Bab Empat Peristiwa Protes Sosial di...

20
73 Bab Empat Peristiwa Protes Sosial di Rote Perlawanan masyarakat Rote terhadap negara (baik pada jaman negara kolonial) maupun terhadap negara Indonesia dengan motif yang sama yaitu menolak membayar pajak, merupakan bagian utama yang dibahas pada bab ini. Perlawanan Nusak Terhadap Belanda Kemunculan gerakan perlawanan harus dilihat hubungannya dengan perkembangan yang terjadi di Jawa. Di sana terdapat gerakan protes setelah kedatangan Belanda, yang semakin menguat setelah pendudukan Belanda di daerah tersebut. Pada tahun 1908, di Jawa berdiri organisasi modern pertama yang bernama Budi Utomo. Sementara itu, perlawanan di Nusa Tenggara (termasuk di Rote) masih bersifat tradisional. Bentuk perlawanan modern baru berkembang pada masa selanjutnya (Ardhana, 2005). Kartodirdjo (1982) mengemukakan bahwa pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial terjadi di seluruh Hindia Belanda. Beberapa penyebabnya: kebijakan kolonial dalam hal cacah jiwa, pajak, dan kerja paksa membuat penduduk menanggung beban yang sebelumnya tidak mereka alami serta terjadinya perubahan sosial di tengah-tengah mereka. Sistem administrasi Belanda menembus masuk hingga ke pedesaan dan tidak selalu diterima oleh penduduk pribumi karena sistem modern yang didasarkan pada peraturan tertulis yang pasti terkadang tidak dapat disesuaikan dengan sistem mereka sendiri. Aksi kolektif melawan perubahan radikal yang terjadi di masyarakat mengakibatkan timbulnya gerakan protes. Sistem kolonial sendiri tidak menawarkan institusi yang dapat mencegah ketidakpuasan kalangan oposisi.

Transcript of Bab Empat Peristiwa Protes Sosial di...

73

Bab Empat

Peristiwa Protes Sosial di Rote

Perlawanan masyarakat Rote terhadap negara (baik pada jaman negara kolonial) maupun terhadap negara Indonesia dengan motif yang sama yaitu menolak membayar pajak, merupakan bagian utama yang dibahas pada bab ini.

Perlawanan Nusak Terhadap Belanda

Kemunculan gerakan perlawanan harus dilihat hubungannya dengan perkembangan yang terjadi di Jawa. Di sana terdapat gerakan protes setelah kedatangan Belanda, yang semakin menguat setelah pendudukan Belanda di daerah tersebut. Pada tahun 1908, di Jawa berdiri organisasi modern pertama yang bernama Budi Utomo. Sementara itu, perlawanan di Nusa Tenggara (termasuk di Rote) masih bersifat tradisional. Bentuk perlawanan modern baru berkembang pada masa selanjutnya (Ardhana, 2005).

Kartodirdjo (1982) mengemukakan bahwa pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial terjadi di seluruh Hindia Belanda. Beberapa penyebabnya: kebijakan kolonial dalam hal cacah jiwa, pajak, dan kerja paksa membuat penduduk menanggung beban yang sebelumnya tidak mereka alami serta terjadinya perubahan sosial di tengah-tengah mereka. Sistem administrasi Belanda menembus masuk hingga ke pedesaan dan tidak selalu diterima oleh penduduk pribumi karena sistem modern yang didasarkan pada peraturan tertulis yang pasti terkadang tidak dapat disesuaikan dengan sistem mereka sendiri. Aksi kolektif melawan perubahan radikal yang terjadi di masyarakat mengakibatkan timbulnya gerakan protes. Sistem kolonial sendiri tidak menawarkan institusi yang dapat mencegah ketidakpuasan kalangan oposisi.

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

74

Ketika Bangsa Belanda datang di Rote, Rote sudah terbagi atas beberapa Nusak. Tidak mudah bagi bangsa Belanda untuk menguasai daerah ini, mereka harus berperang melawan Nusak-Nusak yang sudah ada di Rote. Seperti pada perang Nusak Ndao tahun 1575 dan perang Nusak Bilba tahun 1576, kemudian perang Nusak Ba’a, Dengka, Lole dan Termanu pada Tahun 1660 dan perang Nusak Landu, Ringgou, Oeapo dan Bilba pada Tahun 1753.

Kekalahan Nusak Dengka yang memimpin pertempuran pada Tahun 1660 didenda dengan membayar 133 orang budak kepada pemerintah Belanda. Kemudian, pada Tahun 1661, seorang Opperhofd Cuiljenburg memimpin suatu ekspedisi penyerangan ke Rote dengan kekuatan lebih dari 900 pasukan beserta sekutu-sekutunya dari Pulau Timor, Nusak Loleh dihancurkan dan sekitar 50 orang terbunuh dalam sehari. Setelah ekspedisi penyerangan yang dipimpin oleh Opperhofd Cuiljenburg berakhir dengan kemenangan di pihak Opperhofd Cuiljenburg, Pemerintah Belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan Nusak-Nusak yang ada. Komisaris Johann Paravicini dikirim sebagai utusan perdagangan ke Timor dan Rote untuk membuat perjanjian dan hubungan perdagangan baru dengan penguasa lokal di Pulau Timor, Rote, Solor dan Sumba. Tujuannya adalah mem-pertahankan supermasi Belanda di wilayah itu. Perjanjian ini kemudian dikenal dengan Perjanjian Paravicini.42 Dalam perjanjian tersebut disepakati hal-hal sebagai berikut: penguasa lokal mengakui kedaulatan pemerintah Belanda dan bahwa semua Raja (termasuk di pesisir selatan) bersekutu dengan VOC dan bersama-sama melawan musuh. Inti dari perjanjian ini adalah dipeliharanya keamanan dan ketertiban (Ardhana, 2005). Nusak-Nusak yang ikut menandatangani Perjanjian Paravicini adalah: Termanu, Dengka, Landu, Oenale, Ba’a,

42 Perjanjian Paravicini ditandatangani pada tanggal 9 Juni 1756 dan membahas mengenai kesejahteraan rakyat, pemerintahan sah Belanda, kerja sama melawan para perompak, penghapusan perdagangan budak, perlindungan tanah pertanian, perlindungan perdagangan, perlindungan pelayaran, bantuan terhadap kapal karam, penyimpanan kaparan (barang terdampar), pelarangan hubungan dengan penguasa asing dan Eropa lainnya di pelabuhan atau kediaman tanpa izin penguasa wilayah. (Ardhana, 2005).

Peristiwa Protes Sosial di Rote

75

Lelain, Oepao, Thie, Bilba, Ringgou, Korbafo, Diu, Ndao, Bokai dan Loleh (Soh, 2008)

Meskipun sudah ada Perjanjian Paravicini, ternyata Nusak-Nusak yang ada tetap saja melakukan perlawanan terhadap Belanda, seperti Nusak Bilba, Ringgou, Oepau dan Diu tetap bermusuhan dengan Belanda43, Nusak-Nusak ini kemudian ditaklukan dan dihukum dengan cara para tahanan perang dijadikan sebagai budak dan bekerja pada Belanda sesuai dengan isi Perjanjian Paravicini. Para tawanan perang yang dijadikan budak ini sebagian di kirim ke Timor dan sebagian lagi dikirim ke Jawa. (Soh, 2008).

Selain peristiwa Perjanjian Paravicini, kejadian penting lainnya adalah peristiwa tertembak matinya Foe Mbura,44 Raja dari Nusak Thie. Dalam suatu pertemuan di Nusak Thie pada tanggal 11 Oktober 1746, Residen Meulenbeck merasa kedatangannya tidak disambut dengan baik oleh para petinggi45 Nusak Thie, Muelenbeck kemudian mencaci-maki para petinggi Nusak Thie, hal ini tidak diterima oleh Foe Mbura, Foe Mbura pun melepaskan tembakannya ke arah Muelenbeck tetapi sayang tembakan itu meleset dan dengan gesit salah seorang pengawal Muelenbeck melepaskan tembakan ke arah Foe Mbura dan saat itu juga Foe Mbura langsung tewas di tempat. Tidak terima karena Rajanya ditembak mati, warga Nusak Thie dan sekitarnya melakukan aksi pembalasan pada tanggal 12 Oktober 1746, Residen Muelenbeck dan seluruh pengikutnya mati dibantai oleh massa, mayat-mayat Muelenbeck dan pengikutnya dibakar habis di tepian pantai. Yang lolos waktu itu hanya Tuan Const, seorang pemegang buku (Boekhouder). Const kemudian melarikan diri ke Kupang pada tanggal

43 Sayangnya Soh tidak mengungkap mengapa Nusak Bilba, Ringgou, Oepau dan Diu tetap bermusuhan dengan Belanda meski sudah ada perjanjian Paravicini. 44 Setelah dibaptis menjadi pemeluk agama Kristen, namanya berubah menjadi Benjamin Messakh (Netti,1997) 45 Koopmans (1921).tidak menyebutkan dengan rinci siapa-siapa saja petinggi Nusak Thie yang dimaksudkan.

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

76

24 Oktober 1746 dan melaporkan semua kejadian pembunuhan yang terjadi di Nusak Thie kepada Residen Van der Burgh di Kupang.46

Gerakan Antipajak pada Era Lesser Sunda Island

Setelah pemerintah kolonial meluaskan kekuasaannya melalui ekspedisi militer di Nusa Tenggara, susunan kepemimpinan di sana secara internal berubah. Di mana pemerintahan pribumi diganti menjadi Zelfbestuuren (pemerintahan otonom). Artinya, kekuasaan Raja berada di bawah pemerintahan kolonial dan sistem tradisional digunakan untuk tujuan mereka (Doko, 1981). Di satu sisi, para Raja merasa getir karena hak mereka untuk menarik pajak diserahkan kepada Belanda. Di sisi lain, penduduk harus menanggung beban dari pemerintahan kolonial. Apabila pada masa prakolonial mereka membayar pajak dengan hasil bumi kepada pemimpinnya, kini mereka harus membayar pajak dalam bentuk uang tunai. Selain itu, terdapat jenis pajak baru yang tidak mereka mengerti, seperti pajak kepala atau pajak ternak. Menurut laporan, pegawai Belanda sering kali tidak hanya menarik pajak sekali dalam setahun namun beberapa kali. Pajak ini dikumpulkan oleh Kepala Desa dan selanjutnya diserahkan kepada penguasa. Akibatnya, Raja dan Kepala Desa kehilangan kekuasaan dan kewibawaan mereka. (Parimartha, 2002; Ardhana, 2005). Selanjutnya Omerling (1956), Parimartha (2002), Stokhof (1984) juga mencatat Gerakan Antipajak yang berkobar di beberapa wilayah di Nusa Tenggara seperti Tabel 4.1. berikut ini:

46 Tindakan pembalasan tidak dilakukan karena pada saat itu Residen Van der Burgh sibuk menghadapi bangsa Portugis (golongan Portugis Hitam atau Topas) yang ingin menguasai Kupang (Koopmans, 1921).

Peristiwa Protes Sosial di Rote

77

Tabel 4.1. Gerakan Antipajak di Nusa Tenggara Tahun 1913-1915

NO TAHUN GERAKAN ANTIPAJAK 1 26 September 1913 Perlawanan Raja Alor di Pulau Alor terhadap Belanda 2 3 Oktober 1913 Perlawanan rakyat Lewotala (Flores Timur) terhadap

Belanda yang dipimpin oleh Adi Tukan, Boli Tukan, Ebang Aran, Duli Hurint, Subaama Weking, dan Pegang Tukan.

3 November 1914 Perlawanan rakyat Solor (Larantuka). Dalam serangan ini, petugas pajak dan 10 pendampingnya terbunuh.

4 Mei 1915 Perlawanan rakyat di kampung Lewo Panutung di lingkungan Lalalerap di Lomlen (Larantuka)

5 April 1914 Perlawanan rakyat di Sumba 6 September 1915 Perlawanan rakyat di Distrik Nduri di wilayah Tanah

Kunu (Larantuka) 7 1915 Perlawanan rakyat di Pulau Timor 8 1932 Perlawanan rakyat di Rote (terhadap Belanda) 9 1960 Perlawanan rakyat di Rote (terhadap Orde Lama)

Sumber: Omerling (1956), Parimartha (1995), Stokhof (1984), Laporan Kejadian Khusus Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao (1999).

Sejak pemerintah kolonial menarik pajak, penghasilan pajak

penguasa lokal berkurang sehingga mereka kehilangan kekuatan dan pengaruhnya. Dari keseluruhan pajak di Pulau Timor (termasuk Rote) yang berjumlah 11.000 gulden pada tahun 1915, Raja hanya menerima 3.520 gulden. Alasan utamanya adalah kerugian monopoli penjualan kayu cendana yang ditangani oleh pemerintah Belanda.

Gerakan Antipajak sebagaimana yang dikemukakan pada Tabel 4.1. setidaknya memberi gambaran bahwa Pajak telah diberlakukan sejak lama di Nusa Tenggara jauh sebelum kedatangan Belanda dan Gerakan Antipajak mulai bermunculan pada saat kedatangan Belanda sebagaimana yang terjadi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara (Sunda Kecil).

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak ada lagi Gerakan Antipajak secara kolektif terhadap pemerintah yang dilakukan oleh masyarakat. Namun, pada Tahun 1960 di Rote masih

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

78

ada Gerakan Antipajak yang dilakukan oleh masyarakat Bo’a di Nusak Delha47 sebagaimana yang penulis ulas pada bagian berikut ini.

Gerakan Antipajak: Perlawanan Masyarakat Nusak Delha 14 Mei 1960

Tidak sulit untuk mendapatkan data tentang peristiwa perlawanan masyarakat Bo’a48 di Nusak Delha yang terjadi 14 Mei 1960, selain karena tercatat rapi dalam laporan resmi Dewan Pemerintah Daerah Swapraja (DPDS) Rote Ndao, juga masih ada beberapa informan kunci yang masih hidup dan mengalami serta mengamati peristiwa yang terjadi pada 14 Mei 1960.49

Sesuai dengan laporan Manek Delha Abner Ndoen dan laporan petugas pajak Z.M. Mbolik50 dapat penulis kemukakan ke dalam tiga periode, yaitu:

− Periode I: Sebelum perang Dunia ke-II (Tepatnya pada Tahun 1932). Doko (1974) menulis bahwa pernah muncul persoalan pajak di Nusak Delha yang kemudian populer dengan sebutan Delha Affairs. Di mana ada seorang Controleur Enkelaar (Pamongpraja Negara Belanda) menganiaya 388 rakyat Delha karena menolak membayar pajak, masyarakat Nusak Delha hanya mau membayar pajak sebesar 2.50 Gulden dan tidak lebih

47 Di Nusak Delha, pajak yang ditarik dari masyarakat disebut dengan istilah kamente yang berarti masyarakat tidak wajib membayar (tidak ada paksaan). Misalnya, saat hasil panen melimpah, masyarakat dengan sukarela memberikan sebagian hasil panennya pada Manek, misalnya hasil Makan Meting (ambil hasil waktu laut surut) akan diberikan kepada Manek dan keluarganya, jika panen gagal atau makan meting gagal, maka tidak ada kewajiban untuk menyetor pada Manek. Wawancara dengan Imanuel Ndoen, 20 Maret 2008 di Nemberala. 48 Bo’a kini secara administratif tercatat sebagai Desa otonom yang merupakan bagian dari Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao. Pada Tahun 1960, Bo’a masih berstatus Dusun dibawah kekuasaan Temukung (Kepala Dusun) di bawah pemerintah Manek Delha Abner Ndoen. 49 Daftar Informan Kunci dapat dilihat pada Lampiran 1. 50 Lihat Naskah Dinas Dewan Pemerintahan Daerah Sementara (DPDS) Swapraja Rote Ndao Tahun 1960

Peristiwa Protes Sosial di Rote

79

dari itu51, pemimpin perlawanan ini adalah Soleman Hangge52 (yang bersangkutan di buang dan dipenjarakan di Sumbawa). Atas desakan dari Timorsche Verbond cabang Makassar yang dipimpin oleh E.R. Herewila maka Della Affairs dilaporkan pada Officer van Justisi di Makassar. Kepada Ketua Justisi, Mr. Jonkman, oleh pengurus Timorsche Verbond didesak agar secara pribadi mengunjungi Rote dan menangani perkara Delha Affairs itu. Oleh desakan Timorsch akhirnya Mr. Jonkman mengunjungi Rote guna mengadakan pemeriksaan setempat. Hadirnya Mr. Jonkman ke Rote juga membawa kabar gembira di mana Soleman Hangge kemudian dibebaskan dan dikembalikan ke Rote, kedatangan Soleman Hangge ke Delha disambut sebagai seorang Pejuang (Doko, 1974).

− Periode II: Sesudah Kemerdekaan, (Tahun 1950) persoalan ini muncul kembali dengan aktor intelektual seorang pensiunan KNIL tahun 1950 yaitu Matheos Petrus53. Ia berhasil menarik simpati rakyat Delha dengan menyebarkan berita bahwa ia tengah memperjuangkan pembayaran pajak hanya sejumlah

51 Dalam naskah dinas DPDS Swapraja Rote Ndao Tahun 1960 tidak disebutkan berapa besar pajak yang diminta oleh pihak Belanda pada Tahun 1932. 52 Soleman Hangge adalah Ayah Kandung dari J. Soleman Hangge (Mantan Kepala Desa Bo'a, salah satu Informan Kunci). 53 Imanuel Ndoen (75 Tahun) menuturkan kepada penulis dalam wawancara tanggal 20 Maret 2008, provokatornya bernama Matheus Feo, seorang bekas Tentara KNIL dan Anggota PKI di Desa Bo’a. Sementara itu, Naskah Dinas DPDS Swapraja Rote Ndao Tahun 1990 melaporkan nama Matheos Petrus dengan status yang sama pensiunan Tentara KNIL dan Anggota PKI di Desa Bo’a. Dalam Laporan ini penulis menggunakan nama Matheos Petrus. Selain itu ada isu yang berkembang bahwa Matheos Petrus juga mengumpulkan dan menahan kolekte kebaktian jemaat di Delha, sementara Matheos Petrus bukan pelayan resmi di sana. Ia bahkan juga memutuskan perkara dan menerima uang terang kampong padahal ia bukan seorang hakim. Karena perbuatannya itu banyak rakyat Nusak Delha tidak mau membayar pajak kepadanya dengan alasan masih menunggu jawaban pasti dari Presiden Soekarno atas klaim besarnya pajak yang harus dibayar. Sesungguhnya surat gugatan (rekes) itu tidak pernah dikirim ke Presiden Soekarno oleh Matheos Petrus. (Wawancara dengan Imanuel Ndoen, 20 Maret 2008).

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

80

Rp3.75,- lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Pemerintah Swapraja Rote Ndao.54

− Periode III: Matheos Petrus muncul kembali di Nusak Delha antara Tahun 1952/1953 dengan membawa semacam surat gugatan (rekes) yang akan dikirim kepada Presiden RI Soekarno, intinya agar rakyat Nusak Delha cukup membayar pajak Rp.3.75 per orang per tahun. Provokasi Matheos Petrus rupanya berhasil menarik banyak simpati dari masyarakat Nusak Delha, 305 orang di Nusak Delha ikut menandatangani surat gugatan dimaksud dan juga menyerahkan uang Rp.2-Rp.5 kepada Matheos Petrus untuk kepentingan pengiriman surat ke Jakarta.55 Aktor lainnya yang terlibat dalam membantu upaya Matheos Petrus adalah Afonsus Ndoko56 dan Gabriel Balukh57.

− Tahap I: Keinginan rakyat Delha (tidak termasuk rakyat di Bo’a) untuk membayar pajak hanya sebesar Rp3.75,- kemudian ditunggangi oleh Pengurus Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di Ba’a, sehingga terjadi demontrasi di Ba’a pada tahun 1954, demonstrasi ini terjadi ketika kunjungan Gubernur Nusa Tenggara, Bapak Sarimin ke Ba’a.58

− Tahap II: Karena telah tertunggak hampir 10 Tahun, Pemerintah Swapraja Rote Ndao kemudian mulai melakukan operasi Pembayaran Pajak pada tanggal 19 sampai 21 Oktober

54 Dalam naskah dinas DPDS Swapraja Rote Ndao Tahun 1960 tidak disebutkan berapa besar tagihan pajak yang diminta oleh pemerintah DPDS Swapraja Rote Ndao. 55 Ternyata uang itu digunakan untuk kepentingan pribadi Matheos Petrus. Surat Gugatan (Rekes) tidak pernah di kirim ke Presiden RI Soekarno. Wawancara dengan Imanuel Ndoen (75 Tahun) tanggal 20 Maret 2008. 56 Karena perbuatannya ini, Matheos Petrus dan Alfonsus Doko pernah di hukum di Pengadilan Negeri Ba’a pada Tahun 1953 (Wawancara dengan Joos J.J. Ngefak, S.H) 57 Gabriel Balukh berkeinginan menjadi Manek di Nusak Delha. Ia mencari popularitas dengan menyatakan menyanggupi memperjuangkan pembayaran pajak sebesar Rp3.75 per orang per tahun. Sebagian besar masyarakat Nusak Delha menyambut keinginannya sekaligus mendukung dirinya menjadi Manek Delha. Gabriel Balukh akhirnya dijatuhi hukuman di pengadilan negeri di Ba’a pada Tahun 1955 dan kemudian di buang ke Nusa Kembangan. 58 Dalam Naskah Dinas DPDS Swapraja Rote Ndao Tahun 1960 tidak dikemukakan tentang aksi demonstrasi yang terjadi pada saat kunjungan Gubernur Nusa Tenggara ke Rote Ndao.

Peristiwa Protes Sosial di Rote

81

1959. ternyata Rakyat Delha sebagian besar mulai membayar pajak, tetapi masyarakat di Bo’a memilih untuk tidak membayar pajak.

− Tahap III: Matheos Petrus kemudian dibawa ke Ba’a untuk diperiksa polisi karena ia mengaku menghasut orang untuk membayar pajak sebesar Rp. 3.75. Polisi kemudian mulai memanggil para saksi dalam pemeriksaan Matheos Petrus, namun mereka tidak datang ke kantor Polisi melainkan ke kantor Jaksa untuk diperiksa di sana. Sesudah itu mereka pulang kembali ke Delha dan tidak lagi menghadap polisi.

− Tahap IV: Karena kehilangan posisi tawar, Matheos Petrus akhirnya berusaha mencari bantuan pihak ketiga. Ia kemudian berupaya bekerjasama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ada di Ba’a. dan Melalui peran Sekretaris PKI di Ba’a J. Putirulan, PKI resmi berdiri di Nusak Delha, sebagai tandanya mereka mendirikan papan nama partai pada tanggal 1 Januari 1960.

Informasi lainnya tentang Matheos Petrus dituturkan oleh Manek Ndoen59(putera kandung Manek Delha, Abner Ndoen) bahwa:

Matheos Petrus bersama + 100 orang warga Nusak Delha telah ditahan di Markas Komando Rayon Militer (Koramil) di Baa dengan tuduhan terlibat dalam organisasi PKI. Abner Ndoen kemudian ke Baa dan bertemu dengan Komandan Koramil saai itu, kalau tidak salah namanya Mayor Karyono60. Sebelum bertemu, Abner Ndoen telah diingatkan oleh Hakim Joos J.J. Ngefak dan Jaksa Lalamentik agar berhati-hati jika berada di dalam area militer. Hakim dan Jaksa tidak memiliki kekuasaan lagi kalau militer sudah berbicara, kalau mereka tembak mati yah langsung tembak saja.

59 Wawancara tanggal 19 Maret 2008 (saat peristiwa Bo’a, Manek Ndoen berada di Kupang, uraian ini menurut penuturan Ayahnya sewaktu menjabat sebagai Manek di Nusak Delha). Sayangnya, Manek Ndoen tidak ingat lagi kapan kejadian ini berlangsung. 60 Manek Ndoen juga menyebutkan nama lain yang mirip antara Kurdiono, Kardiono Kardono, atau Kartono (beliau tidak ingat persis nama yang pasti).

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

82

Abner Ndoen tidak gentar dan langsung menemui Danramil, saat itu Danramil didampingi oleh Sersan Kurbi61. Hasilnya adalah Danramil mengijinkan membawa pulang warga Nusak Delha yang ditahan dengan catatan hanya yang diketahui telibat sebagai anggota PKI saja yang tetap ditahan. Ada sekitar 12 orang warga Nusak Delha yang ditahan karena mereka merupakan anggota PKI, salah satu di antaranya adalah Matheos Petrus. Keesokan harinya, ke-12 orang warga Nusak Delha yang ditahan termasuk Matheos Petrus, ditembak mati di depan markas Koramil di Baa. Penembakan mati anggota PKI ini membuat warga Nusak Delha sangat berhati-hati memilih partai politik.

Pemerintah selalu berusaha menyadarkan rakyat agar mau membayar pajak.62 Pada tanggal 22 Oktober 1959, Utusan Kepala Daerah Tingkat II Kupang (Sdr. M.E. Ngefak) dengan didampingi oleh anggota DPDS Swapraja Rote Ndao memberikan nasehat lisan kepada rakyat Delha di Rumah Manek Delha agar tetap membayar pajak. Kronologis pertemuan tanggal 22 Oktober 195963 penulis kutip kembali secara ringkas sebagai berikut:

Pada awal inti pembicaraan adalah terganggunya keuangan Swapraja Rote Ndao karena sebagian besar rakyat Delha tidak mau membayar pajak. Kemudian pertemuan dilanjutkan dengan Tanya Jawab. Lalu muncul Matheos Petrus, pensiunan KNIL yang berdiam di Teteana dan berbicara sebagai berikut:

Saya Matheos Petrus menerangkan bahwa pemerintah menga-takan saya pengacau/penghasut sehingga orang-orang Delha tidak mau membayar pajak. Tetapi sebenarnya orang-orang Delha sebanyak 305 orang datang untuk meminta saya menjadi pemimpin mereka untuk membuat surat keberatan kepada Presiden RI Soekarno.

61 Sersan Kurbi, terkenal di Rote sebagai anggota tentara yang paling jahat (wawancara dengan Manek Ndoen, 19 Maret 2008) 62 Sesuai dengan relas Pengamat Pajak Tingkat I Rote/Sabu L. Salow pada tanggal 16 Desember 1957, relas anggota DPDS Swarapaja Rote Ndao W.St. Mbate Mooy pada tanggal 18 Desember 1957 63 Sesuai dengan relas Pengamat Pajak Tingkat I Rote/Sabu L. Salow pada tanggal 16 Desember 1957, relas anggota DPDS Swarapaja Rote Ndao W.St. Mbate Mooy pada tanggal 18 Desember 1957

Peristiwa Protes Sosial di Rote

83

Saya mengaku bahwa saya telah membuat surat itu kepada Presiden RI minta supaya besar pajak setahun hanya Rp.3.75 (tiga 75/100 rupiah) untuk seorang wajib pajak setahun. Tetapi hingga kini belum ada balasan kabar apa-apa dari Presiden, olehnya semua ini hanya bayar pajak sebesar Rp.3.75, lebih tidak.64

Lalu Sdr. M.E. Ngefak (utusan Kepala Daerah Tingkat II Kupang Wilayah Rote/Sabu di Baa) menjelaskan lagi kepada hadirin bahwa pemerintah tidak mengatakan bahwa oknum Matheos Petrus-lah yang menjadi pengacau di sini. Tetapi Pemerintah mengatakan bahwa ada beberapa orang yang sementara dalam penyelidikan dan tidak menyebutkan orangnya. Tetapi karena Saudara Matheos Petrus menyebutkan bahwa dialah pemimpin 305 orang Nusak Delha yang onar membayar pajak selama ini, maka pekerjaan Pemerintah untuk mencari pengacau itu menjadi lebih ringan.

Dalam laporan perjalanan dinas anggota DPDS Swapraja Rote Ndao W.St. Mbate Mooy dengan Surat Perintah Jalan Nomor 85/1957 tanggal 10 Desember 1957 sampai dengan 16 Desember 1957 pada intinya menyatakan bahwa Manek Oenale dan juru tulisnya Petrus Giri bersekongkol untuk menyembunyikan sesuatu, kemungkinan mereka berusaha menghindari dari kunjungan tersebut untuk memperbaiki keuangan Nusak Delha yang kacau balau.

− Periode IV. Pada tanggal 25 Januari 1960, Manek Delha bersurat kepada utusan Kepala Daerah Tingkat II Kupang M.E. Ngefak di Baa untuk menangani tindakan PKI di Nusak Delha. Rupanya Matheos Petrus berupaya meminta bantuan pada PKI untuk memuluskan perjuangannya mempengaruhi masyarakat Desa Bo’a. Pada tanggal 1 Januari 1960, PKI resmi memasang papan nama partainya di Desa Nemberala65 berkat bantuan Matheos Petrus yang juga saat itu resmi menjadi anggota PKI.

64 Imanuel Ndoen dalam wawancara tanggal 20 Maret 2008 di Rote, menuturkan bahwa Matheos Petrus tidak pernah mengirimkan surat gugatan itu pada Presiden RI Soekarno, uang yang dikumpulkan dengan alasan untuk biaya pengiriman surat ke Jakarta malah digunakan untuk kepentingan pribadi Matheos Petrus. 65 Pendirian ini juga ditandai dengan pesta yang dihadiri oleh sebagian rakyat Nusak Delha. Ternyata bahwa pendirian cabang itu PKI tanpa seijin Pemerintah Swapraja dan

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

84

− Periode V. Pada tanggal 4 Mei 1960 Kepala Daerah Tingkat II Kupang W.C. Oematan dan Komandan Sektor C Overate juga memberi nasehat kepada rakyat Delha (pada waktu itu hadir sekitar 200 orang, nasehat-nasehat ini diterjemahkan ke dalam bahasa Delha oleh anggota DPDS Swapraja Rote Ndao, W.St. Mbate Mooy). Nasehat ini dilakukan di rumah Manek Delha di Desa Nemberala. Pada tanggal 6 Mei 1960, Kepala Pemerintahan Setempat Rote/Sabu N.G. nDoen melalui suratnya dengan nomor: 6/5/58/Rhsts meminta bantuan kepada Komandan Vak. I, Kapten Kana untuk menangani masalah Delha. Kemudian disusul lagi dengan Surat DPDS Swapraja Rote Ndao nomor: 107/Rhs/1958 yang ditandatangani oleh Kepala DPDS Swapraja Rote Ndao Ch.P. Manubulu.

Untuk memulihkan keuangan swapraja Rote Ndao, maka Kepala Daerah Tingkat II Kupang W.C. Oematan memerintahkan Kepala DPDS Swapraja Rote Ndao Ch.P. Manubulu untuk segera membentuk tim penagih pajak yang terdiri dari unsur Nusak Delha, unsur DPDS Swapraja Rote Ndao dan unsur Polisi Negara. Tim ini terdiri dari 13 orang yang bertugas menagih pajak sejak Tahun 1949-1959 kepada 305 orang yang berdiam di Desa Bo’a Nusak Delha. Tim ini mulai tertugas pada tanggal 10 Mei 1960 jam 14.00 Wita mereka bertolak menuju Nusak Delha dari Baa menggunakan kuda. Ke-13 anggota tim penagih pajak yang dibentuk dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini:

Polisi setempat walaupun pada saat itu ada larangan melakukan aktifitas partai oleh penguasa perang sementara.

Peristiwa Protes Sosial di Rote

85

Tabel 4.2. Anggota Tim Penagih Pajak

NO NAMA ANGGOTA TIM UNSUR 1 Abner Ndoen Manek Delha 2 Obed Kili Temukung Sedeoeo 3 Thoma Fua Temukung Mbui 4 Diogomis Loa Temukung Ombak 5 Agus Mengge Temukung Teai 6 Hanok Balu Temukung Leoanak 7 D. Ndoen Juru Tulis Pajak Nusak Delha 8 B.M. Bailaen Juru Tulis Swapraja Rote 9 J. Bessie Pesuruh Swapraja Rote 10 J. Foeh Pegawai Pajak Swapraja Rote 11 H. Bessie Anggota Polisi Negara & Komandan

Patroli 12 I Made Kukuh Anggota Polisi Negara 13 Petrus Ngongobili Anggota Polisi Negara

Sumber: Laporan Tertulis Manek Delha Abner Ndoen dan Laporan Tertulis Petugas Pajak Z.M. Mbolik Tahun 1960 dalam Naskah Dinas DPDS Swapraja Rote Ndao Tahun 1960

Pada tanggal 12 Mei 1960, tim melakukan penagihan di kampung LoEdi, SedeoEn, Hehenat, dan OefoE/LenaoEn. Tanggal 13 Mei 1960 tim melakukan penagihan di kampung BonioEn, Tuaneo dan Mbore. Semuanya aktivitas penagihan selama 2 hari berturut-turut berjalan dengan baik.

Pada tanggal 14 Mei 1960 jam 07.30 Tim penagih pajak berangkat dari Desa Nemberala menuju kampung TunggaoEn dengan jarak tempuh + 3 Km2 menggunakan kuda untuk menagih pajak di TunggaoEn. Pada pukul 08.30 tim tiba di TunggaoEn dan rumah pertama yang mereka tagih kebetulan hanya ada seorang perempuan di dalam rumah yang bernama Sui Suek. Sui Suek tidak mau membayar pajak dengan alasan pajak sebesar Rp.3.75 per orang per tahun sudah dibayarkan (dibayarkan oleh Matheos Petrus) dan karena itu kami tidak mau membayar lagi. Salah seorang anggota tim penagih pajak Petrus Ngongobili yang juga anggota polisi negara berusaha menjelaskan dan meminta Sui Suek segera mengambil uang dan membayar pajak sesuai jumlah tagihan. Tetapi sebaliknya, Sui Suek

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

86

malah berusaha merampas pistol yang ada di pinggang Petrus Ngongobili namun upayanya gagal. Hanya tali senjata yang bisa diraih oleh Sui Suek. Sui Suek akhirnya berteriak minta tolong, beberapa pemuda TunggaoEN yang berbadan kekar keluar dan menbantu Sui Suek. Melihat kondisi yang semakin tidak terkendali, Petrus Ngongobili mengeluarkan tembakan peringatan ke udara sambil berteriak “sabar saudara-saudara” karena ketakutan akhirnya mereka lari tunggang langgang. Sementara itu Sui Suek tidak mampu berbuat banyak karena wajahnya ditampar oleh polisi hingga hidungnya berdarah.

Informasi lisan lainnya dikemukakan oleh Arnolus Bernaduz Ndoen (38 Tahun)66, bahwa peristiwa tersebut dipicu oleh "kebohongan" yang diceritakan oleh seorang Ibu dari Desa Bo'a. Tante As mengatakan, bahwa Dia di "pukul" oleh beberapa Penagih Pajak saat bertemu di jalan. Mendengar, bahwa ada wanita dari Bo'a "dipukul" oleh Penagih Pajak, maka masyarakat Bo'a, tanpa cross check lebih jauh tentang peristiwa "pemukulan" tersebut, langsung melakukan penghadangan dan penganiayaan, hingga terjadi korban jiwa. Entah kejadian itu dipicu oleh suatu "kebohongan" atau tidak tersebut lalu bergeser ke persoalan politik/ideologi.

Karena sudah tidak ada lagi perlawanan, maka penagihan di kampung TunggaoEn dilakukan sampai selesai. Kemudian tim memutuskan untuk beristirahat sambil makan siang bersama di rumah D. Ndoen, juru tulis pajak Nusak Delha. Setelah makan siang, tim melanjutkan perjalanan ke Desa Bo’a

Tim penagih pajak tiba di Desa Bo’a pada pukul 15.00 Wita, rumah pertama yang didatangi tim penagih pajak adalah rumah milik wajib pajak Matheos Rassi, namun yang bersangkutan tidak ada di rumah, hanya istrinya Asnat Nggadas. Sehingga ia diminta untuk memanggil suaminya, tim menunggu hingga lebih dari 5 menit, Matheos Rassi juga belum datang, akhirnya tim memutuskan

66 Wawancara tanggal 24 Juli 2008

Peristiwa Protes Sosial di Rote

87

melanjutkan perjalanan ke rumah wajib pajak yang lain di kampung Bo’a sambil memberikan tambahan waktu bagi Asnat Nggadas untuk memanggil suaminya. Asnat Nggadas malah mengeluarkan sungutan/makian berbunyi “Ndera Tek” atau “Kilat Sambar”. Namun makian ini tidak dipedulikan oleh tim.

Rupanya warga Desa Bo’a sudah mengetahui akan kedatangan “tamu tak diundang”. Saat tiba di sebuah tanah lapang di pinggir pantai (lihat foto di halaman berikut), tim dikejutkan oleh serangan warga Desa Bo’a yang menggunakan senjata kayu pemukul. Melihat kondisi ini, H. Bessie, anggota polisi negara yang juga komandan patroli meminta warga agar menyimpan kayu pemukul mereka tetapi himbauan ini tidak dihiraukan hingga H. Bessie dan 2 anggota polisi lainnya I Made Kukuh dan Petrus Ngongobili mengeluarkan tembakan peringatan ke udara hingga 4 kali. Warga yang berjumlah + 100 orang malah semakin beringas dan tidak takut lagi dengan tembakan polisi, perkelahian polisi dan warga tak dapat dihindari, 2 orang polisi yakni H. Bessie dan I Made Kukuh jatuh ke tanah dan tidak bergerak lagi, mereka tewas di tempat. Dari warga sipil, ada 2 orang yang juga tewas di tempat, mereka tewas terkena tembakan polisi, yakni Benyamin Nggadas dan Lukas Boro, beberapa warga lainnya juga terkena luka tembak tetapi tidak sampai meninggal.

Melihat dua temannya sudah terkapar dan tidak bergerak lagi, Petrus Ngongobili lalu melarikan diri ke hutan dengan hanya menggunakan “kelewang” Rote untuk menjaga diri, senjata milik Petrus Ngongobili sudah dirampas warga dan kepalanya dalam keadaan luka serta mengeluarkan banyak darah akibat hantaman kayu pemukul. Petrus Ngongobili dikejar oleh 3 orang warga namun rupanya mereka gagal, Petrus Ngongobili berhasil menyelamatkan diri dengan cara pura-pura mati. Sementara tim penagih pajak yang lain melarikan diri dengan kuda ke Desa Nemberala, saat itu mereka sempat mengenali Linus Adu67 dan Ngeni sementara mengejar mereka dari

67 Linus Adu adalah warga sipil yang menyerang I Made Kukuh hingga tewas, wawancara dengan Imanuel Ndoen (75 Tahun) tanggal 20 Maret 2008.

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

88

belakang, tetapi Linus dan Ngeni tak mampu melawan kecepatan laju kuda.

Tim penagih pajak yang melarikan diri tiba di Desa Nemberala keesokan harinya (tanggal 15 Mei 1960) pada jam 16.00 Wita. 1 jam kemudian tiba-tiba muncul Petrus Ngongobili dalam keadaan luka parah di kepala. Ia membawa berita bahwa 2 temannya telah meninggal dunia. Kondisi Petrus Ngongobili68 sangat lemah karena dikejar oleh kira-kira 10 orang warga Desa Bo’a ditambah lagi harus berlari sejuah + 10 Km2 (jarak Desa Bo’a dan Desa Nemberala).

(Foto: Wilson Therik, 2007)

Gambar 4.1. Lokasi Pertempuran antara Warga Desa Bo'a dengan Tim Penagih Pajak pada Tahun 1960. Kini merupakan bagian dari Kawasan Wisata

Nemberala

68 Petrus Ngongobilli dikabarkan masih hidup dan kini menetap dikampung halamannya di Pulau Sumba dengan keadaan sakit jiwa (gila) mungkin karena pengaruh hantaman kayu pemukul di bagian kepala saat peristwa Bo’a Mei 1960. Wawancara dengan Imanuel Ndoen (75 Tahun) tanggal 20 Maret 2008.

Peristiwa Protes Sosial di Rote

89

Pada tanggal 16 Mei 1960 Manek Delha Abner Ndoen mengirim laporan tertulis yang ditujukan kepada Kepala DPDS Swapraja Rote Ndao, Kepala Polisi Negara Wilayah Rote Ndao, Utusan Kepala Daerah Tingkat II Kupang di Baa dengan tembusan kepada Kepala Daerah Tingkat II Kupang di Kupang tentang kronologis peristiwa Bo’a tanggal 14 Mei 1960. sementara itu di Desa Bo’a seluruh warga mulai mengungsi ke desa tetangga dan praktis tidak ada satu orang pun yang mendiam Desa Bo’a, mereka sangat ketakutan jika ada serangan balasan yang dilakukan oleh Polisi, karena mereka telah mengetahui bahwa 2 orang anggota polisi tewas di tempat dan mayatnya masih berada di tanah lapang di pinggir pantai. Ketakutan ini tidak hanya dialami oleh warga Desa Bo’a tetapi juga oleh warga desa tetangga lainnya (termasuk di Desa Nemberala), mereka melakukan patroli siang dan malam tanpa henti sampai menunggu bantuan tentara dan polisi tiba di tempat mereka.

(Foto: Wilson Therik, 2007)

Gambar 4. 2 Puing rumah pertama yang dibakar oleh polisi pada tanggal 16 Mei 1960 di Desa Bo’a.

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

90

Tanggal 17 Mei 1960, seluruh rumah warga di Desa Bo’a telah dibakar, hanya tersisa 19 rumah, 59 rumah lainnya rata dengan tanah, pada tanggal 18 Mei 1960 disusul lagi 3 rumah yang dibakar, total rumah yang terbakar sebanyak 62 rumah. Sementara itu pada tanggal 17 Mei 1960 bantuan tentara (TNI-AD) dan Polisi (Birgade Mobil) tiba di Baa dari Kupang. Pasukan TNI-AD dipimpin oleh Kapten El Tari69, sementara pasukan Brimob dipimpin oleh Kapten Gasperz70, rombongan ini membawa bantuan sosial berupa bahan makanan, pakaian, obat-obatan untuk warga Desa Bo’a yang mengungsi. Pada tanggal 18 Mei 1960, dibawah pimpinan Lts. J. Fanggidae, pasukan TNI-AD dan Brimob berangkat menuju Nusak Delha untuk melakukan pengamanan di Nusak Delha serta memberikan bantuan sosial kepada warga Desa Bo’a yang mengungsi di desa-desa tetangga di Nusak Oenale, Nusak Thie dan Nusak Dengka.

Pada tanggal 19 Mei 1960, dilakukan langkah-langkah penanganan lanjutan secara objektif, diantaranya segala tindakan pidana diserahkan kepada polisi, jaksa dan hakim; distribusi makanan, pakaian dan obat-obatan dibawah pengawasan Jawatan Sosial; membangun rumah penampungan sementara bagi warga Desa Bo’a yang tidak memiliki rumah karena di bakar dan membentuk Panitia Khusus untuk menilai kerugian rumah-rumah yang terbakar di Desa Bo’a. Total nilai kerugian rumah yang terbakar mencapai Rp64.500 sebagaimana tertulis dalam Berita Acara Panitia Khusus tanggal 10 Juni 1960. Panitia Khusus dimaksud dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut ini:

69 Terakhir El Tari menjabat sebagai Gubernur NTT yang kedua dengan pangkat Brigadir Jenderal.TNI menggantikan Gubernur NTT yang pertama W.J. Lalamentik. 70 Kapten Gasperz adalah Komandan Markas Brimob Daerah NTT yang pertama dan salah satu tokoh pendiri Markas Brimob Daerah NTT.

Peristiwa Protes Sosial di Rote

91

Tabel 4.3. Panitia Khusus Perkiraan Kerugian Rumah Warga Desa Bo’a

NO NAMA UNSUR JABATAN 1 Abner Ndoen Manek Delha Ketua 2 Z.M. Mbolik Swaparaja Rote Ndao Anggota 3 H. Doko Kejaksaan Pengadilan Negeri Anggota 4 M.D. Pany Utusan Kepala Daerah Tingkat II Kupang Anggota 5 A.J. Toelle Jawatan Sosial Anggota 6 J.K. Serang Kepolisian Anggota 7 J. Foeh Instansi Pajak Anggota

Sumber: Berita Acara Panitia Khusus tanggal 10 Juni 1960

Hasil kerja Panitia Khusus dibangun berdasarkan asumsi rumah besar berharga @Rp.1500,- rumah sedang berharga @Rp.750,- dan rumah kecil berharga @Rp500,- Karena rumah besar yang terbakar berjumlah 28 buah, rumah sedang 22 buah dan rumah kecil 12 buah, maka jumlah kerugian mencapai Rp64.500,- Ukuran yang digunakan dalam mengklasifikasi besar kecilnya harga sebuah rumah adalah: 1) rumah-rumah tersebut dibuat pada waktu bahan-bahan bangunan masih dalam keadaan murah; 2) rumah-rumah ini didirikan secara gotong royong sehingga tidak berbiaya besar; 3) bahan-bahan bangunan yang digunakan berkualitas rendah; dan 4) rumah-rumah tersebut hanya sebagian kecil yang memenuhi syarat sebagai rumah layak huni, bahkan bisa dikatakan hanya sekedar untuk menaungi penghuni.71

Dalam relas pegawai DPDS Swapraja Rote Ndao M.M. Ndoen tertanggal 12 Juli 1960 tertulis bahwa bantuan sukarela dari Nusak-Nusak di Rote terkumpul sebanyak 31 karung beras atau 1.111 Kg beras. Bantuan ini dikumpulkan di Baa, kemudian diangkut ke Delha dengan menggunakan kapal motor Sukaria dengan juragan bernama La Tjina.

Penanganan lain yang dilakukan diantaranya adalah: memberikan penerangan umum berupa pemutaran film kepada masyarakat Desa Bo’a yang mengungsi dan masyarakat di Nusak Delha

71 Berita Acara Panitia Khusus Perkiraan Rumah tanggal 10 Juni 1960.

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

92

pada umumnya; diupayakan pembukaan kebun kolektif atas dasar gotong-royong untuk masing-masing laki-laki kuat seluas 5 are, sebagai upaya cadangan pangan dengan penanaman ubi kayu dan lain-lain; diusahakan diadakan pekabaran injil untuk memperbaiki rohani penduduk; diupayakan mengembangkan Sekolah Rakyat (SR) di Nemberala untuk mendidik anak-anak yang butah huruf serta diupayakan perkunjungan kaum wanita (wanita masehi/ bhayangkara/dorkas) ke Nusak Delha untuk membantu kaum perempuan dan anak-anak.72

Setelah peristiwa Bo’a 1960 berlalu, banyak orang beranggapan bahwa peristiwa tersebut didalangi oleh PKI. PKI dituduh mempengaruhi warga agar tidak membayar pajak pada pemerintah. Dari berbagai hasil wawancara dan penelusuran literatur sebagaimana yang telah penulis kemukakan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa peristiwa di Desa Bo’a pada bulan Mei 1960 tidak memiliki kaitan langsung dengan aktifitas PKI di Rote khususnya di Nusak Delha.

Kesimpulan

Rentetan peristiwa perlawanan yang telah dikemukakan di atas sesungguhnya telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Rote baik pada masa negara kolonial maupun sesudahnya. Namun gerakan perlawanan yang terjadi pada era kolonial itu lebih dititikberatkan pada perjuangan untuk mempertahankan identitas dan keberadaan nusak. Sementara perlawanan yang terjadi pada masa sesudahnya lebih dititikberatkan kepada perjuangan untuk mendapatkan hak-hak atas akses terhadap ekonomi, sosial dan budaya (ekososbud), salah satunya adalah gerakan antipajak yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bo'a pada Tahun 1960 terhadap pemerintahan Orde Lama.

72 Lihat: Naskah Dinas DPDS Swapraja Rote Ndao Tahun 1960