BAB I

47
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa sekarang ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang teknologi (IPTEK) dan perkembangan pembangunan diberbagai aspek terutama dibidang industri timbul berbagai masalah baru, hal ini terkait dengan pencemaran lingkungan oleh limbah-limbah buangan dari industri-industri yang semakin meningkat dari waktu kewaktu. Bertambah majunya (IPTEK) mengakibatkan kemajuan yang sangat pesat dalam bidang industri. Namun sangat disanyangkan dengan bertambah pesatnya industri yang ada, dalam industri kurang diimbangi dengan adanya kesadaran yang tinggi terhadap pengelolaan lingkungan. Semakin menjamurnya industri maka semakin banyak pula limbah yang dikeluarkan, sehingga mengakibatkan permasalahan yang kompleks di dalam lingkungan. Apabila pengolahan dan penanganan limbah belum dapat ditangani secara benar dan maksimal. 1

description

bab I kimia

Transcript of BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa sekarang ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan

dalam bidang teknologi (IPTEK) dan perkembangan pembangunan diberbagai

aspek terutama dibidang industri timbul berbagai masalah baru, hal ini terkait

dengan pencemaran lingkungan oleh limbah-limbah buangan dari industri-industri

yang semakin meningkat dari waktu kewaktu. Bertambah majunya (IPTEK)

mengakibatkan kemajuan yang sangat pesat dalam bidang industri. Namun sangat

disanyangkan dengan bertambah pesatnya industri yang ada, dalam industri

kurang diimbangi dengan adanya kesadaran yang tinggi terhadap pengelolaan

lingkungan. Semakin menjamurnya industri maka semakin banyak pula limbah

yang dikeluarkan, sehingga mengakibatkan permasalahan yang kompleks di

dalam lingkungan. Apabila pengolahan dan penanganan limbah belum dapat

ditangani secara benar dan maksimal. Hal ini dapat mengakibatkan pencemaran

terhadap lingkungan, seperti pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran

tanah, kerusakan ekosistem sehingga dapat mengakibatkan penurunan kesehatan

dan lain-lain. Oleh sebab itu, pengolahan dan penanganan limbah menjadi bagian

yang sangat penting dalam bidang industri.

Salah satu sumber pencemaran air yaitu berasal dari pencemar anorganik

yang bersifat non biodegradable diantaranya adalah merupakan senyawa logam.

Senyawa logam ini terbentuk karena adanya sisa limbah pabrik atau industri yang

1

menimbulkan permasalahan di dalam lingkungan. Pencemaran air oleh logam-

logam berat dapat berasal dari proses-proses industri seperti industri metalurgi,

industri penyamakan kulit, industri pembuatan fungisida, industri cat dan zat

warna tekstil (Redhana 1994). Pencemaran air oleh logam-logam adalah

permasalahan yang lebih serius dibandingkan dengan pencemar yang disebabkan

karena polutan organik. Logam bila telah terurai menjadi ion-ionnya dapat

menyebabkan racun bagi organisme lainnya, dan ion-ion ini sulit diuraikan secara

kimia ataupun secara biologi..

Salah satu limbah yang dihasilkan dari suatu industri diantaranya adalah

logam kromium (Cr). Logam krom (Cr) merupakan salah satu jenis polutan logam

berat yang memiliki sifat toksik, di dalam tubuh logam krom biasanya terurai

menjadi ion-ionnya yaitu dalam bentuk ion Cr3+. Logam krom apabila terlalu

banyak dalam tubuh dapat menyebabkan kanker paru-paru, kerusakan hati (liver)

dan ginjal (Kaim and Schwederski 1994). Jika terjadi kontak dengan kulit dapat

menyebabkan iritasi dan jika tertelan dapat menyebabkan sakit perut dan muntah

(Khasani 2001).

Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi pencemaran lingkungan

karena disebabkan oleh logam-logam berat adalah dengan mengolah limbah

terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Salah satunya yaitu dengan

metode adsorpsi. Metode adsorpsi adalah suatu metode yang melibatkan interaksi

antara analit dengan permukaan zat padat (adsorben). Adsorpsi merupakan

metode yang banyak digunakan dalam pengolahan limbah cair, karena memiliki

berbagai kelebihan diantaranya yaitu biayanya yang relatif lebih murah daripada

2

metode yang lain, meskipun dalam pemakaiannya masih tergantung dari jenis

adsorben yang digunakan.

Absorben yang biasa digunakan adalah terbuat dari bahan karbon aktif,

biomassa sel, dan lempung. Pabrik Spritus Madukismo Yogyakarta merupakan

salah satu sektor industri yang memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar dalam

pembuatan spiritus. Abu yang dihasilkan dari proses pemakaran batubara,

menghasilkan dua macam limbah yaitu limbah abu layang (fly ash) dan limbah

abu dasar (bottom ash). Dalam satu proses pembakaran batubara, dihasilkan

limbah abu layang sekitar 80% dan limbah abu dasar sekitar 20%. Menurut data

Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2006, limbah abu layang yang dihasilkan

mencapai 52,2 ton/hari dan limbah abu dasar mencapai 5,8 ton/hari (Kementrian

Lingkungan Hidup, 2006). Disamping sifat fisiknya yang berbeda, komposisi

kimia abu layang dan abu dasar juga berbeda. Perbedaan yang paling mendasar

adalah jumlah Si dan Al nya. Abu layang memiliki kandungan Si sebesar 56,13%

dan Al sebesar 18,49%, sedangkan abu dasar mengandung Si dan Al sebesar

50,58% dan 14,99% (Kula,2008 dalam Setiaka, 2011).

Selama ini, penanganan abu dasar batubara masih terbatas pada

penimbunan di lahan kosong dalam jumlah yang sangat banyak. Apabila abu

dasar batubara langsung dibuang ke lingkungan, maka lambat laun akan terbentuk

gas metana (CH4) yang sewaktu-waktu dapat terbakar dan meledak dengan

sendirinya (self burning). Abu dasar batubara dapat mengkontaminasi air tanah

dengan kandungan pengotor seperti arsenik, barium, berillium, boron, cadmium,

thallium, selenium, molibdenum dan merkuri dasar yang dapat terekstrak dan

3

terbawa ke perairan, apabila tertiup angin dapat mengganggu pernafasan dan

menyebabkan polusi udara. Apabila tidak diolah lebih lanjut, dapat menyebabkan

dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat disekitarnya. Limbah abu dasar

batubara memiliki banyak kegunaan, namun belum dimanfaatkan secara

maksimal. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengembangan pada pengolahan

limbah abu dasar batubara untuk menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat seperti

silika gel.

Dalam penelitian ini akan dilakukan sintesis Zeolit dan uji adsorpsinya

terhadap logam Cr2+.. Pembuatan zeolit dari abu dasar batubara berasal dari

Pabrik Spiritus Madukismo Yogyakarta. Proses pembuatan zeolit dilakukan

perefllukan menggunakan HCl 1M selama 2 jam. Peleburan abu dilakukan dengan

menggunakan NaOH 2 M. Zeolit dapat dimanfaatkan sebagai adsorben.

Keuntungan adsorben berbahan baku dari abu dasar batubara ini, selain biayanya

murah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dipelajari pemanfaatan abu

dasar batubara untuk pembuatan zeolit sebagai adsorben logam Cr2+. Dari

penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan adsorpsi logam cr2+

dan diperoleh informasi tentang pemanfaatan abu dasar batubara yang dapat

dibuat silika gel.

B. Batasan Masalah

Agar penelitian tidak meluas dalam pembahasannya, maka diambil batasan

masalah sebagai berikut:

4

1. Abu dasar batubara yang digunakan adalah abu dasar yang dihasilkan dari

pembakaran batubara yang berasal dari Pabrik Spiritus Madukismo

Yogyakarta sebagai bahan bakar pembuatan Spiritus.

2. Metode yang digunakan dalam pembuatan silika gel adalah metode sol-gel.

3. Jenis asam yang digunakan sebagai pembentuk gel adalah asam klorida.

4. Jenis zat warna yang diadsorpsi adalah zat warna congo red.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, permasalahan dalam penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Berapakah daya adsorpsi silika gel dari abu dasar batubara terhadap zat warna

congo red?

2. Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi asam klorida pada karakter silika

gel hasil sintesis dari abu dasar batubara?

3. Bagaimana pengaruh prosedur pencucian dan tanpa pencucian abu dasar

batubara terhadap karakter silika gel hasil sintesis?

D. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui daya adsorpsi silika gel dari abu dasar batubara terhadap zat

warna congo red.

2. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi asam klorida pada karakter silika

gel hasil sintesis dari abu dasar batubara.

3. Mengetahui pengaruh prosedur pencucian dan tanpa pencucian abu dasar

batubara terhadap karakter silika gel hasil sintesis.

E. Manfaat Penelitian

5

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai

berikut:

1. Bagi Mahasiswa

Menambah pengetahuan yang tepat guna di bidang aplikasi abu dasar yang

dapat dibuat sebagai silika gel dan dapat digunakan sebagai adsorben zat

warna tekstil dalam penanganan limbah cair industri tekstil terutama zat warna

congo red.

2. Bagi Akademik

Sebagai bahan informasi dan refferensi bagi mahasiswa yang akan melakukan

penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan metode dalam pembuatan silika

gel dari abu dasar batubara.

3. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi tentang pemanfaatan limbah abu dasar batubara yang

dapat dibuat sebagai silika gel dan dapat digunakan sebagai adsorben zat

warna congo red dalam limbah cair tekstil.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

6

A. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang pembuatan silika gel telah banyak dilakukan.

Diantaranya oleh Wijonarko (2010) telah berhasil mensintesis dan karakterisasi

silika gel dari abu sekam padi dengan menggunakan variasi konsentrasi asam

klorida. Sintesis dan karaterisasi silika gel dari abu sekam padi melalui

pembakaran dan pengabuan dengan tungku selama 4 jam dengan prosedur

pencucian dan tanpa pencucian. Hasil sintesis dibandingkan dengan silika gel

komersial 60-G buatan E-Merck. Hasilnya adalah penggunaan variasi HCl pada

pembentukan gelasi berpengaruh signifikan pada hasil analisis kualitatif yaitu

gugus fungsi silika gel pada konsentrasi 1,5; 3; 4,5M, dan diperoleh struktur

amorf pada konsentrasi 1M. Untuk analisis kuantitatif diperoleh nilai randemen

sebesar 93,83% dari konsentrasi 2M, keasaman 7,5705 mmol/g dari konsentrasi

2M, serta kadar air silika gel pada T: 100C dan 600C sebesar 2,9470% dan

12,4753% dari konsentrasi HCl 1,5M dan 0,5M. Jadi HCl yang terbaik adalah dari

konsentrasi HCl 1,5 dan 2M.

Kuntari (2010) telah melakukan penelitian tentang adsorpsi zat warna

erionyl red menggunakan abu dasar batubara. Beberapa parameter yang dipelajari

meliputi kinetika, massa adsorben, kapasitas adsorpsi, energi adsorpsi dan pH

medium. Penelitian menunjukkan bahwa abu dasar batubara mampu menjerap zat

warna erionyl red dengan hasil adsorpsi terhadap 25 mL larutan erionyl red 10

ppm mencapai optimum yaitu dengan presentase adsorpsi mencapai 91,2 % ketika

kondisi pH 1,5, waktu kontak 80 menit dan abu dasar batubara yang digunakan

1,5 gram. Adsorpsi pada erionyl red dalam limbah tekstil menggunakan abu dasar

7

batubara, hasil adsorpsinya mencapai 30,63% pada kondisi pH limbah 3, waktu

interaksi 80 menit dan abu dasar batubara yang digunakan adalah 3 gram.

Maria (2009) telah berhasil mensintesis dan karakterisasi silika gel dari

abu sekam padi untuk adsorpsi zat warna direct red 12 B. Berdasarkan

karakterisasi dengan XRD diperoleh bahwa silika gel bersruktur amorf. Data

spektra IR menunjukkan bahwa silika gel hasil sintesis memiliki serapan spesifik

untuk gugus-gugus fungsional seperti silanol (Si-OH) dan siloksan (Si-O-Si).

Kadar air dari silika gel hasil sintesis yaitu 1,111 mmol/g dan lebih rendah

dibandingkan dengan silika gel kieselgel 60 yaitu 3,749 mmol/g. Kapasitas

adsorpsi direct red 12 B pada silika gel sintetik yaitu 0,310 mmol/g dan lebih

rendah daripada silika gel kieselgel 60 yaitu 0,515 mmol/g. Energi adsorpsi pada

silika gel sintetik dan silika gel kieselgel 60 tidak jauh berbeda yaitu 21,610

KJ/mol dan 22,488 KJ/mol. Yang mengindikasikan interaksi masing-masing

melalui kemisorpsi. Pengaruh pH terhadap adsorpsi menunjukkan bahwa

kemempuan adsorpsi baik silika gel maupun silika gel kieselgel 60 menurun

seiring bertambahnya pH.

Penelitian yang akan dilakukan yaitu pembuatan silika gel dari abu dasar

batubara untuk adsorpsi zat warna congo red. Asam yang digunakan sebagai

pembentuk gel adalah asam klorida (HCl). Pada penelitian ini akan dipelajari

beberapa aspek meliputi pengaruh variasi konsentrasi HCl pada pembentukan gel,

kapasitas adsorpsi baik pada prosedur pencucian dan tanpa pencucian abu dasar

batubara terhadap karakter silika gel hasil sintesis dan kemampuan adsorpsi silika

gel hasil sintesis terhadap zat warna congo red.

8

B. Landasan Teori

1. Silika Gel

Silika gel merupakan silika amorf yang terdiri atas globula-globula SiO4

tetrahedral yang tersusun secara teratur dan beragregasi membentuk kerangka tiga

dimensi yang lebih besar sekitar 1-25 µm. Rumus kimia silika gel secara umum

adalah SiO2.xH2O. Struktur satuan mineral silika pada dasarnya mengandung

kation Si4+ yang terkoordinasi secara tetrahedral dengan anion O2-, namun susunan

SiO4 pada silika gel tidak beraturan. Struktur silika gel dapat dilihat pada gambar 1

(Oscik (1982) dalam Apriana, 2011).

Gambar 1. Struktur silika gel dengan beberapa tipe ikatan.

Menurut Oscik (1982) dalam Aprina (2011), pada permukaan silika gel

terdapat dua jenis gugus hidroksil (-OH), yaitu :

1. Gugus –OH bebas, disebut tipe A, jarak gugus –OH dengan –OH lainnya :

0,50-0,52 nm.

2. Gugus –OH terikat, disebut tipe B, jarak antara gugus –OH dengan gugus –

OH lainnya: 0,25-0,26 nm dan dapat berinteraksi melalui ikatan hidrogen.

9

Sifat silika gel ditentukan oleh orientasi dari ujung tempat gugus hidroksil

kombinasi dan tergantung pada kondisi preparasinya. Karena ketidakteraturan

susunan permukaan SiO4 tetrahedral maka jumlah distribusinya perunit area bukan

menjadi ukuran kemampuan adsorpsi silika gel walaupun gugus silanol dan

silakson terdapat pada permukaan silika gel. Silika gel juga mempunyai luas

permukaan yang lebih besar disebabkan oleh sifat-sifat yang dimilikinya, antara

lain yaitu inert, netral dan keaktifan permukaannya yang menyebabkan daya

adsorpsinya cukup besar.

Kemampuan adsorpsi silika gel dipengaruhi oleh adanya situs aktif yang

berupa :

1. Permukaan yang dibentuk oleh ikatan –Si-O-Si- dari silika tetrahedaral.

Permukaan tipe ini dicirikan oleh bidang-bidang permukaan dari oksigen,

sedangkan di bawahnya terdapat atom-atom silisium dari tetrahedral. Ikatan ini

disebut siloksan.

2. Permukaan yang dibentuk oleh ikatan –Si-OH dari persenyawaan amorf.

Permukaan tipe ini dibentuk oleh –Si-OH disebut ikatan silanol. Persenyawaan

dengan permukaan tipe silanol memiliki luas permukaan sangat besar (Apriana,

2011).

Menurut Majors (1989) dalam (Apriana, 2011), matriks dari partikel silika

gel primer adalah inti yang terdiri dari atom silikon yang terikat bersama silikon

lain oleh adanya atom oksigen dengan ikatan siloksan (Si-O-Si) dan pada

permukaan tiap partikel primer terdapat gugus –OH yang tidak terkondensasi

yang berasal dari monomer asam silikat. Gugus –OH yang kemudian dikenal

10

sebagai gugus silanol inilah yang memberikan sifat polar pada silika gel dan

merupakan sisi aktif silika gel. Silika gel mempunyai keaktifan adsorpsi pada

permukaannya. Permukaan silika gel relatif bersifat netral (pH 5-6).

Menurut Tan (1991) dalam (Apriana, 2011), harga pH larutan pada silika

gel dapat mempengaruhi keadaan muatan listrik permukaan silika gel. Umumnya

pada keadaan lingkungan asam silika gel mempunyai muatan netto positif

sedangkan pada keadaan lingkungan basa mempunyai muatan netto negatif. Pada

pH 2-9 silika gel mempunyai kelarutan rendah yaitu hanya 100-140 mg/L dan

kelarutannya akan meningkat drastis pada pH diatas 9. Dengan keberadaan kation

alkali, alkali tamah, alumunium atau besi kelarutan silika turun sehingga hanya

hanya mencapai 5 ppm.

2. Abu Dasar (Bottom Ash) Batubara

Abu dasar adalah bahan buangan dari proses pembakaran batubara pada

tungku. Sifat fisik dari abu dasar yaitu berwarna hitam dan lebih berat karena

dihasilkan pada tungku pembakaran, sehingga lebih banyak mengandung sisa

karbon yang tidak terbakar sedangkan sifat fisik dari abu layang yaitu ringan dan

berwarna coklat muda. Disamping sifat fisiknya yang berbeda, komposisi kimia

abu dasar dan abu layang juga berbeda. Perbedaan yang paling mendasar adalah

jumlah Si dan Al nya. Abu dasar mengandung Si dan Al sebesar 50,58% dan

14,99%, sedangkan abu layang memiliki kandungan Si sebesar 56,13% dan Al

sebesar 18,49%.

Pada proses pembakaran batubara akan menghasilkan limbah yang lebih

banyak dibandingkan bahan bakar minyak dan gas. Pembakaran batubara akan

11

menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan diantaranya yaitu gas-gas

oksidasi belerang (SOx), oksida nitrogen (NOx), karbon monoksida (CO), karbon

dioksida (CO2), hidrokarbon dan limbah padat berupa abu layang (fly ash) dan abu

dasar (bottom ash). Dalam satu proses pembakaran batubara, dihasilkan limbah

abu layang sekitar 80% dan limbah abu dasar sekitar 20%. Menurut data

Kementerian Lingkungan Hidup (2006) dalam Setiaka (2010), limbah abu layang

yang dihasilkan mencapai 52,2 ton/hari dan limbah abu dasar mencapai 5,8

ton/hari.

Dibandingkan abu layang, abu dasar relatif kurang pemanfaatannya. Hal

ini dikarenakan jumlah abu layang yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan

dengan abu dasar. Limbah abu dasar dapat dikategorikan sebagai limbah bahan

beracun dan berbahaya. Oleh karena itu, perlu dipikirkan cara memanfaatkannya.

Abu dasar memiliki ukuran partikel dan berat yang lebih besar dibandingkan

dengan abu layang (fly ash) sehingga menyebabkan abu dasar (bottom ash) jatuh

pada dasar tungku pembakaran (boiler) dan terkumpul pada penampung debu (ash

hopper), kemudian dikeluarkan dari tungku dengan cara disemprot air dan

dibuang atau dapat diolah kembali sehingga dapat dimanfaatkan dalam bentuk

lain.

Menurut Adhita (2008), abu dasar (bottom ash) berbentuk glanular, kasar,

yang terdapat di dasar tempat pembakaran (furnace) batubara yang menghasilkan

uap (steam) yang berguna bagi PLTU. Abu dasar (bottom ash) memiliki

permukaan yang lebih kasar dibandingkan abu layang (fly ash). Tipe abu dasar

yang dihasilkan tergantung dari tempat pembakaran (furnace) yang digunakan.

12

Menurut hasil penelitian Adhita (2000) menyatakan bahwa komposisi mayor abu

dasar batubara adalah SiO2 (kuasa), Al2O3 (mullit), Fe2O3 (hematit) dan beberapa

oksida lain seperti MgO dan Na2O. Komposisi abu dasar ditunjukkan dalam tabel

1.

Tabel 1. Komposisi kimia yang terkandung dalam abu dasar

Senyawa Komposisi (% berat)

SiO2 49,73Al2O3 19,51Fe2O3 16,18CaO 5,40MgO 2,96Na2O 1,23K2O 0,84

3. Zat Warna

Zat warna tekstil umumnya dibuat dari senyawa azo dan turunannya yang

merupakan gugus benzena. Diketahui bahwa gugus benzena sangat sulit

didegradasi, kalaupun dimungkinkan dibutuhkan waktu yang lama. Senyawa azo

bila terlalu lama berada di lingkungan, akan menjadi sumber penyakit karena

sifatnya karsinogen dan mutagenik. Karena itu perlu dicari alternatif efektif untuk

menguraikan limbah tersebut (Kartika, 2009).

Zat warna azo adalah senyawa yang paling banyak terdapat dalam limbah

tekstil, yaitu sekitar 60 % - 70 % (Waite (2006) dalam Kartika, 2009). Senyawa

azo memiliki struktur umum R─N═N─R’. Senyawa ini memiliki gugus ─N═N─

yang dinamakan struktur azo. Senyawa azo dapat berupa senyawa aromatik atau

alifatik. Senyawa azo aromatik bersifat stabil dan mempunyai warna menyala.

Senyawa azo alifatik seperti dimetildiazin lebih tidak stabil. Senyawa azo

13

digunakan sebagai bahan celup, yang dinamakan azo dyes (Maria (2007) dalam

Kartika, 2009).

Menurut Kartika (2009), molekul zat warna merupakan gabungan dari zat

organik tidak jenuh dengan kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom

sebagai pengikat warna dengan serat. Gugus kromofor adalah gugus yang

menyebabkan molekul menjadi berwarna.

Tabel 2. Nama dan Struktur Kimia Kromofor

Nama Gugus Struktur Kimia

Nitroso NO atau (-N-OH)

Nitro NO2 atau (NN_OOH)

Grup Azo -N N-

Grup Etilen -C – C-

Grup Karbonil -C – O-

Grup Karbon-Nitrogen -C=NH ; CH=N-

Grup Karbon Sulfur -C=S ; -C-S-S-C-

Menurut Renita (2004) dalam Kartika (2009), zat warna azo merupakan

jenis zat warna sistetis yang cukup penting. Zat warna yang berkromofor azo ini

yang paling banyak adalah zat warna reaktif. Zat warna reaktif terikat pada serat

dengan ikatan kovalen yang sifatnya lebih kuat daripada ikatan lainnya sehingga

sukar dilunturkan. Lingkungan zat warna azo sangat luas, dari warna kuning,

merah, jingga, biru AL (Navy Blue), violet dan hitam. Jenis yang paling banyak

digunakan saat ini adalah zat warna reaktif dan zat warna dispersi. Hal ini

disebabkan produksi bahan tekstil dewasa ini adalah serat sintetik seperti serat

14

poliamida, poliester dan poliakrilat. Bahan tekstil sintetik ini, terutama serat

poliester, kebanyakan hanya dapat dicelup dengan zat warna dispersi.

4. Congo Red

Congo Red merupakan bahan kimia yang memiliki potensi bahaya

terhadap kesehatan tubuh manusia, diantaranya apabila tertelan dapat

mengakibatkan rasa mual pada lambung, muntah dan diare. Bahan ini juga apabila

terkena mata dan teradsorpsi pada kulit dapat menyebabkan iritasi, dapat

mengakibatkan kerusakan sistem pernapasan, menyebabkan kanker serta

menyebabkan gangguan reproduksi dan janin. Congo Red (CR) yang memiliki

rumus molekul C32H22N6O6S2Na2 juga dikenal dengan nama natrium difenil-bis-

alfa-naftilamin sulfonat. Sedangkan rumus struktur Congo Red dapat dilihat pada

gambar berikut : (Kartika, 2009).

Gambar 2. Struktur Congo Red

Congo Red berbentuk bubuk berwarna merah kecoklatan, di dalam air

akan berwarna merah kekuningan, sedangkan jika dilarutkan dalam etanol

berwarna orange. Kelarutannya dalam air adalah sebesar 25 g/L, dan pHnya

sekitar 6,7 pada temperatur 20oC. Pada konsentrasi rendah, spektrum adsorpsi

UV-Vis menunjukkan intensitas puncak sekitar 498 nm dalam larutan aqueous.

Selain dapat larut dalam air Congo Red juga dapat larut dalam alkohol dan sedikit

15

larut dalam aseton namun tidak larut dalam eter. Congo Red selain sering

digunakan sebagai zat warna atau pencelup juga biasa digunakan sebagai

indikator, zat warna biologis dan bahkan untuk keperluan diagnostik (Kartika,

2009).

Penelitian ini menggunakan Congo Red sebagai zat pewarna yang

diadsorbsi dikarenakan Congo Red mempunyai struktur di-azo dengan rantai

panjang dan penggunannya yang luas. Congo Red termasuk limbah yang

berbahaya bila terdapat dalam ekosistem. Adapun persamaan reaksinya adalah

sebagai berikut (Lachheb (2002) dalam Kartika, 2009) :

C32H22N6O6S2 2- + 8OH- + O2 32CO2 +6NO3

-+2SO42-+8H++ 11H2O

5. Proses Sol-Gel

Proses sol-gel diawali dengan suatu larutan maupun sol menjadi suatu gel.

Larutan dapat diperoleh dari garam anorganik maupun senyawa organik yang

kemudian mengalami hidrolisis dan kondensasi membentuk suatu gel. Bentuk sol

diperoleh jika proses dihentikan pada saat dispersi partikel mempunyai dimensi

koloidal dalam media cair, sementara gel diperoleh jika terbentuk jaringan tiga

dimensi yang berbentuk padat dimana pori akan terisi oleh cairan sebagai media

(Ishizaki (1998) dalam Apriana, 2011). Sol merupakan suatu jenis koloid dimana

partikel-partikel padat terdispersi dalam suatu cairan, sedangkan gel merupakan

jaringan padat berpori tiga dimensi yang mengelilingi dan mendukung fase cair

(Apriana, 2011).

Proses sol-gel menurut Schubert dan Husing dalam Apriana (2011),

meliputi beberapa tahap yaitu a) Hidrolisis dan kondensasi dari perkusor material

16

872

dan pembentukan gel, b) Gelasi (transisi sol-gel), c) Aging (masa pertumbuhan

gel), dan d) Drying (pengeringan). Prinsip dasar dari proses sol-gel yaitu

perubahan atau transformasi dari spesies Si-OH menjadi siloksan (Si-O-Si).

Mekanisme reaksi pada proses sol-gel dapat berbeda tergantung pada kondisi

reaksinya dalam kondisi asam atau basa. Proses reaksi kimia sol-gel dapat

dituliskan sebagai berikut :

6.

7.

a.

Pada polimerisasi kondensasi akan terbentuk dimer, trimer, dan seterusnya

sehingga membentuk bola-bola polimer sampai pada ukuran tertentu. Gugus

silanol pada permukaan partikel bola polimer yang berdekatan akan mengalami

kondensasi disertai pelepasan air sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk dikenal

dengan sebutan alkogel yang merupakan gel yang bersifat sangat lunak dan tidak

kaku. Gel basah yang diperoleh melalui proses kondensasi hidrolisis disebut

sebagai aquagel, hidrogel atau alkogel tergantung pelarut yang ada dalam rongga.

Ketika cairan dalam pori dihilangkan oleh udara tanpa mengubah struktur jaringan

atau volume dari badan gel, maka diperoleh aerogel. Pemanasan konvensional

melalui peningkatan temperatur atau penurunan tekanan akan menghasilkan

xerogel (Apriana, 2011).

6. Asam Klorida

17

≡ Si–OR + H2O ≡ Si–OH + ROH Hidrolisis

≡ Si–OH + ≡ Si–OR ≡ Si–O–Si ≡ + ROH Kondensasi

≡ Si–OH + ≡ Si–OH ≡ Si–O–Si ≡ + H2O

Asam klorida adalah larutan akuatik (mengandung air) dari gas hidrogen

klorida (H Cl ). Zat ini adalah tergolong asam kuat, dan merupakan komponen

utama dalam asam lambung. Senyawa ini juga digunakan secara luas dalam

industri. Asam klorida harus ditangani dengan perlengkapan keselamatan kerja

yang tepat karena merupakan cairan yang sangat korosif. Selain itu asam klorida

tergolong sebagai asam mineral yang dapat digunakan untuk menghancurkan

mineral-mineral anorganik.

Sejak Revolusi Industri, senyawa ini menjadi sangat penting dan

digunakan untuk berbagai tujuan, meliputi produksi senyawa kimia organik,

seperti vinil klorida untuk plastik PVC, dan MDI/TDI untuk poliuretan, selain itu

dapat juga diproduksi sebagai gelatin, bumbu masakan, dan pemrosesan kulit.

Asam klorida dapat melarutkan beberapa logam yang bersifat elektropositif dan

juga mampu melarutkan sejumlah senyawa fosfat, karbonat dan sulfida (Anderson

dalam Wijanarko, 1991).

Dalam penelitian ini, larutan asam klorida digunakan pada proses

pencucian abu dasar batubara dan proses sintesis. Tujuan pada proses pencucian

abu dimaksudkan untuk mengurangi kandungan atau pengotor yang berupa oksida

logam alkali sehingga didapatkan kandungan silika dalam abu yang lebih murni.

Tujuan penggunaan pada proses sintesis adalah sebagai pembentuk gel yaitu

untuk mengubah gugus silanol menjadi siloksan dengan adanya penambahan

proton dari asam klorida (Wijanarko,2010). Sifat-sifat yang dimiliki asam klorida

dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

Tabel 3. Sifat-sifat penting yang dimiliki asam klorida

18

Komponen KeteranganNama IUPAC Asam kloridaRumus molekul HCl dalam air (H2O)Massa molar 36,46 g/mol (HCl)Berat jenis 0,0163 g/cm3

Konsentrasi 35-38% atau ± 12MWarna Bening tak berwarna sampai cairan

kuning mudaTitik leleh -26○C (247 K), 38% larutanTitik didih 110○C (383 K), 20,2% larutan;

48○C (321 K), 38% larutanKelarutan dalam air Tercampur penuhKeasaman (pKa) -8,0Viskositas 1,9 mPa’s pada 25○C, 31,5% larutan

7. Adsorpsi

Adsorbsi merupakan peristiwa terakumulasinya sejumlah zat atau molekul

pada permukaan benda cair atau padatan dengan perbandingan yang banyak. Hal

ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan atau adanya tenaga bebas pada

permukaan suatu cairan atau padatan. Ketidakseimbangan tenaga bebas ini,

memiliki kecenderungan untuk menarik dan mengikat spesies molekul yang

menempel pada permukaan. Proses adsorpsi terdiri atasatas dua komponen yaitu

adsorben dan adsorbat. Suatu zat yang dipermukaannya terjadi adsorpsi disebut

adsorben, sedangkan yag terjerap pada permukaan adsorben disebut adsorbat

(Atkin, 1999).

Proses adsorpsi terbagi menjadi dua jenis yaitu adsorpsi fisika (fisisorpsi)

dan adsorpsi kimia (kimisorpsi). Pada adsorpsi fisika, adsorpsi disebabkan oleh

gaya Van der Waals yang ada pada permukaan adsorben, gaya yang terjadi

hanyalah gaya tarik menarik secara fisika tanpa disertai perubahan kimia. Panas

adsorpsi fisika biasanya rendah. Sedangkan adsorpsi kimia, terjadi ketika

19

terbentuknya ikatan kimia antara adsorbat dan adsorben pada media. Energi

adsorpsinya jauh lebih tinggi dari pada adsorpsi fisika.

Faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi amtara lain yaitu sifat fisik dan

kimia pada adsorben, seperti luas permukaan, ukuran partikel dan komposisi

kimia. Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin besar luas permukaan

padatan per satuan volume tertentu, sehingga semakin banyak zat yang diadsorpsi.

Faktor lainnya yaitu sifat fisis dan kimia pada adsorbat, seperti ukuran molekul

dan komposisi kimia, serta konsentrasi adsorbat dalam fase cairan.

8. Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur

energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau

diemisikan sebagai fungsi panjang gelombang (Khopkar, 1990). Metode

spektrofotometer UV-Vis didasarkan pada serapan cahaya oleh molekul pada

daerah spectrum ultraviolet dan tampak yang tergantung pada struktur elektronik

dari molekul (Sastrohamidjojo, 2007).

Apabila berkas radiasi yang dikenakan pada sampel yang ditempatkan

dalam wadah/bejana, kemudian intensitas radiasi yang ditransmisikan diukur

maka besar radiasi yang diserap akan sebanding dengan ketebalan tabung kali

konsentrasi kali faktor absortivitas. Hal ini dinyatakan dalam hukum Lambert-

Beer (Sastrohamidjojo, 2007).

A = -Log T = ε. b. c

Sebuah spektrofotometer adalah sebuah instrumen untuk mengukur

tramsmitansi atau absorbansi suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang dan

20

pengukuran terhadap sederetan sampel pada suatu panjang gelombang tunggal

(Underwood, 2002). Menurut Sastrohamidjojo (2007), menyatakan bahwa suatu

spektrofotometer tersusun atas sumber tenaga radiasi, monokromator, sel

penyerap, detektor, dan meter atau pencatat seperti pada diagram berikut

sederhana ini :

Gambar 3. Instrumentasi UV-Vis

Komponen-komponen spektrofotometer, antara lain :

a. Sumber tenaga radiasi yang stabil

Sumber tenaga radiasi terdiri dari benda yang tereksitasi hingga ketinngkat

tenaga yang lebih tinggi oleh sumber listrik yang bertegangan tinggi. Sumber

radiasi yang ideal untuk pengukuran serapan harus menghasilkan kisaran panjang

gelombang. Untuk radiasi ultra violet yaitu lampu hidrogen dan lampu

deuterium.Sedangkan untuk sumber radiasi tampak/visible adalah lampu filamen

tungsten. Filamen dipanaskan oleh sumber arus searah/baterei. Filamen tungsten

menghasilkan radiasi kontinyu dalam daerah antara 350 nm dan 250 nm.

b. Monokromator

Monokromator digunakan untuk mengubah radiasi menjadi komponen-

komponen panjang gelombang tunggal. Ada 2 jenis alat yang digunakan untuk

mengurai radiasi polikromatik menjadi monokromatik yaitu penyaring dan

monokromator. Penyaring di buat dari benda khusus yang hanya meneruskan

radiasi pada daerah panjang gelombang tertentu dan menyerap radiasi dari

21

Sumber Monokromator

Sel penyerap

Detektor Meter atau

pencatat

panjang gelombang yang lain. Monokromator merupakan serangkaian alat optik

yang menguraikan radiasi polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif.

c. Tempat cuplikan yang transparan

Cuplikan pada daerah UV-VIS biasanya berupa gas/larutan yang

ditempatkan dalam sel atau kuvet. Untuk daerah ultra violet digunakan quartz/sel

dari silika yang dilebur, sedangkan untuk daerah tampak (visible) digunakan gelas

biasa. Sel yang digunakan untuk cuplikan yang berupa gas mempunyai panjang

lintasan dari 0,1-100 nm, sedangkan sel untuk larutan mempunyai panjang

lintasan tertentu dari 0,1-100 nm.

Pelarut yang digunakan dalam spektrofotometri harus :

1) Melarutkan cuplikan

2) Meneruskan radiasi dalam daerah panjang gelombang

d. Detektor yang dihubungkan dengan sistem meter/pencatat.

Setiap detektor menyerap tenaga foton yang mengenainya dan mengubah

tenaga tersebut untuk dapat diukur secara kuantitatif seperti sebagai arus

listrik/perubahan panas. Kebanyakan detektor menghasilkan sinyal listrik yang

dapat mengaktifkan meter/pencatat.

Persyaratan untuk detektor, antara lain :

1) Sensitifitas yang tinggi sehingga dapat mendeteksi tenaga cahaya yang

mempunyai tingkatan rendah sekalipun.

2) Memiliki waktu respon yang pendek.

3) Mempunyai stabilitas yang panjang atau lama untuk menjamin respon secara

kuantitatif.

22

4) Mempunyai sinyal elektronik yang mudah diperjelas.

9. Spektroskopi FTIR

a. Spektroskopi FTIR

Karakterisasi dengan spektrofotometri inframerah bertujuan untuk

mengetahui susunan gugus-gugus fungsional yang terdapat dalam silika gel.

Spektroskopi inframerah merupakan teknik untuk mendeteksi gugus fungsional,

mengidentifikasi senyawa dan menganalisis campuran. Dasar dari spektroskopi

inframerah adalah penentuan daerah frekuensi penyerapan radiasi inframerah oleh

gugus fungsi molekul yang mengalami vibrasi tereksitasi.

Dua kelompok daerah frekuensi yang biasanya mencirikan kebanyakan

mineral silika gel adalah (Sastrohamidjojo,2007) :

i) Daerah antara 3750 cm-1 dan 3300 cm-1 yang diakibatkan oleh vibrasi ulur dari

gugus –OH, yang disebut daerah gugus fungsional. Daerah sekitar 3750 cm -1

yang diakibatkan oleh vibrasi ulur dari gugus Si-OH juga termasuk daerah

gugus fungsional.

ii) Daerah antara 1100 cm-1 dan 700 cm-1 yang diakibatkan oleh vibrasi ulur Si-O,

yang disebut daerah sidik jari.

Analisis silika gel dengan inframerah sangat mendukung analisis dengan

difraksi Sinar-X, yaitu IR dapat mendeteksi adanya gugus silanol dan siloksan,

sedangkan struktur amorfnya dapat terdeteksi oleh Sinar-X.

BAB III

METODE PENELITIAN

23

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober - Desember 2011 di

Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat-alat yang digunakan adalah: alat-alat gelas pada umumnya, oven,

neraca analitik, penyaring buchner, satu set pompa vakum, magnetic stiner, cawan

porselin, pH meter, kertas saring whatman 42, dan seperangkat alat Spektroskopi

UV-Vis.

2. Bahan

Bahan utama yang digunakan adalah abu dasar Batubara(botton ash).

Bahan kimia yang digunakan adalah asam klorida (HCL 37%) p.a.Merck,

asam sulfat (H2SO4), kristal NaOH, Kristal Na2B4O7(Natrium tetra borat),

kristal H2C2O4(asam oksalat), larutan AgNO3 (Perak nitrat), pH Indikator

Universal dan aquabidestilata. Kertas pH, kertas saring Whatman No.42 dan

zat warna Congo Red.

C. Prosedur Penelitian

1. Langkah Persiapan

24

a. Perlakuan Awal Abu Dasar (Bottom Ash)

Abu dasar yang masih berupa batuan dihaluskan dengan cara

ditumbuk dengan menggunakan lumpang dan mortar porselen. Setelah

halus, abu dasar diayak dengan menggunakan ayakan yang berukuran 200

mesh. Langkah selanjutnya adalah pengeringan abu dasar. Abu dasar

dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 200°C selama 2 jam

dengan menggunakan cawan porselin. Abu halus diambil 0,1 gram untuk

dikarakterisasi menggunakan spektroskopi inframerah (IR) untuk

mengetahui gugus fungsional silika.

Abu tersebut kemudian diperlakukan melalui prosedur awal dengan

pencucian dan tanpa pencucian. Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh

pencucian terhadap hasil tahap berikutnya.

b. Proses Pendahuluan dengan Prosedur Pencucian

Ditimbang 6 gram abu dasar batubara hasil pengayakan,

dimasukkan ke dalam gelas beker 500 mL dan ditambahkan 36 mL

aquabidestilasi. Campuran diaduk dan dicuci dengan ditambahkan

beberapa tetes HCl 6 M hingga pH = 1. Setelah menunjukkan pH = 1

pengadukan dilanjutkan selama 2 jam dan didiamkan selama 1 malam.

Setelah larutan terpisah, air yang sudah jernih pada bagian atas larutan

didekantir (dibuang) melalui proses penyaringan dengan menggunakan

kertas saring Whatman No.42.

Hasil campuran yang sudah didekantir dan disaring, diambil

endapannya dan dipindahkan ke dalam wadah yang lebih besar untuk

25

dilakukan pencucian dengan menambahkan aquabidestilata. Pencucian

dihentikan apabila pH larutan sudah sama dengan pH aquabidestilata

(pH=pH aquabidestilata). Campuran hasil pencucian disaring Whatman

No.42, kemudian dioven dengan temperatur 100○C selama 2 jam. Abu

dasar kering diambil 0,1 gram untuk dikarakterisasi menggunakan

spektroskopi inframerah (IR).

c. Proses Pendahuluan dengan Prosedur Tanpa Pencucian

Pada prosedur ini tidak ada perlakuan terhadap abu dasar batubara,

sehingga langsung dilakukan pada proses sintesis abu dasar batubara.

2. Sintesis Silika Gel

a. Pembuatan Larutan Natrium Silikat (Na2SiO3(aq))

i) Pembuatan Na2SiO3(aq) pada Prosedur Pencucian

Abu kering hasil pencucian dicampur dengan NaOH 1M di dalam

wadah (perbandingan 3 gram abu: 100 mL NaOH) sambil diaduk dan didihkan

selama 1 jam. Hasil pendidihan, kemudian didinginkan selama 24 jam

(semalam), kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No.42 dan

ditambahkan aquabidestilata sebanyak 100 mL. Hasil penyaringan diperoleh

endapan (residu) dan larutan (filtrat). Hasil penyaringan berupa filtrat adalah

yang dilanjutkan untuk bahan silika gel.

ii) Pembuatan Na2SiO3(aq) pada Prosedur Tanpa Pencucian

26

Langkah pada prosedur ini dilakukan dengan perlakuan sama pada

prosedur pencucian, namun dilakukan pengulangan triplo dengan berat abu

kering hasil pengayakan sebanyak 6 gram ditambah 200 mL NaOH 1 M.

b. Pembuatan Silika Gel

i) Pembuatan Silika Gel pada Prosedur Pencucian

Hasil filtrat natrium silikat (Na2SiO3), dimasukkan ke dalam gelas

kemudian diasamkan dengan variasi larutan HCl yaitu 1; 1,5; 2; 2,5 dan 3M,

dengan alat buret atau pipet tetes secara perlahan dan sambil diaduk sampai

larutan menunjukkan pH=7 (telah terbentuk alkogel). Alkogel yang terbentuk

didiamkan selama 1 malam. Alkogel yang berubah menjadi hidrogel diaduk

dan ditambahkan dengan aquabidestilata 2x13 mL setiap selang waktu 1x10

menit kemudian sol gel hasil engadukan, disaring dengan kertas Whatman

No.42. Hasil yang diperoleh berupa gel (endapan), kemudian dioven pada

temperatur 100○C samapai kering (selama 2 jam) dan digerus. Hasil silika gel

kering (xerogel) yang diperoleh ditimbang dan diambil secara kuantitatatif

untuk dikarakterisasi menggunakan Spektroskopi Inframerah (IR) untuk

mengetahui gugus fungsionalnya. Hasil karakterisasi dibandingkan dengan

karakteristik dari silika kiesel 60 G.

ii) Pembuatan Silika Gel pada Prosedur Tanpa Pencucian

Prosedur pada pembuatan silika gel tanpa pencucian ini, perlakuannya

sama dengan prosedur pembuatan silika gel dengan pencucian.

3. Penentuan Kadar Air Silika Gel

27

Sebanyak 0,1 gram silika gel dimasukkan ke dalam krus dan dipanaskan

di dalam oven pada temperatur 100oC selama 4 jam, kemudian didinginkan di

dalam desikator dan ditimbang. Selanjutnya dipanaskan di dalam Muffle furnace

pada temperatur 600oC selama 2 jam, kemudian didinginkan di dalam desikator

dan ditimbang. Kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :

kadar air=berat air dalam silika gel ( g)berat silika gel awal ( g )

x100 %

4. Pembuatan Larutan Standar Zat Warna Congo Red.

Larutan standar zat warna congo red dibuat dengan cara melarutkan 1

gram zat warna dalam 1000 mL aquades kemudian dikocok sampai larut.

5. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Standar Zat

Warna Congo Red.

Konsentrasi zat warna yang digunakan untuk menentukan panjang

gelombang maksimum. Langkangnya yaitu membuat larutan zat warna Congo

Red dengan konsentrasi 2 ppm. Kemudian diukur absorbansinya

menggunakan spektrofotometer sinar tampak (UV-Vis) pada panjang

gelombang 450-550 nm dengan interval 5 nm. Panjang gelombang maksimum

yang diperoleh kemudian digunakan untuk pengukuran pada penelitian

selanjutnya.

6. Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Standar Zat Warna Congo Red

Dibuat larutan standar zat warna dengan variasi konsentrasi 2, 4, 6, 8,

10 dan 12 ppm. Kemudian diukur absorbansinya dari masing-masing

konsentrasi dengan menggunakan spektrofometer UV-Vis pada panjang

28

gelombang maksimum. Selanjutnya dibuat kurva liniear hubungan antara

konsentrasi dengan absorbansi larutan standar zat warna.

7. Penentuan Daya Adsorpsi Silika Gel pada Zat Warna Congo red

Silika gel sebanyak 2,5% gram dimasukkan ke dalam 10 mL larutan

zat warna 10 ppm. Campuran silika gel dan larutan zat warna diaduk dengan

pengaduk magnet selama 1 jam kemudian didiamkan selama 24 jam. Silika gel

dipisahkan dari campuran dengan cara disaring menggunakan penyaring

Buchner. Kemudian filtrat dari hasil penyaringan ditampung dan diukur

absorbansinya menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang

gelombang maksimum dan dihitung konsentrasi zat warnanya setelah adsorpsi.

D. Teknik Analisis Data

Perhitungan presentase zat warna congo red yang teradsorpsi dapat

ditentukan dengan menggunakan rumus :

% adsorpsi =konsentrasi awal - konsentrasi akhirkonsentrasi awal

×100 %

DAFTAR PUSTAKA

29

Adhita, G.Y. 2008. Studi Adsorpsi Ion Logam Ni (II) oleh Abu Dasar (Bottom

Ash) Batubara. Skripsi S-1 Jurusan Kimia. Yogyakarta : Fakultas MIPA

UGM

Apriana, Dona. 2011. Pengaruh Merkaptobenzotiazol (MBT) terhadap

kemampuan Adsorpsi Silika Gel Abu Baggase Pada Ion Logam Tembaga

(II). Skripsi S-1 Jurusan Kimia. Yogyakarta : Fakultas MIPA UNY

Atkins, P.W. 1997. Kimia Fisika Jilid 2. Edisi 4. Jakarta : Erlangga

Day, R.A. & Underwood, A.L. 1986. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi 5. Jakarta:

Erlangga

Kartika, Siska Ela, dkk. 2009. Modifikasi Limbah Fly Ash sebagai Adsorben Zat

Warna Tekstil Congo Red yang Ramah Lingkungan dalam Upaya

Mengatasi Pencemaran Industri Batik. Surakarta : Universitas Sebelas

Maret

Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI-Press

Kuntari. 2010. Studi Adsorpsi Zat Warna Erionyl Red Menggunakan Abu Dasar

Batubara dan Aplikasinya dalam Limbah Cair Industri Tekstil. Skripsi

S-1 Jurusan Kimia. Yogyakarta : Fakultas MIPA UGM

Maria, Dina. 2009. Pemanfaatan Silika Gel Dari Abu Sekam Padi Untuk Adsorpsi

Zat Warna Direct 12 B. Thesis S-2 Jurusan Kimia. Yogyakarta : Fakultas

MIPA UGM

Sastrohamidjojo, H. 1992. Spektroskopi Inframerah. Yogyakarta: Liberty

Setiaka, J, dkk. 2011. Adsorpsi Ion Logam Cu (II) Dalam Larutan pada Abu

Dasar Batubara Menggunakan Metode Kolom. Surabaya : Fakultas

MIPA Institut Teknologi Sepuluh November

Wijanarko, B., 2010. Sintesis dan Karakterisasi Silika Gel dari Abu Sekam Padi

dengan Menggunakan Variasi Konsentrasi Asam Klorida. Skripsi S-1

Jurusan Kimia. Yogyakarta : Fakultas MIPA UNY

30