BAB I

10
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filsafat pendidikan sebagai salah satu acuan untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Karena dalam memperlajari Filsafat Pendidikan Kita lebih tahu dasar-dasar pendidikan. Dengan mempelajarinya maka generasi yang akan datang akan lebih memahami tentang pendidikan dan aliran filsafat pendidikan, supaya kita dapat mengambil hikmah pembelajaran dari aliran-aliran filsafat pendidikan tersebut. B. Rumusan Masalah 1. Apa penjelasan tentang Aliran Perenialisme? 2. Apa penjelasan tentang Aliran Progresivisme? 3. Apa penjelasan tentang Aliran Rekonstruksionisme? 4. Apa penjelasan tentang Aliran Esensialisme? 5. Apa penjelasan tentang Aliran Idealisme? 6. Apa penjelasan tentang Aliran Realisme? 7. Apa penjelasan tentang Aliran Materialisme? 8. Apa penjelasan tentang Aliran Pragmatisme? 9. Apa penjelasan tentang Aliran Eksistensialisme? C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui penjelasan tentang Aliran Perenialisme? 2. Mengetahui penjelasan tentang Aliran Progresivisme? 3. Mengetahui penjelasan tentang Aliran Rekonstruksionisme? 4. Mengetahui penjelasan tentang Aliran Esensialisme? 5. Mengetahui penjelasan tentang Aliran Idealisme? 6. Mengetahui penjelasan tentang Aliran Realisme? 7. Mengetahui penjelasan tentang Aliran Materialisme? 8. Mengetahui penjelasan tentang Aliran Pragmatisme? 9. Mengetahui penjelasan tentang Aliran Eksistensialisme? A. Aliran Perennialisme Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “Lasting for a very long time” - abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu aliran Pernnialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang kepada nilai-nilai dan norma yang bersifat kekal abadi. [1]

description

BAB 1

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB IPENDAHULUAN

A.    Latar BelakangFilsafat pendidikan sebagai salah satu acuan untuk memperbaiki

pendidikan di Indonesia. Karena dalam memperlajari Filsafat Pendidikan Kita lebih tahu dasar-dasar pendidikan. Dengan mempelajarinya maka generasi yang akan datang akan lebih memahami tentang pendidikan dan aliran filsafat pendidikan, supaya kita dapat mengambil hikmah pembelajaran dari aliran-aliran filsafat pendidikan tersebut.

B.      Rumusan Masalah1.      Apa penjelasan tentang Aliran Perenialisme?2.      Apa penjelasan tentang Aliran Progresivisme?3.      Apa penjelasan tentang Aliran Rekonstruksionisme?4.      Apa penjelasan tentang Aliran Esensialisme?5.      Apa penjelasan tentang Aliran Idealisme?6.      Apa penjelasan tentang Aliran Realisme?7.      Apa penjelasan tentang Aliran Materialisme?8.      Apa penjelasan tentang Aliran Pragmatisme?9.      Apa penjelasan tentang Aliran Eksistensialisme?C.    Tujuan Penulisan1.      Mengetahui penjelasan tentang Aliran Perenialisme?2.      Mengetahui penjelasan tentang Aliran Progresivisme?3.      Mengetahui penjelasan tentang Aliran Rekonstruksionisme?4.      Mengetahui penjelasan tentang Aliran Esensialisme?5.      Mengetahui penjelasan tentang Aliran Idealisme?6.      Mengetahui penjelasan tentang Aliran Realisme?7.      Mengetahui penjelasan tentang Aliran Materialisme?8.      Mengetahui penjelasan tentang Aliran Pragmatisme?9.      Mengetahui penjelasan tentang Aliran Eksistensialisme?A.    Aliran Perennialisme

Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “Lasting for a very long time” - abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu aliran Pernnialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang kepada nilai-nilai dan norma yang bersifat kekal abadi.[1]

Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke dua puluh. Perennialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perennialisme menentang pandangan Progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu-sesuatu yang baru. Perennialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian dan ketidak teraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio cultural. Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut.[2]

Page 2: BAB I

Perennilisme melihat bahwa akibat dari kehidupan jaman modern telah menimbulkan banyak krisis diberbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini Pernnialisme memberikan jalan keluar berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau, “regressive road to culture”. Oleh sebab itu Perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia jaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan yang telah terpuji ketangguhannya.[3]

Perennialisme dalam konteks pendidikan dibangun atas dasar suatu keyakinan ontologisnya, bahwa batang tubuh pengetahuan yang berlangsung dalam ruang dan waktu ini mestilah terbentuk melalui dasar-dasar pendidikan yang diterima manusia dalam kesejarahannya. Robert M. Hutchins, salah seorang tokoh perennialisme menyimpulkan bahwa tugas pokok pendidikan adalah pengajaran. Pengajaran menunjukkan pengetahuan sedangkan pengetahuan itu sendiri adalah kebenaran. Kebenaran pada setiap manusia adalah sama, oleh karena itu, dimanapun dan kapanpun ia akan selalu sama.[4] 

Pola dasar pendidikan perennialisme hanya dibatasi pada prinsip-prinsip umum dari teori dan praktek pendidikan yang dilaksanakan oleh penganut Perennialisme. Bahkan harus diakui bahwa prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan Perennialisme tidak selalu secara mutlak konsisten dengan asas-asas filosofis yang menjadi dasar pandangannya.[5]

Perennialisme memandang kebenaran sebagai hal yang konstan, abadi atau perennial. Tujuan dari pendidikan, menurut pemikir perenialis, adalah memastikan bahwa para siswa memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasan-gagasan besar yang tidak berubah.[6] Pikiran Plato tentang pola dasar pendidikan aliran ini adalah bahwa essensi ilmu Pengetahuan dan nilai-nilai ialah manifestasi daripada hukuman universal yang abadi dan sempurna, yakni idea (yang supernatural).

B.     Aliran ProgresivismeProgresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran yang

berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan kumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Selama dua puluh tahunan merupakan suatu gerakan yang kuat di Amerika Serikat. Banyak guru yang ragu-ragu terhadap gerakan ini, karena guru telah mempelajari dan memahami filsafat Dewey, sebagai reaksi terhadap filsafat lainnya. Kaum progresif sendiri mengeritik filsafat Dewey. Perubahan masyarakat yang dilontarkan oleh Dewey adalah perubahan secara evolusi, sedangkan kaum progresif mengharapkan perubahan yang sangat cepat, agar lebih cepat mencapai tujuan.

Filsafat progresif berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini tidak mungkin benar dimasa mendatang. Karenanya, cara terbaik mempersiapkan para siswa untuk suatu masa depan yang tidak diketahui adalah membekali mereka dengan strategi-strategi pemecahan masalah yang memungkinkan mereka mengatasi tantangan-tantangan baru dalam kehidupan dan untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang relevan pada

Page 3: BAB I

saat ini. Melalui analisis diri dan refleksi yang berkelanjutan, individu dapat mengidentifikasi nilai-nilai yang tepat dalam waktu yang dekat.

Progresivisme didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak (child-centered) bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Tulisan-tulisan John Dewey pada tahun 1920-an dan 1950-an berkontribusi cukup besar pada penyebaran gagasan-gagasan progresif.

C.    Aliran RekonstruksionismeRekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme.

Gerakan ini lahir didasari atas suatu tanggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.

Dalam publikasinya “Dare the School Build a New Social Order”, George mengemukakan bahwa sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan, dan kesukuan (rasialisme).

Aliran ini dalam satu prinsip sependapat dengan perenialisme, bahwa ada satu kebutuhan yang amat mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang, yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan.[7]

D.    Aliran EsensialismeGerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa

orang pelopornya, seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed, dan Isac L. Kandell. Pada tahun 1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut “The Esensialist Commite for the Advancement of American Education”. Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah seorang guru besar pada ”Teacher College”, Columbia University. Ia yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda.

Gerakan back to basics yang dimulai pertengahan tahun 1970-an adalah dorongan skala besar yang mutakhir untuk menerapkan program-program esensialis di sekolah-sekolah dan tidak semua teori aliran ini berasal dari filsafat esensialisme. Tujuan pendidikan aliran ini adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakulmulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua orang.[8]

E.     Aliran IdealismeFilsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan

materi, bukan pula fisik. Parmenides, filosof dari Elea (Yunani Puba), berkata, “Apa yang tidak dapat dipikirkan adalah tidak nyata”. Plato seorang filosof idealisme klasik (Yunani Purba), menyatakan bahwa realitas terakhir adalah

Page 4: BAB I

dunia cita. Dunia cita merupakan dunia mutlak, tidak berubah, dan asli serta abadi. Realitas akhir tersebut sebenarnya telah ada sejak semula pada jiwa manusia. Schoupenhaur menyatakan bahwa “Dunia adalah ide saya”. Menurut Hegel, dunia adalah roh, yang mengungkapkan diri dalam alam, dengan maksud agar roh tersebut sadar akan dirinya sendiri. Hakikat roh dapat berupa ide atau pikiran. Mereka dapat mewakili pandangan metafisika idealisme.[9]

Menurut Plato tentang teori pengetahuan, idealisme mengemukakan pandangan bahwa pengetahuan yang diperoleh melallui indera tidak pasti dan tidak lengkap,  karena dunia hanyalah merupakan hasil akal belaka, karena akal dapat membedakan bentuk spiritual murni dan benda-benda diluar penjelmaan material.

Menurut pandangan idealisme, nilai itu absolute, apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik, atau tidak cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pada hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia, melainkan merupakan bagigan dari alam semesta.

Idealisme memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan teori pendidikan, khususnya filsafat pendidikan. Tokoh idealisme merupakan orang-orang yang yang memiliki nama besar. Sampai sekarang orang akan mengakui kebesaran hasil pemikirannya, baik memberikan persetujuannya maupun memberikan kritik, bahkan penolakan.[10]

F.     Aliran RealismePada dasarnya realisme merupakan filsafat yang memandang realitas

secara dualitis. Realisme berbeda dengan materialisme dan idealisme yang bersifat monistis. Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri ataas dunia fisik dan dunia rahani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subyek yang menyadari dan mengatahui disatu pihak, dan dipihak lainnya adalah adanya realita diluar manusia, yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan manusia.[11]

G.    Aliran MaterialismeMaterialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan

rohani, bukan spiritual, atau supranatural. Demokritos (460-360 SM), merupakan pelopor pandangan materialisme klasik, yang disebut juga “atomisme”. Demokritos beserta para pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (yang disebut atom-atom) atom-atom merupakan bagian dari yang begitu kecil sehingga mata kita tidak dapat melihatnya. Atom-atom itu bergerak, sehingga dengan demikian membentuk realitas pada panca indera kita.[12]

Materialisme maupun positivisme, pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (1959), materialisme belum pernah menjadi penting dalam menentukan sumber teori pendidikan. Menurut Waini Rasyidin (1992), filsafat positivisme sebagai

Page 5: BAB I

cabang dari materialisme lebih cenderung menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara factual.[13]

H.    Aliran PragmatismePragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya

berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1893-1914), Wiliam James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952).

Realitas dan dunia yang kita amati, tidak bebas dari ide manusia dan sekaligus juga tidak terikat kepadanya. Realitas merupakan interaksi antara manusia denga lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realitas.

Pragmatisme yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya secara empiris. Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian dari dunia.

Pragmatisme mengemukakan pandangannya tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah moral dan etik tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan kebudayaan, masyarakat, dan lingkungannya. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran pengetahuan dengan metode empiris.

Pragmatisme telah memberikan sumbangan besar terhadap teori pendidikan. Menurut Dewey, terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Kedua teori tersebut adalah paham konservatif dan ”unfolding theory” (teori pemerkahan).[14]

I.       Aliran EksistensialismeFilsafat eksistensialisme itu unik yakni memfokuskan pada pengalaman-

pengalaman individu. Filsafat-filsafat lain berhubungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan manusia dan nilai.

Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan skeptis. Filsafat spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang pengnalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada dalam diri individu. Jadi pengalaman tidak banyak pengaruh terhadap diri individu.

Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia.

Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri. Melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan diantara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar.

Page 6: BAB I

Eksistensialisme sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk yang unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan adalah kemerdekaan.[15]

BAB IIIPENUTUP

A.    KesimpulanPerennialisme diambil dari kata perennial, yang berarti abadi atau

kekal. Perennialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke dua puluh. Pola dasar pendidikan perennialisme hanya dibatasi pada prinsip-prinsip umum dari teori dan praktek pendidikan yang dilaksanakan oleh penganut Perennialisme. Perennialisme memandang kebenaran sebagai hal yang konstan, abadi atau perennial. Tujuan dari pendidikan, menurut pemikir perenialis, adalah memastikan bahwa para siswa memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasan-gagasan besar yang tidak berubah.

Progresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan kumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Filsafat progresif berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini tidak mungkin benar dimasa mendatang.

Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.

Esensialisme muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa orang pelopornya, seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed, dan Isac L. Kandell. Pada tahun 1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut “The Esensialist Commite for the Advancement of American Education”.

Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan pula fisik. Menurut pandangan idealisme, nilai itu absolut, apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik, atau tidak cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pada hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia, melainkan merupakan bagigan dari alam semesta.

Page 7: BAB I

Reallisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berbeda dengan materialisme dan idealisme yang bersifat monistis.

Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau supranatural.

Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami.

Eksistensialisme itu unik yakni memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Filsafat-filsafat lain berhubungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan manusia dan nilai.

B.     SaranTidak ada yang sempurna didunia ini kecuali ciptaan-Nya. Apalagi

manusia tidak ada daya apa-apa untuk menciptakan sesuatu. Demikian juga dengan karya ilmiah ini yang jauh dari kesempurnaan. Penulis harap karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang telah membantu dan para pembaca. Kritik dan saran senantiasa saya terima demi penyempurnaan karya ilmiah selanjutnya.

Page 8: BAB I

DAFTAR PUSTAKANoor Syam, Muhammaad. 1984. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.Sadulloh, Uyoh. 2008.  Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.Zuhairini, dkk. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.