasa ajektifa dapat dirumuskan sebagai berikut:
Kaidah ketiga dalam PS Rules merumuskan bahwa frasa
ajektifa dapat di bentuk dari tiga kaidah, yaitu: pertama, frasa
ajektifa dapat terdiri dari degree word (Deg) yang bersifat
optional, ajektifa (Adj) yang bersifat obligatory, dan komplemen
frasa preposisi (PP) yang bersifat optional, misalnya; quite certain
NP
aeatNever
Qual V
hamburger
VP
Det N
Rodman dan Formkin (1983 : 225)
30
about Mery. Kedua, frasa ajektifa dapat terdiri dari frasa ajektifa
yang bersifat optional dan ajektifa (Adj) yang bersifat obligatory,
misalnya; large red dalam kalimat a large red ancient building.
Ketiga, frasa ajektifa dapat terdiri frasa adverbia (AdvP) yang
bersifat optional dan ajektifa yang bersifat obligatory, misalnya;
quite disgustingly far. Dari ketiga kaidah tersebut dapat
disimpulkan bahwa frasa ajektifa (AP) dapat terdiri dari degree
word (Deg), frasa ajektifa (AP) yang keduanya bersifat optional,
ajektifa (A) yang bersifat obligatory, dan sebuah komplemen frasa
preposisi (PP) yang bersifat optional. Selain itu frasaa ajektifa
(AP) juga bisa terdiri dari adverbial phrase (AdvP) yang bersifat
optional dan ajektifa (A) yang bersifat obligatory. Thomas Linda
(1993:24) mengemukakan bahwa:
“A degree adverb (deg) as its name suggest, tells us to what degree something is done, as in very loudly. Other degree adverb include word like quite, too, highly, extremely, more, les, rather, and degree adverb is here said to modify or limit the sense of an adverb.”
Pernyataan tersebut mengatakan bahwa adverb
menjelaskan kata kerja sedangkan degree adverb (Deg)
menjelaskan atau membatasi arti dari adverb. Misalnya; very
loudly, very adalah degree adverb (Deg) sedangkan loudly adalah
adverb.
Adjective (A) bersifat obligatory karena ajektifa berfungsi
sebagai head dari frasa ajektifa (AP). Dalam kaidah ini terdapat
31
kemungkinan bahwa sebuah frasa dapat berdiri asalkan posisi head
nya, yaitu ajektifa dapat terisi, (O’Grady,at, al, 1996:183). Berikut
ini adalah contoh tree diagram pohon frasa ajektifa (AP).
4. Frasa Preposisi (PP)
Menurut Roberts (Roberts dalam Malina, 2002:22), frasa
preposisi, dalam kalimat berfungsi sebagai keterangan, ditandai
dengan hadirnya preposisi sebagai unsur pembentuk frasa. Frasa
preposisi dapat dirumuskan sebagai berikut:
PP (Deg) P (NP) …
Kaidah ke empat dalam PS Rules adalah kaidah frasa
preposisi/Prepositional Phrase (PP). Kaidah ini merumuskan
PP
aboutcertainQuite
Deg A
Mary
AP
(O’Grady, et al., 1996:186)
Qual
NP
AP
AP
AP
adj
largea
Adj
red
Adj
ancient
N
buiding
32
bahwa frasaa preposisi (PP) dapat terdiri dari degree word (Deg)
yang bersifat optional, preposisi frasa (PP) yang bersifat
obligatory, dan noun phrase (NP) yang bersifat optional, misalnya;
Almost in the house. Degree word sudah dijelaskan sebelumnya,
sehingga penulis tidak akan membahasnya kembali. Jadi untuk
lebih jelasnya, Degree word dapat dilihat pada kaidah PS Rules
yang ke tiga, yaitu kaidah frasa ajektifa (AP).
Preposisi (P) pada kaidah frasa preposisi (PP) ini bersifat
obligatory karena preposisi (PP) ini merupakan head dari frasa
preposisi. Sama hal nya dengan frasa-frasa yang lain, frasa
preposisi (PP) juga dapat berdiri, asalkan posisi head terisi
(O’Grady, et, al, 1996:185). Berikut ini adalah contoh tree diagram
atau diagram pohon frasa preposisi (PP).
5. Frasa Adverbia (AdvP)
Menurut Roberts (Roberts dalam Malina, 2002:22) frasa
adverbia, digunakan sebagai kata keterangan. Frasa adverbia dapat
dirumuskan sebagai berikut:
AdvP (Deg) Adv …
NP
theinAlmost
Deg P
house
PP
(O’Grady, et al., 1996:186)
33
Kaidah ke lima dalam PS Rules adalah kaidah adverbial
phrase (AdvP). Kaidah ini dapat terdiri dari Degree word (Deg)
yang bersifat optional dan adverbia (Adv) yang bersifat obligatory,
misalnya: Ken snores very loudly .
Adverb (Adv) pada kaidah frasa adverbia (AdvP) ini
bersifat obligatory karena adverbia merupakan head dari frasa
adverbia (AdvP). Berikut ini contoh tree diagram frasa adverbia.
.
Thomas Linda (1993:25)
6. Kalimat (s)
Kalimat = Sentences (s) NP VP
O’Grady, et, al, (1996:191) mengatakan bahwa “The
largest unit of syntactic analysis is the sentences (s)”, pernyataan
tersebut mengatakan bahwa unit terbesar dari analisis sintaksis
adalah kalimat. Pada kaidah PS Rules, kalimat menggabungkan
frasa nomina (yang sering disebut subject) dengan frasa verba
(VP). Kaidah sentences (s) itu istimewa, dalam arti bahwa tidak
seperti frasa-frasa lain, sentences tidak memiliki struktur internal
( dengan head, complement, dan specifier), meskipun demikian,
VP
S
V
snores
AdvP
AdvDeg
very loudly
NP
Ken
Pro
34
banyak sekali para ahli linguistik yang kini percaya bahwa
sentences pada dasarnya mirip dengan frasa-frasa lain dan
memiliki struktur seperti yang digambarkan berikut ini.
Menurut kaidah ini, kalimat memiliki kategori abstrak
sebagai head-nya yang disebut inflection (infl), yang menandakan
tense kalimat tersebut. Inflection seperti head tersebut bersifat
obligatory. Sedangkan kategori verb phrase (VP) berfungsi sebagai
komplemen dan noun phrase (NP) berfungsi sebagai specifier.
2.2.4 Klausa
Klausa menurut Kridalaksana (2001:110) merupakan sistem gramatikal
berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan
predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat. Ini dapat terjadi bila
klausa yang dimaksudkan adalah merupakan klausa yang dapat berdiri sendiri,
sedangkan klausa yang tidak bisa berdiri sendiri merupakan bagian dari
kalimat. Senada dengan Kridalaksana, Chaer (1995:231) mengungkapkan
bahwa klausa sebagai satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkontruksi
VP
scientistA
NP Infl
InflP (=S)
VDet N NP
NDet
discovered
Pst
the answer
(O’Grady, et al., 1983:191)
35
predikatif artinya didalam konstruksi itu ada komponen berupa kata atau frasa
yang berfungsi sebagai predikat dan yang lainnya berfungsi sebagai subjek,
objek, dan sebagai keterangan.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa klausa
adalah kelompok kata-kata yang berkontruksi predikatif yaitu yang
minimal terdiri dari subjek dan predikat, dan berpotensi menjadi sebuah
kalimat.
Klausa memiliki persamaan dengan kalimat sederhana bila dilihat
dari strukturnya. Namun bila klausa dibandingkan dengan frasa, maka
perbedaannya jelas terlihat, klausa berstruktur predikatif sedangkan frasa
berstruktur non predikatif. Elemen-elemen dalam struktur klausa terdiri
atas subjek, verba, objek, komplemen, dan adverbia. Ada dua jenis klausa,
yaitu: klausa bebas (Independent clause) dan klausa terikat (Dependent (or
subordinate) clause) (Frank, 1972)
1. Klausa bebas (Independent clause)
Menurut Frank (1972: 222) bahwa “The independent clause
is a full predication that may stand a lone as a sentence”.
Pernyataan tersebut mengatakan bahwa klausa bebas adalah klausa
yang terdiri dari subjek dan verb dan dapat berdiri sendiri seperti
kalimat, misalnya: John was sick.
2. Klausa terikat (Dependent (or subordinate) clause)
Menurut Frank (1972: 222) bahwa “The dependent clause
has special introductory word that makes predication “depend” on
36
an independent clause”. Dari pernyataan tersebut dikatakan bahwa
klausa terikat adalah klausa yang mempunyai kata pengantar
sepecial maksudnya kata penghubung baik relative conjunction
ataupun relative pronoun dan kalimat terikat ini tidak dapat berdiri
sendiri atau tergantung kepada klausa bebas, misalnya that coffee
grows in Brazil is well known to all.