BAB I

13
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiaannya. Kesehatan jiwa menurut UU kesehatan jiwa No 3 tahun 1996 adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain". Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain. Seseorang dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak terganggu baik tubuh fisik, psikis, maupun social, apabila fisiknya sehat

description

LATAR BELAKANG DEPRESI

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan

keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan

kepribadiaannya. Kesehatan jiwa menurut UU kesehatan jiwa No 3 tahun 1996

adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan

emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras

dengan keadaan orang lain". Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang

harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia

dan dalam hubungannya dengan manusia lain. Seseorang dikatakan sehat apabila

seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak terganggu baik tubuh fisik,

psikis, maupun social, apabila fisiknya sehat maka secara tidak langsung mental

atau jiwa dan social pun sehat, demikian pula sebaliknya, jika mentalnya

terganggu atau sakit, maka fisik dan sosialnyapun akan sakit (Depkes, 2008)

Individu yang tidak mampu mempertahankan hubungan interpersonal yang

positif dapat mengakibatkan reaksi yang negative dan dapat mengakibatkan

terjadinya gangguan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat menurunkan

produktivitas individu tersebut, hal ini dapat mengakibatkan munculnya gejala

gangguan kesadaran dan gangguan perhatian, kumpulan tanda dan gejala tersebut

disebut sebagai gangguan psikiatris atau gangguan jiwa (Maslim, 2000).

1

Page 2: BAB I

2

Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi

kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Kausa

gangguan jiwa selama ini dikenali meliputi kausa pada area organobiologis, area

psikoedukatif, dan area sosiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab

perilaku maladaptive dikonstruksikan sebagai tahapan mulai adanya faktor

predisposisi, faktor presipitasi dalam bentuk stressor pencetus, kemampuan

penilaian terhadap stressor, sumber koping yang dimiliki, dan bagaimana

mekanisme koping yang dipilih oleh seorang individu. Dari sini kemudian baru

menentukan apakah perilaku individu tersebut adaptif atau maladaptive (Kaplan,

2007).

Berdasarkan data WHO diperkirakan 450 juta orang diseluruh dunia

mengalami gangguan mental, sekitar 10 % orang dewasa mengalami gangguan

jiwa saat ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa

pada usia tertentu selama hidupnya. Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda

antara 18 sampai 21 tahun. Menurut National Institute of Mental Health

gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan dapat

diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030, kejadian tersebut

akan memberikan andil meningkatnya pravalensi gangguan jiwa dari tahun ke

tahun di berbagai Negara. Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat

tahun 2007, diperkirakan 30,8% penduduk yang berusia 18 sampai 30 tahun atau

lebih mengalami gangguan jiwa (Hawari, 2008). Sementara itu menurut Dr. Uton

Muctar rafei, Direktur WHO wilayah Asia Tenggara, hampir satu pertiga dari

Page 3: BAB I

3

penduduk wilayah ini pernah mengalami gangguan Neuropsikiatri, data Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), di Indonesia diperkirakan sebesar 264 dari

1000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa (Videbeck,

2008)

Pravalensi gangguan jiwa di Indonesia tahun 2007 sebesar 4,6%,

sedangkan di Jawa tengah 3,3%. Dari data diatas menunjukkan pravelensi

gangguan jiwa di Indonesia cenderung meningkat secara bermakna (Widayati,

2010). Berbagai manifestasi klinis gangguan jiwa mendapat perhatian serius

dalam perawatan klien gangguan jiwa, diantaranya depresi. Depresi dapat

diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan alam perasaan yang ditandai

dengan perasaan sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, perasaan

tidak berharga, merasa kosong, putus harapan, selalu merasa dirinya gagal, tidak

berminat pada ADL sampai ada ide bunuh diri (Yosep, 2007).

Penanganan klien depresi, dirumah sakit jiwa terdiri dari penatalaksanaan

farmakologi, psikoterapi, terapi psikososial,terapi religiu, rehabilitasi dan

penatalaksanaan keperawatan yang didalamnya terdapat komunikasi terapeutik

(Videbeck, 2008).

Komunikasi dalam bidang perawatan merupakan proses untuk menciptakan

hubungan antara perawat dengan klien dan tenaga kesehatan lainnya, untuk

mengenal kebutuhan klien dan menentukan rencana tindakan serta kerja sama

dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Komunikasi juga merupakan alat untuk

Page 4: BAB I

4

membina hubungan teraupetik karena komunikasi mencakup penyampaian

informasi dan pertukaran pikiran dan perasaan (Stuart, 2006).

Komunikasi teraupetik akan memudahkan pembentukan hubungan kerja

antara perawat dan klien, karena untuk mencapai proses keperawatan diperlukan

pengumpulan data yang relevan. Perawat harus mengkaji seberapa jauh tentang

kondisinya dan perawat juga perlu menganalisa tekhnik yang tepat setiap

berkomunikasi dengan klien, melalui komunikasi verbal dapat disampaikan

informasi yang akurat, namun aspek emosi dan perasaan tidak dapat diungkapkan

secara verbal. Oleh karena itu komunikasi teraupetik sangat penting untuk

mencapai keberhasilan intervensi keperawatan, dengan berkomunikasi yang baik

maka akan timbul sikap saling percaya antara pasien dengan perawat sehingga

pasien mampu mengungkapkan isi hati dan diharapkan skala depresi dapat

berubah (Mundakir, 2006).

Relevansi antara komunikasi dengan praktek keperawatan tampak nyata.

Pertama, komunikasi merupakan alat untuk membina hubungan teraupetik karena

mencakup informasi dan pertukaran pikiran dan perasaan. Kedua, komunikasi

adalah cara yang digunakan untuk mempengaruhi prilaku orang lain. Oleh karena

itu komunikasi sangat penting unuk mencapai keberhasilan intervensi

keperawatan, terutama karena proses keperawatan ditunjuk untuk meningkatkan

perubahan prilaku adaptif. Terakhir komunikasi adalah hubungan itu sendiri tanpa

komunikasi, suatu hubungan teraupetik perawat pasien tidak mungkin tercapai

(Stuart, 2006).

Page 5: BAB I

5

Berdasarkan data statistik Medical Record (Rekam Medik) RSJK pasien

skizofrenia seperti dalam 3 tahun terakhir mengalami peningkatan sebagai berikut

: Pada tahun 2012 (Rawat inap dan Rawat jalan) adalah 2596 pasien. Pada tahun

2013 jumlah pasien (Rawat inap dan Rawat jalan) adalah 3798 pasien, pada tahun

2014 jumlah pasien adalah 3482 pasien (Laporan RSJK Soeprapto, 2014)

Data laporan kasus klien yang dirawat inap ke Rumah Sakit Khusus Jiwa

Provinsi Bengkulu diketahui bahwa tahun 2012 sebanyak 398 penderita gangguan

jiwa dan yang mengalami depresi sebanyak 198 orang, pada tahun 2013 sebanyak

291 pasien yang dirawat inap dimana 162 dengan gangguan depresi serta pada

tahun 2014 jumlah pasien rawat inap sebanyak 490 orang dengan gangguan

depresi sebanyak 90 orang. Sedangkan pada bulan januari 2015 jumlah rawat inap

sebanyak 165 dengan penderita gangguan depresi sebanyak 41 orang (Rekam

Medik RS Khusus Jiwa Provinsi Bengkulu 2014).

Berdasarkan hasil pra penelitian pada tanggal 14 – 20 Desember 2014

diketahui bahwa dari 9 responden, 7 orang tidak mengalami penurunan tingkat

depresi dan 2 orang mampu mengalami perubahan depresi. Berdasarkan latar

belakang maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan

komunikasi terapeutik dengan perubahan tingkat depresi pada pasien gangguan

jiwa di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu.

Page 6: BAB I

6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan

permasalahan pada penelitian ini adalah “ meningkatnya kasus gangguan jiwa

depresi di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu Tahun 2014”

C. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian adalah “Adakah hubungan komunikasi terapeutik

dengan perubahan tingkat depresi pada klien gangguan jiwa di Rumah Sakit

Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu Tahun 2014 ? ”

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan komunikasi

terapeutik dengan perubahan tingkat depresi pada pasien gangguan jiwa di

Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu Tahun 2014”

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :

a. mengetahui distribusi frekuensi komunikasi terapeutik di Rumah Sakit

Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu

b. mengetahui distribusi frekuensi perubahan tingkat depresi pada klien

gangguan jiwa di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu

c. mengetahui hubungan komunikasi terapeutik dengan perubahan tingkat

depresi pada klien gangguan jiwa diRumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto

Provinsi Bengkulu

Page 7: BAB I

7

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Sebagai bahan bacaan di perpustakaan atau sumber data bagi

peneliti lain yang memerlukan masukan berupa data atau pengembangan

penelitian dengan judul yang sama demi kesempurnaan penelitian ini dan

sebagai sumber informasi pada institusi Sekolah Tinggi Kesehatan Bhakti

Husada Bengkulu agar dijadikan dokumentasi ilmiah untuk merangsang

minat peneliti selanjutnya

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan perawat Rumah

Sakit Khusus Jiwa terutama di ruang rawat inap hendaknya dalam

berkomunikasi secara baik dengan klien gangguan jiwa depresi dan dapat

menjadi bukti dasar yang dipergunakan dalam wahana pembelajaran

keperawatan jiwa, khususnya materi tentang pelaksanaan komunikasi

terapeutik pada klien gangguan jiwa depresi. Untuk meningkatkan mutu

pelayanan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Khusus Jiwa, selalu

melakukan supervisi setiap tindakan yang dilakukan oleh perawat

sehingga hubungan perawat dan pasien menjadi dekat dan terbina

hubungan saling percaya.

Page 8: BAB I

8

F. Keaslian Penelitian

Penelitian yang serupa dengan penelitian ini adalah penelitian oleh :

1. Mardi (2001) dengan judul Hubungan Terapi Mordalitas Dengan Klien

Gangguan Jiwa Depresi. Hasil penelitian ini didapatkan ada hubungan

terapi modalitas dengan depresi dimana nilai p value < 0,05. Persamaan

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama

menggunakan desain penelitian survey analitik dengan pendekatan study

Cross Sectional dan variabel dependen yaitu depresi. Sedangkan

perbedaan penelitian ini yaitu pada veriabel independen peneliti

menggunakan komunikasi therapeutik.

2. Evi (2013) dengan judul hubungan komunikasi terapeutik dengan

kejadian isolasi sosial di Rumah Sakit Khusus Jiwa. Hasil penelitian

didapatkan nilai p value < 0,05 dimana komunikasi terapeutik

memepngaruhi interasi pasien dengan isolasi sosial. Perbedaan penelitian

ini yaitu bebeda pada variabel dependen, sampel, waktu dan tempat.

Sedangkan persamaan penelitian ini yaitu untuk melihat komunikasi

terapeutik pada pasien gangguan jiwa.