BAB I
-
Upload
franze-tambunan -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
description
Transcript of BAB I
![Page 1: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Megakolon adalah dilatasi abnormal dari kolon yang sering disertai oleh paralisis dari
peristaltik usus. Megakolon dapat akut maupun kronik. Berdasarkan etiologinya, megakolon
dibagi menjadi 2 yaitu megakolon kongenital yang sering disebut dengan penyakit
Hirschsprung serta megakolon non kongenital atau akuisita yang biasanya terjadi akibat dari
beberapa penyakit tertentu.1
Megakolon kongenital atau hirschsprung adalah penyakit yang ditandai dengan tidak
adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid colon dan ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus
spontan. Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan
inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang
usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum.
Segmen yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai
seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.1,4
Hirschprung pertama kali dilaporkan pada tahun 1961 oleh Frederick Ruysch, namun
seorang dokter anak bernama Harold Hirschprung pada tahun 1886 yang mempublikasikan
penjelasan klasik mengenai megakolon kongenital ini.3,4 Penyakit hirschsprung adalah
penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering pada neonatus, dengan insiden
keseluruhan 1 : 5000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan
perbandingan 4:1. Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-
laki.4
Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan dengan berat
lahir ≥ 3 kg (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat
mengeluarkan tinja. Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah pengeluaran
mekonium yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau, dan perut
membuncit keseluruhan.
1
![Page 2: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/2.jpg)
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin mengingat
berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa pasien seperti
enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan septikimia yang dapat
menyebabkan kematian. Enterokolitis merupakan komplikasi yang amat berbahaya sehingga
mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak ditangani dengan sempurna. Diagnosis penyakit
ini dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen dengan
enema barium, pemeriksaan manometri, serta pemeriksaan patologi anatomi.
Penatalaksanaan Penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non bedah dan tindakan
bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-komplikasi yang
mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi
defenitif dapat dikerjakan. Tindakan bedah pada penyakit ini terdiri dari tindakan bedah
sementara yang bertujuan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada
kolon yang mempunyai ganglion normal di bagian distal dan tindakan bedah definitif yang
dilakukan antara lain menggunakan prosedur Duhamel, Swenson, Soave, dan Rehbei. Dari
sekian banyak sarana penunjang diagnostik, maka diharapkan pada klinisi untuk segera
mengetahui gejala dan tanda pada penyakit Hirschsprung. Karena penemuan dan penanganan
yang cepat dan tepat dapat mengurangi insidensi Penyakit Hirschsprung di dunia, khususnya
di Indonesia.
2
![Page 3: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/3.jpg)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Fisiologi
Gambar 1. Anatomi usus besar manusia
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki
(sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar lebih
besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat
anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum.
Sekum terletak di daerah iliaka kanan dan menempel pada otot iliopsoas. Pada
sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum
menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol
aliran kimus dari ileum ke sekum. Reflek gastrokolik terjadi ketika makanan masuk
lambung dan menimbulkan peristaltic didalam usus besar. Refleks ini menyebabkan
defekasi. Kolon mulai pada kantong yang mekar padanya terdapat appendix vermiformis.9
Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid.
Kolon naik melalui daerah daerah sebelah kanan lumbal dan disebut kolon asendens.
Dibawah hati berbelok pada tempat yang disebut flexura hepatica, lalu berjalan melalui tepi
daerah epigastrik dan umbilical sebagai kolon transvesus. Dibawah limpa ia berbelok
sebagai fleksura sinistra atau flexura linealis dan kemudian berjalan melalui daerah kanan
3
![Page 4: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/4.jpg)
lumbal sebagai kolon desendens. Di daerah kanan iliaka terdapat belokan yang disebut
flexura sigmoid dan dibentuk kolon sigmoideus atau kolon pelvis, dan kemudian masuk
pelvis besar menjadi rectum.9
Gambar 2. Anatomi rectum dan sigmoid
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3
bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal
terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum
reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal
(anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus
yang lebih proksimal dan dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot
yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling :
atas, medial dan depan.9,10
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis, tela
submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-gambaran yang
khas berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga
pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek
4
![Page 5: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/5.jpg)
daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang
disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak
yang disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus
lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus
halus.
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior. Arteri
mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum sampai dua
pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior mempunyai tiga cabang
utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri
mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon
transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga
cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea.
Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media dan arteria
hemorroidalis inferior dan media.
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior
dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang
mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke
vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara vena
hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal dapat
mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan hemorroid.
Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi preaorta pada
pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik pembuluh limfe melalui sistrna
kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena subklavia dan jugularis
sinistra. Hal ini menyebabkan metastase karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar
limfe leher (kelenjar limfe virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran
pembuluh darah hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi
limfatisi iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum
mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis.
5
![Page 6: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/6.jpg)
Persyarafan motorik sphincter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf parasimpatis
(n.splanchnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini membentuk
pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4.
Nervus pudendalis mensarafi sphincter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak
mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanchnicus
(parasimpatis). sehingga, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan
n.splanchnicus pelvik (saraf parasimpatis).9,10
Gambar 3. Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus
Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus
tersebut. Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir
isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan elektrolit, yang sudah
hampir selesai dalam kolon dekstra. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang
menampung massa feses yang sudah terdehidrasi hingga berlangsungnya defekasi.
6
![Page 7: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/7.jpg)
Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi mucus serta
menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-1000 ml cairan usus halus
yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses setiap harinya
dan 80 - 90 % diantaranya adalah air. Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan
ludah. Oksigen dan karbondioksida di dalamnya di serap di usus, sedangkan nitrogen
bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di
dalam usus mencapai 500 ml sehari.1,9,10
Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari
sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris
dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.10
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :9,10
1. Refleks defekasi instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu
signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik
pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses
kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak
menutup dan bila sphincter eksternal tenang maka feses keluar.
2. Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral
2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal –
sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan sphincter anus
internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Sphincter anus individu duduk
ditoilet atau depan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
7
![Page 8: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/8.jpg)
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan
meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar
panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah
dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika
defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal,
maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas
untuk menampung kumpulan feses.
Gambar 4. Fisiologi defekasi
8
![Page 9: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/9.jpg)
2.2 Definisi
Penyakit Megakolon kongenital atau penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan
bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari sphincter ani interna ke arah proksimal dengan
panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum
dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional. Penyakit Hirschprung
merupakan suatu kelainan kongenital yang ditandai dengan penyumbatan pada usus besar
karena tidak terdapatnya sel ganglion Auerbach dan Meissner. Penyakit ini lebih dikenal
dengan Aganglionalis Kongenital.1,11
Kadang seseorang menderita konstipasi yang begitu parah sehingga pergerakan usus
hanya terjadi beberapa hari sekali atau kadang hanya sekali dalam seminggu. Keadaan ini
menyebabkan sejumlah besar feses menumpuk di kolon, kadang – kadang menyebabkan
distensi kolon dengan diameter 3 – 4 inci. Keadaan ini disebut megakolon atau penyakit
Hirschsprung.10
Gambar 5. Gambaran anatomi usus besar normal dan megakolon
Penyebab paling sering megakolon adalah tidak adanya atau defisiensi sel – sel ganglion
pada pleksus mienterikus dalam sebuah kolon sigmoid. Akibatnya baik refleks defekasi
maupun motilitas peristaltik kuat tidak terjadi di daerah usus besar ini. Sigmoid sendiri
menjadi kecil dan hampir spastic sementara feses tertumpuk di proksimal daerah ini,
menyebabkan megakolon pada kolon asenden, transversus dan desenden.10
2.3 Epidemiologi
9
![Page 10: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/10.jpg)
Insidensi penyakit hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara
5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35
permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung.
Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering pada
neonates. Diperkirakan satu diantara 5.000 – 10.000 kelahiran. Penyakit ini sering terjadi
pada neonates dan pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg serta lebih sering dijumpai pada
anak laki – laki (80%) dari pada wanita.2,6 Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus
yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor
keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit hirschsprung,
namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome
(5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai
gangguan urologi seperti refluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria
(mencapai 1/3 kasus).12
2.4 Etiologi
Tidak terdapatnya sel ganglion Auerbach dan Meissner yang menyebabkan tidak adanya
gerakan peristaltik untuk mendorong bahan makanan yang sudah dicerna, sehingga
terjadinya penyumbatan.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa Hirschsprung disebabkan karena kekurangan
migrasi sel saraf untuk berkembang. Sebuah penelitian menilai neural cell adhesion
molecules (NCAM) pada Hirschsprung. Usus yang mengandung sel ganglion (kelompok
control dan kelompok Hirschsprung) memiliki jumlah NCAM yang banyak, sedangkan tidak
terdapat NCAM pada segmen aganglionosis. NCAM dipercaya berperan penting dalam
migrasi sel saaraf ke lokasi tertentu selama masa embryogenesis.5,6
2.5 Patofisiologi 1,11
10
![Page 11: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/11.jpg)
- Pada penyakit hirschsprung terdapat absensi ganglion Meissner dan ganglion Auerbach
dalam lapisan dinding usus (aganglionik parasimpatik intramural), mulai dari sfingter ani
kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi. Tujuh puluh sampai delapan puluh
persen terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitar 5% kurang
dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus.
- Tidak terdapatnya ganglion Meissner dan Auerbach mengakibatkan usus yang
bersangkutan tidak bekerja normal. Peristaltis tidak mempunyai daya dorong, tidak
propulsif, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam proses evakuasi feses ataupun
udara. Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh
feses yang tertimbun, membentuk megakolon. Penampilan klinis penderita sebagai
gangguan pasase usus. Tiga tanda yang khas, yaitu keterlambatan evakuasi mekonium,
muntah hijau dan distensi abdomen.
Gambar 6. Patofisiologi terjadinya megakolon
- Penampilan makroskopik
Bagian usus yang tidak berganglion terlihat spastic, lumen terlihat kecil. Usus dibagian
proksimalnya disebut daerah transisi, terlihat mulai melebar dari bagian yang menyempit.
Usus di bagian proksimalnya lagi lebih melebar lagi dan umumnya mengecil kembali
mendekati kaliber lumen usus normal.
2.6 Patologi
11
![Page 12: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/12.jpg)
Penyakit Hirschsprung merupakan akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding usus,
meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang bervariasi. Tidak
adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus
proksimal ke distal.2
Segmen yang agangloinik terbatas pada rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh
kolonnya tanpa sel-sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang
aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak di dapatkan
pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang hipertrofi dengan
konsentrasi asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-lapisan otot dan pada
submukosa.2
2.7 Klasifikasi
Hirschsprung diklasifikasikan berdasarkan keluasan segmen aganglionnya, yaitu:1,3,11
1. Hirschsprung short segment / Hirschsprung klasik (75%)
Daerah aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid, ini disebut penyakit hirschsprung
klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu lima kali lebih
banyak daripada perempuan.
2. Long segment Hirschsprung (20%)
Daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid bahkan dapat mengenai seluruh
kolon atau usus halus.
3. Total colonic aganglionosis (3-12%)
Bila aganglionik mengenai seluruh kolon
4. Aganglionik universal : seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus.
2.8 Manifestasi klinis
Gejala –gejala klinis penyakit hirschsprung biasanya mulai pada saat lahir dengan :
- Terlambatnya pengeluaran mekonium
Sembilan puluh Sembilan persen bayi lahir cukup bulan mengeluarkan mekonium dalam
waktu 48 jam setelah lahir. Peyakit hirschsprung harus dicurigai apabila seseorang bayi
cukup bulan (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat
12
![Page 13: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/13.jpg)
mengeluarkan tinja. Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi
selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis.1,2,11
- Gagal tumbuh dengan hipoproteinemia
Terjadi karena enteropati pembuang – protein, sekarang adalah tanda yang kurang sering
karena penyakit hirschsprung biasanya sudah dikenali pada awal perjalanan penyakit.
Bayi yang minum ASI tidak dapat menampakkan gejala separah bayi yang minum susu
formula. 1,2,11
- Kegagalan mengeluarkan tinja
Keadaan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar dan perut menjadi
kembung. Karena usus besar melebar, tekanan di dalam lumen meningkat,
mengakibatkan aliran darah menurun dan perintang mukosa terganggu. Stasis
memungkinkan proliferasi bakteri, sehingga dapat menyebabkan enterokolitis
(Clostridium difficle, Staphylococcus aureus, anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis
dan tanda – tanda obstruksi usus besar. Pengenalan dini penyakit hirschsprung sebelum
serangan enterokolitis sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. 1,2,11
- Riwayat seringkali menunjukkan kesukaran mengeluarkan tinja yang semakin berat, yang
mulai pada umur minggu – minggu pertama. Massa tinja besar dapat diraba pada sisi kiri
perut, tetapi pada pemeriksaan rectum biasanya tidak ada tinja. Tinja ini, jika keluar,
mungkin akan berupa butir – butir kecil, seperti pita atau berkonsistensi cair; tidak ada
tinja yang besar dan yang berkonsistensi seperti tanah pada penderita dengan konstipasi
fungsional. 1,2,11
- Pemeriksaan rectum menunjukkan tonus anus normal dan biasanya disertai dengan
semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan intermitten obstruksi intestinum
akibat tinja yang tertahan mungkin disertai dengan nyeri dan demam.2,11
2.9 Diagnosis
Penegakkan diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yaitu:
2.9.1 Anamnesis
- Neonatus hampir selalu dengan berat badan normal, sangat jarang prematur. Anamnesis
perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinis perut membuncit seluruhnya
merupakan kunci diagnosis.1,2
13
![Page 14: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/14.jpg)
- Datang ke rumah sakit dengan obstruksi usus, dengan tanda – tanda keterlambatan
evakuasi mekonium (lebih dari 24 jam pertama setelah lahir), muntah hijau serta distensi
abdomen. Obstruksi ini dapat mereda spontan atau akibat colok dubur yang dilakukan
pada waktu pemeriksaan. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen
rectum yang sempit.1,2
- Dikatakan mereda bila neonatus dapat defekasi dengan keluar mekonium bercampur
udara, abdomen kempes dan tidak muntah lagi. Kemudian dalam beberapa hari lagi
neonatus menunjukkan tanda – tanda obstruksi usus berulang. Selanjutnya neonatus
secara klinis menunjukkan gejala sebagai obstipasi kronik dengan disertai abdomen yang
buncit.1,11
- Gejala klinis dapat pula timbul pada umur beberapa minggu atau baru menarik perhatian
orang tua setelah beberapa bulan.2
- Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi
semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.
2.9.2 Pemeriksaan fisik
- Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi.
- Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan
menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak sudah
kempes lagi.
Gambar 7. Foto pasien penyakit Hirschsprung berusia 3 hari. Tampak abdomen sangat
distensi, dan dinding abdomen kemerahan yang menandakan awal terjadi komplikasi
infeksi.
14
![Page 15: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/15.jpg)
2.9.3 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologi
- Pemeriksaan foto polos abdomen: terlihat tanda – tanda obstruksi usus letak rendah.
Umumnya gambaran kolon sulit dibedakan dengan gambaran usus halus. 2,5,11
- Pemeriksaan foto dengan barium enema:
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung
adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi.
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah
dilatasi.
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Barium enema tidak perlu diteruskan ke arah proksimal bila tanda – tanda
penyakit hirschsprung yang khas seperti diatas sudah terlihat. Apabila tanda –tanda yang
khas tersebut tidak dijumpai, pemeriksaan barium enema diteruskan untuk mengetahui
gambaran kolon proksimal. Mungkin ditemukan penyebab yang lain.
Pada penyakit hirschsprung dengan gambaran foto barium enema yang tidak jelas
dapat dilakukan foto retensi barium. Foto dibuat 24 sampai 48 jam setelah foto barium
enema pertama, barium dibiarkan membaur dengan feces. Pada foto retensi barium masih
terlihat di kolon proksimal, tidak menghilang atau kumpul di daerah distal dan mungkin
dijumpai tanda – tanda khas penyakit hirschsprung yang lebih jelas serta gambaran
mikrokolon pada hirschsprung segmen panjang. Sedangkan pada penderita yang bukan
Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal
di daerah rektum dan sigmoid. 2,5,11
15
![Page 16: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/16.jpg)
Gambar 8. Dilatasi colon, rektum yang mengalami penyempitan dan daerah transisi yangmelebar pada pemeriksaan dengan barium enema.
Pemeriksaan patologi anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi dimaksudkan untuk mendeteksi adanya ganglion di
lapisan submukosa dan di antara dua lapisan otot. Serta melihat serabut – serabut saraf.
Apabila sediaan untuk pemeriksaan patologi anatomi didapat dari biopsy hisap dari
mukosa rectum, pemeriksaan hanya untuk melihat ganglion Meissner di lapisan sub-
mukosa dan melihat penebalan serabut – serabut saraf. Pada penyakit hirschsprung tidak
dijumpai ganglion dan terdapat penebalan serabut – serabut saraf. Biopsi seluruh lapisan
rectum dapat dilakukan saat operasi untuk memastikan diagnosis dan derajat keterlibatan. 2,5,11
Pemeriksaan histokimia
Pada pemeriksaan histokimia aktivitas kolinesterase biasanya meningkat. Biopsy
– isapan rectum hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea dentate untuk
menghindari daerah normal hipoganglionosis di pinggir anus. Biopsy harus mengandung
cukup sampel submukosa untuk mengevaluasi adanya sel ganglion, biopsy dapat
diwarnai untuk asetilkolinesterase, untuk mempermudah interpretasi. Penderita dengan
aganglionosis menunjukkan banyak sekali berkas saraf hipertrofi yang diwarnai positif
untuk asetilkolinesterase dan tidak ada sel ganglion. 2,5,11
16
![Page 17: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/17.jpg)
Pemeriksaan Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari
fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam
prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis,
radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar :
transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta
sisitem pencatat seperti poligraph atau computer.
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus
aganglionik;
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah
distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan.
Pada individu normal, penggembungan rectum mengawali refleks penurunan tekanan
sfingter interna. Pada penderita penyakit hirschsprung, tekanan gagal menurun, atau ada
kenaikan tekanan paradox karena rectum dikembungkan. Ketepatan diagnostik ini lebih
dari 90%, tetapi secara teknis sulit pada bayi muda.2,11
Gambar 9. Pemeriksaan manometri anorektal
17
![Page 18: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/18.jpg)
2.10 Diagnosis banding
Banyak kelainan usus dengan penampilan klinik obstruksi yang menyerupai penyakit
hirschsprung atau sumbatan anorektum oleh mekonium yang sangat padat, mekonium
ileus dan sebagainya.
1. Meconium plug syndrome
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus, tapi setelah
colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya normal.2,11
2. Akalasia recti
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip dengan
Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya ganglion Meissner
dan Auerbach.1,11
2.11 Terapi
Prinsip penanganan adalah mengatasi obstruksi, mencegah terjadinya enterokolitis,
membuang segmen aganglionik dan mengembalikan kontinuitas usus.2,11
Tindakan non bedah
1. Untuk neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif dengan
pemasangan sonde lambung, pemasangan pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium
dan udara (pemasangan harus hati – hati, jangan terjadi salah arah) cara ini juga
bertujuan untuk mencegah enterokolitis yang dapat dilakukan bilasan kolon dengan
cairan garam faali. Cara ini efektif pada segmen aganglionik yang pendek.11
2. Biopsi hisap hendaknya dikerjakan sebelum pemeriksaan colok dubur dan
pemasangan pipa rectal. Pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan,
koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi juga diperlukan.1
Tindakan Pembedahan
18
![Page 19: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/19.jpg)
A. Tindakan bedah sementara
1. Tindakan kolostomi. Stoma dibuat di bagian kolon yang berganglion paling distal.
Kolostomi ini dimaksudkan untuk menjamin pasase usus, dekompresi abdomen
dan mencegah penyulit – penyulit yang tidak diinginkan seperti enterokolitis,
peritonitis dan sepsis. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka
kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber
usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan
dilakukan anastomose. 3,5
B. Tindakan bedah definitif
1. Tindakan bedah definitif dimaksudkan untuk mereseksi bagian usus yang
aganglionik dan mengembalikan kontinuitas usus. Langkah ini dikerjakan bila
berat badan bayi sudah cukup. Pada waktu itu megakolon dapat surut, mencapai
kolon ukuran normal.1,11
2. Ada beberapa prosedur bedah definitif yaitu prosedur Swenson, Duhamel,
Endorektal Pull Through dengan modifikasi masing- masing.
Pilihan – pilihan operasi adalah melakukan prosedur definitif sesegera mungkin
setelah diagnosis ditegakkan atau melakukan kolostomi sementara dan menunggu
sampai bayi berumur 6 – 12 bulan untuk melakukan operasi.5,12
Gambar 10. Beberapa jenis bedah definitif pada megakolon
a. Prosedur Swenson
19
![Page 20: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/20.jpg)
Memotong segmen yang tidak berganglion dan melakukan anastomosis usus besar
proksimal yang normal dengan rectum 1 – 2 cm di atas garis batas. Terdiri dari
rektosigmoidektomi seluas bagian rektosigmoid aganglionik dengan anastomosis koloanal.
Operasi ini secara teknis sulit dan mengarah pada pengembangan dua prosedur lain.1,12
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi
eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat
mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran
anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos
bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik)
keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge
untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose
end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan
dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomosis selesai, usus
dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan
kavum abdomen ditutup.1,5,12
Gambar 11. Prosedur Swenson
20
![Page 21: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/21.jpg)
b. Prosedur Duhamel
Menguraikan prosedur untuk menciptakan rectum baru, dengan menarik turun usus
besar yang berinervasi normal ke belakang rectum yang tidak berganglion. Rectum baru
yang dibuat pada prosedur ini mempunyai setengah aganglionik anterior dengans sensasi
normal dan setengan ganglionik posterior dengan propulsi normal. Operasi Duhamel adalah
yang terbaik pada aganglionis total. Kolon kiri tetap ditinggalkan dan tidak perlu
menganastomosis kolon kiri ini pada usus halus.1,5
Gambar 11. Prosedur Duhamel
c. Prosedur Endorectal Pullthrough atau Soave
Prosedur yang diuraikan oleh Boley meliputi pengupasan mukosa rectum yang tidak
berganglion dan membawa kolon yang berinervasi normal ke lapisan otot yang terkelupas
tersebut, dengan demikian memintas usus yang abnormal dari sebelah dalam. anastomosis
koloanal dibuat secara tarik terobos (Pull Through).
Penyakit hirschsprung segmental yang ultra pendek, segmen yang tanpa ganglion
hanya terbatas pada sfingter interna. Gejalanya sama dengan gejala konstipasi fungsional.
Sel ganglionik mungkin terdapat pada biopsy isap rectum. Tetapi motilitas rectum akan
tidak normal. Eksisi pengupasan mukosa otot rektum, termasuk sfingter anus interna,
merupakan tindakan diagnostik dan terapeutik.5,11
Penyakit hirschsprung yang melibatkan segmen panjang merupakan masalah yang
sulit. Pemeriksaan biopsy isap rectum akan menunjukkan adanya tanda – tanda penyakit
hirschsprung, namun sulit diinterpretasikan pada pemeriksaan radiologi karena tidak
21
![Page 22: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/22.jpg)
ditemukan daerah peralihan. Luasnya aganglionosis hanya dapat ditentukan dari biopsy
pada saat laparotomi. 5,11
Gambar 12. Prosedur Soave
Bila seluruh kolon aganglionis, sering bersama dengan panjang ileum terminal,
anatomosis ileum – anus merupakan terapi pilihan dengan masih mempertahankan bagian
kolon yang tidak berganglion untuk mempermudah penyerapan air. Sehingga membantu
tinja menjadi keras.5,11
2.12 Komplikasi
1. Sering neonatus meninggal akibat penyulit seperti enterokolitis atau peritonitis dan
sepsis.2,11
22
![Page 23: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/23.jpg)
2. Obstruksi kronik yang dapat terjadi pada penyakit hirschsprung dapat disertai oleh
diare berat dengan feses yang berbau dan berwarna khas yang disebabkan oleh
timbulnya penyulit berupa enterokolitis. Enterokolitis biasa disebabkan oleh bakteri
yang tumbuh berlebihan pada daerah kolon yang iskemik akibat disetnsi berlebihan
dindingnya. Enterokolitis dapat timbul sebelum tindakan operasi atau berlanjut setelah
operasi definitif. 2,11
3. Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah pada penyakit hirschsprung
dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis nekrotikans, dan
gangguan fungsi sphincter. 2,11
4. Faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi diantaranya: usia muda saat
operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan,
keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik, serta
perawatan pasca bedah. 2,11
2.13 Prognosis
Prognosis baik kalau gejala obstruksi segera diatasi. Penyakit hirschsprung yang
diterapi dengan pembedahan umumnya memuaskan. Sebagian besar penderita berhasil
mengeluarkan tinja (kontinensia). Penyulit pasca bedah seperti kebocoran anastomosis atau
striktur anastomosis umumnya dapat diatasi. Masalah pasca bedah meliputi enterokolitis
berulang, striktur, prolaps, abses perianal dan pengotoran tinja. 2,11
BAB III
KESIMPULAN
23
![Page 24: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/24.jpg)
Megakolon merupakan dilatasi abnormal dari kolon yang sering disertai oleh paralisis
dari peristaltik usus., tidak adekuatnya motilitas pada usus menyebabkan tidak ada evakuasi usus
spontan dan tidak mampunya sphincter rectum berelaksasi. Megakolon dibagi menjadi 2 yaitu
megakolon kongenital yang sering disebut dengan penyakit Hirschsprung serta megakolon non
kongenital atau akuisita yang biasanya terjadi akibat dari penyakit tertentu dan faktor obat -
obatan.
Megakolon kongenital atau hirschsprung adalah penyakit yang ditandai dengan tidak
adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid colon dan ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus
spontan.
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung (megakolon kongenital) mulai terlihat dimana
pada periode neonatal terdapat trias gejala klinis yakni pengeluaran mekonium yang terlambat,
muntah hijau dan distensi abdomen sedangkan gambaran klinis pada megakolon yang didapat,
sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
Penatalaksanaan megakolon kongenital terdiri dari tindakan non bedah dan tindakan
bedah. Tindakan bedah terdiri dari Prosedur Swenson, Prosedur Duhamel, Prosedur Soave atau
Endorectal Pull Through sedangkan penatalaksanaan terhadap penyakit yang mendasari
megakolon yang didapat, merupakan terapi yang dipilih untuk mengatasinya.
24
![Page 25: BAB I](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062520/55cf8682550346484b98565d/html5/thumbnails/25.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
1. Wyllie R. Megakolon Aganglionik bawaan (Penyakit Hirschsprung). Dalam : WE Nelson, RE Behrman, editor. Ilmu kesehatan Anak Nelson. Edisi ke – 15. Volume 2. Jakarta:EGC; 1999.1316 - 1319.
2. Hamami AH, J Pieter, I Riwanto, T Tjambolang, I Ahmadsyah. Penyakit Hirschsprung. Dalam : R Sjamsuhidajat, W De Jong, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke – 2. Jakarta: EGC; 2004. 670-671.
3. Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. Dalam: Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors. Maingot’s Abdominal Operation. Edisi ke - 10. New York: Prentice - Hall intl.inc.; 1997. 2097-105.
4. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 2009.
5. Goldberg SM, S Nivatvongs, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam : Schwartz’s Principles of Surgery. SI Schwarts, GT Shires, FC Spencer, WC Hussen. Edisi ke - 5. Volume 2. Library of Congress Cataloging in Publication Data; 1989.
6. Bullard KM, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam : Schwartz’s Principles of Surgery. FC Brunicardi, DK Andersen, TR Billiar, DL Dunn, JG Hunter, RE Pullock. Edisi ke - 8. Volume 2. Library of Congress Cataloging in Publication Data; 2005.
7. Silbernagl S. Konstipasi dan Pseudo Obstruksi. Dalam: Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. S Silbernagl, F Lang. Jakarta: EGC; 2006. 156 – 157.
8. Lindshet GN. Radang Usus Besar. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. SA Price. LM Wilson. Edisi ke – 6. Volume 1. Jakarta: EGC; 2005. 461 – 463.
9. Snell RS. Anatomi Cavitas Abdominalis. Dalam: Anatomi klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Snell RS. Edisi ke – 6. Jakarta: EGC; 2006
10. Guyton AC, JE Hall. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Guyton AC, JE Hall. Edisi ke – 11. Jakarta: EGC; 2007
11. Kartono D. Penyakit Hirschsprung Neonatus . Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Binarupa Aksara. 141-143.
12. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton & Lange; 1990: 555-77
25