BAB I A. PENDAHULUAN · 1. Dalil dari al-Qur’an 5 ينَِلهِاَلْْا نَِع...
Transcript of BAB I A. PENDAHULUAN · 1. Dalil dari al-Qur’an 5 ينَِلهِاَلْْا نَِع...
1
BAB I
A. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Kita ketahui bersama bahwa problematika dalam kehidupan manusia selalu
bertambah seiring berjalannya waktu dan berubahnya keadaaan. Apalagi jaman
sekarang, permasalahan hidup dari setiap lini semakin kompleks, tentu masalah-
masalah ini menuntut adanya solusi dan ketentuan hukum.
Upaya untuk mencari solusi dan ketentuan hukum tersebut dalam agama
Islam disebut Ijtihad, salah satu syarat mutlak dalam berijtihad adalah menguasai
ilmu Ushul fiqh.
Di antara permasalah atau topik yang dibahas dalam Ushul fiqh adalah apa
yang disebut ‘Urf. Apakah ‘Urf terhitung dalil atau tidak, apabila termasuk dalil,
apa pengaruhnya dan bagaimana implementasinya terhadap persoalan-persoalan
atau masalah-masalah kontemporer? Dari titik itulah penulis mencoba
membahasnya dalam makalah ini.
b. Rumusan Masalah
Rumusan masalah didalam makalah ini adalah:
1. Apa definisi ‘Urf?
2. Apa landasan kehujjahan ‘Urf?
3. Apa sajakah macam-macam ‘Urf?
4. Apa contoh implementasi ‘Urf dalam muamalah kontemporer?
2
BAB II
B. PEMBAHASAN
a. Definisi ‘Urf
‘Urf secara bahasa sebagaiman dikatakan Ibnu Faris (w 395 H) ialah:
العين والراء والفاء أصلان صحيحان، يدل أحدهما على تتابع الشيء متصلا بعضه ببعض، والآخر انا ومعرفة. والأصل الآخر المعرفة والعرفان. تقول: عرف فلان فلانا عرف، على السكون والطمأنينة
1وهذا أمر معروف. وهذا يدل على ما قلناه من سكونه إليه، لأن من أنكر شيئا توحش منه
“Kata ‘Urf berasal memiliki dua makna, yang pertama sesuatu yang
berkesinambunganan yang kedua bermakna tenang dan tumaninah, asal makna
yang lain bisa juga berkmakna pengetahuan/pengenalan, contohnya fulan
mengenal fulan, ini hal yang sudah diketahui. Ini menunjukan kepada apa yang
kami katakan di awal yaitu ‘Urf yang bermakna tenang, orang apabila sudah saling
mengenal akan merasa tenang, begitu juga sebaliknya, orang yang belum kenal
akan ada rasa cemas”
Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mandzur (w 711 H):
والعرف والعارفة والمعروف واحد: ضد النكر، وهو كل ما تعرفه النفس من الخير وتبسأ به وتطمئن 2إليه
“‘Urf adalah lawan kata dari mengingkari, yaitu setiap apa yang dikenal oleh jiwa
kemudian merasa tenang terhadapnya”
Sedangkan menurut istilah ulama ushul fikih, ‘Urf memiliki banyak redaksi
dalam definisinya, tetapi memiliki kemiripan makna dalam substansinya. Di antara
redaksi yang cukup bagus ialah apa yang dikatakan oleh al-Jurjani (w 816 H):
3ما استقرت النفوس عليه بشهادة العقول، وتلقته الطبائع بالقبول
“‘Urf adalah apa yang jiwa merasa tenang kepadanya atas persaksian akal, dan
tabiat sudah menerima itu”
Atau seperti redaksi ulama mu’ashir, seperti yang dikatakan oleh Abdul
Wahab kholaf (w 1375 H):
1 Ahmad bin Faris, Mu’jam Maqayis al-lughah, (Beirut, Dar al-Fikri, 1979), juz. 4, hal. 281
2 Jamaludin Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut, Dar Shadir, 1414 H), juz. 9, hal. 239 3 Ali bin Muhamad al-Jurjani, at-Ta’rifat, (Beirut, Dar al-Fikr, 1983), hal. 149
3
4العرف هو ما تعارفه الناس وساروا عليه، من قول، أو فعل، أو ترك، ويسمى العادة
“‘Urf adalah apa yang sudah dikenal oleh masyarakat dan terbiasa dengannya,
baik itu dalam ucapan, perbuatan atau apa yang ditinggalkan, ‘Urf ini dinamakan
juga adat”
b. Landasan penatapan ‘Urf sebagai hujah
‘Urf sebagai hujah harus berlandaskan dalil, oleh sebab itu ulama-ulama yang
mengatakan kehujiahan ‘Urf membawakan beberapa dalil, yaitu;
1. Dalil dari al-Qur’an
5﴾خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الاهلين ﴿
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta jangan
pedulikan orang-orang yang bodoh”
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk melakukan sesuatu
yang ma’ruf, yaitu sesuatu yang sudah dikenal dan berlaku dalam masyarakat, baik
itu dalam muamalah atau dalam perilaku.
6﴾وعلى المولود له رزق هن وكسوتن بالمعروف ﴿
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang
ma’ruf”
Dalam ayat ini Allah mengembalikan batas kewajiban nafkah dan pakaian
kepada yang ma’ruf, yaitu apa yang yang dikenal dan berlaku layak dalam
pandangan masyarakat.
ارته إطعام عشرة مساكين من أو ﴿ 7﴾سط ما تطعمون أهليكم فكف
“maka kafarat (melanggar sumpah) adalah memberi makan sepuluh orang miskin
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu”
Dalam ayat ini Allah tidak menyebutkan secara eksplisit makanan apa yang
biasa diberikan kepada keluarga, tetapi Allah memberikan penilaian itu kepada urf
yang berlaku di masyarakat.
4 Abdul Wahab Kholaf, ilm ushul al-Fiqh, (Mesir, dar al-Qalam), cet. 8, hal. 89 5 QS. Al-‘Araf ayat 199 6 QS. Al-Baqarah dari ayat 233 7 QS. Al-Maidah dari ayat 89
4
2. Dalil dari as-Sunah
Sabda Rosulullah صلى الله عليه وسلم kepada Hindun binti Utbah:
خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف
“Ambillah harta suamimu sekadar apa yang cukup bagimu dan anakmu”
Dalam hadits ini Rosulullah صلى الله عليه وسلم menyerahkan batas jumlah uang yang boleh
diambil kepada ‘Urf. Apa yang menurut Urf cukup berarti itulah batasnya.
3. Ijma’ ulama
Para ulama telah berijma bahwa ‘Urf yang dilakukan oleh masyarakat bisa
menjadi dalil8, di antara contohnya adalah jual beli istishna’, hal ini sudah menjadi
‘Urf lintas masa dan tak ada seorang ulama pun yang mengingkari hal ini.
c. Jenis-jenis ‘Urf
‘Urf bisa diklasifikasikan kepada beberapa kelompok, yaitu;
4. ‘Urf Qouli dan ‘Urf Amali
‘Urf Qouli yaitu saat masyarakat mengenal sesuatu makna saat diucapkan
suatu lafadz, misalnya saat dikatakan “Uang” maka dengan cepat masyarakat akan
mengetahui bahwa yang dimaksud uang adalah alat sah untuk bertransaksi.9
Maksud ‘Urf disini adalah ketika lafadz diungkapkan secara mutlak akan
memberi makna tertentu bagi masyarakat, misalnya, saya mau ke belakang, semua
orang mengerti maksudnya pergi ke toilet, meskipun makna ke belakang secara
bahasa bisa ke mana saja, yang penting arah belakang.
Sementara ‘Urf ‘Amali adalah apa yang sudah berlaku pada masyarakat dan
terbiasa dengan itu, baik dalam muamalah atau perilaku. Seperti apa yang dikatakan
oleh Ibnu Abidin:
اشتر لي طعاما أو العرف عملي وقولي، فالأول: كتعارف قوم على أكل البر ولحم الضأن، فإذا قال: 8 Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-turki, Ushul Madzhab al-Imam Ahmad, (Muasasah ar-Risalah, 1990), cet. 3, hal. 603 9 Abu Abdillah Ibnu Amir, at-taqrir wa at-tahbir, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), cet. 2, juz 1, hal. 282
5
10لحما انصرف إلى البر ولحم الضأن عملا بالعرف العملي‘Urf ada yang jenisnya amali (perbuatan) ada yang jenisnya qouli (ucapan).
Adapun ‘Urf amali yaitu apa yang sudah dikenal oleh suatu masyarakat, seperti
makan gandum dan daging kambing. Apabila seseorang berkata: belikan aku
makanan” maka secara otomatis akan dibelikan gandum, atau saat seseorang
berkata: belikan alku daging, maka otomatis akan dibelikan dagiing kambing,
karena itu adalah ‘Urf yang berlaku pada masyarakat tersebut.”
Kalau di Indonesia mungkin, saat orang berkata: “saya sudah makan” maka
yang dimaksud adalah makan nasi.
5. ‘Urf ‘Am dan ‘Urf Khas
‘Urf ‘Am adalah apa yang sudah dikenal dan berlaku pada masyarakat luas,
seperti saat orang mengatakan, saya tidak akan menginjakan kaki di rumah fulan
lagi, maksudnya adalah saya tidak akan lagi masuk ke rumah fulan tersebut.
Sedangkan ‘Urf khas adalah apa yang dikenal dan berlaku hanya pada
golongan tertentu saja, sementara masyarakat luas secara umum belum tentu
mengetahuinya, seperti kata “Rafa’” yang dikenal oleh ulama nahwu.11
6. ‘Urf Shahih dan ‘Urf Fasid
Yang dimaksud dengan ‘Urf Shahih yaitu apa yang sudah dikenal dan berlaku
di masyarakat (tradisi) dan didalamnya tidak ada yang bertentangan dengan
syari’at, tidak mengganggu kemaslahatan juga tidak mengundang kemadharatan.
Seperti tradisi seorang saat orang akan bertunangan, kemudian pihak laki-laki
selaku peminang memberi hadiah kepada perempuan sebagai yang dipinang.
Adapun ‘Urf Fasid yaitu tradisi yang didalamnya ada pelanggaran terhadap
syariat Islam, seperti praktek sesajen yang masih dilakukan sebagian masyarakat
dalam upaya memohon keberkahan bumi atau dalam rangka mensyukuri hasil
panen.
10 Ibnu Abidin, Majmu’ah Rasail Ibn Abidin, (Dar Sa’adat, 1321 H), juz. 2, hal. 114 11 Ibnu Abidin, Majmu’ah Rasail Ibn Abidin, (Dar Sa’adat, 1321 H), juz. 1, hal. 186, juz. 2, hal. 114
6
7. ‘Urf Tsabit dan ‘Urf Mutabadil
‘Urf Tsabit adalah ‘Urf (tradisi) yang tidak berubah seiring dengan
berubahnya tempat, waktu dan keadaan, karena ‘Urf jenis ini berasal atau sesuai
dengan tabiat dan fitrah manusia, seperti nafsu makan, sedih, gembira, termasuk di
antara ‘Urf tsabit adalah ‘Urf syar’i, yaitu apa yang dibebankan oleh Allah kepada
manusia, seperti kewajiban shalat lima waktu.
Adapun ‘Urf Mutabadil, adalah ‘Urf yang berubah seiring dengan berubahnya
waktu, tempat dan keadaan. Terkadang ‘Urf di suatu negeri dianggap baik, namun
ternyata di negeri lain ‘Urf tersebut dianggap tidak baik12, misalnya, di Indonesia
tradisi memberi senyuman kepada orang saat bertemu itu sesuatu yang baik, namun
di Rusia, hal itu justru dianggap hal bodoh.
d. Syarat diterimanya ‘Urf sebagai dalil
Agar ‘Urf bisa digunakan untuk berhujjah ada syarat-syarat tertentu yang
harus dipenuhi, yaitu;
1. ‘Urf itu harus bersifat berkesinambungan
Imam Suyuthi mengatakan:
13إنما تعتبر العادة إذا اطردت، فإن اضطربت فلا
“Sesungguhnya ‘Urf itu dianggap (sebagai hujah) apabila berkesinambungan,
tetapi apabila itu hanya bersifat pragmatis maka tidak bisa (dijadikan hujah).
Hal ini disyaratkan karena apabila ‘Urf berkesinambungan itu menandakan
memang ‘Urf itu pasti keberadaannya, bukan musiman.
2. ‘Urf tersebut harus bersifat umum (‘Urf ‘am)
Syarat ini memang masih diperselisihkan para ulama, namun mayoritas ulama
hanafiyah dan syafi’iyah menganggap bahwa syarat ini harus dipenuhi untuk
kehujjahan sutau ‘Urf.14
12 Jalaludin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), hal. 90 13 Jalaludin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), hal. 92 14 Jalaludin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), hal. 96
7
3. ‘Urf tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam
Maksudnya adalah bahwa ‘Urf atau tradisi yang dijadikan hujjah tidaklah
boleh bertentangan dengan nash-nash syar’i atau hukum-hukum syar’i yang
manshus. Apabila ternyata dalam praktek ‘Urf tersebut ada sesuatu yang
bertentangan dengan syari’at Islam, maka ‘Urf tersebut tidak bisa dianggap sebagai
hujah.
4. ‘Urf tidak bertentangan dengan pernyataan eksplisit
Maksudnya adalah memang pada awalnya uang dianggap atau dikenal di
masyarakat adalah ‘Urf, tetapi apabila ternyata ‘Urf itu di berlawanan dengan
pernyataan eksplisit, maka ‘Urf menjadi tidak berlaku15.
Misalnya, menurut tradisi, saat orang menyewa rumah, dia membayar
harganya di awal atau di akhir bulan, namun bila ternyata pemilik rumah dengan
eksplisit mengatakan harus membayar harga sewa di pertengahan bulan, maka ‘Urf
menjadi tidak berlaku.
5. ‘Urf tersebut sudah ada dan masih berlaku saat hukum ditetapkan
Jika ‘Urf belum berlaku saat penetapan hukum, atau sudah tidak berlaku lagi,
maka ‘Urf itu tidak bisa diperhitungkan dalam penetapan suatu hukum, karena
memang intinya dibangun hukum atas dasar ‘Urf yang berlaku, bagaimana mungkin
menetapkan hukum atas dasar ‘Urf tetapi ‘Urfnya belum ada?
Imam Suyuthi berkata:
16العرف الذي تحمل عليه الألفاظ، إنما هو المقارن السابق دون المتأخر
“Urf yang mengandung lafadz-lafadz itu harus ada (sebelum penetapan hukum)
dan tidak boleh datang belakangan”
15 Izzudin bin Abdi Salam, Qawaid al-Ahkam fii Mashalih al-Anam, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), juz. 2, hal. 175 16 Jalaludin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), hal. 96
8
e. Implementasi Urf pada Pembuatan Fiat Money
Apabila Bank central ingin mencetak uang sebesar 10 miliyar misalnya,
kemudain Bank central ini memerintahkan salah satu perusahaan untuk
mencetaknya dengan akad istishna’.
Akad ini (yaitu istishna’) untuk mencetak uang senilai 10 miliyar, sama
hukumnya seperti istishna’ mencetak 10 miliyar kartu, keduanya boleh dan tidak
ada riba.
Kenapa demikian, karena menurut ‘Urf, uang kertas yang masih dalam proses
pencetakan tidak memiliki legalitas untuk dijadikan alat transaksi, hukumnya sama
seperti kertas-kertas lainnya yang tidak berharga alias tidak punya legalitas sebagai
alat tukar.
Uang kertas yang dicetak baru memiliki kekuatan nilai tukar saat didaftarkan
dan dilegalkan oleh Bank central. Maka sejak dilegalkannya kertas tersebut sebagai
uang, otomatis memiliki nilai sebagai alat tukar, adapun sebelum dilegalkan maka
seperti kertas lainnya.
Majma’ al-Fiqh al-Islami telah mengeluarkan putusan tentang akad Istishna
seperti di atas sebagai berikut17:
1. Bahwa akad istishna’ adalah akad yang dilakukan untuk suatu pekerjaan
(yang akan dilakukan) atau suatu barang (yang akan dibuat) dengan
spesifikasi (sifat) yang sudah ditentukan. Maka kedua belah pihak harus
melaksanakan kewajibannya masing-masing apabila telah terpenuhi syarat
dan rukunnya.
2. Disyaratkan pada akad istishna sebagai berikut;
a. Penjelasan tentang barang/pekerjaan yang akan dibuat/dilakukan,
jenisnya, ukurannya dan sifat-sifatnya.
b. Ditentukan batas waktuntnya
17 http://www.iifa-aifi.org/1852.html, diakses pada tanggal 17 November 2017.
9
3. Dalam akad istishna’ boleh mengakhirkan/menunda harga sepenuhnya, atau
dicicil dengan waktu yang ditentukan.
4. Dalam akad istishna’ boleh diberlakukan syarat tertentu yang disepakati
kedua belah pihak, selama syarat tersebut tidak memaksa (salah satu pihak)
10
BAB III
C. PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah penulis uraikan di atas, dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yaitu;
Definisi ‘Urf secara bahasa adalah apa yang dikenal oleh jiwa kemudian
merasa tenang terhadapnya, adapun menurut istilah ulama ushul, ‘Urf bermakna
apa yang sudah dikenal oleh masyarakat dan terbiasa dengannya, baik itu dalam
ucapan, perbuatan atau apa yang ditinggalkan.
‘Urf sebagai dalil juga memiliki landasan-landasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik itu dari al-Qur’an, as-Sunah maupun Ijma’ ulama.
‘Urf juga terbagi atau bisa diklasifikasikan kepada beberapa kelompok, yiatu;
1. ‘Urf Qouli dan ‘Urf Amali
2. ‘Urf ‘Am dan ‘Urf Khas
3. ‘Urf Shahih dan ‘Urf Fasid
4. ‘Urf Tsabit dan ‘Urf Mutabadil
Untuk bisa mengaplikasikan ‘Urf sebagai hujjah ada beberapa ketentuan yang
harus dipenuhi, ketententuan tersebut adalah sebagai berikut;
1. ‘Urf itu harus bersifat berkesinambungan
2. ‘Urf tersebut harus bersifat umum (‘Urf ‘am)
3. ‘Urf tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam
4. ‘Urf tidak bertentangan dengan pernyataan eksplisit
5. ‘Urf tersebut sudah ada dan masih berlaku saat hukum ditetapkan
Di antara contoh aplikasi dan implementasi ‘Urf pada permasalahan
muamalah kontemporer adalah pada kasus pembuatan atau pencetakan uang
fiat/uang kertas. Ketika Bank Central meminta suatu perusahaan untuk mencetak
uang kertas dengan akad istishna’, maka dalam akad ini tidak ada riba, karena uang
11
yang masih dalam proses pencetakan secara ‘Urf bukanlah uang yang sah sebagai
alat tukar/transaksi.
12
b. Daftar Pustaka
Abdul Wahab Kholaf, Ilm ushul al-Fiqh, (Mesir, dar al-Qalam)
Ahmad bin Faris, Mu’jam Maqayis al-lughah, (Beirut, Dar al-Fikri, 1979)
Ibn Mandzur, Jamaludin, Lisan al-Arab, (Beirut, Dar Shadir, 1414 H)
Ibnu Abidin, Majmu’ah Rasail Ibn Abidin, (Dar Sa’adat, 1321 H)
Ibnu Amir, Abu Abdillah, at-Taqrir wa at-Tahbir, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983)
Izzudin bin Abdi Salam, Qawaid al-Ahkam fii Mashalih al-Anam, (Beirut, Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1991)
Jurjani, Ali bin Muhamad, at-Ta’rifat, (Beirut, Dar al-Fikr, 1983)
Muhsin at-Turki, Abdullah bin Abdul, Ushul Madzhab al-Imam Ahmad, (Muasasah
ar-Risalah, 1990)
Suyuthi, Jalaludin, al-Asybah wa an-Nazhair, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990)
www.iifa-aifi.org/