BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG...

28
219 BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’ Dalam uraian-uraian dalam Bab-bab tentang kekerabatan, kepemimpinan, perekonomian, hiburan dan kesenian, telah terungkap adanya unsur spiritual yang muncul dari spiritual capital yang dimiliki oleh kelompok masyarakat DHL. Kekerabatan itu sesuatu yang sangat manusiawi dan tidak ada kaitan langsung dengan agama asli suku Buna’yang percaya kepada Hot Esen sebagai Yang Maha Tinggi. Urusan yang lain pun demikian, misalnya urusan ladang, tidak ada kaitan dengan agama asli. Jadi kekerabatan, kepemimpinan, perekonomian desa, kesenian, permainan dari suku Buna’ tidak ada kaitan langsung dengan agama. Semuanya itu merupakan pemunculan dari suatu kesadaran dasar dalam masyarakat akan adanya leluhur, roh-roh dan Hot Esen. Muncul pertanyaan, apakah lebih dahulu ada agama asli yang mengajarkan tentang adanya arwah leluhur, roh-roh dan Hot Esen baru masyarakat mengetrapkan isi ajaran itu dalam hidup harian? Ataukah sebaliknya, kesadaran tentang adanya arwah leluhur, roh-roh dan Hot Esen itu yang dimunculkan dalam agama? Jawaban atas pertanyaan ini akan diuraikan dalam Bab VII, dalam mana akan dikemukakan uraian tentang Hot Esen: Esensi Religi Orang Buna’ SUBJEK KEPERCAYAAN ASLI SUKU BUNA’ Masyarakat Buna’ secara sadar selalu menyapa mugen bei mil (arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Ada kemiripan yang menarik antara kepercayaan Piar Hot Esen (agama asli suku Buna’, percaya pada Yang Maha Tinggi ) dengan Agama Kristen Katolik.

Transcript of BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG...

Page 1: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

219

BAB 8 HOT ESEN

ESENSI RELIGI ORANG BUNA’ Dalam uraian-uraian dalam Bab-bab tentang kekerabatan, kepemimpinan, perekonomian, hiburan dan kesenian, telah terungkap adanya unsur spiritual yang muncul dari spiritual capital yang dimiliki oleh kelompok masyarakat DHL. Kekerabatan itu sesuatu yang sangat manusiawi dan tidak ada kaitan langsung dengan agama asli suku Buna’’ yang percaya kepada Hot Esen sebagai Yang Maha Tinggi. Urusan yang lain pun demikian, misalnya urusan ladang, tidak ada kaitan dengan agama asli. Jadi kekerabatan, kepemimpinan, perekonomian desa, kesenian, permainan dari suku Buna’ tidak ada kaitan langsung dengan agama. Semuanya itu merupakan pemunculan dari suatu kesadaran dasar dalam masyarakat akan adanya leluhur, roh-roh dan Hot Esen.

Muncul pertanyaan, apakah lebih dahulu ada agama asli yang mengajarkan tentang adanya arwah leluhur, roh-roh dan Hot Esen baru masyarakat mengetrapkan isi ajaran itu dalam hidup harian? Ataukah sebaliknya, kesadaran tentang adanya arwah leluhur, roh-roh dan Hot Esen itu yang dimunculkan dalam agama?

Jawaban atas pertanyaan ini akan diuraikan dalam Bab VII, dalam mana akan dikemukakan uraian tentang Hot Esen: Esensi Religi Orang Buna’ SUBJEK KEPERCAYAAN ASLI SUKU BUNA’

Masyarakat Buna’ secara sadar selalu menyapa mugen bei mil (arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Ada kemiripan yang menarik antara kepercayaan Piar Hot Esen (agama asli suku Buna’, percaya pada Yang Maha Tinggi ) dengan Agama Kristen Katolik.

Page 2: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

220

Dalam Piar Hot Esen ada tiga subyek yang diyakini menguasai kehidupan manusia, ialah: mugen bei mil (roh leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi), Hot Esen (Matahari Yang Tinggi, Tuhan). Tiga tingkatan subyek yang selalu dihubungi dalam semua ritus-ritus agama asli suku Buna’, Piar Hot Esen ini mirip dengan kepercayaan dalam Agama Kristen Katolik yang percaya akan adanya para Kudus (Santu dan Santa), Roh baik atau Malaikat dan Roh jahat atau Iblis, dan Allah Yang Maha Tinggi. Atas dasar kemiripan ini, pihak Gereja Katolik mengambil alih Nama Hot Esen untuk Tuhan Allah. Seluruh siklus hidup orang Buna’, seluruh upaya untuk memperoleh rezeki dalam bertani dan beternak, seluruh kegiatan memelihara alam sekitar, malah sampai kepada kesenian dan hiburan pun selalu dikaitkan dengan kuasa dari tiga subyek ini: mugen bei mil, pan muk gomo dan Hot Esen.

Saat penelitian ini dilaksanakan, masyarakat suku Buna’ di DHL secara statistic, seratus persen memeluk agama Kristen Katolik. Namun demikian, para pemeluk agama Kristen Katolik itu, pada hakekatnya belum melepaskan konsep-konsep keagamaan yang berasal dari religi asli, Piar Hot Esen. Unsur penting dalam religi asli itu adalah adanya kepercayaan bahwa ada satu kekuatan yang Tertinggi, disebut “Hot” atau “Hot Esen”. Dalam syair-syair mitologis Hot Esen disebut “ Masa’ Giral Kere’, Bo’al Gepal Uen” (Yang Agung bermata tunggal dan bertelinga tunggal = Yang Agung Maha Sempurna). Pada pembukaan dan penutupan setiap doa, pada segala macam upacara, selalu disebut terlebih dahulu Hot Esen dengan perkataan berikut, “ Hot, Ligi O Le Esen, Tiu O Mugi As, Beka’ O Nola’ Esen” (Demi Matahari Yang Maha Tahu, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Agung). Kemudian baru disapa, arwah leluhur, yang sudah berada di samping Hot, untuk menyampaikan segala macam permohonan kepada Hot Esen. Dalam mitologi suku Buna’ tentang penciptaan dunia, ada kepercayaan yang menyatakan bahwa Hot Esen berdiam di Esen Hitu As Hitu (tempat yang tinggi lapis ketujuh), suatu tempat yang istimewa tidak ada tandingannya. Waktu Hot Esen ini bertakhta di tempat yang tinggi itu, ada kegelapan meliputi seluruh alam raya. Untuk menghalau kegelapan, Hot Esen ciptakan bintang, bulan dan matahari. Ternyata di bawa Esen Hitu As Hitu, hanya ada air tidak terbatas. Hot Esen

Page 3: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

221

menjatuhkan satu gumpalan tanah dan tanah itu menjadi air. Hot Esen menjatuhkan tiga gumpalan tanah lagi dan ada binatang bergerak dalam air. Lalu Hot Esen menjatuhkan lagi lima gumpalan tanah dan terjadilah daratan yang terpisah dari air. Tanah yang mulai kelihatan itu hanya datar, tidak ada bukit dangunung. Tanah datar ini ditumbuhi rumput liar. Hot Esen menjatuhkan lagi tujuh gumpalan tanah dan muncullah gunung-gunung dan bukit-bukit. Kemudian muncul di daratan itu berbagai jenis binatang seperti kambing, babi, kerbau. Binatang-binatang ini yang menggilas dan menghancurkan rumput-rumput. Jenis-jenis binatang lain pun diturunkan dan bumi dengan isinya itu disebut ‘zigi hitu mual hitu’ (berada tujuh lapis di bawah) artinya di tempat paling bawah, terpisah dari tujuh lapis yang ada di atas tempat Hot Esen berdiam.

Matahari dan bulan yang ada di langit itu kawin dan melahirkan anak manusia. Atas dasar itulah manusia menamakan diri hot gol, hul gol (anak matahari, anak bulan). Bintang-bintang pun kawin dan mereka ini melahirkan roh-roh, ada roh yang baik ada roh yang jahat. Berdasarkan ceritera ini, sampai sekarang manusia tidak boleh menunjuk dengan jari ke arah bulan dan bintang pada malam hari karena kalau menunjuk bulan dan bintang dengan jari, nanti jari akan membusuk dan putus. Anak-anak manusia yang dilahirkan dari perkawinan antara matahari dan bulan itu berdiam juga di tempat di mana Hot Esen berdiam. Tetapi manusia itu berkembang dan anak-anak manusia itu nakal, berkelahi dan mencuri, maka Hot Esen mengusir mereka turun dari tempat yang ada di ketinggian lapis ke tujuh, langsung ke bumi dan menghuni bumi. Mereka inilah yang kemudian datang dan menghuni tanah Lamaknen.

Berdasarkan mitologi ini, masyarakat DHL sebagai bahagian dari suku Buna’ percaya akan adanya tiga tingkat subyek sasaran pemujaan. Pertama, mugen bei mil ( arwah leluhur). Arwah para leluhur ini diyakini sebagai peletak keberadaan suku Buna’ sehingga dihormati sebagai subyek yang paling dekat dengan manusia. Kedua, pan-muk gomo, (penghuni langit dan bumi) yaitu roh-roh baik dan roh-roh jahat yang diyakini menghuni tempat-tempat di bumi dan di udara. Ketiga, Hot Esen (Matahari Tinggi) yang disapa dengan ungkapan, Hot Ligi o Le Esen, Bei Gepal Kere’ Giral Uen (Matahari yang berjaga dan besinar di ketinggian, nenek bertelinga satu, bermata tunggal).

Page 4: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

222

Tiga subyek ini diyakini ada dan selalu mencampuri urusan manusia di dunia ini. Mugen (arwah) yang dianggap paling dekat dan selalu disapa pertama untuk mencapai Hot Esen. Roh-roh, pan muk gomo, terdiri dari roh yang baik yang disapa sebagai perantara dan roh yang jahat disapa untuk tidak menghalangi doa atau disapa supaya jangan mengganggu kehidupan manusia. Kepada roh yang baik persembahan diletakkan di tempat khusus, kepada roh yang jahat persembahan dihamburkan ke udara ke empat penjuru mata angin. Mata angin orang Buna’ dikenal dengan istilah hot taru weni (arah matahari terbit = Timur), hot topa weni (arah matahari terbenam = Barat), muk gulo weni ’( arah ekor bumi, bahagian bawah = Selatan), muk gubul weni (arah kepala bumi, bahagian atas = Utara).

Pemujaan terhadap tiga subyek ini dilaksanakan sesuai siklus kehidupan manusia, lahir, kawin, sakit, mati, dan sesuai siklus pekerjaan, buka kebun, tanam dan panen. Di samping itu pemujaan diadakan untuk kepentingan khusus seperti pada saat membangun rumah adat, pada saat ada mala petaka dan pada saat mohon kesuburan untuk hewan piaraan.

Tokoh agama asli yang menjadi pendoa, ialah mako’an (tokoh agama, tokoh ahli adat, pendoa). Ada tokoh yang lain, agan, bertindak sebagai dukun yang mengobati sisakit dengan upacara penyembahan leluhur, roh-roh dan Tuhan dalam bentuk kurban dan doa-doa lalu memberikan ramuan obat-obatan yang dirahasiakan karena dianggap diturunkan oleh leluhur. Dua orang ini, mako’an dan agan dianggap sebagai pejabat rohani dalam sistem kepercayaan orang-orang Buna’. Dua orang inilah yang dianggap berwenang dan mempunyai wibawa untuk berkontak dengan roh-roh.

Saat-saat pemujaan sudah ditetapkan secara turun-temurun dan erat berkaitan dengan adat-istiadat. Setiap hari mulai pagi, sudah ada doa dengan cara meletakkan sirih pinang di dalam rumah, di bawah tiang agung.

TEMPAT PEMUJAAN: MOT

Tempat paling sakral dalam Agama Asli suku Buna’ adalah ‘Mot’. Tempat ini ada di tengah kampung. Rumah-rumah adat didirikan di atas bukit dalam pola lingkaran. Di tengah lingkaran ini dibangun

Page 5: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

223

susunan batu yang lebih tinggi dan berbentuk lingkaran. Susunan batu-batu di tengah kampung inilah yang dinamakan ‘Mot’. Dalam tradisi suku tetangga, suku Tetun, tempat ini disebut ‘Ksadan’ dalam bahasa Tetun.

Bangunan berupa susunan batu ini merupakan lingkaran yang berukuran garis tengahnya antara lima puluh sampai seratus meter. Tergantung dari luasnya pelataran di tengah kampung yang diperuntukkan bagi bangunan ini. Mot ini dibagi dua: Mot Mone dan Mot Pana. Dalam bahasa Buna’, Mot Mone, (Mot = susunan batu; Mone = laki-laki; Pana = perempuan). Mot Mone ruangannya lebih sempit. Mot Pana ruangannya lebih luas. Mot Mone berfungsi sebagai tempat urusan penyelesaian perkara, sedangkan Mot Pana berfungsi sebagai tempat urusan mohon berkat.

Urusan perkara seperi perselisihan, pencurian, pembunuhan, disidangkan dan diputuskan di Mot Mone. Urusan permohonan berkat atas usaha, atas perjalanan, atas pelantikan, diupacarakan di Mot Pana yang ruangnya lebih luas. Mot Mone berkaitan dengan urusan duniawi. Mot Pana berkaitan dengan urusan ilahi. Dengan kata lain, Mot Mone kurang luhur dibandingkan dengan Mot Pana. Anggapan ini berkaitan erat dengan adat Suku Buna’ yang lebih menghargai status perempuan dari pada status laki-laki.

Di tengah lingkaran Mot Pana, ada tempat yang dianggap paling sakral, yaitu: Bosok Op. Bosok = susunan batu berupa ‘altar’ tempat diletakkan persembahan, ukuran tinggi bangunan sekitar satu meter, garis tengah sekitar dua meter. Bosok Op, (Op = tinggi) artinya susunan batu atau altar yang paling tinggi. Perbedaan dari Bosok Op dengan Bosok lain, ialah setiap rumah, setiap tempat ada Bosok sebagai tempat persembahan khusus. Bosok Op, milik seluruh isi desa, dan hanya dipakai untuk urusan upacara yang menyangkut kepentingan umum.

Ruang di sekitar Bosok Op, tidak boleh ditempati atau dimasuki oleh kaum perempuan. Hanya kaum laki-laki, khususnya pemimpin ibadat yang disebut ‘Mako’an’ dan orang yang diupacarakan, boleh menginjak tempat di sekitar ‘Bosok Op’ yang ada di tengah-tengah Mot. Dengan sendirinya tidak pernah boleh ada seorang perempuan yang diupacarakan di Mot Pana. Hanya seorang laki-laki saja yang bisa diupacarakan dalam bentuk pelantikan atau pengutusan untuk melaksanakan sesuatu tugas menyangkut kepentingan masyarakat luas.

Page 6: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

224

Mot merupakan tempat sakral dengan Bosok Op sebagai tempat paling sakral. Di Mot diadakan upacara untuk membawa persembahan kepada tiga subyek yang diyakini sebagai roh penghuni dunia ilahi. Di Bosok Op yang ada di tengah Mot Pana, bahan persembahan diletakkan dan Mako’an mendaraskan doa yang selalui diawali dengan seruan kepada “Hot Esen”.

Sesudah pujaan tertinggi diarahkan kepada Hot Esen, pada tempat kedua pujaan ditujukan kepada arwah para leluhur (mugen) yang diberi sajian di Mot, di atas Bosok Op, dengan perbedaan, untuk Hot Esen diletakkan dalam tempat anyaman yang berhias, sedangkan untuk ‘Mugen’, diletakkan di dalam anyaman yang tidak berhias. Mugen ini yang paling dihormati yaitu mugen atau roh dari leluhur yang dikenal sebagai pahlawan atau penjasa dalam perjuangan suku.

Pada urutan yang ketiga, pemujaan ditujukan kepada pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi). Roh-roh ini ada yang baik dan ada yang jahat. Kepada pan muk gomo disajikan persembahan dengan perbedaan, untuk pan muk gomo yang baik, diletakkan di atas batu, tidak di dalam tempat anyaman. Dalam bahasa Buna’, dikenal istilah tuk ( tumpuk). Kepada pan muk gomo yang jahat, dihamburkan, kali (hambur). Dalam upacara persembahan ini, kepada Hot Esen persembahan disajikan dengan penuh hormat, disusul persembahan kepada leluhur. Sedangkan kepada pan muk gomo, yang baik diletakkan supaya mereka dengan tenang menyantap sajian itu sambil tetap berada dekat dengan manusia yang hidup. Untuk pan muk gomo yang jahat, sajian dihamburkan supaya mereka segera menerima bahagiannya lalu berangkat ke tempatnya yang jauh dari manusia dan tidak mengganggu ketenangan manusia.

Mot dan Bosok sebagai tempat sakral dari Suku Buna’ dapat dibandingkan dengan tempat sakral dalam tradisi Gereja Katolik, ruang Gereja dan Altar. Dalam Gereja Katolik ada orang khusus, yaitu Imam (Pastor) untuk memimpin Kurban Ekaristi di Altar, dalam tradisi Suku Buna’ ada Mako’an untuk memimpin Upacara di Mot dan berdiri dekat Bosok Op untuk meletakkan bahan persembahan di atas Bosok Op.

Dari segi tempat dan orang, ada kesejajaran yang sangat menarik sehingga orang suku Buna’ merasa bahwa ada pertalian antara Mot dan Gereja, antara Bosok dan Altar. Hal ini membuat mereka tidak merasa bersalah kalau mereka melaksanakan dua hal ini secara bersamaan.

Page 7: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

225

Perasaan tidak bersalah dalam memegang dua hal yang berbeda inilah yang menarik untuk diteliti.

Dasar dari perasaan beda sekaligus sama dalam hal keterikatan kepada Mot dan Gereja, Bosok dan Altar untuk sementara dapat diandaikan ada pada Spiritual capital yang dimiliki oleh setiap orang, setiap suku dari zaman ke zaman, dan melekat erat pada manusia itu sendiri.

Ada hal yang menarik, ialah Mot di kalangan Suku Buna’, bukan hanya tempat, tetapi suatu simbol kekuatan, suatu pengaruh dan keadaan yang diciptakan oleh orang-orang Suku Buna’ dalam kehidupan mereka yang sudah sekian lama sehingga sulit untuk dihilangkan atau dipadukan dengan kekuatan lain.

Dengan datangnya kekatolikan sejak tahun 1875 waktu orang-orang Buna’ dikunjungi oleh misionaris asing, suku Buna’ tetap mempertahankan kepercayaan asli mereka sambil menerima juga kepercayaan Agama Kristen Katolik. Suku Buna’ sudah mempunyai kekuatan, pengaruh dan keadaan yang ditimbulkan oleh kepercayaan rohani, pengetahuan rohani dan praktek rohani. Ini yang disebut ‘Spiritual capital’. Suku Buna’ sudah mempunyai spiritual capital ini sebelum Agama Katolik pertama kali datang di tengah leluhur mereka. Dampak dari Spiritual capital ini begitu kuat sehingga sulit untuk dirobah, karena Spiritual capital ini sudah menjadi kekuatan yang mempunyai pengaruh yang kuat dan tampak dalam keadaan yang ada sekarang.

‘Mot’ merupakan kiblat dari seluruh tatanan kehidupan Suku Buna’. Upacara adat Agama Asli itu berkesan karena dilaksanakan sesuai dengan warisan adat istiadat, dan diarahkan juga kepada Tuhan, kepada jiwa-jiwa, dan kepada roh-roh. Hal ini hanya beda ungkapan, tetapi ada kesamaan dengan ajaran dan tradisi katolik.

Di ‘Mot’ dirayakan upacara kelahiran, upacara kematian, upacara pembukaan ladang, upacara panen, upacara mohon berkat dan upacara tolak bala. Semuanya dipusatkan di ‘Mot’. Hal-hal sakral dan profan dipusatkan pada ibadat di ‘Mot’. Dan rasa sakral ini menijwai seluruh kehidupan orang suku Buna’. Kepercayaan kepada yang ilahi, tidak terbatas pada ritus di ‘Mot’. Perilaku dalam kehidupan sehari-hari dijiwai oleh rasa aman dan rasa hormat yang ditimba dari upacara di ‘Mot’. Larangan memetik hasil yang masih muda, seperti mangga,

Page 8: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

226

kelapa, pinang, ditaati karena dikumandangkan larangan itu mulai dari ‘Mot’. Hutan larangan tetap dipelihara karena peresmian hutan larangan itu diadakan mulai dari ‘Mot’. Ternak dipelihara dengan baik karena diupacarakan di ‘Mot’ demi terhindarnya ternak dari penyakit ternak. Tali pusar bayi diisi dalam periuk tanah dan diletakkan di cabang beringin dekat di sekitar ‘Mot’ sesudah diacarakan di ‘Mot’. Orang Buna’ tidak berani berbuat jahat terhadap sesama, mencuri hewan atau merusak lingkungan hidup, terutama hutan larangan atau sumber mata air yang disakralkan, karena semua itu sudah ‘dikuduskan’ di ‘Mot’. Kalau ada seseorang yang berbuat jahat, terutama menyusahkan sesama dan tidak diketahui, maka masyarakat akan membuat acara mohon kutuk atas orang tersebut melalui upacara ‘cie giri pili’ (patahkan kaki ayam). Dalam upacara itu, seekor ayam jantan hitam diikat, diletakkan di ‘Mot’ di atas ‘Bosok Op’, didoakan lalu kakinya dipatahkan sebagai tanda mohon kutuk diturunkan ke atas si-pelaku.

Jadi seluruh segi hidup orang Suku ‘Buna’ dipusatkan di ‘Mot’ lalu diwujudkan dalam hidup harian. Kepercayaan akan Hot Esen sebagai Wujud Tertinggi, mugen sebagai jiwa-jiwa orang mati yang tetap mengamati manusia yang masih hidup, muk gomo sebagai roh-roh baik dan roh-roh jahat yang ada di mana-mana, menjiwai diri pribadi dan kelompok masyarakat suku Buna’. Kejahatan sering terjadi, dan kalau ada kematian tidak wajar atau penyakit, atau ada bencana alam, maka masyarakat yakin semuanya itu terjadi karena ada pelanggaran atas hal-hal yang sakral yang diupacarakan di ‘Mot’.

Kenyataan lapangan ini yang membenarkan dalil kelompok Pasadena, bahwa ‘spiritual capital’ itu merupakan “kekuatan, pengaruh dan keadaan yang diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi (Danah Zohar, 2004)”.

LIMA TOKOH MODEL

Dalam praktek hidup beragama di DHL ada lima tokoh yang dijadikan model. Mereka dipilih sebagai model karena keunikan mereka dalam hidup beragama di DHL. Model kelima orang ini dapat dijadikan cermin dalam cara bagaimana orang-orang DHL menghayati agama mereka, agama Hot Esen.

Page 9: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

227

Tokoh yang pertama ialah Bung Farmin. Orang ini sudah meninggal dunia dan tidak pernah terungkap dari mana asalnya. Memang dia orang Jawa. Dia tiba di DHL pada tahun 60-an dan meninggal pada tahun 80-an. Data tentang asal-usul orang ini tetap misterius. Sejak dia datang di DHL, dia menjadi orang asing yang diterima dengan baik oleh warga DHL. Dia kawin dengan seorang perempuan dari DHL, bernama Romana Motu Iki. Farmin ini akhirnya dikenal dengan sapaan, Bung. Dia seorang Islam sehingga masyarakat DHL kalau bicara tentang agama dari Bung, maka mereka hanya mengatakan, si sael gia por (pemali makan daging babi). Kalau ada acara adat atau pesta rakyat, Bung sendiri yang dipersilahkan untuk memotong ayam untuk dimasak oleh kaum perempuan di dapur di periuk khusus. Piring dan senduknya pun disendirikan. Dia makan bersama tua-tua adat yang makan daging babi di muka dia. Isteri dan anak-anaknya tetap katolik dan tidak ada yang mengikuti dia menjadi Islam. Bung disayangi oleh masyarakat karena pertama-tama dia adalah guru silat yang malam hari mengumpulkan para pemuda untuk berlatih silat. Dia juga disayangi karena dia tokoh yang berani menggali sumur di tempat yang ada air. Orang-orang DHL tidak pernah akan menggali sumur karena dilarang dalam adat. Siapa yang menggali sumur, dia akan gila atau mati. Bung berani menggali sumur karena dia merasa tidak terikat oleh larangan itu. Orang-orang DHL pun tidaka menghalangi dia menggali sumur. Sumur yan digali oleh Bung dipakai oleh seluruh warga. Mereka merasa bahwa menggali sumur itulah yang dilarang tetapi memakai air sumur tidak dilarang. Bung tidak pernah mengajak orang lain untuk menjadi Islam. Tidak ada upaya sedikit pun untuk mendirikan rumah ibadat untuk dirinya. Dia menerima keadaan bahwa dia hanya seorang diri di antara orang-orang katolik dan orang-orang ‘kafir’ yaitu para tua adat yang belum dibaptis.

Tokoh yang kedua yaitu Markus Mali (almarhum), seorang Protestan. Dia warga DHL yang lama tinggal di luar DHL, di Atambua, ibu kota Kabupatan Belu sehingga dia mengikuti ayahnya yang beragama Kristen Protestan. Markus Mali dikenal sebagai orang dari ‘serani mura’ (serani muda karena katolik disebut serani tua). Ia tinggal di DHL, kawin dan beranak-cucu di DHL. Isteri dan anak-anaknya tetap katolik dan dia tidak pernah menyatakan pendiriannya untuk menjadi

Page 10: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

228

katolik. Tidak pernah diketahui kapan dan di mana dia beribadat secara Protestan. Dia meninggal sebagai seorang Protestan.

Tokoh yang ketiga ialah Pater Yustus Asa SVD, biasa dipanggil Pater Yustus. Dia seorang Imam dalam Gereja Katolik. Dia orang pertama dari masyarakat DHL yang menjadi Imam. Saat penelitian ini diadakan dan saat hasil penelitian ini dirumuskan, tahun 2011, dia masih menjabat sebagai, Vikaris Jenderal, yaitu satu jabatan yang sangat tinggi di dalam Gereja Katolik di Keuskupan Atambua. Lazimnya dia dikenal sebagai Wakil Uskup. Pada saat Pater Yustus menghadiri upacara adat di DHL, dia hadir sebagai Imam yang memimpin doa dan perayaan Ekaristi. Semua yang hadir, merayakan Ekaristi itu dan menyambut Hosti Kudus.

Waktu hewan kurban, ayam dan babi dipotong untuk direcikkan darahnya pada orang dan benda keramat oleh Mako’an, Pater Yustus mengundurkan diri dan menyibukkan diri dengan urusan lain. Dengan demikian dia tidak akan dituduh oleh seluruh umat katolik Keuskupan Atambua yang berjumlah 450.000 orang itu sebagai imam katolik, wakil Uskup yang ‘percaya sia-sia’, ikut upacara ‘kafir’ di kampungnya sendiri. Dia tidak melarang, juga tidak setuju. Dia hanya membiarkan dengan alasan, “Itu urusan orang tua-tua, bukan urusan saya”. Kepada penulis Pater Yustus mengungkapkan pendiriannya, “Kita tidak bisa merubah praktek agama asli itu dalam waktu singkat, apalagi menghapusnya.”

Tokoh yang keempat adalah Markus Tay (mako’an). Waktu penulis mengadakan penelitian pada tahun 2008, Markus Tay ini melaksanakan tugasnya untuk memimpin upacara agama asli, penggalian kubur-kubur oleh satu suku, suku Gelaba’ untuk dihimpun dan dikuburkan kembali di pekuburan katolik. Doa-doa yang dia daraskan, tidak sedikitpun menyebut Tuhan Yesus atau Bunda Maria. Dia hanya menyebut ‘mugen tata bei mil’ (arwah para leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Markus Tay adalah seorang katolik yang hadir dan turut menerima Komuni Suci pada saat Perayaan Ekaristi. Dia merasa tidak bersalah. Padahal pada tahun lima puluhan, praktek cie goro, hula ho’on, por hege piar, dilarang keras dan umat katolik mana pun saja yang mengambil bahagian dalam upacara ‘kafir’ itu biasanya dilarang

Page 11: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

229

‘mengaku sambut’ yaitu larangan untuk menerima ‘ Sakramen Pengakuan Dosa’ dan ‘Sakramen Mahakudus’ atau ‘Ekaristi Suci’.

Tokoh yang kelima, Marsel Bere (Guru Agama dan Kepala Desa), sudah almarhum. Dia seorang Guru Agama yang oleh rakyat dipercayakan menjadi Kepala Desa. Pada bulan Mei dan Oktober setiap tahun, semua orang katolik disadarkan untuk bedoa rosario setiap malam dari rumah ke rumah untuk menghormati Santa Perawan Maria, Ibu Tuhan Yesus. Bulan Mei disebut bulan Maria (bulan untuk menghormati Bunda Maria) dan bulan Oktober disebut bulan Rosario (bulan untuk menghormati Bunda Maria) melalui berdoa rosario. Devosi atau ibadat ini berlaku untuk umat katolik sedunia. Di desa Henes, di mana Marsel Bere menjadi Guru Agama dan sekaligus Kepala Desa, setiap malam berteriak memanggil orang-orang untuk berkumpul dan berdoa rosario. Semasa hidupnya, almarhum pernah mengatakan kepada penulis, “Orang-orang di kampung begini, kurang sadar. Jadi harus disadarkan dengan paksa. Kalau ada yang belum bergerak dan belum ke luar dari rumahnya, saya lempar rumah itu supaya segera ke luar. Saya lempar rumah sebagai Kepala Desa. Sebagai pemerintah, saya perintah rakyat. Saya pimpin doa sebagai Guru Agama, urus umat. Siapa mau persalahan saya”. Masyarakat desa Henes yang semuanya katolik, menerima saja tindakan Kepala Desa mereka Marsel Bere, karena mereka tidak ada daya untuk melawan. Mereka setuju bahwa diperlakukan demikian untuk urusan agama. Dalam diri kelima tokoh model ini dipelajari hal-hal berikut. Tokoh Bung (Farmin) mewakili tokoh yang menghargai agama orang lain dan tidak menjadi pengganggu ketenteraman. Dia menyesuaikan diri dengan keadaan sekian rupa sampai ke-islam-annya tidak ditonjolkan untuk mempengaruhi orang lain. Begitu pun tokoh Markus Mali, sebagai orang asli tetapi sudah menganut agama lain (Gereja Protestan), tetap menjaga dirinya dan mengambil jarak dengan agamanya (tidak mencari sesama jemaat) dan dengan agama katolik. Dia hidup dari nilai-nilai agama asli, agama Hot Esen.

Tokoh yang ketiga, Pater Yustus Asa, menerima agama Katolik sambil tidak mengabaikan sama sekali agama asli, agama Hot Esen. Dia mendamaikan dalam dirinya dua agama dalam hal tertentu, sedangkan dalam hal ajaran Gereja Katolik, dia berpegang teguh dan atas dasar

Page 12: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

230

itulah dia terpanggil untuk menjadi Imam dalam Gereja Katolik dan dipercaya untuk menjadi Wakil Uskup Atambua.

Tokoh yang keempat, Markus Tay, memeluk agama katolik sambil tetap memeluk agama asli, agama Hot Esen. Dia hidup dalam dua kutub. Tetap katolik dan tetap agama asli. Posisi dirinya ini diterima oleh masyarakat dan pemimpin agama katolik. Dia tidak dikucilkan dari gereja katolik karena jabatannya sebagai mako’an. Tokoh yang kelima, Marsel Bere, kepala Desa Henes, keras dalam cara untuk memaksa rakyatnya yang sekaigus umatnya untuk menjalankan ritus doa agama katolik. Tetapi dalam urusan adat yang erat kaitannya dengan agama Hot Esen, dia termasuk yang dituakan untuk mengambi bahagian dalam upacara-upacara di Mot. Dalam diri kelima tokoh ini terdapat satu hal yang sama, ialah modal rohani (spiritual capital) yang dimunculkan dalam agama. Bung (Farmin) dan Markus Mali tidak bersikukuh dengan tradisi dan ajaran serta ritus agama mereka, Islam dan Kristen Protestan. Pater Yustus Asa berpegang pada satu, yaitu Katolik sambil tidak membuang yang asli, agama Hot Esen. Tokoh Markus Tay berpegang pada dua-duanya, Katolik dan Agama Asli. Tokoh Marsel Bere, memeluk Agama Kristen Katolik sambil tetap menghargai dan menghayati agama asli. Pertemuan kelima tokoh ini terjadi dalam hal yang pokok, bukan pada agama, bukan pada adat, tetapi pada empat capital : material, intellectual, social dan spiritual capital. Atas empat dasar ini manusia bisa bertemu dan berdamai. Empat dasar inilah yang menjadikan manusia itu berpikir dan bertindak manusiawi. Atas dasar inilah manusia membangun adatnya dan kepercayaannya pada Yang Maha Tinggi. Agama dimunculkan dari empat nilai atau dasar paling dalam dari kemanusiaan. Masyarakat DHL memberikan bukti sangat jelas bahwa keberagamaan itu muncul dari nilai-nilai yang tertanam dalam diri perorangan dan dalam masyarakat sebagai satu kesatuan.

MAKAN ADAT

Makan secara adat disebut Hot gutu mit artinya duduk dengan Tuhan. Peristiwa makan adat pada setiap kesempatan senantiasa dianggap sakral. Kalau seseorang sedang bermusuhan dengan seorang

Page 13: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

231

yang lain, kedua orang itu tidak akan turut dalam makan adat sebelum didamaikan oleh para ketua suku dan tua-tua adat. Dalam makan secara adat, orang-orang dipisahkan, rakyat tersendiri dan para pemuka masyarakat tersendiri. Makan adat ditutup dengan minum sopi secara adat. Makan adat tidak pernah dilaksanakan tanpa sopi. Setiap orang yang duduk dalam lingkaran di tikar dan turut dalam makan adat menyisakan di kuni giral (tempat sirih dari bambu yang tutupannya biasa dipakai sebagai cangkir) sedikit sopi. Sopi yang masih sisa itu sebagai bahagian dari diri, dituangkan ke kuni dari orang yang berasal dari suku yang lebih tinggi. Acara minum sopi secara adat ini disebut tue malas ho’on. Penyerahan kepada orang yang lebih tinggi ini dilakukan sebagai tanda hormat dan pengakuan status masing-masing orang. Sesudah terkumpul pada orang yang paling tinggi, sopi itu dikembalikan lagi kepada setiap orang sesuai jenjangnya sampai ke tingkat yang paling rendah. Dan setiap orang harus mencicipi sedikit-sedikit sampai yang terakhir harus menghabiskan seluruh sisa sopi itu. Dalam makan adat dan minum sopi ini, orang-orang yang hadir saling mengungkapkan isi hati tentang kemarahan yang ada kalau pernah terjadi. Makan adat dan minum sopi secara adat ini harus dalam keadaan damai karena makan adat dan minum adat ini merupakan ritus keagamaan yang dipadukan dengan pertemuan sosial biasa. Pada makan adat dan minum adat ini biasanya yang tua-tua memberikan nasihat kepada yang muda tentang berbagai hal. Ajaran moral pun dibicarakan dalam makan adat dan minum adat ini.

BUSANA ADAT

Busana adat, kain tenun mempunyai nilai spiritual yang tinggi. Kain tenun itu dinilai sebagai kain yang kaya makna karena dikaitkan dengan proses pembuatan kain itu sendiri. Untuk mewarnakan benang diambil kulit pohon cemara (hur). Warna kain menjadi merah tua, lambang keagungan. Kulit pohon cemara dikaitkan dengan keanggunan pohon cemara yang tinggi, kokoh dan mempunyai teras. Dengan warna coklat tua yang melekat pada kain itu, sipemakai merasa bahwa dirinya mempunyai harga diri dan ada pendirian yang kokoh. Benang yang dipakai sebagai futus (motif) untuk penghias kain tenun, biasanya direndam dalam lumpur hitam (lua) selama sehari. Ini diartikan sebagai

Page 14: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

232

kedekatan manusia dengan alam, dalam hal ini tanah. Warna hitam dari benang diperoleh dari lua (lumpur hitam) ini. Pada pemakaman orang mati jenazah harus diselimuti dengan kain adat ini karena dikaitkan dengan proses pembuatan yang diartikan sebagai keluhuran manusia (pohon cemara) dan kematian yang tidak dapat dihindari (lua = lumpur hitam). Busana adat ini penuh dengan makna spiritual. Spiritual capital terungkap dalam busana adat ini.

PERCAYA SIA-SIA

Percaya sia-sia adalah istilah yang dituduhkan oleh petinggi Agama Katolik kepada orang-orang Buna’ yang masih menjalankan ritus-ritus agama asli mereka, agama Hot Esen. Percaya sia-sia itu dikenal dengan istilah por hege piar (percaya kepada pemali). Masyarakat DHL masih melaksanakan upacara hik sagal, mencari jalan atau menerka nasib. Nasib dicari melalui usus ayam atau usus babi disebut hula ho’on. Masyarakat DHL juga masih mempersembahkan daging, nasi, sirih pinang kepada mugen bei mil (arwah leluhur), pan muk gomo (roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Upacara persembahan ini disebut taka gol inil (menyiapkan tenasak kecil). Taka (tenasak-tenasak atau anyaman dari daun pandan) dideretkan sesuai tingkat-tingkat, mulai dari leluhur yang paling dekat sampai ke yang paling jauh, lalu untuk roh-roh, dan untuk Hot Esen, hanya tenasak kosong, tidak berisi apa-apa karena mereka menganggap Hot Esen tidak terima apa-apa dari manusia. Tetapi tetap ada tempat untuk Hot Esen. Semua upacara inilah yang dituduh sebagai percaya sia-sia dan sangat ditentang oleh pihak Gereja Katolik sebagai institusi Agama baru.

KAPELA KOSONG

Masyarakat DHL mempunyai dua kapela (gedung gereja di tingkat stasi) di Abis dan Henes. Dua kapela ini berdiri di pinggir perkampungan karena dicari tempat yang luas. Nasib gedung kapela ini menyedihkan. Bangunan bagus tetapi dibersihkan hanya pada hari minggu untuk berdoa bersama atau saat menantikan kedatangan Pastor dari Nualain, pusat Paroki. Kapela merupakan rumah doa katolik dan

Page 15: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

233

bukan rumah doa dari agama asli. Agama asli mempunyai tradisi berdoa secara bersama, entah dalam keluarga atau dalam kelompok besar. dan bukan doa pribadi.

Tidak ada doa pribadi dalam agama asli suku Buna’, agama Hot

Esen. Tempat doa itu di dalam rumah adat (deu hoto), di depan rumah (bosok) dan di tengah kampung (mot). Tempat-tempat ini masih dipelihara dan dipercaya sebagai tempat sakral. Maka kapela tetap dianggap sebagai tempat doa yang asing dan jarang dikunjungi kalau tidak ada kesempatan untuk berdoa bersama atau perayaan Ekaristi bersama Pastor Paroki.

Gambar – Kapela kosong. Di kampung Abis, Desa Lakmaras. Digunakan waktu pastor datang. (Sumber: Eustachius Mali TaE

Page 16: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

234

Di kapela juga terjadi hal-hal yang asing, seperti doa dalam bahasa Indonesia,33 lagu-lagu dengan nada-nada asing dan sikap berdoa juga dengan cara berlutut, satu sikap yang dianggap aneh tetapi harus dilaksanakan karena itu dianggap tradisi katolik. Orang-orang Buna’ biasa berdoa dengan cara bersila dan doa hanya didaraskan oleh mako’an yang membawakan dengan sikap duduk atau berdiri, lalu refrennya dijawab beramai-ramai dalam bentuk lagu tradisional. Keikut-sertaan orang banyak dalam doa bersama, dianggap ganjil. Busana yang dipakai oleh Imam (Pastor) pada saat memimpin perayaan Ekaristi juga dianggap asing. Peralatan pun serba asing, mulai dari lilin, tempat lilin, piala sampai ke altar (meja kurban). Hal-hal ini tidak diprotes dan tidak dipermasalahkan. Menurut mereka, “Kami katolik, jadi apa yang diajarkan oleh Pastor, kami ikut. Leluhur punya itu adat, bukan agama ”.

Masyarakat DHL hidup sebagai orang-orang yang terikat pada kepercayaan akan adanya dunia roh. Generasi sekarang yang diwawancara dalam penelitian ini adalah generasi pertama yang menjadi katolik. Ibu Theresa Ili, Tes Paulus (saksi mata perusakan ai-tos), dibaptis sesudah remaja. Orang tua mereka dibaptis dalam masa tua. Nai Bone Bere yang dibaptis dalam masa tuanya, pernah berkata,

Kami jadi serani ini seperti ditelanjangkan, kami buka kami punya kepercayaan sesuai cara leluhur, dan kami tidak bisa pakai pakaian baru, cara serani. Karena dengan menjadi serani ini, bahasa yang dipakai juga kami tidak tahu, pastornya ganas, orang kulit putih, guru agama ajar kami, tetap tidak masuk di otak, sembahyang pakai bahasa Indonesia, mana kami bisa hapal, apa lagi nyanyi, kami tidak bisa. Kalau misa, kami nonton saja.

Pater Vincent Wun SVD, seorang Imam yang pernah menjadi Pastor Paroki di Nualain dan melayani juga masyarakat DHL memberikan penjelasan yang lain:

33 Ada doa secara katolik yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Buna’, tetapi perayaan Ekaristi, perayaan yang paling sacral dan paling luhur, tetap dalam bahasa Indonesia. Doa ‘Bapa Kami’, ‘Aku percaya’ dan ‘Salam Maria’ sudah diterjemahkan juga dalam bahasa Buna’. Dalam upacara ‘adat’, mako’an tidak pernah mengucapkan doa-doa ini, biarpun dia itu katolik seperti Markus Tay, mako’an dari kampong Abis – Desa Lakmaras.

Page 17: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

235

Orang-orang di kampung itu, biar tidak ikut sembahyang dalam bahasa Indonesia, biar tidak nyanyi, tapi mereka ikut Misa, mereka mengaku dosa, dan saya lihat, mereka serani betul, ikut mereka punya kemampuan, sederhana. Tidak heran kalau mereka masih tetap por hege piar, bula ho’on, molo galai, taka gol inil, bai tuk, saya tidak larang, karena tidak mungkin mereka dipaksa. Dualisme ini masih bejalan terus, dan lama-lama baru bisa ada pemurnian iman. Itu untuk anak-cucu mereka.

Jadi esensi religi orang Buna’ itu memang percaya kepada Yang Maha Tinggi yang mereka ungkapkan dengan sapaan, Hot Esen. Kepercayaan ini merupakan akumulasi dari seluruh pengalaman rohani yang menjadi modal dalam diri mereka turun-temurun. Kesadaran akan adanya roh-roh ini bukan suatu kesalahan yang harus dicap ‘kafir’. Memang mereka tidak beragama dalam arti tidak menganut Agama besar yang hidup di dunia Timur Tengah dan tersebar ke dunia Barat, tetapi mereka menganut agama asli yang muncul dari kesadaran dasar, disebut spiritual capital, terpadu dengan intellecual capital, social capital dan material capital. Kesadaran dasar inilah yang menjiwai seluruh hidup manusia. Masyarakat DHL tetap merasakan Agama Katolik itu asing mulai dari ajaran, tradisi, orang yang mewartakan (misionaris), bahasa dan liturgi. Mereka menerima itu sebagai satu hal yang sudah terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Agama katolik tetap dianggap asing dan belum berakar. Kekhasana agama Katolik belum mampu menggeser keparcayaan agama asli suku Buna’, agama Hot Esen. Atas dasar inilah mereka tetap berpegang pada dua kepercayaan, kepercayaan Kristen dan kepercayaan pada Hot Esen.

KESATUAN HIDUP MASYARAKAT DENGAN ALAM ROH

Kehidupan sehari-hari masyarakat suku Buna’ di DHL seluruhnya diresapi oleh kesadaran akan adanya arwah, roh-roh dan Roh Yang Maha Tinggi. Kesadaran ini diungkapan dalam kepercayaan dan ritus-ritus, dan itulah agama asli dari suku Buna’ yang dalam tulisan ini oleh penulis disebut ‘Piar Hot Esen’. Kehidupan seperti ini dicap

Page 18: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

236

percaya sia-sia dan kafir34. Oleh para misionaris dari Gereja Katolik menyatakan baik dengan ajaran maupun dengan tindakan bahwa Agama yang benar itu hanya ada dalam Agama Kristen yang dibawa oleh pewarta Injil dari Gereja Katolik. Selanjutnya Agama Kristen Katolik itu diringkaskan dalam ungkapan Agama Katolik.35 Perusakan aitos oleh Pater Ernst Barth almarhum merupakan salah satu bukti historis bahwa ada anggapan orang-orang Buna’ yang belum katolik itu adalah orang-orang yang masih kafir, belum percaya keada Tuhan, belum beragama, belum percaya kepada Tuhan. Atas anggapan inilah misionaris Gereja Katolik datang dari benua Eropa dan berusaha meng-agama-kan dalam arti meng-katolik-kan orang-orang Buna’. Tindakan ini tidak bisa dipersalahkan karena pada waktu itu memang ada anggapan umum bahwa agama yang benar itu adalah agama Kristen yang secara khusus dihayati oleh umat dalam Gereja Katolik. Dan Gereja Katolik masih berpegang pada semboyan, “Extra Ecclesiam Nulla Salus” (Di luar Gereja tidak ada keselamatan). Dalam penelitian ini, terungkap bahwa orang-orang Buna’ begitu kuat berpegang pada kepercayaan akan adanya mugen bei mil (arwah leluhur) dan pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi). Di atas keduanya, ada Hot Esen (Matahari Yang Tinggi). Kepercayaan ini sudah dibakukan dan dibekukan dalam agama asli, Piar Hot Esen, dengan ajaran dan ritus-ritus yang menyata dalam hidup harian orang-orang Buna’. Hal inilah yang dianggap kafir oleh Gereja Katolik dalam diri para pewarta atau misionaris katolik dari Eropa. 34 Ungkapan ini dapat dibandingkan dengan ungkapan kafir yang juga dikenakan pada orang-orang Batak oleh pihak Gereja Kristen Protestan sebelum orang-orang Batak menjadi Kristen. Hal ini ditulis oleh Lothar Schreiner dalam bukunya, Adat dan Injil, terjemahan dari buku aslinya yang diterbitkan pada 1972 di Jerman dalam bahasa Jerman dengan judul, Adat und Evangelium. Zur bedeutung deer altvo ̈lkischen Lebensordnungan fu ̈r Kirche und Mission unter den Batak in Nordumatra, Gu ̈ttersloscher Verlagshaus Gerd Mohn, Gu ̈tersloh. 35 Istilah yang tepat itu Agama Kristen dan Gereja Katolik, bukan Agama Katolik. Istilah ‘Agama Katolik’ itu menyesatkan banyak orang karena secara teologis, seseorang itu menjadi pengikut Kristus, menjadi Kristen melalui Sakramen Pembaptisan. Dengan dibaptis, seorang itu menjadi Kristen dan itu berarti menjadi penganut Agama Kristen. Orang-orang Kristen ini terbagi-bagi dalam kesatuan-kesatuan dan kesatuan inilah yang disebut Gereja. Maka istilah Gereja Katolik itu merupakan kumpulan orang-orang Kristen yang bergabung dalam satu Gereja, Gereja Katolik. Jadi kalau ada istilah Agama Katolik, maka itu harus dimengerti dalam keutuhan pemahaman, Agama KRISTEN katolik.

Page 19: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

237

Dalam Bab VIII ini hal itu dianalisa untuk mendapatkan suatu titik terang.

KESADARAN AKAN ADANYA DUNIA ROH

Manusia itu terdiri dari badan dan roh. Kesadaran manusia akan dirinya sebagai makhluk yang terdiri dari badan dan roh ini sudah merupakan axioma yang diterima umum biarpun dalam arus pemikiran atheistis hal ini pernah dan masih disangkal. Manusia yang terikat pada situasi tertentu mengungkapkan kesadarannya akan adanya roh di luar dirinya dengan berbagai cara. Salah satu cara itu adalah agama. Isi agama itu datangnya dari Roh Yang Maha Tinggi sedangkan cara menjawab isi itu terumuskan dalam tradisi yang terlahir dari kebersamaan manusia di tempat tertentu, pada waktu tertentu (Adelbert Snijders, OFm Cap. 2004: 151-154).

Orang-orang suku Buna’ menghormati leluhur (mugen bei mil) yang disadari sebagai arwah yang berada di suatu tempat, dan mereka yakin ada di Masel, satu tempat yang dianggap penuh misteri karena di sana ada hutan yang lebat, air terjun yang menakutkan, mata air yang aneh karena berbau seperti bau jenazah. Gereja Katolik mengajarkan bahwa semua orang yang telah meninggal dunia itu mengalami hidup yang kekal, entah bahagia abadi (surga)36 atau celaka abadi di api neraka (Katekismus Gereja Katolik).

Ajaran tentang surga dan neraka ini merupakan satu contoh kecil yang membuat orang-orang Buna’ dari golongan tua sulit menerima kebenarannya, apalagi mengakuinya. Kelompok orang-orang muda yang sudah katolik tetap berpegang pada penghormatan kepada leluhur dan bukit yang paling kuat adalah pewarisan nama leluhur kepada anak-anak yang baru lahir. Setiap anak orang Buna’ memakai nama salah seorang leluhurnya sebagai nama diri. Waktu dibaptis baru menerima nama baru, nama Santo atau Santa. Oleh para Guru Agama Katolik dan para Pastor orang Buna’ diajarkan untuk meninggalkan

36 Gereja Katolik mengajarkan bahwa ‘Surga’ itu tempat Allah yang sebenarnya karena Ia adalah “Bapa kita di surga” dan sebagai akibatnya surga adalah kemuliaan definitif. Akhirnya perkataan “surga” berarti “tempat” makhluk-makhluk rohani, malaikat-malaikat, yang mengelilingi Allah. (Katekismus Gerja Katolik, no. 325).

Page 20: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

238

warisan leluhur dalam hal ritus-ritus keagamaan katolik. Ada ajaran Guru di Sekolah katolik yang diserap penulis sewaktu masih duduk di bangku SR kelas dua tahun 1955:

Kita orang katolik itu percaya bahwa orang-orang kudus itu sudah ada dalam surga. Itu yang pasti. Jadi kita harus pakai mereka punya nama. Kita punya leluhur itu belum pasti ada di dalam surga. Kita tidak mungkin dan tidak boleh berlindung pada mereka. Siapa tahu mereka ada dalam neraka. Mau berlindung pada leluhur yang ada dalam neraka? Dan ingat, mereka semua itu mati sebelum dipermandikan (dibaptis). Mana mungkin mereka masuk surga?

Isi ajaran seperti ini rata-rata masih diingat oleh orang-orang Buna’ yang hidup di masa itu yang sekarang ini, waktu penelitian ini dilaksanakan, rata-rata sudah berumur antara enam puluh dan tujuh puluh tahun atau lebih. Pengajaran ini sederhana tapi masuk akal dan menarik seingga tertanam dengan kuat dalam benak orang-orang Buna’. Ini termasuk contoh suatu katekese (pengajaran agama) yang penulis anggap sangat berhasil. Oleh karena itu setiap orang Buna’ yang katolik termasuk di DHL, sampai sekarang ini nama yang dibeikan oleh orang tua, nama leluhur, selalu dianggap ‘kafir’ dan diterima sebagai suatu keterpaksaan. Nama leluhur yang disandang oleh orang Buna’ diistilahkan sebagai ‘ginil tol’ (nama kasar). Nama ini harus diselimuti dengan nama serani, ‘ginil sarani’. Orang-orang Buna’ yang katolik ini merasa senang dan merasa terhormat, dihargai, kalau dipanggil dengan nama serani atau nama pemanis lain seperti ‘apa’ (si-sulung), ‘gulo’ (si-bungsu).

Ada kesejajaran antara ajaran Gereja Katolik ini dengan kepercayaan orang-orang Buna’, Piar Hot Esen yang sama-sama yakin bahwa orang yang sudah meninggal dunia itu tetap ada, dan adanya itu dalam bentuk arwah (Adelbert Snijders, OFm Cap., 114-115). Ada perbedaan yang tajam antara kepercayaan atau iman seturut Gereja Katolik dan orang-orang Buna’. Gereja Katolik mengajarkan untuk menghormati orang meninggal dunia, dan secara istimewa menghormati orang-orang yang dinyatakan kudus, Santu atau Santa. Mereka inilah yang boleh diserukan namanya dan dimohon untuk berdoa bagi manusia di hadapan Tuhan. Orang-orang Buna’ yang belum berkenalan dengan Gereja Katolik menghomati arwah leluhurnya

Page 21: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

239

sebagai pribadi-pribadi yang tetap hidup yang patut diteladani. Keyakinan orang-orang Buna’ inilah yang mau dirobah atau dimurnikan dengan pengalihan dari leluhur kepada orang-orang kudus, Santu dan Santa.

Ternyata sesuai hasil penelitian, orang-orang Buna’ yang sudah katolik ini berpegang pada ajaran katolik yaitu menghormati Santu dan Santa, serentak juga menghormati arwah leluhur. Di sini ada pertentangan, ada persimpangan jalan, orang Buna’ mau tetap bertahan pada warisan leluhur yang berlindung pada arwah leluhur atau mau beralih dan berlindung hanya pada Santu dan Santa. Pemberian nama-nama kepada anak-anak di kalangan suku Buna’, ada nama leluhur dan ada nama baptis yang diterima waktu pembaptisan dan diterima sebagai anggota Gereja Katolik. Oleh pada Guru Agama dan Pastor di Paroki Nualain (Lamaknen, wilayah suku Buna’) sejak masuknya Gereja Katolik di wilayah ini, nama leluhur itu adalah nama ‘kafir’. Isi ajaran yang biasa terdengar dari mulut para Pastor dan Guru Agama, berbunyi seperti ini: Nama baru yang diberikan oleh Gereja itu, nama ‘serani’. Kalau sudah jadi ‘serani’ pakailah nama serani dan adat-kebiasaan ‘serani’, jangan campur. Atau-atau, kafir atau serani. Tidak bisa serani sekaligus kafir. Tinggalkan kekafiran, jadilah serani.

Hasil dari ajakan dan ajaran ini ialah masyarakat suku Buna’ lebih senang dipanggil dengan nama ‘serani’ dari pada dipanggil dengan nama ‘leluhur’. Di sekolah kalau seorang anak perempuan bernama ‘Agnes Lika’ (Agnes nama ‘serani’, Lika nama ‘leluhur’) dipanggil oleh Gurunya dengan panggilan ‘Lika’ saja, maka anak itu akan tersinggung dan merasa dimarahi karena Guru itu memanggil dirinya dengan nama ‘kafir’. Harus diungkapkan dengan jujur bahwa penulis ini pun tidak suka dipanggil dengan nama ‘Bele’ karena nama itu nama ‘kafir’ yang diambil dari leluhur yang masih ‘kafir’ dan diberikan oleh orang tua yang masih ‘kafir’ waktu itu sehingga penulis lebih senang dan gembira kalau dipanggil dengan nama ‘Anton’, sapaan manis dan ringkas dari nama Antonius yaitu nama seorang kudus, seorang Santu yang berasal dari Portugal (1195 – 1231) dan pernah hidup di Italia di kota Padua dari tahun (New Catholic Encyclopedia).

Orang Buna’ percaya akan adanya pan muk gomo (penghuni langit dan bumi), suatu kepercayaan akan adanya roh-roh yang menghuni tempat-tempat seperti hutan, bukit, sumber air dan pohon-

Page 22: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

240

pohon tertentu. Ada bukit yang ditumbuhi hutan dekat kampung Lakmaras, namanya Railuli. Ada roh yang menghuni hutan di bukit Railuli ini dan dinamakan Railuli gomo (penghuni Railuli). Ada roh yang diyakini tidak menghuni salah satu tempat tetapi berkeliaran saja ke sana-sini dan hadir di mana-mana. Roh-roh ini dianggap ada di udara, ada di dalam kabut yang tebal, ada di dalam angin ribut, ada di dalam udara yang panas, ada di dalam udara yang dingin. Roh-roh ini ada yang baik dan tidak membahayakan manusia, tetapi ada yang jahat yang selalu mencelakakan manusia dan hewan. Untuk berkontak dengan roh-roh ini, orang Buna’ memberikan persembahan dengan perbedaan, kepada roh yang baik disajikan di tempat yang layak, di atas batu khusus di dalam rumah atau di luar rumah seperti di Bosok dan Mot. Tetapi untuk roh yang jahat, selalu dihamburkan saja sajian yang mentah, entah daging mentah atau beras. Penghamburan itu bertujuan agar roh jahat itu menangkap persembahan itu, memakannya dan lari menjauh dari manusia karena sudah kenyang lalu akan kembali lagi pada saat yang tepat. Kepercayaan akan adanya roh-roh ini sejalan dengan kepercayaan yang diajarkan dalam Gereja Katolik bahwa ada roh-roh yang baik seperti malaekat-malaekat dan ada roh-roh yang jahat yang dikenal dengan nama syaitan atau iblis. Jadi kepercayaan masyarakat Buna’ akan adanya roh-roh baik dan roh-roh jahat ini tidak bisa dipersalahkan dengan tuduhan mereka percaya sia-sia.

Nama yang diberikan oleh orang-orang Buna’ kepada Tuhan, Hot Esen, mempunyai kesamaan dengan nama yang lazim dipakai oleh Gereja Katolik yaitu, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa. Agak mengejutkan bahwa orang-orang Buna’ juga menyapa Hot Esen itu dengan ungkapan ‘Ligi o Le Esen, Bei Gepal Kere’ Giral Uen’, artinya ‘Yang Agung Yang Berjaga dan Terang, Nenek Bertelinga Satu dan Bermata Satu’. Oleh tokoh adat suku Buna’ seperti Alfons Bere Tallo (almarhum), ungkapan ini mempunyai arti yang sama seperti dalam ajaran Agama Kristen Katolik, Allah Yang Maha Esa, Yang Tunggal. Jadi pengakuan orang Buna’ tentang ke-esaan Allah itu ada dan sepadan dengan keyakinan iman orang Katolik.

Jadi dalam iman kepercayaan, ada kesejajaran, ada kesamaan. Intinya sama, percaya pada dunia roh dan dunia roh itu dihuni oleh arwah-arwah dan roh-roh dan Roh Yang Maha Tinggi itu ialah Tuhan Allah. Hanya dalam pengungkapan, ada perbedaan. Sebagai contoh,

Page 23: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

241

orang Buna’ menghormati leluhur mereka, orang Katolik menghormati orang kudus, Santu dan Santa. Orang Buna’ beribadat di Bosok, Mot, orang Katolik beribadat di Kapela, Gereja, tempat-tempat ziarah. Cara pengungkapan baik dalam ajaran dan tindakan ibadat yang disampaikan oleh pewarta awal yang diutus Allah, yang umum disebut Nabi atau Utusan Allah, berbeda-beda seturut zaman dan budaya di mana peristiwa itu berlangsung. Inilah agama, suatu pertemuan antara pewahyuan diri Allah dan penerimaan oleh manusia yang kemudian diungkapkan dalam iman dan ibadat yang dijaga dalam tradisi (Adelbert Snijders,2004:148-149).

Pater Barth adalah salah seorang misionaris dari Eropa yang berusaha keras untuk mewartakan ajaran Katolik dengan tradisinya kepada orang-orang Buna’. Ajaran katolik itu sudah dirumuskan oleh para teolog katolik selama berabad-abad dalam teologi yang sulit dimengerti oleh orang-orang sederhana dan dihayati dalam tradisi Romawi yang kemudian menjadi tradisi di Eropa. Agama dalam ‘pakaian’ Eropa ini yang ditawarkan malah dipaksakan kepada orang-orang Buna’ oleh misionaris-misionaris dari Eropa. Dalam penawaran dan pewartaan ini ada proses penerimaan, penolakan dan penyatuan baik oleh pewarta (misionaris) maupun oleh penerima (orang Buna’). Di situ ada tawar menawar. Tetapi dalam hal perilaku yang berdasarkan ungkapan dari khazanah atau harta atau modal (capital) kerohanian, spiritual capital, tidak ada tawar menawar. Langsung diterima. Pater Barth yang menampilkan kemurahan hatinya diterima dengan senang hati oleh orang-orang Buna’ yang juga mempunyai kemurahan hati. Faktor murah hati ini salah satu aspek atau segi dari spiritual capital (Danah Zohar, 2004: ). Dalam hal agama, manusia ada jarak antara satu dengan yang lain. Dalam hal nilai-nilai rohani, manusia bertemu dan jadi satu.

SPIRITUAL CAPITAL ITU UNIVERSAL

Dalam perjalanan sejarah perubahan yang dialami oleh suku Buna’, tokoh katolik, Pater Barth itu misionaris katolik yang sangat dihormati dan disayangi oleh msyarakat suku Buna’ karena suka tolong orang, memberikan pakaian-pakaian yang dikirim oleh orang-orang penderma dari Eropa, suka membantu orang sakit, suka membantu

Page 24: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

242

anak-anak untuk bersekolah. Ini suatu kesaksian yang sangat positif dari orang-orang yang pernah mengalami kebaikan Pater Barth almarhum. Di sinilah letaknya inti persoalan: Pater Barth, orang Eropa dengan kebudayaan Eropa, disayangi oleh orang-orang Buna’ dengan adat ketimuran. Berarti yang mempertemukan Pater Barth dan orang Buna’, bukan agama, tetapi nilai-nilai kemanusiaan yang terungkap dalam keprihatinan Pater Barth pada orang-orang yang susah, orang-orang yang sakit dan orang-orang yang membutuhkan pendidikan. Titik pertemuan inilah yang diistilahkan dengan istilah spiritual capital. Ada ‘capital’ atau modal dalam diri Pater Barth berupa belas kasihan dan penghargaan kepada orang-orang Buna’. Sebaliknya, ada rasa hormat, rasa kagum dari orang Buna’ terhadap diri pribadi Pater Barth. Rasa belas kasihan, penghargaan, hormat, kagum pada orang lain adalah contoh-contoh dari segi-segi modal atau capital yang dimiliki oleh orang pribadi dan oleh masyarakat di mana pun dan kapan pun. Ini berlaku universal. Capital atau modal ini tidak bisa dilihat, tidak bisa diukur langung, tetapi dilihat dari perwujudannya dalam kata-kata, sikap dan perilaku. Karena tidak dapat dilihat dan diinderai itulah maka modal atau capital ini disebut spiritual

SPIRITUAL CAPITAL BUKAN AGAMA

Spiritual capital itu ada dalam diri manusia dan dimunculkan dalam agama bersama capital-capital yang lain secara serentak. Jadi spiritual capital yang dimaksud dalam seluruh tulisan ini, bukan agama. Justru agama itu memperjuangkan agar spiritual capital yang ada dalam diri setiap orang, setiap kelompok orang, diwujud-nyatakan dalam perilaku manusia sehari-hari. Ajaran atau dogma dalam agama menjadi pegangan bagi manusia untuk mewujudkan spiritual capital. Tradisi dalam agama merupakan perwujudan spiritual capital dalam kurun waktu tertentu oleh sekelompok orang yang mewujud-nyatakan spiritual capital dalam hidup sehari-hari. Spiritual capital bukan rumusan moral. Spiritual capital adalah nilai yang tertanam dalam diri manusia bersama tiga capital yang lain. Manusia tanpa spiritual capital, mati. Manusia tanpa material capital, bukan manusia, mungkin roh. Manusia tanpa intellectual capital, hewan. Manusia tanpa social capital, pohon.

Page 25: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

243

Dalam agama, manusia bisa berbeda pendapat dan saling mengaku bahwa agamanya yang paling tua, paling benar, paling besar penganutnya dan paling besar pengaruhnya. Tetapi dalam spiritual capital, perstentangan itu tidak mungkin dan tidak boleh terjadi karena spiritual capital itu harta yang diberikan oleh Sang Pencipta dalam diri setiap orang. Orang yang mengaktualisakan spiritual capital dalam hidupnya disebut manusia yang memperhatikan kerohanian, bertentangan dengan manusia yang lebih mementingkan hal-hal materi dan menjadi materialis. Perilaku materialistis, hedonisitis, individualistis muncul dari orang yang mengabaikan aspek rohani atau spiritual dalam dirinya. Orang ini tidak mendaya-gunakan spiritual capital yang ia miliki secara baik. Spiritual capital itu ada dalam diri manusia, diberikan oleh Pencipta, terarah kepada hal-hal yang benar (verum), baik (bonum) dan indah (pulchrum). Manusia yang baik itu adalah manusia yang melakukan hal-hal yang benar, baik dan indah. Untuk melakukan hal-hal yang benar, baik dan indah itu sudah ada modal (capital) dalam diri setiap manusia, dan modal itulah yang dinamakan spiritual capital.

Orang yang beragama belum tentu orang yang baik. Orang yang baik adalah orang yang beragama dengan benar, baik dan indah. Beragama itu memunculkan kerohanian dalam diri seseroarang. Beragama belum tentu memunculkan kerohanian dalam arti kebenaran, kebaikan dan keindahan. Beragama dengan memamerkan kehebatan diri, kesalehan diri, dan kesucian diri, bukanlah orang yang menghayati spiritual capital. Karena spiritual capital itu ada dalam diri manusia dan siap untuk dimunculkan dalam agama. Bukan agama yang tertanam dalam diri manusia untuk dimunculkan dalam spiritual capital. Jadi spiritual capital itu adalah perangkat nilai, bukan perangkat peraturan yang harus diterapkan.

SPIRITUAL CAPITAL DALAM PEMBANGUNAN

Pembangunan sebagai upaya manusia untuk menyejahterahkan diri manusia itu sendiri sebenarnya manusia itu mewujudkan spiritual capital. Spiritual capital ini tidak berdiri sendiri. Spiritual capital ada sebagai dasar bagi material capital, intellectual capital dan social capital.

Page 26: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

244

Empat capital ini tidak sejajar. Spiritual capital menjadi dasar dan dimunculkan oleh manusia dalam menata material capital, melalui pendaya-gunaan intellectual capital dalam kebersamaan dengan orang lain yang dinamakan social capital.

Tubuh manusia, alam sekitar baik benda mati maupun tumbuhan dan binatang, termasuk dalam material capital. Seorang merawat diri itu namanya pembangunan diri. Dalam contoh ini, diri manusia itu material capital. Akal budi yang ada dalam dirinya adalah intellectual capital. Keberadaan orang lain yang membantu dirinya dalam bentuk jejaring adalah social capital. Orang itu menghargai tubuhnya adalah pemunculan spiritual capital. Dia mencari segala macam upaya, nalar, akal budi dengan benar, tanpa tipu muslihat, tanda dia memunculkan spiritual capital yang disebut kejujuran terhadap diri. Orang itu meminta bantuan sesama atas dasar saling percaya, adalah perwujudan spiritual capital yang dikenal dengan istilah saling percaya.

Jadi dalam pembangunan itu, manusia menata alam (material capital) dengan akal sehat (intellectual capital) bersama orang lain (social capital) secara jujur, bertanggung-jawab, taat pada peraturan, memperhatikan kepentingan orang lain, bersikap hemat, memperhitungkan masa depan. Semua unsur ini adalah bahagian dari spiritual capital.

KESIMPULAN

Orang Buna’ itu membangun diri dan alam sekitar dalam suatu ketepaduan. Keterpaduan itu terdiri dari pemunculan empat capital secara serentak. Mereka tidak memilah-milah kehidupan atas dua sisi, sisi jasmani dan rohani, sisi badan dan jiwa, sisi dunia dan surga. Memilah kehidupan ini dibawa misionaris katolik dari Eropa yang mendasarkan diri pada filsafat barat yang serba dua. Pemunculan capital-capital itu secara serentak, menyatu, jelas dalam kehidupan orang Buna’ sebagai satu totalitas yang holistik yang penulis bahasakan sebagai keutuhan dan keterpaduan yang paripurna.

Sebagai contoh dari keterpaduan itu ialah, masyarakat suku Buna’ menjalani hidup mereka atas dasar kesadaran mereka akan adanya dunia roh (spiritual capital) yang dinyatakan dalam upaya berladang

Page 27: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

245

(material capital). Berladang ini dilaksanakan atas dasar kearifan-kearifan lokal yang diungkapkan dalam bahasa dan kesenian (intellectual capital). Pesta-pesta syukur panen adalah kesenian yang menungkapkan kepercayaan orang Buna’ akan adanya dunia atas-kodrati. Demi kelangsungan hidup mereka orang Buna’ berupaya sekuat tenaga untuk mempertahankan adat kekerabatan mereka (social capital). Satu kelompok manusia, sampai kepada satu kesatuan bangsa, kalau membangun atas dasar pemunculan spiritual capital yang dipadukan dengan capital yang lain, maka kepincangan-kepincangan dalam pembangunan sangat diminimalisir. Atau sebaliknya, kalau membangun atas dasar perwujudan material capital yang dikaitkan dengan spiritual capital, social capital dan intellectual capital secara utuh terpadu, maka manusia berjalan dalam jalan yang benar, memanusiakan manusia menjadi manusiawi dan ilahi.

Page 28: BAB 8 HOT ESEN ESENSI RELIGI ORANG BUNA’repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/9/D_902006009_BAB VIII.pdf · Muncul pertanyaan, ... Mata angin orang Buna’ dikenal dengan

246