Bab 7 dan 8

12
Bab 7 Masalah Etis Seputar Konsumen Konsumen merupakan stakeholder yang sangat hakiki dalam bisnis modern. Bisnis tidak mungkin akan berjalan kalau tidak ada konsumen yang menggunakan produk atau jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh bisnis. Supaya bisnis berkesinambungan tentu perlu pelanggan karena menduduki posisi kunci untuk menjamin sukses setiap bisnis, besar ataupun kecil. Tidak heran jika Peter Drucker, perintis teori manajemen, menggarisbawahi peranan sentral pelanggan / konsumen dengan menandaskan bahwa maksud bisnis bisa didefinisikan secara tepat sebagai to create a customer. Konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral, tidak saja merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis. Namun dalam konteks modern, si konsumen justru mudah dipermainkan dan dijasikan korban manipulasi produsen. Karena itu bisnis mempunyai kewajiban moral untuk melindungi konsumen dan menghindari terjadinya kerugian baginya. 1. Perhatian untuk Konsumen Secara spontan bisnis mulai dengan mencurahkan segala perhatiannya kepada produknya, bukan kepada konsumen. Selangkah penting dalam menentukan fokus ke arah konsumen ditempuh oleh Presiden John F. Kennedy pada tahun 1992 mengirim kepada kongres (DPR) Amerika apa yang disebut Special Massage on Protecting the Consumer Interest. Di mana ia menetapkan 4 hak yang dimiliki setiap konsumen yaitu the rifght to safety, the right to be informed, the right to choose, the right to be heard. Meskipun perumusan tersebut termasyur dan tidak lengkap tetapi dipandang sebagai jalan masuk yang tepat ke dalam masalah etis sekitar konsumen. a. Hak atas keamanan Konsumen berhak atas produk yang aman, artinya produk yang tidak mempunyai kesalahan teknis / kesalahan lain yang bisa merugikan kesehatannya / bahkan membahayakan hidupnya. b. Hak atas informasi Konsumen berhak mengetahui segala informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya, baik apa sesungguhnya produk itu (bahan bakunya, umpamanya), maupun bagaimana cara memakainya, maupun juga risiko yang menyertai pemakaiannya. Meliputi juga segala aspek pemasaran dan periklanan.

description

Etika Bisnis

Transcript of Bab 7 dan 8

Bab 7Masalah Etis Seputar Konsumen Konsumen merupakan stakeholder yang sangat hakiki dalam bisnis modern. Bisnis tidak mungkin akan berjalan kalau tidak ada konsumen yang menggunakan produk atau jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh bisnis. Supaya bisnis berkesinambungan tentu perlu pelanggan karena menduduki posisi kunci untuk menjamin sukses setiap bisnis, besar ataupun kecil. Tidak heran jika Peter Drucker, perintis teori manajemen, menggarisbawahi peranan sentral pelanggan / konsumen dengan menandaskan bahwa maksud bisnis bisa didefinisikan secara tepat sebagai to create a customer. Konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral, tidak saja merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis. Namun dalam konteks modern, si konsumen justru mudah dipermainkan dan dijasikan korban manipulasi produsen. Karena itu bisnis mempunyai kewajiban moral untuk melindungi konsumen dan menghindari terjadinya kerugian baginya.1. Perhatian untuk KonsumenSecara spontan bisnis mulai dengan mencurahkan segala perhatiannya kepada produknya, bukan kepada konsumen. Selangkah penting dalam menentukan fokus ke arah konsumen ditempuh oleh Presiden John F. Kennedy pada tahun 1992 mengirim kepada kongres (DPR) Amerika apa yang disebut Special Massage on Protecting the Consumer Interest. Di mana ia menetapkan 4 hak yang dimiliki setiap konsumen yaitu the rifght to safety, the right to be informed, the right to choose, the right to be heard. Meskipun perumusan tersebut termasyur dan tidak lengkap tetapi dipandang sebagai jalan masuk yang tepat ke dalam masalah etis sekitar konsumen.a. Hak atas keamananKonsumen berhak atas produk yang aman, artinya produk yang tidak mempunyai kesalahan teknis / kesalahan lain yang bisa merugikan kesehatannya / bahkan membahayakan hidupnya.b. Hak atas informasiKonsumen berhak mengetahui segala informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya, baik apa sesungguhnya produk itu (bahan bakunya, umpamanya), maupun bagaimana cara memakainya, maupun juga risiko yang menyertai pemakaiannya. Meliputi juga segala aspek pemasaran dan periklanan.c. Hak untuk memilihKonsumen berhak memilih antara pelbagai produk dan jasa yang ditawarkan.d. Hak untuk didengarkanKarena konsumen adalah orang yang menggunakan produk / jasa, ia berhak bahwa keinginannya tentang produk / jasa itu didengarkan dan dipertimbangkan, terutama keluhannya.Hak-hak konsumen ini tentu tidak boleh dimengerti sebagai hak dalam arti sempit, tetapi dipahami sebagai cita-cita / tujuan yang harus direalisasikan dalam masyarakat. Maka kita cenderung menambahkan 2 hak berikut ini :e. Hak lingkungan hidupKonsumen boleh menuntut bahwa dengan memanfaatkan produk ia tidak akan mengurangi kualitas kehidupan di bumi ini. Dengan kata lain, ia berhak bahwa produk itu ramah lingkungan.f. Hak konsumen atas pendidikanTidak cukup bila konsumen mempunyai hak, ia harus juga menyadari haknya. Bahkan menyadari pun tidak cukup, karena konsumen harus mengemukakan kritik / keluhannya, bila haknya dilanggar. Karena itu konsumen memiliki hak juga untuk secara positif dididik ke arah itu. Terutama di sekolah dan melalui media masssa, masyarakat harus dipersiapkan menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan haknya. Sehingga memberikan sumbangan yang berarti kepada mutu kehidupan ekonomi dan mutu pada umumnya.Semua hak konsumen ini disebut juga dalam UU tentang Perlindungan Konsumen yang dimiliki Indonesia sejak April 1999, ditambah beberapa hak lain seperti hak untuk mendapatkan advokasi serta perlindungan dan hak untuk mendapatkan ganti rugi / penggantian bila produk tidak dalm keadaan semestinya.

2. Tanggung Jawab Bisnis untuk Menyediakan Produk yang AmanTerhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai, produsen maupun konsumen masing-masing mempunyai tanggung jawab. Untuk mendasarkan tanggung jawab produsen, telah dikemukakan 3 teori yang mengandung nuansa yang berbeda : teori kontrak, teori perhatian semestinya dan teori biaya sosial. Tiga pandangan itu menyediakan dasar teoritis bagi pendekatan etis maupun yuridis mengenai hubungan produsen-konsumen, khususnya dalam hal tanggung jawab atas produk yang ditawarkan oleh produsen dan dibeli oleh konsumen.A. Teori kontrakHubungan antara produsen dan konsumen sebaiknya dilihat sebagai semacam kontrak dan kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan atas kontrak itu. Jika konsumen membeli sebuah produk, ia seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan yang menjualnya. Perusaqhaan dengan tahu dan mau menyerahkan produk dengan ciri-ciri tertentu kepada si pembeli dan si pembeli membayar jumlah uang yang disetujui.Pandangan kontrak ini sejalan dengan pepatah Romawi Kuno yang berbunyi caveat emptor, hendaklah si pembeli berhati-hati. Sebagaimana sebelum menandatangani sebuah kontrak, kita harus membaca dengan teliti seluruh teksnya dan mempelajari keadaan produk beserta ciri-cirinya sebelum membayar untuk menjadi miliknya.Supaya menjadi sah, kontak harus memenuhi beberapa syarat lagi. Diantaranya kedua belah pihak harus mengetahui betul baik arti kontrak maupun sifat-sifat produk, melukiskan dengan benar fakta yang menjadi obyek kontrak dan tidak boleh terpaksa atau karena ada pengaruh seperti ancaman.Bisnis berkewajiban menjamin agar produknya memiliki ciri-ciri yang diharapkan konsumen. Yang paling penting ialah bahwa produk bisa diandalkan, dapat digunakan selama periode waktu yang diharapkan, dapat dipelihara / diperbaiki, aman dan tidak membahayakan kesehatan / keselamatan si pemakai. Namun dari beberrapa segi pandangan ini tidak memuaskan karena :1. Pada kenyataannya tidak terdapat persamaan antara produsen dan konsumen, khususnya dalam konteks bisnis modern.2. Pada kenyataannya konsumen jarang sekali berhubungan langsung dengan produsen.3. Tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik.B. Teori perhatian semestinyaDalam bahasa Inggris disebut the due care theory. Asal kata perhatian di sini dipahami sebagai perhatian efektif yang bersedia mengambil tindakan seperlunya. Kepentingan konsumen dinomorsatukan karena produsen berada dalam posisi yang lebih kuat dalam menilai produk, ia mempunyai kewajiban menjaga agar si konsumen tidak mengalami kerugian dari produk yang dibelinya. Motto yang berlaku adalah caveat venditur (hendaklah si penjual berhati-hati). Pandangan ini memfokuskan kualitas produk serta tanggung jawab produsen sehingga tekanannya bukan pada segi hukum saja tetapi pada etika dalam arti luas. Norma dasarnya adalah deontologi maupun utilitarisme maupun juga teori keadilan sehingga pandangan ini memiliki basis etika yang teguh.Kelemahannya adalah tidak mudah menentukan apa artinya semestinya, bila kita katakan bahwa produsen harus memberikan perhatian semestinya dan juga bahwa pengetahuan produsen pun terbatas yang tidak selalu mengetahui semua akibat negatif sebuah produk.C. Teori biaya sosialProdusen bertanggung jawab atas semua kekurangan produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk tersebut. Teori ini merupakan dasar bagi ajaran hukum yang disebut strict liability (tanggung jawab ketat). Sehingga mendapat dukungan dari para aktivis gerakan konsumen. Namun terlihat kurang adil karena menganggap orang bertanggung jawab atas hal-hal yang tidak diketahui / tidak bisa dihindarkan, mengakibatkan suasana kurang sehat dalam masyarakat dan pada kenyataannya konsumen yang dirugikan karena produk akan bertambah mahal jika banyaknya tuntutan ganti rugi dari konsumen.Teori pertama dan kedua paling penting dalam pendasaran moral bagi tanggung jawab produsen. Pada teori biaya sosial pantas dipuji idealisme yang terkandung didalamnya namun kurang membuka perspektif realistis bagi praktek. Supaya efektif maka dikonkretkan dalam peraturan hukum. Dalam hal ini Amerika Serikat sejak tahun 1960-an mengeluarkan banyak UU yang bertujuan untuk melindungi konsumen. Instansi yang mengawasi perlindungan konsumen adalah Federal Trade Commission (FTC) dan di bidang makanan serta obat-obatan Food and Drug Administration (FDA).

3. Tanggung Jawab Bisnis lainnya terhadap KonsumenSelain harus menjamin keamanan produk, bisnis mempunyai kewajiban lain lagi terhadap konsumen. Di sini akan menyoroti tiga kewajiban moral :1. Kualitas produkKonsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena ia membayar untuk itu. Dan bisnis berkewajiban untuk menyampaikan produk yang berkualitas. Salah satu cara yang biasa ditempuh adalah memberikan garansai. Ada 2 macam garansi : eksplisit dan implisit. Garansi bersifat eksplisit kalau terjamin begitu saja dalam keterangan yang menyertai produk. Menyangkut ciri-ciri produk, masa pemakaian, kemampuannya dll. Garansi bersifat implisit kalau secara wajar bisa diandaikan, sekalipun tidak dirumuskan dengan terang-terangan. Hal itu terjadi bila dalam iklan / promosi tentang produk dibuat janji tertentu / bila konsumen memiliki harapan sesuai dengan hakikat produk. Akhirnya kualitas produk tidak saja merupakan suatu tuntutan etis melainkan juga suatu syarat untuk mencapai sukses dalam bisnis.2. HargaHarga merupakan buah hasil perhitungan faktor-faktor seperti biaya produksi, biaya investasi, promosi, pajak, ditambah tentu laba yang wajar. Dalam sistem ekonomi pasar bebas, sepintas rupanya harga yang adil adalah hasil kahir dari perkembangan-perkembangan daya-daya pasar. Namun ada beberapa alasan mengapa prinsip pasar tidak cukup. Pertama, pasar praktis tidak pernah sempurna. Kedua, para konsumen sering kali dalm posisi lemah, untuk membandingkan harga serta menganalisis semua faktoryang turut menentukan harga. Ketiga, menentukan harga menurut mekanisme pasar saja bisa mengakibatkan fluktuasi harga terlalu besar.Dalam situasi modern, harga yang adil terutama merupakan hasil dari peneraan dua prinsip yaitu pengaruh pasar dan stabilitas harga. Secara khusus menjadi tugas pemerintah untuk mencari keseimbangan antara harga pasar bebas dan perlunya stabilitas. Yang jelas ialah nbahwa kompetisi bebas dalam hal ini dengan demikian cukup dibatasi. Menurut Garrett dan Klonoski harga menjadi tidak adil karena 4 faktor yaitu penipuan, ketidaktahuan pada pihak konsumen, penyalahgunaan kuasa, dan manipulasi emosi.3. Pengemasan dan pemberian labelSelain bertujuan melindungi produk dan memmungkinkan mempergunakan produk dengan mudah, kemasan berfungsi juga untuk mempromosikan produk, terutama di era toko swalayan sekarang. Pengemasan dibuat sedapat mungkin menarik, untuk meraih lebih banyak pembeli. Selain itu pengemasan dan label memberi informasi tentang produk. Dalam konteks tuntutan etis adalah bahwa informasi yang disebut pada kemasan itu benar dan bahwa pengemasan tidak boleh menyesatkan konsumen.

4. Studi Kasus : Obat Hewan yang Membahayakan Konsumen1. PendahuluanIndustri pengunggasan mendapat pukulan berat sejak krisis ekonomi mulai terasa paro kedua 1997 karena harga pakan ayam dan obat-obatan naik drastis. Tidak mustahil peternak ayam malah lebih tergoda menempuh cara-cara yang merugikan konsumen karena terdesak oleh keadaan ekonomi yang kurang ramah. Salah satu ciri khas peternakan ayam adalah bahwa industri ini rawan penyakit karena itu industri obat hewan semakin merupakan sarana penunjang yang hakiki untuk industri perunggasan. Masalah etikanya tampak berhubungan dengan penjualan dan penggunaan obat hewan dalam sektor industri pangan ini karena masalah-masalah itu secara langsung berkaitan dengan hak dan keselamatan konsumen.2. Masalah etika mengenai obat ayam1. Ada perusahaan yang belum memiliki izin di bidang usaha obat hewan tetapi melakukan kegiatan penjualan.2. Produk obat hewan yang belum memiliki nomor registrasi dari perusahaan yang sudah memiliki izin / belum sudah diperjualbelikan.3. Cara pemakaian dan dosis obat tidak sesuai dengan standar yang berlaku.4. Bahan baku obat hewan dijual secara bebas langsung kepada pabrik obat hewan dan diproses dalam bentuk obat jadi.5. Peternak ayam menggunakan obat-obatan manusia yang oleh perusahaan farmasi langsung dijual ke peternakan ayam.6. Produsen / penyalur obat hewan tidak memberi penyuluhan yang tepat kepada peternak ayam / dengan cara lain berperilaku kurang etis.7. Obat yang sudah dilarang karena membahayakan kesehatan manusia masih dijual kepada peternak ayam dan masih dipakai sebagai obat hewan.

3. Analisis etikaKasus 1 dan 2 secara langsung merupakan pelanggaran terhadap hukum dan bertentangan juga dengan etika. Karena kewajiban mematuhi peraturan hukum didasarkan atas etika dan pelanggaran bisa menjadi biang keladi untuk tindakan yang merugikan masyarakat konsumen. Untuk kasus 3 dosis seharusnya tidak boleh terlalu rendah tetapi juga tidak boleh terlalu tinggi. Yang penting adalah waktu henti obat dimaksudkan jangka waktu antara pemberhentian obat dan saat ayam boleh dipotong untuk konsumsi. Kasus 4 melanggar juga peraturan hukum. Produsen bahan baku bagi obat hewan tidak boleh menjual produknya langsung kepada peternak ayam dan peternak ayam itu hanya boleh mempergunakan obat hewan dalam bentuk obat jadi. Dalam kasus 5 tersinyalir terjadinya penjualan obat manusia untuk dipakai oleh peternakan ayam yang di negeri asalnya tidak diperbolehkan. Dengan demikian konsumen dirugikan karena jika termakan oleh manusia penyakit tifus tidak menjadi fatal namun pengobatan akan berlangsung lama dan mengakibatkan penderitaan lebih banyak. Itu karena manusia bersama dengan daging hewan mengkonsumsi juga residu obat yang tertinggal dalam daging hewan itu. Dalam kasus 6 bukan peternak yang tidak berperilaku etis tetapi produsen / penyalur. Praktek seperti itu mengakibatkan lebih mudah residu obat yang pasti merugikan kesehatan manusia. Akhirnya kasus 7 merupakan pelanggaran obat hewan. Dalam surat edaran direktorat jenderal peternakan no TH 260 / 634 / DKH / 0996 tertanggal 19 september 1996 dilarang untuk menyediakan, membuat, mengedarkan dan memakai obat ini di wilayah Indonesia karena diketahui mempunyai efek karsinogenik yang dapat membahayakan masyarakat konsumen.4. KesimpulanKarena itu semua pihak yang terlibat dalam produksi, distributor, konsumen dan pemerintah harus mengerjakan bagiannya dengan baik dan benar. Kenyataanya dalam sektor bisnis seperti peternakan unggas terjadi cukup banyak pelanggaran etika, karena si peternak kurang profesional di bidangnya. Hal itu terutama bagi peternak kecil yang tertarik untuk menggunakan sarana-sarana modern seperti obat hewan. Di sisi lain pengusaha obat secara khusus harus mengerti kesulitan peternak kecil dan mencari jalan untuk membantunya. Begitupun konsumen harus teliti dan jeli dalam membeli. Akhirnya, instansi pemerintah yang terkait harus memperhatikan secara khusus peternak kecil. Selain menjalankan kontrol dan mennsinyalir kesalahan yang terjadi, ia harus secara positif juga menunjukan jalan untuk memperbaiki kelemahannya.

Bab 8Periklanan dan Etika Periklanan / reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis modern. Kenyataan ini berkaitan erat dengan cara berproduksi industri modern yang menghasilkan produk-produk dalam kuantitas besar, sehingga harus mencari pembeli. Iklan dianggap cara ampuh untuk menonjol dalam persaingan. Dalam perkembangannya, media komunikasi modern, media cetak maupun elektronis, khususnya televisi memegang peranan dominan. Fenomena periklanan ini menimbulkan pelbagai masalah yang berbeda, diantaranya soal konsumerisme.1. Fungsi PeriklananPeriklanan memberikan kesan informasi yang seolah-olah tujuan terpentingnya memperkenalkan sebuah produk / jasa. Biasanya proses komunikasi itu diadakan dalam rangka promosi. Buku-buku manajemen secara eksplisit berbicara tentang usaha mempengaruhi tingkah laku para konsumen / tema sejenis. Ternyata iklan diharapkan efekttif sehingga produk / jasa laris di pasaran.Periklanan dapat dibedakan 2 fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi kenyataannya fungsi tersebut ada yang paling dominan. Tercampurnya unsur informatif dan unsur persuasf dalam periklanan membuat penilaian etis terhadapnya menjadi lebih kompleks.2. Periklanan dan KebenaranPeriklanan hampir apriori disamakan dengan tidak bisa dipercaya. Karena itu dalam pembahasan moral ini harus diselidiki secara khusus hubungan periklanan dengan kebenaran. Berbohong adalah mengatakan sesuatu yang tidak benar. Dengan kata lain dengan sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar, agar orang lain percaya. Iklan bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran. Selain itu iklan bisa tidak etis karena menipu. Untuk memahaminya kita harus membedakan pembohongan dan penipuan. Berbohong selalu berlangsung dalam rangka bahasa, entah lisan / tertulis. Cakupan penipuan lebih luas yaitu dengan sengaja mengatakan / melakukan sesuatu yang mengakibatkan orang lain percaya pada apa yang tidak benar dan hal itu dikatakan / dilakukan dengan maksud agar orang lain percaya. Setelah menyelidiki masalh sekitar periklanan dan kebenaran memang sangat sulit sekali membedakan dengan jelas antara iklan yang etis / tidak etis. Sulit untuk ditarik garis perbatasan yang tajam antara melebih-lebihkan dan berbohong. Masalah kebenaran dalam periklanan tidak bisa dipecahkan dengan cara hitam putih. Banyak tergantung pada situasi konkret dan kesediaan publik untuk menerimanya / tidak.3. Manipulasi dan PeriklananMasalah manipulasi berkaitan dengan segi persuasif dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari segi informatifnya). Dengan manipulasi dimaksudkan mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa sehingga ia menghendaki / menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri. Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar. Dalam sebuah buku berjudul The Affluent Society, John Kenneth Galbraith melukiskan bagaimana bisnis modern menciptakan keinginan kepada konsumen melalui upaya periklanan dan kemudian memenuhi keinginan itu dengan produk-produknya. Galbraith membedakan antara keinginan fisik dan keinginan psikologis. Singkatnya kebutuhan konsumen tergantung pada proses produksi yang memuaskan kebutuhan itu.Menurut F. A. Von Hayek hanya sedikit kebutuhan bersifat absolut, dalam arti tidak tergantung dari lingkungan sosial dan kultural, kecuali beberapa kebutuhan dasar yang kebanyakan mempunyai latar belakang budaya. Ketergantungan budaya ini tidak menghalangi bahwa kebutuhan seperti itu adalah kebutuhan sungguh-sungguh, karena diakui demikian oleh konsumen. Walapun selesa manusia seperti juga pandangan dan keyakinannya dipengaruhi oleh lingkungan sosio-budaya, itu tidak berarti bahwa dalam hal ini manusia direkayasa juga.Publik cukup menyadari bahwa iklan itu namanya iklan dan karena itu selalu harus didekati dengan sikap yang kritis. Kebanyakan orang tahu membedakan suasana yang ditampilkan periklanan dengan kenyataan. Namun demikian, tidak mustahil untuk termanipulasi. Berikut adalah 2 cara untuk sungguh-sungguh memanipulasi orang dengan periklanan.1. Subliminal Advertising yaitu tekhnik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran (karena itu subliminal; dari kata Latin limen=ambang). Tekhnik ini bisa dipakai di bidang visual maupun audio.2. Iklan yang ditujukan kepada anak, jelas seorang anak belum bisa mengambil keputusan dengan bebas dan sangat sensitif terhadap pengaruh dari luar.4. Pengontrolan terhadap IklanKarena kemungkinan dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi merupakan hal-hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut.1. Kontrol oleh pemerintahPemerintah yang harus melndungi masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan. Di Indonesia iklan tentang makanan dan obat diawasi oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.2. Kontrol oleh para pengiklanCara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya hal itu dilakukan dengan menyususn sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan. Di Indonesia memiliki Tata krama dan tata cara periklanan Indonesia yang disempurnakan (1996) yang dikeluarkan oleh AMLI (Asosiasi Media Luar Ruang Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemrakrsa dan Penyantun Iklan Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) dan Yayasan TVRI. Versi pertama dari kode etik ini telah diberlakukan 1981. Jika suatu kode etik disetujui tentunya pelaksanaan harus diawasi juga. Di Indonesia pengawasan kode etik dipercayakan kepada Komisi Periklanan Indonesia yang terdiri atas unsur semua asosiasi pendukung dari Tata Krama tersebut.3. Kontrol oleh masyarakatDalam hal ini cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan menggalakan lembaga-lembaga konsumen, yang sudah lama dikenal di negara-negara maju dan sejak tahun 1970-an berada juga di Indonesia (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen di Semarang).Sebetulnya setiap kota besar pantas memiliki Lembaga Swadaya Masyarakat yang bertujuan advokasi konsumen seperti lembaga-lembaga itu.Selain menjaga agar periklanan tidak menyalahi batas-batas etika melalui pengontrolan terhadap iklan-iklan dalam media massa, ada juga cara lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang dinilai paling baik. Penghargaan untuk iklan itu bisa diberikan oleh instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, sebuah majalah dll. Di Indonesia memiliki Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.5. Penilaian Etis terhadap IklanRefleksi tentang etika periklanan mengingatkan bahwa penalaran moral selalu harus bernuansa dengan menyimak dan menilai situasi konkrit. Ada 4 faktor yang selalu dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip untuk membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan :1. Maksud si pengiklanJika maksud di pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik pula. Jika si pengiklan tahu bahwa produk yang diiklankan merugikan konsumen / dengan sengaja ia menjelekan produk dari pesaing, iklan menjadi tidak etis. Begitupun jika membuat iklan yang menyesatkan, tentu iklan menjadi tidak etis. Di sini sulit dibayangkan bahwa si pengiklan mempunyai maksud baik. Federal Trade Commision telah memaksa perusahaan bersangkutan untuk mengoreksi iklan yang menyesatkan. Sebaliknya, jika si pengiklan mengeluarkan iklan yang menyesatkan tapi maksudnya tidak demikian, iklan itu barangkali kuran profesional tetapi tidak bisa dinyatakan kurang etis.2. Isi iklanMenurut isinya iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan tidak menjadi etis pula bila mendiamkam sesuatu yang sebenarnya pentng. Bisa dibenarkan, jika sebuah produk dalam iklan dipersentasikan dari segi yang paling menguntungkan. Iklan tentang hal yang tidak bermoral dengan sendirinya menjadi tidak etis. Di sini kompleksitas moralitas periklanan terkait dengan kompelksitas moralitas topik-topik bersangkutan.3. Keadilan publik yang tertujuPublik sebaiknya memiliki skepsis yang sehat terhadap usaha persuasi dari periklanan. Keganasan periklanan harus diimbangi dengan sikap kritis publik. Yang dimengerti di sini publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi cukup tentang produk / jasa yang diiklankan.Secara umum periklanan memiliki potensi besar untuk mengipas-ngipas kecemburuan sosial dalam masyarakat dengan memamerkan sikap konsumerisme dan hedonisme dari suatu elite kecil. Hal itu merupakan aspek etis yang sangat penting, terutama dalam masyarakat yang ditandai kesenjangan sosial yang besar seperti Indonesia.4. Kebiasaan di bidang periklananPeriklanan sering dipraktekan dalam rangka suatu tradisi. Sudah ada aturan main yang disepakati secara implisit / eksplisit dan yang sering kali tidak dapat dipisahkan dari etos yang menandai masyarakat itu. Di mana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih mudah diterima daripada di mana praktek periklanan baru mulai dijalankan pada skala besar. Dalam refleksi etika periklanan rupanya tidak mungkin dihindarkan suatu nada relativistis.