BAB I

38
BAB I PENDAHULUAN 1. Defenisi Anestesi ( Pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-“tidak atau tanpa” dan aesthetos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi pertama kali digunakan oleh oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat irreversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgetik, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari: hipnotik, anelgetik dan Relaksasi otot. Prakter anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan, pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Namun, obat-obat anestesi tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan

description

hthrt

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1. Defenisi

Anestesi ( Pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-“tidak atau

tanpa” dan aesthetos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum

berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan

pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit

pada tubuh. Istilah anestesi pertama kali digunakan oleh oliver Wendel

Holmes Sr pada tahun 1846.

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan bersifat irreversible. Anestesi umum yang

sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgetik, relaxasi otot tanpa

menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Komponen anestesi

yang ideal (trias anestesi) terdiri dari: hipnotik, anelgetik dan Relaksasi otot.

Prakter anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan,

pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya

mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Namun, obat-obat anestesi

tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan

kesadaran. Selain itu juga dibutuhkan relaksasi otot yang optimal agar

operasi dapat berjalan lancar.

2. Sejarah Anestesi

Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes (1809-

1894), yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,

karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri

pembedahan. Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya

berprofesi menghilangkan rasa nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama,

dan sesudah pembedahan.

Page 2: BAB I

Awal pemakaian obat anestesi berawal dari digunakannya eter. Eter

([CH3CH2]20) adalah salah satu zat yang banyak digunakan sebagai

anestesi dalam dunia kedokteran hingga saat ini. Eter ditemukan seorang

ahli kimia berkebangsaan spanyol, Raymundus Lullius pada tahun 1275.

Lullius menamai eter “sweet vitriol”. Eter pertama kali disintesis Valerius

Cordus, Ilmuan dari Jerman pada tahun 1640. Kemudian seorang ilmuan

bernama W.G Frobenius mengubah nama “sweet vitriol” menjadi eter pada

tahun 1730. Sebelum penemuan eter, Priestly menemukan gas nitrogen-

oksida pada tahun 1777, dan berselang dua tahun dari temuannya itu Davy

menjelaskan kegunaan gas nitrogen oksida dalam menghilangkan rasa sakit.

Sebelum tahun 1844, gas eter maupun nitrogen oksida banyak

digunakan untuk pesta mabuk-mabukan. Mereka menamai zat tersebut gas

tertawa, karena efek dari menghirup gas ini membuat orang tertawa dan

lupa segalanya. Penggunaan eter atau gas nitrogen oksida sebagai

penghilang sakit dalam dunia kedokteran sebenarnya sudah dimulai Horace

Wells sejak tahun 1844. Sebagai dokter gigi, ia bereksperimen dengan

nitrogen-oksida sebagai penghilang rasa sakit kepada pasiennya saat dicabut

giginya. Sayangnya usahanya mempertotonkan di depan mahasiswa

kedokteran John C. Warren di Rumah Sakit Umum Massachusetts,

Bostongagal, bahkan mendapat cemohan. Usahanya diteruskan William

Thomas Green Morton. Morton adalah sesama dokter gigi yang sempat

buka praktik bersama Horace Wells pada tahun 1842, ia lahir di Chaltron,

Massachussets, Amerika Serikat pada tanggal 9 Agustus 1819. Pada usia 17

tahun, ia sudah merantau ke Boston untuk berwirausaha. Beberapa tahun

kemudian mengambil kuliah kedokteran gigi di Baltimore College of Dental

Surgery. Morton meneruskan kuliah di Harvard pada tahun 1844 untuk

memperoleh gelar dokter. Namun karena kesulitan biaya, tidak ia teruskan.

Pada tahun yang sama, ia menikahi Elizabeth Whitman dan kembali

membuka praktik giginya. Ia berkonsentrasi dalam membuat dan memasang

gigi palsu serta mencabut gigi. Suatu pekerjaan yang membutuhkan cara

menghilangkan rasa sakit. Morton berpikir untuk menggunakan gas

Page 3: BAB I

nitrogen-oksida dalam praktiknya sebagaimana yang dilakukan wells.

Kemudian ia meminta gas nitrogen-oksida kepada Charles Jackson, seorang

ahli kimia ternama di sekolah kedokteran harvard. Namun jackson justru

menyarankan eter sebagai pengganti gas nitrogen-oksida.

Morton menemukan efek bius eter lebih kuat dibanding gas nitrogen-

oksida. Bahkan pada tahun 1846 Morton mendemostrasikan penggunaan

eter dalam pembedahan di Rumah Sakit Umum Massachusetts. Saat pasien

dokter Warren telah siap, morton mengeluarkan gas eter atau disebutnya gas

letheon yang telah dikemas dalam suatu kantong gas yang dipasang suatu

alat seperti masker. Sesaat pasien mengidap tumor tersebut hilang kesadaran

dan tertidur. Dokter warren dengan sigap mengoperasi tumor dan

mengeluarkannya dari leher pasien hingga operasi selesai tanpa hambatan

berarti.

Tanggal 16 oktober 1846 menjadi hari bersejarah bagi dunia

kedokteran. Demonstrasi morton berhasil dengan baik dan memicu

penggunaan eter sebagai anaestesi secara besar-besaran. Revolusi

pembedahan dimulai dan eter sebagai anestesi dipakai hingga saat ini. Ia

bukanlah yang pertama kali menggunakan anestesi, namun berkat

usahanyalah anestesi diakui dunia kedokteran. Wajar jika Morton masuk

dalam 100 orang paling berpengaruh dalam sejarah dunia dalam buku yang

ditulis William H.Hart beberapa tahun lalu.dibalik kesuksesan zat anestesi

dalam membius pasien, para penemu dan penggagas zat anestesi telah

terbius ketamakan mereka untuk memiliki dan mendapatkan panghasilan

dari paten anestesi yang telah digunakan seluruh dokter diseluruh bagian

dunia. Terjadilah perseteruan antara Morton, Wells dan Jacson. Masing-

masing mengklaim zat anestesi adalah hasil penemuannya. Ditempat

berbeda seorang dokter bernama Crawford W. Long telah menggunakan

eter sebagai zat anestesi sejak tahun 1842, empat tahun sebelum Morton

mempublikasikan ke masyarakat luas. Ia telah menggunakan eter di setiap

operasi bedahnya. Sayang, ia tidak mempublikasikannya, hanya

mempraktikan untuk pasien-pasiennya. Sementara ketiga dokter dan ilmuan

Page 4: BAB I

yang awalnya adalah tiga sahabat itu mulai besar kepala, dokter Long tetap

menjalankan profesinya sebagai dokter spesialis bedah. Wells, Morton dan

Jacson menghabiskan hidupnya demi pengakuan dari dunia bahwa zat

anestesi merupakan hasil temuannya. Morton selama dua puluh tahun

menghabiskan waktu dan uangnnya untuk mempromosikan hasil

temuannya. Ia mengalami masalah meskipun telah mendaftarkan hak

patennya di Lembaga Paten di Amerika Serikat (U.S. Paten No.4848,

November 12, 1846). Ketika tahun 1847 dunia kedokteran mengetahui, zat

yang digunakan adalah eter yang telah digunakan sejak abad 16, Morton

tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mendapatkan keuntungan dari

patennya. Jackson juga mengklaim, dirinya juga berhak atas penemuan

tersebut.

Ketika Akademi kedokteran Prancis menganugerahkan penghargaan

Monthyon yang bernilai 5.000 Frank di tahun 1846, Morton menolak untuk

membaginya dengan Jacson. Ia mengklaim, penemuan tersebut adalah

miliknya pribadi. Sementara itu, wells mencoba eksperimen dengan zat lain

(kloroform) sebagai bahan anestesi. Selama bertahun-tahun Morton

menghabiskan waktu dan materi untuk mgnklaim patennya. Ia mulai stres

dan tidak mempedulikan lagi klinik giginya. Morton meninggal tanggal 15

Juli 1868 di usia 49 tahun di Rumah Sakit St. Luke’s, New York. Begitu

juga dengan Jacson yang meninggal dalam keadaan gila dan Wells yang

meninggal secara mengenaskan dengan cara bunuh diri.

Page 5: BAB I

BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. JD

Umur : 38 tahun

JK : laki-laki

No.RM :19-04-51

Alamat : Naku

Gol.darah : 0

Berat Badan : 52

Tinggi Badan : 160

Tanggal MRS :13-8-2015 (pkl.22.30)

Tanggal Masuk ICU : 15-8-2015

Tanggal keluar ICU : 17-8-2015

Agama : Kristen Protestan

Suku/Bangsa : Indonesia

Bangsal/Kamar : CHL

B. EVALUASI PRE-ANESTESI

1). Anamnesis (14 Agustus 2015)

Keluhan utama

Nyeri pada seluruh perut

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang di UGD dr.M.Haulussy pada tanggal 13 agustus 2015

dengan keluhan nyeri perut yang dialami ±2 minggu sebelum masuk

Rumah Sakit, nyeri terasa diseluruh bagian perut, terasa panas di dalam

perut. BAB dalam 2 minggu hanya berisi lendir bukan kototran. BAK

Page 6: BAB I

lancar, mual, muntah cairan, nafsu makan berkurang sejak 1 bulan

terakhir, hanya makan sediki-sedikit, perut kembung sejak 2 minggu

SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riw. Asma : -

Riw. Kejang : -

Riwayat Penyakit Keluarga

Riw. DM : -

Riw. Hipertensi : -

Riwayat Operasi & Anestesi

Tidak ada

Riwayat Alergi

Tidak ada

Riwayat Obat-Obatan

Tidak ada

2). Pemeriksaan Fisik

Status Gizi : Cukup.

Keadaan Psikis : Baik.

B1 : A: bebas; B: spontan; RR: 18x/m reguler; Inspeksi: pergerakan

dada simetris ki=ka; Auskultasi: suara napas vesikuler ki=ka;

SpO2: 100%

B2 : Akral hangat, kering, merah; TD: 136/91 mmHg; N: 127x/m

reguler, kuat angka; S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).

B3 : Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+.

B4 : BAK via kateter

B5 : Inspeksi: perut membesar dan ekstensi, Palpasi: NT(+), Auskultasi:

BU (-)

B6 : Fraktur (-), oedem (-).

Page 7: BAB I

3). Pemeriksaan Penunjang

• Laboratorium (14-8-2015)

Hb: 16,4 g/dL

Ht: 48,4%

Plt: 416.000

WBC: 58.000

Gol darah: O

• Laboratorium (15-8-2015)

Hb: 13,3g/dL

Ht: 39,1%

Plt: 231.000

WBC: 90.000

Gol darah: O

4). Diagnosis

Suspek Ileus Obstruktif

PS ASA II

5). Planning

Pro Laparotomi eksplorasi, LAR

Stop masukan oral

Puasa 6 jam sebelum operasi.

SAB

C. PRE-OPERATIF (15 Agustus 2015)

Diagnosa Pra Bedah: Ileus Obstruktif

Jenis Pembedahan: Laparotomi eksplorasi, Low anterior resection

Jenis Anestesi : Anastesi Umum GA-INTUBASI

Posisi: Supine.

Page 8: BAB I

Lama Anestesi:10.44 WIT - SAB.

Lama Operasi: 10.50 WIT - 13.10 WIT.

Premedikasi : Ranitidin 25 mg 1 amp, Ondancetron 2 mg 1 amp

Tindakan Anestesi Umum dengan Intubasi ETT:

1. Pasien di posisikan berbaring supine dengan preoksigenasi Kanul 02

5LPM.

2. Pkl 10.45 pasien diberikan induksi IV Sedacum 1 mg,Fentanyl 120

mg, recofol 120 mg, Atracurium 40mg

3. Pada pkl 10.48 dilakukan intubasi ett. ( memeriksa cuff , simetris kiri

kanan, fiksasi, masukan Orofaringeal)

4. Untuk Maintenance diberikan sevoflurane 1 vol% - 2 vol %.

5. Operasi dimulai pkl 10.55. Saat operasi dimulai tetap dilakukan

pemantauan tanda vital dan Sp02 tiap 5 menit. Cairan RL 30 ttes/menit

6. Pada Pkl 13.10 operasi berakhir.

D. INTRAOPERATIF

020406080100120140160

sistoldiastolnadi

Gambar 1. Laporan Intraoperatif (Sistol, Diastol, Nadi)

Page 9: BAB I

waktu obat keterangan

Pkl 11.00 Fentanyl 40mg opioid kuat analgetik

Pkl 11.35 Fentanyl 40 mg

Pkl 11.40 Atracurium 10 mg muscle relaxan non-depol

Pkl 11.50 Atracurium 10 mg

Ranitidine 50 mg Antagonis H2 asam.lmbng

Ondancetron 4 mg Anti Emetik

Pkl 11.55 Fentanyl 40 mg Opioid analgetik

Atracurium 10 mg muscle relaxan non-depol

Pkl 12.40 Efedrin 20 mg Agonis alfa adrenergikTD

Efedrin 10 mg

Tabel 1.1 Pemberian Obat-obatan selama Intraoperatif

D. POST-OPERATIF

B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, Rh (-), Wh (-).

B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 127 x/m, TD: 89/50 mmHg,

S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).

B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.

B4: BAK via cateter

B5: BU (-)

B6: edema (-).

INSTRUKSI

Awasi tanda-tanda vital

Baring posisi head up 30 derajat

Infus Futrolit:RL = 2:1

Ranitidine 50mg/ 12 jam IV

Catapain 0,5 gr/ 8 jam IV

Tramadol 100 mg dalam RL 500cc 28 tetes/mnt

Page 10: BAB I

Omeprazole 40 mg /24jam

Takar urin/24 jam

Lain-lain sesuai terapi bedah

Masuk ICU

Pasien masuk ICU Pkl 14.30

BAB III

Page 11: BAB I

PEMBAHASAN

ANESTESI UMUM

Obat Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 golongan yaitu

Anestesi inhalasi dan anestesi intravena.

1. ANESTESI INHALASI

Obat anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang

dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa

gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi

langsung ke udara inspirasi.

Mekanisme kerja obat anestesi inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri

dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernafasan

menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik daklam dunia

anestesiologi.

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat fisiknya:

1. Ambilan oleh paru

2. Difusi gas dari paru ke darah

3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya

Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan

menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah

adalah faktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan

pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut

dan lambat pada yang larut.

Kadar alveolus minimal ( KAM ) atau MAC ( minimum alveolar

concentration ) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan satu

atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50 % pasien yang

dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95 % pasien,

jika kadarnya dinaikkan diatas 30 % nilai KAM. Dalam keadaan seimbang,

Page 12: BAB I

tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah

dan otak tempat kerja obat.

Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:

1. Konsentrasi inspirasi.

Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah penuh, maka

ambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inpirasi sama dengan alveoli. Hal

ini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat kalau konsentrasi

makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang laring. Induksi

makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).

2. Ventilasi alveolar

Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi dan

sebaliknya.

3. Koefisien darah/gas

Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin rendah

konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.

4. Curah jantung atau aliran darah paru

Makin tinggi curah jantung makin cepat uap diambil

5. Hubungan ventilasi perfusi

Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik. Jumlah uap

dalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran yang sebenarnya, karena

sebagian uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit anestesi atau ke atmosfir

sekitar sebelum mencapai pernafasan.

Eliminasi

Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru.

Sebagian lagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450.

Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.

Pada kasus ini, jenis anestesi Inhalasi yang dipakai yaitu anestesi

inhalasi Sevoflurane yang dipakai untuk maintenance selama pasien di

operasi dengan 1 vol 0 2 vol % pemberian.

Page 13: BAB I

SEVOFLURANE

Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari

anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan

tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi

disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang

mnyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum

ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat

dikeluarkan oleh badan. Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime),

tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia. Dosis

pemberian seovofluran untuk premedikasi dapat dilakukan sesuai kebutuhan

pasien dan atas saran anestesiologist Anestesi pembedahan: Kadar sevofluran

akan keluar dari vaporized ketika anestesi dilakukan. Ini tergantung dari kalibrasi

vaporizer secara spesifik untuk sevofluran. Untuk dosis induksi dosis bersifat

individual dan efek obat tergantung pada usia dan status klinik pasien. Induksi

sevofluran dapat diberikan dengan campuran oksigen-nitro oksida. Pada orang

dewasa kadarnya dapat mencapai 5% sevofluran dan biasanya efek anestesi terjadi

kurang dari 2 menit. Pada anak-anak kadarnya dapat mencapai 7% sevofluran dan

biasanya efek anestesi terjadi kurang dari 2 menit. Untuk dosis pemeliharaan

untuk sevofluran kadar anestesi dapat tercapai dengan kadar 0,5-3% sevofluran

dengan atau tanpa pemakaian nitrogen oksida. Pada pasien lansia, kadar

sevofluran dapat dikurangi. Pada keadaan emergensi secara umum mendapatkan

anestesi sevofluran secara cepat. Maka pasien membutuhkan obat pereda nyeri

pasca bedah, lebih awal.

2. Anestesi Intravena

Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur

intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh

otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat-obat ini akan diedarkan

ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target

organ masing-masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan

farmakodinamiknya masing-masing.

Page 14: BAB I

Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta

mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.

Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping

yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek

samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan

efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.

Pada kasus ini obat anestesi intravena yang dipakai untuk induksi anestesi

pada pasien tersebut yaitu recofol dengan dosis 120mg.

RECOFOL

Recofol mulai direkomendasikan pada tahun 1986. Recofol sebanding

dengan thiopental tetapi lima kali lebih mahal, sangat larut dalam lemak dan

diformulasikan dalam bentuk emulsi putih yang berisi minyak kedelai dan telur

fosfatide. Recofol digunakan dalam dosis samapi 2,5mg/kg secara intravena.

Dosis sebaiknya dikurangi pada orang tua dan pasien dengan status hemodinamik

yang tidak stabil.

Penggunaan :

1. Sebagai obat induksi

2. Sebagai infus, dapat digunakan untuk memberikan anestesi intravena total

3. Untuk memberikan sedasi sadar

4. Sebagai infus kontinyu untuk memberikan sedasi pasien di ICU, karena masa

paruhnya sangat singkat.

Efek yang tidak diinginkan:

1. Depresi kardiovaskuler

2. Depresi respirasi

3. Nyeri pada saat injeksi

4. Reaksi alergi

Page 15: BAB I

INTUBASI ENDOTRAKEA

Anestesi umum melibatkan induksi tidak sadar pada pasien yang akan

menjalani operasi, dalam keadaan tidak sadar pasien selalu diperhatikan agar

pernapasannya tidak terganggu dan jalan napasnya juga tidak terganggu. Dalam

hal mempertahankan jalan napas intubasi endotrakea adalah cara yang paling

defenitif untuk mempertahankan jalan napas pada pasien yang memerlukan

ventilasi tekanan positif intermiten.

Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum

diperlukan teknik intubasi endotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik

memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas.

Intubasi endotrakheal adalah tindakan untuk memasukan pipa endostracheal

kedalam trachea.

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk

membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap

paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi

bagi pasien operasi.

Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :

a. Mempermudah pemberian anestesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan

kelancaran pernafasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak

sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).

d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

A. Persiapan pasien 

Beritahukan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan

Mintakan persetujuan keluarga / informed consent

Berikan support mental

Page 16: BAB I

Hisap cairan / sisa makanan dari naso gastric tube.

Yakinkan pasien terpasang IV line dan infus menetes dengan lancar

B. Persiapan Alat

Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu

disiapkan yang disingkat dengan STATICS.

S = Scope   

Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.

Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop

untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa

trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam

laringoskop:

a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.

b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah

lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

Gambar 1.1 Blade Miller dan Macintosh

T = Tubes

Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia,

pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan

biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter

pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea

untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di

bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir

Page 17: BAB I

bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi

dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan

untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan

lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma

selaput lendir trakea dan postintubation croup.

Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau

melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tubeumumnya

digunakan bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan,

mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi

akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan

pada pasien dengan farktur basis kranii.

Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak

pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.2 . Pipa Trakea

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:

Diameter dalam pipa trakea (mm)                          = 4,0 + ¼ umur (tahun)

Panjang pipa orotrakeal (cm)                                  = 12 + ½ umur (tahun)

Panjang pipa nasotrakeal (cm)                                 = 12 + ½ umur (tahun)

Page 18: BAB I

Gambar 1.2 Pipa Endotrakeal

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,

mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,

oksigenasi dan pengisapan. Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC

(Polyvinyl Chloride) yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor

standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan

memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan

perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan

jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman pipa.

Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa

trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada

umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar

yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur

8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis

(makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai

pada anak, terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa

balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa

tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi

kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai

laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara

Page 19: BAB I

tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat

(blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optik

Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk

memakai pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak

kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan

tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa

trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan

memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan

tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan

terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif. 

A = Airway

Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan

napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-

faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat

pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

T = Tape

Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak

terdorong atau tercabut.

I = Introducer

Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang

dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya

pipa trakea mudah dimasukkan.

C = Connector

Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag

valve mask ataupun peralatan anestesia.

S = Suction

Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.

Page 20: BAB I

C. Kontraindikasi

a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra

servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

b.  Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi,

penanganan jalan nafas jangka panjang, mempermudah proses weaning

ventilator.

D. Penyulit Intubasi Trakea

Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi

anatomi yang dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka

masimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi

empat kelas. Sedangkan menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi

juga dibagi menjadi 4 gradasi.

Gambar 1.3. Klasifikasi Mellampati (kiri), Klasifikasi Grade Laringoskopi dari Cormack

dan Lehane (kanan)

Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi:

1. Leher pendek dan berotot

2. Mandibula menonjol

3. Maksila/gigi depan menonjol

4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)

5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

6. Gerak verteba servikal terbatas.

Page 21: BAB I

E. Teknik Intubasi

Intubasi Orotrakeal

Intubasi orotrakeal biasanya menggunakan laringoskop dengan dua

jenis blade yang paling umum digunakan, yaitu Macintosh dan

Miller. Blade Macintosh berbentuk lengkung. Ujungnya dimasukkan ke dalam

Valekula (celah antara pangkal lidah dan permukaan faring dari epiglotis).

Pemakaian blade Macintosh ini memungkinkan insersi pipa endotrakeal lebih

mudah dan dengan risiko trauma minimal pada epiglotis. Ukuran

pada blade Macintosh pun beragam dari nomor 1 hingga nomor 4. Untuk dewasa,

pada umumnya digunakan ukuran nomor 3.

Sedangkan blade Miller berbentuk lurus, dan ujungnya berada tepat di

bawah permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis kemudian diangkat untuk

melihat pita suara. Kelebihan dari blade Miller ini adalah anestesiologis dapat

melihat dengan jelas terbukanya epoglotis, namun di sisi lain jalur oro-hipofaring

lebih sempit. Ukuran bervariasi dari nomor 0 hingga nomor 4, dengan ukuran

yang paling umum digunakan untuk dewasa berkisar antara nomor 2 atau 3.

Pasien diposisikan dalam posisi “sniffing”, dimana oksiput diangkat atau

dielevasi dengan bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan leher dalam posisi

ekstensi. Biasanya posisi seperti ini akan memperluas pandangan laringoskopik.

Sedangkan posisi leher fleksi mempersulit dalam pasien membuka mulut.

Gambar  1.4. Sniffing Position

Page 22: BAB I

Laringoskop dipegang tangan kiri pada sambungan

antarahandle dan blade. Setelah memastikan mulut pasien terbuka dengan teknik

“cross finger” dari jari tangan kanan, laringoskop dimasukkan ke sisi kanan mulut

pasien sambil menyingkirkan lidah ke sisi kiri. Bibir dan gigi pasien tidak boleh

terjepit oleh blade. Blade kemudian diangkat sehingga terlihat epiglotis terbuka.

Laringoskop harus diangkat, bukan didorong ke depan agar kerusakan pada gigi

maupun gusi pada rahang atas dapat dihindari.

Ukuran pipa endotrakeal (endotracheal tube / ETT) bergantung pada usia

pasien, bentuk badan, dan jenis operasi yang akan dilakukan. ETT dengan ukuran

7.0 mm digunakan untuk hampir seluruh wanita, sedangkan ukuran 8.0 pada

umumnya digunkan pada pria. ETT dipegang dengan tangan kanan seperti

memegang pensil lalu dimasukkan melalui sisi kanan rongga mulut kemudian

masuk ke pita suara. Bila epiglotis terlihat tidak membuka dengan baik, penting

untuk menjadikan epiglotis sebagai landasan dan segera masukkan ETT di

bawahnya lalu masuk ke trakea. Tekanan eksternal pada krikoid maupun kartilago

tiroid dapat membantu memperjelas pandangan anestesiologis. Ujung proksimal

dari balon ETT ditempatkan di bawah pita suara, lalu balon dikembangkan dengan

udara positif dengan tekanan 20-30 cmH2O.

Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima area,

yaitu kedua apeks paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara napas

terdengar hanya pada salah satu sisi paru saja, maka diperkirakan telah terjadi

intubasi endobronkial dan ETT harus ditarik perlahan hingga suara napas

terdengar simetris di lapangan paru kanan dan kiri. ETT kemudian difiksasi segera

dengan menggunakan plester.

Page 23: BAB I

Gambar  1.5. Intubasi Orotrakeal

F. Komplikasi

Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik

anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang

cepat, sederhana, aman dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan

dari tatalaksana jalan napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap

paten, menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama

dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.

1. Komplikasi yang berhubungan dengan intubasi endotrakeal

Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi

endotrakeal dapat dibagi menjadi:

Faktor pasien:

1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena

memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema

pada jalan napas.

2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.

3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat

menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung

mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.

4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.

Page 24: BAB I

Faktor yang berhubungan dengan anestesi:

1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi

krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya

komplikasi selama tatalaksana jalan napas

2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan

pasien dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam

intubasi.

Faktor yang berhubungan dengan peralatan:

1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan

yang maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan

yang terjadi pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi

pemakaian tube tersebut.

2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya

trauma.

3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.

4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan

toksik berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.

5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan

tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di

bagian yang tidak tepat.

Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan

ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan

melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah

tidak dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena

proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau

hipoksia otak. Krikotirotomi (bukan trakeostomi)  merupakan metode yang dipilih

ketika dalam keadaan emergensi seperti pada kasuscannot-ventilation-cannot-

intubation (CVCI).

Page 25: BAB I

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Nileshwar A, Instant Acces Anestesiologi. Jakarta.2014. BINAPURA

AKSARA.p11

2. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathofisiology. Germany.2012

3. European Journal of Anaesthesiology. Volume 31.2014

4. Latief, Said A, dkk, Buku Praktis Anestiologi, Bagian Anestiologi dan Terapi

Intensif, FKUI, Jakarta. 2012

5. Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An, Buku Ajar Ilmu Anestesi

dan Reanimasi, PT. Indeks, Jakarta. 2013

6. Dachlan,R.,dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan

Terapi FK UI. Jakarta. 2012

7. Longnecker D, dkk, Anesthesiology.The McGraw-Hill Medical. New York.

2012.

8. Millers R, Miller’s Anesthesia. 6th Edition. 2015

9. Aitkenhead A, Textbook of Anesthesia. 4th edition. London. Elseiver Science.

2015

10. Barash P, Clinical Anesthesia, 5th Edition.

11. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.

2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams

& Wilkins.

12. Boulton, Thomas dkk. 2010. Anestesiologi edisi 10. EGC: Jakarta

13. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi, EGC, 1994, Jakarta.

14. Rahardjo, E., Rahardjo, P., Sulistiyono, H., Anestesi untuk pembedahan

darurat. 2010

15. The Journal of The American Society of Anesthesiologist. Vol.123.Issue 3.

2015