BAB I

105
BAB I PENDAHULUAN BAB II LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Pasien anak bernama R, umur 10 bulan 9 hari, jenis kelamin perempuan, beralamat Bakunglor, Kabupaten Cirebon. Pasien masuk ke IGD RS Arjawinangun pada tanggal 27 Mei 2015 jam 18.40. Pasien merupakan anak dari tuan M, berumur 23 tahun bekerja sebagai petani dengan pendidikan terakhir sekolah dasar dan ibu pasien bernama nyonya S, berumur 21 tahun dengan pendidikan terakhir pada sekolah dasar bekerja sebagai ibu rumah tangga. ANAMNESIS Alloanamnesis dilakukan pada ibu pasien pada 27 Mei 2015 jam 18.40 WIB Dari anamnesis lebih lanjut diperoleh keterangan bahwa pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan kejang sebanyak satu kali selama 30 menit pada seluruh badan. Sebelum terjadi kejang, terdapat demam pada siang

description

fdjhgfeuf

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB IPENDAHULUAN

BAB IILAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Pasien anak bernama R, umur 10 bulan 9 hari, jenis kelamin perempuan, beralamat

Bakunglor, Kabupaten Cirebon. Pasien masuk ke IGD RS Arjawinangun pada tanggal

27 Mei 2015 jam 18.40. Pasien merupakan anak dari tuan M, berumur 23 tahun bekerja

sebagai petani dengan pendidikan terakhir sekolah dasar dan ibu pasien bernama

nyonya S, berumur 21 tahun dengan pendidikan terakhir pada sekolah dasar bekerja

sebagai ibu rumah tangga.

ANAMNESIS

Alloanamnesis dilakukan pada ibu pasien pada 27 Mei 2015 jam 18.40 WIB

Dari anamnesis lebih lanjut diperoleh keterangan bahwa pasien datang ke IGD RSUD

Arjawinangun dengan keluhan kejang sebanyak satu kali selama 30 menit pada seluruh

badan. Sebelum terjadi kejang, terdapat demam pada siang hari. Riwayat kejang

sebelumnya disangkal. Terdapat muntah sebanyak satu kali berupa isi makanan. Pasien

menyangkal pernah berobat sebelum datang ke rumah sakit.

Berdasarkan informasi lebih lanjut, pasien belum pernah memiliki riwayat penyakit

selain batuk dan demam. Orang tua pasien menyangkal keluarga pasien memiliki

riwayat kejang seperti pasien. Pasien merupakan anak pertama dari orangtuanya.

Page 2: BAB I

Dalam keterangan lebih lanjut, selama kehamilan, ibu pasien rutin kontrol ke bidan.

Pada saat persalinan anak dilahirkan pada umur 9 bulan, pervaginam, di rumah sakit

dengan berat lahir 2800 gr dan panjang badan 48 cm tanpa penyulit.

Pasien diberikan Air Susu Ibu (ASI) sejak lahir. Pasien sempat diberikan susu Vidoran

Smart saat 5 hari setelah lahir. Susu dihentikan setelah dua bulan dan digantikan

menggunakan ASI. Pasien kemudian diberikan ASI hingga saat ini dan diberikan

setiap 15 menit sekali. Menurut keterangan ibu pasien sejak berusia 0-1 bulan pasien

lebih banyak tidur dan mulai menangis. Pada usia 3 bulan, pasien dapat duduk dan

memgang barang. Pada usia 6 bulan, pasien sudah dapat memanggil “mama”, “papa”.

Sementara pada usia 7 bulan, pasien dapat berjalan sambil dipegang. Pada usia 8 bulan,

pasien dapat merangkak. Dari usia 9 bulan hingga 10 bulan, pasien menjadi lebih aktif

bergerak.

Berdasarkan keterangan tambahan dari ayah dan ibu pasien, pasien tinggal bersama

ayah dan ibunya. Ayahnya seorang petani dan ibunya seorang ibu rumah tangga

dengan penghasilan tidak tentu setiap harinya. Tinggal di rumah dengan ukuran 13x6

m2, 2 kamar, ventilasi dan cahaya cukup, KM dan WC diluar rumah berupa jamban

dengan jarak 100 m dari rumah. Air berasal dari PAM dan keluarga biasanya mandi

menggunakan air sumur.

PEMERIKSAAN FISIK

A. Pemeriksaan umum

Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit sedang dengan

kesadaran composmentis, tanda vital pasien ditemukan suhu 39,1oC, nadi 80

kali per menit, pernapasan 24 kali per menit. Berat badan 6,5 kg dan panjang

badan 70 cm.

Page 3: BAB I

Status gizi pada pasien ini dilihat dari berat badan atas dibandingkan

dengan umur. Badan terlihat kurus. Berdasarkan kurva Center of Disease

Control (CDC) :

BB aktual × 100 %BB baku untuk TB aktual

=6,5kg ×100 %10 kg

=65 %

Kesimpulan status gizi pasien ini adalah gizi buruk.

B. Pemeriksaan khusus Pada pemeriksaan khusus didapatkan kulit pasien berwarna sawo matang, tidak

ada sikatrik, tidak tampak ikterus dan tidak ada petekie. Bentuk kepala normal,

rambut hitam, tidak mudah dicabut. Bentuk bola mata kanan kiri normal,

palpebra superior dan inferior tidak edema, kedudukan kedua bola mata dan

bentuk alis mata kanan dan kiri simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak

ikterik, kornea jernih, pupil bulat isokor diameter 3 mm, refleks cahaya positif.

Telinga bentuk normal, simetris kanan dan kiri, dan tak tampak serumen.

Bentuk hidung simetris, deviasi septum tidak ada, secret tidak ada. Bentuk

mulut tidak ada kelainan. Bibir merah dan tidak kering, sianosis tidak ada, tidak

ada tremor. Tonsil T1-T1, tenang, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis.

Leher tidak ada kelainan, kelenjar getah bening tidak teraba membesar, trakea

ditengah.

Pada pemeriksaan torak didapatkan inspeksi, bentuk dada normal, simetris

dalam keadaan statis dan dinamis. Pada pemeriksaan palpasi didapatkan fremitus

vokal dan taktil simetris kanan dan kiri, tidak ada krepitasi, tidak ada fraktur dan

tidak ada massa. Pada pemeriksaan perkusi tidak dilakukan, sedangkan hasil dari

pemeriksaan auskultasi suara nafas vesikular dikedua hemithoraks, dan tidak

ditemukan ronki serta wheezing pada paru-paru kanan dan kiri. Pada pemeriksaan

palpasi teraba pulsasi iktus kordis. Pada pemeriksaan perkusi tidak dilakukan,

Page 4: BAB I

sedangkan pada pemeriksaan auskultasi terdengar bunyi jantung I-II regular, tidak

ada murmur dan gallop.

Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan inspeksi abdomen cembung dan

tidak tampak gambaran vena kolateral. Pada auskultasi terdengar bising usus

normal. Pada pemeriksaan perkusi terdengar timpani diseluruh lapang abdomen,

tidak ditemukan adanya shifting dullness. Pada palpasi teraba supel. Nyeri tekan

tidak ada, nyeri lepas tidak ada, dan tidak terdapat undulasi.

Pada pemeriksaan genitalia eksterna, tampak jenis kelamin perempuan,

tidak hiperemis, tidak keluar sekret. Pada pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah

didapatkan akral hangat, tidak terdapat edema. Sianosis tidak terlihat pada

keempat ekstremitas serta terdapat hemiparesis bagian tubuh kanan. Pada

pemeriksaan lebih lanjut tidak ditemukan refleks patologis maupun tanda rangsang

meningeal.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 27 Mei 2015 pukul 19.03 WIB ditemukan

kadar leukosit 12.65, hemoglobin 11.8, hematokrit 34.6, MCV 67.3, MCH 23.0 dan

trombosit 167.000.

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 29 Mei 2015 pukul 09.00 WIB ditemukan

kadar leukosit 4.17, hemoglobin 11.1, hematokrit 33.4, MCV 68.9, MCH 22.9 dan

trombosit 70.000.

Pada pemeriksaan laboratorium urin rutin 29 Mei 2015, ditemukan warna urin kuning,

pH 5, berat jenis 1.005, nitrit negatif, protein negatif, glukosa negatif, keton negatif,

bilirubin negatif, urobilinogen negatif, darah samar negatif. Sedimen leukosit

Page 5: BAB I

ditemukan (+) 1-2, eritrosit (+) 0-2, epitel (+) 3-5. Kristal, bakteri, jamur serta silinder

hasilnya negatif.

Pada pemeriksaan EEG 30 Mei 2015, ditemukan kesan fokus epileptogenik pada regio

frontal kanan serta disfungsi kortikal di regio fronto-parieta-temporal.

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 3 Juni 2015 pukul 09.00 WIB ditemukan

kadar leukosit 7.3, hemoglobin 10.0, hematokrit 31.1, MCV 67.2, MCH 21.6 dan

trombosit 62.000.

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 3 Juni 2015 pukul 18.38 WIB ditemukan

kadar leukosit 8.4, hemoglobin 10.3, hematokrit 31.7, MCV 66.6, MCH 21.6 dan

trombosit 92.000.

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 4 Juni 2015 pukul 08.17 WIB ditemukan

kadar leukosit 6.88, hemoglobin 10.7, hematokrit 31.4, MCV 67.4, MCH 22.8 dan

trombosit 115.000.

Pada pemeriksaan serologi Dengue 4 Juni 2015 pukul 09.57, IgG Dengue Blot negatif

dan IgM Dengue Blot positif.

Pada pemeriksaan fungsi hati 4 Juni 2015 pukul 10.33, albumin sejumlah 3.51, SGOT

87 dan SGPT 34.

RESUME

Pasien anak bernama R, umur 10 bulan 9 hari, jenis kelamin perempuan masuk ke

IGD RS Arjawinangun pada tanggal 27 Mei 2015 jam 18.40 dengan keluhan kejang

sebanyak satu kali selama 30 menit pada seluruh badan. Sebelum terjadi kejang,

terdapat demam pada siang hari. Riwayat kejang sebelumnya disangkal. Terdapat

muntah sebanyak satu kali berupa isi makanan. Keadaan umum pasien tampak sakit

sedang dengan kesadaran composmentis, tanda vital pasien ditemukan suhu 39,1oC,

Page 6: BAB I

nadi 80 kali per menit, pernapasan 24 kali per menit. Berat badan 6,5 kg dan panjang

badan 70 cm. status gizi pasien ini adalah gizi buruk.

Pada pemeriksaan laboratorium urin rutin 29 Mei 2015, ditemukan warna urin kuning,

pH 5, berat jenis 1.005, nitrit negatif, protein negatif, glukosa negatif, keton negatif,

bilirubin negatif, urobilinogen negatif, darah samar negatif. Sedimen pada leukosit (+)

1-2, eritrosit (+) 0-2, epitel (+) 3-5. Kristal, bakteri, jamur serta silinder hasilnya

negatif.

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 3 Juni 2015 pukul 09.00 WIB ditemukan

kadar leukosit 7.3, hemoglobin 10.0, hematokrit 31.1, MCV 67.2, MCH 21.6 dan

trombosit 62.000.

Pada pemeriksaan EEG 3 Juni 2015, ditemukan kesan fokus epileptogenik pada regio

frontal kanan serta disfungsi kortikal di regio fronto-parieta-temporal. Pada

pemeriksaan serologi Dengue 4 Juni 2015 pukul 09.57, IgG Dengue Blot negatif dan

IgM Dengue Blot positif. Pada pemeriksaan fungsi hati 4 Juni 2015 pukul 10.33,

albumin sejumlah 3.51, SGOT 87 dan SGPT 34.

DIAGNOSIS

Epilepsi dengan Dengue Haemorrhagic Fever disertai Gizi Buruk

TATALAKSANA

Pasien ini diberikan RL 7 tpm, Ikalep 2 x 1 cc, Diazepam 2 mg bila diperlukan, antrain

3 x 20 mg dan ranitidin 2 x10 mg.

Pemeriksaan penunjang yang direncanakan adalah pemeriksaan laboratorium darah

rutin, urin rutin, EEG, serologi Dengue Blot dan fungsi hati.

Page 7: BAB I

PEMANTAUAN

Tanggal 28 Mei 2015

Pasien mengalami kejang pertama kali selama 30 menit sebelum dibawa ke rumah

sakit. Setelah kejang, pasien sadar. Terdapat demam sebelum kejang.Pasien juga

mengalami batuk dan pilek. Pasien tidak mengalami mual dan muntah. Pasien belum

BAB semenjak 1 hari SMRS. Nafsu makan dan minum baik. Keadaan umum pasien

tampak baik, kesadaran komposmentis, tekanan darah 70/50 mmHg, frekuensi nadi

112 x/menit, isi cukup dan teratur, frekuensi nafas 36 x/menit, suhu 39.1oC. Pada

pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak terdapat

konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran kelenjar

getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak terdapat

murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks, terdapat rhonki

dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising usus positif

normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan. Keempat

ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 27 Mei 2015 pukul 19.03 WIB ditemukan

kadar leukosit 12.65, hemoglobin 11.8, hematokrit 34.6, MCV 67.3, MCH 23.0 dan

trombosit 167.000.

Diagnosa kerja pasien ini adalah Kejang Demam Kompleks. Pasien diberikan KAEN

1B 10 tetes per menit mikro, Diazepam 2 mg bila perlu, Antrain 3 x 20 mg, Ranitidin 2

x 20 mg.

Tanggal 29 Mei 2015

Pasien tidak mengalami kejang lagi. Tidak ada muntah, pilek dan batuk.

Terdapat riwayat jatuh dari tempat tidur tiga kali. Keadaan umum pasien tampak

Page 8: BAB I

baik, kesadaran komposmentis, tekanan darah 80/50 mmHg, frekuensi nadi 110

x/menit, isi cukup dan teratur, frekuensi nafas 20x/menit, suhu 36,80C.

Pada pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak

terdapat konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran

kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak

terdapat murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks,

terdapat rhonki dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising

usus positif normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.

Keempat ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 29 Mei 2015 pukul 09.00 WIB ditemukan

kadar leukosit 4.17, hemoglobin 11.1, hematokrit 33.4, MCV 68.9, MCH 22.9 dan

trombosit 70.000.

Diagnosa kerja pasien ini adalah Kejang Demam Kompleks. Pasien diberikan KAEN

1B 10 tetes per menit mikro, Diazepam 2 mg bila perlu, cefotaxim 2 x 350 mg, Antrain

3 x 0,15 cc. Pasien dipersiapkan untuk melakukan darah rutin ulang, urin rutin, fungsi

hati dan EEG.

Tanggal 30 Mei 2015

Pasien tidak mengalami kejang lagi. Tidak ada muntah, pilek dan batuk. BAB

dan BAK normal. Terdapat demam naik turun terutama malam hari. Keadaan umum

pasien tampak baik, kesadaran komposmentis, tekanan darah 90/60 mmHg,

frekuensi nadi 116 x/menit, isi cukup dan teratur, frekuensi nafas 28x/menit,

suhu 37,70C.

Pada pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak

terdapat konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran

Page 9: BAB I

kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak

terdapat murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks,

terdapat rhonki dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising

usus positif normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.

Keempat ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.

Pada pemeriksaan laboratorium urin rutin 29 Mei 2015, ditemukan warna urin kuning,

pH 5, berat jenis 1.005, nitrit negatif, protein negatif, glukosa negatif, keton negatif,

bilirubin negatif, urobilinogen negatif, darah samar negatif. Sedimen pada leukosit (+)

1-2, eritrosit (+) 0-2, epitel (+) 3-5. Kristal, bakteri, jamur serta silinder hasilnya

negatif.

Diagnosa kerja pasien ini adalah KDK. Pasien diberikan KAEN 1B 10 tetes per menit

mikro, Diazepam 2 mg bila perlu, cefotaxim 2 x 350 mg, Antrain 3 x 0,15 cc. Pasien

dipersiapkan untuk melakukan darah rutin ulang dan EEG.

Tanggal 1 Juni 2015

Pasien tidak mengalami kejang lagi. Terdapat keluhan demam naik turun.

Tidak ada muntah, pilek dan batuk. BAB dan BAK normal. Keadaan umum pasien

tampak baik, kesadaran komposmentis, tekanan darah 100/70 mmHg, frekuensi

nadi 112 x/menit, isi cukup dan teratur, frekuensi nafas 32x/menit, suhu 37,30C.

Pada pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak

terdapat konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran

kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak

terdapat murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks,

terdapat rhonki dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising

Page 10: BAB I

usus positif normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.

Keempat ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.

Terdapat hasil EEG menunjukkan fokus epileptogenik di regio frontal kanan. Terdapat

disfungsi kortiak di regio fronto-parietal-temporal.

Diagnosa kerja pasien ini adalah Epilepsi. Pasien diberikan Ikalep 2 x 1 cc, KAEN 1B

10 tetes per menit mikro, Diazepam 2 mg bila perlu, cefotaxim 2 x 350 mg, Antrain 3 x

0,15 cc. Pasien dipersiapkan untuk melakukan darah rutin ulang, serologi Dengue Blot

dan fungsi hati.

Tanggal 3 Juni 2015

Pasien tidak mengalami kejang lagi. Tidak ada muntah, pilek dan batuk. BAB

dan BAK normal. Keadaan umum pasien tampak baik, kesadaran komposmentis,

tekanan darah 100/70 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit, isi cukup dan teratur,

frekuensi nafas 40x/menit, suhu 37,10C.

Pada pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak

terdapat konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran

kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak

terdapat murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks,

terdapat rhonki dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising

usus positif normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.

Keempat ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.

Terdapat hasil EEG menunjukkan fokus epileptogenik di regio frontal kanan. Terdapat

disfungsi kortiak di regio fronto-parietal-temporal.

Page 11: BAB I

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 3 Juni 2015 pukul 09.00 WIB ditemukan

kadar leukosit 7.3, hemoglobin 10.0, hematokrit 31.1, MCV 67.2, MCH 21.6 dan

trombosit 62.000.

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 3 Juni 2015 pukul 18.38 WIB ditemukan

kadar leukosit 8.4, hemoglobin 10.3, hematokrit 31.7, MCV 66.6, MCH 21.6 dan

trombosit 92.000.

Diagnosa kerja pasien ini adalah Epilepsi dengan DHF grade I. Pasien diberikan Ikalep

2 x 1 cc, KAEN 1B 10 tetes per menit mikro, Diazepam 2 mg bila perlu, cefotaxim 2 x

350 mg, Antrain 3 x 0,15 cc. Pasien dipersiapkan untuk melakukan darah rutin ulang,

serologi Dengue Blot dan fungsi hati.

Tanggal 4 Mei 2015

Pasien tidak mengalami kejang lagi. Tidak ada muntah, pilek dan batuk. BAB

dan BAK normal. Keadaan umum pasien tampak baik, kesadaran komposmentis,

tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 100/60x/menit, isi cukup dan

teratur, frekuensi nafas 36x/menit, suhu 36,80C.

Pada pemeriksaan fisik kepala normochepal, pada pemeriksaan mata tidak

terdapat konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak ada pembesaran

kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan jantung BJI-BJII normal reguler, tidak

terdapat murmur dan tidak ada gallop. Pulmonal vesikuler dikedua hemitoraks,

terdapat rhonki dan wheezing di kedua lapangan paru. Abdomen datar lembut, bising

usus positif normal, dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.

Keempat ekstremitas teraba akral hangat dan tidak ada edema, tidak hemiparesis.

Page 12: BAB I

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi 4 Juni 2015 pukul 08.17 WIB ditemukan

kadar leukosit 6.88, hemoglobin 10.7, hematokrit 31.4, MCV 67.4, MCH 22.8 dan

trombosit 115.000.

Pada pemeriksaan serologi Dengue 4 Juni 2015 pukul 09.57, IgG Dengue Blot negatif

dan IgM Dengue Blot positif. Pada pemeriksaan fungsi hati 4 Juni 2015 pukul 10.33,

albumin sejumlah 3.51, SGOT 87 dan SGPT 34.

Diagnosa kerja pasien ini adalah Epilepsi dengan DHF grade I fase penyembuhan.

Pasien diberikan Ikalep 2 x 1 cc. Pasien diperbolehkan pulang.

Page 13: BAB I

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

EPILEPSI

Definisi

International Leauge Against Epilepsy (ILAE) mendefinisikan epilepsi sebagai

penyakit otak dengan kondisi berikut: (1) setidaknya dua kejang yang tidak

terprovokasi (atau refleks) yang terjadi terpisah lebih dari 24 jam; (2) satu kejang tidak

terprovokasi (atau refleks) dan sebuah kemungkinan kejang berikutnya serupa dengan

resiko kembali umum (setidaknya 60%) setelah dua kejang tidak terprovokasi, terjadi

lebih dari 10 tahun berikutnya. (3) diagnosa sindroma epilepsi (berdasarkan

pemeriksaan elekroenselfalografi).1

Epilepsi dianggap dapat disembuhkan pada individu yang telah memiliki sindroma

epilepsi bergantung pada umur dan juga telah melewati usia sesuai atau telah bebas

kejang selama lebih 10 tahun dan tidak menggunakan obat anti kejang setidaknya

selama 5 tahun.1

Epidemiologi

Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak,

menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh-

kembang, dan menentukan kualitas hidup anak sehingga membuthkan koordinasi

penanganan tertentu. Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara

dengan variasi yang luas, sekitar 4—6 per 1000 anak, tergantung pada desain

penelitian dan kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000

Page 14: BAB I

—1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap

tahun dan diperkirakan 40—50% terjadi pada anak-anak.2

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi menderita epilepsi,

tetapi tidak ditemukan perbedaan ras. Angka kejadian lebih banyak pada laki-laki,

serupa dengan penelitian di Turki didapatkan 59,3% laki-laki, sebagai faktor risiko

terjadinya epilepsi. Usia <2 tahun adalah kelompok usia dengan insidens tertinggi.2

Etiologi

Kejang pada epilepsi adalah kejadian kejang yang disebabkan oleh discharge

elektrisitas neuron yang tersebar luas, tersikronisasi secara abnormal dan terlokalisir.

Bangkitan kejang atau serangan epilepsi dapat dicetuskan oleh inaktivitas sinaps

inhibisi, atau oleh stimulasi berlebihan pada sinaps eksitasi; atau oleh perubahan pada

keseimbangan neurotransmiter-palsu yang memblokade aksi neurotransmiter alamiah.

Turunnya ambang kejang mungkin diakibatkan oleh perubahan konsentrasi ion dalam

cairan tubuh. Depolarisasi mungkin merupakan refleks dari kegagalan pompa ion, yang

dapat disebabkan karena kurangnya pasokan energi pada keadaan hipoglikemi, anoksia

atau gangguan metabolik lainnya.3,4

Tiap kelainan yang menganggu fungsi otak dapat mengakibatkan bangkitan epilepsi

atau bangkitan kejang. Tiap kelainan di otak dapat merupakan salah satu sebab

bangkitan epilepsi. Dikatakan salah satu, karena untuk terjadi bangkitan epilepsi

dibutuhkan beberapa faktor yang berperan bersama-sama. Beberapa faktor bertindak

serempak secara sinergistik dalam mencetuskan bangkitan epilepsi pada individu yang

peka.4

Berdasarkan etiologinya, epilepsi dapat terbagi menjadi empat kategori utama:5

Page 15: BAB I

1. Epilepsi idiopatik: merupakan epilepsi yang di predominasi oleh genetik atau

dugaan gen tertentu dimana tidak ditemukan abnormalitas neuroanatomi atau

neuropatologi. Epilepsi idiopatik terdiri dari epilepsi yang diduga turunan multigen

atau kompleks.

2. Epilepsi simtomatis: merupakan epilepsi yang akibat penyebab yang didapat atau

disebabkan oleh genetik, memiliki kelainan anatomi atau patologis dan/atau gejala

klinis, mengindikasikan penyakit atau kondisi utama. Katogori ini terdiri dari kelainan

kongenital, perkembangan yang dikaitkan dengan perubahan patologis serebral baik

genetik atau didapat. Kelainan gen tunggal atau genetik lainnya dimana epilepsi hanya

salah satu gejala klinis dari fenotipe luas dengan efek sistemik dan serebral lainnya.

3. Epilepsi terprovokasi: epilepsi dengan faktor sistemik atau lingkungan spesifik dan

merupakan penyebab utama dari kejang dan tidak ada perubahan yang tampak pada

neuroanatomik atau neuropatologis. Beberapa epilepsi terprovokasi memiliki dasar

genetik dan didapat, namun tidak banyak ditemukan penyebab turunan. Refleks

epilepsi dapat dimasukkan dalam kategori ini (yang biasanya genetik) begitu pula

epilepsi dengan presipitan kejang tertandai.

4. Epilepsi kriptogenik: epilepsi yang diangap simtomatis namun penyebabnya belum

dapat teridentifikasikan.

Seseorang dengan riwayat kejang demam memiliki resiko tinggi epilepsi yang akan

berlangsung hingga dewasa. Selain itu riwayat kejang serta epilepsi pada keluarganya,

serebral palsy dan skor APGAR rendah pada 5 menit, riwayat cedera otak, komplikasi

persalinan merupakan faktor resiko terjadinya epilepsi setelah kejang demam.6

Patofisiologi

Page 16: BAB I

Paroxysmal Depolarization Shift (PDS) adalah fenomena selular patofisiologis yang

mendasari tiap tipe kejang epilepsi dan abnormalitas interiktal epileptiform

electroencephalography (EEG) berupa “spikes” atau “paku”. PDS adalah kejadian

selular yang mana potensial aksi berulang cepat tidak diikuti dengan periode refraktori,

sehingga mengakibatkan depolarisasi membran berkepanjangan melebihi respon yang

biasanya terjadi pada eksitatori normal pada potensial postsinaps.3

Ketika PDS terjadi, terjadi peningkatan konsentrasi glutamat yang dihubungkan

dengan influks kation, diikuti dengan peningkatan konsentrasi GABA dengan efluks

potasium. Ketika PDS pada banyak sel saraf tersinkronisasi untuk lebih dari 200

ms(Gambar 3.1), potensial elektrisitas ini dapat terlihat sebagai spike-wave atau

kompleks paku-gelombang yang terekam pada makroelektroda. Ketika PDS berulang

terjadi pada banyak neuron menjadi tersinkronisasi pada beberapa detik atau lebih,

kejang elektrografis terjadi. 3

Gambar 3.1: Paroxysmal Depolarization Shift

Sumber: Epilepsy Board Review Manual

Kecenderungan sebuah neuron untuk memasuki status patologis PDS umum dapat

didasarkan pada disfungsi kanal ion pada channelopathies yang ditentukan melalui

genetik, atau mekanisme ekstrinsik seperti konsentrasi neurotransmitter inhibitor yang

tidak cukup atau paparan berlebihan pada konsentrasi asam amino eksitatori atau

Page 17: BAB I

eksitotoksin eksogenous. Namun, sekelompok besar neuron harus menghasilkan PDS

secara serentak untuk menjadi episode kejang. 3

Pada model eksperimental dari epilepsi umum, penyebaran sinkronisasi epileptic PDS

interiktal dan iktal didasari oleh sinkronisasi intrathalamus yang menggerakkan jalur

thalamokortikal neuron untuk mengsinkronisasikan discharge neuron korteks

bihemisfer. Pada model kejang fokal, terjadi mekanisme sinkronisasi intrakortikal

dalam discharge iktal. Terdapat bukti bahwa pada beberapa epilepsi memiliki

channelopathies intuk menginisasikan PDS pada salah satu sel neuron dan

menghasilkan kejang-kejang melalui mekanisme normal sinkronisasi interneuronal. 3

Klasifikasi

Pemahaman terhadap klasifikasi kejang epilepsi merupakan langkah awal untuk

diagnosis, terapi dan prognosis tepat dari kondisi individu dengan epilepsi. Kejang tipe

tertentu atau sindroma seringkali merespon lebih baik pada medikasi atau tindakan

bedah tertentu. 7

Berdasarkan ILAE 2010, kejang dapat digolongkan menjadi beberapa tipe:3

1. Kejang fokal

Kejang fokal atau sebagian dapat terbagi menjadi simpleks dan kompleks, yang

ditandai dengan terdapat atau tidaknya gangguan kesadaran. Kejang fokal simpleks

tidak terjadi penurunan kesadaran, sementara kejang fokal kompleks memiliki

penurunan kesadaran. Kejang fokal memiliki gejala klinis dengan berbagai bentuk,

tergantung pada area korteks mana yang terlibat pada onset dan penyebaran discharge

iktal. Kejang sebagian berasal dari area fokal pada korteks serebal dan dapat menyebar

pada regio kortikal secara unilateral atau bilateral. Kejang fokal dapat memiliki

Page 18: BAB I

manifestasi klinis dengan gejala motorik, autonomis, somatosensorik atau sensorik

spesial dan psikis. 7

1.1 Kejang Fokal Simpleks

Kejang fokal motorik dapat berasal dari girus presentralis atau menyebar ke girus

presentralis dari daerah korteks sebelahnya. Mereka dapat selalu fokal, menyebabkan

aktivitas klonik pada tangan kanan, contohnya, atau menyebar melibatkan berbagai

area motorik homunculus. Kejang ini disebut Jacksonian seizure dan sering

menyebabkan aktivitas klonik berasal dari tangan dan menyebar ke lengan ipsilateral,

bahu, muka dan kaki. Setelah kejang fokal motorik, kelemahan post iktal (Todd’s

paralysis) dapat berlangsung dari menit ke jam. Kejang fokal simpleks dapat memiliki

gejala otonom seperti muntah, berkeringat, piloereksi, dilasi pupil, muka pucat,

flushing, borborygmi, dan inkontinesia. 7

1.2 Kejang fokal kompleks

Kejang fokal kompleks adalah kejang fokal dengan penurunan kesadaran. Mereka

dapat dimulai dengan kejang fokal simpleks dengan aura dan berkembang menjadi

kejang fokal kompleks. Kejang ini dapat memiliki atau tidak gejala otonom. Gejala

klinis bergantung pada daerah yang dipengaruhi aktivitas elektrik abnormal. Kejang

fokal kompleks dapat berasal dari lobus frontal, temporal namun terkadang berasal dari

lobus parietal atau oksipital.7

2. Kejang Umum

2.1 Kejang tonik-klonik

Kejang tonik-klonik dapat disebut sebagai kejang grand mal, dikarakteristik oleh

hilang kesadaran cepat diikuti oleh kontraksi tonik pada otot. Hal ini menyebabkan

tangis ictal dimana udara dipaksa terekspirasi melawan glottis yang tertutup. Mulut

akan ditutup secara paksa sehingga mengakibatkan gigit lidah. Pupil menjadi terdilatasi

Page 19: BAB I

dan mata memicing ke atas. Ekstremitas ata selalu abduksi dan fleksi secara simetris

pada siku sementara ekstremitas bawah dapat fleksi dan ekstensi secara singkat dan

adduksi dengan jari-jari kaki menunjuk. Aktivitas klonik kemudian terjadi yang

bersifat cepat kemudian lambat. Gasping dapat terjadi karena otot pernafasan terlibat

pada aktivitas klonik. Pasien dapat menjadi sianotik. Inkontinensia urin dapat terjadi.

Pada akhir kejang, pasien dapat menjadi tidak sadar pada waktu singkat dan kemudian

membaik kembali.7

2.2 Kejang Absans

Kejang absans dikarakteristik oleh tahanan perilaku dengan onset mendadak,

pandangan kosong, tidak responsif dan terkadang terdapat rotasi mata keatas dengan

singkat. Durasi biasanya dari beberapa detik hinga beberapa menit.7

2.3 Kejang mioklonik

Kejang mioklonik ditandai oleh sentakan singkat, iregular, shock-like pada kepala dan

anggota badan. Mereka dapat simetris atau asimetris yang melibatkan seluruh badan,

area badan atau area fokal. Mereka cenderung sering terjadi pada saat tidur dan saat

bangun dari tidur.7

2.4 Klonik

Kejang klonik adalah kejang umum yang dikarakteristik oleh sentakan klonik berulang

ritmis (1—2 Hz) dengan gangguan kesadaran dan fase post ictal singkat. Mereka dapat

menjadi kejang klonik-tonik-klonik.7

2.5 Tonik

Kejang tonik adalah kejang yang menunjukan kekakuan otot, melibatkan kontraksi

tonik otot leher, wajah, aksial atau apendikular yang berlangsung dari 10 detik hingga

1 menit. Mereka dapa melibatkan ekstensi atau fleksi pada otot dan dapat

Page 20: BAB I

menyebabkan jatuh dan cedera kepala. Mereka dapat lebih ringan dan melibatkan

hanya penyimpangan mata keatas.7

2.6 Atonik

Kejang atonik ditandai oleh hilangnya kekuatan otot secara mendadak dan

menyebabkan kepala jatuh, lengan jatuh, atau jatuhnya seluruh badan (drop attack).

Terdapat hilang kesidaran singkat, luka terutama di wajah.7

Manifestasi Klinis

Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang berasal dari

salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana kedua hemisfer otak

terlibat secara bersamaan.7

Tipe Kejang Ciri Khas

Kejang

parsial

Parsial Sederhana Adanya gejala motorik, somatosensorik,

sensorik, otonom, atau kejiwaan.

Kesadaran normal

Parsal kompleks Adanya gejala motorik, somatosensorik,

sensorik, otonom, atau kejiwaan.

Adanya penurunan kesadaran

Kejang

umum

Tonik-klonik Kekakuan tonk yangdiikuti oleh sentakan

ekstremitas yang sinkron.

Dapat disertai inkontinensia

Diikuti dengan kebingungan pasca kejang

Absans Hilangnya kesadaran yang singkat

(biasanya <10 detik) dengan terhentinya

aktivitas yang sedang berlangsung

Page 21: BAB I

Dapat disertai gerakan otomatis, seperti

mengedip.

Pola EEG menunjukkan gambaran paku-

ombak (spike-and-wave)

Mioklonik Adanya satu atau banyak sentakan otot

Kesadaran normal

Biasanya bilateral dan simetris

Atonik Hilangnya tonus otot yang

berkepanjangan

Klonik Pergantian sentakan dan relaksasi

ekstremitas secara berulang ulang

Diagnosis

1. Anamnesis

Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang

atau bukan , dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara

baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang

mengetahui serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan

adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan

kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang

tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat

pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami

pasien.8

Pertanyaan yang sebaiknya diajukan adalah:

Page 22: BAB I

1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?

Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder

gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital.

Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja.

2. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung?

3. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?

4. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?

5. Apakah ada faktor pencetus ?

6. Bagaimana frekuensi serangan kejang ?

7. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ?

8. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?

9. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?

10. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?8

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan

menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. pemeriksaan

kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul

oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya

kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk

mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “café au lait spots “ dan “iris

hamartoma” pada neurofibromatosis, “ash leaf spots” , “shahgreen patches” ,

“subungual fibromas” , “adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “port - wine

stain“ (capilarry hemangioma) pada Sturge-weber Syndrome. Juga perlu dilihat

apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang

Page 23: BAB I

berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat

serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh

karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat

terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama.8

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis,

fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti

hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin

dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas.

Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat

anti epilepsi seperti karbamasepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi

pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin

ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang

makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral

automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral

sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus

temporalis.8

3. Pemeriksaan Laboratorium

Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium,magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalam

darah. Yang memudahkan timbulnya kejang adalah keadaaan hipoglikemia,

hipomagnesemia, hipo atau hipernatremia, hiperbilirubinemia, uremia. Penting pula

diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin pula disertai kejang. 9

4. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto rontgen kepala sapat dilihat adanya kelainan-kelainan pada tengkorak.

Kalsifikasi abnormal dapat dijumpai pada toksoplasmosis, meningioma. Sken

Page 24: BAB I

tomografik olahan komputer dapat lebih jelas menunjukkan kelainan-kelainan pada

tengkorak dan dalam rongga intrakranium. 9

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang diagnosis epilepsi adalah: 9

1. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrobrospinalis pada penderita epilepsi umumnya normal.

Pungsi lumbal dilakukan pada penderita yang dicurigai meningitis.

2. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita epilepsi. EEG

dapat mengkonfirmasi aktivitas epilepsi bahkan dapat menunjang

diagnosis klinis dengan baik, tetapi tidak dapat menegakkan diagnosis

secara pasti. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukan

kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan

umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetika

atau metabolik.

Perlu diingat bahwa tidak selalu gangguan fungsi otak dapat tercermin

dalam rekaman EEG. EEG normal dapat dijumpai pada anak yang

nyata-nyata menderita kelainan otak. Kira-kira 10% pasien epilepsi

mempunyai EEG yang normal.

Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila :

Asimetris irama dan voltage gelombang pada daerah yang sama

dikedua hemisfer otak

Irama gelombang tidak teratur

Irama gelombang lebih lambat dibandingkan seharusnya

Page 25: BAB I

Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak yang

normal, seperti gelombang tajam paku (spike), paku-ombak,

paku majemuk.

Pemeriksaan EEG berfungsi dalam mengklisifikasikan tipe

kejang dan menentukan terapi yang tepat. EEG harus diulangi apabila

kejang sering dan berat walaupun sedang dalam pengobatan, apabila

terjadi perubahan pola kejang yang berarti atau apabila timbul defisit

neurologi yang progresif.

3. Pencitraan

Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan antara lain foto polos kepala,

angiografi serebral, CT-scan, MRI. Pada foto polos kepala dilihat

adanya tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, asimetris

tengkorak, perkapuran abnormal tetapi pemeriksaan ini sudah banyak

ditinggalkan. Angiogarafi dilakukan pada pasien yang akan dioperasi

karena adanya fokus epilepsi berupa tumor.

CT-scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi adanya

malformasi otak kongenital. Indikasi CT-scan dan MRI antara lain

kesulitan dalam mengontrol kejang, ditemukannya kelainan neurologis

yang progresif dalam pemeriksaan fisik, perburukan dalam hasil EEG,

curiga terhadap peningkatan tekanan intrakranial dan pada kasus-kasus

dimana dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan.

Diagnosa Banding

1. Sinkope

Page 26: BAB I

Sinkope adalah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan aliran darah

ke dalam otak dan anoksia. Sebabnya ialah tensi darah yang menurun mendadak,

biasanya ketika penderita sedang berdiri. Pada 75% kasus-kasus terjadi akibat

gangguan emosi. Pada fase permulaan, penderita menjadi gelisah, tampak pucat,

berkeringat, merasa pusing, pandangan mengelam. Kesadaran menurun secara

berangsur, nadi melemah, tekanan dara rendah. Dengan diaringkan horizontal

penderita segera membaik. 9

2. Hipoglikemia

Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor, mulut kering.

Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan. 9

3. Histeria

Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita terutama antara 7-15

tahun. Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin

menarik perhatian. Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol atau perubahan

pasca serangan seperti terdapat pada epilepsi. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak

menyerupai kejang tonik-klonik, tetapi bisa menyerupai sindroma hiperventilasi.

Timbulnya serangan sering berhubungaqn dengan stress. 9

Tatalaksana

Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah.

Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar

darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. 10

Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak

kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat antiepilepsi. 10

Page 27: BAB I

Prinsip pengobatan epilepsi4

1. Diagnosis pasti: banyaknya keadaan yang memperlihatkan gejala mirip

epilepsi. Pengobatan umumnya baru diberikan setelah serangan kedua. Hal ini

penting karena pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.

2. Tentukan jenis serangan. Tiap OAE mempunyai kekhususan sendiri dan akan

berfaedah secara spesifik pada jenis serangan tertentu

3. Pengobatan dimulai dari satu OAE dengan dosis kecil, kemudian dosis

dinaikkan secara bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan adalah

untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah.

4. Kegagalan OAE sering disebabkan karenan non-compliance atau tidak minum

obat menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat, dapat diganti

dengan OAE kedua. Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap sedangkan dosis

OAE pertama diturunkan bertahap. Penurunan secara bertahap ini bertujuan

untuk mencegah timbulnya status epileptikus (terutama fenobarbital). Bila OAE

pertama perlu dihentikan dengan cepat karena timbul efek samping yang berat,

harus diberikan diazepam. Politerapi sedapatnya dihindarkan karena efek

samping terutama di bidang intelektual, sukar dikontrol dan kadar obat dalam

darah yang lebih rendah.

OAE pilihan pertama dan kedua : 10, 11

1. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder)

OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin

OAE II : Benzodiazepin, asam valproat

2. Serangan tonik klonik

Page 28: BAB I

OAE I :Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat

OAE II : Benzodiazepin, asam valproat

3. Serangan absens

OAE I : Etosuksimid, asam valproat

OAE II : Benzodiazepin

4. Serangan mioklonik

OAE I : Benzodiazepin, asam valproat

OAE II : Etosuksimid

5. Serangan tonik, klonik, atonik

Semua OAE kecuali etosuksinid

Jenis Serangan Parsial Umum

Tk

Absens Miokloni

k

Tonik

Asetazolamid +/- + + +/- +/-

Karbamazepin + + - - +

Klonazepam + + + + +

Etosuksimid - - + - -

Fenobarbital + + - - -

Fenitoin + + - - +

Primidon + + - - +

valproat + + + + +

Penghentian pemberian obat pada penderita epilepsi, dilakukan pada keadaan –

keadaan sebagai berrikut: 10

Page 29: BAB I

● Pada epilepsi yang sulit diatasi lakukan pemantauan yang intensif untuk mencari

diagnosis yang sebenarnya dan pengobatan yang sesuai. Selain itu dipergunakan

pemantauan EEG yang cermat dan lebih lama dari 20 menit.

● Epilepsi dicegah dengan perawatan pada masa prenatal dan perinatal. Tindakan

selanjutnya adalah diagnosis dan pengobatn dini semasa bayi dengan OAE yang

tepat. Bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali, dapat dipertimbangkan

untuk pembedahan. Bila pada pemeriksaan PET scan pada anak dengan berbagai

jenis epilepsi yang berat ditemukan adanya hipometabolisme unilateral yang difus,

maka dapat dilakukan reseksi lokal sampai hemisferektomi.

● Pertimbangan penghentian pengobatan didasarkan atas pertimbangan

keseimbangan antara resiko penggunaan OAE yang terus menerus (intoksikasi

kronis, efek teratogenik) dan resiko kemungkinan kambuh serangan (cedera,

pekerjaan). Penghentian pengobatan dilakukan setelah bebas serangan selama 2

tahun atau lebih, perlahan-lahan dalam waktu beberapa bulan (4-6 bulan atau 25%

setiap 2-4 minggu), diskusikan kemungkinan kekambuhan. Risiko kambuh setelah

penghentian obat dalam 1 tahun pertama 25% dan menjadi 29% dalam 2 tahun.

Kekambuhan terjadi 80% dalam tahun pertama.

● Faktor yang mempengaruhi risiko kekambuhan : masa bebas serangan sebelum

penghentian obat singkat, banyak macam tipe serangan, kejang tonik-klonik, perlu

waktu lama untuk mencapai bebas serangan, poloterapi, EEG abnormal,

pemeriksaan neurologis abnormal, timbul serangan pada saat penghentian obat.

Prognosis

Page 30: BAB I

Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun.

Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak

mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi. 30%

penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah minum obat teratur. 4

Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur

awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami

remisi pada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang,

remisi lebih sering terjadi. 4

Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan faktor

yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung

pada faktor yang sama dengan remisi kejang. 4

Demam Berdarah Dengue

Page 31: BAB I

Definisi

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

virus dengue dan mengakibatkan spectrum manifestasi klinis yang bervariasi antara

yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai

renjatan atau dengue shock syndrome (DSS) yang dapat menyebabkan mortalitas;

ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus yang terinfeksi. Host alami DBD

adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam family

Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan

Den-4. Kapita Selekta Kedokteran & Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi,

Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 :

110 –119. Aryu Candra

Epidemiologi

Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan

peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan dalam decade ini, dari kota

ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis

dan subtropics, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.

Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko

Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119. Aryu Candra

Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di

daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain

Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara dan India. Jumlah orang yang terinfeksi

diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan

mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun: diperkirakan 2,5 miliar orang atau

Page 32: BAB I

hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan

terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat.

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropic dan

subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada

anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap

tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan

2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 0 orang lebih.

Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara

bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak

137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta

kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR

0.89%

Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus

Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. polynesiensis, Ae. scutellaris serta Ae

(Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi penularan transsexual

dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta penularan transovarial

dari induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue melalui

transfuse darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari

penderita asimptomatik. Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi

adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di

dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-1 hari, sedangkan inkubasi intrinsik

(dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun.

Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes

spp. Berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat, tetapi

infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung

Page 33: BAB I

pada faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus dengue, status kekebalan host

dan lain-lain. Vector capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh

iklim mikro dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus

gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta

pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi

oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak

digigit nyamuk Ae. aegypti disbanding dengan orang yang lebih aktif dengan demikian

orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain

itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan

manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat

penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap manusia disbanding

yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor,

salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan

penyerapan gizi. Status-status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh keseimbangan

asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh pada system

kekebalan tubuh. Selain zat gizi makro, disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti

besi dan seng mempengaruhi respon kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah

satu zat gizi mikro, maka akan merusak system imun.

Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena zat

gizi mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum

berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi

aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang, otot &

organ lain, pada tahap tumbuh kembang, fungsi immunitas yaitu melindungi tubuh

agar tak mudah sakit, fungsi perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang rusak; serta

fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi menghadapi keadaan darurat.

Page 34: BAB I

Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur

<15 tahun (95%) dan mengalami pergeseran dengan adanya peningkatan proporsi

penderita pada kelompok umur 15-44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada

kelompok umur >45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar

3,64%.

Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya

kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus

dengue), host yang rentan serta llingkungan yang memungkinkan tumbuh dan

berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor

predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak

antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa,

kerentanan terhadap penyakit dan lainnya. Demam Berdarah Dengue:

Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2

Tahun 2010 : 110 –119. Aryu Candra

Etiologi

Virus dengue termasuk dalam genus Flavivirus, family Flaviviridae, dan terdiri

dari empat serotipe: DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Seluruh serotipe beredar di

Indonesia, dengan serotipe DEN-3 yang paling dominan dan ditemukan pada kasus

dengue dengan masa inkubasi sekitar 4-10 hari. Kapita Selekta Kedokteran hal

68-70

Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue :

Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk

perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana

Page 35: BAB I

transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga

memungkinkan terjadinya KLB. Faktorv risiko lainnya adalah kemiskinan yang

mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang

layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang besar. Tetapi di

lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang

biasa bepergian. Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang

berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat,

jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan

pekarangan serta mobilisasi penduduk; sedangkan tata letak rumah dan keberadaan

jentik tidak menjadi faktor risiko.

Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue

yang merupakan reaksi infeksi primer, berdasarkan hasil penellitian di wilayah

Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan dan migrasi. Sedangkan

faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin

lakilaki, riwayat pernah terkena DBD apda periode sebelumnya serta migrasi ke daerah

perkotaan. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor

Risiko Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119. Aryu Candra

Klasifikasi

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah

ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi) :

Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan ialah uji bendung.

Page 36: BAB I

Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau

perdarahan lain.

Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,

tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di

sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak tampak gelisah.

Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan

darah tidak terukur.

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS hal 164

Patogenesis

Virus dengue ditransmisi melalui nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus.

Vektor tersebut tersebar meluas di daerah tropis dan subtropis di berbagai belahan

dunia. Virus dengue masuk ke sirkulasi perifer manusia melalui gigitan nyamuk. Virus

akan berada di dalam darah sejak fase akut/fase demam hingga klinis demam

menghilang.

Secara klinis perjalanan penyakit dengue dibagi menjadi tiga, yaitu fase demam

(febrile), fase kritis dan fase penyembuhan. Fase demam berlangsung pada demam hari

ke-1 hingga 3, fase kritis terjadi pada demam hari ke-3 hingga 7 dan fase penyembuhan

terjadi setelah demam hari ke 6-7. Perjalanan penyakit tersebut menentukan dinamika

perubahan tanda dan gejala klinis pada pasien dengan infeksi demam berdarah dengue

(DBD).

Demam merupakan tanda utama infeksi dengue, terjadi mendadak tinggi,

selama 2-7 hari. Demam juga disertai gejala konstitusional lainnya seperti lesu, tidak

mau makan dan muntah. Selain itu, pada anak lebih sering terjadi gejala facial flush,

radang faring serta pilek.

Page 37: BAB I

Pada DBD, terjadi peningkatan permeabilitas vascular yang menyebabkan

kebocoran plasma ke jaringan, sedangkan pada demam dengue tidak terjadi hal ini.

Kondisi tersebutdapat mengakibatkan syok hypovolemia. Peningkatan permeabilitas

vaskular akan terjadi pada fase kritis dan berlangsung maksimal 48 jam.

Kebocoran plasma terjadi akibat disfungsi endotel serta peran kompleks dari

sistem imun: monosit dan sel T, sistem komplemen, serta produksi mediator inflamasi

dan sitokin lainnya. Trombositopenia pun terjadi akibat beberapa mekanisme yang

kompleks, seperti gangguan megakarlositopoesis (akibat infeksi sel hematopoietik),

serta peningkatan destruksi dan konsumsi trombosit.

Pada kasus DBD, tanda hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering

ditemukan. Manifestasi perdarahan yang paling dijumpai pada anak ialah perdarahan

kulit (petekie) dan mimisan (epistaksis). Tanda perdarahan lainnya yang patut

diwaspadai, antara lain melena, hematemesis dan hematuria. Pada kasus tanpa

pendarahan spontan maka dapat dilakukan uji turniket.

Kebocoran plasma secara massif akan menyebabkan pasien mengalami syok

hipovolemik. Kondisi ini disebut sindrom syok dengue (SSD). Kapita Selekta

Kedokteran 68-70

Patofisiologi

Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah

peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke

dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan

tekanan darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini

didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan

hipoproteinemi. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan

Page 38: BAB I

Faktor Risiko Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119. Aryu

Candra

Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel

retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.

Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti

netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada

umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibody mulai terbentuk

dan pada infeksi sekunder kadar antibody yang telah ada jadi meningkat.

Respon Primer dan Sekunder Infeksi Virus Dengue

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam

hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga dan menghilang

setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh

karena itu kinetik antibody IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder.

Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada

infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa

dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibody IgM setelah

Page 39: BAB I

hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan

adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat.

Patofisiologi DBD dan DSS sampai sekarang belum jelas, oleh karena itu

muncul banyak teori tentang respon imun. Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang

memiliki aktivitas netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal antibody

terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel

yang telah terinfeksi virus tersebut melalui aktivitas netralisasi atau aktifasi

komplemen. Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan penderita mengalami

penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus

yang sama, tetapi apabila terjadi antibodi non-netralisasi yang memiliki sifat memacu

replikasi virus, keadaan penderita akan menjadi parah apabila epitope virus yang

masuk tidak sesuai dengan antibody yang tersedia di hospest. Pada infeksi kedua yang

dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda, virus dengue berperan sebagai

super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan

antigen presenting cell (APC) yang membawa muatan polipeptida spesifik yang

berasal dari mayor histocompatibility complex (MHC).

Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfeksi virus dengue, akan tetap infektif

sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat

menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue

akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus

limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel

monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel

dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk

komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit,

virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif

Page 40: BAB I

terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus

lainnya.

Secara invitro, antibodi terhadap virus dengue mempunyai fungsi biologis

yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated

cytotoxity (ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antibodi netralisasi

atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah

infeksi virus dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif

silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan

DSS.

Bagan kejadian infeksi virus dengue

Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD atau DSS yang

masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologous infection) dan

antibody dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder

Page 41: BAB I

disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus

dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut

mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi

infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologous yang terbentuk pada

infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru

yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks

yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan

memproduksi IL1, IL-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating

factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue.

TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya

cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endotel pembuluh darah

yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Pendapat lain

menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang

farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga

menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan. Anak di bawah

usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari ibu

ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akibat adanya

infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak tersebut,

maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah

terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL1, IL6 dan TNF alpha juga PAF.

Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibody spesifik terhadap jenis virus

tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi

sebaliknya apabila antibodinya tidak menetralisasi virus, justru akan menimbulkan

penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum

penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.

Page 42: BAB I

Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis

DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan

serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat

ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan yang

lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau

kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas system komplemen yang ditandai penurunan

kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48-72% penderita DBD, terbentuk

kompleks imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit,

sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem

imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang

terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6,

IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggung jawab pada terjadinya

syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.

Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa

hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue

destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena

infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolik.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD)

dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan

diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x

109/L dan kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh.

Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan

pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling kritis,

dengan kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan peredaran darah.

Page 43: BAB I

Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda terdapat

demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket (positif); derajat II yaitu derajat I

ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain, derajat III yang ditandai

adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi

(≤20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai ≤80 mmHg), sianosis di sekitar

mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah; serta derajat IV yang

ditandai dengan syok berat ((profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan

darah tidak terukur.

Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi

mekanisme patofisiologisnya berbeda dan menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan

utama adalah adanya renjatan yang khas pada DBD yang disebabkan kebocoran

plasma yang diduga karena proses immunologi, pada demam dengue hal ini tidak

terjadi. Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus

yang berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Selama 2

hari akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir setelah lima hari timbul

gejala panas, Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi

sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-

helper akan mengaktifasi sel T sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah

memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis

antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi, antibodi

fiksasi komplemen. Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator

yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise

dan gejala lainnya. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan

Faktor Risiko Penularan, Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119. Aryu

Candra

Page 44: BAB I

Diagnosis

1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis:

Demam: awitan akut, tinggi dan bersifat kontinu, berlangsung selama

dua hingga tujuh hari pada kebanyakan kasus;

Adanya tanda-tanda perdarahan, termasuk uji turniket positif, petekie,

purpura (pada lokasi pungsi vena), ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi

dan hematemesis/melena

Temuan hepatomegaly, sering ditemukan pada 90-98% kasus anak;

Tanda-tanda syok: takikardia, perfusi perifer buruk dengan nadi lemah

dan tekanan nadi (pulse pressure; selisih sistolik dan diastolic) < 20

mmHg, atau hipotensi dengan akral dingin, pucat dan tampak lemas.

2. Pemeriksaan Laboratorium

Trombositopenia (≤100.000/mm3);

Hemokonsentrasi: peningkatan hematokrit ≥20% dari nilai awal atau

rata-rata populasi seusia.

Temuan klinis demam dan tanda-tanda perdarahan, yang disertai

trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk mendiagnosis DBD.

Kapita Selekta Kedokteran

Diagnosis Banding

Penyakit dengan gejala demam akut lainnya, seperti demam tifoid, campak,

influenza, malaria, chikungunya atau leptospirosis. Kapita Selekta

Page 45: BAB I

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (sesuaikan dengan perjalanan penyakit): pada hari ke-3

umumnya leukosit menurun atau normal, hematokrit mulai meningkat

(hemokonsentrasi) dan trombositopenia terjadi pada hari 3-7. Pada pemeriksaan

jenis leukosit, ditemukan limfositosis (peningkatan 15%) mulai hari ke-3,

ditandai dengan adanya limfosit atipik.

Uji serologi: uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase

konvalesens

o Infeksi primer. Titer serum akut <1:20 dan serum konvalesens naik 4x

atau lebih tetapi tidak melebihi 1:1280

o Infeksi sekunder. Titer serum akut <1:20 dan serum konvalesens

1:2560; atau serum akut 1:20 dan konvalesens naik 4x atau lebih.

o Tersangka infeksi sekunder yang baru terjadi. Titer serum akut 1:1280,

serum konvalesens dapat lebih besar atau sama.

Pemeriksaan radiologis untuk mendeteksi adanya efusi pleura: Rontgen toraks

posisi right lateral decubitus, USG. Kapita selekta

Tatalaksana

Berdasarkan rekomendasi WHO 2011, prinsip umum terapi dengue ialah

sebagai berikut:

1. Pemberian cairan kristaloid isotonik selama periode kritis, kecuali pada bayi

usia <6 bulan yang disarankan menggunakan NaCl 0.45%;

2. Penggunaan cairan koloid hiperonkotik, misalnya dekstran 40, dapat

dipertimbangkan pada pasien dengan kebocoran plasma yang berat, dan tidak

ada perbaikan yang adekuat setelah pemberian kristaloid;

Page 46: BAB I

3. Jumlah cairan yang dberikan sesuai dengan kebutuhan rumatan (maintenance)

ditambah 5% untuk dehidrasi. Jumlah tersebut hanya untuk menjaga agar

volume intravascular dan sirkulasi tetap adekuat;

4. Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24-48 jam pada

kasus syok. Pada kasus tanpa syok, durasi terapi tidak lebih dari 60-72 jam;

5. Pada pasien obesitas, perhitungan volume cairan sebaiknya menggunakan berat

badan ideal.

6. Pemberian cairan selalu disesuaikan dengan kondisi klinis. Kebutuhan cairan

intravena pada anak berbeda dengan dewasa.

7. Pemberian transfusi trombosit tidak direkomendasikan pada anak. Kapita

Selekta

Manajemen DBD Derajat I dan II (Kasus Non-syok)

Cairan diberikan sejumlah kebutuhan rumatan (untuk 1 hari) + defisit 5% (oral

maupun intravena) selama 48 jam. Sebagai contoh, anak dengan berat badan 20 Kg,

maka defisit 5% = 50 ml/KgBB x 20 Kg = 1000 mL. Kebutuhan rumatan ialah 1500

mL untuk 1 hari. Dengan demikian, total pemberian cairan ialah M + 5% = 2500 mL,

yang diberikan selama 48 jam. Laju infus dapat dilihat pada Tabel. Jumlah cairan

tersebut disesuaikan dengan kondisi klinis, tanda vital, keluaran urin dan kadar

hematokrit.

Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut :

Page 47: BAB I

Bagan 1. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

Page 48: BAB I

Bagan 2. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.

Page 49: BAB I

Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%

Page 50: BAB I

Bagan 4. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue

Kriteria memulangkan pasien :

1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

Page 51: BAB I

2. Nafsu makan membaik

3. Tampak perbaikan secara klinis

4. Hematokrit stabil

5. Tiga hari setelah syok teratasi

6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml

1. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis)

Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di

Era 2003. Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9

Pemantauan

Untuk anak dengan syok:

Petugas medik memeriksa tanda vital anak setiap jam (terutama tekanan nadi)

hingga pasien stabil, dan periksa nilai hematokrit setiap 6 jam. Dokter harus mengkaji

ulang pasien sedikitnya 6 jam.

Untuk anak tanpa syok:

Petugas medis memeriksa tanda vital anak (suhu badan, denyut nadi dan

tekanan darah) minimal empat kali sehari dan nilai hematokrit minimal sekali sehari.

Catat dengan lengkap cairan masuk dan cairan keluar. Buku Saku Pelayanan

Kesehatan Anak , hal 466

Page 52: BAB I

Komplikasi

Ensefalopati dengue: edema otak dan alkalosis.

Dapat terjadi baik pada syok maupun tanpa syok.

Kelainan ginjal; akibat syok berkepanjangan.

Edema paru; akibat pemberian cairan berlebihan. Kapita Selekta

Ensefalopati Dengue

Dalam dua dekade terakhir, makin banyak laporan DBD yang disertai gejala

ensefalopati dikemukakan dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik

Barat. Kecuali kejang, gejala ensefalopati lain tidak/jarang menyertai DBD. Dari

beberapa contoh kasus ensefalopati dengue yang dilaporkan, ternyata kadangkala para

dokter sangat terpukau olehkelainan neurologis sehingga apabila tidak waspada,

diagnosis DBD/DSS tidak terpikirkan. Data itu juga memberikan suatu keyakinan

bahwa pada DBD perlu dipikirkan diagnosis banding dengan ensefalitis virus lain.

Contoh kasus ensefalopati dengue memperlihatkan betapa bervariasinya gejala klinis

pasien DBD dan bahwa patokan klinis yang digariskan oleh WHO (1975) tidak selalu

dijumpai. Tingginya persentasi ensefalopati dengue pada golongan umur 1-4 tahun

(yaitu golongan umur tersering terjadinya kejang demam pertama kali) memerlukan

peningkatan kewaspadaan. Oleh karena itu di daerah endemis DBD perlu diperhatikan

(1) pada setiap kasus demam disertai kejang dan pasien dengan diagnosis klinis

ensefalitis perlu dicari kemungkinan adanya manifestasi perdarahan dan (2) sekiranya

pasien jatuh dalam syok kita harus waspada terhadap kemungkinan DSS. Buku

Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis, IDAI

Penatalaksanaan Ensefalopati Dengue

Page 53: BAB I

Pada umumnya ensefalopati dengue disebabkan atau ditandai oleh ensefalopati

hepatic, karena itu penatalaksanaannya sama dengan tatalaksana ensefalopati hepatic,

yaitu:

- Pertahankan jalan napas dan oksigenasi yang adekuat (terapi oksigen)

- Hindari atau cegah tekanan tinggi intracranial (TTIK) atau atasi bila sudah

terjadi :

Posisikan penderita dengan kepala ditinggikan sekitar 30o

Retriksi cairan tidak boleh >80% kebutuhan cairan rumatan

Ganti ke cairan koloid bila terus terjadi peningkatan nilai hematokrit

Beri diuretika bila terdapat tanda-tanda kelebihan cairan

Segera dilakukan pemasangan pipa endotrakeal untuk menghindari

hiperkarbia

Pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan untuk menurunkan

TTIK, diberikan deksametason dengan dosis 0,15 mg/kgBB/dosis setiap

6-8 jam secara i.v.

- Menurunkan produksi ammonia

- Pertahankan kadar gula darah pada 80-100 mg/dL

- Koreksi gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa

- Berikan vitamin K1 secara i.v. dengan dosis 3 mg untuk anak usia <1 tahun; 5

mg usia 1-5 tahun; dan 10 mg pada usia >5 tahun

- Bila terdapat kejang dapat diberikan antikonvulsi

- Pemberian transfusi darah dianjurkan PRC segar bila terdapat indikasi. Hindari

pemberian transfusi komponen darah karena kelebihan cairan dapat TTIK

- Indikasi pemberian antibiotik empiris bila ada dugaan superinfeksi oleh bakteri

Page 54: BAB I

- Obat H2-blocker atau proton pump inhibitor dapat diberikan untuk mengatasi

perdarahan gastrointestinal

- Hindari pemberian obat-obatan lain tanpa indikasi karena akan memperberat

kerja hati

- Pertimbangkan tindakan plasmaferesis atau hemodialisis bila diperlukan

Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Edisi ke-5 hal

483-488

Gizi Buruk

Definisi

Malnutrisi atau Gizi Buruk adalah keadaan dimana tubuh tidak mendapat asupan gizi

yang cukup, malnutrisi dapat juga disebut keadaaan yang disebabkan oleh

ketidakseimbangan di antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi untuk

mempertahankan kesehatan Ini bisa terjadi karena asupan makan terlalu sedikit

ataupun pengambilan makanan yang tidak seimbang. Selain itu, kekurangan gizi dalam

tubuh juga berakibat terjadinya malabsorpsi makanan atau kegagalan metabolik

KEP adalah gangguan gizi yang disebabkan oleh kekurangan protein dan atau kalori,

serta sering disertai dengan kekurangan zat gizi lain. Penyebab KEP dapat dibagi

Page 55: BAB I

kepada dua penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi

primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein maupun

energi yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena

kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorpsi dan/atau peningkatan kehilangan

protein maupun energi dari tubuh.

Epidemiologi

Frekuensi

Amerika Serikat

Malnutrisi protein-energi adalah bentuk paling umum dari kekurangan gizi di

antara pasien yang dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat. Sebanyak setengah dari

semua pasien dirawat di rumah sakit memiliki gizi buruk untuk beberapa derajat.

Dalam survei terbaru di rumah sakit anak-anak besar, prevalensi kekurangan gizi

protein-energi akut dan kronis lebih dari satu setengah. Hal ini sangat banyak penyakit

yang terjadi pada abad ke-21 Amerika, dan kasus pada anak 8-bulan-tua di pinggiran

kota Detroit, Mich, dilaporkan pada tahun 2010. [9] kasus tambahan dari kwashiorkor

telah dicatat terjadi di Amerika Amerika. Sebuah laporan yang menarik dari bayi

dengan gambaran klinis meniru sindrom Stevens-Johnson tetapi yang sebenarnya telah

kwashiorkor telah dicatat. [10] Bayi hanya diberi susu beras dapat mengembangkan

kwashiorkor bahkan di Amerika Serikat.

Dalam sebuah survei yang berfokus pada daerah berpenghasilan rendah di

Amerika Serikat, 22-35% dari anak usia 2-6 tahun berada di bawah persentil ke-15

Page 56: BAB I

untuk berat badan. Survei lain menunjukkan bahwa 11% dari anak-anak di daerah

berpenghasilan rendah memiliki tinggi badan usia pengukuran di bawah persentil ke-5.

Pertumbuhan yang buruk terlihat pada 10% anak-anak di masyarakat pedesaan.

Dalam rumah sakit orang tua, hingga 55% yang kekurangan gizi. Sampai 85% dari

orang tua dilembagakan yang kekurangan gizi. Penelitian telah menunjukkan bahwa

sampai 50% memiliki asupan vitamin dan mineral yang kurang dari penyisihan diet

yang direkomendasikan dan sampai 30% dari orang tua memiliki tingkat bawah normal

vitamin dan mineral.

Internasional

Pada tahun 2000, WHO [11] Diperkirakan bahwa anak-anak yang kekurangan gizi

berjumlah 181.900.000 (32%) di negara-negara berkembang. Selain itu, diperkirakan

149.600.000 anak-anak muda dari 5 tahun yang kekurangan gizi bila diukur dari segi

berat untuk usia. Di tengah selatan Asia dan timur Afrika, sekitar separuh anak-anak

memiliki keterbelakangan pertumbuhan karena kekurangan gizi protein-energi. Angka

ini 5 kali prevalensi di dunia barat.

Sebuah studi cross-sectional dari remaja Palestina menemukan bahwa 55,66% dari

anak laki-laki dan 64,81% perempuan memiliki asupan energi yang tidak memadai,

dengan asupan protein yang tidak memadai di 15,07% dari anak laki-laki dan 43,08%

perempuan. Tunjangan harian yang direkomendasikan untuk mikro bertemu dengan

kurang dari 80% dari subyek penelitian.

Sekitar 50% dari 10 juta kematian setiap tahun di negara-negara berkembang terjadi

karena kekurangan gizi pada anak-anak muda dari 5 tahun. Pada kwashiorkor,

kematian cenderung menurun sebagai usia onset meningkat.

Page 57: BAB I

Ras

Temuan dermatologi tampil lebih signifikan dan lebih sering terjadi di antara orang-

orang berkulit gelap. Temuan ini mungkin dijelaskan dengan prevalensi yang lebih

besar dan peningkatan keparahan kekurangan gizi protein-energi di negara-negara

berkembang dan tidak perbedaan dalam kerentanan rasial.

Usia

Marasmus paling sering terjadi pada anak-anak muda dari 5 tahun. Periode ini ditandai

dengan kebutuhan energi meningkat dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus

dan bakteri. Penyapihan (perampasan ASI dan dimulainya makanan dengan makanan

lain) terjadi selama periode berisiko tinggi ini. Penyapihan sering dipersulit oleh

geografi, ekonomi, kesehatan, kesehatan masyarakat, budaya, dan dietetics. Hal ini

dapat efektif bila makanan diperkenalkan menyediakan nutrisi yang tidak memadai,

ketika makanan dan air yang terkontaminasi, ketika akses ke perawatan kesehatan yang

tidak memadai, dan / atau ketika pasien tidak dapat mengakses atau membeli makanan

yang tepat.

Dalam beberapa penelitian, prevalensi kekurangan gizi protein-energi antara orang tua

diperkirakan setinggi 4% bagi mereka yang tinggal di masyarakat, 50% bagi mereka

yang dirawat di unit perawatan akut atau unit rehabilitasi geriatrik, dan 30-40% bagi

mereka di fasilitas perawatan jangka panjang. Malnutrisi protein-energi juga telah

ditemukan menjadi faktor utama prognosis buruk pada orang tua.

Etiologi

Di seluruh dunia, penyebab paling umum dari kekurangan gizi adalah asupan

makanan yang tidak memadai. Anak usia prasekolah di negara berkembang

seringkali berisiko kekurangan gizi karena ketergantungan mereka pada orang

Page 58: BAB I

lain untuk makanan, peningkatan protein dan kebutuhan energi, sistem

kekebalan tubuh yang belum matang menyebabkan kerentanan lebih besar

terhadap infeksi, dan paparan kondisi nonhygienic.

Faktor lain yang signifikan adalah tidak efektif menyapih sekunder

ketidaktahuan, kebersihan miskin, faktor ekonomi, dan faktor budaya. Prognosis

buruk ketika malnutrisi protein-energi terjadi dengan infeksi HIV. Infeksi saluran

pencernaan dapat dan sering endapan protein-energi klinis gizi buruk karena

diare terkait, anoreksia, muntah, peningkatan kebutuhan metabolisme, dan

penurunan penyerapan usus. Infeksi parasit memainkan peran utama di banyak

bagian dunia.

Di negara maju, asupan makanan yang tidak memadai adalah penyebab kurang

umum dari kekurangan gizi; malnutrisi protein-energi yang lebih sering

disebabkan oleh penyerapan menurun atau metabolisme abnormal. Dengan

demikian, di negara maju, penyakit, seperti cystic fibrosis, gagal ginjal kronis,

keganasan masa kanak-kanak, penyakit jantung bawaan, dan penyakit

neuromuskuler, berkontribusi kekurangan gizi. Diet, manajemen yang tidak

pantas alergi makanan, dan penyakit kejiwaan, seperti anoreksia nervosa, juga

dapat menyebabkan parah malnutrisi protein-energi.

Populasi dalam fasilitas baik perawatan akut dan jangka panjang beresiko untuk

menurunkan berat badan yang signifikan secara klinis disengaja (IWL) yang dapat

mengakibatkan malnutrisi protein-energi. IWL didefinisikan sebagai kehilangan

4,5 kg atau lebih besar dari 5% dari berat badan yang biasa selama 6-12 bulan.

Page 59: BAB I

Malnutrisi protein-energi terjadi ketika penurunan berat badan lebih besar dari

10% dari berat badan normal terjadi.

Orang-orang tua sering mengembangkan kekurangan gizi, penyebab umum yang

meliputi penurunan nafsu makan, ketergantungan pada bantuan untuk makan,

kognisi terganggu dan / atau komunikasi, posisi yang buruk, penyakit akut sering

dengan kerugian gastrointestinal, obat-obat yang menurunkan nafsu makan atau

meningkatkan kehilangan unsur hara, polifarmasi, penurunan haus respon,

penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi urin, pembatasan cairan disengaja

karena takut inkontinensia atau tersedak jika dysphagic, faktor psikososial

seperti isolasi dan depresi, monoton diet, persyaratan kepadatan nutrisi yang

lebih tinggi, dan tuntutan lain dari usia, penyakit, dan penyakit pada tubuh.

Lansia pasien sering berisiko untuk protein-energi malnutrisi karena gizi yang

tidak memadai, yang telah ditetapkan menjadi faktor komorbid umum untuk

peningkatan morbiditas dan mortalitas pada korban luka bakar tua. [20]

Pasien dengan sirosis hati juga berisiko untuk malnutrisi protein-energi, yang

merupakan faktor risiko yang menandakan prognosis buruk untuk bertahan

hidup. Risiko ini berkorelasi dengan tingkat kerusakan hati dan etiologi luka hati,

dengan risiko malnutrisi protein-energi yang lebih parah pada orang dengan

sirosis alkoholik dibandingkan pada mereka dengan sirosis alkohol.

Pasien hemodialisis jangka panjang juga dapat mengembangkan kekurangan gizi

protein-energi; ini dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas meningkat.

Page 60: BAB I

Pasien dengan karsinoma sel skuamosa esofagus beresiko kekurangan gizi

protein-energi.

Operasi bariatrik dapat dikaitkan dengan kwashiorkor iatrogenik.

Klasifikasi

KEP dapat dibagikan kepada tiga tipe yaitu,

Kwashiorkor

marasmus,

dan marasmik-kwashiorkor.

Patofisiologi

Malnutrisi mempengaruhi hampir setiap sistem organ. Protein yang dibutuhkan untuk

menyediakan asam amino untuk sintesis protein tubuh dan senyawa lain yang memiliki

berbagai peran fungsional. Energi sangat penting untuk semua fungsi biokimia dan

fisiologis dalam tubuh. Selanjutnya, mikronutrien penting dalam banyak fungsi

metabolisme dalam tubuh sebagai komponen dan kofaktor dalam proses enzimatik.

Selain gangguan pertumbuhan fisik dan fungsi fisiologis kognitif dan lainnya,

perubahan respon imun terjadi di awal perjalanan malnutrisi yang signifikan pada

anak. Perubahan ini respon imun berkorelasi dengan hasil yang buruk dan meniru

perubahan yang diamati pada anak-anak dengan sindrom defisiensi imun didapat

Page 61: BAB I

(AIDS). Kehilangan hipersensitivitas tertunda, limfosit T yang lebih sedikit, gangguan

respon limfosit, gangguan fagositosis sekunder untuk melengkapi dan penurunan

sitokin tertentu, dan penurunan sekresi immunoglobulin A (IgA) adalah beberapa

perubahan yang mungkin terjadi. Perubahan kekebalan predisposisi anak untuk infeksi

berat dan kronis, paling sering, diare menular, yang kompromi lebih lanjut gizi

menyebabkan anoreksia, penurunan penyerapan gizi, peningkatan kebutuhan

metabolisme, dan kerugian nutrisi langsung.

Studi awal anak-anak kurang gizi menunjukkan perubahan di otak berkembang,

termasuk, tingkat melambat dari pertumbuhan otak, berat otak yang lebih rendah,

korteks serebral tipis, penurunan jumlah neuron, cukup myelinization, dan perubahan

di duri dendritik. Baru-baru ini, penelitian neuroimaging telah menemukan perubahan

berat pada aparat tulang belakang dendritik neuron kortikal pada bayi dengan

malnutrisi protein-kalori yang parah. Perubahan ini mirip dengan yang dijelaskan pada

pasien dengan retardasi mental penyebab yang berbeda. Ada belum studi yang pasti

untuk menunjukkan bahwa perubahan ini kausal bukan kebetulan. [5]

Perubahan patologis lainnya termasuk degenerasi lemak pada hati dan jantung, atrofi

usus kecil, dan penurunan volume intravaskular menyebabkan hiperaldosteronisme

sekunder.

Manifestasi Klinik

Secara klinis KEP terdapat  dalam 3 tipe yaitu:

1. Kwashiorkor, ditandai dengan: edema, yang dapat terjadi di seluruh tubuh,

wajah sembab dan membulat, mata sayu, rambut tipis, kemerahan seperti

Page 62: BAB I

rambut jagung, mudah dicabut dan rontok, cengeng, rewel dan apatis,

pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak merah ke coklatan di

kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis), sering disertai

penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.

2. Marasmus, ditandai dengan: sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit,

wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel, kulit keriput, jaringan lemak

sumkutan minimal/tidak ada, perut cekung, iga gambang, sering disertai

penyakit infeksi dan diare.

3. Marasmus kwashiorkor, campuran gejala klinis kwashiorkor dan marasmus.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamesis : Keluhan yanga sering ditemukan adalah pertumbuhan anak yang

kurang, seperti berat badan yang kurang dibandingkan anak lain (yang sehat). Bisa

juga didapatkan keluhan anak yang tidak mau makan (anoreksia), anak tampak lemas

serta menjadi lebih pendiam, dan sering menderita sakit yang berulang.

2. Pemeriksaan Fisik

Yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik antara lain :

o Perubahan mental sampai apatis

o Edema (terutama pada muka, punggung kaki dan perut)

o Atrofi otot

Page 63: BAB I

o Ganguan sistem gastrointestinal

o Perubahan rambut (warna menjadi kemerahan dan mudah dicabut)

o Perubahan kulit (perubahan pigmentasi kulit)

o Pembesaran hati

o Tanda-tanda anemia

3. Pemeriksaan penunjang

Darah lengkap, urin lengkap, feses lengkap, protein serum (albumin, globulin),

elektrolit serum, transferin, feritin, profil lemak. Foto thorak, dan EKG

Diagnosis Banding

Adanya edema serta ascites pada bentuk kwashiorkor maupun marasmik-kwashiorkor

perlu dibedakan dengan:

-         Sindroma nefrotik

-         Sirosis hepatis

-         Payah jantung kongestif

-         Pellagra infantil

Tatalaksana

Setelah evaluasi status gizi anak dan identifikasi etiologi yang mendasari kekurangan

gizi tersebut, intervensi diet bekerjasama dengan ahli diet atau profesional gizi lainnya

harus dimulai. Anak-anak dengan edema harus dinilai dengan hati-hati untuk status

Page 64: BAB I

gizi yang sebenarnya karena edema dapat menutupi keparahan kekurangan gizi. Anak-

anak dengan gizi kronis mungkin memerlukan asupan kalori lebih dari 120-150 kkal /

kg / d untuk mencapai berat badan yang tepat. Rumus untuk menentukan asupan kalori

yang memadai adalah:

kkal / kg = (RDA untuk usia X berat badan ideal) / berat aktual

Selain itu, setiap kekurangan mikronutrien harus dikoreksi bagi anak untuk mencapai

pertumbuhan dan perkembangan yang tepat. Kebanyakan anak dengan malnutrisi

ringan merespon peningkatan asupan kalori lisan dan suplemen dengan vitamin, zat

besi, dan suplemen folat. Kebutuhan untuk meningkatkan protein terpenuhi biasanya

dengan meningkatkan asupan makanan, yang, pada gilirannya, meningkatkan protein

dan asupan kalori. Kecukupan asupan ditentukan dengan memantau berat badan.

Sebuah Cochrane Database of Systematic Ulasan studi mencatat bahwa bubuk

mikronutrien (MNPs), yang paket dosis tunggal yang mengandung beberapa vitamin

dan mineral dalam bentuk bubuk untuk taburan ke makanan semipadat, secara efektif

dapat mengurangi anemia dan kekurangan zat besi pada anak usia 6-23 bulan .

Sementara manfaat intervensi ini sebagai strategi bertahan hidup atau hasil

perkembangan tidak jelas, penggunaan MNP adalah mungkin sebanding dengan

suplementasi zat besi setiap hari dan lebih baik daripada plasebo atau tanpa intervensi.

[9]

Pada kasus ringan sampai sedang kekurangan gizi, penilaian awal dan intervensi gizi

dapat dilakukan dalam pengaturan rawat jalan. Seorang pasien dengan malnutrisi

Page 65: BAB I

mungkin memerlukan rawat inap berdasarkan pada tingkat keparahan dan

ketidakstabilan situasi klinis. Rawat inap pasien dengan dugaan malnutrisi sekunder

untuk mengabaikan memungkinkan pengamatan interaksi antara orangtua / pengasuh

dan anak dan dokumentasi asupan dan makan kesulitan yang sebenarnya. Hal ini juga

dapat dibenarkan dalam kasus di mana dehidrasi dan asidosis menyulitkan gambaran

klinis. Dalam kasus sedang sampai parah kekurangan gizi, suplementasi enteral

melalui menyusui tabung mungkin diperlukan.

Prosedur tetap pengobatan dirumah sakit:

1. Prinsip dasar penanganan 10 langkah utama (diutamakan penanganan kegawatan)

    1.1. Penanganan hipoglikemi

    1.2. Penanganan hipotermi

    1.3. Penanganan dehidrasi

    1.4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit

    1.5. Pengobatan infeksi

    1.6. Pemberian makanan

    1.7. Fasilitasi tumbuh kejar

    1.8. Koreksi defisiensi nutrisi mikro

    1.9. Melakukan stimulasi sensorik dan perbaikan mental

      1.10 Perencanaan tindak lanjut setelah sembuh

2. Pengobatan penyakit penyerta

    1)  Defisiensi vitamin A

Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan 14

atau sebelum keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya keadaan klinis

diberikan vit. A dengan dosis :

Page 66: BAB I

umur > 1 tahun               : 200.000 SI/kali

umur 6 – 12 bulan          : 100.000 SI/kali

umur 0 – 5 bulan            :   50.000 SI/kali

         Bila ada ulkus dimata diberikan:

Tetes mata khloramfenikol atau salep mata tetrasiklin, setiap 2-3 jam

selama 7-10 hari

Teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kali sehari selama 3-5 hari

Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali

2) Dermatosis

Dermatosis ditandai adanya: hipo/hiperpigmentasi, deskwamasi (kulit

mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering

disertai infeksi sekunder, antara lain oleh Candida.

Tatalaksana:

kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KMnO4 (K-

permanganat) 1% selama 10 menit

beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor)

usahakan agar daerah perineum tetap kering

umumnya terdapat defisiensi seng (Zn): beri preparat Zn peroral.

3) Parasit/cacing

Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat

antihelmintik lain.

4.   Diare melanjut

Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan

umum. Berikan formula bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa

usus dan Giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila

Page 67: BAB I

mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri: Metronidasol 7.5

mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.

5.   Tuberkulosis

Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/Mantoux (seringkali

alergi) dan Ro-foto toraks. Bila positip atau sangat mungkin TB, diobati

sesuai pedoman pengobatan TB.

3. Tindakan kegawatan

1. Syok (renjatan)

Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit

membedakan  keduanya secara klinis saja.

Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian

cairan intravena, sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati

terhadap terjadinya overhidrasi.

Pedoman pemberian cairan :

Berikan larutan Dekstrosa 5%: NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer

dengan kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam

pertama.

Evaluasi setelah 1 jam:

Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan)

dan status hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan

seperti di atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan dengan

pemberian Resomal/pengganti, per oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam

selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula khusus

(F-75/pengganti).

Page 68: BAB I

Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik. Dalam hal

ini, berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan

transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3

jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F-75/pengganti).

2. Anemia berat

Transfusi darah diperlukan bila:

Hb < 4 g/dl

Hb 4-6 g/dl disertai distress pernapasan atau tanda gagal jantung

Transfusi darah:

Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.

Bila ada tanda gagal jantung, gunakan ’packed red cells’ untuk

transfusi dengan jumlah yang sama.

Beri furosemid 1 mg/kgBB secara IV pada saat transfusi dimulai.

Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila

pada anak dengan distres napas setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau

antara 4-6 g/dl, jangan diulangi pemberian darah.

Prognosis

Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering

disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara

kematiankarena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung

dari stadium saatpengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun

kelihatannyapengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak

Page 69: BAB I

dapat dihindari,mungkin disebabkan perubahan yang irreversibel dari sel-sel

tubuh