BAB I Agama Hindu
-
Upload
dw-yu-nitha-cz -
Category
Documents
-
view
544 -
download
32
Transcript of BAB I Agama Hindu
20
KREMATORIUM 2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian atau meninggalnya seseorang berarti putusnya hubungan dengan dunia
nyata atau duniawi yang kemudian akan kembali ke alam baka atau ke akhirat dengan
membawa karmanya masing - masing. Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang
Maha Esa, sering disebut sebagai sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang
menentukan batas usia seseorang, yang tidak dapat diramalkan oleh manusia, dan kapan
waktu yang tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.
Di dalam perjalanan kematian tersebut tidak ada ketentuan yang pasti terhadap
seseorang, tidak ada pilih kasih, tidak ada perbedaan kaya ataupun miskin, juga perbedaan
pejabat atau bukan pejabat, ayah atau anak, kakek atau cucu, dan dokter atau pasien,
semuanya akan berjalan menuju kearah kematian sesuai dengan kehendak beliau, yang
selalu disertakan pula dengan perbuatan serta karmanya semasa masih hidup.
Jadi kematian adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-
masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara
tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki
peradaban budaya.
Khususnya di Bali, umat yang memeluk Agama Hindu menganut kepercayaan adanya
upacara pembakaran mayat atau kremasi yang sering disebut dengan Ngaben. Di dalam
Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan
untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh
leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda mengatakan
manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu
dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga, sanak saudara dari orang yang
meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali
upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah. Tetapi untuk
menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan
pengabenan secara massal / bersama. Selain itu saat ini ada pula lembaga yang
memfasilitasi upacara pengabenan atau kremasi, seperti Paguyuban MGPSSR (Maha
Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) yang merupakan salah satu organisasi yang dapat
20
KREMATORIUM 2011
membantu beban masayarakat dalam prihal pengabenan. Tetapi saat ini banyak golongan
tua yang tidak setuju dengan adanya krematorium ini karena mereka menganggap hal ini
dapat mengikis adat istiadat Bali. Dimana tradisi ngayah yang ada di setiap desa akan
menjadi berkurang, hal itu disebabkan oleh banyaknya orang yang menggunakan
krematorium ini sebagai tempat untuk pembakaran mayat.
Berdasarkan kesenjangan di atas, hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk
membuat makalah mengenai “Eksistensi Krematorium Sebagai Salah Satu Alternatif
Pengabenan di Bali, Antara Solusi dan Kontroversi”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1.2.1 Bagaimana eksistensi adanya krematorium sebagai salah satu alternatif
pengabenan di Bali ?
1.2.2 Bagaimana tanggapan mengenai adanya krematorium di tengah adat istiadat bali?
1.3 Tujuan Penulisan
Terkait dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui eksistensi adanya krematorium sebagai salah satu alternative
pengabenan di Bali
1.3.2 Untuk mengetahui tanggapan mengenai adanya krematorium di tengah adat istiadat
bali.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat 2ember manfaat sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat akademis, bahwa melalui makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu
upaya untuk menambah wawasan keagamaan khususnya mengenai upacara
pengabenan atau kremasi yang ada di Bali.
1.4.2 Manfaat praktis, yaitu masyarakat dapat mengetahui dampak positif dan dampak
negative adanya krematorium ini jika dilihat dari adat istiadat Bali.
20
KREMATORIUM 2011
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan tentang Upacara Ngaben
Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sebagai kewajiban suci
umat Hindu terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Dalam
ajaran agama Hindu, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma.
Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi
(zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima
unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh). Ketika
manusia meninggal, yang mati adalah badan kasar saja, atmanya tidak. Jadi, ngaben
adalah proses penyucian atma atau roh saat meninggalkan badan kasar. Ngaben berasal
dari kata “beya” yang artinya bekal atau “ngabu” yang artinya menjadi abu.
Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sebagai dewa pencipta juga
adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana
api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yg digunakan adalah api
konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk
mempralina yaitu membakar kekotoran yg melekat pada atma/roh.
Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang
meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan
itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan
duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui rienkarnasi.
Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan
kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan.
Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "Bade dan Lembu" yang terbuat dari bambu,
kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial
ekonomi keluarga bersangkutan. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang
akan dugunakan dalam melaksanakan Ngaben.
Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa
sajen dan kelengkapannya sebagai simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering
dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih
ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas
20
KREMATORIUM 2011
terseret arus laut dan jenazah tidak diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya
sudah hangus terbakar.
Untuk prosesi ngaben yang jenazahnya tidak ada, dilakukan dengan membuat simbol
dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar. Banyak tahap
yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran
dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika
ada yg meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta utk menanyakan kapan ada
hari baik utk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yang tidak lebih dari
7 hari sejak hari meninggalnya.
Pagi hari ketika upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara serta
masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat (layon) akan dibersihkan
atau yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan keluarga, “Nyiramin” ini
dipimpin oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya
mempunyai kewajiban untuk itu.. Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali
seperti layaknya orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh
keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah
yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu
prosesi melepaskan roh dengan membuat symbol-simbol menggunakan kain bergambar
unsur-unsur penyucian roh. Dan setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di
“Bade” untuk diusung beramai-ramai ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan
gamelan, kidung suci, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat, di depan “Bade”
terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah
menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar
sebanyak 3 kali. Bade biasanya berbentuk padma sebagai simbol rumah Tuhan. Sampai di
kuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar
jenazah yang terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu.
Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau
orang yg dianggap mampu untuk itu (biasanya dari klan brahmana). Pralina adalah
pembakaran dengan api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yg melekat
ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengan menggunakan api konkrit. Jaman
sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor
minyak tanah yg menggunakan angin. Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang
utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah
20
KREMATORIUM 2011
kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yg dilarung ke laut, karena laut
adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan.
Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Namun, ada pengecualian
dalam upacara ngaben yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum
tanggal gigi, jenazahnya harus di kubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yang
akan ada jika ada keluarganya meninggal.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan
karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang
Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran
keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali
adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.
Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal
ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian. Jasad orang yang meninggal sering
dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga
yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang
yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Upacara Ngaben
biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai
wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali upacara ini biasanya
menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah dan bahkan lebih. Upacara ini biasanya
dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan
bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat
menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.
Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering
melakukan pengabenan secara massal atau bersama. Selain itu ada pula lembaga yang
memfasilitasi upacara pengabenan atau kremasi, seperti Paguyuban MGPSSR (Maha
Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) yang merupakan salah satu organisasi yang dapat
membantu masayarakat dalam hal ini. Selain itu, Paguyuban MGPSSR juga mengadakan
beberapa acara massal seperti metatah, atma wedana, dan upacara sapuh leger yang akan
diselenggarakan pada bulan Maret nanti.
20
KREMATORIUM 2011
2.2 Tinjauan Tentang Paguyuban Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi
Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi adalah salah satu paguyuban yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa beberapa pelayanan upacara adat seperti upacara
kremasi yang sering disebut dengan krematorium, atma wedana, metatah, sapuh leger dan
upacara-upacara lainnya.
Paguyuban Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi ini didirikan pada tanggal 17 April 1952
dan kini diketuai oleh Prof.Dr. I Wayan Wita. Paguyuban ini mulai membangun pusat
krematorium pada tanggal 7 Desember 2008.
Warga Pasek yang tergabung dalam Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR),
meresmikan krematorium ngaben ini dengan tujuan utama yaitu sebagai solusi dari
permasalahan yang diakibatkan oleh seringnya masalah kematian atau ngaben yang
kemudian menjadi masalah atau konflik adat khususnya di daerah-daerah rawan di Bali.
Selain itu pendirian dari paguyuban ini juga didasarkan atas keinginan masyarakat pasek
untuk melaksanakan yadnya. Krematorium ini sudah bisa difungsikan dan terbuka untuk
semua soroh, orang Hindu perantauan,warga yang kena sanksi adat dan lainnya.
Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi adalah nama kelompok bagi warga dengan garis
keturunan pasek, bukan aliran dalam Hindu. Selain warga Pasek yang merupakan
mayoritas, terdapat belasan klan (soroh) lainnya di Bali. Selain itu, keberadaan
krematorium ini diharapkan pula dapat menjadi solusi bagi warga yang kesulitan biaya
dan tenaga untuk upacara ngaben.
Sebuah langkah cemerlang telah dicetuskan oleh komponen Hindu di Bali, betapa
tidak disaat masalah ngaben begitu rentan dengan konflik yang disebabkan berbagai faktor
adat dan individual, keberadaan krematorium ini bisa menjadi salah satu solusi yang dapat
ditawarkan. Selama ini kita dengar dan baca, masalah pengabenan di daerah tertentu di
Bali kerapkali sampai membuat masyarakat bersitegang, umumnya dilatarbelakangi
karena yang si empunya layon yang akan di aben ataupun orang yang akan di aben
tersebut tidak pernah ngayah, ataupun masih belum menunaikan kewajiban adat lainnya.
Dalam setahun kasus-kasus seperti yang terjadi di Klungkung, ataupun di Gianyar, selalu
saja mencuat menghiasi surat kabar lokal dan nasional yang tentu saja memalukan.
Sesungguhnya, masalah-masalah adat ini muncul memerlukan penanganan yang
komprehensif dari lembaga-lembaga adat yang ada. Namun yang paling penting adalah
merevitalisasi cara berpikir masyarakat yang sekiranya masih terbelenggu dengan pola
pikir yang keliru akibat provokasi, rasa dendam, iri hati dan awig-awig yang terasa tidak
20
KREMATORIUM 2011
relevan lagi dengan dinamika masyarakat Bali yang semakin melaju deras seiring
perkembangan zaman global.
Paguyuban ini berlokasi di Desa Kedua, Peguyangan, Denpasar Utara, krematorium
direncanakan mulai beroperasi awal tahun 2009. Pembangunan Krematorium di
peguyuban ini yang lebih dikenal dengan nama Krematorium Santhayana telah dimulai
sejak tahun 2008 dan diperkirakan akan menelan biaya total Rp 1 milyar. Saat ini
pembangunan tahap I telah selesai dan di areal itu telah berdiri areal pembakaran jenazah
dan pelinggih (tugu) Prajapati.
Sementara di kantor MGPSSR tempat berlangsungnya Pesamuhan Agung III,
belakang lokasi krematorium ini, Walikota Denpasar IB Dharmawijaya Mantra
meresmikan dengan membuka tabir papan nama Krematorium Santha Yana. Nama Santha
Yana sendiri diberikan oleh sejumlah sulinggih yang artinya jalan damai.
Perihal konflik warga yang memperebutkan hak menggunakan setra (lokasi
pemakaman), hal itu terjadi di antaranya karena sengketa status warga adat atau persoalan
lain. Sayang sekali, jika warga tidak bisa melaksanakan upacara ngaben karena konflik.
Disituasi inilah peranan krematorium ini dirasakan oleh masyarakat. Alasan lainnya
adalah keresahan warga karena mahalnya biaya ngaben. Pembuatan krematorium adalah
jalan realistis untuk mengatasi persoalan ekonomi akibat mahalnya biaya pembakaran
jenazah atau pembuatan bade (wadah jenazah).
Dalam pelaksanaannya Krematorium Santayana ini telah menegaskan bahwa sarana
kremasi ini tidak akan menggantikan desa pekraman sebagai penyelenggara ngaben atau
proses ritual lainnya. Krematorium hanya alternatif di tengah banyak masalah yang
dihadapi warga ketika melakukan pengabenan. Krematorium ini terbuka untuk digunakan
oleh umum termasuk warga Hindu perantauan, jenazah tanpa identitas di rumah sakit,
serta warga dari agama lain.
Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, I Gusti Ngurah Sudiana pada
pernyataan yang dipublikasikan MGPSSR, menyampaikan dukungannya pada
krematorium tersebut. Ini merupakan jawaban yang intelektual atas masalah umat saat ini.
Ada sejumlah pilihan yang akan diberikan jasa krematorium ini. Pertama,
menyediakan jasa kremasi saja, yang dibuka untuk semua masyarakat. Kedua,
pelaksanaan ngaben sebelum nyekah, karena nyekah bisa dilakukan di rumah atau tempat
lain. Atau bisa juga ngaben secara penuh di krematorium ini, dengan sarana upacara yang
bisa dibeli atau disiapkan sendiri termasuk sulinggih (pemimpin upacara).
20
KREMATORIUM 2011
Hingga saat ini sekitar 3000 warga Hindu dan agama lain telah mendaftar untuk
menggunakan krematorium ini nanti. Menurut Jero Mangku Dalem, saatnya warga Hindu
untuk lebih mengutamakan makna upacara dibanding berfoya-foya mengeluarkan biaya
untuk hal yang bersifat duniawi. Seperti contohnya penggunaan bade (wadah jenazah)
megah yang sebenarnya tidak lumrah digunakan pada masa lalu.
Berikut ini adalah daftar pengurus harian dari Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi yang
bertempat di Peguyangan, Denpasar Utara.
Pengurus Harian:
Ketua umum : Prof. DR. dr. I Wayan Wita, SPJP
Ketua I (Bidang Organisasi dan Hubungan External) : Prof DR.Ir.I Gde Pitana , M.Sc.
Ketua II (Bidang Kepanditaan/Kesulinggihan) : Jro Mangku Drs. I Wayan Sunasdyana, Ak
Ketua III (Bidang Pembangunan) : I Made Jelada , ST
Ketua IV (Bidang Humas, Publikasi dan Advokasi) : I Wayan Wenen, SH.MH
Ketua V (Bidang Usaha dan Dana) : I Gede Sumanasa
Ketua VI (Bidang SDM dan Dharma Wacana) : Prof. DR. I Made Titib, P.Hd
Ketua VII (Bidang Upakara dan Umum) : Jro Mangku Putu Mas Sujana
Sekretaris Umum : I Wayan Winatha
Sekretaris I : I Nyoman Landra, ST
Sekretaris II : I Wayan Gama Tirta, SH,MAg
Sekretaris III : I Wayan Arnata
Bendahara Umum : I Nyoman Tarca Antika
Bendahara I : I Ketut Pasek Winastera, SE
Bendahara I : I Made Hardika Artha
Bidang – Bidang:
1. Bidang Organisasi dan Hubungan
External
1. I Gde Pasek Suardika,SH
2. Drs. Made Adi Djaya, Ak
3. I Ketut Diatmika Yadnya
4. I Ketut Suta, SH.MH
5. I Ketut Tika, S.Ag
6. I Wayan Narka , S.Pd
7. I Ketut Sukania, BA,ST
20
KREMATORIUM 2011
2. Bidang Kepanditaan/Kesulinggihan
1. Jro Mangku Made Sudana Yasa
2. Jro Mangku Nyoman Alit
3. Jro Mangku Nyoman Ambara
4. Jro Mangku Wayan Sukadana
5. Jro Mangku I Wayan Candra. (Tegal)
6. Jro Mangku I Wayan Upadana
7. Jro Mangku Ketut Pasek Swastika
3. Bidang Pembangunan
1. I Kadek Sukarma, ST
2. I Wayan Suka Semadi, ST
3. I Wayan Polos
4. I Ketut Jaya
5. I Putu Sandiyasa, ST
6. I Wayan Sukarma
7. I Made Teja.
4. Bidang Humas, Publikasi dan Advokasi
1. I Wayan Budi Arsika, SH
2. I Wayan Ambon Antara,SH
3. I Ketut Gde Waisnawa
4. I Putu Wiswara
5. I Wayan Gede Suardana, SH.MH
6. Jro Mangku Ir. Nyoman Sutadarma
7. I Nyoman Arjana
8. I Nyoman Wirya Suniatmaja
5. Bidang Usaha dan Dana
1. I Wayan Agus Setyawan
2. I Made Budastra
3. I Ketut Santika
4. I Putu Netra
5. I Made Gatra
6. I Made Setia
7. I Wayan Sumita
6. Bidang Sumber Daya Manusia dan
Dharna Wacana
1. Drs. I Wayan Tontra
2. Drs. I Gede Rudia Adiputra,M.Ag
3. Drs. I Made Suwela, M.Pd
4. Drs. I Putu Wilasa
5. Jro Mangku Dalang Drs. Nyoman Sudana
6. I Putu Senter
7. Jro Mangku Ketut Sukarja, M.Pd
7. Bidang Upakara dan Umum
1. Jro Mangku Nyoman Alit (Bongkasa)
2. Jro Mangku Ketut Catur
3. Jro Mangku Made Puji
4. Jro Mangku I Wayan Candra ( Braban )
5. Jro Mangku Ketut Edi Asmara
6. Jro Mangku Ketut Dharma
7. Jro Mangku Sukanta
8. Jro Mangku Sri
Team Kesehatan MGPSSR Pusat:
Ketua : Dr. Putu Arya Widiyana Pasek
Anggota : Dr. I Wayan Gunarta
: I Wayan Rusna
: Drs. I Nyoman Cakra, A.Pt
: Dr. Nyoman Sueta
: Dr.Ketut Bajra Nadha
Pengurus Sabha Catur Parhyangan dan Dadya Agung
Ketua : Drs. I Made Suwela, SH,MPd
Wakil Ketua : Putu Senter
Sekretaris : Nyoman Gelgel Waisnawa,SP.SH
Wakil Sekretaris : I Made Oka Adhi Parwatha, M.Si
Anggota : 1. I Ketut Gede Waisnawa. 7. Jro Mangku Nyoman Suarna
2. Putu Gede Kertya, SE 8. I Komang Adria, SE
3. Jro Mangku Drs. Nengah Widiana 9. I Made Pada Yasa
4. I Gede Kusuma Jaya 10. I Ketut Lepik
5. Jro Mangku Sudiartha (Mangku Dalem Sari) 11. I Made Ardika
6. Semua Penglingsir, Dadya dan Dadya Agung
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Peguyangan, Denpasar Utara yaitu di gedung secretariat
Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi pada tanggal 29 Januari dan 1 Februari, sedangkan
penulisan dilaksanakan di Jalan Raya Dalung dari tanggal 3-28 Februari 2011.
3.2 Jenis dan Sumber Data
3.2.1 Jenis Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Data Primer, adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden. Dalam
hal ini data primer diperoleh langsung dari pengurus Maha Gotra Pasek Sanak
Sapta Rsi.
2. Data sekunder, adalah data yang diperoleh dari pihak lain akan tetapi berkaitan
dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari beberapa
literatur yang berkenaan dengan topik yang dibahas.
3.2.2 Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari :
- Wawancara dengan Sekretaris Umum Paguyuban Maha Gotra Pasek Sanak Sapta
Rsi
- Observasi langsung Peguyangan, Denpasar Utara
- Studi Kepustakaan
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan ada 3 yaitu :
- teknik observasi
- kepustakaan
- teknik wawancara (interview)
3.4 Teknik Analisis Data
Berdasarkan pada teknik pengumpulan data, metode yang digunakan untuk mengolah
data adalah metode deskriptif. Dengan metode ini, penulis memaparkan dengan kata –
kata secara jelas dan rinci permasalahan yang dirumuskan berdasarkan kajian kritis sesuai
dengan teori yang melandasinya.
Dengan sistem seperti ini, maka analisis data bersifat verbal sehingga yang muncul
adalah analisis kualitatif berdasarkan data verbal.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Eksistensi Adanya Krematorium Sebagai Salah Satu Alternatif Pengabenan Di Bali
Didirikannya krematorium oleh warga Pasek yang dinamakan Santhayana ternyata
telah menyedot perhatian banyak orang. Krematorium merupakan proses pembakaran
jenazah secara praktis, cepat, dan modern terlepas dari setuju dan tidak setuju, karena
situasi dan kondisi perkembangan zaman.
Di Bali proses pengabenan/pengabuan dilaksanakan sesuai dengan Desa Kala Patra
yang sudah kita warisi secara turun temurun. Secara umum proses pengabenan
merupakan kewajiban dari krama adat membantu proses dan memberikan fasilitas
kepada warganya untuk melaksanakan upacara pengabenan pada kuburan (setra) milik
Desa Adat tersebut. Ketika ada masalah seseorang tidak diberikan menggunakan fasilitas
setra karena tidak ikut mebanjar/ tidak ikut berpartisipasi dalam Desa Adat tersebut
dengan berbagai alasan, maka orang tersebut menggunakan alternatif seperti
krematorium untuk menghindari permasalahan di Desa Adat tersebut. Ini adalah jalan
keluar yang ditempuh pada proses sebuah pengabenan.
Sebuah langkah cemerlang telah dicetuskan oleh komponen Hindu di Bali, betapa
tidak disaat masalah ngaben begitu rentan dengan konflik yang disebabkan berbagai
faktor adat dan individual, keberadaan krematorium ini bisa menjadi salah satu solusi
yang dapat ditawarkan. Selama ini kita dengar dan baca, masalah pengabenan di daerah
tertentu di Bali kerapkali sampai membuat masyarakat bersitegang, umumnya
dilatarbelakangi karena yang si empunya layon yang akan di aben ataupun orang yang
akan di aben tersebut, tidak pernah ngayah, ataupun masih belum menunaikan kewajiban
adat lainnya. Dalam setahun kasus-kasus seperti yang terjadi di Klungkung, ataupun di
Gianyar, selalu saja mencuat menghiasi surat kabar lokal dan nasional yang tentu saja
memalukan. Sesungguhnya, masalah-masalah adat ini muncul memerlukan penanganan
yang komprehensif dari lembaga-lembaga adat yang ada. Namun yang paling penting
adalah merevitalisasi cara berpikir masyarakat yang sekiranya masih terbelenggu dengan
pola pikir yang keliru akibat provokasi, rasa dendam, iri hati dan awig-awig yang terasa
tidak relevan lagi dengan dinamika masyarakat Bali yang semakin melaju deras seiring
perkembangan zaman global.
Menurut Wita, salah satu alasan utama pembangunan krematorium Hindu pertama di
Bali ini adalah karena urusan kematian dan orang meninggal kerap menjadi masalah di
daerah-daerah rawan di Bali. Masalah penguburan jenasah dan ngaben yang sudah lama
terjadi membuat banyak orang merasa jengah dan malu. Permasalahan ini pun sering
menyedot perhatian banyak orang termasuk agama lain. Alasan tersebut pun yang
melatarbelakangi didirikannya krematorium di Bali.
Dengan adanya krematorium yang dianggap sebagai solusi untuk melepaskan diri dari
permasalahan adat yang kerap dialami oleh orang-orang yang mempunyai masalah adat
di desanya, seperti mendapatkan angin segar yang menjamin penghidupannya saat
meninggal nanti. Di tengah era globalisasi seperti saat ini, kehadiran krematorium pun
sangat membantu karena pembuatan krematorium adalah jalan realistis untuk mengatasi
persoalan ekonomi akibat mahalnya biaya pembakaran jenasah atau pembuatan bade
(wadah jenasah). Selain itu kemudahan tersebut dapat dilihat dari banyaknya orang yang
dapat dengan mudah bergabung menjadi salah satu anggota krematorium. Selain untuk
warga yang terkena sanksi adat, krematorium ini terbuka untuk digunakan oleh semua
warga Hindu termasuk warga Hindu perantauan, warga Hindu yang non-Bali, jenazah
tanpa identitas di rumah sakit, serta warga dari agama lain.
Hal ini pun disambut baik oleh beberapa orang yang menganggap bahwa dengan
kehadiran krematorium di tengah-tengah masyarakat dapat mengakhiri permasalahan
sengketa adat yang berujung pada larangan bagi warga untuk melakukan penguburan
jenazah dan ngaben di setra (kuburan) milik desa. Hal ini pun yang menjadi salah satu
pendorong bagi warga Pasek yang membangun krematorium. Menurut Wita pun,
masalah ngaben janganlah dijadikan konflik di masyarakat.
Di samping itu, banyak juga warga masyarakat yang meresahkan kehadiran
krematorium ini. Akan tetapi, pihak Pasek sangat percaya diri bahwa tujuan mereka
untuk meringankan beban masyarakat dalam hal biaya dan menyelesaikan masalah
ngaben merupakan jalan keluar yang terbaik untuk menyelesaikan masalah adat kita, dan
tentunya penggunaan krematorium harus disepakati terlebih dahulu oleh semua pihak.
Ada sejumlah pilihan yang akan diberikan jasa krematorium ini. Pertama,
menyediakan jasa kremasi saja, yang dibuka untuk semua masyarakat. Kedua,
pelaksanaan ngaben sebelum nyekah, karena nyekah bisa dilakukan di rumah atau
tempat lain. Atau bisa juga ngaben secara penuh di krematorium ini, dengan sarana
upacara yang bisa dibeli atau disiapkan sendiri termasuk sulinggih (pemimpin upacara).
Hingga saat ini, keberadaan krematorium semakin dikenal oleh masyarakat luas.
Bahkan banyak anggotanya yang berasal dari luar Peguyangan seperti, Tabanan,
Gianyar, Buleleng, dll bergabung dalam organisasi ini. Hal ini pun menunjukkan
eksistensi krematorium yang semakin pesat di masyarakat.
4.2 Tanggapan Mengenai Adanya Krematorium Di Tengah Adat Istiadat Bali
Harus di akui keberadaan krematorium ngaben yang digagas oleh Warga Pasek ini
merupakan salah satu terobosan pemecah kebuntuan terhadap begitu seringnya kasus-
kasus adat saat ini. Namun, di lain sisi kontroversi terhadap keberadaan krematorium ini
wajar terjadi dalam dinamika berfikir masyarakat Bali. Kewajaran terhadap kontroversi
inilah yang juga perlu dikhawatirkan menjadi kontroversi yang terjadi terus menerus.
Dikatakan demikian karena di setiap Desa pekraman di Bali sudah ada setra/kuburan
yang setiap pelaksanaan ngabennya disesuaikan dengan Desa Mewacara yang berlaku di
wilayah desa pekraman tersebut. Nah, kalau dalam suatu keluarga yang kesepekang,
setiap ada anggota keluarganya meninggal, mayatnya akan di krematoriumkan. Artinya,
akan terpelihara suatu disharmoni adat dimana pihak yang kesepakang akan merasa
“nyaman” karena sudah ada krematorium. Di sisi lain, hubungan sosial-adat di desa
pekraman terganggu disebabkan ada salah satu warga yang mengambil “jalan lain ini”.
Meskipun banyak pihak yang menyetujui keberadaan krematorium ini, namun banyak
pula yang kontra terhadap hal tersebut. Letak yang kurang strategis, yaitu masih berada
di tengah keramaian masyarakat menyebabkan banyak pendapat yang menyatakan
kurang setuju dengan keberadaan krematorium ini. Ini dikarenakan, banyak penduduk
sekitar yang merasa terganggu jika ada upacara pengabenan yang tidak berhubungan
dengan desa adat tersebut. Hal ini pun mengundang kemarahan karena banyaknya para
pemedek (anggota keluarga yang di kremasi) memenuhi dan menghambat kelancaran
lalu lintas di sekitas daerah tersebut.
Sejalan dengan perkembangan zaman, tentu hal ini sangat menjanjikan. Namun yang
dikhawatirkan adalah perlombaan setiap soroh membuat krematorium. Jika semakin
lama semakin banyak pendirian krematorium di Bali, dikhawatirkan akan berdampak
pada terkikisnya nilai-nilai adat pengabenan yang sudah berlangsung selama ini. Hal ini
dapat terjadi karena warga desa adat telah tergiur dengan kemudahan yang diberikan
oleh pihak krematorium dalam proses pengabenan. Tidak dapat dihindari bahwa
kehadiran krematorium membuat masyarakat berpikir bahwa kegiatan yang berlangsung
di desa adat pekraman tidak penting lagi. Mereka merasa tidak perlu takut untuk terkena
sanksi di desa adat, karena jika mereka meninggal, proses pengabenan jenasah mereka
telah terjamin. Hal ini perlu dijelaskan secara rinci oleh pengelola Krematorium agar
kontroversi yang kiranya terjadi bisa diminimalisir.
Kembali kepada Bali, permasalahan adat yang tidak mendukung seharusnya tidak
menyebabkan umat kemudian ngambul (ngambek) dan mengeluarkan ide untuk lepas
dari keterikatan adat dan melakukan Pitra Yadnya dengan jalan Krematorium, sehingga
tidak perlu melibatkan masyarakat desa. Dari beberapa tulisan yang ada, banyak yang
ingin adat Bali tetap eksis karena kekuatan Bali bertujuan untuk mengajegkan Hindu.
Kalau memang sepakat bahwa adat/tradisi Bali perlu tetap di jaga kelestariannya, maka
tentunya kita sepakat juga untuk sama-sama berusaha apakah itu lewat prajuru adat,
Majelis Desa Pakraman, atau lewat LSM Hindu untuk bergerak bersama meluruskan
adat yang keliru. Sehingga upacara Pitra Yadnya atau kematian dapat dilakukan denagn
dua pilihan yaitu upacara pengabenan yang dilakukan dengan sarana krematorium atau
tetap secara tradisi (dibakar). Karena jika ada yang berbeda atau keluar dari keterikatan
adat sesungguhnya adalah sudah terjadi dis-harmonisasi dalam kehidupan masyarakat,
dan sudah pasti menyimpang dengan ajaran agama. Maka dari itu sebelum bertindak
lebih lanjut, maka kembali dulu kepada akar permasalahan dimana kalau adat
penyebabnya, maka satukan langkah untuk mengatasi masalah pengabenan tersebut.
Sebagai akhir kata, mari kembalikan masalah Pitra Yadnya atau Upacara Kematian ini
kepada para Sulinggih kita, baik asal Bali atau luar Bali, karena mereka tentunya lebih
bijaksana melihat sesuatu hal. Karena mereka memiliki dasar Sastra Agama yang bisa
dijadikan pedoman. Para intelektual Hindu atau para tokoh masyarakat yang terlibat
dengan hal ini juga silahkan memberikan masukan, tetapi pada akhirnya yang dijadikan
pedoman adalah ”yang bisa disepakati bersama dengan dasar sastra Hindu” bukan
berjalan sendiri-sendiri yang pada akhirnya Bali akan berbeda-beda dalam pelaksanaan
ritual yadnya bukan karena demokratis tetapi karena para umat dan tokohnya tidak mau
bersatu.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Krematorium merupakan proses pembakaran jenazah secara praktis, cepat, dan
modern terlepas dari setuju dan tidak setuju, karena situasi dan kondisi
perkembangan zaman. Keberadaan krematorium dianggap sebagai solusi untuk
melepaskan diri dari permasalahan adat yang kerap dialami oleh orang-orang yang
mempunyai masalah adat di desanya, seperti mendapatkan angin segar yang
menjamin penghidupannya saat meninggal nanti.
5.1.2 Meskipun banyak pihak yang menyetujui keberadaan krematorium ini, namun
banyak pula yang kontra terhadap hal tersebut. Jika semakin lama semakin banyak
pendirian krematorium di Bali, dikhawatirkan akan berdampak pada terkikisnya
nilai-nilai adat pengabenan yang sudah berlangsung selama ini. Hal ini dapat
terjadi karena warga desa adat telah tergiur dengan kemudahan yang diberikan oleh
pihak krematorium dalam proses pengabenan. Tidak dapat dihindari bahwa
kehadiran krematorium membuat masyarakat berpikir bahwa kegiatan yang
berlangsung di desa adat pekraman tidak penting lagi.
5.2 Saran
5.2.1 Disarankan kepada masyarakat khususnya warga desa adat agar memanfaatkan
krematorium seperlunya saja, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai atau adat
istiadat yang berada di desa pekraman.
5.2.2 Disarankan kepada Pemerintah propinsi Bali agar melalui instansi terkait bersikap
aktif dalam menangani keberadaan krematorium, sehingga segala efek negatif dari
kontroversi yang mungkin terjadi dapat diantisipasi sedini mungkin.
DAFTAR PERTANYAAN
1. Apa tujuan awal didirikannya krematorium di paguyuban Mahagotra Pasek ini ?
2. Kapan mulai dibangunnya paguyuban mahagotra pasek ?
3. Kapan mulai diadakannya krematorium di paguyuban Maha Gotra Pasek?
4. Bagaimana cara orang-orang luar yang ingin ikut serta menjadi anggota dalam
paguyuban ini?
5. Apa yang biasanya menjadi alasan bagi orang-orang untuk menjadikan paguyuban ini
sebagai pilihan untk melakukan kremasi?
6. Bagaimana proses kremasi yang dlakukan oleh paguyuban Maha Gotra Pasek ?
7. Adakah tujuan umun dan tujuan khusus didirikannya krematorium di paguyuban ini
jika ditinjau dari Agama Hindu ?
8. Selama ini bagaimanakah tanggapan masyarakat mengenai dibentuknya pelayanan
krematorium bagi Umat Hindu ?
9. Selama pelayanan krematorium ini, pernahkah ada konflik yang terjadi antara
paguyuban dengan adat sekitar?
10. Apakah ada perbedaan prosesi kremasi antara yang dilakukan oleh paguyuban ini
dengan yang biasa dilakukan di desa adat?
11. Apa saja pembagian tugas bagi para anggota paguyuban saat proses kremasi
berlangsung?
12. Bagaimana tanggapan pemerintah megenai keberadaan paguyuban dalam
menyediakan pelayanan kremasi bagi Umat Hindu di Bali?
13. Bagaimana tanggapan anda mengenai kontroversi yang ada di televisi mengenai
pendapat golongan tua bahwa proses kremasi ini akan mengikis adat istiadat di Bali ?
14. Selain upacara kremasi, upacara apakah yang juga dilayani oleh Maha Gotra Pasek ?
15. Alat-alat apa saja yang harus disediakan oleh pemilet yang mengikuti upacara kremasi
di paguyuban ini ?
DATA NARASUMBER
1. NAMA : I WAYAN WINATA
JABATAN : SEKRETARIS UMUM MAHA GOTRA PASEK SAPTA RSI
2. NAMA : I WAYAN ARNATA
JABATAN : SEKRETARIS III MAHA GOTRA PASEK SAPTA RSI
DAFTAR PUSTAKA
file:///G:/AGAMA/krematorium-alternatif-tempat-ngaben-sederhana.html
file:///G:/AGAMA/main.php.htm
file:///G:/AGAMA/msg16423.html
file:///G:/AGAMA/perlukah-krematorium-bagi-umat-hindu.html
file:///G:/AGAMA/Raditya_Cetak.asp.htm
file:///H:/NGABEN%20makalah/235.htm
file:///H:/NGABEN%20makalah/news.html
file:///H:/NGABEN%20makalah/Ngaben.Tak.Sekadar.Bakar.Mayat.htm
file:///H:/NGABEN%20makalah/Upacara%20Adat%20Ngaben%20Umat%20Hindu
%20Bali%20%C2%AB%20dewaputu.co.cc.htm
file:///H:/NGABEN%20makalah/Upacara%20Ngaben%20Bali.htm
file:///H:/NGABEN%20makalah/Upacara-Adat-Ngaben-Umat-Hindu.htm
RINCIAN BIAYA KREMASIKREMATORIUM SANTHYA YANA
PAKET URAIAN JUMLAH HARGA
IUpacara Mekinsan Di Geni(Biaya Ambulance, Pembakaran, Banten serta Sesari)
Rp. 5.500.000,-
IIUpacara Ngaben Sampai Ngayut(Biaya Ambulance, Pembakaran, Banten serta Sesari)
Rp. 11.000.000,-
IIIUpacara Ngaben Nganyut Sampai Nyekah (Memukur)(Biaya Ambulance, Pembakaran, Banten serta Sesari)
Rp. 19.000.000,-
IVUpacara Nyekah Atau Memukur(Biaya Banten serta Sesari)
Rp. 9.000.000,-
V Banten Ngelinggihang (Kalau memerlukan) Rp. 1000.000,-
VI Banten Ngerorasin (Kalau memerlukan) Rp. 1.500.000,-
VII
Pemakaian Angklung (Kalau memerlukan)1. Ngaben (1 Kali)2. Ngaben dan Memukur (2 Kali)
NB. Konsumsi Sekaa Angklung ditanggung Pemesan)
VII Banten Penyanggra
1. Banten Bebangkitan Babi Rp. 3.000.000,-
2. Bebangkitan Bebek Rp. 2.000.000,-
3. Suci Per Buah Rp. 20.000,-
Catatan : Harga sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan sebelumnya Pemakaian Ambulance tersebut diatas jarak maksimal 50 Km Kremasi diatas pukul 18.00 wita dikenakan biaya tambahan sebesar Rp.500.000 Uang muka 75% dari pemesanan dan dilunasi sebelum pelaksanaan Kremasi Jika batal uang muka kembali Membawa persyaratan administrasi sebagai berikut :
1. Surat keterangan Kematian dan Rumah Sakit / Kelian Banjar2. Surat pernyataan penanggung jawab 3. Fotocopy KTP. dan KK. Yang meninggal atau yang dikremasi4. Fotocopy KTP. Penanggung jawab5. Mengisi Biodata Almarhum