BAB I abses
description
Transcript of BAB I abses
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abses adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada jaringan otak(1,2) . Abses
otak pada anak jarang ditemukan dan di Indonesia juga belum banyak dilaporkan.
Morgagni (1682–1771) pertama kali melaporkan Abses Otak yang disebabkan oleh
peradangan telinga(3).
Dalam populasi terdapat dewasa memiliki probabilitas lebih besar daripada anak-
anak, dominasi laki-laki dibanding perempuang (rasio 2: 1 sampai 3: 1) dengan usia rata-
rata 30 sampai 40 tahun, meskipun distribusi usia bervariasi tergantung pada Kondisi
predisposisi yang menyebabkan pembentukan abses otak 3.
Abses terbentuk biasanya terjadi setelah prosedur operasi atau pada trauma
kepala. Pada kasus ini, infeksi yang sering terjadi disebabkan karena kolonisasi bakteri,
seperti Staphylococcus aureus dan S. epidermidis, atau basil gram negatif.22 Abses otak
yang berdekatan dengan fokus infeksi parameningeal (misalnya, telinga tengah, mastoid,
dan sinus) berfrekuensi disebabkan oleh spesies Streptococcus,tapi Stafilokokus dan
abses polimikrobial (termasuk yang disebabkan oleh anaerob dan basil gram negatif) juga
terjadi.
Penyebaran hematogen bakteri dikaitkan dengan adanya penyakit jantung yang
mendasari (misalnya endokarditis atau defek jantung kongenital), penyakit paru (fistula
arteriovenosa),18atau fokus infeksi lain seperti pada kulit, sinus paranasal, infeksi gigi.19
Streptokokus dan Stafilokokus sering teridentifikasi setelah penyebaran secara
hematogen.Penyebab mikroba pada abses otak yang disebabkan oleh sinus paranalis atau
pada infeksi gigi seringkali polimikroba.
Pada beberapa penderita dihubungkan dengan kelainan jantung bawaan
sianotik(4,5,6). Mikroorganisme penyebab abses otak meliputi bakteri, jamur dan parasit
tertentu(2,7,8,9). Mikroorganisme tersebut mencapai substansia otak melalui aliran darah,
1
perluasan infeksi sekitar otak, luka tembus trauma kepala dan kelainan kardiopulmoner.
Pada beberapa kasus tidak diketahui sumber infeksinya (1,7).
Gejala klinik abses otak berupa tanda-tanda infeksi yaitu demam, anoreksi dan
malaise, peninggian tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal sesuai lokalisasi
abses(1,7). Terapi abses otak terdiri dari pemberian antibiotik dan pembedahan(4,7,8,9,10).
Tanpa pengobatan, prognosis abses otak jelek(2,6,7).
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan karya tulis ini ditujukan untuk mempelajari abses otak pada pasien hiv
berlandaskan teori guna memahami angka kejadian, etiologi, patofisiologi, gambaran
klinik, diagnosis, penanganan dan prognosis, sehingga mampu mengoptimalisasi
kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien yang terkena abses otak dengan hiv.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
OTAK2.1 ANATOMI KEPALA
2.1.1 Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.
2.1.2 Tulang Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua
bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah
yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas
yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada
permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan
otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar
tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya
dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah.
2.1.3 Meningia
Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang. Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa
pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan
atau getaran terdiri atas 3 lapisan, yaitu :
1. Duramater (Lapisan sebelah luar)
Duramater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari
jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang
tengkorak dan duramater propia di bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis
kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat tertentu mengandung rongga
yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal
superior yang terletak diantara kedua hemisfer otak.
3
2. Arachnoid (Lapisan tengah)
Arachnoid adalah membran impermeabel halus yang meliputi otak dan
terletak diantara piamater di sebelah dalam dan duramater di sebelah luar. Selaput
ini dipisahkan dari duramater oleh potensial, disebut spatium subdural, dan dari
piamater oleh spatium subarachnoideum, yang terisi oleh cairan serebrospinal.
3. Piamater (Lapisan sebelah dalam)
Piamater adalah membran vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membran ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri – arteri yang
masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh piamater.
2.2.1. Otak
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan
pusat komputer dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di
dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat.
Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak
(Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat
terdiri dari otak besar.
Gambar 2.1 Anatomi Otak
1. Otak besar (cerebrum)
Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari dua
hemispherium cerebri yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang
disebut corpus callosum. Setiap hemisfer terbentang dari os frontale sampai
ke os occipitale, diatas fossa cranii anterior, media, dan posterior, diatas
4
tentorium cerebelli. Hemisfer dipisahkan oleh sebuah celah dalam, yaitu fossa
longitudinalis cerebri, tempat menonjolnya falx cerebri.
2. Otak kecil (cerebellum)
Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan
yang dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada
kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain.
3. Batang Otak (Trunkus serebri)
a. Diensefalon
b. Mesensefalon
c. Pons varoli
d. Medula oblongata
2.2.3 Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini
bersifat alkali, bening mirip plasma dengan tekanannya 60-140 mm air. Sirkulasi
cairan serebrospinal yaitu cairan ini disalurkan oleh plexus khoroid ke dalam
ventrikel-ventrikel yang ada di dalam otak.
Cairan itu masuk ke dalam kanalis sentralis sumsum tulang belakang dan
juga ke dalam ruang subaraknoid melalui celah-celah yang terdapat pada ventrikel
keempat. Setelah itu cairan ini dapat melintasi ruangan di atas seluruh permukaan
otak dan sumsum tulang belakang hingga akhirnya kembali ke sirkulasi vena
melalui granulasi araknoid pada sinus sagitalis superior.
2.2 Fisiologi Otak
Secara anatomis, bongkahan otak dibagi menjadi otak besar (cerebrum), otak
kecil (cerebellum), dan batang otak (brain stem). Pembelajaran sangat berhubungan
dengan otak besar, sedangkan otak kecil lebih bertanggung jawab dalam proses
koordinasi dan keseimbangan. Batang otak untuk mengatur fungsi dasar kehidupan,
misalnya denyut jantung, pernapasan, dll.3
5
Otak kiri : cara berpikir linier, sekuensial, mengatur hal-hal yang bersifat rasional,
berurusan dengan kata-kata, bahasa, dan matematika.
Otak kanan : berhubungan dengan kreativitas, seni, musik, gambar, warna.
Gambar 2.1 Anatomi Otak
Serebri (otak besar)
Lobus frontal (di depan dahi) : fungsi penting yaitu pengatur motoric, pusat bicara
motoric, pusat emosi, pusat berpikir, pusat perilaku, pusat inisiatif.
Lobus temporal (di seputaran telinga) : Lobus ini berperan sebagai pusat
pendengaran, pengertian bahasa, pemahaman suara, dan irama music, serta
pengaturan fungsi memori
Lobus parietal (di puncak kepala) : Fungsi lobus ini sebagai pusat pemroses
sensori somato-sensorik yang meliputi nyeri, suhu, taktik, dan penilaian objek
dalam orientasi ruang.
6
Lobus occipital (di belakang) : Perannya adalah sebagai pusat penerima dan
penganalisa penglihatan, dan untuk mengenali penglihatan serta warna.2
Gambar 2.2 : Homunculus Brain
Serebellum (otak kecil)
Serebellum memliki fungsi utama koordinasi gerakan volunteer
terlatih dengan mempengaruhi aktivitas otot, mengontrol keseimbangan, dan
tonus otot melalui hubungan dengan system vestibular dan medulla spinalis.2
Diensefalon
Thalamus juga merupakan bagian dari system pengaktifan reticular.
Hipotalamus membentuk dasar diensefalon, hipotalamus berintergrasi dan
mengarahkan informasi mengenai suhu, rasa lapar, aktifitas susunan saraf
ototnom, dan status emosi.
Batang otak
Terdiri dari medulla oblongata, pons, dan mesensefalon. Pada bagian
dorsal batang otak terdapat formasio retikularis yang mengatur fungsi
kesadaran, sirkulasi darah, pernapasan, dan fungsi vital lainnya.2
7
Medulla spinalis
Fungsi dari medulla spinalis yaitu jalur penjalaran impuls saraf dari
dan ke otak, jalur utama yang memhubungkan otak dan system saraf tepi,
pusat refleks utama. Medulla spinalis dibungkus oleh tulang belakang
(vertebra) yang keras untuk melindungi chorda spinalis dan meninges yang
membungkus otak dan chorda spinalis yang mengandung cairan serebrospinal
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
8
ABSES OTAK pada PASIEN HIV
3.1 Definisi Abses Otak
Abses otak adalah infeksi pada otak yang diselubungi kapsul dan terlokalisasi
pada satu atau lebih area dalam otak11. Penyebab oleh karena adanya inflamasi dan
kumpulan bahan supuratif yang berasal dari lokal ( infeksi telinga, abses gigi, infeksi
sinus paranasal, infeksi mastoid pada os temporal, abses epidural) atau sumber infeksi
yang jauh (paru, jantung, ginjal dll) yang disebabkan oleh bakteri piogenik.5 Abses otak
ini bisa terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering terjadi pada dekade ke tiga dari
kehidupan.7 Pria terkena 2 kali lebih sering dibanding wanita.4
3.2 Epidemiologi Abses Otak
Meskipun adanya kemajuan dalam teknik pencitraan, diagnose laboratorium,
intervensi bedah dan pengobatan antimikroba, abses otak tetap menjadi masalah klinis
yang menantang dengan tingkat kasus kematian yang cukup besar. Abses otak dapat
disebabkan oleh bakteri, mikrobakteri, jamur, parasit (cacing dan protozoa) dan
dilaporkan berkisar 0.4-0.9 kasus per 100.000 populasi. 1-2 insiden kebih meningkat
pada pasien imunosupresan.12
Dalam populasi terdapat dewasa usia lanjut memiliki probabilitas lebih besar
daripada anak-anak, dominasi laki-laki dibanding perempuang (rasio 2: 1 sampai 3: 1)
dengan usia rata-rata 30 sampai 40 tahun, meskipun distribusi usia bervariasi tergantung
pada kondisi predisposisi yang menyebabkan pembentukan abses otak 13.
Pasien dengan imunosupresi akut atau kronis, atau orang-orang dengan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) telah gangguan otak fokal yang paling umum.
Faktor risiko termasuk CD4 + sel jumlah rendah, infeksi oportunistik sebelumnya,
penggunaan narkoba suntikan, dan kurangnya profilaksis 14.
Kematian pasien abses otak dengan hiv dapat mengalami penurunan dengan
mendekteksi dini melalui pengenalan CT scan yang dapat menengakkan diagnosis awal
dan lokalisasi akurat.15,16 kemajuan lebih lanjut dalam mikroorganisme isolasi dan
identifikasi, antimikroba unggul dengan cairan serebrospinal (CSF) penetrasi dan aspirasi
telah membantu menegakan diagnosa15 Kematian terutama dipengaruhi oleh usia dan
kondisi neurologis saat masuk, keterlambatan rawat inap, defisit neurologis fokal saat
9
masuk, kekebalan gangguan pasien, diabetes mellitus yang tidak terkontrol, kadar CD4
dan Glasgow Coma Scale (GCS) <12 dapat berhubungan dan defisit neurologis
permanen. 17
3.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Penyebab dari berbagai macam mikroba dan apakah pasien immunocompromized
atau tidak. Pada pasien immunocompromized akan memburuk kondisi pasien karena daya
tahan tubuh dari pasien. Streptococcus adalah bakteri yang paling umum (70%) dari
pasien dengan abses otak karena mikroba ini13
Tabel 3.1 Tabel Penyebab Mikroba pada Abses Otak
Meningkatnya penggunaan obat imunosupresan, kortikosteroid, dan lainnya telah
memodifikasi lingkungan bakteri sehingga meningkatkan frekuensi patogen oportunistik
yang menyebabkan abses otak, dan tidak ada hanya karena obat-obatan, pasien alkoholik,
kondisi neurologis parah dan melemahkan (penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, atau
infeksi HIV / AIDS), beresiko tinggi menderita abses otak oportunistik.
Dalam imunosupresi, spesies Nocardia, Toxoplasma dan jamur seperti
Aspergillus atau Scedosporium yang lebih mungkin terjadi. Pada pasien imigran perlu
10
dipertimbangkan parasit lainnya (misalnya cysticercosis, Entamoeba histolytica,
Schistosoma, dan Paragonimus). Pada Negara berkembang, patogen lain seperti Taenia,
E. histolytica, Schistosoma, Echinococcus, dan Paragonimus.9
3.4 Faktor Resiko Abses Otak
Tanpa faktor/sumber yang diketahui (21%)
Didahului infeksi fokal (sinusitis atau mastoiditis) (19%)
Berasal dari jantung (penyakit jantung sianostik congenital) (18%)
Pascabses otakperasi intracranial (17%)
Pascatrauma intracranial (9%)
Bersumber dari paru (7%)
Pada penderita imunosupresi (HIV) (5%) 11
3.5 Patofisiologi Abses Otak
Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di
sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung
seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran
hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia
alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat
permukaan otak pada lobus tertentu(2,7).
Abses otak bersifat soliter atau multipel. Multiple biasanya ditemukan pada
penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah
sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini
memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya lokasi abses pada tempat yang
sebelumnya telah mengalami infark akibat trombosis; tempat ini menjadi rentan terhadap
bakteremi atau radang ringan. Karena adanya shunt kanan ke kiri maka bakteremi yang
biasanya dibersihkan oleh paru-paru sekarang masuk langsung ke dalam sirkulasi
sistemik yang kemudian ke daerah infark.
Biasanya terjadi pada umur lebih dari 2 tahun. Dua pertiga abses otak adalah
soliter, hanya sepertiga abses otak adalah multipel(2) Pada tahap awal abses otak terjadi
reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai oedem,
11
perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah
beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi
sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi
jaringan yang nekroti. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan
fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul
antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter.
Beberapa ahli membagi perubahan patologi abses otak dalam 4 stadium yaitu
1. Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit,
limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari
pertama dan meningkat pada hari ke 3.dan ditandai dengan penumpukan neutrophil,
jaringan nekrosis dan edema disekeliling white matter sertadijumpai aktivitasi
mikroglia dan astrosit.6,8
2. Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
Stadium ini berlangsung dari hari 4-9 dan ditandai denganadanya infiltrasi
makrofag dan limfosit8. Inti dari serebritis menjadi nekrosis serta meluas dan
mulaiterbentuk kapsul fibroblast.2 3 6
3. Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Berlangsung hari ke 10-13 ditandai dengan penurunan inti nekrosis. Pusat
nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast meningkat
dalam pembentukan kapsul.2,6
4. Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Stadium ini berlangsun pada hari ke 14. Kapsul`matang dan tebal mengelilingi
bagian tengah berongga yang mengandung sel debris dan sel – sel polimorfnuklea.
Pada pasien imunokompromise berat, yang menjalani terapi imunosupresan
serta mendapatkan donor organ atau transplantasi stem sel hematopoetik atau pada
infeksi HIV,20 sering dihubungkan dengan tuberkulosis atau infeksi non bakterial,
12
seperti jamur atau parasit. Infeksi HIV yang berkaitan dengan abses otak disebabkan
oleh Toksoplasma gondii,20 tapi infeksi HIV juga merupakan predisposisi infeksi
dengan Mycobacterium tuberculosis.21 Pasien yang menerima transplantasi organ
tidak hanya beresiko terkena nocardial abses otak tetapi juga abses jamur (misalnya
karena adanya infeksi dari aspergillus atau kandida). Jamur bertanggungjawab
sebagai penyebab dari abses otak pada 90% penerima transplantasi organ.22
Patogen lain menjelaskan sisanya. Rhodococcus equi, sebuah intraseluler
gram positif coccobacillus, adalah dikenal tetapi penyebab yang jarang dari abses
otak pada mereka yang AIDS. Mycobacterium tuberculosis diakui sebagai penyebab
otak abses pada pasien AIDS18,19. Penyebab lain dari lesi massa fokal di AIDS
termasuk C. neoformans, H. capsulatum, A. fumigatus, dan lain-lain.
Tahap pertama pada abses otak adalah serebritis awal dimana adanya respon
inflamasi pervaskular mengelilingi pusat nekrotik dengan peningkatan edema di
substansia alba. Kemudian pusat nekrotik mencapai ukuran maksimum dan
terbentuklah kapsul melalui akumulasi fibroblas dan neovaskularisasi. Kapsul
mengental dengan penumpukan kolagen reaktif tetapi peradangan dan edema
melampaui kapsul.18
Secara umum, penampilan klinis dan radiografi abses otak di host
immunocompromised tidak spesifik. Konfirmasi mikrobiologis dari jaringan otak
diperlukan untuk membangun diagnosis penyebab di sebagian besar kasus19
3.6 Gejala Klinis Abses Otak
Trias abses otak klasik, yaitu :
← - Peningkatan tekanan intracranial
- Defisit neurologi fokal
← - Demam
Gejala awal peningkatan tekanan intracranial adalah nyeri kepala, mual, muntah.
Gejala lainnya adalah mengantuk dan binggung; kejang umum atau fokal; dan deficit fokal
13
motorik (hemiparese), sensorik (hemihipestesia) dan kemampuan bicara. Demam dan
leukositosis tidak selalu tampak.
1. Abses lobus frontal : nyeri kepala, mengantuk, inatensi dan gangguan fungsi mental umum.
Hemiparese kontralateral disertai kejang motorik dan kelainan wicara (lesi di hemisfer
dominan) adalah tanda neurologis yang sering dijumpai. Dapat dijumpai anosmia unilateral
dan eksoftalmus ringan
2. Abses lobus frontoparientalis atau lobus frontalis : gangguan fungsi luhur (inatensi atau
disfasi) disertai gangguan lapang pandang
3. Absesb lobus temporalis : nyeri kepala awalnya satu sisi yang sama dengan abses dan
terlokalisasi di regi frontotemporalis. Jika abses terdapat di lobus temporalis dominan, akan
timbul afasi anomik (kesulitan menamai sesuatu). Tanda khas abses lobus temporalis kanan
adalah kuadrantanopia homonym atas.
4. Abses lobus oksipitalis : hemianopia homonym, inatensi, mengantuk, stupor
5. Abses serebelar : sering ditemukan nistagmus dengan arah deviasi konjugat kearah lesi.
Motorik ekstremitas perlahan menjadi hipotoni dan terjadi inkoordinasi ipsilateral disertai
ketidakmampuan melakukan gerakan – gerakan tangkas. Gejala lainnya berupa tengkuk kaku,
nyeri kepala, retraksi kepala kea rah lesi. Tanda defisiti sereberal menandakan keparahan
6. Abses batang otak: menyebabkan kelumpuhan saraf-saraf kranialis 12
Pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) sering muncul dengan
klinis sub akut dengan gejala nonspesifik, seperti keluhan neuropsikiatri, sakit kepala,
disorientasi, kebingungan, dan kelesuan maju lebih dari 2 sampai 8 minggu; terkait
penurunan berat badan demam yang umum 13
3.7 Diagnosis Abses Serebri
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan
laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk
melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan infeksinya.
Perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang
mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat
dipastikan diagnosisnya.11,14
14
3.7.1 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap
Laboratorium rutin tidak membantu untuk diagnosis abses otak. Leukositosis
mungkin tidak ada; sekitar 40% dari pasien memiliki jumlah sel darah putih normal. Fase
akut reaktan yang cukup membantu tapi tidak spesifik. Tingkat protein C-reaktif
meningkat pada hampir semua pasien, tetapi tingkat sedimentasi dapat hanya cukup
tinggi dan kadang-kadang normal.
Tes tuberkulin
Pada pasien immunocompromised, beberapa tes mungkin berguna. Tes kulit
tuberkulin adalah tes skrining sering diabaikan yang harus diberikan kepada pasien
imunosupresi dengan lesi otak atau paru-paru. Keterbatasan tes kulit tuberkulin adalah
reaksi negatif palsu yang disebabkan oleh alergi kulit dari steroid, obat lain, dan sering
infeksi primer itu sendiri.
Toxoplasma IgG
Tingkat Toxoplasma IgG adalah beberapa potensi untuk digunakan dalam menilai
pasien AIDS dengan fokal lesi SSP. Tingkat prevalensi dari tingkat Toxoplasma IgG
positif tinggi pada populasi umum. Toxoplasma IgG negatif adalah diagnosis selain
Toxoplasma encephalitis, tetapi tidak mengesampingkan diagnosis ini benar.
Tes pungsi lumbal
Pungsi lumbal sering kontraindikasi pada orang dengan dugaan abses otak. Hasil
dari patogen pemeriksaan CSF yang diduga abses otak rendah, kurang dari 10%. Fungsi
lumbal kadang-kadang untuk mendapatkan CSF untuk sitologi dan aliran cytometry studi
(untuk menyingkirkan metastasis), deteksi antigen kriptokokus, dan polymerase chain
reaction (PCR) assay untuk T. gondii. Namun, ini harus dilakukan dengan hati-hati.
Mengingat risiko herniasi otak dalam pengaturan tekanan intrakranial yang meningkat,
dan hasil yang rendah tes diagnostic.
Aspirasi
15
Pasien dengan abses otak akan menjalani beberapa jenis aspirasi CT-dipandu atau
evakuasi abses terbuka. Cairan purulen biasanya harus ditaruh dalam wadah steril, selain
penggunaan standar penyeka Culturette, karena hasil mikrobiologis dari sampel jaringan
yang lebih besar dan cairan secara signifikan lebih tinggi. Pewarnaan asam-cepat dengan
mikobakteri dan kultur jamur, Nocardia, Rhodococcus equi. Sampel untuk ini digunakan
untuk pasien immunocompromised, tetapi harus dipertimbangkan pada beberapa pasien
imunokompeten juga.
Foto polos kepala
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial, dapat
pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini
tidak dapat diidentifikasi adanya abses.
Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG mengetahui lokalisasi abses dalam hemisfer. EEG
memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta dengan frekuensi 1–3
siklus/detik pada lokasi abses(2,7,13).
Pnemoensefalografi
Arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan
angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif
seperti CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui
lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak
yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns.
CT scan
CT scan memiliki beberapa keterbatasan terutama jika dilakukan tanpa kontras. Ini
mungkin kehilangan cerebritis awal dan otak kecil dan batang otak dapat dilihat buruk.
Secara khusus, itu mungkin kehilangan lesi 1,5 cm atau lebih kecil seperti biasanya
terlihat di endokarditis.
Magnetic Resonance Imaging
16
Pada orang immunocompromised, tidak mungkin untuk membedakan abses otak
bakteri dari infeksi SSP oportunistik atas dasar pencitraan MRI konvensional saja.
Dengan Toxoplasma encephalitis, MRI biasanya menunjukkan beberapa, kecil, lesi
cincin dapat tampak. Sering ada terlihat edema lokal dan defek massa , yang membantu
dalam membedakan Toxoplasma encephalitis dari lesi otak lain di AIDS, yang kurang
efek massanya (misalnya, PML, cytomegalovirus ensefalitis).
Limfoma SSP pada pasien AIDS juga bermanifestasi dengan lesi cincin yang
meningkatkan, tetapi cenderung soliter daripada beberapa diantaranya, meskipun
limfoma SSP multifokal tidak terjadi. Mengingat kesulitan dalam membedakan
toksoplasmosis dari limfoma SSP, sejumlah teknik radiografi tambahan telah dipelajari,
termasuk emisi talium foton tunggal computed tomography (SPECT) dan tomografi emisi
positron. Tes ini dapat studi tambahan yang berguna dalam kasus-kasus sulit.
3.8 Penatalaksaan Abses Otak
3.8.1 Umum
Aspirasi atau biopsi adalah penting untuk memandu terapi antimikroba.
Konsultasi dengan ahli mikrobiologi klinis untuk mengetahui penyebab pasti dari abses
otak
Antimikroba - prinsip umum:
- Antimikroba harus dipandu oleh hasil kultur mikroba, karena keragaman patogen dan
kebutuhan terapi berkepanjangan (butuh waktu 6-8 minggu)
- Pertimbangan farmakologi tambahan termasuk penetrasi SSP dan administrasi
parenteral
- Terapi empiris harus dimulai setelah aspirasi sambil menunggu hasil kultur dan harus
dipandu oleh kemungkinan patogen
- Tes tambahan untuk serologi HIV, crytococcal serum antigen, dan toksoplasmosis titer
- Pada kasus tertentu abses otak dapat diobati dengan antimikroba saja, terutama ketika
agen penyebab diketahui dan lesi adalah <2,5 cm
17
- Intervensi bedah saraf dengan dekompresi dan drainase abses mungkin harus dilakukan
untuk mengatasi gejala klinis dan mendapatkan diagnosis baksterilogis16
- Dalam imunosupresi, spesies Nocardia, Toxoplasma dan jamur seperti Aspergillus atau
Scedosporium yang lebih mungkin terjadi.
- Dalam nonimmunosuppressed, paling abses otak adalah polymicrobial dengan cocci
mikroaerofilik, termasuk Streptococcus anginosus / milleri, dan bakteri anaerob
mendominasi. Namun, di mana situs kemungkinan asal telinga, enterik basil Gram-
negatif biasanya terlibat, sementara setelah trauma atau operasi, staphylococci
mendominasi. antimikroba - pasien non immunocompromised tanpa bedah saraf
sebelum10
Table 3.2 Table Obat Antimikroba
3.8.2 Pengobatan pasien immunocompromised
3.8.2.1 Nocardiosis
18
Abses otak adalah manifestasi umum dari meluasnya mikroba nocardiosis di yang
immunocompromised.
Untuk Nocardia asteroides dan spesies lainnya rentan terhadap sulfonamid, IV
atau trimethoprim lisan + sulfametoksazol adalah pengobatan awal yang biasa:
Trimethoprim sulfamethoxazole + 160 + 800 mg (anak: 4 + 20 mg / kg sampai
dengan 160 + 800 mg) IV atau oral, 6 jam selama 3 sampai 4 minggu dilanjutkan
dengan trimethoprim sulfamethoxazole + 160 + 800 mg (anak: 4 + 20 mg / kg
sampai dengan 160 + 800 mg) secara oral, 12-jam selama 3 sampai 6 bulan.
Terapi kombinasi dengan trimetoprim sulfametoksazol + PLUS amikasin
memiliki hasil yang baik sebagai terapi empiris, dan dalam kasus-kasus sulit yang
lambat untuk merespon trimetoprim sulfametoksazol tunggal.
Terapi menggunakan obat alternatif seperti amoksisilin + klavulanat, meropenem,
ceftriaxone, minocycline, amikasin atau linezolid semuanya telah dilaporkan
sukses dalam jumlah kecil kasus, terutama untuk beberapa spesies yang lebih
tidak biasa. Pengobatan berkelanjutan selama 6 sampai 12 bulan dengan
trimetoprim lisan + sulfametoksazol mungkin diperlukan
3.8.2.2 Toksoplasmosis:
Dalam AIDS, infeksi otak dengan Toxoplasma gondii adalah umum.
Gunakan:
Sulfadiazin 1 sampai 1,5 g (anak: 50 mg / kg sampai dengan 1 sampai
1,5 g) secara lisan atau IV, 6-jam ditambah dengan pirimetamin 50
sampai 100 mg (anak: 2 mg / kg sampai dengan 50 sampai 100 mg)
secara oral, untuk pertama dosis, maka 25 sampai 50 mg (anak: 1 mg /
kg sampai 50 mg) secara lisan, setiap hari.
Durasi terapi adalah selama 3 sampai 6 minggu tergantung respon
klinis. Relapse adalah umum, sehingga terapi pemeliharaan dengan
setengah dosis di atas diperlukan sementara pasien imunosupresi.
19
Kalsium folinate 15 mg secara oral setiap hari biasanya ditambahkan
untuk mengurangi sumsum tulang penindasan, dan sel putih dan
platelet harus diawasi secara ketat.
Untuk pasien alergi terhadap sulfonamid, pengganti sulfadiazin,
klindamisin 600 mg (anak: 15 mg / kg hingga 600 mg) secara oral
atau IV, 6-jam10
3.9 Prognosa Abses Otak
Banyak indikator yang dapat menyebabkan prognosa menjadi buruk, meliputi
tertunda diagnosis, cepat berkembang perubahan patologis, beberapa lesi yang multiple,
pecah intraventrikular, dan etiologi jamur, serta penanganan yang tidak adekuat. Jelas,
kita dapat menemukan semua indikator prognosis yang buruk tersebut pada pasien
immunocompromised. Hasil ini lebih buruk bila didapatkan pada bayi baru lahir dan
orang tua yang usia lanjut.23defisit neurologis fokal dan keterbelakangan mental
merupakan komplikasi yang dapat terjadi, 17 terutama ketika terjadi selama masa kanak-
kanak15
Angka kematian terkait langsung dengan tingkat perkembangan penyakit dan
kondisi neurologis dari pasien pada masuk. Sebelum tahun 1970, angka kematian secara
keseluruhan karena abses otak bisa setinggi hingga 60%; untungnya pendekatan
antibakteri baru dan penggunaan teknologi imaginological baru telah memberikan
kontribusi untuk mengurangi angka kematian, menjadi antara 8% dan 25% dalam kasus
abses serebri tanpa komplikasi dengan immunocompremised. pecah Intraventricular dan
lokasi posterior fossa mana bisa ada obstruksi dalam aliran CSF juga terkait dengan
prognosis buruk, dan dengan tingkat kematian dekat 80%, dan dari 90% jika patogen
penyebab penyakit Aspergillus.2,5,7,8
20
BAB IV
KESIMPULAN
Abses otak adalah infeksi pada otak yang diselubungi kapsul dan terlokalisasi pada satu
atau lebih area dalam otak
Insidens Abses otak tidak diketahui, dengan kemajuan antibiotik dewasa insidens
semakin menurun. Berbagai organisme seperti bakteri, parasit dan jamur dapat menjadi
penyebab.
Pasien dengan imunosupresi akut atau kronis, atau orang-orang dengan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) telah gangguan otak fokal yang paling umum.
Faktor risiko termasuk CD4 + sel jumlah rendah, infeksi oportunistik sebelumnya,
penggunaan narkoba suntikan, dan kurangnya profilaksis
Penyebaran infeksi ke otak mungkin secara langsung atau tidak langsung melalui
hematogen dan infeksi sekitar otak.
Perubahan patologik terdiri 4 stadium yaitu : serebritis dini, serebritis lanjut,
pembentukan kapsul dini dan pembentukan kapsul lanjut.
Gambaran klinik AO berupa gejala-gejala infeksi, pen inggian tekanan intrakranial serta
gejala nerologik fokal sesuai lokasi abses.
21
Pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) sering muncul dengan klinis sub
akut dengan gejala nonspesifik, seperti keluhan neuropsikiatri, sakit kepala, disorientasi,
kebingungan, dan kelesuan maju lebih dari 2 sampai 8 minggu; terkait penurunan berat badan
demam yang umum.
Terapi abses otak dengan pemberian antibiotik dan tindakan pembedahan. Prognosis
abses otak tergantung diagnosis dini, perubahan patologik dan terapi yang dini
DAFTAR PUSTAKA
1. Lesse Al, Scheid WM. Brain abscess. In: Johnson RT. (eds): Current therapy in neurologic disease-2. Toronto, Philadelphia: BC. Decker Inc; 1987: 107-9.
2. Menkes JH. Brain abscess. In: Textbook of child neurology. 2nd ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1975 : 229-33.
3. Troeboes Poerwadi. Abses otak pada anak. Kumpulan Naskah Lengkap Konas IDASI, 1988 :255-61.
4. Berhman RE, Vaughan VC (eds). Brain abscess. In: Nelson's textbook of pediatrics. 13th ed. Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders Co; 1987. hat. 1322-3.
5. Mardjono M, Sidharta P. Abses serebri. Dalam: Neurologi klinik dasar. edisi 4. Jakarta: Pustaka Universitas, PT Dian Rakyit 1981 : 319-29.
6. Saiz Lorens XJ, Umana MA, Odio CM, etal. Brain abscess. Pediatr Infect DisJ 1989; 8: 449-58.
7. Dodge PR. Parameningeal infections (including brain abscess, epidural abscess, subdural empyema). In: Feigin, Cherry (eds): Textbook of Pediatric Infectious Disease. First ed. Philadelphia, London: WB Saunders Co; 1987 : 496-504.
8. Ford FR. Abscess of brain. In: Diseases of nervous system in infancy, childhood and adolescences. 5th ed. Springfield, illinois: Charles C Thomas PubI; 1974 : 417-22.
22
9. Schuster H, Koos W. Brain abscess in children. In: SchieferW, Klinger M, Brock M. (eds). Brain abscess and meningitis. Subsrachnoid hemorrhage : timing problems. Berlin, Heidelberg, New York: Springer-Verlang; 1981 :81-85.
10. Keren G, Tyrrell DLI. Non surgical treatment of brain abscess. Pediatr Infect Dis J. 1984; 3:331-4
11. Dewanto,George,et all. Panduan Praktis Diagnosa dan Tata Laksana Penyakit Saraf.2009.Jakarta:EGC
12. Selby. Brain abscess in solid organ transplant recipients receiving cyclosporin based immunosuppresion. Arch Surg 1997;132:304-310.
13. Kastenbauer S, Pfisher HW, Wisepelwey B, et al. Brain abscess. In: Scheld WM WM, Whitley RJ, Marra CM, eds. Infections of the Central Nervous system. 3 rd ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins; 2004: 479-507
14. Antinori A, Larussa D, Cingolani A, et al; Italian Registry Investigative NeuroAIDS: Prevalence, associated factors, and prognostic determinants of AIDS-related toxoplasma encephalitis in the era of advanced highly active antiretroviral therapy. Clin Infect Dis 2004;39:1681-1691.
15. Carpenter J, Stapleton S, Holliman R. Retrospective analysis of 49 cases of brain abscess and review of the literature. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 2007;26:1-11.
16. Yang SY. Brain abscess: A review of 400 cases. J Neurosurg 1981;55:794-9
17. Nathoo N, Nadvi SS, Narotam PK, Van Dellen JR. Brain Abscess: Management and Outcome Analysis of a Computed Tomography Era Experience with 973 Patients. World Neurosurg 2011;75:716-26.
18. Tan,IL Smith. HIV Associated Oppprtunistic Infections of the CNS. Lancet neurol 2012;11:605-617.
19. Nelson. Tuberculosis of the CNS in immunocompromised patients: HIV infections and solid organ transplant recipients. Clin Infect Dis 2011;53:915-926.
20. Tan,IL Smith. HIV Associated Oppprtunistic Infections of the CNS. Lancet neurol 2012;11:605-617.
21. Nelson. Tuberculosis of the CNS in immunocompromised patients: HIV infections and solid organ transplant recipients. Clin Infect Dis 2011;53:915-926.
22.Baddley. Fungal brain abscess in transplant recipients. Clin Transplant 2002;16:419-424.
23
23.Hall WA: Hereditary hemorrhagic telangiectasia (Rendu-Osler-Weber disease) presenting with polymicrobial brain abscess. Case report. J Neurosurg 1994;81:294-296.
24.Falcone S, Post MJ: Encephalitis, cerebritis, and brain abscess: Pathophysiology and imaging findings. Neuroimaging Clin North Am 2000;10:333-353.
25.Kielian T: Immunopathogenesis of brain abscess. J Neuroinflammation 2004;1:16.
26.Osenbach RK, Loftus CM: Diagnosis and management of brain abscess. Neurosurg Clin North Am 1992;3:403-420.
27.Sennaroglu L, Sozeri B: Otogenic brain abscess: Review of 41 cases. Otolaryngol Head Neck Surg 2000;123:751-755.
24