BAB I
-
Upload
trias-putra-pamungkas -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
description
Transcript of BAB I
BAB IPENDAHULUAN
BAB IILAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Pasien anak bernama R, umur 10 bulan 9 hari, jenis kelamin perempuan, beralamat
Bakunglor, Kabupaten Cirebon. Pasien masuk ke IGD RS Arjawinangun pada tanggal
27 Mei 2015 jam 18.40. Pasien merupakan anak dari tuan M, berumur 23 tahun bekerja
sebagai petani dengan pendidikan terakhir sekolah dasar dan ibu pasien bernama
nyonya S, berumur 21 tahun dengan pendidikan terakhir pada sekolah dasar bekerja
sebagai ibu rumah tangga.
ANAMNESIS
Alloanamnesis dilakukan pada ibu pasien pada 27 Mei 2015 jam 18.40 WIB
Dari anamnesis lebih lanjut diperoleh keterangan bahwa pasien datang ke IGD RSUD
Arjawinangun dengan keluhan kejang sebanyak satu kali selama 30 menit pada seluruh
badan. Sebelum terjadi kejang, terdapat demam pada siang hari. Riwayat kejang
sebelumnya disangkal. Terdapat muntah sebanyak satu kali berupa isi makanan. Pasien
menyangkal pernah berobat sebelum datang ke rumah sakit.
Berdasarkan informasi lebih lanjut, pasien belum pernah memiliki riwayat penyakit
selain batuk dan demam. Orang tua pasien menyangkal keluarga pasien memiliki
riwayat kejang seperti pasien. Pasien merupakan anak pertama dari orangtuanya.
Dalam keterangan lebih lanjut, selama kehamilan, ibu pasien rutin kontrol ke bidan.
Pada saat persalinan anak dilahirkan pada umur 9 bulan, pervaginam, di rumah sakit
dengan berat lahir 2800 gr dan panjang badan 48 cm tanpa penyulit.
Pasien diberikan Air Susu Ibu (ASI) sejak lahir. Pasien sempat diberikan susu Vidoran
Smart saat 5 hari setelah lahir. Susu dihentikan setelah dua bulan dan digantikan
menggunakan ASI. Pasien kemudian diberikan ASI hingga saat ini dan diberikan
setiap 15 menit sekali. Menurut keterangan ibu pasien sejak berusia 0-1 bulan pasien
lebih banyak tidur dan mulai menangis. Pada usia 3 bulan, pasien dapat duduk dan
memgang barang. Pada usia 6 bulan, pasien sudah dapat memanggil “mama”, “papa”.
Sementara pada usia 7 bulan, pasien dapat berjalan sambil dipegang. Pada usia 8 bulan,
pasien dapat merangkak. Dari usia 9 bulan hingga 10 bulan, pasien menjadi lebih aktif
bergerak.
Berdasarkan keterangan tambahan dari ayah dan ibu pasien, pasien tinggal bersama
ayah dan ibunya. Ayahnya seorang petani dan ibunya seorang ibu rumah tangga
dengan penghasilan tidak tentu setiap harinya. Tinggal di rumah dengan ukuran 13x6
m2, 2 kamar, ventilasi dan cahaya cukup, KM dan WC diluar rumah berupa jamban
dengan jarak 100 m dari rumah. Air berasal dari PAM dan keluarga biasanya mandi
menggunakan air sumur.
PEMERIKSAAN FISIK
A. Pemeriksaan umum
Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit sedang dengan
kesadaran composmentis, tanda vital pasien ditemukan suhu 39,1oC, nadi 80
kali per menit, pernapasan 24 kali per menit. Berat badan 6,5 kg dan panjang
badan 70 cm.
Status gizi pada pasien ini dilihat dari berat badan atas dibandingkan
dengan umur. Badan terlihat kurus. Berdasarkan kurva Center of Disease
Control (CDC) :
BB aktual × 100 %BB baku untuk TB aktual
=6,5kg ×100 %10 kg
=65 %
Kesimpulan status gizi pasien ini adalah gizi buruk.
B. Pemeriksaan khusus Pada pemeriksaan khusus didapatkan kulit pasien berwarna sawo matang, tidak
ada sikatrik, tidak tampak ikterus dan tidak ada petekie. Bentuk kepala normal,
rambut hitam, tidak mudah dicabut. Bentuk bola mata kanan kiri normal,
palpebra superior dan inferior tidak edema, kedudukan kedua bola mata dan
bentuk alis mata kanan dan kiri simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, kornea jernih, pupil bulat isokor diameter 3 mm, refleks cahaya positif.
Telinga bentuk normal, simetris kanan dan kiri, dan tak tampak serumen.
Bentuk hidung simetris, deviasi septum tidak ada, secret tidak ada. Bentuk
mulut tidak ada kelainan. Bibir merah dan tidak kering, sianosis tidak ada, tidak
ada tremor. Tonsil T1-T1, tenang, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis.
Leher tidak ada kelainan, kelenjar getah bening tidak teraba membesar, trakea
ditengah.
Pada pemeriksaan torak didapatkan inspeksi, bentuk dada normal, simetris
dalam keadaan statis dan dinamis. Pada pemeriksaan palpasi didapatkan fremitus
vokal dan taktil simetris kanan dan kiri, tidak ada krepitasi, tidak ada fraktur dan
tidak ada massa. Pada pemeriksaan perkusi tidak dilakukan, sedangkan hasil dari
pemeriksaan auskultasi suara nafas vesikular dikedua hemithoraks, dan tidak
ditemukan ronki serta wheezing pada paru-paru kanan dan kiri. Pada pemeriksaan
palpasi teraba pulsasi iktus kordis. Pada pemeriksaan perkusi tidak dilakukan,
sedangkan pada pemeriksaan auskultasi terdengar bunyi jantung I-II regular, tidak
ada murmur dan gallop.
Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan inspeksi abdomen cembung dan
tidak tampak gambaran vena kolateral. Pada auskultasi terdengar bising usus
normal. Pada pemeriksaan perkusi terdengar timpani diseluruh lapang abdomen,
tidak ditemukan adanya shifting dullness. Pada palpasi teraba supel. Nyeri tekan
tidak ada, nyeri lepas tidak ada, dan tidak terdapat undulasi.
Pada pemeriksaan genitalia eksterna, tampak jenis kelamin perempuan,
tidak hiperemis, tidak keluar sekret. Pada pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah
didapatkan akral hangat, tidak terdapat edema. Sianosis tidak terlihat pada
keempat ekstremitas serta terdapat hemiparesis bagian tubuh kanan. Pada
pemeriksaan lebih lanjut tidak ditemukan refleks patologis maupun tanda rangsang
meningeal.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 27 Mei 2015 pukul 19.03 WIB ditemukan
kadar leukosit 12.65, hemoglobin 11.8, hematokrit 34.6, MCV 67.3, MCH 23.0 dan
trombosit 167.000.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 29 Mei 2015 pukul 09.00 WIB ditemukan
kadar leukosit 4.17, hemoglobin 11.1, hematokrit 33.4, MCV 68.9, MCH 22.9 dan
trombosit 70.000.
Pada pemeriksaan laboratorium urin rutin 29 Mei 2015, ditemukan warna urin kuning,
pH 5, berat jenis 1.005, nitrit negatif, protein negatif, glukosa negatif, keton negatif,
bilirubin negatif, urobilinogen negatif, darah samar negatif. Sedimen leukosit
ditemukan (+) 1-2, eritrosit (+) 0-2, epitel (+) 3-5. Kristal, bakteri, jamur serta silinder
hasilnya negatif.
Pada pemeriksaan EEG 30 Mei 2015, ditemukan kesan fokus epileptogenik pada regio
frontal kanan serta disfungsi kortikal di regio fronto-parieta-temporal.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 3 Juni 2015 pukul 09.00 WIB ditemukan
kadar leukosit 7.3, hemoglobin 10.0, hematokrit 31.1, MCV 67.2, MCH 21.6 dan
trombosit 62.000.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 3 Juni 2015 pukul 18.38 WIB ditemukan
kadar leukosit 8.4, hemoglobin 10.3, hematokrit 31.7, MCV 66.6, MCH 21.6 dan
trombosit 92.000.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 4 Juni 2015 pukul 08.17 WIB ditemukan
kadar leukosit 6.88, hemoglobin 10.7, hematokrit 31.4, MCV 67.4, MCH 22.8 dan
trombosit 115.000.
Pada pemeriksaan serologi Dengue 4 Juni 2015 pukul 09.57, IgG Dengue Blot negatif
dan IgM Dengue Blot positif.
Pada pemeriksaan fungsi hati 4 Juni 2015 pukul 10.33, albumin sejumlah 3.51, SGOT
87 dan SGPT 34.
RESUME
Pasien anak bernama R, umur 10 bulan 9 hari, jenis kelamin perempuan masuk ke
IGD RS Arjawinangun pada tanggal 27 Mei 2015 jam 18.40 dengan keluhan kejang
sebanyak satu kali selama 30 menit pada seluruh badan. Sebelum terjadi kejang,
terdapat demam pada siang hari. Riwayat kejang sebelumnya disangkal. Terdapat
muntah sebanyak satu kali berupa isi makanan. Keadaan umum pasien tampak sakit
sedang dengan kesadaran composmentis, tanda vital pasien ditemukan suhu 39,1oC,
nadi 80 kali per menit, pernapasan 24 kali per menit. Berat badan 6,5 kg dan panjang
badan 70 cm. status gizi pasien ini adalah gizi buruk.
Pada pemeriksaan laboratorium urin rutin 29 Mei 2015, ditemukan warna urin kuning,
pH 5, berat jenis 1.005, nitrit negatif, protein negatif, glukosa negatif, keton negatif,
bilirubin negatif, urobilinogen negatif, darah samar negatif. Sedimen pada leukosit (+)
1-2, eritrosit (+) 0-2, epitel (+) 3-5. Kristal, bakteri, jamur serta silinder hasilnya
negatif.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 3 Juni 2015 pukul 09.00 WIB ditemukan
kadar leukosit 7.3, hemoglobin 10.0, hematokrit 31.1, MCV 67.2, MCH 21.6 dan
trombosit 62.000.
Pada pemeriksaan EEG 3 Juni 2015, ditemukan kesan fokus epileptogenik pada regio
frontal kanan serta disfungsi kortikal di regio fronto-parieta-temporal. Pada
pemeriksaan serologi Dengue 4 Juni 2015 pukul 09.57, IgG Dengue Blot negatif dan
IgM Dengue Blot positif. Pada pemeriksaan fungsi hati 4 Juni 2015 pukul 10.33,
albumin sejumlah 3.51, SGOT 87 dan SGPT 34.
DIAGNOSIS
Epilepsi dengan Dengue Haemorrhagic Fever disertai Gizi Buruk
TATALAKSANA
Pasien ini diberikan RL 7 tpm, Ikalep 2 x 1 cc, Diazepam 2 mg bila diperlukan, antrain
3 x 20 mg dan ranitidin 2 x10 mg.
Pemeriksaan penunjang yang direncanakan adalah pemeriksaan laboratorium darah
rutin, urin rutin, EEG, serologi Dengue Blot dan fungsi hati.
PEMANTAUAN
Tanggal 28 Mei 2015
Pasien mengalami kejang pertama kali selama 30 menit sebelum dibawa ke rumah
sakit. Setelah kejang, pasien sadar. Terdapat demam sebelum kejang.Pasien juga
mengalami batuk dan pilek. Pasien tidak mengalami mual dan muntah. Pasien belum
BAB semenjak 1 hari SMRS. Nafsu makan dan minum baik. Keadaan umum pasien
tampak baik, kesadaran komposmentis, tekanan darah 70/50 mmHg, frekuensi nadi
112 x/menit, isi cukup dan teratur, frekuensi nafas 36 x/menit, suhu 39.1oC. Pada
pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak terdapat
konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak terdapat
murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks, terdapat rhonki
dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising usus positif
normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan. Keempat
ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 27 Mei 2015 pukul 19.03 WIB ditemukan
kadar leukosit 12.65, hemoglobin 11.8, hematokrit 34.6, MCV 67.3, MCH 23.0 dan
trombosit 167.000.
Diagnosa kerja pasien ini adalah Kejang Demam Kompleks. Pasien diberikan KAEN
1B 10 tetes per menit mikro, Diazepam 2 mg bila perlu, Antrain 3 x 20 mg, Ranitidin 2
x 20 mg.
Tanggal 29 Mei 2015
Pasien tidak mengalami kejang lagi. Tidak ada muntah, pilek dan batuk.
Terdapat riwayat jatuh dari tempat tidur tiga kali. Keadaan umum pasien tampak
baik, kesadaran komposmentis, tekanan darah 80/50 mmHg, frekuensi nadi 110
x/menit, isi cukup dan teratur, frekuensi nafas 20x/menit, suhu 36,80C.
Pada pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak
terdapat konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak
terdapat murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks,
terdapat rhonki dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising
usus positif normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.
Keempat ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 29 Mei 2015 pukul 09.00 WIB ditemukan
kadar leukosit 4.17, hemoglobin 11.1, hematokrit 33.4, MCV 68.9, MCH 22.9 dan
trombosit 70.000.
Diagnosa kerja pasien ini adalah Kejang Demam Kompleks. Pasien diberikan KAEN
1B 10 tetes per menit mikro, Diazepam 2 mg bila perlu, cefotaxim 2 x 350 mg, Antrain
3 x 0,15 cc. Pasien dipersiapkan untuk melakukan darah rutin ulang, urin rutin, fungsi
hati dan EEG.
Tanggal 30 Mei 2015
Pasien tidak mengalami kejang lagi. Tidak ada muntah, pilek dan batuk. BAB
dan BAK normal. Terdapat demam naik turun terutama malam hari. Keadaan umum
pasien tampak baik, kesadaran komposmentis, tekanan darah 90/60 mmHg,
frekuensi nadi 116 x/menit, isi cukup dan teratur, frekuensi nafas 28x/menit,
suhu 37,70C.
Pada pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak
terdapat konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak
terdapat murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks,
terdapat rhonki dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising
usus positif normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.
Keempat ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.
Pada pemeriksaan laboratorium urin rutin 29 Mei 2015, ditemukan warna urin kuning,
pH 5, berat jenis 1.005, nitrit negatif, protein negatif, glukosa negatif, keton negatif,
bilirubin negatif, urobilinogen negatif, darah samar negatif. Sedimen pada leukosit (+)
1-2, eritrosit (+) 0-2, epitel (+) 3-5. Kristal, bakteri, jamur serta silinder hasilnya
negatif.
Diagnosa kerja pasien ini adalah KDK. Pasien diberikan KAEN 1B 10 tetes per menit
mikro, Diazepam 2 mg bila perlu, cefotaxim 2 x 350 mg, Antrain 3 x 0,15 cc. Pasien
dipersiapkan untuk melakukan darah rutin ulang dan EEG.
Tanggal 1 Juni 2015
Pasien tidak mengalami kejang lagi. Terdapat keluhan demam naik turun.
Tidak ada muntah, pilek dan batuk. BAB dan BAK normal. Keadaan umum pasien
tampak baik, kesadaran komposmentis, tekanan darah 100/70 mmHg, frekuensi
nadi 112 x/menit, isi cukup dan teratur, frekuensi nafas 32x/menit, suhu 37,30C.
Pada pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak
terdapat konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak
terdapat murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks,
terdapat rhonki dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising
usus positif normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.
Keempat ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.
Terdapat hasil EEG menunjukkan fokus epileptogenik di regio frontal kanan. Terdapat
disfungsi kortiak di regio fronto-parietal-temporal.
Diagnosa kerja pasien ini adalah Epilepsi. Pasien diberikan Ikalep 2 x 1 cc, KAEN 1B
10 tetes per menit mikro, Diazepam 2 mg bila perlu, cefotaxim 2 x 350 mg, Antrain 3 x
0,15 cc. Pasien dipersiapkan untuk melakukan darah rutin ulang, serologi Dengue Blot
dan fungsi hati.
Tanggal 3 Juni 2015
Pasien tidak mengalami kejang lagi. Tidak ada muntah, pilek dan batuk. BAB
dan BAK normal. Keadaan umum pasien tampak baik, kesadaran komposmentis,
tekanan darah 100/70 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit, isi cukup dan teratur,
frekuensi nafas 40x/menit, suhu 37,10C.
Pada pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak
terdapat konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak
terdapat murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks,
terdapat rhonki dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising
usus positif normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.
Keempat ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.
Terdapat hasil EEG menunjukkan fokus epileptogenik di regio frontal kanan. Terdapat
disfungsi kortiak di regio fronto-parietal-temporal.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 3 Juni 2015 pukul 09.00 WIB ditemukan
kadar leukosit 7.3, hemoglobin 10.0, hematokrit 31.1, MCV 67.2, MCH 21.6 dan
trombosit 62.000.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 3 Juni 2015 pukul 18.38 WIB ditemukan
kadar leukosit 8.4, hemoglobin 10.3, hematokrit 31.7, MCV 66.6, MCH 21.6 dan
trombosit 92.000.
Diagnosa kerja pasien ini adalah Epilepsi dengan DHF grade I. Pasien diberikan Ikalep
2 x 1 cc, KAEN 1B 10 tetes per menit mikro, Diazepam 2 mg bila perlu, cefotaxim 2 x
350 mg, Antrain 3 x 0,15 cc. Pasien dipersiapkan untuk melakukan darah rutin ulang,
serologi Dengue Blot dan fungsi hati.
Tanggal 4 Mei 2015
Pasien tidak mengalami kejang lagi. Tidak ada muntah, pilek dan batuk. BAB
dan BAK normal. Keadaan umum pasien tampak baik, kesadaran komposmentis,
tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 100/60x/menit, isi cukup dan
teratur, frekuensi nafas 36x/menit, suhu 36,80C.
Pada pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak
terdapat konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak
terdapat murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks,
terdapat rhonki dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising
usus positif normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.
Keempat ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 4 Juni 2015 pukul 08.17 WIB ditemukan
kadar leukosit 6.88, hemoglobin 10.7, hematokrit 31.4, MCV 67.4, MCH 22.8 dan
trombosit 115.000.
Pada pemeriksaan serologi Dengue 4 Juni 2015 pukul 09.57, IgG Dengue Blot negatif
dan IgM Dengue Blot positif. Pada pemeriksaan fungsi hati 4 Juni 2015 pukul 10.33,
albumin sejumlah 3.51, SGOT 87 dan SGPT 34.
Diagnosa kerja pasien ini adalah Epilepsi dengan DHF grade I fase penyembuhan.
Pasien diberikan Ikalep 2 x 1 cc. Pasien diperbolehkan pulang.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
EPILEPSI
Definisi
International Leauge Against Epilepsy (ILAE) mendefinisikan epilepsi sebagai
penyakit otak dengan kondisi berikut: (1) setidaknya dua kejang yang tidak
terprovokasi (atau refleks) yang terjadi terpisah lebih dari 24 jam; (2) satu kejang tidak
terprovokasi (atau refleks) dan sebuah kemungkinan kejang berikutnya serupa dengan
resiko kembali umum (setidaknya 60%) setelah dua kejang tidak terprovokasi, terjadi
lebih dari 10 tahun berikutnya. (3) diagnosa sindroma epilepsi (berdasarkan
pemeriksaan elekroenselfalografi).1
Epilepsi dianggap dapat disembuhkan pada individu yang telah memiliki sindroma
epilepsi bergantung pada umur dan juga telah melewati usia sesuai atau telah bebas
kejang selama lebih 10 tahun dan tidak menggunakan obat anti kejang setidaknya
selama 5 tahun.1
Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak,
menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh-
kembang, dan menentukan kualitas hidup anak sehingga membuthkan koordinasi
penanganan tertentu. Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara
dengan variasi yang luas, sekitar 4—6 per 1000 anak, tergantung pada desain
penelitian dan kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000
—1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap
tahun dan diperkirakan 40—50% terjadi pada anak-anak.2
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi menderita epilepsi,
tetapi tidak ditemukan perbedaan ras. Angka kejadian lebih banyak pada laki-laki,
serupa dengan penelitian di Turki didapatkan 59,3% laki-laki, sebagai faktor risiko
terjadinya epilepsi. Usia <2 tahun adalah kelompok usia dengan insidens tertinggi.2
Etiologi
Kejang pada epilepsi adalah kejadian kejang yang disebabkan oleh discharge
elektrisitas neuron yang tersebar luas, tersikronisasi secara abnormal dan terlokalisir.
Bangkitan kejang atau serangan epilepsi dapat dicetuskan oleh inaktivitas sinaps
inhibisi, atau oleh stimulasi berlebihan pada sinaps eksitasi; atau oleh perubahan pada
keseimbangan neurotransmiter-palsu yang memblokade aksi neurotransmiter alamiah.
Turunnya ambang kejang mungkin diakibatkan oleh perubahan konsentrasi ion dalam
cairan tubuh. Depolarisasi mungkin merupakan refleks dari kegagalan pompa ion, yang
dapat disebabkan karena kurangnya pasokan energi pada keadaan hipoglikemi, anoksia
atau gangguan metabolik lainnya.3,4
Tiap kelainan yang menganggu fungsi otak dapat mengakibatkan bangkitan epilepsi
atau bangkitan kejang. Tiap kelainan di otak dapat merupakan salah satu sebab
bangkitan epilepsi. Dikatakan salah satu, karena untuk terjadi bangkitan epilepsi
dibutuhkan beberapa faktor yang berperan bersama-sama. Beberapa faktor bertindak
serempak secara sinergistik dalam mencetuskan bangkitan epilepsi pada individu yang
peka.4
Berdasarkan etiologinya, epilepsi dapat terbagi menjadi empat kategori utama:5
1. Epilepsi idiopatik: merupakan epilepsi yang di predominasi oleh genetik atau
dugaan gen tertentu dimana tidak ditemukan abnormalitas neuroanatomi atau
neuropatologi. Epilepsi idiopatik terdiri dari epilepsi yang diduga turunan multigen
atau kompleks.
2. Epilepsi simtomatis: merupakan epilepsi yang akibat penyebab yang didapat atau
disebabkan oleh genetik, memiliki kelainan anatomi atau patologis dan/atau gejala
klinis, mengindikasikan penyakit atau kondisi utama. Katogori ini terdiri dari kelainan
kongenital, perkembangan yang dikaitkan dengan perubahan patologis serebral baik
genetik atau didapat. Kelainan gen tunggal atau genetik lainnya dimana epilepsi hanya
salah satu gejala klinis dari fenotipe luas dengan efek sistemik dan serebral lainnya.
3. Epilepsi terprovokasi: epilepsi dengan faktor sistemik atau lingkungan spesifik dan
merupakan penyebab utama dari kejang dan tidak ada perubahan yang tampak pada
neuroanatomik atau neuropatologis. Beberapa epilepsi terprovokasi memiliki dasar
genetik dan didapat, namun tidak banyak ditemukan penyebab turunan. Refleks
epilepsi dapat dimasukkan dalam kategori ini (yang biasanya genetik) begitu pula
epilepsi dengan presipitan kejang tertandai.
4. Epilepsi kriptogenik: epilepsi yang diangap simtomatis namun penyebabnya belum
dapat teridentifikasikan.
Seseorang dengan riwayat kejang demam memiliki resiko tinggi epilepsi yang akan
berlangsung hingga dewasa. Selain itu riwayat kejang serta epilepsi pada keluarganya,
serebral palsy dan skor APGAR rendah pada 5 menit, riwayat cedera otak, komplikasi
persalinan merupakan faktor resiko terjadinya epilepsi setelah kejang demam.6
Patofisiologi
Paroxysmal Depolarization Shift (PDS) adalah fenomena selular patofisiologis yang
mendasari tiap tipe kejang epilepsi dan abnormalitas interiktal epileptiform
electroencephalography (EEG) berupa “spikes” atau “paku”. PDS adalah kejadian
selular yang mana potensial aksi berulang cepat tidak diikuti dengan periode refraktori,
sehingga mengakibatkan depolarisasi membran berkepanjangan melebihi respon yang
biasanya terjadi pada eksitatori normal pada potensial postsinaps.3
Ketika PDS terjadi, terjadi peningkatan konsentrasi glutamat yang dihubungkan
dengan influks kation, diikuti dengan peningkatan konsentrasi GABA dengan efluks
potasium. Ketika PDS pada banyak sel saraf tersinkronisasi untuk lebih dari 200
ms(Gambar 3.1), potensial elektrisitas ini dapat terlihat sebagai spike-wave atau
kompleks paku-gelombang yang terekam pada makroelektroda. Ketika PDS berulang
terjadi pada banyak neuron menjadi tersinkronisasi pada beberapa detik atau lebih,
kejang elektrografis terjadi. 3
Gambar 3.1: Paroxysmal Depolarization Shift
Sumber: Epilepsy Board Review Manual
Kecenderungan sebuah neuron untuk memasuki status patologis PDS umum dapat
didasarkan pada disfungsi kanal ion pada channelopathies yang ditentukan melalui
genetik, atau mekanisme ekstrinsik seperti konsentrasi neurotransmitter inhibitor yang
tidak cukup atau paparan berlebihan pada konsentrasi asam amino eksitatori atau
eksitotoksin eksogenous. Namun, sekelompok besar neuron harus menghasilkan PDS
secara serentak untuk menjadi episode kejang. 3
Pada model eksperimental dari epilepsi umum, penyebaran sinkronisasi epileptic PDS
interiktal dan iktal didasari oleh sinkronisasi intrathalamus yang menggerakkan jalur
thalamokortikal neuron untuk mengsinkronisasikan discharge neuron korteks
bihemisfer. Pada model kejang fokal, terjadi mekanisme sinkronisasi intrakortikal
dalam discharge iktal. Terdapat bukti bahwa pada beberapa epilepsi memiliki
channelopathies intuk menginisasikan PDS pada salah satu sel neuron dan
menghasilkan kejang-kejang melalui mekanisme normal sinkronisasi interneuronal. 3
Klasifikasi
Pemahaman terhadap klasifikasi kejang epilepsi merupakan langkah awal untuk
diagnosis, terapi dan prognosis tepat dari kondisi individu dengan epilepsi. Kejang tipe
tertentu atau sindroma seringkali merespon lebih baik pada medikasi atau tindakan
bedah tertentu. 7
Berdasarkan ILAE 2010, kejang dapat digolongkan menjadi beberapa tipe:3
1. Kejang fokal
Kejang fokal atau sebagian dapat terbagi menjadi simpleks dan kompleks, yang
ditandai dengan terdapat atau tidaknya gangguan kesadaran. Kejang fokal simpleks
tidak terjadi penurunan kesadaran, sementara kejang fokal kompleks memiliki
penurunan kesadaran. Kejang fokal memiliki gejala klinis dengan berbagai bentuk,
tergantung pada area korteks mana yang terlibat pada onset dan penyebaran discharge
iktal. Kejang sebagian berasal dari area fokal pada korteks serebal dan dapat menyebar
pada regio kortikal secara unilateral atau bilateral. Kejang fokal dapat memiliki
manifestasi klinis dengan gejala motorik, autonomis, somatosensorik atau sensorik
spesial dan psikis. 7
1.1 Kejang Fokal Simpleks
Kejang fokal motorik dapat berasal dari girus presentralis atau menyebar ke girus
presentralis dari daerah korteks sebelahnya. Mereka dapat selalu fokal, menyebabkan
aktivitas klonik pada tangan kanan, contohnya, atau menyebar melibatkan berbagai
area motorik homunculus. Kejang ini disebut Jacksonian seizure dan sering
menyebabkan aktivitas klonik berasal dari tangan dan menyebar ke lengan ipsilateral,
bahu, muka dan kaki. Setelah kejang fokal motorik, kelemahan post iktal (Todd’s
paralysis) dapat berlangsung dari menit ke jam. Kejang fokal simpleks dapat memiliki
gejala otonom seperti muntah, berkeringat, piloereksi, dilasi pupil, muka pucat,
flushing, borborygmi, dan inkontinesia. 7
1.2 Kejang fokal kompleks
Kejang fokal kompleks adalah kejang fokal dengan penurunan kesadaran. Mereka
dapat dimulai dengan kejang fokal simpleks dengan aura dan berkembang menjadi
kejang fokal kompleks. Kejang ini dapat memiliki atau tidak gejala otonom. Gejala
klinis bergantung pada daerah yang dipengaruhi aktivitas elektrik abnormal. Kejang
fokal kompleks dapat berasal dari lobus frontal, temporal namun terkadang berasal dari
lobus parietal atau oksipital.7
2. Kejang Umum
2.1 Kejang tonik-klonik
Kejang tonik-klonik dapat disebut sebagai kejang grand mal, dikarakteristik oleh
hilang kesadaran cepat diikuti oleh kontraksi tonik pada otot. Hal ini menyebabkan
tangis ictal dimana udara dipaksa terekspirasi melawan glottis yang tertutup. Mulut
akan ditutup secara paksa sehingga mengakibatkan gigit lidah. Pupil menjadi terdilatasi
dan mata memicing ke atas. Ekstremitas ata selalu abduksi dan fleksi secara simetris
pada siku sementara ekstremitas bawah dapat fleksi dan ekstensi secara singkat dan
adduksi dengan jari-jari kaki menunjuk. Aktivitas klonik kemudian terjadi yang
bersifat cepat kemudian lambat. Gasping dapat terjadi karena otot pernafasan terlibat
pada aktivitas klonik. Pasien dapat menjadi sianotik. Inkontinensia urin dapat terjadi.
Pada akhir kejang, pasien dapat menjadi tidak sadar pada waktu singkat dan kemudian
membaik kembali.7
2.2 Kejang Absans
Kejang absans dikarakteristik oleh tahanan perilaku dengan onset mendadak,
pandangan kosong, tidak responsif dan terkadang terdapat rotasi mata keatas dengan
singkat. Durasi biasanya dari beberapa detik hinga beberapa menit.7
2.3 Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai oleh sentakan singkat, iregular, shock-like pada kepala dan
anggota badan. Mereka dapat simetris atau asimetris yang melibatkan seluruh badan,
area badan atau area fokal. Mereka cenderung sering terjadi pada saat tidur dan saat
bangun dari tidur.7
2.4 Klonik
Kejang klonik adalah kejang umum yang dikarakteristik oleh sentakan klonik berulang
ritmis (1—2 Hz) dengan gangguan kesadaran dan fase post ictal singkat. Mereka dapat
menjadi kejang klonik-tonik-klonik.7
2.5 Tonik
Kejang tonik adalah kejang yang menunjukan kekakuan otot, melibatkan kontraksi
tonik otot leher, wajah, aksial atau apendikular yang berlangsung dari 10 detik hingga
1 menit. Mereka dapa melibatkan ekstensi atau fleksi pada otot dan dapat
menyebabkan jatuh dan cedera kepala. Mereka dapat lebih ringan dan melibatkan
hanya penyimpangan mata keatas.7
2.6 Atonik
Kejang atonik ditandai oleh hilangnya kekuatan otot secara mendadak dan
menyebabkan kepala jatuh, lengan jatuh, atau jatuhnya seluruh badan (drop attack).
Terdapat hilang kesidaran singkat, luka terutama di wajah.7
Manifestasi Klinis
Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang berasal dari
salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana kedua hemisfer otak
terlibat secara bersamaan.7
Tipe Kejang Ciri Khas
Kejang
parsial
Parsial Sederhana Adanya gejala motorik, somatosensorik,
sensorik, otonom, atau kejiwaan.
Kesadaran normal
Parsal kompleks Adanya gejala motorik, somatosensorik,
sensorik, otonom, atau kejiwaan.
Adanya penurunan kesadaran
Kejang
umum
Tonik-klonik Kekakuan tonk yangdiikuti oleh sentakan
ekstremitas yang sinkron.
Dapat disertai inkontinensia
Diikuti dengan kebingungan pasca kejang
Absans Hilangnya kesadaran yang singkat
(biasanya <10 detik) dengan terhentinya
aktivitas yang sedang berlangsung
Dapat disertai gerakan otomatis, seperti
mengedip.
Pola EEG menunjukkan gambaran paku-
ombak (spike-and-wave)
Mioklonik Adanya satu atau banyak sentakan otot
Kesadaran normal
Biasanya bilateral dan simetris
Atonik Hilangnya tonus otot yang
berkepanjangan
Klonik Pergantian sentakan dan relaksasi
ekstremitas secara berulang ulang
Diagnosis
1. Anamnesis
Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang
atau bukan , dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara
baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang
mengetahui serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan
adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan
kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang
tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat
pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami
pasien.8
Pertanyaan yang sebaiknya diajukan adalah:
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder
gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital.
Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja.
2. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung?
3. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?
4. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?
5. Apakah ada faktor pencetus ?
6. Bagaimana frekuensi serangan kejang ?
7. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ?
8. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?
9. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?
10. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?8
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. pemeriksaan
kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul
oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya
kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk
mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “café au lait spots “ dan “iris
hamartoma” pada neurofibromatosis, “ash leaf spots” , “shahgreen patches” ,
“subungual fibromas” , “adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “port - wine
stain“ (capilarry hemangioma) pada Sturge-weber Syndrome. Juga perlu dilihat
apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang
berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat
serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh
karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat
terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama.8
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis,
fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin
dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas.
Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat
anti epilepsi seperti karbamasepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi
pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin
ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang
makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral
automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral
sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus
temporalis.8
3. Pemeriksaan Laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium,magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalam
darah. Yang memudahkan timbulnya kejang adalah keadaaan hipoglikemia,
hipomagnesemia, hipo atau hipernatremia, hiperbilirubinemia, uremia. Penting pula
diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin pula disertai kejang. 9
4. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto rontgen kepala sapat dilihat adanya kelainan-kelainan pada tengkorak.
Kalsifikasi abnormal dapat dijumpai pada toksoplasmosis, meningioma. Sken
tomografik olahan komputer dapat lebih jelas menunjukkan kelainan-kelainan pada
tengkorak dan dalam rongga intrakranium. 9
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang diagnosis epilepsi adalah: 9
1. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrobrospinalis pada penderita epilepsi umumnya normal.
Pungsi lumbal dilakukan pada penderita yang dicurigai meningitis.
2. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita epilepsi. EEG
dapat mengkonfirmasi aktivitas epilepsi bahkan dapat menunjang
diagnosis klinis dengan baik, tetapi tidak dapat menegakkan diagnosis
secara pasti. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetika
atau metabolik.
Perlu diingat bahwa tidak selalu gangguan fungsi otak dapat tercermin
dalam rekaman EEG. EEG normal dapat dijumpai pada anak yang
nyata-nyata menderita kelainan otak. Kira-kira 10% pasien epilepsi
mempunyai EEG yang normal.
Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila :
Asimetris irama dan voltage gelombang pada daerah yang sama
dikedua hemisfer otak
Irama gelombang tidak teratur
Irama gelombang lebih lambat dibandingkan seharusnya
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak yang
normal, seperti gelombang tajam paku (spike), paku-ombak,
paku majemuk.
Pemeriksaan EEG berfungsi dalam mengklisifikasikan tipe
kejang dan menentukan terapi yang tepat. EEG harus diulangi apabila
kejang sering dan berat walaupun sedang dalam pengobatan, apabila
terjadi perubahan pola kejang yang berarti atau apabila timbul defisit
neurologi yang progresif.
3. Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan antara lain foto polos kepala,
angiografi serebral, CT-scan, MRI. Pada foto polos kepala dilihat
adanya tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, asimetris
tengkorak, perkapuran abnormal tetapi pemeriksaan ini sudah banyak
ditinggalkan. Angiogarafi dilakukan pada pasien yang akan dioperasi
karena adanya fokus epilepsi berupa tumor.
CT-scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi adanya
malformasi otak kongenital. Indikasi CT-scan dan MRI antara lain
kesulitan dalam mengontrol kejang, ditemukannya kelainan neurologis
yang progresif dalam pemeriksaan fisik, perburukan dalam hasil EEG,
curiga terhadap peningkatan tekanan intrakranial dan pada kasus-kasus
dimana dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan.
Diagnosa Banding
1. Sinkope
Sinkope adalah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan aliran darah
ke dalam otak dan anoksia. Sebabnya ialah tensi darah yang menurun mendadak,
biasanya ketika penderita sedang berdiri. Pada 75% kasus-kasus terjadi akibat
gangguan emosi. Pada fase permulaan, penderita menjadi gelisah, tampak pucat,
berkeringat, merasa pusing, pandangan mengelam. Kesadaran menurun secara
berangsur, nadi melemah, tekanan dara rendah. Dengan diaringkan horizontal
penderita segera membaik. 9
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor, mulut kering.
Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan. 9
3. Histeria
Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita terutama antara 7-15
tahun. Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin
menarik perhatian. Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol atau perubahan
pasca serangan seperti terdapat pada epilepsi. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak
menyerupai kejang tonik-klonik, tetapi bisa menyerupai sindroma hiperventilasi.
Timbulnya serangan sering berhubungaqn dengan stress. 9
Tatalaksana
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah.
Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar
darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. 10
Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak
kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat antiepilepsi. 10
Prinsip pengobatan epilepsi4
1. Diagnosis pasti: banyaknya keadaan yang memperlihatkan gejala mirip
epilepsi. Pengobatan umumnya baru diberikan setelah serangan kedua. Hal ini
penting karena pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.
2. Tentukan jenis serangan. Tiap OAE mempunyai kekhususan sendiri dan akan
berfaedah secara spesifik pada jenis serangan tertentu
3. Pengobatan dimulai dari satu OAE dengan dosis kecil, kemudian dosis
dinaikkan secara bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan adalah
untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah.
4. Kegagalan OAE sering disebabkan karenan non-compliance atau tidak minum
obat menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat, dapat diganti
dengan OAE kedua. Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap sedangkan dosis
OAE pertama diturunkan bertahap. Penurunan secara bertahap ini bertujuan
untuk mencegah timbulnya status epileptikus (terutama fenobarbital). Bila OAE
pertama perlu dihentikan dengan cepat karena timbul efek samping yang berat,
harus diberikan diazepam. Politerapi sedapatnya dihindarkan karena efek
samping terutama di bidang intelektual, sukar dikontrol dan kadar obat dalam
darah yang lebih rendah.
OAE pilihan pertama dan kedua : 10, 11
1. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder)
OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
2. Serangan tonik klonik
OAE I :Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
3. Serangan absens
OAE I : Etosuksimid, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin
4. Serangan mioklonik
OAE I : Benzodiazepin, asam valproat
OAE II : Etosuksimid
5. Serangan tonik, klonik, atonik
Semua OAE kecuali etosuksinid
Jenis Serangan Parsial Umum
Tk
Absens Miokloni
k
Tonik
Asetazolamid +/- + + +/- +/-
Karbamazepin + + - - +
Klonazepam + + + + +
Etosuksimid - - + - -
Fenobarbital + + - - -
Fenitoin + + - - +
Primidon + + - - +
valproat + + + + +
Penghentian pemberian obat pada penderita epilepsi, dilakukan pada keadaan –
keadaan sebagai berrikut: 10
● Pada epilepsi yang sulit diatasi lakukan pemantauan yang intensif untuk mencari
diagnosis yang sebenarnya dan pengobatan yang sesuai. Selain itu dipergunakan
pemantauan EEG yang cermat dan lebih lama dari 20 menit.
● Epilepsi dicegah dengan perawatan pada masa prenatal dan perinatal. Tindakan
selanjutnya adalah diagnosis dan pengobatn dini semasa bayi dengan OAE yang
tepat. Bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali, dapat dipertimbangkan
untuk pembedahan. Bila pada pemeriksaan PET scan pada anak dengan berbagai
jenis epilepsi yang berat ditemukan adanya hipometabolisme unilateral yang difus,
maka dapat dilakukan reseksi lokal sampai hemisferektomi.
● Pertimbangan penghentian pengobatan didasarkan atas pertimbangan
keseimbangan antara resiko penggunaan OAE yang terus menerus (intoksikasi
kronis, efek teratogenik) dan resiko kemungkinan kambuh serangan (cedera,
pekerjaan). Penghentian pengobatan dilakukan setelah bebas serangan selama 2
tahun atau lebih, perlahan-lahan dalam waktu beberapa bulan (4-6 bulan atau 25%
setiap 2-4 minggu), diskusikan kemungkinan kekambuhan. Risiko kambuh setelah
penghentian obat dalam 1 tahun pertama 25% dan menjadi 29% dalam 2 tahun.
Kekambuhan terjadi 80% dalam tahun pertama.
● Faktor yang mempengaruhi risiko kekambuhan : masa bebas serangan sebelum
penghentian obat singkat, banyak macam tipe serangan, kejang tonik-klonik, perlu
waktu lama untuk mencapai bebas serangan, poloterapi, EEG abnormal,
pemeriksaan neurologis abnormal, timbul serangan pada saat penghentian obat.
Prognosis
Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun.
Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak
mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi. 30%
penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah minum obat teratur. 4
Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur
awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami
remisi pada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang,
remisi lebih sering terjadi. 4
Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan faktor
yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung
pada faktor yang sama dengan remisi kejang. 4
Demam Berdarah Dengue
Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dan mengakibatkan spectrum manifestasi klinis yang bervariasi antara
yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai
renjatan atau dengue shock syndrome (DSS) yang dapat menyebabkan mortalitas;
ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus yang terinfeksi. Host alami DBD
adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam family
Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan
Den-4. Kapita Selekta Kedokteran & Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi,
Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 :
110 –119. Aryu Candra
Epidemiologi
Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan
peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan dalam decade ini, dari kota
ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis
dan subtropics, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.
Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko
Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119. Aryu Candra
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di
daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain
Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara dan India. Jumlah orang yang terinfeksi
diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan
mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun: diperkirakan 2,5 miliar orang atau
hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan
terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat.
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropic dan
subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada
anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap
tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan
2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 0 orang lebih.
Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara
bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak
137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta
kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR
0.89%
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus
Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. polynesiensis, Ae. scutellaris serta Ae
(Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi penularan transsexual
dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta penularan transovarial
dari induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue melalui
transfuse darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari
penderita asimptomatik. Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi
adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di
dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-1 hari, sedangkan inkubasi intrinsik
(dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun.
Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes
spp. Berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat, tetapi
infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung
pada faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus dengue, status kekebalan host
dan lain-lain. Vector capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh
iklim mikro dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus
gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta
pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi
oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak
digigit nyamuk Ae. aegypti disbanding dengan orang yang lebih aktif dengan demikian
orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain
itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan
manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat
penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap manusia disbanding
yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan
penyerapan gizi. Status-status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh keseimbangan
asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh pada system
kekebalan tubuh. Selain zat gizi makro, disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti
besi dan seng mempengaruhi respon kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah
satu zat gizi mikro, maka akan merusak system imun.
Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena zat
gizi mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum
berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi
aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang, otot &
organ lain, pada tahap tumbuh kembang, fungsi immunitas yaitu melindungi tubuh
agar tak mudah sakit, fungsi perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang rusak; serta
fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi menghadapi keadaan darurat.
Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur
<15 tahun (95%) dan mengalami pergeseran dengan adanya peningkatan proporsi
penderita pada kelompok umur 15-44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada
kelompok umur >45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar
3,64%.
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya
kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus
dengue), host yang rentan serta llingkungan yang memungkinkan tumbuh dan
berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor
predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak
antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa,
kerentanan terhadap penyakit dan lainnya. Demam Berdarah Dengue:
Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2
Tahun 2010 : 110 –119. Aryu Candra
Etiologi
Virus dengue termasuk dalam genus Flavivirus, family Flaviviridae, dan terdiri
dari empat serotipe: DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Seluruh serotipe beredar di
Indonesia, dengan serotipe DEN-3 yang paling dominan dan ditemukan pada kasus
dengue dengan masa inkubasi sekitar 4-10 hari. Kapita Selekta Kedokteran hal
68-70
Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue :
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk
perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana
transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga
memungkinkan terjadinya KLB. Faktorv risiko lainnya adalah kemiskinan yang
mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang
layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang besar. Tetapi di
lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang
biasa bepergian. Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat,
jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan
pekarangan serta mobilisasi penduduk; sedangkan tata letak rumah dan keberadaan
jentik tidak menjadi faktor risiko.
Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue
yang merupakan reaksi infeksi primer, berdasarkan hasil penellitian di wilayah
Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan dan migrasi. Sedangkan
faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin
lakilaki, riwayat pernah terkena DBD apda periode sebelumnya serta migrasi ke daerah
perkotaan. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor
Risiko Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119. Aryu Candra
Klasifikasi
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah
ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi) :
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji bendung.
Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak tampak gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS hal 164
Patogenesis
Virus dengue ditransmisi melalui nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus.
Vektor tersebut tersebar meluas di daerah tropis dan subtropis di berbagai belahan
dunia. Virus dengue masuk ke sirkulasi perifer manusia melalui gigitan nyamuk. Virus
akan berada di dalam darah sejak fase akut/fase demam hingga klinis demam
menghilang.
Secara klinis perjalanan penyakit dengue dibagi menjadi tiga, yaitu fase demam
(febrile), fase kritis dan fase penyembuhan. Fase demam berlangsung pada demam hari
ke-1 hingga 3, fase kritis terjadi pada demam hari ke-3 hingga 7 dan fase penyembuhan
terjadi setelah demam hari ke 6-7. Perjalanan penyakit tersebut menentukan dinamika
perubahan tanda dan gejala klinis pada pasien dengan infeksi demam berdarah dengue
(DBD).
Demam merupakan tanda utama infeksi dengue, terjadi mendadak tinggi,
selama 2-7 hari. Demam juga disertai gejala konstitusional lainnya seperti lesu, tidak
mau makan dan muntah. Selain itu, pada anak lebih sering terjadi gejala facial flush,
radang faring serta pilek.
Pada DBD, terjadi peningkatan permeabilitas vascular yang menyebabkan
kebocoran plasma ke jaringan, sedangkan pada demam dengue tidak terjadi hal ini.
Kondisi tersebutdapat mengakibatkan syok hypovolemia. Peningkatan permeabilitas
vaskular akan terjadi pada fase kritis dan berlangsung maksimal 48 jam.
Kebocoran plasma terjadi akibat disfungsi endotel serta peran kompleks dari
sistem imun: monosit dan sel T, sistem komplemen, serta produksi mediator inflamasi
dan sitokin lainnya. Trombositopenia pun terjadi akibat beberapa mekanisme yang
kompleks, seperti gangguan megakarlositopoesis (akibat infeksi sel hematopoietik),
serta peningkatan destruksi dan konsumsi trombosit.
Pada kasus DBD, tanda hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering
ditemukan. Manifestasi perdarahan yang paling dijumpai pada anak ialah perdarahan
kulit (petekie) dan mimisan (epistaksis). Tanda perdarahan lainnya yang patut
diwaspadai, antara lain melena, hematemesis dan hematuria. Pada kasus tanpa
pendarahan spontan maka dapat dilakukan uji turniket.
Kebocoran plasma secara massif akan menyebabkan pasien mengalami syok
hipovolemik. Kondisi ini disebut sindrom syok dengue (SSD). Kapita Selekta
Kedokteran 68-70
Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah
peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke
dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan
tekanan darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini
didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemi. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119. Aryu
Candra
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.
Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti
netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada
umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibody mulai terbentuk
dan pada infeksi sekunder kadar antibody yang telah ada jadi meningkat.
Respon Primer dan Sekunder Infeksi Virus Dengue
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam
hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga dan menghilang
setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh
karena itu kinetik antibody IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder.
Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada
infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa
dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibody IgM setelah
hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan
adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat.
Patofisiologi DBD dan DSS sampai sekarang belum jelas, oleh karena itu
muncul banyak teori tentang respon imun. Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang
memiliki aktivitas netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal antibody
terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel
yang telah terinfeksi virus tersebut melalui aktivitas netralisasi atau aktifasi
komplemen. Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan penderita mengalami
penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus
yang sama, tetapi apabila terjadi antibodi non-netralisasi yang memiliki sifat memacu
replikasi virus, keadaan penderita akan menjadi parah apabila epitope virus yang
masuk tidak sesuai dengan antibody yang tersedia di hospest. Pada infeksi kedua yang
dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda, virus dengue berperan sebagai
super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan
antigen presenting cell (APC) yang membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari mayor histocompatibility complex (MHC).
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfeksi virus dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue
akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus
limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel
monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel
dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk
komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit,
virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif
terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus
lainnya.
Secara invitro, antibodi terhadap virus dengue mempunyai fungsi biologis
yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated
cytotoxity (ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antibodi netralisasi
atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah
infeksi virus dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif
silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan
DSS.
Bagan kejadian infeksi virus dengue
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD atau DSS yang
masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologous infection) dan
antibody dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder
disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus
dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut
mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi
infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologous yang terbentuk pada
infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru
yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks
yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan
memproduksi IL1, IL-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating
factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue.
TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya
cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endotel pembuluh darah
yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Pendapat lain
menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang
farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan. Anak di bawah
usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari ibu
ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akibat adanya
infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak tersebut,
maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah
terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL1, IL6 dan TNF alpha juga PAF.
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibody spesifik terhadap jenis virus
tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi
sebaliknya apabila antibodinya tidak menetralisasi virus, justru akan menimbulkan
penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum
penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.
Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis
DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan
serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat
ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan yang
lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau
kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas system komplemen yang ditandai penurunan
kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48-72% penderita DBD, terbentuk
kompleks imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit,
sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem
imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang
terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6,
IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggung jawab pada terjadinya
syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa
hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue
destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena
infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolik.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD)
dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan
diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x
109/L dan kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh.
Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan
pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling kritis,
dengan kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan peredaran darah.
Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda terdapat
demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket (positif); derajat II yaitu derajat I
ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain, derajat III yang ditandai
adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
(≤20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai ≤80 mmHg), sianosis di sekitar
mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah; serta derajat IV yang
ditandai dengan syok berat ((profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.
Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi
mekanisme patofisiologisnya berbeda dan menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan
utama adalah adanya renjatan yang khas pada DBD yang disebabkan kebocoran
plasma yang diduga karena proses immunologi, pada demam dengue hal ini tidak
terjadi. Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus
yang berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Selama 2
hari akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir setelah lima hari timbul
gejala panas, Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi
sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-
helper akan mengaktifasi sel T sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah
memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis
antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi, antibodi
fiksasi komplemen. Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator
yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise
dan gejala lainnya. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119. Aryu
Candra
Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis:
Demam: awitan akut, tinggi dan bersifat kontinu, berlangsung selama
dua hingga tujuh hari pada kebanyakan kasus;
Adanya tanda-tanda perdarahan, termasuk uji turniket positif, petekie,
purpura (pada lokasi pungsi vena), ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi
dan hematemesis/melena
Temuan hepatomegaly, sering ditemukan pada 90-98% kasus anak;
Tanda-tanda syok: takikardia, perfusi perifer buruk dengan nadi lemah
dan tekanan nadi (pulse pressure; selisih sistolik dan diastolic) < 20
mmHg, atau hipotensi dengan akral dingin, pucat dan tampak lemas.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Trombositopenia (≤100.000/mm3);
Hemokonsentrasi: peningkatan hematokrit ≥20% dari nilai awal atau
rata-rata populasi seusia.
Temuan klinis demam dan tanda-tanda perdarahan, yang disertai
trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk mendiagnosis DBD.
Kapita Selekta Kedokteran
Diagnosis Banding
Penyakit dengan gejala demam akut lainnya, seperti demam tifoid, campak,
influenza, malaria, chikungunya atau leptospirosis. Kapita Selekta
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (sesuaikan dengan perjalanan penyakit): pada hari ke-3
umumnya leukosit menurun atau normal, hematokrit mulai meningkat
(hemokonsentrasi) dan trombositopenia terjadi pada hari 3-7. Pada pemeriksaan
jenis leukosit, ditemukan limfositosis (peningkatan 15%) mulai hari ke-3,
ditandai dengan adanya limfosit atipik.
Uji serologi: uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase
konvalesens
o Infeksi primer. Titer serum akut <1:20 dan serum konvalesens naik 4x
atau lebih tetapi tidak melebihi 1:1280
o Infeksi sekunder. Titer serum akut <1:20 dan serum konvalesens
1:2560; atau serum akut 1:20 dan konvalesens naik 4x atau lebih.
o Tersangka infeksi sekunder yang baru terjadi. Titer serum akut 1:1280,
serum konvalesens dapat lebih besar atau sama.
Pemeriksaan radiologis untuk mendeteksi adanya efusi pleura: Rontgen toraks
posisi right lateral decubitus, USG. Kapita selekta
Tatalaksana
Berdasarkan rekomendasi WHO 2011, prinsip umum terapi dengue ialah
sebagai berikut:
1. Pemberian cairan kristaloid isotonik selama periode kritis, kecuali pada bayi
usia <6 bulan yang disarankan menggunakan NaCl 0.45%;
2. Penggunaan cairan koloid hiperonkotik, misalnya dekstran 40, dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan kebocoran plasma yang berat, dan tidak
ada perbaikan yang adekuat setelah pemberian kristaloid;
3. Jumlah cairan yang dberikan sesuai dengan kebutuhan rumatan (maintenance)
ditambah 5% untuk dehidrasi. Jumlah tersebut hanya untuk menjaga agar
volume intravascular dan sirkulasi tetap adekuat;
4. Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24-48 jam pada
kasus syok. Pada kasus tanpa syok, durasi terapi tidak lebih dari 60-72 jam;
5. Pada pasien obesitas, perhitungan volume cairan sebaiknya menggunakan berat
badan ideal.
6. Pemberian cairan selalu disesuaikan dengan kondisi klinis. Kebutuhan cairan
intravena pada anak berbeda dengan dewasa.
7. Pemberian transfusi trombosit tidak direkomendasikan pada anak. Kapita
Selekta
Manajemen DBD Derajat I dan II (Kasus Non-syok)
Cairan diberikan sejumlah kebutuhan rumatan (untuk 1 hari) + defisit 5% (oral
maupun intravena) selama 48 jam. Sebagai contoh, anak dengan berat badan 20 Kg,
maka defisit 5% = 50 ml/KgBB x 20 Kg = 1000 mL. Kebutuhan rumatan ialah 1500
mL untuk 1 hari. Dengan demikian, total pemberian cairan ialah M + 5% = 2500 mL,
yang diberikan selama 48 jam. Laju infus dapat dilihat pada Tabel. Jumlah cairan
tersebut disesuaikan dengan kondisi klinis, tanda vital, keluaran urin dan kadar
hematokrit.
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut :
Bagan 1. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.
Bagan 2. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%
Bagan 4. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue
Kriteria memulangkan pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml
1. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis)
Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di
Era 2003. Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
Pemantauan
Untuk anak dengan syok:
Petugas medik memeriksa tanda vital anak setiap jam (terutama tekanan nadi)
hingga pasien stabil, dan periksa nilai hematokrit setiap 6 jam. Dokter harus mengkaji
ulang pasien sedikitnya 6 jam.
Untuk anak tanpa syok:
Petugas medis memeriksa tanda vital anak (suhu badan, denyut nadi dan
tekanan darah) minimal empat kali sehari dan nilai hematokrit minimal sekali sehari.
Catat dengan lengkap cairan masuk dan cairan keluar. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Anak , hal 466
Komplikasi
Ensefalopati dengue: edema otak dan alkalosis.
Dapat terjadi baik pada syok maupun tanpa syok.
Kelainan ginjal; akibat syok berkepanjangan.
Edema paru; akibat pemberian cairan berlebihan. Kapita Selekta
Ensefalopati Dengue
Dalam dua dekade terakhir, makin banyak laporan DBD yang disertai gejala
ensefalopati dikemukakan dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik
Barat. Kecuali kejang, gejala ensefalopati lain tidak/jarang menyertai DBD. Dari
beberapa contoh kasus ensefalopati dengue yang dilaporkan, ternyata kadangkala para
dokter sangat terpukau olehkelainan neurologis sehingga apabila tidak waspada,
diagnosis DBD/DSS tidak terpikirkan. Data itu juga memberikan suatu keyakinan
bahwa pada DBD perlu dipikirkan diagnosis banding dengan ensefalitis virus lain.
Contoh kasus ensefalopati dengue memperlihatkan betapa bervariasinya gejala klinis
pasien DBD dan bahwa patokan klinis yang digariskan oleh WHO (1975) tidak selalu
dijumpai. Tingginya persentasi ensefalopati dengue pada golongan umur 1-4 tahun
(yaitu golongan umur tersering terjadinya kejang demam pertama kali) memerlukan
peningkatan kewaspadaan. Oleh karena itu di daerah endemis DBD perlu diperhatikan
(1) pada setiap kasus demam disertai kejang dan pasien dengan diagnosis klinis
ensefalitis perlu dicari kemungkinan adanya manifestasi perdarahan dan (2) sekiranya
pasien jatuh dalam syok kita harus waspada terhadap kemungkinan DSS. Buku
Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis, IDAI
Penatalaksanaan Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati dengue disebabkan atau ditandai oleh ensefalopati
hepatic, karena itu penatalaksanaannya sama dengan tatalaksana ensefalopati hepatic,
yaitu:
- Pertahankan jalan napas dan oksigenasi yang adekuat (terapi oksigen)
- Hindari atau cegah tekanan tinggi intracranial (TTIK) atau atasi bila sudah
terjadi :
Posisikan penderita dengan kepala ditinggikan sekitar 30o
Retriksi cairan tidak boleh >80% kebutuhan cairan rumatan
Ganti ke cairan koloid bila terus terjadi peningkatan nilai hematokrit
Beri diuretika bila terdapat tanda-tanda kelebihan cairan
Segera dilakukan pemasangan pipa endotrakeal untuk menghindari
hiperkarbia
Pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan untuk menurunkan
TTIK, diberikan deksametason dengan dosis 0,15 mg/kgBB/dosis setiap
6-8 jam secara i.v.
- Menurunkan produksi ammonia
- Pertahankan kadar gula darah pada 80-100 mg/dL
- Koreksi gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa
- Berikan vitamin K1 secara i.v. dengan dosis 3 mg untuk anak usia <1 tahun; 5
mg usia 1-5 tahun; dan 10 mg pada usia >5 tahun
- Bila terdapat kejang dapat diberikan antikonvulsi
- Pemberian transfusi darah dianjurkan PRC segar bila terdapat indikasi. Hindari
pemberian transfusi komponen darah karena kelebihan cairan dapat TTIK
- Indikasi pemberian antibiotik empiris bila ada dugaan superinfeksi oleh bakteri
- Obat H2-blocker atau proton pump inhibitor dapat diberikan untuk mengatasi
perdarahan gastrointestinal
- Hindari pemberian obat-obatan lain tanpa indikasi karena akan memperberat
kerja hati
- Pertimbangkan tindakan plasmaferesis atau hemodialisis bila diperlukan
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Edisi ke-5 hal
483-488
Gizi Buruk
Definisi
Malnutrisi atau Gizi Buruk adalah keadaan dimana tubuh tidak mendapat asupan gizi
yang cukup, malnutrisi dapat juga disebut keadaaan yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan di antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi untuk
mempertahankan kesehatan Ini bisa terjadi karena asupan makan terlalu sedikit
ataupun pengambilan makanan yang tidak seimbang. Selain itu, kekurangan gizi dalam
tubuh juga berakibat terjadinya malabsorpsi makanan atau kegagalan metabolik
KEP adalah gangguan gizi yang disebabkan oleh kekurangan protein dan atau kalori,
serta sering disertai dengan kekurangan zat gizi lain. Penyebab KEP dapat dibagi
kepada dua penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi
primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein maupun
energi yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena
kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorpsi dan/atau peningkatan kehilangan
protein maupun energi dari tubuh.
Epidemiologi
Frekuensi
Amerika Serikat
Malnutrisi protein-energi adalah bentuk paling umum dari kekurangan gizi di
antara pasien yang dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat. Sebanyak setengah dari
semua pasien dirawat di rumah sakit memiliki gizi buruk untuk beberapa derajat.
Dalam survei terbaru di rumah sakit anak-anak besar, prevalensi kekurangan gizi
protein-energi akut dan kronis lebih dari satu setengah. Hal ini sangat banyak penyakit
yang terjadi pada abad ke-21 Amerika, dan kasus pada anak 8-bulan-tua di pinggiran
kota Detroit, Mich, dilaporkan pada tahun 2010. [9] kasus tambahan dari kwashiorkor
telah dicatat terjadi di Amerika Amerika. Sebuah laporan yang menarik dari bayi
dengan gambaran klinis meniru sindrom Stevens-Johnson tetapi yang sebenarnya telah
kwashiorkor telah dicatat. [10] Bayi hanya diberi susu beras dapat mengembangkan
kwashiorkor bahkan di Amerika Serikat.
Dalam sebuah survei yang berfokus pada daerah berpenghasilan rendah di
Amerika Serikat, 22-35% dari anak usia 2-6 tahun berada di bawah persentil ke-15
untuk berat badan. Survei lain menunjukkan bahwa 11% dari anak-anak di daerah
berpenghasilan rendah memiliki tinggi badan usia pengukuran di bawah persentil ke-5.
Pertumbuhan yang buruk terlihat pada 10% anak-anak di masyarakat pedesaan.
Dalam rumah sakit orang tua, hingga 55% yang kekurangan gizi. Sampai 85% dari
orang tua dilembagakan yang kekurangan gizi. Penelitian telah menunjukkan bahwa
sampai 50% memiliki asupan vitamin dan mineral yang kurang dari penyisihan diet
yang direkomendasikan dan sampai 30% dari orang tua memiliki tingkat bawah normal
vitamin dan mineral.
Internasional
Pada tahun 2000, WHO [11] Diperkirakan bahwa anak-anak yang kekurangan gizi
berjumlah 181.900.000 (32%) di negara-negara berkembang. Selain itu, diperkirakan
149.600.000 anak-anak muda dari 5 tahun yang kekurangan gizi bila diukur dari segi
berat untuk usia. Di tengah selatan Asia dan timur Afrika, sekitar separuh anak-anak
memiliki keterbelakangan pertumbuhan karena kekurangan gizi protein-energi. Angka
ini 5 kali prevalensi di dunia barat.
Sebuah studi cross-sectional dari remaja Palestina menemukan bahwa 55,66% dari
anak laki-laki dan 64,81% perempuan memiliki asupan energi yang tidak memadai,
dengan asupan protein yang tidak memadai di 15,07% dari anak laki-laki dan 43,08%
perempuan. Tunjangan harian yang direkomendasikan untuk mikro bertemu dengan
kurang dari 80% dari subyek penelitian.
Sekitar 50% dari 10 juta kematian setiap tahun di negara-negara berkembang terjadi
karena kekurangan gizi pada anak-anak muda dari 5 tahun. Pada kwashiorkor,
kematian cenderung menurun sebagai usia onset meningkat.
Ras
Temuan dermatologi tampil lebih signifikan dan lebih sering terjadi di antara orang-
orang berkulit gelap. Temuan ini mungkin dijelaskan dengan prevalensi yang lebih
besar dan peningkatan keparahan kekurangan gizi protein-energi di negara-negara
berkembang dan tidak perbedaan dalam kerentanan rasial.
Usia
Marasmus paling sering terjadi pada anak-anak muda dari 5 tahun. Periode ini ditandai
dengan kebutuhan energi meningkat dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus
dan bakteri. Penyapihan (perampasan ASI dan dimulainya makanan dengan makanan
lain) terjadi selama periode berisiko tinggi ini. Penyapihan sering dipersulit oleh
geografi, ekonomi, kesehatan, kesehatan masyarakat, budaya, dan dietetics. Hal ini
dapat efektif bila makanan diperkenalkan menyediakan nutrisi yang tidak memadai,
ketika makanan dan air yang terkontaminasi, ketika akses ke perawatan kesehatan yang
tidak memadai, dan / atau ketika pasien tidak dapat mengakses atau membeli makanan
yang tepat.
Dalam beberapa penelitian, prevalensi kekurangan gizi protein-energi antara orang tua
diperkirakan setinggi 4% bagi mereka yang tinggal di masyarakat, 50% bagi mereka
yang dirawat di unit perawatan akut atau unit rehabilitasi geriatrik, dan 30-40% bagi
mereka di fasilitas perawatan jangka panjang. Malnutrisi protein-energi juga telah
ditemukan menjadi faktor utama prognosis buruk pada orang tua.
Etiologi
Di seluruh dunia, penyebab paling umum dari kekurangan gizi adalah asupan
makanan yang tidak memadai. Anak usia prasekolah di negara berkembang
seringkali berisiko kekurangan gizi karena ketergantungan mereka pada orang
lain untuk makanan, peningkatan protein dan kebutuhan energi, sistem
kekebalan tubuh yang belum matang menyebabkan kerentanan lebih besar
terhadap infeksi, dan paparan kondisi nonhygienic.
Faktor lain yang signifikan adalah tidak efektif menyapih sekunder
ketidaktahuan, kebersihan miskin, faktor ekonomi, dan faktor budaya. Prognosis
buruk ketika malnutrisi protein-energi terjadi dengan infeksi HIV. Infeksi saluran
pencernaan dapat dan sering endapan protein-energi klinis gizi buruk karena
diare terkait, anoreksia, muntah, peningkatan kebutuhan metabolisme, dan
penurunan penyerapan usus. Infeksi parasit memainkan peran utama di banyak
bagian dunia.
Di negara maju, asupan makanan yang tidak memadai adalah penyebab kurang
umum dari kekurangan gizi; malnutrisi protein-energi yang lebih sering
disebabkan oleh penyerapan menurun atau metabolisme abnormal. Dengan
demikian, di negara maju, penyakit, seperti cystic fibrosis, gagal ginjal kronis,
keganasan masa kanak-kanak, penyakit jantung bawaan, dan penyakit
neuromuskuler, berkontribusi kekurangan gizi. Diet, manajemen yang tidak
pantas alergi makanan, dan penyakit kejiwaan, seperti anoreksia nervosa, juga
dapat menyebabkan parah malnutrisi protein-energi.
Populasi dalam fasilitas baik perawatan akut dan jangka panjang beresiko untuk
menurunkan berat badan yang signifikan secara klinis disengaja (IWL) yang dapat
mengakibatkan malnutrisi protein-energi. IWL didefinisikan sebagai kehilangan
4,5 kg atau lebih besar dari 5% dari berat badan yang biasa selama 6-12 bulan.
Malnutrisi protein-energi terjadi ketika penurunan berat badan lebih besar dari
10% dari berat badan normal terjadi.
Orang-orang tua sering mengembangkan kekurangan gizi, penyebab umum yang
meliputi penurunan nafsu makan, ketergantungan pada bantuan untuk makan,
kognisi terganggu dan / atau komunikasi, posisi yang buruk, penyakit akut sering
dengan kerugian gastrointestinal, obat-obat yang menurunkan nafsu makan atau
meningkatkan kehilangan unsur hara, polifarmasi, penurunan haus respon,
penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi urin, pembatasan cairan disengaja
karena takut inkontinensia atau tersedak jika dysphagic, faktor psikososial
seperti isolasi dan depresi, monoton diet, persyaratan kepadatan nutrisi yang
lebih tinggi, dan tuntutan lain dari usia, penyakit, dan penyakit pada tubuh.
Lansia pasien sering berisiko untuk protein-energi malnutrisi karena gizi yang
tidak memadai, yang telah ditetapkan menjadi faktor komorbid umum untuk
peningkatan morbiditas dan mortalitas pada korban luka bakar tua. [20]
Pasien dengan sirosis hati juga berisiko untuk malnutrisi protein-energi, yang
merupakan faktor risiko yang menandakan prognosis buruk untuk bertahan
hidup. Risiko ini berkorelasi dengan tingkat kerusakan hati dan etiologi luka hati,
dengan risiko malnutrisi protein-energi yang lebih parah pada orang dengan
sirosis alkoholik dibandingkan pada mereka dengan sirosis alkohol.
Pasien hemodialisis jangka panjang juga dapat mengembangkan kekurangan gizi
protein-energi; ini dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas meningkat.
Pasien dengan karsinoma sel skuamosa esofagus beresiko kekurangan gizi
protein-energi.
Operasi bariatrik dapat dikaitkan dengan kwashiorkor iatrogenik.
Klasifikasi
KEP dapat dibagikan kepada tiga tipe yaitu,
Kwashiorkor
marasmus,
dan marasmik-kwashiorkor.
Patofisiologi
Malnutrisi mempengaruhi hampir setiap sistem organ. Protein yang dibutuhkan untuk
menyediakan asam amino untuk sintesis protein tubuh dan senyawa lain yang memiliki
berbagai peran fungsional. Energi sangat penting untuk semua fungsi biokimia dan
fisiologis dalam tubuh. Selanjutnya, mikronutrien penting dalam banyak fungsi
metabolisme dalam tubuh sebagai komponen dan kofaktor dalam proses enzimatik.
Selain gangguan pertumbuhan fisik dan fungsi fisiologis kognitif dan lainnya,
perubahan respon imun terjadi di awal perjalanan malnutrisi yang signifikan pada
anak. Perubahan ini respon imun berkorelasi dengan hasil yang buruk dan meniru
perubahan yang diamati pada anak-anak dengan sindrom defisiensi imun didapat
(AIDS). Kehilangan hipersensitivitas tertunda, limfosit T yang lebih sedikit, gangguan
respon limfosit, gangguan fagositosis sekunder untuk melengkapi dan penurunan
sitokin tertentu, dan penurunan sekresi immunoglobulin A (IgA) adalah beberapa
perubahan yang mungkin terjadi. Perubahan kekebalan predisposisi anak untuk infeksi
berat dan kronis, paling sering, diare menular, yang kompromi lebih lanjut gizi
menyebabkan anoreksia, penurunan penyerapan gizi, peningkatan kebutuhan
metabolisme, dan kerugian nutrisi langsung.
Studi awal anak-anak kurang gizi menunjukkan perubahan di otak berkembang,
termasuk, tingkat melambat dari pertumbuhan otak, berat otak yang lebih rendah,
korteks serebral tipis, penurunan jumlah neuron, cukup myelinization, dan perubahan
di duri dendritik. Baru-baru ini, penelitian neuroimaging telah menemukan perubahan
berat pada aparat tulang belakang dendritik neuron kortikal pada bayi dengan
malnutrisi protein-kalori yang parah. Perubahan ini mirip dengan yang dijelaskan pada
pasien dengan retardasi mental penyebab yang berbeda. Ada belum studi yang pasti
untuk menunjukkan bahwa perubahan ini kausal bukan kebetulan. [5]
Perubahan patologis lainnya termasuk degenerasi lemak pada hati dan jantung, atrofi
usus kecil, dan penurunan volume intravaskular menyebabkan hiperaldosteronisme
sekunder.
Manifestasi Klinik
Secara klinis KEP terdapat dalam 3 tipe yaitu:
1. Kwashiorkor, ditandai dengan: edema, yang dapat terjadi di seluruh tubuh,
wajah sembab dan membulat, mata sayu, rambut tipis, kemerahan seperti
rambut jagung, mudah dicabut dan rontok, cengeng, rewel dan apatis,
pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak merah ke coklatan di
kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis), sering disertai
penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.
2. Marasmus, ditandai dengan: sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit,
wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel, kulit keriput, jaringan lemak
sumkutan minimal/tidak ada, perut cekung, iga gambang, sering disertai
penyakit infeksi dan diare.
3. Marasmus kwashiorkor, campuran gejala klinis kwashiorkor dan marasmus.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamesis : Keluhan yanga sering ditemukan adalah pertumbuhan anak yang
kurang, seperti berat badan yang kurang dibandingkan anak lain (yang sehat). Bisa
juga didapatkan keluhan anak yang tidak mau makan (anoreksia), anak tampak lemas
serta menjadi lebih pendiam, dan sering menderita sakit yang berulang.
2. Pemeriksaan Fisik
Yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik antara lain :
o Perubahan mental sampai apatis
o Edema (terutama pada muka, punggung kaki dan perut)
o Atrofi otot
o Ganguan sistem gastrointestinal
o Perubahan rambut (warna menjadi kemerahan dan mudah dicabut)
o Perubahan kulit (perubahan pigmentasi kulit)
o Pembesaran hati
o Tanda-tanda anemia
3. Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap, urin lengkap, feses lengkap, protein serum (albumin, globulin),
elektrolit serum, transferin, feritin, profil lemak. Foto thorak, dan EKG
Diagnosis Banding
Adanya edema serta ascites pada bentuk kwashiorkor maupun marasmik-kwashiorkor
perlu dibedakan dengan:
- Sindroma nefrotik
- Sirosis hepatis
- Payah jantung kongestif
- Pellagra infantil
Tatalaksana
Setelah evaluasi status gizi anak dan identifikasi etiologi yang mendasari kekurangan
gizi tersebut, intervensi diet bekerjasama dengan ahli diet atau profesional gizi lainnya
harus dimulai. Anak-anak dengan edema harus dinilai dengan hati-hati untuk status
gizi yang sebenarnya karena edema dapat menutupi keparahan kekurangan gizi. Anak-
anak dengan gizi kronis mungkin memerlukan asupan kalori lebih dari 120-150 kkal /
kg / d untuk mencapai berat badan yang tepat. Rumus untuk menentukan asupan kalori
yang memadai adalah:
kkal / kg = (RDA untuk usia X berat badan ideal) / berat aktual
Selain itu, setiap kekurangan mikronutrien harus dikoreksi bagi anak untuk mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang tepat. Kebanyakan anak dengan malnutrisi
ringan merespon peningkatan asupan kalori lisan dan suplemen dengan vitamin, zat
besi, dan suplemen folat. Kebutuhan untuk meningkatkan protein terpenuhi biasanya
dengan meningkatkan asupan makanan, yang, pada gilirannya, meningkatkan protein
dan asupan kalori. Kecukupan asupan ditentukan dengan memantau berat badan.
Sebuah Cochrane Database of Systematic Ulasan studi mencatat bahwa bubuk
mikronutrien (MNPs), yang paket dosis tunggal yang mengandung beberapa vitamin
dan mineral dalam bentuk bubuk untuk taburan ke makanan semipadat, secara efektif
dapat mengurangi anemia dan kekurangan zat besi pada anak usia 6-23 bulan .
Sementara manfaat intervensi ini sebagai strategi bertahan hidup atau hasil
perkembangan tidak jelas, penggunaan MNP adalah mungkin sebanding dengan
suplementasi zat besi setiap hari dan lebih baik daripada plasebo atau tanpa intervensi.
[9]
Pada kasus ringan sampai sedang kekurangan gizi, penilaian awal dan intervensi gizi
dapat dilakukan dalam pengaturan rawat jalan. Seorang pasien dengan malnutrisi
mungkin memerlukan rawat inap berdasarkan pada tingkat keparahan dan
ketidakstabilan situasi klinis. Rawat inap pasien dengan dugaan malnutrisi sekunder
untuk mengabaikan memungkinkan pengamatan interaksi antara orangtua / pengasuh
dan anak dan dokumentasi asupan dan makan kesulitan yang sebenarnya. Hal ini juga
dapat dibenarkan dalam kasus di mana dehidrasi dan asidosis menyulitkan gambaran
klinis. Dalam kasus sedang sampai parah kekurangan gizi, suplementasi enteral
melalui menyusui tabung mungkin diperlukan.
Prosedur tetap pengobatan dirumah sakit:
1. Prinsip dasar penanganan 10 langkah utama (diutamakan penanganan kegawatan)
1.1. Penanganan hipoglikemi
1.2. Penanganan hipotermi
1.3. Penanganan dehidrasi
1.4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
1.5. Pengobatan infeksi
1.6. Pemberian makanan
1.7. Fasilitasi tumbuh kejar
1.8. Koreksi defisiensi nutrisi mikro
1.9. Melakukan stimulasi sensorik dan perbaikan mental
1.10 Perencanaan tindak lanjut setelah sembuh
2. Pengobatan penyakit penyerta
1) Defisiensi vitamin A
Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan 14
atau sebelum keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya keadaan klinis
diberikan vit. A dengan dosis :
umur > 1 tahun : 200.000 SI/kali
umur 6 – 12 bulan : 100.000 SI/kali
umur 0 – 5 bulan : 50.000 SI/kali
Bila ada ulkus dimata diberikan:
Tetes mata khloramfenikol atau salep mata tetrasiklin, setiap 2-3 jam
selama 7-10 hari
Teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kali sehari selama 3-5 hari
Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali
2) Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya: hipo/hiperpigmentasi, deskwamasi (kulit
mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering
disertai infeksi sekunder, antara lain oleh Candida.
Tatalaksana:
kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KMnO4 (K-
permanganat) 1% selama 10 menit
beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor)
usahakan agar daerah perineum tetap kering
umumnya terdapat defisiensi seng (Zn): beri preparat Zn peroral.
3) Parasit/cacing
Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat
antihelmintik lain.
4. Diare melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan
umum. Berikan formula bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa
usus dan Giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila
mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri: Metronidasol 7.5
mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.
5. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/Mantoux (seringkali
alergi) dan Ro-foto toraks. Bila positip atau sangat mungkin TB, diobati
sesuai pedoman pengobatan TB.
3. Tindakan kegawatan
1. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit
membedakan keduanya secara klinis saja.
Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian
cairan intravena, sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati
terhadap terjadinya overhidrasi.
Pedoman pemberian cairan :
Berikan larutan Dekstrosa 5%: NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer
dengan kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam
pertama.
Evaluasi setelah 1 jam:
Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan)
dan status hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan
seperti di atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan dengan
pemberian Resomal/pengganti, per oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam
selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula khusus
(F-75/pengganti).
Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik. Dalam hal
ini, berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan
transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3
jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F-75/pengganti).
2. Anemia berat
Transfusi darah diperlukan bila:
Hb < 4 g/dl
Hb 4-6 g/dl disertai distress pernapasan atau tanda gagal jantung
Transfusi darah:
Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.
Bila ada tanda gagal jantung, gunakan ’packed red cells’ untuk
transfusi dengan jumlah yang sama.
Beri furosemid 1 mg/kgBB secara IV pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila
pada anak dengan distres napas setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau
antara 4-6 g/dl, jangan diulangi pemberian darah.
Prognosis
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering
disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara
kematiankarena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung
dari stadium saatpengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun
kelihatannyapengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak
dapat dihindari,mungkin disebabkan perubahan yang irreversibel dari sel-sel
tubuh