BAB I

download BAB I

of 19

Transcript of BAB I

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPenuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan memengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2001 dalam Siti Maryam dkk, 2008). Keberadaan usia lanjut ditandai dengan umur harapan hidup yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, hal tersebut membutuhkan upaya pemeliharaan serta peningkatan kesehatan dalam rangka mencapai masa tua yang sehat, bahagia, berdaya guna, dan produktif (Pasal 19 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan).Proses menua yang dialami oleh lansia menyebabkan mereka mengalami berbagai macam perasaan seperti sedih, cemas, kesepian, dan ludah tersinggung. Perasaan tersebut merupakan masalah kesehatan jiwa yang terjadi pada lansia. Masalah gangguan kesehatan jiwa mulai dialami oleh golongan lansia pada saat mereka mulai merasakan adanya tanda-tanda terjadinya proses penuaan pada dirinya. Jika lansia mengalami masalah gangguan kesehatan jiwa, maka kondisi tersebut dapat mengganggu kegiatan sehari-hari lansia. Mencegah dan merawat lansia dengan masalah kesehatan jiwa adalah hal yang sangat penting dalam upaya mendorong lansia bahagia dan sejahtera di dalam keluarga dan masyarakat. Kondisi mental yang sehat dan aktif pada masa tua dibutuhkan pemeliharaan yang kontinu untuk mempertahankan daya pikirnya dan mencegah dari masalah kesehatan jiwa yang ada. 1.2 Rumusan MasalahDalam penulisan makalah ini, ada beberapa masalah pokok yang menjadi pusat pembahasan bagi penulis adalah sebagai berikut:1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan penuaan ?1.2.2 Bagaimanakah penggolongan dari lansia ?1.2.3 Apa sajakah batasan serta tipe dari lansia ?1.2.4 Apa sajakah faktor resiko terjadinya masalah kesehatan jiwa pada lansia ?1.2.5 Apa sajakah masalah kesehatan jiwa pada lansia?1.2.6 Bagaimanakah pendekatan perawatan untuk lansia ?1.2.7 Apa sajakah terapi kognitif yang bisa diberikan kepada lansia ? 1.3 Tujuan PenulisanAdapun tujuan karya tulis ini adalah sebagai berikut:1.3.1 Mengetahui pengertian penuaan1.3.2 Mengetahui penggolongan pada lansia1.3.3 Mengetahui batasan serta tipe dari lansia1.3.4 Mengetahui faktor resiko terjadinya masalah kesehatan jiwa pada lansia1.3.5 Mengetahui masalah kesehatan jiwa pada lansia1.3.6 Mengetahui pendekatan perawatan untuk lansia1.3.7 Mengetahui terapi kognitif yang bisa diberikan kepada lansia

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 PengertianMenurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada BAB I pasal 1 ayat 2 yang berbunyi Lanjut Usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Wahjudi Nugroho, 2000). Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan memengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2001 dalam Siti Maryam dkk, 2008). Aging atau penuaan berhubungan dengan adanya dua fenomena, yaitu penurunan fisiologik tubuh dan peningkatan terjadinya penyakit (Fowler, 2003). Dengan kata lain, aging adalah suatu proses fisiologis yang akan di alami oleh semua mahluk hidup (Wibowo, 2003). 2.2 Klasifikasi LansiaKlasifikasi lansia antara lain:1. Pralansia (presenilis)Seseorang yang berusia antara 45-49 tahun.2. Lansia Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.3. Lansia resiko tinggiSeseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.4. Lansia potensialLansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa.5. Lansia tidak potensialLansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003 dalam Siti Maryam, 2008).

2.3 Batasan-batasan LansiaMenurut organisasi kesehatan dunia (WHO), lanjut usia meliputi : a. Usia pertangahan (middle age), yaitu antara 45-59 tahunb. Lanjut usia (elderly), yaitu antara 60-74 tahunc. Lanjut usia tua (old), yaitu antara 75-90 tahund. Usia sangat tua (very old), yaitu di atas 90 tahunMenurut Prom. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohammad (alm) Guru Besar UGM pada Fakultas Kedokteran, masa Lanjut Usia adalah pada usia 65 tahun ke atas. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 seorang dapat dikatakan lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 60 tahun ke atas (Wahjudi Nugroho, 2000).2.4 Tipe LansiaBeberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 2000 dalam Siti Maryam, 2008). Tipe tersebut antara lain:1. Tipe arif bijaksanaKaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.2. Tipe mandiriMengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.3. Tipe tidak puasKonflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.4. Tipe pasrahMenerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.5. Tipe bingungKaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe dependen (kebergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militan dan serius, tipe pemarah/frustasi, serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri) (Siti Maryam, dkk, 2008).

2.5 Teori PenuaanSecara garis besar teori penuaan dibagi menjadi teori biologis, teori psikologis, dan teori sosiokultural.1. Teori Biologisa. Biological Programming TheoryTeori program biologis merupakan suatu proses sepanjang kehidupan sel yang terjadi sesuai dengan sel itu sendiri. Teori waktu kehidupan makhluk memperlihatkan adanya kemunduran biologis, kognitif, dan fungsi psikomotor yang tidak dapat dihindari dan diperbaiki, walaupun perubahan diet atau hipotermi dalam waktu yang lama dapat menunda proses tersebut. b. Wear and Tear TheoryTeori wear and tear ini menyatakan bahwa perubahan struktur dan fungsi dapat dipercepat oleh perlakuan kejam dan diperlambat oleh perawatan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan penuaan merupakan hasil dari akumulasi stres, trauma, luka, infeksi, nutrisi yang tidak adekuat, gangguan metabolik dan imunologi, dan perlakuan kasar yang lama. Konsep penuaan ini memperlihatkan penerimaan terhadap mitos dan stereotif penuaan.c. Stress-Adaptasi TheoryTeori adaptasi stres ini menegaskan efek positif dan negatif dari stres pada perkembangan biopsikososial. Sebagai efek positif, stres menstimulasi seseorang untuk melakukan sesuatu yang baru, jalan adaptasi yang lebih efektif. Efek negatif dari stres bisa menjadi ketidakmampuan fungsi karena perasaan yang terlalu berlebihan. Stres sering di asumsikan dapat mempercepat proses penuaan. Stres dapat mempengaruhi kemampuan penerimaan seseorang, baik secara fisiologi, psikologis, sosial dan ekonomi. Hal ini dapat berakibat sakit atau injuri.2. Teori psikologisa. Eriksons Stage of Ego IntegrityTeori Erikson tentang perkembangan manusia mengidentifikasi tugas yang harus dicapai pada setiap tahap kehidupan. Tugas terakhir, berhubungan dengan refleksi tentang kehidupan seseorang dan pencapaiannya, ini diidentifikasi sebagai integritas ego. Jika ini tidak tercapai maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan.b. Life Review TheoryPada lansia, melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan proses yang normal berkaitan dengan pendekatan terhadap kematian. Reintegrasi yang sukses dapat memberikan arti dalam kehidupan dan mempersiapkan seseorang untuk mati tanpa disertai dengan kecemasan dan rasa takut. Hasil diskusi terakhir tentang proses ini menemukan bahwa melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan salah satu strategi untuk merawat masalah kesehatan jiwa pada lansia.c. Stability of PersonalityPerubahan kepribadian secara radikal pada lansia dapat mengakibatkan penyakit otak. Perubahan peran, perilaku dan situasi membutuhkan respon tingkah laku yang baru. Mayoritas lansia pada studi ini memperlihatkan adaptasi yang efektif terhadap kebutuhan ini.3. Teori Sosiokulturala. Disengagement TheoryPostulat pada teori ini menyatakan bahwa lansia dan penarikan diri dari lingkungan sosial merupakan bagian dari proses penuaan yang normal. Terdapat stereotype yang kuat dari teori ini termasuk ide bahwa lansia merasa nyaman bila berhubungan dengan orang lain seusianya.b. Activity TheoryTeori aktivitas berpendapat bahwa penuaan harus disertai dengan keaktifan beraktifitas sebisa mungkin. Teori ini memperlihatkan efek positif dari aktivitas terhadap kepribadian lansia, kesehatan jiwa, dan kepuasan dalam hidup.c. The Family in Later LifeTeori keluarga berfokus pada keluarga sebagai inti dasar perkembangan emosi seseorang. Teori ini berpendapat bahwa pusat proses siklus kehidupan adalah perubahan sistem hubungan dengan orang lain untuk medukung fungsi masuk, keluar dan perkembangan anggota keluarga. Gejala fisik, emosi, dan sosial dipercaya merupakan refleksi dari masalah negosiasi dan transisi pada siklus kehidupan keluarga.

2.6 Faktor Risiko Terjadinya Masalah Kesehatan Jiwa pada LansiaAda beberapa faktor resiko yang mendukung terjadinya masalah kesehatan jiwa pada lansia. Faktor-faktor resiko tersebut adalah:1. Kesehatan fisik yang buruk;2. Perpisahan dengan pasangan;3. Perumahan dan transportasi yang tidak memadai;4. Sumber financial berkurang;5. Dukungan sosial berkurang (Siti Maryam, 2008).Sedangkan kriteria optimal yang sehat menurut (WHO, 1959 dalam Siti Maryam, 2008) adalah sebagai berikut:1. Dapat menerima kenyataan yang baik maupun buruk.2. Puas dengan hasil karyanya.3. Merasa lebih puas untuk memberi daripada menerima.4. Secara relative bebas dari rasa tegang dan cemas.5. Berhubungan dengan orang lain untuk tolong menolong dan saling memuaskan.6. Mengambil hikmah dari kejadian buruk.7. Mengalihkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.8. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.

2.7 Masalah Kesehatan Jiwa yang Sering Timbul pada LansiaMasalah kesehatan jiwa yang sering timbul pada lansia meliputi kecemasan, depresi, insomnia, paranoid, dan demensia.1. Kecemasan Gejala-gejala kecemasan yang dialami oleh lansia adalah sebagai berikut: Perasaan khawatir atau takut yang tidak rasional akan kejadian yang akan terjadi. Sulit tidur sepanjang malam. Rasa tegang dan cepat marah. Sering mengeluh akan gejala yang ringan atau takut/khawatir terhadap penyakit yang berat, misalnya kanker dan penyakit jantung yang sebenarnya tidak dideritanya. Sering membayangkan hal-hal yang menakutkan. Rasa panik terhadap masalah yang ringan. Tindakan untuk mengatasi kecemasan pada lansia adalah: Cobalah untuk mendapatkan dukungan keluarga dengan rasa kasih saying. Bicaralah tentang rasa khawatir lansia dan cobalah untuk menentukan penyebab yang mendasar (dengan memandang lansia secara holistik). Cobalah untuk mengalihkan penyebab dan berikan rasa aman dengan penuh empati. Bila penyebabnya tidak jelas dan mendasar, berikan alasan-alasan yang dapat diterima olehnya. Konsultasikan dengan dokter bila penyebabnya tidak dapat ditentukan atau bila telah dicoba dengan berbagai cara tetapi gejala menetap. 2. DepresiDepresi meupakan masalah kesehatan jiwa yang paling sering didapatkan pada lansia.Gejala-gejalanya adalah sebagai berikut: Sering mengalami gangguan tidur atau sering terbangun sangat pagi yang bukan merupakan kebiasaannya sehari-hari. Sering kelelahan, lemas, dan kurang dapat menikmati kehidupan sehari-hari. Kebersihan dan kerapian diri sering diabaikan. Cepat sekali menjadi marah atau tersinggung. Daya konsentrasi berkurang. Pada pembicaraan sering disertai topik yang berhubungan dengan rasa pesimis atau perasaan putus asa. Berkurang atau hilangnya nafsu makan sehingga berat badan menurun secara cepat. Kadang-kadang dalam pembicaraannya ada kecendurangan untuk bunuh diri.

Depresi dapat timbul secara spontan atau sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan dalam kehidupan, seperti: Cacat fisik atau mental seperti stroke atau demensia, sehingga menjadi sangat bergantung pada orang lain. Suasana duka cita. Meninggalnya pasangan hidup.3. InsomniaKebiasaan atau pola tidur lansia dapat berubah, yang terkadang dapat mengganggu kenyamanan anggota keluarga lain yang tinggal di rumah. Penyebab insomnia pada lansia adalah sebagai berikut: Kurangnya kegiatan fisik dan mental sepanjang hari sehingga mereka masih semangat sepanjang malam. tertidur sebentar-sebentar sepanjang hari. Gangguan cemas dan depresi. Tempat tidur dan suasana kamar kurang nyaman. Sering berkemih pada waktu malam karena banyak minum pada malam hari. Infeksi salura kemih.4. ParanoidLansia terkadang merasa bahwa ada orang yang mengancam mereka, membicarakan, serta berkomplot ingin melukai atau mencuri barang miliknya. Bila kondisi ini berlangsung lama dan tidak ada dasarnya, hal ini merupakan kondisi yang disebut paranoid.Gejala-gejalanya antara lain: Perasaan curiga dan memusuhi anggota keluarga, teman-teman, atau orang-orang di sekelilingnya. Lupa akan barang-barang yang disimpannya kemudian menuduh orang-orang di sekelilingnya mencuri atau menyembunyikan barang miliknya. Paranoid dapat merupakan manifestasi dari masalah lain, seperti depresi dan rasa marah yang ditahan.Tindakan yang dapat dilakukan pada lansia dengan paranoid adalah memberikan rasa aman dan mengurangi rasa curiga dengan memberikan alasan yang jelas dalam setiap kegiatan. Konsultasikan ke dokter bila gejala bertambah berat.5. DemensiaDemensia sinilis merupakan gangguan mental yang berlangsung progresif, lambat, dan serius yang disebabkan oleh kerusakan organic jaringan otak. Berdasarkan penyebabnya, demensia ada tiga jenis:a. Demensia Alzheimer yang penyebabnya adalah kerusakan otak yang tidak diketahui.b. Demensia vascular yang penyebabnya adalah kerusakan otak karena stroke yang multiple.c. Demensia lain yang penyebabnya adalah kekurangan vitamin B12 dan tumor otak.

Gejala-gejala demensia adalah sebagai berikut: Meningkatnya kesulitan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Mengabaikan kebersihan diri. Sering lupa akan kejadian-kejadian yang dialami, dalam keadaan yang makin berat, nama orang atau keluarga dapat dilupakan. Pertanyaan atau kata-kata sering diulang. Tidak mengenal waktu. Tidak mengenal ruang atau tempat. Sifat dan perilaku berubah menjadi keras kepala dan cepat marah. Menjadi depresi dan menangis tanpa alasan yang jelas.

Tindakan yang dapat dilakukan pada lansia dengan demensia adalah sebagai berikut: Evaluasi secara cermat kemampuan yang maksimal dari lansia dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari kemudian dapat ditentukan jenis perawatan yang dibutuhkan. Perbaiki lingkungan tempat tinggal untuk menghindari kecelakaan yang tidak diinginkan. Upayakan lansia tersebut dapat mempertahankan kegiatan sehari-hari secara optimal. Bantu daya pengenalan terhadap waktu, tempat, dan orang dengan sering mengingat kembali hal-hal yang berhubungan dengan kejadian dan hal yang pernah terjadi (Siti Maryam, 2008).

Sedangkan menurut Anetta G.L. dalam gerontology nursing, masalah kesehatan jiwa yang ada pada lansia antara lain:a. Depresib. Bunuh diric. Schizoprheniad. Paranoide. Retardasi mentalf. Alzeimerg. Pikun(Demensia)2.8 Pendekatan Perawatan LansiaDalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa (mental health) disebut pendekatan eklektik holistik, yaitu suatu pendekatan yang tidak tertuju pada pasien semata-mata, akan tetapi juga mencakup aspek psikososial dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia, secara utuh dan menyeluruh.1. Pendekatan fisikPerawat mempunyai peranan penting untuk mencegah terjadinya cedera sehingga diharapkan melakukan pendekatan fisik, seperti berdiri disamping klien, menghilangkan sumber bahaya dilingkungan, memberikan perhatian dan sentuhan, bantu klien menemukan hal yang salah dalam penempatannya, memberikan label gambar atau hal yang diinginkan klien.2. Pendekatan psikologisDisini perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip Tripple, yaitu sabar, simpatik dan service. Hal itu perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi karena bersama dengan semakin lanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi, berkurangnya kegairahan atau keinginan, peningkatan kewaspadaan, perubahan pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk tiduran diwaktu siang, dan pergeseran libido. Perawat harus sabar mendengarkan cerita dari masa lampau yang membosankan, jangan menertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa melakukan kesalahan . Harus diingat kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Bila perawat ingin merubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bila melakukannya secara perlahan lahan dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi sehinga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka puas dan bahagia3. Pendekatan spiritualPerawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungan lansia dengan Tuhan atau agama yang dianutnya dalam keadaan sakit atau mendeteksi kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menghadapi kematian. Seorang dokter mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti ketidakpastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan kumpul lagi dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara dalam mengahadapi hidup ini. Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga, perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi ditinggalkan , masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia.4. Pendekatan socialMengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya perawat dalam pendekatan social. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama klien usia berarti menciptakan sosialisasi mereka. Jadi pendekatan social ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Penyakit memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut usia untuk mengadakan konunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi, nonton film, atau hiburan lain. Tidak sedikit klien tidak tidur terasa, stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang dirumah sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian diantara lanjut usia, hal ini dapat diatasi dengan berbagai cara yaitu mengadakan hak dan kewajiban bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia.

2.9 Terapi Kognitif pada Lansia1) Pengertian Terapi KognitifTerapi kognitif adalah suatu bentuk psikoterapi yang dapat melatih klien untuk mengubah cara klien menafsirkan dan memandang segala sesuatu pada saat klien mengalami kekecewaan, sehingga klien merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih produktif. Terapi kognitif bukanlah terapi baru dan terapi ini sudah dikembangkan sejak tahun 1860-an, sebagai pengobatan alternative untuk mengatasi depresi. Terapi ini berdasar pada satu prinsip bahwa pikiran-pikiran mempengaruhi mood. Melalui terapi ini individu diajarkan/dilatih untuk mengontrol distorsi pikiran/gagasan/ide dengan benar-benar mempertimbangkan factor dalam berkembangnya dan menetapnya gangguan mood. (Townsend,2005).Pertolongan seorang terapis yang terlatih sangat diperlukan, sehingga terapi kognitif dapat menjadi suatu terapi yang dapat membantu lansia depresi menghentikan pola pikiran negative, mengubah cara berfikir yang negative karena mengalami kekecewaan, kegagalan dan ketidakberdayaan dan akhirnya lansia depresi dapat menjadi lebih baik, dapat kembali produktif, bermanfaat untuk diri sendiri, orang lain dan lingkungan.2) Tujuan Terapi KognitifTerapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran negative menjadi pikiran positif, mengetahui penyebab negative yang dirasakan, membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta pertumbuhan pribadi (Burn, 1980). Menurut Coper (2007), terapi kognitif bertujuan untuk membantu pasien mengembangkan pola pikir yang rasional, terlibat dalam uji realitas, dan membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal. Mengubah kepercayaan (anggapan) tidak logis, penalaran salah dan pernyataan negative yang mendasari permasalahan perilaku (Stuart dan Laraia, 2005). Terapi kognitif berfokus pada bagaimana cara mengidentifikasi dan memperbaiki persepsi-persepsi pasien yang bias yang terdapat dalam pikirannya (Frisch dan Frisch,2006). Dengan demikian tujuan terapi kognitif dapat disimpulkan yaitu untuk mengubah pikiran-pikiran negative yang dimunculkan menjadi pikiran-pikiran yang lebih realistis, positif dan rasional.3) IndikasiTerapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan psikiatrik lainnya seperti, panic, masalah pengontrolan masalah, pengguna obat, harga diri rendah, resiko bunuh diri, dan ketidakberdayaan. Selain itu juga efektif pada gangguan makan (bulimia, anoreksia nerfosa) dan gangguan kepribadian (Wright and Beck,2000 dalam Stuartd dan Laraia,2005). Dalam proses pelaksanaan terapi kognitif, terapis membantu klien untuk melakukan restrukturisasi kognitif (Stuart dan Laraia, 2005). 4) Prinsip pelaksanaan terapi kognitifMenurut Townsend (2003), prisip pelaksanaan terapi konitif adalah1. Terapi kognitif berdasarkan pada proses pembentukan pola pikir pasien yang terganggu. Untuk itu, terapis harus mengidentifikasi terlebih dahulu adanya kelainan bentuk pikir (distorsi kognitif) pada pasien. 2. Terapi kognitif membutuhkan hubungan terapeutik perawat pasien. Hubungan saling percaya antara perawat dan pasien harus sudah terbina sebelum terapi ini dilakukan. Terapis (perawat) harus dapat bersikap hangat, empati, caring, dan menghormati martabat (harga diri) pasien.3. Terapi kognitif menekankan pada teknik kolaborasi dan partisipasi aktif pasiennya. Perawat sebagai terapis mendorong pasien untuk terlibat aktif dalam setiap sesi (pertemuan), sehingga pasien selalu membuat tugas-tugas yang diberikan diakhir setiap sesi untuk dikerjakan di rumah.4. Terapi kognitif merupakan terapi yang berorientasi pada tujuan penyelesaian masalah pasien. Di awal pertemuan, trapis harus mengidentifikasi masala-masalah yang dihadapi pasiennya. Kemudian bersama-sama menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan dalam terapi. Proses diskusi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi pasien dibutuhkan saat pasien mulai dapat mengenal distorsi kognitif dan memperbaiki pola pikirnya.5. Terapi koginitif menekankan kondisi realita yang ada pada pasien. Penyelesaian masalah yang dihadapi pasien berdasarkan kondisi yang nyata saat terapi dilakukan.6. Terapi kognitif merupakan suatu pendekatan terapi yang bersifat edukatif dengan tujuan mengajarkan pasien untuk dapat menolong dirinya sendiri dan mencegah terjadinya kondisi berulang.7. Terapi kognitif merupakan suatu bentuk terapi yang terprogram waktu dengan baik (time limited programme). Proses pelaksanaan terapi dapat berjalan beberapa minggu sampai bulan. Beberapa pasien kadang-kadang menghendaki pertemuan ulang.8. Program terapi kognitif harus terstruktur dengan baik untuk setiapa dalam pertemuannya. Setiap sesi harus meliputi evaluasi kondisi pasien di setiap pertemuan, review hasil pertemuan sebelumnya, mengevaluasi tugas pasien yang harus dilakukan pada pertemuan sebelumnya, mendiskusikan topic pertemuan saat ini, merencanakan tugas yang akan dilakukan pasien dan membuat ringkasan hasil pertemuan. Hal ini dapat membuat waktu pelaksanaan terapi menjadi efektif.9. Terapi kognitif bertujuan mengajarkan pasien untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan berespon terhadap kelainan bentuk pikiran dan kepercayaannya. Hal ini dilakukan dengan membantu pasien untuk dapat mengenal setiapa pikiran negative dan mengganti dengan pikiran yang positif yang sesuai dengan kondisi yang nyata dengan pasien.10. Terapi kognitif menggunakan berbagai bentuk atau teknik untuk merubah cara berpikir, perasaan dan perilaku pasien. Bebrgabai teknik dapat digunakan dalam proses pemberian terapi kognitif dalam upaya untuk memodifikasi cara berpikir pasien yang salah yang dapat mempengaruhi timbulnya perilaku yang maladaptive. 5) Pelaksanaan terapi kognitif Menurut Burns (1988), pelaksanaan terapi kognitif terdiri dari 9 sesi, yaitu :1. Sesi 1 : ungkapkan pikiran otomatis ang timbul dan klasifikasikan dalam distorsi kognitif2. Sesi 2 : ungkapkan alasan atau penyebab timbulnya pikiran otomatis3. Sesi 3 : tanggapan atau anjurkan pasien mengungkapan kenginannya4. Sesi 4 : diskusi perasaan pasien saat membuat catatan harian5. Sesi 5 : diskusi kemampuan pasien dalam menghadapi masalah 6. Sesi 6 : diskusi manfaat dalam memberikan tanggapan, cara pasien menyeselesaikan maslah/hambatan yang ditemui7. Sesi 7 : diskusi perasaan setelah terapi (mengungkapakan hasil dalam mengikuti terapi)8. Sesi 8 : diskusi cara dan kesulita pasien dalam menggunakan catatan harian9. Sesi 9 : libatkan keluarga untuk menjadi support system pasien dalam melakukan terapi kognitif secara mandiri.

Berdasarkan hasil Workshop Keperawatan Jiwa (FIK UI, 2008), kesembilan sesi dalam terapi kognitif dapat dilakukan dalam 4 kali pertemuan. Pertemuan pertama merupkan pelaksanaan untuk sesi 1 dan sesi 2, yaitu mengungkapkan pikiran otomatis dan alasan, yang bertujuan untuk agar pasien mampu mengungkapakna pikiran otomatis pada perawat dan penyebab timbulnya pikiran otomatis. Pertemuan kedua merupakan pelaksanaan utuk sesi 3, 4 dan 5, yaitu tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis dan problem solving (penyelesaian masalah. Pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam member tanggapan positif terhadap pikiran negative, pasien dapat menuliskan pikiran otomatis dan tanggapan rasionalnya, dan meningkatkan kemampuan pasien untuk menyelesaikan maslahanya sendiri. Pertemuan ketiga adalah pelaksanaan sesi 6, 7 dan 8, yaitu tentang manfaat tanggapan, ungkapkan hasil dan membuat buku harian. Ketiga sesi dalam pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien mengungkapkan hasil dan manfaat dari pelaksanaan terapi kognitif dan pasien mampu menyelesaikan masalah. Dan pertemuan terakhir atau pertemuan keempat merupakan pelaksanaan sesi 9, adalah support system yang bertujuan untuk meningkatkan komunikasi perawat dengan pasien, pasien mendapat support system, dan keluarga dapat menjadi support system bagi pasien.

BAB IIIPENUTUP

3.1 KesimpulanPenuaan adalah suatu prose salami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan memengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2001 dalam Siti Maryam dkk, 2008). Adapun klasifikasi dari lansia yaitu, pralansia, lansia, lansia resiko tinggi, lansia potensial, lansia tidak potensial. Batasan usia pada lansia yaitu, usia pertangahan (middle age), yaitu antara 45-59 tahun, lanjut usia (elderly), yaitu antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old), yaitu antara 75-90 tahun, usia sangat tua (very old), yaitu di atas 90 tahun.Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif. Terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran negative menjadi pikiran positif, mengetahui penyebab negative yang dirasakan, membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta pertumbuhan pribadi (Burn, 1980). Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan psikiatrik lainnya seperti, panic, masalah pengontrolan masalah, pengguna obat, harga diri rendah, resiko bunuh diri, dan ketidakberdayaan.3.2 SaranBerdasarkan uraian pada pembahasan di atas, penulis menyarankan agar dapat memahami bagaimana faktor resiko serta batas umur pada lansia dengan baik serta dapat mengaplikasikan perawatan yang sesuai dengan tipe lansia tersebut baik dengan terapi kognitif maupun yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Kushariyadi. (2010). Asuhan keperawatan pada klien lanjut usia. Jakarta: Salemba MedikaMaryam, R.S. dkk. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Diakses pada tanggal 15 Mei 2014 darihttp://books.google.co.id/books?id=jxpDEZ27dnwC&pg=PR8&dq=keperawatan+jiwa+pada+lansia&hl=id&sa=X&ei=Ij90U5qBB4TlrAfWnoG4CA&redir_esc=y#v=onepage&q=keperawatan%20jiwa%20pada%20lansia&f=false Prasetya, A. S. (2010). Pengaruh terapi kognitif dan senam latih otak terhadap tingkat depresi dengan harga diri rendah pada klien lansia di panti tresna wreda bakti yuswa natar lampung. Depok : Universitas Indonesia

19