BAB I · 2020. 11. 6. · BAB I 1 A. Latar Belakang Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good...

71

Transcript of BAB I · 2020. 11. 6. · BAB I 1 A. Latar Belakang Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good...

  • BAB I

    1

    A. Latar Belakang

    Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good governance) merupakan

    prasyarat untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita

    bangsa negara. Untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan akuntabel,

    dikembangkan suatu sistem pertanggungjawaban penyelenggaraan negara yang bersih

    dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Undang-Undang Nomor 28 Tahun

    1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN menyatakan

    akuntabilitas sebagai salah satu asas umum dalam penyelenggaraan negara. Azas

    akuntabilitas ini menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan

    penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau

    rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Laporan kinerja merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi

    yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah atas penggunaan anggaran.

    Penyusunan laporan kinerja adalah pengukuran kinerja dan evaluasi serta

    pengungkapan secara memadai hasil analisis terhadap pengukuran kinerja. Laporan

    Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Kesehatan merupakan tolok ukur keberhasilan dalam

    pelaksanaan program kebijakan dan pengembangan kesehatan masyarakat. Informasi

    yang diharapkan dari Laporan Kinerja adalah penyelenggaraan pemerintahan yang

    dilakukan secara efesien, efektif dan responsif terhadap masyarakat, sehingga menjadi

    masukan dan umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan serta dapat menjaga

    kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi suatu lembaga. Laporan kinerja ini akan

    memberikan gambaran pencapaian kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali dalam satu

    tahun anggaran beserta dengan hasil capaian indikator kinerja dari masing-masing

    Program yang ada di lingkungan Satuan Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali (229000)

    di tahun 2019.

    B. Maksud dan Tujuan

    Penyusunan laporan kinerja Dinas Kesehatan provinsi Bali (229000)

    merupakan bentuk pertanggungjawaban kinerja pada tahun 2019 dalam mencapai

    target dan sasaran program seperti yang tertuang dalam rencana strategis, dan

    ditetapkan dalam dokumen penetapan kinerja Dinas Kesehatan provinsi Bali oleh

    pejabat yang bertanggungjawab.

  • BAB I

    2

    C. Visi, Misi dan Strategi Organisasi

    Visi yang hendak dicapai dalam periode Rencana Strategis Dinas Kesehatan

    Provinsi Bali Tahun 2019-2023 adalah : ” Melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana”

    Untuk mewujudkan visi tersebut ditempuh melalui 22 (dua puluh dua) misi yaitu

    1. Memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, dan papan dalam jumlah dan kualitas yang memadai bagi kehidupan Krama Bali.

    2. Mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing pertanian, dan meningkatkan kesejahteraan petani.

    3. Mengembangkan pelayanan kesehatan masyarakat yang terjangkau, merata, adil dan berkualitas serta didukung dengan pengembangan sistem dan data base riwayat kesehatan Krama Bali berbasis kecamatan.

    4. Memastikan tersedianya pelayanan pendidikan yang terjangkau, merata, adil, dan berkualitas serta melaksanakan wajib belajar 12 tahun.

    5. Mengembangkan sistem pendidikan dasar dan pendidikan menengah berbasis keagamaan Hindu dalam bentuk Pasraman di Desa Pakraman/Desa Adat.

    6. Mengembangkan sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi yaitu berkualitas dan berintegritas: bermutu, profesional dan bermoral serta memiliki jati diri yang kokoh yang dikembangkan berdasarkan nilai- nilai kearifan lokal Krama Bali.

    7. Mengembangkan sistem jaminan sosial secara konprehensif dan terintegrasi bagi kehidupan Krama Bali sejak rnulai kelahiran, tumbuh dan berkembang sampai akhir masa kehidupannya.

    8. Menghasilkan tenaga kerja yang kompeten, produktif, berkualitas dan memiliki daya saing tinggi serta memperluas akses kesempatan kerja di dalam dan di luar negeri.

    9. Mengembangkan sistem jaminan sosial dan perlindungan tenaga kerja yang komperhensif, mudah dijangkau, bermutu, dan terintegrasi bagi Krama Bali yang bekerja di dalam dan di luar negeri.

    10. Memajukan kebudayaan Bali melalui peningkatan pelindungan, pembinaan, pengembangan dan pemanfaatan nilai-nilai adat, agama, tradisi, seni, dan budaya Krama Bali

    11. Mengembangkan tata kehidupan Krama Bali secara sekala dan niskala

    berdasarkan nilai-nilai filsafat Sad Kertih yaitu Atma Kertih, Danu Kertih,

    Wana Kertih, Segara Kertih, Jana Kertih, dan Jagat Kertih

    12. Memperkuat kedudukan, tugas dan fungsi Desa Pakraman/ Desa Adat

    dalam menyelengarakan kehidupan krama Bali yang meliputi Parahyangan,

    Pawongan, dan Palemahan.

    13. Mengembangkan destinasi dan produk pariwisata baru berbasis budaya

    dan berpihak kepada rakyat yang terintegrasi antar kabupaten/kota se-Bali.

    14. Meningkatkan promosi pariwisata Bali di dalam dan di luar negeri secara

    bersinergi antar kabupaten/kota se- Bali dengan mengembangkan inovasi

    dan kreatifitas baru.

    15. Meningkatkan standar kualitas pelayanan kepariwisataan secara

    konprehensif.

  • BAB I

    3

    16. Membangun dan mengembangkan pusat-pusat perekonomian baru sesuai

    dengan potensi kabupaten/kota diBali dengan memberdayakan sumber daya

    lokal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam arti luas.

    17. Membangun dan mengembangkan industri kecil dan menengah

    berbasis budaya (branding Bali) untuk memperkuat perekonomian Krama

    Bali.

    18. Meningkatkan pembangunan infrastruktur (darat, laut dan udara) secara

    terintegrasi serta konektivitas antar wilayah untuk mendukung pembangunan

    perekonomian serta akses dan mutu pelayanan publik di Bali.

    19. Mengembangkan sistem keamanan terpadu yang ditopang dengan

    sumber daya manusia serta sarana prasarana yang memadai untuk

    menjaga keamanan daerah dan Krama Bali serta kearnanan para wisatawan.

    20. Mewujudkan kehidupan Krama Bali yang demokratis dan berkeadilan

    dengan memperkuat budaya hukum, budaya politik dan kesetaraan gender

    dengan memperhatikan nilai-nilai budaya Bali.

    21. Mengembangkan tata kehidupan Krama Bali, menata wilayah, dan

    lingkungan yang, hijau, indah, dan bersih.

    22. Mengembangkan sistem tata kelola pemerintahan daerah yang efektif

    efisien, terbuka, transparan, akuntabel dan bersih serta meningkatkan

    pelayan publik terpadu yang cepat, pasti dan murah

    Sasaran

    Sasaran Dinas Kesehatan Provinsi Bali, adalah meningkatnya ketersediaan

    dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh

    masyarakat.

    Indikator Kinerja

    Indikator kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali satker 229000 yaitu : terdapat 28

    indikator dari 6 program/kegiatan yang ada

    D. Tugas Pokok dan Fungsi

    Mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2016, tentang

    “Pembentukan Susunan Perangkat Daerah” dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 103

    Tahun 2016, menyebutkan bahwa Dinas Kesehatan Provinsi Bali merupakan unsur

    pelaksana pemerintahan Bidang Kesehatan dipimpin kepala Dinas, berkedudukan

    dibawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Dinas

    Kesehatan memiliki tugas membantu Gubernur melaksanakan urusan pemerintahan

    bidang kesehatan yang menjadi kewenangan daerah, serta melaksanakan tugas

  • BAB I

    4

    dekonsentrasi sampai dengan dibentuk Sekretariat Gubernur sebagai Wakil Pemerintah

    Pusat dan melaksanakan tugas pembantuan sesuai bidang tugasnya (Pasal 5 Bab III

    Peraturan Gubernur 103 Tahun 2016).

    Dinas Kesehatan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada

    pasal 6 Bab IV Peraturan Gubernur Nomor 10Tahun 2016, menyelenggarakan fungsi:

    1. Perumusan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan

    pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan

    perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) serta sumber daya kesehatan;

    2. Pelaksanaan evalusasi dan pelaporan di bidang kesehatan masyarakat,

    pencegahan dan pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian,

    alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) serta sumber

    daya kesehatan;

    3. Pelaksanaan administrasi dinas sesuai dengan lingkup tugasnya; dan

    4. Pelaksanaan fungsi lain yang di berikan oleh Gubernur terkait dengan bidang

    kesehatan.

    Susunan organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Bali, sesuai pasal 3 Bab II Bagian

    Kedua Pergub Nomor 103 Tahun 2016 adalah sebagai berikut :

    a. Sekretariat;

    b. Bidang;

    c. Sub Bagian;

    d. Seksi;

    e. Kelompok Jabatan Fungsional; dan

    f. UPT.

    Salah satu bidang yang ada pada Dinas Kesehatan Provinsi Bali adalah Bidang

    Kesehatan Masyarakat (229000). Bidang ini memperoleh Dana Dekonsentrasi (APBN)

    yang pelaporannya ke direktorat Kesehatan Masyarakat Kementrian Kesehatan RI.

    Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dijalankan oleh :

    a. Seksi Kesehatan Keluarga Dan Gizi

    b. Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olahraga;

    c. Seksi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

    .

    E. Potensi dan Permasalahan

    Potensi dan permasalahan pembangunan kesehatan akan menjadi input dalam

    menentukan arah kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan.

    Angka Kematian Ibu diukur melalui jumlah kematian ibu dibagi dengan jumlah

    kelahiran hidup kemudian hasilnya dibagi dengan 100.000 Kelahiran Hidup. Kematian

  • BAB I

    5

    Ibu merupakan kematian ibu pada masa kehamilan, persalinan dan nifas yang

    disebabkan oleh faktor obstetrik dan non obstetrik. Angka Kematian Ibu (AKI) dan

    Angka Kematian Bayi (AKB) serta Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan indikator

    pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2015-2019 dan Sustainable Development

    Goals (SDGs). Menurut data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI),

    Indonesia sudah mengalami penurunan Angka Kematian Ibu pada periode tahun 1994-

    2012 yaitu pada tahun 1994 sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 1997

    sebesar 334 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2002 sebesar 307 per 100.000

    kelahiran hidup, tahun 2007 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup namun AKI pada

    tahun 2012 meningkat kembali menjadi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk

    Angka Kematian Bayi dapat dikatakan mengalami penurunan on the track (terus

    menurun) dan pada SDKI 2012 menunjukkan angka 32 per 1.000 kelahiran hidup. Dan

    pada tahun 2015, berdasarkan data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun

    2015 baik AKI maupun AKB menunjukan penurunan dimana AKI menjadi 305/100.000

    KH dan AKB 22,23 / 1000 KH.

    Untuk Provinsi Bali, jumlah kematian ibu pada tahun 2017 mencapai 45 kematian

    dengan jumlah kelahiran hidup sebesar 63.513 kelahiran hidup (68,64/100.000 KH).

    Tahun 2018, jumlah kematian ibu secara absolut di Provinsi Bali sebesar 35 kasus,

    sedangkan di tahun 2019 kematian ibu di provinsi Bali mengalami peningkatan

    sebanyak 45 kasus. Bila dibandingkan dengan target, AKI di Provinsi Bali pada Tahun

    2017 telah mencapai target, bahkan Angka Kematian Ibu lebih kecil dari target yang

    ditentukan yaitu 95/100.000 KH. Bila dibandingkan dengan tahun 2016 terjadi

    penurunan jumlah kasus kematian ibu, dimana tahun 2016 mencapai 50 Kematian

    sedangkan di tahun 2017 mencapai 45 Kematian. Sehingga dari sisi indikator, Rencana

    Strategis Dinas Kesehatan Provinsi Bali sebagai bagian didalam upaya penurunan AKI

    dan AKB juga menunjukan keberhasilan tetapi pencapaian ini juga masih memberikan

    gap bila dibandingkan dengan seluruh sasaran penduduk. Upaya yang terus dilakukan

    untuk menurunkan Angka Kematian Ibu antara lain dengan meningkatkan akses untuk

    kesehatan ibu dan calon ibu. Hal ini juga sangat didukung terhadap pelayanan ibu hamil

    saat K1 dan K4. Dan sangatlah penting bidan-bidan didesa mengetahui berapa terdapat

    ibu hamil di wilayah kerjanya dan sudahkah terakses pelayanan kesehatan.

    Indikator persentase balita malnutrisi (gizi buruk) dan gizi kurang memberikan

    gambaran tentang keadaan gizi balita. Balita gizi kurang merupakan balita yang memiliki

    berat badan kurang -2 SD menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U).

    Kondisi ini diharapkan untuk segera dapat diatasi dalam rangka mewujudkan pondasi

    sumber daya manusia yang berkualitas. Balita yang mengalami gizi kurang berdasarkan

    Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017 lebih rendah (0,4 %) dibandingkan dengan

  • BAB I

    6

    tahun 2016 sebesar 8,6 %. Indikator persentase bumil KEK menggambarkan risiko

    yang akan dialami ibu hamil dan bayinya dalam masa kehamilan, persalinan dan pasca

    persalinan. Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain

    masih menghadapi masalah kekurangan gizi, masalah kelebihan gizi juga menjadi

    persoalan yang harus kita tangani dengan serius. Selain itu kita dihadapi dengan

    masalah stunting. Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan

    oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak

    berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak

    dalam kemiskinan. Seribu hari pertama kehidupan seorang anak adalah masa kritis

    yang menentukan masa depannya, dan pada periode itu anak Indonesia menghadapi

    gangguan pertumbuhan yang serius. Yang menjadi masalah, lewat dari 1000 hari,

    dampak buruk kekurangan gizi sangat sulit diobati. Untuk mengatasi stunting,

    masyarakat perlu dididik untuk memahami pentingnya gizi bagi ibu hamil dan anak

    balita. Secara aktif turut serta dalam komitmen global (SUN-Scalling Up Nutrition

    dalam menurunkan stunting, maka Indonesia fokus kepada 1000 hari pertama

    kehidupan (terhitung sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun) dalam

    menyelesaikan masalah stunting secara terintegrasi karena masalah gizi tidak hanya

    dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan saja (intervensi spesifik) tetapi juga oleh

    sektor di luar kesehatan (intervensi sensitif). Hal ini tertuang dalam Peraturan

    Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan

    Gizi.

    Pelaksanaan UKS harus diwajibkan di setiap sekolah dan madrasah mulai dari

    TK/RA sampai SMA/ SMK/MA, mengingat UKS merupakan wadah untuk

    mempromosikan masalah kesehatan. Wadah ini menjadi penting dan strategis, karena

    pelaksanaan program melalui UKS jauh lebih efektif dan efisien serta berdaya ungkit

    lebih besar. UKS harus menjadi upaya kesehatan wajib Puskesmas. Peningkatan

    kuantitas dan kualitas Puskesmas melaksanakan Pelayanan Kesehatan Peduli

    Remaja (PKPR) yang menjangkau remaja di sekolah dan di luar sekolah. Prioritas

    program UKS adalah perbaikan gizi usia sekolah, kesehatan reproduksi dan deteksi

    dini penyakit tidak menular.

  • BAB I

    7

    F. Sistematika

    Sistematika penulisan laporan kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali adalah sebagai

    berikut :

    Ringkasan Eksekutif Kata Pengantar Daftar Isi BAB I

    Penjelasan umum, penjelasan aspek strategis organisasi serta

    permasalahan utama (strategic issued) yang sedang dihadapi.

    BAB II

    Menjelaskan uraian ringkasan/ ikhtisar perjanjian kinerja Dinas Kesehatan

    Provinsi Bali tahun 2019.

    BAB III

    Penyajian capaian kinerja untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis

    sesuai dengan hasil pengukuran kinerja, dengan melakukan beberapa

    hal sebagai berikut: Membandingkan antara target dan realisasi kinerja

    tahun 2019; Analisis penyebab keberhasilan/kegagalan atau

    peningkatan/penurunan kinerja serta alternatif solusi yang telah dilakukan; dan

    melakukan analisa realisasi anggaran.

    BAB IV

    Penutup, Pada bab ini diuraikan simpulan umum atas capaian kinerja serta

    langkah di masa mendatang yang akan dilakukan untuk meningkatkan

    kinerjanya.

    LAMPIRAN

    Formulir PK : Pengukuran Kinerja

  • 8

    A. Perjanjian Kinerja

    Perjanjian kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali satker 229000 telah ditetapkan

    dalam dokumen penetapan kinerja yang merupakan suatu dokumen pernyataan

    kinerja/perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan untuk mewujudkan target kinerja

    tertentu dengan didukung sumber daya yang tersedia.

    Indikator dan target kinerja yang telah ditetapkan menjadi kesepakatan yang

    mengikat untuk dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan sebagai upaya mewujudkan

    pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat Indonesia. Perjanjian

    penetapan kinerja tahun 2019 yang telah ditandatangani bersama oleh kepala

    Dinas kesehatan Provinsi Bali dan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat berisi

    Indikator, antara lain:

    B. Indikator Kinerja Program Kesehatan Masyarakat

    Indikator kinerja program Kesehatan Masyarakat terdiri dari 6 program yang

    masing-masing mempunyai indikator yang dianggap dapat merefleksikan kinerja

    program, yang meliputi:

    1) Program Pembinaan Gizi Masyarakat

    a) Persentase Ibu Hamil KEK yang mendapat makanan Tambahan

    b) Persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)

    c) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat asi

    Esklusif

    d) Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

    e) Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan

    f) Persentase remaja putri yang mendapat Tablet Tambah Darah

    (TTD)

    2) Program Pembinaan Kesehatan Keluarga

    a) Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)

    b) Persentase Ibu Hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal ke

    empat (K4)

    c) Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan

    untuk peserta didik kelas 1

    BAB II

  • 9

    d) Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan

    untuk peserta didik kelas 7 dan 10

    e) Persentasi puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan

    remaja

    f) Persentase Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil

    g) Persentase Puskesmas yang melakukan Orientasi Program

    Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K)

    3) Program pembinaan upaya kesehatan kerja dan olahraga

    a) Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan Kerja

    Dasar

    b) Jumlah Pos UKK yang terbentuk di daerah PPI/TPI

    c) Persentase fasilitas pemeriksaan kesehatan TKI yang memenuhi

    standar

    d) Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan

    olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya

    4) Penyehatan Lingkungan

    a) Jumlah desa/kelurahan yang melaksanakan STBM

    b) Persentase sarana air minum yang dilakukan pengawasan

    c) Persentase Tempat-tempat Umum (TTU) yang memenuhi syarat

    kesehatan

    d) Persentase RS yang melakukan pegelolaan Limbah Medis sesuai

    standar

    e) Persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan

    f) Jumlah kabupaten/kota yang menyelenggarakan tatanan kawasan

    sehat

    5) Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

    a) Persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS

    b) Persentase desa yang memanfaatkan dana desa untuk UKBM

    c) Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSRnya untuk program

    kesehatan

    d) Jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan sumber

    dayanya untuk mendukung kesehatan

  • 10

    6) Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya pada

    Program Pembinaan Kesehatan Masyarakat

    a) Persentase realisasi kegiatan administrasi dukungan managemen

    dan pelaksanaan tugas teknis lainnya program pembinaan

    kesehatan masyarakat

    Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Upaya

    perbaikan status gizi masyarakat akan memberikan kontribusi nyata bagi

    tercapainya tujuan pembangunan nasional terutama dalam hal penurunan prevalensi

    gizi kurang pada balita dan anak Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) serta

    Kurang Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil, yang pada akhirnya akan dapat

    meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

    Pemberian suplementasi gizi merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan

    dalam rangka mencukupi kekurangan kebutuhan gizi dari konsumsi makan harian

    yang berakibat pada timbulnya masalah kesehatan dan gizi pada kelompok rawan

    gizi. Salah satu program suplementasi yang saat ini dilaksanakan oleh pemerintah

    yaitu Pemberian Makanan Tambahan pada balita, anak SD/MI dan ibu hamil.

    Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya

    kurang dari 12 gr% (Winkjosastro, 2002). Sedangkan anemia dalam kehamilan

    adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester I dan

    III atau kadar

  • 11

    Air Susu Ibu (MP-ASI) dan Kepmenkes Nomor 899/Menkes/SK/X/2009 Tentang

    Spesifikasi Teknis Makanan Tambahan Anak Balita 2-5 Tahun, Anak Usia Sekolah

    Dasar dan Ibu Hamil, disesuaikan dengan perkembangan hukum, ilmu pengetahuan

    dan teknologi. Selanjutnya dalam rangka penyesuaian dengan kebutuhan zat gizi

    pada tiap sasaran berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 serta

    perbaikan tampilan produk Makanan Tambahan (MT) telah pula dilakukan

    perubahan terhadap bentuk kemasan menyesuaikan dengan aturan pemberian.

    Penilaian terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita pada KMS dapat

    digunakan untuk menentukan status Gizi dengan indikator BB/U yang sifatnya untuk

    mendeteksi awal terhadap permasalahan gizi balita

    Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) menggambarkan

    keberlangsungan neonatal pada 6 jam sampai dengan 48 jam. Hal ini dilakukan

    sebagai antisipasi atau skreening diawal kehidupan bayi.

    Untuk indikator kinerja pada program promosi kesehatan menggambarkan

    bagaimana gerakan masyarakat hidup sehat merupakan salah satu upaya

    menggerakkan dan memberdayakan masyarakat agar senantiasa melakukan pola

    hidup sehat. Demikian juga untuk pemanfaatan dana desa yang dapat menggunakan

    dana tersebut untuk kemajuan dan perkembangan UKMB

    .

  • 12

    A. Capaian Kinerja Organisasi

    Perkembangan terbaru membuktikan bahwa manajemen tidak cukup hanya

    memastikan bahwa proses pengelolaan manajemen berjalan dengan efisien. Diperlukan

    instrumen baru, pemerintahan yang baik (good governance) untuk memastikan bahwa

    manajemen berjalan dengan baik. Selain itu, budaya organisasi turut mempengaruhi

    penerapan pemerintahan yang baik di Indonesia. Pengukuran kinerja dalam penyusunan

    laporan akuntabilitas kinerja dilakukan dengan cara membandingkan target kinerja

    sebagaimana telah ditetapkan dalam penetapan kinerja pada awal tahun anggaran

    dengan realisasi kinerja yang telah dicapai pada akhir tahun anggaran.

    Laporan kinerja merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi

    yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah atas penggunaan anggaran. Hal

    terpenting yang diperlukan dalam penyusunan laporan kinerja adalah pengukuran kinerja

    dan evaluasi serta pengungkapan (disclosure) secara memadai hasil analisis terhadap

    pengukuran kinerja

    1. Indikator Kinerja Program Gizi

    a) Persentase Ibu Hamil KEK yang mendapatkan pemberian makanan

    Tambahan

    Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Upaya

    perbaikan status gizi masyarakat akan memberikan kontribusi nyata

    bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional terutama dalam hal penurunan

    prevalensi gizi kurang pada balita dan anak Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah

    (SD/MI) serta Kurang Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil, yang pada

    akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

    Kegiatan pembinaan gizi masyarakat yang akan dicapai dalam rangka

    pencapaian sasaran RPJMN 2015-2019, telah menetapkan 6 sasaran dan

    indikator kinerja yaitu : 1) Persentase ibu hamil KEK yang mendapat makanan

    tambahan, 2) Persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)

    90 tablet selama masa kehamilan, 3) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan

    yang mendapat ASI eksklusif, 4) Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi

    Menyusu Dini (IMD), 5) Persentase balita kurus yang mendapat makanan

    tambahan, 6) Persentase remaja puteri yang mendapat Tablet Tambah Darah

    (TTD).

    BAB III

  • 13

    Pemberian suplementasi gizi merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan

    dalam rangka mencukupi kekurangan kebutuhan gizi dari konsumsi makan

    harian yang berakibat pada timbulnya masalah kesehatan dan gizi pada

    kelompok rawan gizi. Salah satu program suplementasi yang saat ini

    dilaksanakan oleh pemerintah yaitu Pemberian Makanan Tambahan pada

    balita, anak SD/MI dan ibu hamil.

    Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk

    Suplementasi Gizi merupakan penyempurnaan sekaligus pengganti dari

    Kepmenkes Nomor 224/Menkes/SK/II/2007 Tentang Spesifikasi Teknis

    Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan Kepmenkes Nomor

    899/Menkes/SK/X/2009 Tentang Spesifikasi Teknis Makanan Tambahan Anak

    Balita 2-5 Tahun, Anak Usia Sekolah Dasar dan Ibu Hamil, disesuaikan dengan

    perkembangan hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam

    rangka penyesuaian dengan kebutuhan zat gizi pada tiap sasaran

    berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 serta perbaikan

    tampilan produk Makanan Tambahan (MT) telah pula dilakukan

    perubahan terhadap bentuk kemasan menyesuaikan dengan aturan pemberian.

    Pemberian Makanan Tambahan diberikan ke[ada sasaran utama yaitu Ibu hamil

    KEK (LilA , 23,5 cm) serta balita Kurus (BB/TB

  • TABEL.1 PERSENTASE IBU HAMIL KEK MENDAPAT PMT

    1 JEMBRANA

    2 TABANAN

    3 BADUNG

    4 GIANYAR

    5 KLUNGKUNG

    6 BANGLI

    7 KARANGASEM

    8 BULELENG

    9 DENPASAR

    B A L I

    NO KAB/KOTA

    Berdasarkan grafik

    Kronis (KEK) yang

    Selama 3 bulan.

    Faktor pendukung :

    1. Kerjasama dan k

    2. Peran serta mas

    97.5

    98.0

    98.5

    99.0

    99.5

    100.0

    98.6

    GRAFIK PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN

    PERSENTASE IBU HAMIL KEK MENDAPAT PMT

    JEMBRANA 276 272

    TABANAN 488 488

    BADUNG 677 677

    GIANYAR 413 413

    KLUNGKUNG 232 232

    185 185

    KARANGASEM 444 444

    BULELENG 1282 1282

    DENPASAR 707 707

    4704 4700

    KAB/KOTA

    PMT IBU HAMIL KEK

    Jumlah Ibu

    Hamil KEK

    Jumlah

    bumil KEK

    dapat MT

    % bumil

    KEK dapat

    GRAFIK.1

    diatas, terlihat bahwa masih ada ibu hamil Ku

    ang ada sudah mendapat Makanan Tambahan

    koordinasi lintas program yang baik

    asyarakat

    100 100 100 100 100 100 100 100 99.9

    GRAFIK PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN IBU HAMIL KEK

    14

    98,6

    100,0

    100,0

    100,0

    100,0

    100,0

    100,0

    100,0

    100,0

    99,9

    % bumil

    KEK dapat

    MT

    urang Energi

    bahan Pemulihan

    99.9

  • 15

    3. Tersedianya makanan tambahan sesuai kebutuhan Faktor penghambat :

    1. Geografis

    2. Sarana transportasi

    Upaya mengatasi :

    1. Melakukan kegiatan surveilans gizi

    2. Adanya kunjungan dokter spesialis kandungan dan kebidanan ke

    puskesmas

    b) Persentase ibu hamil yang mendapatkan Tablet Tambah Darah (TTD)

    Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan

    yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang. Badan

    kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi

    ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75% serta semakin

    meningkat seiring dengan pertambah usia kehamilan. Menurut WHO 40%

    kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan

    dan kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan

    perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi.Oleh karena

    itu, pemerintah memberikan tablet tambah darah pada seluruh ibu hamil minimal

    90 tablet selama kehamilan.

    Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) merupakan satu intervensi

    untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu selama proses kehamilan.

    Sebaiknya ibu hamil mulai mengonsumsi TTD sejak konsepsi sampai akhir

    trimester III. Indikator ini sebagai evaluasi kinerja apakah TTD sudah diberikan

    kepada seluruh sasaran. Definisi Operasional

    1) TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi

    setara dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang

    disediakan oleh pemerintah maupun diperoleh sendiri.

    2) Ibu hamil mendapat 90 TTD adalah jumlah ibu hamil usia kehamilan

    akhir trimester III yang selama kehamilan mendapat minimal 90 TTD

    terhadap jumlah sasaran ibu hamil usia kehamilan akhir trimester III

    dikali 100%

  • 16

    TABEL 2. CAKUPAN IBU HAMIL MENDAPAT TABLET TAMBAH DARAH 90 TABLET

    1 JEMBRANA 4348 4250 97,7

    2 TABANAN 5710 5310 93,0

    3 BADUNG 11502 11152 97,0

    4 GIANYAR 7775 6761 87,0

    5 KLUNGKUNG 2734 2805 102,6

    6 BANGLI 3686 3319 90,0

    7 KARANGASEM 6978 6865 98,4

    8 BULELENG 11013 10365 94,1

    9 DENPASAR 17187 17135 99,7

    70933 67962 95,8

    % bumil

    dapat TTD

    min 90

    tablet

    NO KAB/KOTA

    B A L I

    Ibu Hamil

    Bumil

    dapat TTD

    min 90

    tablet

    Grafik 2

    GRAFIK CAKUPAN IBU HAMIL MENDAPAT 90TABLET TAMBAH DARAH

    TAHUN 2019

    Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa cakupan pemberian tablet tambah

    darah 90 tablet pada ibu hamil di tingkat provinsi sudah mencapai 95,4% dan

    terendah terdapat di Kabupaten Gianyar (87,0%)

    97.7

    93.0

    97.0

    87.0

    102.6

    90.0

    98.4

    94.1

    99.7

    95.8

    75.0

    80.0

    85.0

    90.0

    95.0

    100.0

    105.0

    GRAFIK IBUU HAMIL MENDAPAT 90 TABLET TAMBAH DARAH

  • 17

    Faktor pendukung :

    1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik

    2. Peran serta masyarakat

    3. Tersedianya tablet tambah darah

    Faktor penghambat :

    1. Geografis

    2. Sarana transportasi

    3. Kurangnya tingkat pegetahuan ibu tentang pentingnya mengkonsumsi tablet

    tambah darah

    Upaya mengatasi masalah :

    1. Melakukan konseling dan penyuluhan pada ibu hamil

    c) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI Esklusif

    ASI eksklusif adalah intervensi yang paling efektif untuk mencegah kematian anak.

    Hanya sepertiga penduduk Indonesia secara eksklusif menyusui anak-anak mereka

    pada enam bulan pertama. Ada banyak hambatan untuk menyusui di Indonesia,

    termasuk anggota keluarga dan dokter yang tidak mendukung. Beberapa ibu juga

    takut menyusui akan menyakitkan dan tidak praktis, tapi salah satu kendala terbesar

    adalah kesalahpahaman dari istilah 'eksklusif'.

    Anak-anak yang diberi diberi ASI eksklusif 14 kali lebih kecil kemungkinannya

    untuk meninggal dalam enam bulan pertama dari pada anak yang tidak disusui.

    ASI juga dapat mengurangi kematian akibat infeksi saluran pernapasan akut

    dan diare (Lancet, 2008). WHO merekomendasikan ibu diseluruh dunia untuk

    menyusui secara eksklusif selama enam bulan pertama untuk mencapai

    pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal. selanjutnya, mereka

    harus memberi makanan pendamping yang bergizi dan terus menyusui hingga

    bayi berusia dua tahun atau lebih.

    Definisi Operasional

    1) Bayi umur 6 bulan adalah seluruh bayi yang mencapai umur 5 bulan 29

    hari

    2) Bayi mendapat ASI Eksklusif 6 bulanadalah bayi sampai umur 6 bulan

    yang diberi ASI saja tanpa makanan atau cairan lain kecuali obat, vitamin

    dan mineral sejak lahir

  • 18

    3) Persentase bayi umur 6 bulan mendapat ASI Eksklusif adalah jumlah

    bayi mencapai umur 5 bulan 29 hari mendapat ASI Eksklusif 6 bulan

    terhadap jumlah seluruh bayi mencapai umur 5 bulan 29 hari dikali

    100%

    PERSENTASE BAYI UMUR KURANG 6 BULAN MENDAPAT ASI EKSKLUSIF

    1 JEMBRANA 1736 1483 85,4

    2 TABANAN 5482 3713 67,7

    3 BADUNG 5135 3628 70,7

    4 GIANYAR 5776 4485 77,6

    5 KLUNGKUNG 2633 1896 72,0

    6 BANGLI 3164 2809 88,8

    7 KARANGASEM 3265 2526 77,4

    8 BULELENG 4110 2894 70,4

    9 DENPASAR 2501 1500 60,0

    33802 24934 73,8

    PERSENTASE

    ASI

    EKSKLUSIF

    B A L I

    NO KAB/KOTA

    Jumlah

    Bayi lahir

    hidup

    Jumlah bayi

  • 19

    Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa cakupan ASI Eksklusif pada bayi umur 6

    bulan di Provinsi Bali sebesar 73,8%, sedang cakupan terendah terdapat di Kota

    Denpasar yakni 60%.

    Faktor pendukung :

    1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik

    2. Kemauan ibu dalam memberikan ASI eksklusif

    3. Dukungan keluarga dalam mendukung pemberian ASI eksklusif

    Faktor penghambat :

    1. Gencarnya promosi susu formula

    2. Kurangnya pengetahuan ibu

    Upaya mengatasi masalah :

    1. Melakukan konseling dan penyuluhan pada ibu hamil dan keluarga

    d) Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

    IMD atau Inisiasi Menyusui Dini merupakan langkah yang harus segera dilakukan

    setelah bayi lahir dengan cara meletakkan bayi di atas perut (rahim) sang ibu.

    Proses ini akan membuat bayi mencari puting ibu secara alamiah dengan

    upayanya sendiri, untuk merangsang keluarnya ASI pertama kali.

    IMD sangat erat kaitannya dengan kemampuan ibu untuk menghasilkan ASI

    sebagai sumber nutrisi si kecil.ASI yang keluar karena IMD memberikan segala

    macam nutrisi yang dibutuhkan bayi di awal kehidupan terutama untuk

    pembentukan sel-sel otak. Bayi yang mendapatkan cukup ASI akan tumbuh

    menjadi anak hebat yang memiliki kemampuan IQ dan

    EQ. Kemampuan IQ (intelegensi) misalnya kemampuan berhitung, berbahasa

    dan mempunyai memori kuat. Sedangkan, kemampuan EQ

    (emosional) seperti memiliki rasa peduli terhadap sekitarnya, cepat

    tanggap pada informasi baru juga mudah bersosialisasi.

    Inisiasi Menyusu Dini dilaksanakan dengan tahapan, setelah bayi lahir dan

    dipotong tali pusatnya, dengan tidak menghilangkan vernik (lender) pada tubuh

    bayi kecuali di bagian wajah, bayi ditengkurapkan di perut ibu. Selanjutnya

    dibutuhkan waktu paling cepat 1 jam hingga bayi menenukan putting susu ibunya.

    Proses inilah yang disebut Inisiasi Menyusu Dini (IMD).

  • 20

    Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam waktu 1 jam setelah kelahiran,

    melindungi bayi yang baru lahir dari tertular infeksi dan mengurangi angka

    kematian bayi baru lahir. IMD merupakan salah satu indikator keberhasilan

    pelayanan kesehatan pada ibu hamil.

    Definisi Operasional

    1) Inisiasi Menyusu Dini (IMD)adalah proses menyusu dimulai segera

    setelah lahir. IMD dilakukan dengan cara kontak kulit ke kulit antara

    bayi dengan ibunya segera setelah lahir dan berlangsung minimal 1

    (satu) jam

    2) Persentase bayi baru lahir yang mendapat IMDadalah jumlah bayi

    baru lahir hidup yang mendapat IMD terhadap jumlah bayi baru lahir

    hidup dikali 100%

    PERSENTASE BAYI BARU LAHIR MENDAPAT INISIASI MENYUSU DINI

    JUMLAH %4 5 6

    1 JEMBRANA 3.954 2.338 59,1

    2 TABANAN 5.752 2.551 44,3

    3 BADUNG 10.560 7.087 67,1

    4 GIANYAR 6.593 2.910 44,1

    5 KLUNGKUNG 2.665 1.433 53,8

    6 BANGLI 3.262 1.848 56,7

    7 KARANGASEM 6.878 4.680 68,0

    8 BULELENG 9.338 5.661 60,6

    9 DENPASAR 16.538 8.819 53,3

    65.540 37.327 57,0

    NO KAB/KOTA

    B A L I

    BAYI BARU LAHIR

    JUMLAHMENDAPAT IMD

    Tabel 4

  • 21

    Grafik.4

    GRAFIK BAYI BARU LAHIR MENDAPAT INISIASI MENYUSU DINI

    Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa cakupan bayi mendapat Inisiasi

    Menyusu Dini sudah mencapai dicapai target yang ditetapkan yaki 50%. Namun

    demikian, masih ada beberapa kabupaten/kota dengan capaian dibawah target yakni

    Kabupaten Tabanan, dan Gianyar dengan capaian terendah.

    Faktor pendukung :

    1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik

    2. Pengetahuan ibu hamil

    Faktor penghambat :

    1. Kurangnya informasi tentang IMD kepada masyarakat

    2. Kurangnya pengetahuan ibu

    Upaya mengatasi masalah :

    1. Melakukan konseling dan penyuluhan pada ibu hamil dan keluarga saat

    pemeriksaan kehamilan

    2. Meningkatkan penyuluhan dan pendampingan ibu hamil melalui kader dan

    mahasiswa

    3. Melakukan sosialisasi pada tenaga pelayanan kesehatan untuk melakukan IMD

    sesuai standar yang ditetapkan

    59.1

    44.3

    67.1

    44.1

    53.8 56.7

    68.060.6

    53.357.0

    0.0

    10.0

    20.0

    30.0

    40.0

    50.0

    60.0

    70.0

    80.0

    GRAFIK BAYI MENDAPAT IMD

  • 22

    e) Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan

    Gambaran prevalensi status gizi Balita diperoleh dari hasil Riset Kesehatan Dasar

    (Riskesdas) yang menjadi salah satu dasar untuk menetapkan kebijakan berbasis

    bukti hanya dilakukan 3-5 tahun sekali. Hasil yang berhasil dipotret adalah

    prevalensi gizi kurang/kekurangan gizi (underweight) pada anak usia di bawah lima

    tahun (Balita) serta prevalensi pendek dan sangat pendek (stunting) pada anak

    usia di bawah dua tahun (Baduta).

    Untuk mengawal upaya perbaikan gizi masyarakat sejak tahun 2014 telah

    dilaksanakan surveilans gizi berupa Pemantauan Status Gizi (PSG) pada 34

    provinsi, sebagai alat untuk monitoring dan evaluasi kegiatan dan dasar penentuan

    kebijakan dan perencanaan kegiatan berbasis bukti yang spesifik wilayah. PSG

    sebagai upaya monitoring dan evaluasi keberhasilan progam perbaikan gizi guna

    memberikan petunjuk apakah program yang dijalankan sudah berdampak pada

    penurunan masalah gizi seperti yang diharapkan yaitu menurunkan

    prevalensi stunting, underweight dan wasting. Oleh karena itu, PSG perlu

    dijalankan setiap tahun.

    Pada 2014, PSG diselenggarakan di 134 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia,

    sementara PSG 2015 dilaksanakan di 496 Kabupaten dan Kota di 34 Provinsi.

    Pada 2016, PSG berhasil ditingkatkan lagi cakupannya, berhasil dilaksanakan di

    514 kabupaten dan kota di 34 Provinsi.

    PSG menyediakan data dan informasi status gizi Balita, remaja, dewasa, WUS, ibu

    hamil dan nifas serta konsumsi Ibu hamil secara cepat, akurat, teratur, dan

    berkelanjutan untuk penyusunan perencanaan dan perumusan kebijakan program

    gizi.

    Secara singkat, berikut adalah beberapa data yang terdapat di dalam Hasil PSG

    2017 tersebut, antara lain: Informasi mengenai status gizi pada anak Balita

    1. Balita yang memiliki tinggi badan dan berat badan ideal (TB/U

    normal dan BB/TB normal) jumlahnya 61,1%. Masih ada 38,9%

    Balita di Indonesia yang masing mengalami masalah gizi,

    terutama Balita dengan tinggi badan dan berat badan (pendek –

    normal) sebesar 23,4% yang berpotensi akan mengalami

    kegemukan.

    2. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada Balita, terdapat 3,4%

    Balita dengan gizi buruk dan 14,4% gizi kurang. Masalah gizi

    buruk-kurang pada Balita di Indonesia merupakan masalah

  • 23

    kesehatan masyarakat yang masuk dalam kategori sedang

    (Indikator WHO diketahui masalah gizi buruk-kurang sebesar

    17,8%).

    3. Prevalensi Balita pendek cenderung tinggi, dimana terdapat 8,5%

    Balita sangat pendek dan 19,0% Balita pendek. Masalah Balita

    pendek di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat

    masuk dalam kategori masalah kronis (berdasarkan WHO

    masalah Balita pendek sebesar 27,5%).

    4. Prevalensi Balita kurus cukup tinggi dimana terdapat 3,1% balita

    yang sangat kurus dan 8,0% Balita yang kurus. Masalah Balita

    kurus di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat

    yang masuk dalam kategori akut (berdasarkan WHO diketahui

    masalah Balita kurus sebesar 11,1%.

    Tabel 5 Hasil PSG. Hasil PSG di Provinsi Bali

    NO

    KABUPATEN/

    KOTA

    PREVALENSI

    BURUK/KURANG

    KURUS/WASTED

    PENDEK/STUNTED Masalah Gizi

    2015

    2016

    2017

    2015

    2016

    2017

    2015

    2016

    2017

    1

    JEMBRANA

    11,8

    13,0

    12,8 5,4

    6,8

    12,9

    25,5

    23,1

    25,2 Akut+Kronis

    2

    TABANAN

    9,0

    5,9

    7,7 2,8

    5,0

    6

    19,0

    15,8

    16,2 Akut

    3

    BADUNG

    4,7

    2,6

    7,4 5,6

    4,3

    7,8

    13,6

    11,5

    14,8 Akut

    4

    GIANYAR

    7,9

    6,0

    7,7 7,4

    4,7

    5,5

    15,8

    13,6

    22,5 Akut+Kronis

    5

    KLUNGKUNG

    8,0

    12,2

    5,2 5,5

    8,9

    3,9

    13,1

    20,3

    16,3 -

    6

    BANGLI

    10,1

    11,9

    10,2 6,2

    6,0

    4,3

    28,6

    25,7

    28,4 Akut+kronis

    7

    KARANGASEM

    9,4

    14,4

    13,5 6,8

    5,7

    5,2

    27,5

    26,1

    23,6 Akut+Kronis

    8

    BULELENG

    12,2

    8,8

    14,4 7,0

    3,8

    8,9

    25,3

    24,2

    29,0 Akut+Kronis

    9

    DENPASAR

    8,2

    7,4

    3,5 6,1

    5,5

    3,8

    18,4

    16,1

    9,5 -

    BALI

    9,0

    9,1

    8,6 5,9

    5,5

    6,3

    20,7

    19,7

    19,1 Akut

  • 24

    Indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U) memberikan indikasi masalah

    gizi secara umum karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi

    badan. Berat badan menurut umur rendah dapat disebabkan karena pendek

    (masalah gizi kronis) atau menderita atau menderita penyakit infeksi (masalah gizi

    akut).

    Berdasarkan data diatas terlihat bahwa prevalensi balita gizi kurang (BB/U 5%.

    Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara

    10,1% - 15,0%, dan dianggap kritis bila prevalensi kurus sudah di atas 15,0%

    (UNHCR).

    Berdasarkan data diatas terlihat, bahwa prevalensi balita kurus pada tahun 2015

    dibandingkan tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 0,4% dan meningkat

    sebesar 0,8% bila dibandingkan tahun 2016 dan tahun 2017. Kondisi ini

    menunjukkan bahwa prevalensi Balita kurus sudah tergolong masalah

    kesehatan.

    Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi

    yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama.

    Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan

  • 25

    yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi

    pendek.

    Gambar diatas menunjukkan bahwa prevalensi balita pendek (sangat pendek +

    pendek) di Provinsi Bali masih baik, walaupun tahun 2015 sebesar 20,6% yang

    tergolong masalah ringan (20 – 30%) dan tahun 2016 sebesar 19,7% tergolong

    baik (

  • 26

    Definisi Operasional : 1) Balita kurus adalah anak usia 6 bulan 0 hari sampai dengan 59 bulan 29 hari

    dengan status gizi kurus (BB/PB atau BB/TB - 3 SD sampai dengan < - 2 SD)

    2) Makanan Tambahan adalah makanan yang dikonsumsi sebagai

    tambahan asupan zat gizi diluar makanan utama dalam bentuk makanan

    tambahan pabrikan atau makanan tambahan bahan pangan lokal

    3) Persentase balita kurus mendapat makanan tambahan adalah jumlah

    balita kurus yang mendapat makanan tambahan terhadap jumlah balita

    kurus dikali 100%.

    TABEL 7. PERSENTASE BALITA KURUS DAPAT PMT DI PROVINSI BALI

    TAHUN 2019

    1 JEMBRANA 276 272 98,6

    2 TABANAN 488 488 100,0

    3 BADUNG 677 677 100,0

    4 GIANYAR 413 413 100,0

    5 KLUNGKUNG 232 232 100,0

    6 BANGLI 185 185 100,0

    7 KARANGASEM 444 444 100,0

    8 BULELENG 1282 1282 100,0

    9 DENPASAR 707 707 100,0

    4704 4700 99,9B A L I

    Jumlah

    Balita

    Kurus

    Jumlah

    Balita kurus

    dapat MT

    % Jumlah

    Balita kurus

    dapat MT

    NO KAB/KOTA

  • 27

    GRAFIK 5

    Berdasarkan grafik tersebut, menunjukkan bahwa semua balita kurus yang

    ditemukan, telah mendapat makanan tambahan.

    Faktor pendukung :

    1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik

    2. Peran serta masyarakat

    3. Tersedianya makanan tambahan sesuai kebutuhan

    Faktor penghambat :

    1. Geografis

    2. Sarana transportasi

    3. Masih sering terjadi interpretasi hasil penimbangan salah di posyandu

    4. Banyaknya tugas rangkap bagi pelaksana gizi puskesmas

    5. Kurangnya sarana antropometri kit di posyandu

    6. Belum semua kabupaten kota dan provinsi memiliki kebijakan/regulasi

    khususnya terkait stunting

    7. Kurangnya dukungan pemegang kebijakan daerah dalam penanganan

    masalah gizi

    8. Kurangnya peran serta masyarakat dalam penimbangan balita di posyandu

    Upaya mengatasi masalah :

    1. Melakukan kegiatan surveilans gizi melalui kegiatan operasi timbang

    2. Meyusun regulasi penanganan stunting di kabupaten/kota dan provinsi

    100 100 100 100

    93.0

    100 100 100 100 99.9

    88

    90

    92

    94

    96

    98

    100

    102

    GRAFIK BALITA KURUS MENDAPAT PMT

  • 28

    f) Persentase remaja putri yang mendapat tablet tambah darah (TTD)

    Anemia Gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin dalam darah yang disebabkan

    karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut.

    Remaja putri adalah masa peralihan dari anak menjadi dewasa , ditandai dengan

    perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik ditandai dengan berfungsinya alat

    reproduksi seperti menstruasi (umur 10-19 th). Wanita usia subur adalah wanita

    pada masa atau peroide dimana dapat mengalami proses reproduksi . Ditandai

    masih mengalami menstruasi (umur 15-45 th).

    Dampak apabila remaja puteri tidak diberikan tablet tambah darah akan berdampak

    terhadap anemia. Anemia akan berdampak pada :

    1. Menurunnya kesehatan reproduksi.

    2. Terhambatnya perkembangan motorik, mental dan kecerdasan.

    3. Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar

    4. Konsentrasi belajar menurun sehingga prestasi belajar rendah dan dapat

    menurunkan produktivitas kerja.

    5. Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal.

    6. Menurunkan tingkat kebugaran.

    Berdasarkan data capaian pemberian tablet tambah darah pada remaja puteri di

    Provinsi Bali dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

    Prevalensi anemia di Indonesia pada perempuan usia 15 tahun keatas

    sebesar 22,7%. Remaja yang menderita anemia akan mengalami gangguan

    kehamilan jika tidak segera ditangani. Pemberian TTD pada remaja putri

    (rematri) usia 12 – 18 tahun sebagai upaya pencegahan anemia sejak dini.

    Pemberian TTD rematri yang diikuti dengan KIE gizi dan kesehatan

    diharapkan akan memperbaiki masalah-masalah pada periode berikutnya.

    Perlu dilakukan monitoring pemberian TTD, untuk mengetahui pemenuhan

    kebutuhan TTD pada remaja putri. Dalam kegiatan ini, diasumsikan seluruh

    remaja putri wajib sekolah.

    Definisi Operasional

    1) Remaja Putri adalah remaja putri yang berusia 12 -18 tahun yang

    bersekolah di SMP/SMA atau sederajat

    2) TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi setara

    dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang disediakan

    oleh pemerintah maupun diperoleh secara mandiri

  • 60

    3) Remaja putri mendapat TTD adalah jumlah remaja putri yang

    mendapat TTD secara rutin setiap minggu sebanyak 1 tablet.

    4) Persentase remaja putri mendapat TTD adalah jumlah remaja putri

    yang mendapat TTD secara rutin setiap minggu terhadap jumlah

    remaja putri yang ada dikali 100%

    1 JEMBRANA 16.333 16.333 100,0

    2 TABANAN 16.962 16.708 98,5

    3 BADUNG 25.494 25.405 99,7

    4 GIANYAR 22.488 22.488 100,0

    5 KLUNGKUNG 9.139 9.139 100,0

    6 BANGLI 9.933 9.933 100,0

    7 KARANGASEM 16.680 16.680 100,0

    8 BULELENG 32.374 32.374 100,0

    9 DENPASAR 38.182 38.007 99,54

    187.585 187.067 99,7 BALI

    NOKABUPATEN /

    KOTA

    JUMLAH

    REMAJA

    PUTRI

    JUMLAH

    REMAJA PUTRI

    YANG

    % REMAJA

    PUTRI YANG

    MENDAPAT

    Tabel 8

    Grafik 6

    100

    98.5

    99.7100 100 100 100 100

    99.599.7

    97.5

    98

    98.5

    99

    99.5

    100

    100.5

    GRAFIK PERSENTASE REMAJA PUTRI MENDAPAT TABLET TAMBAH DARAH

  • 60

    Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa capaian remaja putri mendapat tablet

    tambah darah di Provinsi Bali mencapai 99,7%, Kabupaten Tabanan

    memiliki capaian terendah yakni 98,5%.

    Faktor pendukung :

    1. Kerjasama dengan koordinasi lintas program dan linta sektor yang baik

    2. Ketersediaan tablet tambah darah

    Faktor penghambat :

    1. Kurangnya informasi tentang manfaat pemberian tablet tambah darah

    bagi remaja putri

    2. Terbatasnya SDM di tingkat puskesmas

    Upaya mengatasi masalah :

    1. Melakukan sosialisasi di sekolah, media maupun workshop.

    Saran :

    Masih tingginya prevalensi masalah gizi yang ada di Provinsi Bali terutama

    stunting, perlu dilakukan upaya – upaya sebagai berikut :

    1. Penetapan regulasi penanganan stunting baik di kabupaten/kota

    maupun provinsi

    2. Pelaksanaan terintegrasi dalam penanganan stunting, baik

    yang dilakukan oleh sektor kesehatan maupun diluar sektor kesehatan

    3. Pemenuhan SDM yang sesuai di tingkat puskesmas

    4. Pemenuhan sarana antropometri kit di tingkat posyandu

  • 2. Indikator Program Kesga

    a) Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)

    Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama atau yang dikenal

    KN1, merupakan indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang

    untuk mengurangi risiko kematian pada periode neonatal yaitu 6

    lahir, dengan cara mendeteksi sedini mungkin permasalahan yang mungkin

    dihadapi bayi baru lahir, sekaligus memastikan pelayanan yang seharusnya

    didapatkan oleh bayi baru lahir yang diantaranya terdiri dari konseling perawatan

    bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian Vitamin K1 injeksi (bila belum diberikan)

    dan Hepatitis B 0 (nol) injeksi (bila belum dberikan). Kunjungan ini dilakukan

    dengan pendekatan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda).Perhitungan cakupan

    ini dilakukan dengan cara membandingkan bayi baru lahir yang mendapatkan

    kunjungan neonatal pertama dengan jumlah selu

    yang kemudian dikonversi dalam bentuk persentase.

    Analisa Capaian Kinerja

    1. Faktor Pendukung

    a. Adanya peningkatan kapasitas, orientasi untuk tenaga kesehatan dalam

    upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal

    b. Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang

    Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,

    Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta

    Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu

    esga

    Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)

    Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama atau yang dikenal dengan sebutan dengan

    KN1, merupakan indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang

    untuk mengurangi risiko kematian pada periode neonatal yaitu 6 - 48 jam setelah

    lahir, dengan cara mendeteksi sedini mungkin permasalahan yang mungkin

    dihadapi bayi baru lahir, sekaligus memastikan pelayanan yang seharusnya

    didapatkan oleh bayi baru lahir yang diantaranya terdiri dari konseling perawatan

    bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian Vitamin K1 injeksi (bila belum diberikan)

    B 0 (nol) injeksi (bila belum dberikan). Kunjungan ini dilakukan

    dengan pendekatan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda).Perhitungan cakupan

    ini dilakukan dengan cara membandingkan bayi baru lahir yang mendapatkan

    kunjungan neonatal pertama dengan jumlah seluruh bayi baru lahir di wilyahnya

    yang kemudian dikonversi dalam bentuk persentase.

    Analisa Capaian Kinerja

    Grafik 7

    Adanya peningkatan kapasitas, orientasi untuk tenaga kesehatan dalam

    upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal

    Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang

    Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan

    Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta

    Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu

    dengan sebutan dengan

    KN1, merupakan indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang dilakukan

    48 jam setelah

    lahir, dengan cara mendeteksi sedini mungkin permasalahan yang mungkin

    dihadapi bayi baru lahir, sekaligus memastikan pelayanan yang seharusnya

    didapatkan oleh bayi baru lahir yang diantaranya terdiri dari konseling perawatan

    bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian Vitamin K1 injeksi (bila belum diberikan)

    B 0 (nol) injeksi (bila belum dberikan). Kunjungan ini dilakukan

    dengan pendekatan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda).Perhitungan cakupan

    ini dilakukan dengan cara membandingkan bayi baru lahir yang mendapatkan

    ruh bayi baru lahir di wilyahnya

    Adanya peningkatan kapasitas, orientasi untuk tenaga kesehatan dalam

    upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal

    Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang

    Persalinan, dan

    Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta

    Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu

  • 60

    c. Pelaksanaan Kelas Ibu (Kelas Ibu Hamil dan Kelas Balita)

    d. Dukungan kegiatan luar gedung untuk kunjungan bayi dari dana BOK, dll

    e. Monitoring dan evaluasi secara berjenjang

    2. Faktor Penghambat

    a. sistem pencatatan dan pelaporan yang belum sesuai seperti yang diharapkan

    misalnya penolong persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan tidak mencatat

    dengan benar pelayanan yang telah diberikan dan juga belum optimalnya

    pemakaian form Manajemen Terpadu Bayi Muda pada kunjungan

    neonatalmerupakan kendala dalam pencapaian KN1

    b. masih kurangnya pemberdayaan keluarga/masyarakat terhadap penggunaan buku

    KIA

    c. kurangnya kepatuhan petugas dalam menjalankan pelayanan sesuai pedoman.

    3. Upaya Pencapaian

    Upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelaksanaan KN 1 di integrasikan dan

    menjadi satu kesatuan dengan kegiatan upaya mendorong persalinan difasilitas

    kesehatan. Melalui persalinan di fasilitas kesehatan maka diharapkan bayi yang

    dilahirkan juga akan mendapatkan pelayanan sesuai standar.

    Selain kegiatan yang telah diintegrasikan beberapa kegiatan terkait kunjungan

    neonatal ini antara lain :

    a. Sosialisasi kepada masyarakat saat event nasional sebagai contoh adalah saat

    Perayaan Hari Anak Nasional Tahun 2017

    b. Evaluasi pelaksanaan kunjungan neonatal dalam kaitannya dengan penurunan

    AKB. Untuk menambah jumlah SDM kesehatan yang memahami kunjungan

    neonatal maka dilaksanakan juga orientasi tim pengkaji AMP, Orientasi Skrining

    Bayi Baru Lahir, dan Orientasi Tenaga Kesehatan dalam MTBM MTBS.

    b) Persentase Ibu Hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal ke empat (K4)

    Perssentase ibu hamil yang mendapatkan Pelayanan Antenatal

  • 60

    pada triwulan pertama, 1 kali pada triwulan kedua, dan 2 kali pada triwulan ketiga.

    Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan

    kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan penanganan

    komplikasi (Kemenkes RI, 2010).

    Pelayanan antenatal diupayakan agar memenuhi standar kualitas, yaitu :

    a. Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan;

    b. Pengukuran tekanan darah;

    c. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA);

    d. Pengukuran tinggi puncak rahim (fundusuteri);

    e. Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai

    status imunisasi;

    f. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan;

    g. Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (djj);

    h. Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling,

    termasuk keluarga berencana);

    i. Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb),

    pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah

    dilakukan sebelumnya); dan

    j. Tatalaksana kasus.

    Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator

    Cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh

    pelayanan antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan, dibandingkan jumlah sasaran ibu

    hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu tahun. Sedangkan cakupan K4 adalah jumlah

    ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit

    4 kali sesuai jadwal yang dianjurkan, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah

    dalam kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan

    kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan

    kehamilannya ke tenaga kesehatan.

  • Analisa Capaian Kinerja

    Sumber : KomdatKesga2019

    Dilihat dari grafik diatas, cakupan K1 dan K4 terendah ada di Kabupaten

    yaitu K1 sebanyak 85,95%, K4

    karena tidak semua kunjungan K1 murni ( kunjungan K1 saat triwulan I kehamilan)

    sehingga bumil yang tidak K1 murni tidak standar untuk mendapat pelayanan K4 dima

    standar pelayanan K4 adalah 1 kali kunjungan saat triwulan I, satu kali saaat triwulan II dan

    dua kali kujungan saat triwulan III.

    Renja Tahun 2017)

    belum dapat dicapai oleh 9 kabupaten kota

    triwulan I, penyebab lainnya adalah adanya kejadian abortus, kematian maternal, mobilitas

    ibu hamil (perpindahan) dan sasaran proyeksi yang terlalu tinggi. Dari empat indikator

    prioritas (K1,K4,PF dan Kn1) capaian teren

    keseluruhan di provinsi Bali capaian rata

    belum bisa mencapai target 100 %, begitu juga dengan K4 dan Persalinan di Faskes.

    Analisa Capaian Kinerja

    Grafik 8

    cakupan K1 dan K4 terendah ada di Kabupaten Karangasem

    terendah 83,83% Kabupaten Gianyar, hal ini disebabkan

    karena tidak semua kunjungan K1 murni ( kunjungan K1 saat triwulan I kehamilan)

    sehingga bumil yang tidak K1 murni tidak standar untuk mendapat pelayanan K4 dima

    standar pelayanan K4 adalah 1 kali kunjungan saat triwulan I, satu kali saaat triwulan II dan

    dua kali kujungan saat triwulan III. Target 99 % untuk K1 dan 97% untuk K4 (sesuai target

    belum dapat dicapai oleh 9 kabupaten kota. Selain karena belum semua ibu hamil akses di

    triwulan I, penyebab lainnya adalah adanya kejadian abortus, kematian maternal, mobilitas

    ibu hamil (perpindahan) dan sasaran proyeksi yang terlalu tinggi. Dari empat indikator

    prioritas (K1,K4,PF dan Kn1) capaian terendah ada di kabupaten Gianyar, sedangkan untuk

    keseluruhan di provinsi Bali capaian rata-rata diatas 95%. Untuk Provinsi Bali, capaian K1

    belum bisa mencapai target 100 %, begitu juga dengan K4 dan Persalinan di Faskes.

    Karangasem

    hal ini disebabkan

    karena tidak semua kunjungan K1 murni ( kunjungan K1 saat triwulan I kehamilan)

    sehingga bumil yang tidak K1 murni tidak standar untuk mendapat pelayanan K4 dimana

    standar pelayanan K4 adalah 1 kali kunjungan saat triwulan I, satu kali saaat triwulan II dan

    Target 99 % untuk K1 dan 97% untuk K4 (sesuai target

    arena belum semua ibu hamil akses di

    triwulan I, penyebab lainnya adalah adanya kejadian abortus, kematian maternal, mobilitas

    ibu hamil (perpindahan) dan sasaran proyeksi yang terlalu tinggi. Dari empat indikator

    dah ada di kabupaten Gianyar, sedangkan untuk

    rata diatas 95%. Untuk Provinsi Bali, capaian K1

    belum bisa mencapai target 100 %, begitu juga dengan K4 dan Persalinan di Faskes.

  • Kesenjangan pencapaian K1 ke K4 tidak

    lebih baik lagi kedepannya karena akses ibu hamil di triwulan I (K1 Murni) adalah sebagai

    upaya salah satu mendapat layanan ANC standar. Capaian KN 1 yang melebihi capaian

    persalinan faskes terjadi di semua

    kemungkinan disesbabkan oleh adanya kelahiran kembar (gemelli), perpindahan ibu hamil

    dan sisa persalinan tahun sebelumnya.

    Cakupan K1 dan K4 di Provinsi Bali dalam

    Dari grafik 7 diatas dapat terlihat bahwa secara umum relatif stabil

    namun terjadi penurunan cakupan K4

    meningkat menjadi 94,49%. walaupun pada tahun 2013 sempat cakupan K4 melebihi

    cakupan K1, dan tahun 2 Ada kesenjangan yang terjadi antara cakupan K1 dan K4

    kesenjangan tertinggi terjadi tahun 2017 yaitu sebesar

    antara cakupan K1 dan K4 sebes

    Kesenjangan antara cakupan K1 dan K4 menunjukkan angka

    lain jika kesenjangan K1 dengan K4 kecil maka hampir semua ibu hamil yang melakukan

    kunjungan pertama pelayanan antenatal

    pada kunjungan ke dua trisemester ketiga kehamilannya dengan kata lain seluruh ibu hamil

    telah mendapatkan pelayanan kehamilannya sesuai dengan standar. Hal ini dapat

    meminimalisir kematian ibu melahirkan. Berikut

    Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2014

    Kesenjangan pencapaian K1 ke K4 tidak melebihi 10%, namun kinerja nakes dituntut harus

    lebih baik lagi kedepannya karena akses ibu hamil di triwulan I (K1 Murni) adalah sebagai

    upaya salah satu mendapat layanan ANC standar. Capaian KN 1 yang melebihi capaian

    persalinan faskes terjadi di semua kabupaten/kota, bahkan ada yang melebihi 100%, hal ini

    kemungkinan disesbabkan oleh adanya kelahiran kembar (gemelli), perpindahan ibu hamil

    dan sisa persalinan tahun sebelumnya.

    Cakupan K1 dan K4 di Provinsi Bali dalam enam tahun terakhir dapat dilihat dibawah ini;

    Grafik.7

    diatas dapat terlihat bahwa secara umum relatif stabil untuk capaian K1

    penurunan cakupan K4 mulai tahun 2014 sampai akhir 2017

    walaupun pada tahun 2013 sempat cakupan K4 melebihi

    cakupan K1, dan tahun 2 Ada kesenjangan yang terjadi antara cakupan K1 dan K4

    kesenjangan tertinggi terjadi tahun 2017 yaitu sebesar. Pada tahun 2015 terjadi selisih

    antara cakupan K1 dan K4 sebesar 5,4% dan pada tahun 2016 sebesar

    Kesenjangan antara cakupan K1 dan K4 menunjukkan angka drop out K1-K4, dengan kata

    lain jika kesenjangan K1 dengan K4 kecil maka hampir semua ibu hamil yang melakukan

    kunjungan pertama pelayanan antenatal selalu berkunjung ke pelayanan kesehatan sampai

    pada kunjungan ke dua trisemester ketiga kehamilannya dengan kata lain seluruh ibu hamil

    telah mendapatkan pelayanan kehamilannya sesuai dengan standar. Hal ini dapat

    meminimalisir kematian ibu melahirkan. Berikut trend capaian K4 dalam Renstra Dinas

    Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2014-2018 :

    Grafik 9

    melebihi 10%, namun kinerja nakes dituntut harus

    lebih baik lagi kedepannya karena akses ibu hamil di triwulan I (K1 Murni) adalah sebagai

    upaya salah satu mendapat layanan ANC standar. Capaian KN 1 yang melebihi capaian

    kabupaten/kota, bahkan ada yang melebihi 100%, hal ini

    kemungkinan disesbabkan oleh adanya kelahiran kembar (gemelli), perpindahan ibu hamil

    ibawah ini;

    untuk capaian K1,

    mulai tahun 2014 sampai akhir 2017,tahun 2018

    walaupun pada tahun 2013 sempat cakupan K4 melebihi

    cakupan K1, dan tahun 2 Ada kesenjangan yang terjadi antara cakupan K1 dan K4 dengan

    . Pada tahun 2015 terjadi selisih

    ar 5,4% dan pada tahun 2016 sebesar 7,3 %.

    K4, dengan kata

    lain jika kesenjangan K1 dengan K4 kecil maka hampir semua ibu hamil yang melakukan

    berkunjung ke pelayanan kesehatan sampai

    pada kunjungan ke dua trisemester ketiga kehamilannya dengan kata lain seluruh ibu hamil

    telah mendapatkan pelayanan kehamilannya sesuai dengan standar. Hal ini dapat

    dalam Renstra Dinas

  • 60

    Mengacu pada dokumen Renstra Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2013-2018, Terlihat

    pada grafik.9 diatas bahwa cakupan K4 sudah mencapai target pada tahun 2014, namun

    pada tahun 2015-2016 mengalami penurunan, walaupun sampai tahun 2016 cakupan

    sudah diatas 90%. Rendahnya cakupan K4 pada tahun 2017 seperti yang telah dijelaskan

    pada grafik.5, masih jauh dari target Renstra, sehingga diperlukan perbaikan strategi

    pelayanan ibu hamil termasuk pemantauan mulai di triwulan I kehamilan sehingga ibu hamil

    bisa mendapat pelayanan standar selama masa kehamilannya.

    Faktor Pendukung

    a. Adanya peningkatan kapasitas, pelatihan untuk tenaga kesehatan dalam

    upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan antenatal terpadu dan

    kelas ibu

    b. Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang

    Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan

    Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta

    Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu

    c. Pelayanan antenatal sesuai standar minimal 4 kali selama kehamilan

    merupakan komponen dari Standar Pelayanan Minimal (SPM)

    Kabupaten/Kota

    d. Pelaksanaan Kelas Ibu (Kelas Ibu Hamil dan Kelas Balita)

    e. Dukungan dana pelacakan ibu hamil, dan kegiatan luar gedung untuk

    pemeriksaan ibu hamil dari dana BOK, dll

    f. Adanya surveilans melalui PWS KIA

    g. Monitoring dan evaluasi secara berjenjang

    Faktor Penghambat

    1. Ibu hamil masih ada yang datang tidak pada di trimester I karena:

    a. Pengetahuan ibu hamil dan keluarga yang kurang, partisipasi masih belum

    optimal

    b. Faktor budaya setempat (belum ke tenaga kesehatan jika perut belum

    kelihatan besar, takut hamilnya tidak jadi disebabkan keguguran yang

    membuat malu)

    c. Kondisi geografis yang sulit (daerah perbukitan dan pegunungan)

    d. Kurangnya peran serta perangkat desa, tokoh masyarakat, dan tokoh

    agama dalam memberikan promosi kesehatan khususnya informasi

    pemeriksaan antenatal rutin ke tenaga kesehatan dan mendorong ibu hamil

    mengikuti kelas ibu hamil

    e. keterjangkauan di daerah sulit dan terpencil untuk mengakses ke fasilitas

    dan tenaga kesehatan

  • 60

    2. Masih ada ibu hamil yang tidak tercatat pada kunjungan di trimester 3 (drop out)

    karena :

    a. Ada budaya masyarakat pada saat menjelang persalinan pulang ke

    kampung halaman

    b. Ada ibu hamil yang selalu berpindah-pindah tempat pelayanan dalam

    kunjungan antenatal (ibu hamil antenatal dari Bidan ke Dokter spesialis dan

    tidak kembali ke Bidan)

    c. Pencatatan dan pelaporan masih belum optimal

    Upaya Pencapaian

    Berbagai pengembangan program dan kegiatan telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan

    Provinsi Bali khususnya Seksi Kesehatan Keluarga dan gizi dalam rangka pencapaian

    target K1 dan K4 tahun 2017 yaitu :

    1) Peningkatan kualitas pelayanan antenatal

    2) Peningkatan akses pelayanan antenatal

    Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan antenatal, Kementerian Kesehatan telah

    mengembangkan pelayanan antenatal terpadu dengan melibatkan program terkait

    (Gizi, imunisasi, penyakit menular, penyakit tidak menular, gangguan jiwa dan

    sebagainya). Melalui pelayanan antenatal terpadu tersebut diharapkan ibu hamil

    mendapatkan perlindungan secara menyeluruh, baik mengenai kehamilan dan

    komplikasi kehamilan, serta intervensi lain yang perlu diberikan selama proses

    kehamilan untuk kesehatan dan keselamatan ibu dan bayinya.

    Disamping itu, dalam rangka meningkatkan akses pelayanan antenatal, Kementerian

    Kesehatan telah mengembangkan upaya pemberdayaan keluarga dan masyarakat

    melalui pendekatan Kelas Ibu Hamil (yang kemudian dimunculkan dalam bentuk

    kegiatan ToT fasilitator kelas ibu). Yang selanjutnya kegiatan tersebut diteruskan oleh

    provinsi, kabupaten/ kota dan puskesmas dalam bentuk kegiatan manajemen dan

    teknis pelayanan antenatal guna mempercepat pencapaian target K1 dan K4. Dampak

    dari kegiatan tersebut diharapkan dapat semakin mendekatkan akses pelayanan

    antenatal yang berkualitas kepada ibu hamil, keluarga dan masyarakat hingga ke

    pelosok desa (Kemenkes RI, 2011)

    c) Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk

    peserta didik kelas 1,7 dan 10

    Peserta didik merupakan serangkaian kegiatan pemeriksaan kesehatan yang

    dilakukan terhadap peserta didik untuk memilah siswa yang mempunyai masalah

    kesehatan agar segera mendapatkan penanganan sedini mungkin. Kegiatan

    penjaringan kesehatan siswa terdiri dari pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan

    kebersihan perorangan (rambut, kulit dan kuku), pemeriksaan status gizi melalui

  • pengukuran antropometri, pemeriksaan ketajaman indera (penglihatan dan

    pendengaran), pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut, pemeriksaan la

    anemia dan kecacingan, pengukuran kebugaran jasmani dan deteksi dini masalah

    mental emosional.

    Analisa Capaian Kinerja

    PELAYANAN KESEHATAN/PENJARINGAN KESEHATAN SISWA

    10 PROVINSI BALI TAHUN 2018

    Sumber : Seksi Kesga

    Dari tabel diatas cakupan pelayanan kesehatan/penjaringan kesehatan tahun

    2018 di Provinsi Bali sudah diatas target nasional yaitu 70%, kendala tetap ada namun

    semua pengelola program remaja

    kesehatan di sekolah siswa kelas 1, 7 dan 10 secara rutin setiap tahun ajaran dan

    dilaporkan setiap triwulan ke dikes Kabupaten dan Provinsi.

    Faktor Pendukung

    1. Aspek legal yang memadai

    Masuknya penjaringan kesehatan dalam RPJMN, Renstra dan SPM Bidang

    Kesehatan Kab/Kota

    kesehatan merupakan kegiatan prioritas dalam pembangunan kesehatan di

    Indonesia.

    78

    80

    82

    84

    86

    88

    90

    92

    94

    Penjaringan Kelas I2018 93.79

    per

    sen

    tase

    CAKUPAN PENJARINGAN KESEHATAN KESEHATAN KELAS I, 7 DAN 10 PROVINSI BALI

    pengukuran antropometri, pemeriksaan ketajaman indera (penglihatan dan

    pendengaran), pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut, pemeriksaan laboratorium untuk

    anemia dan kecacingan, pengukuran kebugaran jasmani dan deteksi dini masalah

    PELAYANAN KESEHATAN/PENJARINGAN KESEHATAN SISWA KELAS 1, 7 DAN

    10 PROVINSI BALI TAHUN 2018

    Grafik.10

    Dari tabel diatas cakupan pelayanan kesehatan/penjaringan kesehatan tahun

    2018 di Provinsi Bali sudah diatas target nasional yaitu 70%, kendala tetap ada namun

    semua pengelola program remaja dan UKS sudah melaksanakan penjaringan

    ekolah siswa kelas 1, 7 dan 10 secara rutin setiap tahun ajaran dan

    dilaporkan setiap triwulan ke dikes Kabupaten dan Provinsi.

    Aspek legal yang memadai

    Masuknya penjaringan kesehatan dalam RPJMN, Renstra dan SPM Bidang

    Kesehatan Kab/Kota sebagai salah satu indicator, menjadikan penjaringan

    kesehatan merupakan kegiatan prioritas dalam pembangunan kesehatan di

    Penjaringan Penjaringan Kelas 7

    Penjaringan Kelas 1083.71 93.73

    CAKUPAN PENJARINGAN KESEHATAN KESEHATAN KELAS I, 7 DAN 10 PROVINSI BALI

    TAHUN 2018

    pengukuran antropometri, pemeriksaan ketajaman indera (penglihatan dan

    boratorium untuk

    anemia dan kecacingan, pengukuran kebugaran jasmani dan deteksi dini masalah

    KELAS 1, 7 DAN

    Dari tabel diatas cakupan pelayanan kesehatan/penjaringan kesehatan tahun

    2018 di Provinsi Bali sudah diatas target nasional yaitu 70%, kendala tetap ada namun

    sudah melaksanakan penjaringan

    ekolah siswa kelas 1, 7 dan 10 secara rutin setiap tahun ajaran dan

    Masuknya penjaringan kesehatan dalam RPJMN, Renstra dan SPM Bidang

    sebagai salah satu indicator, menjadikan penjaringan

    kesehatan merupakan kegiatan prioritas dalam pembangunan kesehatan di

  • 60

    Hal tersebut mendorong daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan daerah

    yang mendukung pelaksanaan penjaringan kesehatan, serta mendukung

    Puskesmas dalam menjalankan kegiatan-kegiatan lainnya terkait kesehatan

    usia sekolah di wilayah kerja.

    2. Tersedianya biaya operasional

    Adanya APBN Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang dialokasikan untuk

    seluruh puskesmas, sangat mendukung Petugas Puskesmas dalam

    melaksanakan kegiatan penjaringan kesehatan karena biaya transportasi dari

    puskesmas ke sekolah dapat diakomodir melalui APBN BOK tersebut.

    Faktor Penghambat

    1. Keterbatasan SDM Puskesmas dibandingkan dengan jumlah sekolah/peserta

    didik di wilayah kerja

    2. Keterbatasan biaya pengadaan/pencetakkan formulir penjaringan kesehatan /

    Buku Rapor Kesehatanku

    3. Kurangnya koordinasi/ komitmen Lintas Sektor TP UKS di Kab/Kota,

    Kecamatan, Puskesmas dan Sekolah dalam mendukung dan melaksanakan

    penjaringan kesehatan

    Upaya Pencapaian

    1. Penguatan koordinasi Tim Pembina UKS/M Pusat dan daerah melalui Pertemuan

    Evaluasi Akselerasi UKS/M

    2. Bimbingan Teknis dan Supervisi Pembinaan dan Pelaksanaan UKS di daerah

    melalui kegiatan Lomba Sekolah Sehat 2017

    3. Peningkatan kapasitas petugas puskesmas melalui Pelatihan terintegrasi

    pelayanan kesehatan usia sekolah dan remaja bagi tenaga kesehatan di

    puskesmas

    d) Persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja

    Pencapaian puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja

    sudah melebihi target yang diharapkan dalam perjanjian kinerja (45%) yakni

    sebesar : 100 %

    Faktor Pendukung

    1. Tersedianya biaya operasional

    Adanya APBN Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang dialokasikan

    untuk seluruh puskesmas, sangat mendukung Petugas Puskesmas dalam

    melaksanakan kegiatan remaja karena biaya transportasi dari puskesmas ke

  • 60

    sekolah dapat diakomodir melalui APBN BOK tersebut baik saat penyuluhan

    maupun pembinaan konselor sebaya

    Faktor Penghambat

    a. Keterbatasan SDM Puskesmas dibandingkan dengan jumlah

    sekolah/peserta didik di wilayah kerja

    b. Seringnya perpindahan pemegang program remaja di kabupaten/kota

    c. Keterbatasan dana baik dari APBN maupun APBD dalam melatih

    petugas program remaja (karena banyak pemegang program baru )

    dan melatih konselor sebaya

    Upaya Pencapaian

    1. Bimbingan Teknis dan Supervisi Pembinaan dan Pelaksanaan

    program remaja dan konselor sebaya dikabupaten/kota tahun

    2018

    2. Rencana Pelatihan Peningkatan kapasitas petugas puskesmas

    yakni Puskesmas SN PKPR bagi tenaga kesehatan di puskesmas

    ditahun 2019 melalui dana APBD dengan sasaran baru bisa 60

    orang/puskesmas dari 120 puskesmas yang dimiliki.

    e) Persentase Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil

    Pelaksanaan kelas ibu hamil di puskesmas yang ada di wilayah bali (100%)

    sudah bisa memenuhi target yang dituangkan dalam perjanjian kinerja (90%).

    Faktor pendukung :

    1) Orientasi kelas ibu pada tenaga kesehatan puskesmas, IBI dan RS baik

    swasta maupun negeri

    2) Tersedianya dana BOK dan ADD yang mensuprort kegiatan kelas Ibu

    3) Pelaksanaan kelas ibu juga dijalankan pada Praktek Mandiri bidan dan

    RS swasta sehingga menjadi daya tarik masyarakat

    4) Keaktifan peran serta masyarakat

    Faktor penghambat :

    1) Masih terdapat bidan desa yang belum terlatih

    2) Keterbatasan Anggaran BOK

    3) Kehadiran ibu hamil tidak 100 % dalam pelaksanaan kelas ibu

    4) Dukungan dan komitmen manajemen puskesmas untuk kualitas kelas

    ibu

    5) Sarana penunjang terbatas

  • 60

    f) Persentase Puskesmas yang melakukan Orientasi Program Perencanaan

    Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K)

    Persentase puskesmas yang melakukan orientasi program perencanaan

    persalinan dan pencegahan komplikasi (P4K) sudah 100 %. Hal ini sudah

    dapat melampaui target yang diharapkan dalam perjanjian kinerja (100%).

    Faktor pendukung :

    1) Pada setiap buku KIA sudah berisikan stiker P4K, sehingga dari awal ibu

    hamil sudah disosialisasikan dan disiapkan seperti yang terdapat dalam

    stiker

    2) Dukungan dana BOK baik pengadaan maupun pemasangan stiker P4K

    Faktor penghambat :

    1) Terdapat salah satu kabupaten yang masih sulit dalam pemamfaatan

    dana BOK

    3. Indikator Program Upaya kesehatan Kerja dan olahraga

    a) Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan Kerja Dasar

    Target Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan Kerja Dasar

    sebesar 80%. Capaian di Provinsi Bali sebesar 100% oleh karena semua

    puskesmas sudah melaporkan LBKP

    Grafik.11

    b) Jumlah Pos UKK yang terbentuk di daerah PPI/TPI

    Target Jumlah Pos UKK yang terbentuk di daerah PPI/TPI sebesar 38 pos

    UKK. Di Provinsi Bali telah terbentuk 38 pos UKK namun untuk daerah PPTI

    hanya terbentuk 2 Pos UKK dari 3 daerah PPI/TPI yang ada. Secara

    keseluruhan jumlah pos UKK yang terbentuk di Kabupaten adalah sebagai

    berikut :

    100 100100 100 100 100 100 100 100 100

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

  • 60

    Grafik 12

    Faktor Pendukung

    1) Adanya dukungan pendanaan melalui dana APBD, APBN (Dekonsentrasi),

    DAK Provinsi, DAK Kabupaten dan BOK Puskesmas

    2) Adanya dukungan puskesmas melalui pengembangan puskesmas yang

    melaksanakan program kesehatan kerja terutama SDM/ Tenaga yang

    sudah dilatih

    Faktor Penghambat

    1) Masih rendahnya minat kelompok pekerja untuk membentuk pos UKK

    2) Petugas pemegang program kesehatan kerja di puskesmas sering

    berganti-ganti karena adanya mutasi

    3) Kurangnya dukungan sarana dan prasarana untuk pembentukan pos UKK

    Upaya Pencapaian

    1) Melakukan bimbingan teknis ke Kabupaten/ Kota dan Puskesmas

    2) Melakukan monitoring dan evaluasi ke Pos UKK

    c) Persentase fasilitas pemeriksaan kesehatan TKI yang memenuhi standar

    Target Persentase fasilitas pemeriksaan kesehatan TKI yang memenuhi

    standar sebesar 100%. Capaian di Provinsi Bali sebesar 100%. RS yang

    melakukan pemeriksaan kesehatan TKI yang memenuhi standar ditunjuk oleh

    Kemenkes yaitu RS. Sanglah, RS. Sanjiwani Gianyar, RS. Bross dan Klinik

    Padma Denpasar

    2 8 4

    2

    23

    1 0 1

    10

    51

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

  • 60

    d) Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga

    pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya

    Target Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan

    olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya 60%. Capaian di

    Provinsi Bali sebesar 100%.

    Grafik.13

    4. Indikator Penyehatan Lingkungan a) Jumlah Desa/ Kelurahan yang melaksanakan STBM (Sanitasi Total

    Berbasis Masyarakat)

    Untuk mendorong peningkatan akses sanitasi layak di Provinsi Bali di lakukan

    Strategi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Target jumlah/ kelurahan

    yang melaksanakan STBM adalah 222.

    Grafik 14

    100 100100 100 100 100 100 100 100 100

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    51 125 62 70 50 72 78125

    43

    676

    0

    100

    200

    300

    400

    500

    600

    700

    800

  • 60

    Grafik tersebut menggambarkan peningkatan jumlah desa yang diintervensi

    setiap tahunnya melalui pemicuan yang dilakukan oleh sanitarian Puskesmas.

    Hingga tahun 2019 total jumlah desa yang dipicu oleh sanitarian sebanyak 676

    desa. Namun dari 676 desa yang ada hanya 252 desa yang dinyatakan

    berstatus Open Defecation Free (ODF).

    Faktor Pendukung

    1) Adanya dukungan pendanaan melalui dana APBD, DAK Provinsi, DAK

    Kabupaten dan BOK Puskesmas

    2) Adanya intervensi Pamsimas yang mendorong kepala desa untuk

    mencapai status ODF

    3) Adanya aturan adat dalam bentuk perarem yang mendukung implementasi

    STBM

    4) Adanya sinergi lintas sektor dengan TNI yang membantu pembangunan

    jamban di masyarakat

    5) Tersedianya sanitarian terlatih di 120 puskesmas untuk melakukan

    pemicuan

    6) Tersedianya sarana untuk melakukan pelaporan secara real time

    Faktor Penghambat

    1) Sanitarian kesulitan melakukan update data secara online/ sms

    dikarenakan web STBM sering mengalami gangguan.

    2) Tidak semua sanitarian terlatih dapat terampil dalam melakukan pemicuan

    3) Banyak sanitarian yang lupa cara mengupdate data STBM

    Upaya Pencapaian

    1) Melakukan bimbingan teknis ke Kabupaten/ Kota dan Puskesmas

    2) Melakukan monitoring dan evaluasi STBM

    3) Advokasi pada pihak desa untuk menggunakan dana desa dalam kegiatan

    STBM

    4) Advokasi pada lembaga adat dalam penyusunan perarem di desa

    5) Advokasi pada camat untuk mendorong desa ODF terutama bagi desa

    penerima PAMSIMAS

    6) Memperkuat sinergi lintas sektor (Majelis adat, TNI, Pramuka, PKK,

    Universitas Udayana dan Poltekes)

    7) Pembekalan STBM kepada mahasiswa kesling di Universitas Udayana dan

    Poltekes

    8) Sinergi lintas program dengan gizi melalui STBM Stunting

    9) Pelatihan STBM stunting melalui dana DAK Kabupaten

  • 60

    45.0

    32.0

    58.8

    32.2

    77.1

    3.4

    13.619.1

    32.038.1

    0.0

    10.0

    20.0

    30.0

    40.0

    50.0

    60.0

    70.0

    80.0

    90.0

    100.0

    b) Persentase sarana air minum yang dilakukan pengawasan

    Target yang Persentase sarana air minum yang dilakukan pengawasan

    adalah 50%. Penyelenggara air minum merupakan badan/usaha milik

    pemerintah atau swasta yang menyediakan air minum bagi penduduk.

    Penting dilakukan pengawasan secara berkala untuk menghindari terjadinya

    KLB akibat air minum yang tidak layak.Untuk mengetahui kualitas air minum

    secara bakteriologis dan kimia dilakukan pemeriksaan kualitas air pada badan

    penyelenggara air minum di 9 Kabupaten/ Kota.

    Grafik 15

    Faktor Pendukung

    1) Adanya dukungan pendanaan melalui dana APBD, DAK Provinsi, DAK

    Kabupaten dan BOK Puskesmas

    2) Tersedianya sanitarian terlatih di 120 puskesmas untuk melakukan

    pengawasan air minum

    3) Tersedianya sarana untuk melakukan pelaporan melalui e monev PKAM

    Faktor Penghambat

    1) Keterbatasan SDM yang ada tidak sebanding dengan jumlah sarana yang

    diawasi

    2) Tidak semua sanitarian melakukan pelaporan hasil pengawasan air minum

    kedalam web PKAM

    3) Tidak semua puskesmas memiliki sanitarian kit dalam melakukan

    pengawasan

  • 60

    Upaya Pencapaian

    1) Melakukan bimbingan teknis ke Kabupaten/ Kota dan Puskesmas

    2) Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan Pengawasan Kualitas Air

    Minum

    3) Mendorong kelompok-kelompok pengelola air minum di tingkat desa

    seperti BPSPAM untuk bisa melakukan pengawasan internal terhadap

    sarana air minum yang dikelola

    c) Persentase Tempat-tempat Umum (TTU) yang memenuhi syarat

    kesehatan

    TargetPersentase Tempat-tempat Umum (TTU) yang memenuhi syarat

    kesehatan yang tertuang dalam perjanjian kinerja adalah 58%. Tempat-Tempat

    Umum (TTU) yang diawasi adalah Hotel, Tempat Ibadah, Sarana Pendidikan,

    dan lainnya. Pada tahun 2019 TTU yang dapat diawasi dan memenuhi syarat

    sebesar 85,5%.

    Grafik 16

    Faktor Pendukung

    1) Adanya dukungan pendanaan melalui dana APBD, DAK Provinsi, DAK

    Kabupaten dan BOK Puskesmas

    2) Tersedianya sanitarian terlatih di 120 puskesmas untuk melakukan

    pengawasan TTU

    3) Adanya kerjasama lintas sektor dengan Dinas Perizinan yang

    mengsyaratkan bahwa setiaphotel yang akan akan mengajukan klasifikasi

    harus menyertakan hasil pengujian lab kesling

    52.4

    76.7

    95.5 92.0 99.8

    82.6 82.7

    92.0 93.385.5

    0.0

    10.0

    20.0

    30.0

    40.0

    50.0

    60.0

    70.0

    80.0

    90.0

    100.0

  • 60

    4) Adanya upaya dari pihak hotel dan sekolah untuk melakukan penilaian

    kesehatan lingkungan di wilayahnya sendiri

    Faktor Penghambat

    1) Keterbatasan SDM yang ada tidak sebanding dengan jumlah sarana TTU

    yang diawasi

    2) Tidak semua puskesmas memiliki sanitarian kit dalam melakukan

    pengawasan

    3) Salah satu yang diawasi adalah p