BAB I
-
Upload
evaa-michizane-nurtanio -
Category
Documents
-
view
220 -
download
2
description
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1. Defenisi
Anestesi ( Pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-“tidak atau
tanpa” dan aesthetos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum
berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Istilah anestesi pertama kali digunakan oleh oliver Wendel
Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat irreversible. Anestesi umum yang
sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgetik, relaxasi otot tanpa
menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Komponen anestesi
yang ideal (trias anestesi) terdiri dari: hipnotik, anelgetik dan Relaksasi otot.
Prakter anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan,
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya
mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Namun, obat-obat anestesi
tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan
kesadaran. Selain itu juga dibutuhkan relaksasi otot yang optimal agar
operasi dapat berjalan lancar.
2. Sejarah Anestesi
Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes (1809-
1894), yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya
berprofesi menghilangkan rasa nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama,
dan sesudah pembedahan.
Awal pemakaian obat anestesi berawal dari digunakannya eter. Eter
([CH3CH2]20) adalah salah satu zat yang banyak digunakan sebagai
anestesi dalam dunia kedokteran hingga saat ini. Eter ditemukan seorang
ahli kimia berkebangsaan spanyol, Raymundus Lullius pada tahun 1275.
Lullius menamai eter “sweet vitriol”. Eter pertama kali disintesis Valerius
Cordus, Ilmuan dari Jerman pada tahun 1640. Kemudian seorang ilmuan
bernama W.G Frobenius mengubah nama “sweet vitriol” menjadi eter pada
tahun 1730. Sebelum penemuan eter, Priestly menemukan gas nitrogen-
oksida pada tahun 1777, dan berselang dua tahun dari temuannya itu Davy
menjelaskan kegunaan gas nitrogen oksida dalam menghilangkan rasa sakit.
Sebelum tahun 1844, gas eter maupun nitrogen oksida banyak
digunakan untuk pesta mabuk-mabukan. Mereka menamai zat tersebut gas
tertawa, karena efek dari menghirup gas ini membuat orang tertawa dan
lupa segalanya. Penggunaan eter atau gas nitrogen oksida sebagai
penghilang sakit dalam dunia kedokteran sebenarnya sudah dimulai Horace
Wells sejak tahun 1844. Sebagai dokter gigi, ia bereksperimen dengan
nitrogen-oksida sebagai penghilang rasa sakit kepada pasiennya saat dicabut
giginya. Sayangnya usahanya mempertotonkan di depan mahasiswa
kedokteran John C. Warren di Rumah Sakit Umum Massachusetts,
Bostongagal, bahkan mendapat cemohan. Usahanya diteruskan William
Thomas Green Morton. Morton adalah sesama dokter gigi yang sempat
buka praktik bersama Horace Wells pada tahun 1842, ia lahir di Chaltron,
Massachussets, Amerika Serikat pada tanggal 9 Agustus 1819. Pada usia 17
tahun, ia sudah merantau ke Boston untuk berwirausaha. Beberapa tahun
kemudian mengambil kuliah kedokteran gigi di Baltimore College of Dental
Surgery. Morton meneruskan kuliah di Harvard pada tahun 1844 untuk
memperoleh gelar dokter. Namun karena kesulitan biaya, tidak ia teruskan.
Pada tahun yang sama, ia menikahi Elizabeth Whitman dan kembali
membuka praktik giginya. Ia berkonsentrasi dalam membuat dan memasang
gigi palsu serta mencabut gigi. Suatu pekerjaan yang membutuhkan cara
menghilangkan rasa sakit. Morton berpikir untuk menggunakan gas
nitrogen-oksida dalam praktiknya sebagaimana yang dilakukan wells.
Kemudian ia meminta gas nitrogen-oksida kepada Charles Jackson, seorang
ahli kimia ternama di sekolah kedokteran harvard. Namun jackson justru
menyarankan eter sebagai pengganti gas nitrogen-oksida.
Morton menemukan efek bius eter lebih kuat dibanding gas nitrogen-
oksida. Bahkan pada tahun 1846 Morton mendemostrasikan penggunaan
eter dalam pembedahan di Rumah Sakit Umum Massachusetts. Saat pasien
dokter Warren telah siap, morton mengeluarkan gas eter atau disebutnya gas
letheon yang telah dikemas dalam suatu kantong gas yang dipasang suatu
alat seperti masker. Sesaat pasien mengidap tumor tersebut hilang kesadaran
dan tertidur. Dokter warren dengan sigap mengoperasi tumor dan
mengeluarkannya dari leher pasien hingga operasi selesai tanpa hambatan
berarti.
Tanggal 16 oktober 1846 menjadi hari bersejarah bagi dunia
kedokteran. Demonstrasi morton berhasil dengan baik dan memicu
penggunaan eter sebagai anaestesi secara besar-besaran. Revolusi
pembedahan dimulai dan eter sebagai anestesi dipakai hingga saat ini. Ia
bukanlah yang pertama kali menggunakan anestesi, namun berkat
usahanyalah anestesi diakui dunia kedokteran. Wajar jika Morton masuk
dalam 100 orang paling berpengaruh dalam sejarah dunia dalam buku yang
ditulis William H.Hart beberapa tahun lalu.dibalik kesuksesan zat anestesi
dalam membius pasien, para penemu dan penggagas zat anestesi telah
terbius ketamakan mereka untuk memiliki dan mendapatkan panghasilan
dari paten anestesi yang telah digunakan seluruh dokter diseluruh bagian
dunia. Terjadilah perseteruan antara Morton, Wells dan Jacson. Masing-
masing mengklaim zat anestesi adalah hasil penemuannya. Ditempat
berbeda seorang dokter bernama Crawford W. Long telah menggunakan
eter sebagai zat anestesi sejak tahun 1842, empat tahun sebelum Morton
mempublikasikan ke masyarakat luas. Ia telah menggunakan eter di setiap
operasi bedahnya. Sayang, ia tidak mempublikasikannya, hanya
mempraktikan untuk pasien-pasiennya. Sementara ketiga dokter dan ilmuan
yang awalnya adalah tiga sahabat itu mulai besar kepala, dokter Long tetap
menjalankan profesinya sebagai dokter spesialis bedah. Wells, Morton dan
Jacson menghabiskan hidupnya demi pengakuan dari dunia bahwa zat
anestesi merupakan hasil temuannya. Morton selama dua puluh tahun
menghabiskan waktu dan uangnnya untuk mempromosikan hasil
temuannya. Ia mengalami masalah meskipun telah mendaftarkan hak
patennya di Lembaga Paten di Amerika Serikat (U.S. Paten No.4848,
November 12, 1846). Ketika tahun 1847 dunia kedokteran mengetahui, zat
yang digunakan adalah eter yang telah digunakan sejak abad 16, Morton
tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mendapatkan keuntungan dari
patennya. Jackson juga mengklaim, dirinya juga berhak atas penemuan
tersebut.
Ketika Akademi kedokteran Prancis menganugerahkan penghargaan
Monthyon yang bernilai 5.000 Frank di tahun 1846, Morton menolak untuk
membaginya dengan Jacson. Ia mengklaim, penemuan tersebut adalah
miliknya pribadi. Sementara itu, wells mencoba eksperimen dengan zat lain
(kloroform) sebagai bahan anestesi. Selama bertahun-tahun Morton
menghabiskan waktu dan materi untuk mgnklaim patennya. Ia mulai stres
dan tidak mempedulikan lagi klinik giginya. Morton meninggal tanggal 15
Juli 1868 di usia 49 tahun di Rumah Sakit St. Luke’s, New York. Begitu
juga dengan Jacson yang meninggal dalam keadaan gila dan Wells yang
meninggal secara mengenaskan dengan cara bunuh diri.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. JD
Umur : 38 tahun
JK : laki-laki
No.RM :19-04-51
Alamat : Naku
Gol.darah : 0
Berat Badan : 52
Tinggi Badan : 160
Tanggal MRS :13-8-2015 (pkl.22.30)
Tanggal Masuk ICU : 15-8-2015
Tanggal keluar ICU : 17-8-2015
Agama : Kristen Protestan
Suku/Bangsa : Indonesia
Bangsal/Kamar : CHL
B. EVALUASI PRE-ANESTESI
1). Anamnesis (14 Agustus 2015)
Keluhan utama
Nyeri pada seluruh perut
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang di UGD dr.M.Haulussy pada tanggal 13 agustus 2015
dengan keluhan nyeri perut yang dialami ±2 minggu sebelum masuk
Rumah Sakit, nyeri terasa diseluruh bagian perut, terasa panas di dalam
perut. BAB dalam 2 minggu hanya berisi lendir bukan kototran. BAK
lancar, mual, muntah cairan, nafsu makan berkurang sejak 1 bulan
terakhir, hanya makan sediki-sedikit, perut kembung sejak 2 minggu
SMRS.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riw. Asma : -
Riw. Kejang : -
Riwayat Penyakit Keluarga
Riw. DM : -
Riw. Hipertensi : -
Riwayat Operasi & Anestesi
Tidak ada
Riwayat Alergi
Tidak ada
Riwayat Obat-Obatan
Tidak ada
2). Pemeriksaan Fisik
Status Gizi : Cukup.
Keadaan Psikis : Baik.
B1 : A: bebas; B: spontan; RR: 18x/m reguler; Inspeksi: pergerakan
dada simetris ki=ka; Auskultasi: suara napas vesikuler ki=ka;
SpO2: 100%
B2 : Akral hangat, kering, merah; TD: 136/91 mmHg; N: 127x/m
reguler, kuat angka; S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
B3 : Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
B4 : BAK via kateter
B5 : Inspeksi: perut membesar dan ekstensi, Palpasi: NT(+), Auskultasi:
BU (-)
B6 : Fraktur (-), oedem (-).
3). Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (14-8-2015)
Hb: 16,4 g/dL
Ht: 48,4%
Plt: 416.000
WBC: 58.000
Gol darah: O
• Laboratorium (15-8-2015)
Hb: 13,3g/dL
Ht: 39,1%
Plt: 231.000
WBC: 90.000
Gol darah: O
4). Diagnosis
Suspek Ileus Obstruktif
PS ASA II
5). Planning
Pro Laparotomi eksplorasi, LAR
Stop masukan oral
Puasa 6 jam sebelum operasi.
SAB
C. PRE-OPERATIF (15 Agustus 2015)
Diagnosa Pra Bedah: Ileus Obstruktif
Jenis Pembedahan: Laparotomi eksplorasi, Low anterior resection
Jenis Anestesi : Anastesi Umum GA-INTUBASI
Posisi: Supine.
Lama Anestesi:10.44 WIT - SAB.
Lama Operasi: 10.50 WIT - 13.10 WIT.
Premedikasi : Ranitidin 25 mg 1 amp, Ondancetron 2 mg 1 amp
Tindakan Anestesi Umum dengan Intubasi ETT:
1. Pasien di posisikan berbaring supine dengan preoksigenasi Kanul 02
5LPM.
2. Pkl 10.45 pasien diberikan induksi IV Sedacum 1 mg,Fentanyl 120
mg, recofol 120 mg, Atracurium 40mg
3. Pada pkl 10.48 dilakukan intubasi ett. ( memeriksa cuff , simetris kiri
kanan, fiksasi, masukan Orofaringeal)
4. Untuk Maintenance diberikan sevoflurane 1 vol% - 2 vol %.
5. Operasi dimulai pkl 10.55. Saat operasi dimulai tetap dilakukan
pemantauan tanda vital dan Sp02 tiap 5 menit. Cairan RL 30 ttes/menit
6. Pada Pkl 13.10 operasi berakhir.
D. INTRAOPERATIF
020406080100120140160
sistoldiastolnadi
Gambar 1. Laporan Intraoperatif (Sistol, Diastol, Nadi)
waktu obat keterangan
Pkl 11.00 Fentanyl 40mg opioid kuat analgetik
Pkl 11.35 Fentanyl 40 mg
Pkl 11.40 Atracurium 10 mg muscle relaxan non-depol
Pkl 11.50 Atracurium 10 mg
Ranitidine 50 mg Antagonis H2 asam.lmbng
Ondancetron 4 mg Anti Emetik
Pkl 11.55 Fentanyl 40 mg Opioid analgetik
Atracurium 10 mg muscle relaxan non-depol
Pkl 12.40 Efedrin 20 mg Agonis alfa adrenergikTD
Efedrin 10 mg
Tabel 1.1 Pemberian Obat-obatan selama Intraoperatif
D. POST-OPERATIF
B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, Rh (-), Wh (-).
B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 127 x/m, TD: 89/50 mmHg,
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
B4: BAK via cateter
B5: BU (-)
B6: edema (-).
INSTRUKSI
Awasi tanda-tanda vital
Baring posisi head up 30 derajat
Infus Futrolit:RL = 2:1
Ranitidine 50mg/ 12 jam IV
Catapain 0,5 gr/ 8 jam IV
Tramadol 100 mg dalam RL 500cc 28 tetes/mnt
Omeprazole 40 mg /24jam
Takar urin/24 jam
Lain-lain sesuai terapi bedah
Masuk ICU
Pasien masuk ICU Pkl 14.30
BAB III
PEMBAHASAN
ANESTESI UMUM
Obat Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 golongan yaitu
Anestesi inhalasi dan anestesi intravena.
1. ANESTESI INHALASI
Obat anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa
gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi.
Mekanisme kerja obat anestesi inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri
dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernafasan
menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik daklam dunia
anestesiologi.
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat fisiknya:
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan
menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah
adalah faktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan
pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut
dan lambat pada yang larut.
Kadar alveolus minimal ( KAM ) atau MAC ( minimum alveolar
concentration ) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan satu
atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50 % pasien yang
dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95 % pasien,
jika kadarnya dinaikkan diatas 30 % nilai KAM. Dalam keadaan seimbang,
tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah
dan otak tempat kerja obat.
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:
1. Konsentrasi inspirasi.
Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah penuh, maka
ambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inpirasi sama dengan alveoli. Hal
ini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat kalau konsentrasi
makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang laring. Induksi
makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).
2. Ventilasi alveolar
Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi dan
sebaliknya.
3. Koefisien darah/gas
Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin rendah
konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung makin cepat uap diambil
5. Hubungan ventilasi perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik. Jumlah uap
dalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran yang sebenarnya, karena
sebagian uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit anestesi atau ke atmosfir
sekitar sebelum mencapai pernafasan.
Eliminasi
Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru.
Sebagian lagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450.
Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.
Pada kasus ini, jenis anestesi Inhalasi yang dipakai yaitu anestesi
inhalasi Sevoflurane yang dipakai untuk maintenance selama pasien di
operasi dengan 1 vol 0 2 vol % pemberian.
SEVOFLURANE
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
mnyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum
ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat
dikeluarkan oleh badan. Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime),
tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia. Dosis
pemberian seovofluran untuk premedikasi dapat dilakukan sesuai kebutuhan
pasien dan atas saran anestesiologist Anestesi pembedahan: Kadar sevofluran
akan keluar dari vaporized ketika anestesi dilakukan. Ini tergantung dari kalibrasi
vaporizer secara spesifik untuk sevofluran. Untuk dosis induksi dosis bersifat
individual dan efek obat tergantung pada usia dan status klinik pasien. Induksi
sevofluran dapat diberikan dengan campuran oksigen-nitro oksida. Pada orang
dewasa kadarnya dapat mencapai 5% sevofluran dan biasanya efek anestesi terjadi
kurang dari 2 menit. Pada anak-anak kadarnya dapat mencapai 7% sevofluran dan
biasanya efek anestesi terjadi kurang dari 2 menit. Untuk dosis pemeliharaan
untuk sevofluran kadar anestesi dapat tercapai dengan kadar 0,5-3% sevofluran
dengan atau tanpa pemakaian nitrogen oksida. Pada pasien lansia, kadar
sevofluran dapat dikurangi. Pada keadaan emergensi secara umum mendapatkan
anestesi sevofluran secara cepat. Maka pasien membutuhkan obat pereda nyeri
pasca bedah, lebih awal.
2. Anestesi Intravena
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh
otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat-obat ini akan diedarkan
ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target
organ masing-masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan
farmakodinamiknya masing-masing.
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta
mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.
Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping
yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek
samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan
efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.
Pada kasus ini obat anestesi intravena yang dipakai untuk induksi anestesi
pada pasien tersebut yaitu recofol dengan dosis 120mg.
RECOFOL
Recofol mulai direkomendasikan pada tahun 1986. Recofol sebanding
dengan thiopental tetapi lima kali lebih mahal, sangat larut dalam lemak dan
diformulasikan dalam bentuk emulsi putih yang berisi minyak kedelai dan telur
fosfatide. Recofol digunakan dalam dosis samapi 2,5mg/kg secara intravena.
Dosis sebaiknya dikurangi pada orang tua dan pasien dengan status hemodinamik
yang tidak stabil.
Penggunaan :
1. Sebagai obat induksi
2. Sebagai infus, dapat digunakan untuk memberikan anestesi intravena total
3. Untuk memberikan sedasi sadar
4. Sebagai infus kontinyu untuk memberikan sedasi pasien di ICU, karena masa
paruhnya sangat singkat.
Efek yang tidak diinginkan:
1. Depresi kardiovaskuler
2. Depresi respirasi
3. Nyeri pada saat injeksi
4. Reaksi alergi
INTUBASI ENDOTRAKEA
Anestesi umum melibatkan induksi tidak sadar pada pasien yang akan
menjalani operasi, dalam keadaan tidak sadar pasien selalu diperhatikan agar
pernapasannya tidak terganggu dan jalan napasnya juga tidak terganggu. Dalam
hal mempertahankan jalan napas intubasi endotrakea adalah cara yang paling
defenitif untuk mempertahankan jalan napas pada pasien yang memerlukan
ventilasi tekanan positif intermiten.
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi endotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik
memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas.
Intubasi endotrakheal adalah tindakan untuk memasukan pipa endostracheal
kedalam trachea.
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap
paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi
bagi pasien operasi.
Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
A. Persiapan pasien
Beritahukan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
Mintakan persetujuan keluarga / informed consent
Berikan support mental
Hisap cairan / sisa makanan dari naso gastric tube.
Yakinkan pasien terpasang IV line dan infus menetes dengan lancar
B. Persiapan Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu
disiapkan yang disingkat dengan STATICS.
S = Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.
Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop
untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa
trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam
laringoskop:
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah
lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
Gambar 1.1 Blade Miller dan Macintosh
T = Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia,
pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter
pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea
untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di
bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir
bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi
dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan
untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan
lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma
selaput lendir trakea dan postintubation croup.
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tubeumumnya
digunakan bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan,
mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi
akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan
pada pasien dengan farktur basis kranii.
Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak
pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.2 . Pipa Trakea
Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Gambar 1.2 Pipa Endotrakeal
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan. Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC
(Polyvinyl Chloride) yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor
standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan
memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan
perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan
jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman pipa.
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa
trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada
umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar
yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur
8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis
(makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai
pada anak, terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa
balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa
tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi
kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai
laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara
tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat
(blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optik
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk
memakai pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak
kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan
tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa
trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan
memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan
tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan
terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
A = Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan
napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
T = Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
I = Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya
pipa trakea mudah dimasukkan.
C = Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag
valve mask ataupun peralatan anestesia.
S = Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.
C. Kontraindikasi
a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
b. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi,
penanganan jalan nafas jangka panjang, mempermudah proses weaning
ventilator.
D. Penyulit Intubasi Trakea
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi
anatomi yang dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka
masimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi
empat kelas. Sedangkan menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi
juga dibagi menjadi 4 gradasi.
Gambar 1.3. Klasifikasi Mellampati (kiri), Klasifikasi Grade Laringoskopi dari Cormack
dan Lehane (kanan)
Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi:
1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.
E. Teknik Intubasi
Intubasi Orotrakeal
Intubasi orotrakeal biasanya menggunakan laringoskop dengan dua
jenis blade yang paling umum digunakan, yaitu Macintosh dan
Miller. Blade Macintosh berbentuk lengkung. Ujungnya dimasukkan ke dalam
Valekula (celah antara pangkal lidah dan permukaan faring dari epiglotis).
Pemakaian blade Macintosh ini memungkinkan insersi pipa endotrakeal lebih
mudah dan dengan risiko trauma minimal pada epiglotis. Ukuran
pada blade Macintosh pun beragam dari nomor 1 hingga nomor 4. Untuk dewasa,
pada umumnya digunakan ukuran nomor 3.
Sedangkan blade Miller berbentuk lurus, dan ujungnya berada tepat di
bawah permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis kemudian diangkat untuk
melihat pita suara. Kelebihan dari blade Miller ini adalah anestesiologis dapat
melihat dengan jelas terbukanya epoglotis, namun di sisi lain jalur oro-hipofaring
lebih sempit. Ukuran bervariasi dari nomor 0 hingga nomor 4, dengan ukuran
yang paling umum digunakan untuk dewasa berkisar antara nomor 2 atau 3.
Pasien diposisikan dalam posisi “sniffing”, dimana oksiput diangkat atau
dielevasi dengan bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan leher dalam posisi
ekstensi. Biasanya posisi seperti ini akan memperluas pandangan laringoskopik.
Sedangkan posisi leher fleksi mempersulit dalam pasien membuka mulut.
Gambar 1.4. Sniffing Position
Laringoskop dipegang tangan kiri pada sambungan
antarahandle dan blade. Setelah memastikan mulut pasien terbuka dengan teknik
“cross finger” dari jari tangan kanan, laringoskop dimasukkan ke sisi kanan mulut
pasien sambil menyingkirkan lidah ke sisi kiri. Bibir dan gigi pasien tidak boleh
terjepit oleh blade. Blade kemudian diangkat sehingga terlihat epiglotis terbuka.
Laringoskop harus diangkat, bukan didorong ke depan agar kerusakan pada gigi
maupun gusi pada rahang atas dapat dihindari.
Ukuran pipa endotrakeal (endotracheal tube / ETT) bergantung pada usia
pasien, bentuk badan, dan jenis operasi yang akan dilakukan. ETT dengan ukuran
7.0 mm digunakan untuk hampir seluruh wanita, sedangkan ukuran 8.0 pada
umumnya digunkan pada pria. ETT dipegang dengan tangan kanan seperti
memegang pensil lalu dimasukkan melalui sisi kanan rongga mulut kemudian
masuk ke pita suara. Bila epiglotis terlihat tidak membuka dengan baik, penting
untuk menjadikan epiglotis sebagai landasan dan segera masukkan ETT di
bawahnya lalu masuk ke trakea. Tekanan eksternal pada krikoid maupun kartilago
tiroid dapat membantu memperjelas pandangan anestesiologis. Ujung proksimal
dari balon ETT ditempatkan di bawah pita suara, lalu balon dikembangkan dengan
udara positif dengan tekanan 20-30 cmH2O.
Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima area,
yaitu kedua apeks paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara napas
terdengar hanya pada salah satu sisi paru saja, maka diperkirakan telah terjadi
intubasi endobronkial dan ETT harus ditarik perlahan hingga suara napas
terdengar simetris di lapangan paru kanan dan kiri. ETT kemudian difiksasi segera
dengan menggunakan plester.
Gambar 1.5. Intubasi Orotrakeal
F. Komplikasi
Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik
anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang
cepat, sederhana, aman dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan
dari tatalaksana jalan napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap
paten, menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama
dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.
1. Komplikasi yang berhubungan dengan intubasi endotrakeal
Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi
endotrakeal dapat dibagi menjadi:
Faktor pasien:
1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena
memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema
pada jalan napas.
2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat
menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung
mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.
4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.
Faktor yang berhubungan dengan anestesi:
1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi
krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya
komplikasi selama tatalaksana jalan napas
2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan
pasien dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam
intubasi.
Faktor yang berhubungan dengan peralatan:
1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan
yang maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan
yang terjadi pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi
pemakaian tube tersebut.
2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya
trauma.
3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan
toksik berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan
tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di
bagian yang tidak tepat.
Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan
ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan
melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah
tidak dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena
proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau
hipoksia otak. Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih
ketika dalam keadaan emergensi seperti pada kasuscannot-ventilation-cannot-
intubation (CVCI).
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Nileshwar A, Instant Acces Anestesiologi. Jakarta.2014. BINAPURA
AKSARA.p11
2. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathofisiology. Germany.2012
3. European Journal of Anaesthesiology. Volume 31.2014
4. Latief, Said A, dkk, Buku Praktis Anestiologi, Bagian Anestiologi dan Terapi
Intensif, FKUI, Jakarta. 2012
5. Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An, Buku Ajar Ilmu Anestesi
dan Reanimasi, PT. Indeks, Jakarta. 2013
6. Dachlan,R.,dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi FK UI. Jakarta. 2012
7. Longnecker D, dkk, Anesthesiology.The McGraw-Hill Medical. New York.
2012.
8. Millers R, Miller’s Anesthesia. 6th Edition. 2015
9. Aitkenhead A, Textbook of Anesthesia. 4th edition. London. Elseiver Science.
2015
10. Barash P, Clinical Anesthesia, 5th Edition.
11. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams
& Wilkins.
12. Boulton, Thomas dkk. 2010. Anestesiologi edisi 10. EGC: Jakarta
13. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi, EGC, 1994, Jakarta.
14. Rahardjo, E., Rahardjo, P., Sulistiyono, H., Anestesi untuk pembedahan
darurat. 2010
15. The Journal of The American Society of Anesthesiologist. Vol.123.Issue 3.
2015