BAB I
-
Upload
chantika-widia -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
description
Transcript of BAB I
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian nyeri, menurut International Association for Study of Pain
(IASP), nyeri adalah merupakan pengalaman sensoris subyektif dan
emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan
jaringan yang nyata, berpotensi rusak, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan. Kerusakan jaringan yang nyata misalnya terjadi pada
nyeri akibat luka operasi. Berpotensi rusak misalnya pada nyeri dada karena
penyakit jantung (Angina Pectoris) dimana timbul nyeri sebagai pertanda
akan terjadi kerusakan atau berpotensi rusak pada otot- otot jantung bila tidak
ditangani secara benar. Bila nyeri tidak ditangani secara benar maka dapat
menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut, contohnya nyeri setelah
operasi, nyeri setelah sembuh dari penyakit herpes, bila tidak ditangani secara
benar maka akan menjadi nyeri kronis yang merupakan permasalahan besar
dan sulit ditangani karena terjadi perubahan ekspresi dari saraf- saraf. Nyeri
seperti inilah yang diklasifikasikan sebagai nyeri kronis yang ditandai dengan
adanya persepsi nyeri tanpa kerusakan jaringan (Dharmayana, 2009).
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, pertama nyeri akut
yang umumnya disebabkan oleh trauma atau perlukaan yang disebabkan
gangguan fisik. Sementara nyeri kronis dapat disebabkan oleh gangguan
dalam sistem persarafan itu sendiri. Sehingga meski pesan telah diteruskan ke
otak, namun penyebab gangguan pada persarafan tak mudah untuk diketahui
sebagai sumber nyeri. Nyeri kronis ini dapat pula berasal sebagai tambahan
nyeri yang dipicu oleh keberadaaan penyakit utama seperti pada diabetes
(Dharmayana, 2009).
Mekanisme nyeri, nyeri timbul setelah menjalani proses transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi adalah rangsang nyeri diubah
menjadi depolarisasi membran reseptor yang kemudian menjadi impuls saraf.
Transmisi, saraf sensoris perifir yang melanjutkan rangsang ke terminal di
2
medula spinalis disebut sebagai neuron aferen primer, jaringan saraf yang
naik dari medula spinalis ke batang otak dan talamus disebut neuron penerima
kedua, neuron yang menghubungkan dari talamus ke kortek serebri disebut
neuron penerima ketiga. Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer,
medula spinalis atau supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat atau
memberi fasilitasi. Persepsi, nyeri sangat dipengaruhi oleh faktor subyektif,
walaupun mekanismenya belum jelas (Dharmayana, 2009).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui definisi, fisiologi, klasifikasi dan mekanisme,
intensitas, faktor yang mempengaruhi respons nyeri.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir blok.
b. Memberi wawasan atas referat yang saya buat kepada mahasiswa
lain.
c. Penyusun dan pembaca mengerti tentang pembahasan ini.
C. Manfaat
Manfaat dari pembuatan referat ini secara khusus ialah penyusun
mengerti tentang apa yang telah dibuat, secara umum sebagai kontribusi
untuk mahasiswa dan pembaca lainnya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan.
Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang
dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat
menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Secara umum
nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri
didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Berikut ini
merupakan pendapat beberapa ahli mengenai pengertian nyeri:
1. Mc. Coffery (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang, yang keberadaan nyeri dapat diketahui hanya
jika orang tersebut pernah mengalaminya.
2. Wolf weifsel (1974), mengatakan nyeri merupakan suatu perasaan
menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan
ketegangan.
3. Artur C. Curton (1983), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu
mekanisme bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak sehingga
individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri.
4. Secara umum, nyeri diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak
menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut
saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis, maupun
emosional (Alimul, 2008).
B. Fisiologi Nyeri
Munculnya nyeri sangat berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nosiseptor, merupakan
ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit mielin yang tersebar
pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri,
hati, dan kantong empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respons akibat
4
adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa kimiawi,
termal, listrik, atau mekanis. Stimulasi oleh zat kimiawi diantaranya seperti
histamin, bradikinin, prostaglandin, dan macam-macam asam seperti adanya
asam lambung yang meningkat pada gastritis atau stimulasi yang dilepas
apabila terdapat kerusakan pada jaringan (Alimul, 2008).
Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut ditransmisikan
berupa impuls-impuls nyeri ke sumsum tulang belakang oleh dua jenis
serabut, yaitu serabut A (delta) yang bermielin rapat dan serabut lambat
(serabut C). Impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut A mempunyai
sifat inhibitor yang ditransmisikan ke serabut C. Serabut-serabut aferen
masuk ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps pada dorsal
horn. Dorsal horn tersebut terdiri atas beberapa lapisan atau lamina yang
saling bertautan. Di antara lapisan dua dan tiga membentuk substantia
gelatenosa yang merupakan saluran utama impuls. Kemudian, impuls nyeri
menyeberangi susmsum tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke
jalur spinal asendens yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (SST)
atau jalur spinothalamus dan spinoreticular (SRT) yang membawa informasi
mengenai sifat dan lokasi nyeri. Dari proses transmisi terdapat dua jalur
mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan jalur nonopiate. Jalur
opiate ditandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang terdiri atas jalur
spinal desendens dari talamus, yang melalui otak tengah dan medula, ke
tanduk dorsal sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan nosiseptor
impuls supresif. Serotonin merupakan neurotransmiter dalam impuls supresif.
Sistem supresif lebih mengaktifkan stimulasi nosiseptor yang ditransmisikan
oleh serabut A. Jalur nonopiate merupakan jalur desendens yang tidak
memberikan respons terhadap naloxone yang kurang banyak diketahui
mekanismenya (Alimul, 2008).
5
C. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain:
1. Klasifikasi nyeri berdasarkan waktu, dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri
kronis.
a. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat
menghilang, tidak melebihi enam bulan, serta ditandai dengan adanya
peningkatan tegangan otot (Alimul, 2008).
b. Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan,
biasanya berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yaitu lebih dari
enam bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri
terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis (Alimul, 2008).
Tabel 1. Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronis
Karakteristik Nyeri akut Nyeri kronisSumber Sebab eksternal atau
penykit dari dalam.Tidak diketahui atau pengobatan yang terlalu lama.
Serangan Mendadak. Bisa mendadak, berkembang, dan terselubung.
Waktu Sampai enem bulan. Lebih dari enam bulan, sampai bertahuun-tahun.
Pernyataan nyeri Daerah nyeri tidak diketahui dengan pasti.
Daerah nyeri sulit dibedakan intesitasnya, sehingga sulit dievaluasi.
Perjalanan Biasanya berkurang setelah beberapa saat.
Penderitaan meningkat setelah beberapa saat.
(Alimul, 2008).
2. Klasifikasi nyeri berdasarkan tempat terjadinya nyeri, dibagi menjadi nyeri
somatik dan nyeri visera.
a. Nyeri somatik, terdapat dua bagian :
1) Nyeri somatik superfisialis (kulit)
Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan
jaringan subkutis. Stimulasi yang efektif untuk menimbulkan nyeri
6
di kulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau
listrik. Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan
sebagai menyengat, tajam, mengiris, atau seperti terbakar; tetapi
apabila pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifat
nyeri manjadi berdenyut. Kulit memiliki banyak saraf sensorik
sehingga kerusakan di kulit menimbulkan sensasi yang lokasinya
lebih akurat dan presisi yang lebih luas dibandingkan di bagian
tubuh lain.daerah nyeri mungkin terbatas di sepanjang suatu
dermatom (segmen kulit) tertentu yang dipersarafi oleh satu akar
dorsal (sensorik). Namun, dermatom-dermatom bukanlah segmen
tersendiri dan terpisah. Di antara dua dermatom yang berdekatan
banyak tumpang-tindih, dan tumpang-tindih tersebut meningkat
apabila yang terlibat adalah sensasi nyeri dan suhu dibandingkan
dengan sensasi sentuh. Karena itu, apabila satu saraf spinal
kehilangan sama sekali fungsinya, di kulit tidak ditemukan darah
yang mengalami anestesia total, karena saraf-saraf dari dua
dermatom di dekatnya akan menyerap rangsangan sensorik. Di
pihak lain, apabila akar dorsal dari satu saraf spinal mengalami
iritasi, seperti pada herpes zoster (dompo, shingles, suatu infeksi
virus pada ganglion spinal), rangsangan yang mengganggu akan
dirasakan secara subjektif dari seluruh dermatom, termasuk bagian
yang tumpang-tindih (Price, 2006).
2) Nyeri somatik dalam
Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot,
tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini
memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalosasi nyeri
sering tidak jelas. Nyeri dirasakan lebih difus daripada nyeri kulit
dan cenderung menyebar ke daerah disekiternya. Nyeri dari
berbagai struktur dalam berbeda. Nyeri akibat dari suatu cedera
akut pada sendi memiliki lokalisasi yang jelas dan biasanya
dirasakan sebagai rasa tertusuk, terbakar, atau berdenyut. Pada
peradangan kronik sendi (artritis), yang dirasakan adalah nyeri
7
pegel-tumpul yang disertai seperti tertusuk apabila sendi bergerak.
Nyeri tulang berasal dari stimulasi reseptor nyeri di periosteum dan
lokalisalinya relatif kurang jelas; nyeri ini sering dirasakan sebagai
pegel-tumpul atau linu. Nyeri otot rangka juga memiliki lokalisasi
yang kurang jelas dan dirasakan sebagai rasa pegel-tumpul atau
kram. Nyeri otot rangka akan terasa menghebat saat otot
berkontraksi dalam keadaan iskemia (Price, 2006).
b. Nyeri visera
Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-organ
tubuh. Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan reseptor
nyeri somatik dan terletak di dinding otot polos organ-organ berongga
(lambung, kandung empedu, saluran empedu, ureter, kandung kemih)
dan di kapsul organ-organ padat (hati, pankreas, ginjal). Parenkim
visera relatif tidak sensitif terhadap sayatan, panas, atau cubitan.
Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visera adalah peregangan
atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ, iskemia, atau
peradangan. Usus adalah sumber dari nyeri kram atau perih atau nyeri
intermiten yang dikenal sebagai kolik saat mengalami iritasi oleh zat-
zat kimia yang dihasilkan oleh peradangan atau apabila teregang.
Struktur-struktur lain yang dapat diregangkan, misalnya kandung
empedu, saluran empedu, atau ureter, dapat menimbulkan nyeri kolik,
sering akibat spasme otot polos. Obstruksi aliran keluar dan
peregangan berlebihan juga menyebabkan iskemia dan dibebaskannya
zat-zat kimia yang merangsang reseptor nyeri (Price, 2006).
Visera dipersarafi ooleh dua rute: melalui saraf-saraf yang
memiliki fungsi autonom (jalur visera sejati), seperti saraf splenikus,
dan melalui saraf-saraf spinal yang mempersarafi struktur somatik
(jalur parietal). Pleura parietalis, peritoneum, dan bagian bawah
perikardium peka terhadap nyeri tetapi dipersarafi oleh saraf-saraf
spinal dan bukan sistem saraf otonom (SSO). Nyeri yang disalurkan
melalui jalur visera sejati kurang jelas lokalisasinya dan sering di rujuk
ke suatu daerah permukaan kulit (dermatom) yang jauh dari asalnya.
8
Di pihak lain, nyeri yang disalurkan melalui jalur parietal dirasakan
tepat di atas daerah yang nyeri. Semua neuron yang dirangsang oleh
masukan afaren visera juga dibuktikan menerima masukan somatik.
Persarafan ganda ini mungkin merupakan salah satu alasan bagi
kurangnya lokalisasi rangsangan visera dan adanya fenomena nyeri
rujukan (Price, 2006).
Nyeri visera disalurkan melalui serat simpatis dan parasimpatis
SSO. Aferen visera biasanya adalah serat tipe C, dan sensasi nyeri
yang dihasilkan biasanyya memiliki kualitas tumpul ataua pegal.
Impuls nyeri dari visera toraks dan abdomen hampir secara eksklusif
dihantarkkan melalui sistem saraf simpatis; impuls berjalan di saraf
simpatis melalui ganglion simpatis tanpa bersinaps, dan kemudian
mencapai saraf spinal melalui ramus komunikans alba dan kemudian
ke ganglion akar dorsal. Namun, impuls nyeri dari faring, trakea, dan
esofagus diperantarai oleh aferen vagus, dan nyeri dari struktur-
struktur dalam panggul disalurkan melalui saraf parasimpatis sakrum.
Di jalur sentral, impuls nyeri visera, serta sensai visera lannya, berjalan
dengan rute yang sama dengan impuls dari struktur somatik. Faktor ini
penting dalam pengalihan nyeri somatik yang sering dari visera (Price,
2006).
Nyeri visera sangatlah tidak menyenangkan tidak saja karena
adanya komponen afektif, yang juga dimiliki oleh nyeri lain tetapi juga
karena banyak aferen visera yang dirangsang oleh proses yang sama
yang menimbulkan nyeri memiliki koneksi refleks yang memicu mual,
muntah, berkeringat, perubahan tekanan darah, dan efek autonom
lainnya. Nyeri visera, seperti nyeri somatik dalam, memicu kontraksi
refleks di otot rangka di sekitar. Spasme refleks ini biasanya terjadi di
dinding abdomen dan paling nyata apabila proses peradangan visera
melibatkan peritoneum. Rincian anatomik jalur-jalur refleks ynag
digunakan oleh impuls dari visera yang sakit untuk memicu spasme
otot rangka masih belum jelas. Spasme ini melindungi struktur di
bawahnya yang meradang dari trauma yang tidak disengaja. Spasme
9
refleks ini kadang-kadang disebut sebagai defans muskulorum
(muscule guarding) (Price, 2006).
3. Klasifikasi nyeri berdasarkan persepsi nyeri, dibagi menjadi nyeri
nosiseptis dan nyeri neuropatik.
a. Nyeri nosiseptis
Nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh
suatu rangsangan pada nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu
ujung saraf bebas yang berakhir pada kulit untuk mendeteksi suatu
nyeri kulit. Nosiseptor juga terdapat pada tendon dan sendi, untuk
mendeteksi nyeri somatik dan pada organ tubuh untuk mendeteksi
nyeri visceral. Reseptor nyeri ini sangat banyak pada kulit, sehingga
suatu stimulus yang menyebabkan nyeri sangat mudah dideteksi dan
dilokalisasi tempat rangsangan tersebut terjadi pada kulit. Input
noksius ditransmisikan ke korda spinalis dari berbagai ujung saraf
bebas pada kulit, otot, sendi, dan viscera (Price, 2006).
b. Nyeri neuropatik
Definisi nyeri neuropatik berdasarkan NeuPSIG (Neuropathic Pain
Special Interest Group) adalah nyeri yang timbul sebagai konsekuensi
langsung terhadap adanya lesi atau penyakit yang mengenai sistem
somatosensorik. Nyeri neuropatik juga diklasifikasikan berdasarkan
lokasi kerusakan neuralnya menjadi perifer dan sentral. Nyeri
neuropatik diawali dengan adanya kerusakan pada bagian sistem saraf
yang normalnya bertugas menghantarkan sensasi nyeri, yaitu sistem
nosiseptif. Kerusakan-kerusakan tersebut akan menimbulkan
kehilangan fungsi (tanda-tanda defisit sensorik), namun jika oleh
beberapa mekanisme kompensasi neurobiologik, neuron-neuron yang
tersisa menghasilkan aktivitas ektopik (dapat perifer atau sentral), yang
melewati konduksi impuls normal dan proses di sinaps, maka
dihasilkanlah sensasi nyeri. Sensasi nyeri ini dirasakan pada daerah
inevarsi distal dari saraf perifer yang rusak atau pada daerah
penerimaan dari struktur SSP yang mengalami kerusakan (nyeri
proyeksi) (Price, 2006).
10
4. Corwin J.E (1997) mengklasifikasi nyeri berdasarkan sumbernya meliputi:
a. Nyeri kulit, adalah nyeri yang dirasakan dikulit atau jaringan sukkutis,
misalnya nyeri ketika tertusuk jarum atau lutut lecet, lokalisasi nyeri
jelas disuatu tempat dermatom.
b. Nyeri somatik, adalah nyeri dalam yang berasal dari tulang dan sendi,
tendon, otot rangka, pembuluh darah dan tekanan syaraf dalam, sifat
nyeri lambat.
c. Nyeri viseral, adalah nyeri dirongga abdomen atau torak terlokalisasi
jelas disuatu titik tapi bisa dirujuk kebagian-bagian tubuh lain dan
biasanya parah.
d. Nyeri psikogenik, adalah nyeri yang timbul dari pikiran pasien tanpa
diketahui adanya temuan pada fisik (Long, 1996).
e. Nyeri phantom, adalah nyeri yang dirasakan oleh individu pada salah
satu ekstremitas yang telah diamputasi (Long, 1996).
D. Mekanisme Nyeri
Ada empat tahapan terjadinya nyeri :
1. Transduksi
Transduksi merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri (noxious stimuli)
dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung
saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau
kimia (substansi nyeri). Terjadi perubahan patofisiologis karena mediator-
mediator nyeri mempengaruhi juga nosiseptor diluar daerah trauma
sehingga lingkaran nyeri meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi
perifer yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor karena
pengaruh mediator-mediator tersebut di atas dan penurunan pH jaringan.
Akibatnya nyeri dapat timbul karena rangsang yang sebelumnya tidak
menimbulkan nyeri misalnya rabaan. Sensitisasi perifer ini mengakibatkan
pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu hipereksitabilitas neuron pada
spinalis, terpengaruhnya neuron simpatis dan perubahan intraseluler yang
menyebabkan nyeri dirasakan lebih lama. Rangsangan nyeri diubah
menjadi depolarisasi membrane reseptor yang kemudian menjadi impuls
syaraf.
11
2. Transmisi
Transmisi merupakan proses penyampaian impuls nyeri dari nosiseptor
saraf perifer melewati kornu dorsalis, dari spinalis menuju korteks serebri.
Transmisi sepanjang akson berlangsung karena proses polarisasi,
sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinaps melewati
neurotransmitter.
3. Modulasi
Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat
meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Hambatan terjadi
melalui sistem analgesia endogen yang melibatkan bermacam-macam
neurotansmiter antara lain endorphin yang dikeluarkan oleh sel otak dan
neuron di spinalis. Impuls ini bermula dari area periaquaductuagrey
(PAG) dan menghambat transmisi impuls pre maupun pasca sinaps di
tingkat spinalis. Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer medula
spinalis atau supraspinalis.
4. Persepsi
Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri
yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil interaksi sistem saraf
sensoris, informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional
(hipokampus dan amigdala). Persepsi menentukan berat ringannya nyeri
yang dirasakan (Asmadi, 2008).
E. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh
dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang
paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri
itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat
memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
12
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1. Skala intensitas nyeri deskritif
2. Skala intensitas nyeri numerik
3. Skala analog visual
4. Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
a. 0 : Tidak nyeri
b. 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik.
c. 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik.
d. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak
dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
13
e. 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi (Tamsuri,
2007).
F. Faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri
Respons nyeri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya :
1. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri
adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya
(ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh
nyeri).
3. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa
nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan
kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya.
5. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
14
6. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
7. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat
ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di
masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
9. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
(Tamsuri, 2007).
G. Sumber Nyeri
Nyeri dapat dianggap sebagai ungkapan suatu proses patologik di tubuh
kita. Oleh karena itu, setiap pasien dengan nyeri harus diselidiki secara
sistematik menurut jalur pemikiran anatomik dan patofisiologik. Pengetahuan
tentang adanya jaringan yang peka-nyeri dan yang tak-peka-nyeri
memberikan pegangan untuk berfikir secara relevan (Sidharta, 2009).
Setiap jenis nyeri dicoraki oleh modalitasnya, yang berarti bahwa nyerinya
dapat bersifat tajam, difus, atau menjemukan. Dengan menggunakan semantik
lain, nyeri dapat dinyatakan sebagai kemeng, ngilu, linu, sengal atau pegel.
Nyeri yang bersumber pada visera bersifat difus, yang berasal dari otot
skeletal dapat dinyatakan pegal, yang osteogenik dituturkannya sebagai
kemeng, linu, atau ngilu dan yang bersumber pada saraf perifer bersifat tajam
(Sidharta, 2009).
H. Nyeri Neuromuskuloskeletal Non-neurogenik
Nyeri yang dirasakan pada anggota gerak dapat disebut nyeri
neuromuskuloskeletal. Sebagian dari nyeri itu adalah nyeri yang bangkit
15
akibat proses patologik di jaringan yang dilengkapi dengan serabut nyeri.
Contoh-contohnya: artralgia (akibat proses patologik di persendian), mialgia
(akibat proses patologik di otot), dan entesialgia (akibat proses patologik di
tendon, fasia, jaringan moifasial dan periosteum). Dalam pada itu didapati
proses patologik setempat. Sebagian besar proses itu berupa peradangan
bakterial, imunologik, non-infeksi, atau perdarahan dan sekali-sekali proses
maligne. Ini berarti bahwa pada lokasi nyeri didapati tanda-tanda peradangan
atau kelainan. Apabila proses lokalnya tidak langsung dapat dilihat, dengan
menekan pada lokasi nyeri dapat diungkapkan adanya nyeri tekan, dengan
menggerakan anggota secara isotonik atau isometrik aktif atau pasif dapat
terungkap adanya nyeri gerak pasif dan aktif, atau nyeri gerak isometrik
(Sidharta, 2009).
Nyeri tekan dapat terungkap dengan penekanan pada daerah keluhan,
terutama pada bagian miofasial, tuberositas, kapsul persendian, tulang,
epikondilus, tempat fraktur tulang, otot dan berkas saraf. Nyeri gerak pasif
dan aktif akan timbul apabila persendian yang terkena proses patologik. Dan
nyeri itu terasa pada gerakan ke seluruh penjuru. Tetapi jika hanya pada satu
tendon saja atau hanya pada satu berkas otot saja yang dilanda proses
patologik, maka pada gerakan pasif dalam lingkup gerakan otot itu tidak akan
bangkit nyeri. Sebaliknya, jika otot itu harus bergerak secara aktif, maka
nyeri akan dihasilkan. Apa yang baru saja dibahas ialah diferensiasi antara
nyeri kapsulogenik dan nyeri miotendinogenik (Sidharta, 2009).
I. Nyeri Neuromuskuloskeletal Neurogenik
Jenis nyeri neuromuskuloskeletal lainnya ialah akibat iritasi langsung
terhadap serabut sensorik perifer. Nyeri itu dikenal sebagai nyeri neurogenik,
yang memiliki dua ciri khas:
1. Nyerinya menjalar sepanjang kawasan distal saraf yang bersangkutan.
2. Penjalaran nyeri itu berpangkal pada bagian saraf yang mengalami iritasi
(Sidharta, 2009).
Serabut sensorik perifer menyusun raduk posterior, saraf spinal, pleksus,
fasikel dan segenap saraf perifer. Nyeri neurogenik yang timbul akibat iritasi
di radiks posterior dinamakan nyeri radikular. Secara teoritik nyeri
16
neurogenik lainnya dapat disebut secara berturut-turut nyeri pleksikular, nyeri
fasikular dan nyeri neuritik. Akan tetapi di dalam klinik dibedakan hanya
nyeri radikular dan nyeri neuritik (Sidharta, 2009).
J. Nyeri Radikular
Radiks anterior dan posterior bergabung menjadi satu berkas di foramen
intervertebrale. Berkas itu dinamakan saraf spinal. Baik iritasi pada serabut-
serabut sensorik di bagian radiks posterior maupun di bagian saraf spinal itu
menbangkitkan nyeri radikular. Kawasan sensorik setiap radiks posterior
adalah dermatoma. Pada permukaan toraks dan abdomen dermatoma itu
selapiis demi selapis, sesuai dengan urutan radiks posterior pada segmen-
segmen medula spinalis C.3 – C.4 dan T.3 sampai dengan T.12. Tetapi pada
permukaan lengan dan tungkai kawasan dermatomal tumpang tindih oleh
karena saraf spinal tidak langsung menuju ke ekstremitas, melainkan
menyusun pleksus dan fasikulus terlebih dahulu kemudian menuju ke lengan
dan tungkai. Karena itulah, maka penataan lamelar dermatoma C.5 – T.2 dan
L.2 – S.3 menjadi agak kabur (Sidharta, 2009).
Segala sesuatu yang merangsang serabut sensorik di tingkat radiks dan
foramen intervertebrale dapat menimbulkan nyeri radikular, yaitu nyeri yang
terasa berpangkal pada tingkat tulang belakang tertentu dan menjalar
sepanjang kawasan dermatomal radiks posterior yang bersangkutan. Pada
adanya herpes zoster di T.5 misalnya kawasan dermatoma T.5 itu dapat
diungkapkan oleh gelembung-gelembung herpes yang tersebar pada
permukaan kulit. Dalam pada itu, yang dilanda virus herpes zoster ialah
ganglion spinale T.5. Osteofit, penonjolan tulang karena fraktur, nukleus
pulposus atau serpihannya, tumor dan sebagainya dapat merangsang satu atau
lebih radiks posterior. Pada tingkat kauda equina radiks posterior letaknya
dekat satu dengan yang lain, sehingga nukleus pulposus diskus intervertebrale
antara L.5 dan S.1 dapat mengganggu 3 radiks posterior. Dalam hal itu nyeri
radikular dapat dirasakan pada permukaan kulit yang tercakup oleh 3
dermatoma. Pada umumnya hanya satu radiks saja yang pada permulaan
mengalami iritasi terberat. Kemudian yang kedua lainnya akan mengalami
nasib yang sama. Karena adanya perbedaan derajat iritasi, selisih waktu
17
dalam penekanan, penjepitan dan sebagainya, maka nyeri radikular akibat
iritasi terhadap 3 radiks posterior itu dapat juga dirasakan oleh pasien sebagai
nyeri neurogenik yang terdiri atas nyeri yang tajam, nyeri yang menjemukan
dan parestesia (Sidharta, 2009).
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan.
Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang
dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang
dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya.
2. Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yaitu
berdasarkan waktu, tempat terjadinya nyeri, dan persepsi nyeri.
3. Mekanisme nyeri ada empat tahap yaitu transduksi, transmisi, modulasi,
persepsi.
4. Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual
dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat
berbeda oleh dua orang yang berbeda.
5. Respons nyeri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya usia,
jenis kelamin, kultur, makna nyeri, perhatian, ansietas, pengalaman masa
lalu, pola koping, support keluarga dan sosial.
B. SARAN
Pelajarilah literatur-literatur lainnya yang mengenai klasifikasi dan
mekanisme nyeri supaya pemahaman kita lebih luas. Refrat ini hanya sebagai
tambahan saja, dan mungkin masih belum lengkap tentang materinya.