BAB I

19
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecenderungan untuk menikah dini bagi mahasiswa muslim, nampaknya menunjukkan trend meningkat belakangan ini. Sebab pernikahan dini dianggap bisa menjadi obat untuk mengatasi problem sosial yang ada. Problem yang dimaksud, berkaitan dengan keberadaan gharizatun nau’ (naluri melangsungkan keturunan) pada diri mereka dalam konteks masyarakat sekuler yang liberal. Problem ini lahir karena 2 (dua) faktor sosial : Pertama, masyarakat sekuler yang liberal banyak menyuguhkan stimulus-stimulus yang membangkitkan nafsu seksual, baik berupa kenyataan sosial yang buruk seperti pergaulan bebas dan prostitusi, maupun sarana-sarana yang memanjakan syahwat rendahan, seperti film, VCD, tabloid, novel, internet, dan sebagainya. Kedua, adanya semacam kebijakan/program nasional yang “memaksa” para pemuda dan pemudi untuk menunda usia pernikahannya, demi pembatasan jumlah penduduk. Karena katanya jumlah penduduk yang banyak akan meningkatkan berbagai kebutuhan. Sementara di sisi lain konon sumber daya untuk memuaskan kebutuhan itu sangat terbatas. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hukum menikah dan menikah dini? 2. Bagaimana hukum yang bertalian dengan menikah dini?

description

n

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kecenderungan untuk menikah dini bagi mahasiswa muslim, nampaknya

menunjukkan trend meningkat belakangan ini. Sebab pernikahan dini dianggap bisa menjadi

obat untuk mengatasi problem sosial yang ada. Problem yang dimaksud, berkaitan dengan

keberadaan gharizatun nau’ (naluri melangsungkan keturunan) pada diri mereka dalam

konteks masyarakat sekuler yang liberal. Problem ini lahir karena 2 (dua) faktor sosial :

Pertama, masyarakat sekuler yang liberal banyak menyuguhkan stimulus-stimulus yang

membangkitkan nafsu seksual, baik berupa kenyataan sosial yang buruk seperti pergaulan

bebas dan prostitusi, maupun sarana-sarana yang memanjakan syahwat rendahan, seperti

film, VCD, tabloid, novel, internet, dan sebagainya. Kedua, adanya semacam

kebijakan/program nasional yang “memaksa” para pemuda dan pemudi untuk menunda usia

pernikahannya, demi  pembatasan jumlah penduduk. Karena katanya jumlah penduduk yang

banyak akan meningkatkan berbagai kebutuhan. Sementara di sisi lain konon sumber daya

untuk memuaskan kebutuhan itu sangat terbatas.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana hukum menikah dan menikah dini?

2.      Bagaimana hukum yang bertalian dengan menikah dini?

3.      Bagaimana hukum menikah bagi mahasiswa yang mampu menjaga dirinya?

4.      Bagiamana hukum menikah bagi mahasiswa yang tidak mampu menjaga dirinya?

5.      Bagaimana kewajiban menjaga pergaulan pria-wanita untuk menjaga kesucian jiwa (‘Iffah)?

C.    Tujuan

1.      Mengetahui hukum menikah dan menikah dini

2.      Mengetahui hukum yang bertalian dengan menikah dini

3.      Mengetahui hukum menikah bagi mahasiswa yang mampu menjaga dirinya

4.      Mengetahui hukum menikah bagi mahasiswa yang tidak mampu menjaga dirinya

5.      Mengetahui kewajiban menjaga pergaulan pria-wanita untuk menjaga kesucian jiwa (‘Iffah)

BAB II

Page 2: BAB I

KAJIAN PUSTAKA

1.      Pendahuluan

            Kecenderungan untuk menikah dini bagi mahasiswa muslim, nampaknya

menunjukkan trend meningkat belakangan ini. Sebab pernikahan dini dianggap bisa menjadi

obat untuk mengatasi problem sosial yang ada. Problem yang dimaksud, berkaitan dengan

keberadaan gharizatun nau’ (naluri melangsungkan keturunan) pada diri mereka dalam

konteks masyarakat sekuler yang liberal. Problem ini lahir karena 2 (dua) faktor sosial :

Pertama, masyarakat sekuler yang liberal banyak menyuguhkan stimulus-stimulus yang

membangkitkan nafsu seksual, baik berupa kenyataan sosial yang buruk seperti pergaulan

bebas dan prostitusi, maupun sarana-sarana yang memanjakan syahwat rendahan, seperti

film, VCD, tabloid, novel, internet, dan sebagainya. Kedua, adanya semacam

kebijakan/program nasional yang “memaksa” para pemuda dan pemudi untuk menunda usia

pernikahannya, demi  pembatasan jumlah penduduk. Karena katanya jumlah penduduk yang

banyak akan meningkatkan berbagai kebutuhan. Sementara di sisi lain konon sumber daya

untuk memuaskan kebutuhan itu sangat terbatas.

            Kedua faktor itu bersinergi secara negatif menciptakan suatu kondisi yang sangat

menyiksa generasi muda. Betapa tidak. Di satu sisi banyaknya rangsangan seksual membuat

nafsu para pemuda bergejolak. Sementara di sisi lain terdapat semacam opini umum yang

mencela pernikahan dini akibat kampanye-kampanye yang membosankan (dan tidak

menyelesaikan masalah) bahwa usia pernikahan minimal adalah sekian tahun. Resahlah para

pemuda dan pemudi. Nah, dalam kondisi demikian itu, wajarlah bila pernikahan dini

dianggap sebagai obat yang didambakan kawula muda.

            Namun demikian, ulama menasehatkan bahwa “Al Ilmu qabla al-‘amal (ilmu itu

mendahului amal).” Maka untuk menjalankan pernikahan dini, seorang mahasiswa muslim

wajib memahami ketentuan Syariat Islam yang bertalian dengan pernikahan dini. Sebab

dalam Syariat Islam, seorang mukallaf wajib memahami hukum suatu perbuatan sebelum

melakukannya, sesuai kaidah syara’ :

Al ashlu fi al af’al at taqayyudu bi al hukmi  asy syar’i

“Hukum asal dalam perbuatan-perbuatan (mukallaf) adalah terikat dengan hukum syara’”

(Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 19).

Page 3: BAB I

Kaidah ini bermakna : perbuatan seorang muslim pasti mempunyai status hukum syara’, tidak

terlepas atau terbebas dari ketentuan hukum-hukum Allah, apa pun juga perbuatan itu. Maka

dari itu, seorang muslim wajib mengetahui hukum syara’ akan suatu perbuatan, sebelum dia

melakukan perbuatan itu, apakah perbuatan itu wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram.

Jika dia tidak mengetahui hukumnya, wajib baginya bertanya kepada orang-orang yang

berilmu. Firman Allah SWT :

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak

mengetahui.” (TQS An Nahl : 43)  

            Dengan demikian, seorang muslim wajib mengetahui hukum-hukum syara’ yang

berkaitan dengan perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan itu berkaitan dengan

aktivitasnya sehari-hari, atau akan segera dia laksanakan, hukumnya fardhu ‘ain untuk

mempelajari dan mengetahui hukum-hukumnya.Misalnya seorang dokter, maka dia wajib

‘ain untuk mengetahui hukum pengobatan, definisi hidup atau mati, otopsi, dan sebagainya.

Seorang pedagang, wajib ‘ain untuk mengetahui hukum jual beli, sewa menyewa, hutang

piutang, dan sebagainya. Seorang muslim yang akan menikah, wajib ‘ain baginya untuk

mengetahui hukum-hukum seperti hukum khitbah, akad nikah, nafkah, hak-kewajiban suami

isteri, thalaq, ruju’, dan sebaginya.

 Adapun jika perbuatan itu tidak berkaitan dengan aktivitasnya  sehari-hari, atau baru

akan diamalkan di kemudian hari, hukumnya fardhu kifayah mengetahui hukum-hukumnya

(Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II, hal. 5-6). Misalkan

seorang muslim yang  mempelajari hukum-hukum jihad untuk diamalkan pada suatu saat

nanti (tidak segera), maka hukumnya adalah fardhu kifayah. Demikian pula muslim yang

belum akan segera melaksanakan haji,  fardhu kifayah baginya untuk mempelajari hukum-

hukum seputar ibadah haji. Termasuk hukum fardhu kifayah, adalah menguasai ilmu-ilmu

keislaman sampai pada tingkat ahli (expert), misalnya menjadi ahli tafsir, ahli hadits, ahli

ijtihad (mujtahid) dan sebagainya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al

Islamiyah Juz II, hal. 6).

Mempelajari hukum-hukum nikah hukumnya adalah fardhu bagi setiap muslim.

Fardhu kifayah bagi mereka yang akan melaksanakannya di kemudian hari, dan fardhu

‘ain bagi yang akan bersegera melaksanakannya dalam waktu dekat.

2. Hukum Menikah dan Menikah Dini

Page 4: BAB I

            Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub) sesuai firman Allah SWT :

“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika

kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) satu orang saja, atau budak-

budak yang kamu miliki.” (TQS An Nisaa` : 3)

Perintah untuk menikah dalam ayat di atas merupakan tuntutan untukmelakukan nikah

(thalab al fi’il). Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti/keharusan (ghairu jazim) karena

adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka

tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim)

atau berhukum sunnah, tidak wajib.

            Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib

atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak

dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah

menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlak adalah wajib atas setiap

muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi

wajib baginya, sesuai kaidah syara’ :

Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib

“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga

hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 36-

37)

Dapat juga pernikahan menjadi haram, jika menjadi perantaraan kepada yang haram, seperti

pernikahan untuk menyakiti isteri, atau pernikahan yang akan  membahayakan agama

isteri/suami. Kaidah syara’ menyatakan :

Al wasilah ila al haram muharramah

“Segala perantaraan kepada yang haram hukumya haram.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953,

Muqaddimah Ad Dustur, hal. 86)

Page 5: BAB I

             Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua,

hukumnya menurut syara' adalah sunnah (mandub). (Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An

Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hal. 101). Sabda Nabi Muhammad SAW :

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu

akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum

mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan

Muslim) (HSA Al Hamdani, 1989, Risalah Nikah, hal. 18)

 

   Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda” (asy syabab),

bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak

disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak

bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah).

Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis et. al (1972) dalam

kamus Al Mu’jam Al Wasith hal. 470 adalah orang yang telah mencapai usia baligh tapi

belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar

rujulah) adalah  “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat

yang  khusus/spesifik bagi seorang laki-laki (Ibid, hal. 332).

3. Hukum Yang Bertalian dengan Menikah Dini

            Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka

yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari

itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua

pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus,

seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah

secara layak.

            Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat

sebagai persiapan sebuah pernikahan.  Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih paling tidak diukur

dengan 3 (tiga) hal :

Pertama, kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan

dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar),

pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum

nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain

Page 6: BAB I

hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari

dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya.

Kedua, kesiapan materi/harta. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta

sebagai mahar (mas kawin) (lihat QS An Nisaa` : 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada

isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang

berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS Al Baqarah : 233, dan Ath Thalaq : 6).

Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materiil, namun bisa

juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan

suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang

layak (bi al ma’ruf) yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain

semisal isteri seseorang dalam sebuah masyarakat (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As

Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 174-175).

Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu

menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya

Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah

untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin Khaththab pernah

memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang impoten

(Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hal.163). Ini menunjukkan

keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum menikah.

            Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik untuk yang menikah dini

maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini dalam konteks

pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah, adalah sebagai berikut :

a. Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Masih Dapat Menjaga Dirinya

            Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban,

yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak

wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai

terperosok kepada yang haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian

harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih

didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada

menikah.

Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah, tidak wajib, namun dia

dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut (menuntut ilmu dan menikah) dalam

Page 7: BAB I

waktu bersamaan secara baik, tidak mengabaikan salah satunya, disertai dengan keharusan

memenuhi kesiapan menikah seperti diuraikan di atas, yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik.

b. Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Tidak Dapat Menjaga Dirinya

            Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera

menikah maka dia akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-

benar dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan

menikah, maka hukum asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah

syariat :  

Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib

“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga

hukumnya.”

Hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan kewajiban lainnya, yaitu

menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini

memang cukup berat dan sulit. Tapi apa boleh buat, kalau menikah wajib dilaksanakan

mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini

memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal), manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus

mewajibkan mahasiswa tersebut memenuhi syarat-syaratnya, yaitu :

Pertama, kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu

itu wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga merupakan amanat dari

orang tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu

memelihara amanat dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah

dosa dan ciri seorang munafik. Allah SWT berfirman :

“Dan (orang-orang beriman) adalah orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang

dipikulnya) dan janjinya.” (TQS Al Mu`minun : 8) 

Kedua, kewajiban yang berkaitan dengan kesiapan pernikahan harus diwujudkan, khususnya

kesiapan memberikah nafkah. Jika mahasiswa sudah bekerja sehingga mampu memberi

nafkah kepada isterinya kelak secara patut dan layak, maka menikah saat kuliah tidak

menjadi masalah. Namun perlu diingat, bekerja memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang

Page 8: BAB I

tidak sedikit. Perhatikan betul manajemen waktu agar kuliah tidak ngelantur dan

terbengkalai. Adapun jika mahasiswa sudah bekerja namun gajinya tidak mencukupi, atau

tidak bekerja sama sekali karena tidak memungkinkan karena kesibukan kuliah, maka

kewajiban nafkah berpindah kepada ayah mahasiswa. Sebab mahasiswa tersebut berada

dalam keadaan tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman), maka dia wajib mendapat nafkah

dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu ayahnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As

Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 165). Syara’ telah mewajibkan seorang ayah

menafkahi anaknya sesuai firman-Nya :  

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).”

(TQS Al Baqarah : 233)

‘A`isyah meriwayatkan bahwa Hindun pernah berkata kepda Rasulullah,”Wahai Rasulullah,

Abu Sufyan (suaminya) adalah seorang lelaki bakhil, dia tidak mencukupi nafkah untukku

dan anakku, kecuali aku mengambil hartanya sedang dia tidak tahu.” Nabi SAW

bersabda,”Ambillah apa yang mencukupi untukmu dan anakmu secara ma’ruf.” 

(Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 166)

Sebenarnya nafkah ayah kepada anak (walad) hanya sampai anak itu baligh, atau sampai anak

itu mampu mencari nafkah sendiri. Namun kalau anak itu tidak mampu secara nyata/fisik

(‘ajiz fi’lan) seperti cacat, atau tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman) –walaupun sudah

baligh atau sudah bekerja tapi tidak cukup— maka sang ayah tetap berkewajiban memberikan

nafkah. Jika ayah tidak mampu, maka kewajiban nafkah ini berpindah kepada kerabat-kerabat

(al ‘aqarib) atau ahli waris (al warits) si lelaki (mahasiswa) sesuai firman-Nya :

“Dan warispun berkewajiban demikian (yaitu memberikan nafkah).” (TQS Al Baqarah :

233)

Ayat di atas merupakan kelanjutan (‘athaf) dari ayat :

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).”

(TQS Al Baqarah : 233)

Page 9: BAB I

Karenanya, jika ayah tidak mampu juga memberikan nafkah, maka kewajiban ini berpindah

kepada kerabat atau ahli waris mahasiswa. Jika kerabat juga miskin atau tidak mampu,

sebenarnya Syariat Islam tetap memberikan jalan keluar, yaitu nafkahnya menjadi tanggung

jawab negara (Daulah Khilafah Islamiyah) sebab negara dalam Islam berkewajiban

menanggung nafkah orang-orang miskin yang menjadi rakyatnya (Abdurrahman Al Maliki,

1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 172).

4. Kewajiban Menjaga Pergaulan Pria-Wanita Untuk Menjaga Kesucian Jiwa (‘Iffah)

            Syariat Islam sebenarnya telah secara preventif menetapkan hukum-hukum yang jika

dilaksanakan, kesucian jiwa dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari

kemungkinan berbuat dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum tersebut :

1). Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar menundukkan

pandangannya serta memelihara kemaluannya, dengan firman Allah SWT :

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan

memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Dan katakanlah kepada wanita yang

beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemauannya." (TQS

An-Nur:30-31)

2). Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun kaum wanita agar menjauhi perkara-

perkara yang syubhat, dan menganjurkan sikap hati-hati agar tidak tergelincir dalam

perbuatan ma'siyat kepada Allah, serta menjauhkan diri dari pekerjaan, atau tempat apa pun

tidak berbaur dengan kondisi dan situasi apapun yang di dalamnya terdapat syubhat, supaya

mereka tidak terjerembab dalam perbuatan yang haram. Rasulullah SAW bersabda :

"Sesungguhnya yang halal telah jelas, begitu pula yang haram telah jelas; dan diantara dua

perkara itu terdapat syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa

berhati-hati dengan tindakan syubhat sesungguhnya ia telah menjaga agama dan dirinya,

dan barang siapa yang melakukan tindakan syubhat, maka ia telah melakukan tindakan yang

haram, sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan kembingnya di

seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh melewati pagar itu. Ketahuilah sesungguhnya

Page 10: BAB I

setiap penguasa memiliki pagar pembatas, dan sesungguhnya pagar (batas) Allah adalah

apa yang diharamkannya." (HR. Bukhari)

3). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan disebabkan oleh keadaan

tertentu, hendaknya memiliki sifat 'iffah , dan mampu mengendalikan nafsu. Allah SWT

berfirman :

"Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian  (diri)nya

sehingga Allah memberikan kepada mereka kemampuan dengan karunia-Nya." (TQS. An

Nur : 33)

4). Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama lain melakukan khalwat. Yang

dimaksud dengan khalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang wanita di

suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan seorang pun untuk masuk tempat itu

kecuali dengan izin kedua orang tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah, atau tempat yang

sunyi yang jauh dari jalan dan orang-orang. Sabda Nabi SAW :

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah jangan

melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahram, karena

sesungguhnya yang ketiga itu adalah syaithan."

5). Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj , sebagaimana firman Allah :

"Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haidh dan mengandung) yang

tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan

tidak bermaksud menampakkan perhiasannya (bertabarruj)."  (TQS. An-Nur : 60)

6). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian sempurna, yang

menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya; dan hendaknya mereka

mengulurkan pakaiannya  sehingga mereka dapat menutupi tubuhnya.  Allah SWT

berfirman :

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari

padanya.  Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimar) ke dadanya."  (TQS

An Nuur: 31)

Page 11: BAB I

"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri

orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."  (TQS

Al Ahzab: 59)

7).  Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat

lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali apabila disertai dengan mahramnya.

Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir

melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali bila disertai mahramnya."

8) Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamaah kaum wanita

terpisah ( infishal ) dari jamaah kaum pria , begitu juga di dalam masjid, di sekolah dan lain

sebagainya.  Islam telah menetapkan seorang wanita hendaknya hidup di tengah tengah kaum

wanita, sama halnya dengan seorang pria hendaknya hidup di tengah tengah kaum pria. 

Islam menjadikan shaf shalat kaum wanita di bagian belakang dari shaf shalat kaum pria, dan

menjadikan kehidupan wanita hanya bersama dengan  para wanita atau mahram-mahramnya. 

Wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, tetapi

begitu selesai hendaknya segera kembali hidup bersama kaum wanita atau mahram-

mahramnya.

9).   Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya

bersifat umum dalam urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling

mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya, atau jalan jalan bersama.

Sebab, tujuan kerjasama dalam hal ini agar wanita dapat segera mendapatkan apa yang

menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping untuk melaksanakan apa yang

menjadi kewajiban-kewajibannya.

BAB III

PENUTUP

Page 12: BAB I

A.    Kesimpulan

Dari seluruh uraian yang diuraikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai 

berikut :

Pertama, Setiap muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam setiap perbuatannya,

termasuk dalam hal menikah dini.

Kedua, Menikah dan juga menikah dini adalah sunnah.

Ketiga, Menikah dini sunnah bagi mahasiswa yang masih dapat mengendalikan diri.

Keempat, Menikah dini wajib bagi mahasiswa yang tidak dapat lagi mengendalikan diri.

Kelima, Menikah dini dalam dua keadaan tersebut mensyaratakan adanya kesiapan ilmu,

harta (nafkah), dan fisik, di samping mensyaratkan tetap adanya kemampuan melaksanakan

kewajiban kuliah (menuntut ilmu).

Keenam, Islam telah menetapkan hukum-hukum preventif agar para pemuda dan pemudi

terhindar dari rangsangan dan godaan untuk berbuat maksiat.

B.     Saran

Menikah dini merupakan jalan bagi orang untuk tetap menjaga kesucian dirinya dari hal yang

berbau perzinahan. Namun alangkah baiknya jika menikah itu dipikirkan secara masak-

masak, karena menikah bukan hal yang sepele.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.canboyz.co.cc/2010/05/contoh-kata-pengantar-makalah.html

http://husnita.multiply.com/journal/item/41/

PERNIKAHAN_DINI_DALAM_TINJAUAN_FIQIH_ISLAM