BAB I-BAB V - Perpustakaan Digital ITB · ini dicirikan oleh sabuk pegunungan lipatan yang tersusun...
Transcript of BAB I-BAB V - Perpustakaan Digital ITB · ini dicirikan oleh sabuk pegunungan lipatan yang tersusun...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 GEOLOGI REGIONAL
2.1.1 Fisiografi
Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi
menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona
Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi Kuarter, Zona Depresi Tengah Jawa Barat,
Kubah dan Pegunungan pada Zona Depresi Tengah, dan Zona Pegunungan
Selatan. Daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Bandung yang dibatasi oleh
gunungapi kuarter di bagian utara dan di bagian selatan merupakan suatu depresi
yang dikelilingi oleh kompleks vulkanik (Gambar 2-2). Van Bemmelen (1949)
juga menganggap bahwa Zona Bandung ini merupakan puncak dari antiklin Jawa
Barat yang kemudian runtuh setelah pengangkatan. Dataran rendah ini kemudian
terisi oleh endapan gunungapi muda. Dalam zona ini juga terdapat beberapa
tinggian yang terdiri dari endapan sedimen tua di antara endapan gunungapi.
Gambar 2-2. Fisiografi Jawa Bagian Barat (modifikasi Van Bemmelen, 1949 )
7
2.1.2 Stratigrafi regional
Menurut Martodjojo (1984), wilayah Jawa Barat dapat dibagi menjadi tiga
mandala sedimentasi, yaitu:
- Mandala Paparan Kontinen Utara terletak pada lokasi yang sama dengan
Zona Dataran Pantai Jakarta pada pembagian zona fisiografi Jawa Bagian
Barat oleh Van Bemmelen (1949). Mandala ini dicirikan oleh endapan
paparan yang umumnya terdiri dari batugamping, batulempung, dan batupasir
kuarsa, serta lingkungan pengendapan umumnya laut dangkal dengan
ketebalan sedimen dapat mencapai 5000 m.
- Mandala Sedimentasi Banten hanya diketahui dari sedikit data. Pada Tersier
Awal, mandala ini cenderung menyerupai Mandala Paparan Kontinen,
sedangkan pada saat Tersier Akhir, ciri dari mandala ini sangat mendekati
Mandala Cekungan Bogor.
- Mandala Cekungan Bogor terletak di selatan Mandala Paparan Kontinen
Utara. Pada pembagian zona fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949),
mandala ini meliputi Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan
Selatan. Mandala ini merupakan mandala sedimentasi yang dicirikan oleh
endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan
batuan sedimen, seperti andesit, basalt, tuf, dan batugamping. Ketebalan
sedimen diperkirakan lebih dari 7000 m.
Berdasarkan pembagian mandala sedimentasi di atas, daerah penelitian
terletak pada Mandala Cekungan Bogor. Mandala Cekungan Bogor menurut
Martodjojo (1984) mengalami perubahan dari waktu ke waktu sepanjang zaman
Tersier–Kuarter. Mandala ini penyebarannya meliputi beberapa Zona Bogor, Zona
Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Daerah ini umumnya dicirikan oleh
endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan
sedimen, seperti andesit, basalt, tuf dan batugamping. Mandala sedimentasi di daerah
ini dicirikan oleh sabuk pegunungan lipatan yang tersusun atas endapan turbidit.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung yang dibuat oleh Silitonga
(1973), daerah Bandung dibagi menjadi sebelas satuan batuan yang dimulai dari
Miosen Tengah dengan urutan stratigrafi dari tua ke muda yaitu Formasi Subang,
Formasi Cilanang, Formasi Kaliwangu, Formasi Citalang, Batupasir Tufaan –
8
Lempung - Konglomerat, Hasil Gunung Api Lebih Tua, Hasil Gunung Api Tua,
Hasil Gunung Api Muda, Kolovium, Endapan Danau, dan Aluvium.
Pada Miosen Tengah diendapkan secara menjari Formasi Subang dan
Formasi Cilanang. Formasi Subang yang memiliki ketebalan berkisar 0 sampai 300
m terdiri atas batupasir andesit, batupasir konglomerat, breksi, lapisan batugamping
dan lempung yang mengandung fosil Lepidocyclina, sedangkan Formasi Cilanang
dicirikan dengan endapan napal tufaan dan batugamping masif.
Formasi Kaliwangu selanjutnya diendapkan secara tidak selaras pada Miosen
Atas dengan ketebalan sekitar 600 m. Formasi ini dicirikan oleh endapan batupasir
Gambar 2-3. Stratigrafi umum Bandung (Silitonga, 1973)
9
tufa, konglomerat, batulempung, dan terkadang lapisan-lapisan batupasir gampingan
dan batugamping. Selain itu terdapat juga lapisan tipis gambut (peat) dan lignit. Fosil
moluska banyak hadir pada batupasir dan konglomerat. Kemudian di atas Formasi
Kaliwangu ini diendapkan secara selaras Formasi Citalang dengan ketebalan sekitar
500 sampai 600 m pada Pliosen. Formasi ini terdiri dari lapisan napal tufaan yang
diselingi oleh batupasir tufaan dan konglomerat.
Batupasir Tufaan – Lempung – Konglomerat dan Hasil Gunung Api Lebih
Tua yang berumur Plistosen Bawah diendapkan secara menjari diendapkan secara
tidak selaras di atas Formasi Citalang. Batupasir Tufaan – Lempung – Konglomerat
memiliki lapisan-lapisan yang mendatar dan membentuk dataran terdiri dari
batupasir tufa yang terkadang mengandung batuapung yang mengandung sisa-sisa
tumbuhan, konglomerat, breksi, dan pasir halus. Sedangkan Hasil Gunung Api Lebih
Tua dengan ketebalan sekitar 600 m terdiri dari breksi, lahar dan pasir tufa yang
berlapis-lapis dengan kemiringan kecil, selain itu juga terdapat sisipan endapan
sedimen dalam pada satuan ini dengan ciri lempung kehitaman yang mengandung
sisa-sisa tumbuhan.
Pada Plistosen Tengah diendapkan secara selaras Hasil Gunungapi Tua.
Satuan ini dicirikan oleh endapan breksi gunungapi, lahar, dan lava berselang –
seling yang termasuk dalam Hasil Gunungapi Tua Tak Teruraikan (Qvu), endapan
lava yang menunjukkan kekar kolom dan kekar berlembar dengan susunan basalt dan
sebagian telah terpropilitisasi yang termasuk dalam Hasil Gunung Api Tua Lava
(Qvl), dan endapan breksi gunungapi serta lahar yang tersusun dari komponen basalt
dan andesit yang termasuk dalam Hasil Gunung Api Tua Breksi (Qvb).
Hasil Gunungapi Muda selanjutnya diendapkan pada Plistosen Atas sampai
Holosen yang terdiri dari tuf berbatuapung, breksi dan aglomerat, lava, dan tuf pasir.
Sumber erupsi dari Hasil Gunungapi Muda ini yaitu Gunung Tangkubanparahu dan
Gunung Tampomas. Lava yang terdapat pada satuan ini bersifat basalt dan banyak
terdapat lubang-lubang gas merupakan hasil erupsi tipe B.
Pada Holosen diendapkan secara bersamaan secara menjari Kolovium dan
Endapan Danau. Kolovium merupakan endapan yang berasal dari reruntuhan
pegunungan-pegunungan hasil gunungapi tua berupa bongkah-bongkah batuan beku
antara andesit-basalt, breksi, batupasir tufa dan lempung tufa. Sedangkan Endapan
10
Danau terdiri lempung tufaan, batupasir tufaan, kerikil tufaan yang membentuk
bidang-bidang perlapisan mendatar di beberapa tempat membentuk kongkresi-
kongkresi gamping, sisa-sisa tumbuhan, moluska air tawar, dan tulang binatang
bertulang belakang. Aluvium merupakan endapan yang masih diendapkan sampai
sekarang yang terdiri dari lempung, lanau, pasir, dan kerikil.
Peneliti lain yang telah membuat stratigrafi di daerah Bandung yaitu
Koesoemadinata dan Hartono (1981) yang membagi Bandung menjadi 5 satuan
stratigrafi yaitu Formasi Cikapundung (Plistosen Bawah), Formasi Cibeureum dan
Formasi Kosambi (Plistosen Atas), Formasi Cikidang (Holosen), dan Endapan
Sungai (Resen). Formasi Cikapundung dicirikan oleh konglomerat dan breksi
gunungapi, tuf, dan sisipan lava andesit yang kemudian diendapkan secara tidak
selaras di atasnya Formasi Cibeureum yang merupakan perulangan breksi - tuf
dengan fragmen skoria. Formasi Kosambi yang diendapkan menjari dengan Formasi
Cibeureum dicirikan oleh endapan batulempung gunungapi, batulanau gunungapi,
dan batupasir gunungapi yang mengandung sisa tumbuhan.
Gambar 2-4. Stratigrafi daerah Bandung (Koesoemadinata dan Hartono, 1981)
Pada Holosen diendapkan Formasi Cikidang yang dicirikan oleh hadirnya
lava basalt berstruktur kekar kolom, konglomerat gunungapi, tuf kasar yang berlapis
sejajar dengan breksi gunungapi. Endapan sungai yang kemudian diendapkan pada
11
resen secara tidak selaras di atas Formasi Cikidang terdiri dari bahan lepas tidak
berkonsolidasi yang berukuran lempung sampai bongkah.
Penelitian terbaru di daerah penelitian dilakukan oleh Kartadinata (2009),
dalam hasil penelitian ini dipaparkan umur absolut untuk menceritakan urut-urutan
endapan vulkanik yang terjadi. Endapan tertua yaitu endapan yang dihasilkan oleh
Gunung Pra Sunda berupa aliran lava dan jatuhan ignimbrite (Cisarua Ignimbrite)
berumur 0,506±0,500 juta tahun yang lalu. Selanjutnya hadir Gunung Sunda dan
mengalami dua letusan besar yaitu pada 0,210±0,310 juta tahun yang lalu
menghasilkan aliran lava dan pada 0,105 juta tahun yang lalu menghasilkan jatuhan
ignimbrite terutama di daerah Manglayang sehingga disebut sebagai Manglayang
Ignimbrite.
Gambar 2-5. Stratigrafi daerah Bandung (Kartadinata, 2009)
Letusan terakhir pada Gunung Sunda itulah yang kemudian menyebabkan
runtuhnya gunung ini dan menghasilkan kaldera. Dari kaldera Gunung Sunda itu
kemudian lahir Gunung Tangkubanparahu, endapan dari gunung dibagi menjadi dua
anggota yaitu Endapan Tangkubanparahu Tua (berumur > 10.000 tahun) yang terdiri
0,105 ma
0,210±0,310 ma
0,506±0,500 ma
12
dari endapan lava basalt, breksi piroklastik, dan tuf skoria melalui mekanisme aliran
dan Endapan Tangkubanparahu Muda (berumur < 10.000 tahun) yang terdiri dari
endapan tuf halus melalui mekanisme jatuhan.
2.1.3 Struktur geologi regional
Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem
busur kepulauan yang kemenerusannya dapat ditarik dari Burma di sebelah barat laut
Andaman, Sumatra, sampai ke Lengkung Banda di Indonesia bagian timur. Interaksi
konvergen antara Lempeng Samudera Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia
menghasilkan sistem busur kepulauan ini. Struktur geologi regional yang
berkembang di Pulau Jawa merupakan hasil dari interaksi antara Lempeng Hindia-
Australia dan Lempeng Eurasia. Interaksi ini terjadi dengan lempeng Hindia-
Australia bergerak ke utara yang menunjam kebawah lempeng Eurasia yang relatif
tidak bergerak (Hamilton, 1979). Hasil interaksi ini berupa jalur vulkanik-magmatik
yang membentang dari Pulau Sumatra ke arah timur hingga Nusa Tenggara yang
dikenal sebagai Busur Sunda. Selain membentuk jalur vulkanik-magmatik, interaksi
lempeng tersebut juga menghasilkan pola-pola struktur yang berkembang di Pulau
Jawa.
Pada zaman Kapur-Paleosen, jalur subduksi ini dapat ditelusuri dari Jawa Barat
bagian selatan (Ciletuh), Pegunungan Serayu (Jawa Tengah), dan Laut Jawa bagian
timur sampai ke bagian tenggara Kalimantan dengan jalur magmatik yang terdapat
pada daerah lepas Pantai Utara Jawa. Jalur subduksi ini akan membentuk
punggungan bawah permukaan laut yang terletak di selatan Pulau Jawa selama
Zaman Tersier. Hal ini menunjukkan pada akhir Zaman Kapur hingga Oligo-Miosen
terjadi pergerakan jalur subduksi ke arah selatan. Pada Zaman Neogen sampai
Kuarter, jalur magmatik Pulau Jawa kembali bergerak ke arah utara dengan jalur
subduksi yang relatif tidak bergerak. Hal ini menunjukkan pada Zaman Neogen
penunjamannya lebih landai dibanding dengan pada Zaman Paleogen.
Evolusi tektonik di atas dikuatkan oleh hasil penelitian Martodjojo dan
Pulunggono (1994), yang menyimpulkan bahwa pada dasarnya di Pulau Jawa
terdapat tiga arah kelurusan struktur yang dominan (Gambar 2-6), yaitu:
13
- Pola Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya, diwakili oleh Sesar
Cimandiri di Jawa Barat, yang dapat diikuti ke timurlaut sampai batas timur
Cekungan Zaitun dan Cekungan Biliton.
- Pola Sunda yang berarah utara-selatan, diwakili oleh sesar-sesar yang
membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda, dan Cekungan Arjuna.
- Pola Jawa yang berarah barat-timur, diwakili oleh sesar-sesar naik seperti
Baribis, serta sesar-sesar naik di dalam Zona Bogor pada zona fisiografi Van
Bemmelen (1949).
Menurut Koesoemadinata (1985) dalam Martodjojo dan Pulonggono (1994),
Jawa Barat memiliki tatanan tektonik yang lebih rumit dan tidak memiliki arah
umum tektonik seperti halnya Sumatra. Pola struktur pada bagian timur Jawa Barat
memiliki arah baratlaut – tenggara, pada daerah Banten berarah baratdaya-timurlaut,
sedangkan pada dataran rendah Jakarta pola strukturnya berarah utara-selatan. Pada
bagian tengah Jawa Barat, sebelah barat dari Bandung, pola stukturnya memiliki arah
baratdaya-timurlaut. Hal ini dapat dilihat pada punggungan Rajamandala yang
kemenerusannya dapat ditarik dari Sukabumi hingga Lembah Cimandiri di daerah
0 400 km
Gambar 2-6. Pola struktur Pulau Jawa (Martodjojo dan Pulonggono, 1994)
Pelabuhan Ratu. Tatanan tektonik yang rumit dan tidak memiliki pola umum ini
menunjukan struktur batuan dasar
yang saling bergerak satu sama lain dan tersesarkan.
Gambar 2-7. Struktur
Struktur utama yang terdapat di daerah Bandung di antaranya adalah Sesar
Lembang yang berarah hampir barat
beberapa patahan normal hampir barat
dataran Bandung. Daerah
vulkanik Tersier mengalami level erosi y
patahan-patahan tersebut. Struktur yang lebih tua sebagian tertutup oleh material
vulkanik dan sedimentasi memperlihatkan jalur utar
7 (Dam, 1994).
Struktur regional yang menarik
memanjang dari sekitar Cisarua di sebelah barat sampai Gunung Pulusari di sebelah
timur (Gambar 2-8). Sesar ini mudah dikenali secara topografi melalui ga
yang curam ke arah utara
pembelokan arah terutama pada aliran Cikapundung (sekit
Sungai Cimahi. Tjia (1968) menafsirkan pergerakan Sesar Lembang berupa sesar
mendatar (strike slip fault
lain seperti Silitonga (1973), Dam (1994) dan Nossin dkk
Pelabuhan Ratu. Tatanan tektonik yang rumit dan tidak memiliki pola umum ini
menunjukan struktur batuan dasar yang diperkirakan tersusun atas blok
yang saling bergerak satu sama lain dan tersesarkan.
Struktur utara-selatan daerah Bandung (Dam,
Struktur utama yang terdapat di daerah Bandung di antaranya adalah Sesar
erarah hampir barat-timur, zona patahan naik Rajamandala, dan
beberapa patahan normal hampir barat-timur di daerah marjinal bagian selatan
ataran Bandung. Daerah-daerah vulkanik Pleistosen yang lebih tua dan bahkan
lkanik Tersier mengalami level erosi yang cukup dalam juga terkena pengaruh
patahan tersebut. Struktur yang lebih tua sebagian tertutup oleh material
vulkanik dan sedimentasi memperlihatkan jalur utara-selatan terlihat pada
Struktur regional yang menarik di Bandung Utara yaitu Sesar Lembang yang
memanjang dari sekitar Cisarua di sebelah barat sampai Gunung Pulusari di sebelah
). Sesar ini mudah dikenali secara topografi melalui ga
yang curam ke arah utara. Aliran sungai yang melewati sesar ini terlihat mengalami
pembelokan arah terutama pada aliran Cikapundung (sekitar Maribaya) dan alur
ahi. Tjia (1968) menafsirkan pergerakan Sesar Lembang berupa sesar
strike slip fault) dengan gerakan mengiri (sinistral). Sedangkan p
lain seperti Silitonga (1973), Dam (1994) dan Nossin dkk., (1996) menyatakan
14
Pelabuhan Ratu. Tatanan tektonik yang rumit dan tidak memiliki pola umum ini
yang diperkirakan tersusun atas blok-blok batuan
aerah Bandung (Dam, 1994)
Struktur utama yang terdapat di daerah Bandung di antaranya adalah Sesar
timur, zona patahan naik Rajamandala, dan
timur di daerah marjinal bagian selatan
sen yang lebih tua dan bahkan
ang cukup dalam juga terkena pengaruh
patahan tersebut. Struktur yang lebih tua sebagian tertutup oleh material
selatan terlihat pada Gambar 2-
andung Utara yaitu Sesar Lembang yang
memanjang dari sekitar Cisarua di sebelah barat sampai Gunung Pulusari di sebelah
). Sesar ini mudah dikenali secara topografi melalui gawirnya
ar ini terlihat mengalami
ar Maribaya) dan alur
ahi. Tjia (1968) menafsirkan pergerakan Sesar Lembang berupa sesar
) dengan gerakan mengiri (sinistral). Sedangkan peneliti
(1996) menyatakan
15
bahwa sesar ini merupakan sesar normal dengan blok utara bergerak relatif turun
terhadap blok selatan.
Gambar 2-8. Citra landsat kemenerusan Sesar Lembang (maps.google.com)
2.2 STUDI INFILTRASI LAPANGAN
2.2.1 Teori dasar
Infiltrasi merupakan proses masuknya air dari permukaan tanah dan turun
menuju permukaan air tanah. Infiltrasi merupakan bagian dari siklus hidrologi
(Gambar 2-9). Dalam siklus hidrologi, saat terjadi hujan, sebagian besar air akan
diserap oleh tanah, dan sisanya akan menjadi air limpasan atau runoff. Hasil infiltrasi
sebagian besar akan menjadi aliran air tanah dan sisanya akan membasahi tanah.
Apabila kapasitas kebasahan tanah (soil moisture) terlampaui, maka sisanya akan
berperkolasi (mengalir vertikal akibat gravitasi) mencapai air tanah.
16
Gambar 2-9. Siklus hidrologi (Vepraskas dkk., 2001)
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi infiltrasi, dan pada penelitian
ini lebih memfokuskan pada faktor tanah pelapukan suatu litologi dan morfologi
yang erat kaitannya dengan kemiringan lereng.
Tanah pelapukan suatu litologi dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu
pasiran, lempungan, dan lanauan. Faktor keseragaman butir, porositas, dan
permeabilitas sangat penting dalam menentukan laju infiltrasi. Faktor morfologi erat
kaitannya dengan topografi dan kemiringan lereng. Klasifikasi kelas lereng yang
digunakan adalah kelas lereng menurut Van Zuidam (1985).
Proses infiltrasi pada awalnya secara umum berjalan cepat, kemudian
melambat dan disusul dengan kondisi konstan (Gambar 2-10) ketika absorpsi
maksimum tanah yang bersangkutan telah tercapai (kondisi steady-state). Laju
Infiltrasi maksimum yang terjadi pada kondisi tertentu dinyatakan sebagai kapasitas
infiltrasi (fc). Kapasitas infiltrasi ini berbeda-beda tergantung sifat fisik dari tanah
yang menjadi jalan mengalirnya air sehingga pengamatan sifat fisik tanah tempat
pengukuran infiltrasi harus dilakukan.
17
Tabel 2.1. Klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam,1985)
Kemiring
an
(derajat)
Kemiring
an (%) Keterangan
0 - 2 0 - 2 Datar atau hampir datar.
2 - 4 2 - 7 Miring landai
4 - 8 7 - 15 Miring
8 - 16 15 - 30 Terjal sedang
16 - 35 30 - 70 Terjal
35 - 55 70 - 140 Sangat terjal
>55 >140 Terjal ekstrim
Gambar 2-10. Grafik laju infiltrasi terhadap fungsi waktu (Miyazaki dkk., 1993)
18
2.2.2 Metode pengujian infiltrasi
Dalam pengukuran infiltrasi digunakan alat bernama infiltrometer. Terdapat
beberapa alat jenis infiltrometer untuk mengetahui nilai infiltrasi di suatu daerah,
yaitu single-ring infiltrometer, double-ring infiltrometer, ponded infiltrometer, dan
tension infiltrometer. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat single-ring
infiltrometer dengan spesifikasi terbuat dari pipa paralon dengan panjang 40 cm dan
diameter 20 cm. Metode pengujian dengan cara memasukkan infiltrometer kedalam
tanah sedalam 10 cm yang telah dihilangkan vegetasi yang terdapat di atas
permukaan tanah. Kemudian dimasukkan air kedalam infiltrometer sedalam 30 cm
dan proses pengamatannya adalah falling head, yaitu dengan mencatat setiap
perubahan/penurunan muka air dalam pipa tersebut pada selang waktu tertentu
hingga mencapai keadaan konstan atau dikenal dengan laju infiltrasi akhir. Pengujian
di lapangan ditunjukkan pada Gambar 2-11.
Gambar 2-11. Prinsip percobaan infiltrasi di lapangan
2.2.3 Metode perhitungan infiltrasi
Tinggi air awal yang dituangkan ke dalam infiltrometer yaitu 30 cm (diisi
penuh) kemudian air yang meresap dapat dinyatakan dalam nilai laju infiltrasi yaitu
cm/menit. Laju infiltrasi yang diperoleh melalui pengukuran tersebut kemudian
diplot ke dalam kurva infiltrasi, kemudian dari kurva tersebut dapat ditentukan
persamaan laju infiltrasi. Laju infiltrasi akhir adalah rata-rata dari hasil laju infiltrasi
19
hasil pengukuran dan laju infiltrasi perhitungan. Persamaan yang umum digunakan
untuk menghitung infiltrasi antara lain yang dikembangkan oleh Kostiakov (1931)
dalam Seyhan (1977) dengan persamaan sebagai berikut:
• f : laju infiltrasi (cm/menit)
• a,n : konstanta
• t : waktu (menit)
Konstanta dan n dievaluasi dari infiltrasi kumulatif untuk waktu yang
ditentukan. Persamaan dari infiltrasi kumulatif tersebut ditulis sebagai berikut:
• F : laju infiltrasi kumulatif (cm/menit)
• t : waktu (menit)
• a ,n : konstanta
Dengan persamaan di atas maka laju infiltrasi akhir (fc) didapat dengan
mengevaluasi data hasil pengukuran infiltrasi kumulatif melalui bantuan peranti
lunak Microsoft Excel pada komputer dengan bentuk persamaan logaritmanya
adalah:
20
Persamaan dalam mengukur laju infiltrasi juga dilakukan oleh Horton (1945)
dalam Bakti (2005) yang menyatakan bahwa laju infiltrasi dimulai pada f0 kemudian
menurun secara eksponensial hingga mencapai laju konstan fc.
• f(t) : laju infiltrasi pada waktu t (cm/menit)
• fc : laju infiltrasi konstan
• f0 : laju infiltrasi awal
• k : konstanta yang menunjukkan pengurangan laju
infiltrasi
• t : waktu (menit)
• e : 2.71
f(t) = fc + (fo – fc)e^-kt