BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional...

12
12 BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Secara administratif Kabupaten Semarang terbagi menjadi 19 Kecamatan, 27 Kelurahan dan 208 desa. Batas-batas Kabupaten Semarang adalah sebelah utara berbatasan dengan Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Boyolali. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Kendal. Dalam bab sebelumnya peneliti memberi batasan wilayah untuk diteliti. Penelitian ini hanya membatasi tiga kecamatan saja yakni: Ambarawa, Bandungan dan Sumowono. Berikut gambaran umum mengenai keadaan di tiap Kecamatan dapat dilihat pada tabel 4.1 Tabel 4.1 Gambaran Umum Kecamatan Ambarawa, Bandungan dan Sumowono. Penelitian Kecamatan Ambarawa Kecamatan Bandungan Kecamatan Sumowono -Luas areal -Pembagian desa -Jumlah penduduk -Batas wilayah 4840,020 ha. Terbagi menjadi 8 kelurahan dan 2 desa. 56.570 jiwa Sebelah barat = Kec. Jambu Sebelah timur = Kec. Bawen Sebelah utara = Kec. Bandungan Sebelah selatan = Kec. Banyu Biru 4824 ha. Terbagi menjadi 1 kelurahan dan 9 desa. 50.611 jiwa Sebelah barat = Kec. Sumowono Sebelah timur = Kec. Bawen Sebelah utara = Kec. Bergas Sebelah selatan = Kec. Ambarawa 1345 ha Terbagi menjadi 16 desa. 31.735 jiwa Sebelah barat = Kab. Temanggung Sebelah timur = Kec. Bandungan Sebelah utara = Kab. Kendal Sebelah selatan = Kab. Temanggung dan Kec. Jambu Sumber : Data Sekunder ( BPS 2010, Kabupaten Semarang) 4.2. Gambaran Umum Partisipan dan Key Informant 4.2.1 Partisipan Dalam penelitian ini terdapat 9 orang sebagai partisipan, diantaranya 3 petani dan 6 pedagang perantara yang meliputi pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang

Transcript of BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional...

Page 1: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

12

BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Secara administratif Kabupaten Semarang terbagi menjadi 19 Kecamatan, 27 Kelurahan

dan 208 desa. Batas-batas Kabupaten Semarang adalah sebelah utara berbatasan dengan Kota

Semarang dan Kabupaten Demak. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan

Kabupaten Boyolali. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten

Magelang. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Kendal.

Dalam bab sebelumnya peneliti memberi batasan wilayah untuk diteliti. Penelitian ini

hanya membatasi tiga kecamatan saja yakni: Ambarawa, Bandungan dan Sumowono. Berikut

gambaran umum mengenai keadaan di tiap Kecamatan dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Gambaran Umum Kecamatan Ambarawa, Bandungan dan Sumowono.

Penelitian Kecamatan Ambarawa Kecamatan Bandungan Kecamatan Sumowono

-Luas areal

-Pembagian

desa

-Jumlah

penduduk

-Batas wilayah

4840,020 ha.

Terbagi menjadi 8

kelurahan dan 2 desa.

56.570 jiwa

Sebelah barat = Kec.

Jambu

Sebelah timur = Kec.

Bawen

Sebelah utara = Kec.

Bandungan

Sebelah selatan = Kec.

Banyu Biru

4824 ha.

Terbagi menjadi 1

kelurahan dan 9 desa.

50.611 jiwa

Sebelah barat = Kec.

Sumowono

Sebelah timur = Kec.

Bawen

Sebelah utara = Kec.

Bergas

Sebelah selatan = Kec.

Ambarawa

1345 ha

Terbagi menjadi 16 desa.

31.735 jiwa

Sebelah barat = Kab.

Temanggung

Sebelah timur = Kec.

Bandungan

Sebelah utara = Kab. Kendal

Sebelah selatan = Kab.

Temanggung dan Kec. Jambu

Sumber : Data Sekunder ( BPS 2010, Kabupaten Semarang)

4.2. Gambaran Umum Partisipan dan Key Informant

4.2.1 Partisipan

Dalam penelitian ini terdapat 9 orang sebagai partisipan, diantaranya 3 petani dan 6

pedagang perantara yang meliputi pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang

Page 2: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

13

pengecer. Partisipan tersebut ditetapkan sesuai dengan kriteria umum yaitu petani Cabai, sudah

menekuni usahataninya dengan pengalaman menjadi petani lebih dari 15 tahun, sedangkan

Pedagang perantara Cabai memiliki pengalaman berdagang minimal 3 tahun.

Selain itu ada kriteria khusus yaitu partisipan mampu untuk menjawab setiap pertanyaan

dalam kuisioner yang diberikan secara menyakinkan dan berwawasan luas. Berdasarkan kriteria

tersebut, maka ditetapkan bahwa para partisipan yang akan menjadi obyek penelitian adalah

bapak Puji Slamet, ibu Pariah atau ma’tofah, bapak Sarrodin, ibu Sri Rumiati, ibu Siti Nuraini,

ibu Kotimah,ibu Ngatinem, Mak yem atau Ngatiyem dan bapak Mujianto. Hal tersebut dapat

dilihat data umum partisipan berdasarkan tabel 4.2.

Tabel 4.2 Gambaran Umum Partisipan

No. Nama Pendidikan Umur

(tahun)

Luas lahan Lama menjadi

petani/pedagang

Pekerjaan

1. Puji Slamet

SLTA 46 5.000 m² 21 Petani

2. Ma’tofah

SD 54 2.500 m² 35 Petani

3. Sarrodin

SLTA 59 3.400 m² 45 Petani

4. Sri Rumiati

Tidak sekolah 50 - 6 Pedagang pengecer

5. Ngatinem SD 40 - 4 Pedagang pengecer

6. Siti Nuraini

SLTA 42 - 3 Pedagang grosir

7. Mak yem Tidak sekolah 60 - 21 Pedagang grosir

8. Kotimah

SD 43 - 5 Pedagang pengumpul

9. Mujianto SLTP 30 - 5 Pedagang pengumpul

Sumber : Data Primer, 2011

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui usia partisipan petani dan pedagang ditiga kecamatan

kabupaten Semarang pada sampel yang didapat berkisar antara 42–60 tahun. Dengan luas lahan

berkisar antara 2.500-5.000m² dari keseluruhan partisipan, telah memiliki pengalaman menjadi

petani berkisar antara 21-45 tahun sedangkan pedagangnya berkisar antara 3-21 tahun. Pada

jenjang pendidikan, terdapat berbagai macam partisipan yang berpendidikan rendah maupun

tinggi mulai dari yang tidak sekolah hingga tamatan SLTA. Hal ini terjadi karena adanya syarat

atau kriteria umum maupun khusus yang dipakai oleh peneliti untuk mempermudah proses

penelitian. Semisal ibu Sri Rumiati beliau saat diwawancarai mengaku tidak pernah sekolah

Page 3: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

14

karena faktor lingkungan dimasa kecilnya, tetapi beliau diajari oleh teman dan orang tua untuk

belajar membaca dan menulis. Meskipun beliau tidak sekolah, tetapi sesuai kriteria beliau dapat

dipilih sebagai partisipan, sama seperti Mak yem. Beliau juga tidak pernah merasakan duduk

dibangku sekolah tetapi karena orang tuanya sebagai pedagang maka Mak yem belajar dari

kedua orang tuanya sehingga beliau lebih berpengalaman.

4.2.2 Key Informant

Untuk pengambilan data, selain dari para partisipan di atas diambil juga data dari para

key informant yang bertujuan untuk melengkapi dari hasil wawancara dengan para partisipan.

Data umum mengenai key informant dapat dilihat dari tabel 4.3 dibawah ini:

Tabel 4.3 Gambaran umum key informant

Nama Keterangan Kecamatan

Didik Cahyadi Wakil ketua kelompok tani Albarokah Ambarawa

Dedi Suhanto Ketua kelompok tani Kuda Manunggal Ambarawa

Rosamaji Ketua kelompok tani Subur Makmur Bandungan

Bandhi Anggota Kelompok tani Maju Makmur Sumowono

Sumber: Data Primer, 2011

Dari tabel 4.3 yang menjadi key informant dalam penelitian ini sesuai dengan kriteria

yang ditetapkan oleh peneliti agar lebih terarah. Yang menjadi key informant terdapat ketua,

wakil dan anggota dimana orang tersebut dianggap pas dan mampu untuk dipilih sebagai

informasi kunci. Pemilihan key informant tidak selalu didasarkan dengan jabatan yang dimiliki,

melainkan pengetahuan yang dimiliki. Seperti bapak Bandi, beliau tidak memiliki jabatan

sebagai ketua maupun wakil dalam suatu kelompok tani, tetapi oleh masyarakat sekitar beliau

dianggap sebagai panutan dalam teknik budidaya serta penyalurannya sehingga peneliti

memilihnya sebagai key informant.

4.3. Pola Distribusi Pemasaran Cabai

Pola distribusi adalah rute dan status kepemilikan yang ditempuh oleh suatu komoditas

ketika Cabai ini mengalir dari penyedia produk melalui petani sampai ke konsumen akhir. Pola

ini terdiri dari pedagang perantara yang memasarkan komoditas Cabai dari petani sampai ke

konsumen (Dillon, 2007). Menurut Kartasapoetra (1986), pemasaran produk pertanian harus

menjamin agar produk tersebut dapat cepat tersalurkan, mengingat produk tersebut cepat busuk

Page 4: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

15

dan rusak, sehingga ketepatan dalam penggunaan pedagang perantara perlu diperhatikan. Dari

hasil penelitian di kabupaten Semarang ditemukan pola distribusi pemasaran Cabai seperti pada

gambar 4.1 sebagai berikut:

Gambar 4.1 Pola Distribusi Pemasaran Cabai.

4.3.1 Pola Distribusi Panjang

Menurut Soekartawi (2001), untuk mata rantai pemasaran panjang, produsen sering

menggunakan beberapa pedagang pengumpul sebagai perantara, dalam penyaluran produk

kepada pedagang pengumpul ke pedagang grosir yang kemudian menjualnya ke pedagang

pengecer dan berakhir ke konsumen. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.2 Pola Distribusi Panjang

Setiap petani memiliki karakter masing-masing dalam penyaluran Cabainya. Seperti yang

dilakukan oleh bapak Sarrodin dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penyalurannya terdapat

beberapa jalur untuk memasarkan Cabainya, dengan mempertimbangkan harga tinggi dan

kecocokan harga. Penyaluran yang dilakukan oleh bapak Sarrodin merupakan pola distribusi

panjang, mengenai hal tersebut terdapat ketentuan hasil panen yang diberikan ke pedagang grosir

yakni 15-50 kilogram. Berikut penuturan dari bapak Sarrodin mengenai hal diatas:

“Sesuai dengan kecocokan harga dalam penyalurannya, saya melakukan penjualan

kepedagang pengumpul menurut informasi yang saya dapatkan, selanjutnya akan

disalurkan kepedagang grosir di pasar Ngasem, dan berlanjut disalurkan kepedagang

pengecer yang ada di daerah Ambarawa, serta untuk menyediakan pedagang keliling di

pasar Sumowono dan sekitar rumah saya.”

Bapak Bandi juga menambahkan mengenai hal diatas berikut penuturannya:

“Hasil panen Cabai saya jual sendiri dan beberapa pedagang perantara agar dapat

tersalurkan ke berbagai daerah tidak hanya di Sumowono, Bandungan dan sekitarnya

saja, biasanya bagi pedagang grosir dipasar Ngasem terdapat ketentuan untuk hasil panen

PETANI PEDAGANG

PENGUMPUL

GROSIR PENGECER KONSUMEN

Pedagang Pengumpul Konsumen Pengecer Grosir Petani

Page 5: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

16

15-50 kilogram. Saya selalu mencari informasi harga dari pedagang maupun teman

sesama petani.”

Pedagang pengumpul yang dimaksud yakni ibu Kotimah. Beliau mencari Cabainya

dengan terjun langsung ke lokasi penanaman untuk dikumpulkan terlebih dahulu sebelum

komoditas Cabai yang dikumpulkan akan dijual ke pedagang grosir. Dalam melakukan

pembelian, biasanya pedagang pengumpul langsung membeli hasil produksi Cabai dari petani

atau dilokasi panen (Soekartawi, 2001).

Berikut penuturan dari ibu Kotimah mengenai hal diatas:

“Biasanya saya ambil produk Cabai dari para petani disekitar Sumowono. Untuk

pengambilan Cabai saya datang langsung ke lapangan baik sawah maupun tempat tinggal

petaninya yang nantinya saya jual ke pedagang grosir.

Bapak Mujianto menambahkan mengenai hal diatas:

“Penjualan ke pedagang grosir dapat memberi keuntungan tersendiri baik pihak saya

maupun pedagang grosir. Pedagang grosir untuk pasokan Cabai dapat terjamin dengan

adanya pedagang pengumpul, karena grosir tidak perlu bersusah payah untuk

mendapatkan jumlah Cabai yang memadai.”

Pedagang grosir yang dimaksud adalah ibu Siti Nuraini sebagai perwakilan pedagang

grosir di pasar Ngasem. Ibu Siti untuk mendapatkan komoditas Cabainya, beliau biasanya

mengambil dari para pedagang pengumpul langganananya. Dari hasil Cabai yang didapat beliau

selalu memperhatikan mutu dan kualitas agar dapat bertahan lama. Untuk penyaluran komoditas

Cabai selanjutnya akan dijual ke pedagang pengecer dan berlanjut ke konsumen. Menurut

Soekartawi (2001), pedagang grosir pada umumnya menjual ke pedagang pengecer. Berikut

penuturan dari ibu Siti Nuraini mengenai hal diatas:

“Untuk mendapatkan Cabai saya dapat dari para pedagang pengumpul, sehingga dalam

penyaluran cabainya akan menjadi lebih lama. Hal ini diperlukan tambahan penanganan

khusus untuk menjaga mutu dan kualitasnya yang nantinya saya jual kembali ke

pedagang pengecer.”

Seperti ibu Sri Rumiati agar penjualan dapat berlangsung, beliau akan mengambil dari

pedagang grosir apabila tidak ada pasokan dari pedagang pengumpul, maka partisipan

menggunakan dua alternatif untuk dapat berjualan yakni dari pedagang pengumpul maupun

pedagang grosir. Berikut penuturan dari ibu Sri Rumiati mengenai hal diatas:

Page 6: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

17

“Untuk memperoleh Cabai yang akan dijual, sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk

mengambil Cabai dari pedagang grosir di pasar Ngasem sebagai cadangan bila dari

pengumpul tidak ada yang setor atau memasok.”

Pedagang pengecer banyak terdapat di berbagai daerah konsumsi (Soekartawi, 2001).

Seperti yang diungkapkan diatas, yang merupakan salah satu daerah konsumsi Cabai adalah

Ambarawa. Para pedagang pengecer di daerah Ambarawa dan sekitarnya dalam memenuhi

permintaan konsumen akan komoditas Cabai, biasanya mengambil dari grosir dipasar Ngasem.

Pendistribusian yang dilakukan dengan melibatkan beberapa pedagang perantara

memberikan kepuasan tersendiri dalam pemasaran Cabai, karena dengan melibatkan beberapa

pedagang perantara maka petani dapat diberi pengetahuan mengenai berbagai informasi

usahatani Cabai maupun harga dipasaran. Distribusi ini merupakan jalur panjang, karena

melibatkan tiga pedagang perantara yakni pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang

pengecer. Distribusi semacam ini mempunyai keunggulan yakni: dengan adanya pedagang

pengumpul maka akan menjamin pasokan Cabai bagi para pedagang grosir dan dapat

menjangkau berbagai daerah yang lebih luas. Sedangkan kelemahannya: dapat memakan waktu

lebih lama dan membutuhkan penanganan yang lebih dalam menjaga mutu dan kualitas Cabai

tersebut.

4.3.2 Pola Distribusi Menengah

Pola distribusi menengah tergolong yang sering di pakai oleh petani untuk mempermudah

penjualannya. Menurut Soekartawi (2001), pola ini disebut juga pola tradisional karena hanya

memakai pedagang grosir dan pengecer yang banyak digunakan oleh petani. Hal ini dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.3 Pola Distribusi Menengah

Menurut Kotler (1997), petani hanya melayani penjualan dalam jumlah besar kepada

pedagang grosir. Dari hasil temuan dilapangan menunjukkan bahwa penyaluran yang dilakukan

oleh Ma’tofah,yang sudah menjadi kebiasaan selalu menjual ke pedagang grosir. Bagi pedagang

grosir untuk mendapatkan Cabainya terdapat dua alternatif. Pedagang grosir dapat langsung

berhubungan dengan petaninya maupun mengambil dari pedagang pengumpul. Dari hasil temuan

Konsumen Pengecer Grosir Petani

Page 7: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

18

dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petaninya menjual produk Cabai ke pedagang

grosir. Untuk menyalurkan Cabainya para pedagang grosir selalu menjamin akan disalurkan ke

pedagang pengecer lainnya. Berikut penuturan dari Ma’tofah mengenai hal diatas:

“Dengan memperhatikan mutu dan kualitas hasil Cabai setelah dipanen biasa saya

berikan ke pedagang grosir di pasar Ngasem yang selanjutnya akan diecerkan di pasar

tradisional yang lain untuk melewati proses distribusi selanjutnya.”

Bapak Rossamaji juga menuturkan mengenai hal diatas:

“Hasil panen Cabai biasanya saya memanfaatkan pedagang perantara yakni pedagang

grosir di pasar Ngasem, soalnya sudah menjadi kebiasaan baik saya maupun masyarakat

sekitar. Apalagi di pasar Ngasem ini merupakan Sub Terminal Agribisnis (STA) sehingga

saya berfikiran Cabai saya pasti laku dan terjamin bila saya jual kesana.”

Melalui pernyataan Ma’tofah diatas didukung oleh pendapat dari bapak Rosamaji yakni

menjual hasil panen ke pedagang grosir memberi keuntungan, diantaranya dalam proses

pendistribusian dimudahkan dalam memasarkan hasil panenanya. Di pasar Ngasem yang

merupakan STA yakni tempat berkumpulnya para pedagang grosir sehingga banyak pedagang

pengecer yang datang ke pasar tersebut. Selain itu sudah menjadi kebiasaan bagi partisipan

setelah panen langsung menjual ke pedagang grosir.

Pedagang grosir yang dimaksud adalah ibu Ngatiyem yang lebih akrab dipanggil mak

Yem. Beliau berprofesi sebagai pedagang sudah mencapai 21 tahun. Pembelian Cabai selalu dari

petaninya langsung di daerah Bandungan, karena kebanyakan petani disana selalu menjual

Cabainya dalam jumlah besar dan menjadi kebiasaan untuk memakai pedagang grosir. Berikut

penuturan dari Mak Yem mengenai hal diatas:

“Selama 21 tahun menjadi pedagang grosir, yang menjadi pemasok utama yakni dari

petaninya langsung. Bagi saya dengan jumlah Cabai yang dipasok dari petani saja untuk

mengumpulkannya tidak butuh waktu lama. Dengan strategi khusus guna menekan harga

bagi petaninya, maka saya dapat memenuhi kebutuhan bagi para pedagang pengecer.”

Seperti ibu Ngatinem salah satunya yang menjadi pedagang pengecer di pasar Ngasem.

Beliau selalu berjualan pada pagi dan siang hari untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Pada

pasar Ngasem ini tidak banyak pedagang pengecer yang berjualan, karena kebanyakan

merupakan pedagang besar. Perlu diketahui bahwa pasar Ngasem ini para pedagang grosir mulai

aktif mulai pukul 16.00 WIB dan pagi harinya pasar ini sepi, terkecuali bila ada pedagang

Page 8: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

19

pengecer yang berjualan. Untuk menyediakan para konsumen, sebelum pulang selalu ibu

Ngatinem membeli Cabai ke pedagang grosir untuk dijual keesokan harinya.

Berikut penuturan dari ibu Ngatinem mengenai hal diatas:

“Untuk menjamin kebutuhan konsumen dapat terpenuhi maka sudah menjadi kebiasaan

tiap sore hari, saya membeli Cabai dari pedagang grosir agar dapat berjualan pada

paginya, karena pasar Ngasem mulai beraktifitas pukul 16.00 wib .”

Dari uraian diatas, distribusi ini dapat dikatakan sebagai jalur menengah, karena

melibatkan dua pedagang perantara yakni pedagang grosir dan pedagang pengecer. Distribusi

semacam ini mempunyai keunggulan yakni: pasokan Cabai sampai ke konsumen terjamin

jumlahnya, dengan demikian tanpa pedagang pengumpul grosir masih dapat lebih cepat

mengumpulkan Cabai. Sedangkan kelemahannya: ada upaya untuk menekan harga ditingkat

petani untuk memperebutkan jumlah Cabai di pasaran.

4.3.3 Pola Distribusi Pendek

Pada jalur pemasaran Cabai dari petani langsung dijual ke konsumen maka pola ini dapat

dikatakan sebagai pola distribusi pendek. Menurut Soekartawi (2001), distribusi pendek

merupakan saluran yang sangat efisien karena rantai pemasarannya lebih singkat, sehingga

dalam penyalurannya tidak banyak berhubungan dengan pedagang perantara.

Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.4 Pola Distribusi Pendek

Pendistribusian yang dilakukan dengan jenis saluran secara langsung dapat memberi

keuntungan sendiri bagi petani, meskipun pendapatan yang diterima antara petani menjual

langsung ke konsumen, maupun petani menjual ke pedagang pengecer, hasil yang didapat sama.

Pada pola secara langsung dapat digunakan oleh semua petani sebagai alternatif kedua apabila

petani tersebut juga bertindak sebagai pedagang pengecer. Penyaluran secara langsung juga

dilakukan oleh petani apabila hasil Cabai sedikit, kurang dari 15 kilogram ataupun faktor

kepercayaan dengan pedagang perantara dalam pemasaran Cabainya. Hal diatas dibuktikan dari

penuturan bapak Puji Slamet sebagai berikut:

“Biasanya saya langsung jual ke pasar tanpa menggunakan jasa perantara. Menurut saya

pendapatan dari jual langsung ke konsumen maupun ke pengecer sama saja. Sebenarnya

Konsumen Petani Pengecer

Page 9: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

20

lebih efisien bila saya jual langsung ke konsumennya, karena bila saya titipkan ke

pengecer takut kalau nanti di bohongi masalah harganya”.

Bapak Didik Cahyadi juga menambahkan mengenai hal diatas.

“Dalam penjualan terdapat ketentuan yang harus diperhatikan yakni hasil panen kurang

dari 15 kilogram langsung saya jual ke konsumennya dan bila lebih dari itu maka dapat di

jual ke pengecer, tetapi hal tersebut jarang saya lakukan. Bagi saya dengan menanam

Cabai hanya sebagai selingan saja biar mendapat tambahan pendapatan, bukan sebagai

prioritas utama, meski demikian sepetak dua petak saya selalu tanam Cabai.”

Dari penuturan diatas menunjukkan bahwa pak Puji dalam pendistribusian Cabainya

selalu menjual langsung ke konsumen. Pak Didik Cahyadi menambahkan mengenai jumlah

panenan Cabai yang didapat terdapat dua ketentuan untuk penjualan ke pedagang pengecer

maupun lagsung ke konsumen. Kebiasaan pemasaran Cabai seperti yang diterapkan oleh bapak

Dedi Suhanto sejalan dengan yang dituturkan oleh bapak Didik, untuk hasil panen Cabai dijual

ke pedagang pengecer apabila hasil panenan lebih dari 15 kilogram. Berikut penuturan dari

bapak Dedi Suhanto mengenai hal diatas:

“Terkadang saya melakukan penjualan ke pedagang pengecer yang ada di pasar Ngasem,

bila hasil panennya lebih dari 15 kilogram tetapi lebih sering saya menjual ke

konsumennya langsung karena lahan di sekitar sini sempit-sempit. Tanaman Cabai bukan

sebagai prioritas utamanya hanya sebagai pelengkap untuk menambah pendapatan.”

Pendistribusian yang diterapkan oleh bapak Puji, bapak Didik dan bapak Dedi Suhanto

merupakan jalur yang pendek, karena selalu menjual ke konsumennya langsung. Dari distribusi

ini mempunyai keunggulan yakni: distribusi pemasaran Cabai lebih efisien karena rantai

pemasarannya lebih singkat dan penyampaian Cabai lebih cepat karena langsung di distribusikan

ke konsumen. Sedangkan kelemahannya: tanaman Cabai bukan sebagai prioritas utama

melainkan sebagai pelengkap untuk menambah pendapatan.

4.4 Aktifitas Distribusi Fisik Bagian Dari Pola Distribusi Pemasaran Cabai

4.4.1 Penanganan Pasca Panen

Penanganan pascapanen Cabai di Indonesia umumnya masih sederhana sehingga tingkat

kerusakannya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena fasilitas dan pengetahuan petani tentang

penanganan pasca panen masih terbatas. Oleh karena itu, petani Cabai perlu memiliki

Page 10: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

21

pengetahuan tentang penanganan komoditas yang mudah rusak dan busuk, agar cara

penanganannya dapat ditentukan secara tepat sehingga kesegaran komoditi dapat dipertahankan

lebih lama (Hendra, 2008). Setiap komoditi mempunyai tingkat kematangan tertentu untuk

dipanen. Pemanenan yang terlalu muda dan terlalu tua, maka akan menghasilkan mutu yang

kurang baik (terlampir pada gambar 4.5). Buah Cabai yang dipanen tepat masak dan tidak

segera dipasarkan akan terus melakukan proses pemasakan, sehingga perlu adanya tempat

pengemasan khusus. Hal ini dibuktikan dari penuturan bapak Rosamaji selaku key informant:

“Untuk pemanenan Cabai itu dalam proses pematangannya tidak serempak sehingga

perlu dipilih mana yang layak untuk dipetik, sehingga bila sembarangan cara

pemanenannya itu nantinya akan menimbulkan kerugian. Yang layak dipanen apabila

warna Cabai sudah berwarna merah dan bila dipegang maka buahnya terasa keras.”

Pengalaman dalam penilaian tingkat kematangan secara visual dan perbedaan warna,

bentuk, ukuran dapat digunakan sebagai kriteria panen. Proses pemanenan untuk komoditas

Cabai dilakukan secara bertahap sehingga hasil panennya dapat dilakukan berulang kali. Hal ini

dapat menguntungkan bagi petani apabila pemahaman dari petani untuk pemetikan yang tepat

karena dapat memberikan kualitas dan mutu yang baik.

Pengelompokan sangat tergantung pada jenis Cabai. Cara sortasi dan pengelompokan

dapat berbeda-beda tetapi tujuannya adalah untuk membuat keseragaman dalam ukuran, warna

dan jenis Cabainya (Anonimous, 2005). Pengelompokan pada komoditi hortikultura biasanya

terdiri atas kelas super, kelas I, kelas II dan apkir (terlampir pada gambar 4.6). Hasil penelitian

untuk menjaga mutu dan kualitas Cabai, dengan melakukan sortasi dan pengelompokan jenis

Cabai perlu diperhatikan sebelum ke pelanggan. Sortasi perlu dilakukan untuk mempermudah

penjualan. Kelas super merupakan kelompok yang dianggap sangat baik untuk penilaian faktor

mutu dan cocok untuk diekspor maupun dikonsumsi dalam negri, selain itu dapat berpengaruh

terhadap harga.

Jenis-jenis kemasan (packing) yang biasa digunakan untuk Cabai adalah karung jala dan

karung plastik (terlampir pada gambar 4.7). Prinsip pembuatan kemasan yang perlu

diperhatikan adalah ekonomis, banyak tersedia, ringan, kuat dan dapat melindungi komoditi.

Kapasitas kemasan khususnya Cabai adalah 5-20 kilogram cukup baik untuk Cabai. Semakin

besar kapasitas kemasan maka akan semakin besar timbunan dan tekanan sehingga Cabai

Page 11: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

22

didalamnya akan mengalami kerusakan yang lebih besar saat pengangkutan (Anonimous, 2005).

Bagi petani yang menggunakan beberapa pedagang perantara selalu mempertimbangkan dengan

hal diatas yakni pembagian kemasan dibagi atas dua bagian diantaranya pengemasan untuk

pedagang grosir dan pedagang pengecer. Dalam proses pasca panen dilakukan pengemasan

setelah pemanenan Cabai di lahan guna mempertahankan mutu dan kualitas. Pengemasan dilihat

dari kebutuhan pelanggannya mengingat sifat Cabai yang mudah rusak dan busuk maka

diperlukan penaganan khusus agar kesegaran Cabai dapat terjaga.

Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.4 sebagai berikut:

Tabel 4.4 Kegiatan Penanganan Pasca Panen Pemasaran Cabai

Saluran Penanganan pasca panen

Distribusi Sortasi Pengemasan

Panjang Lebih mengutamakan mutu dan kualitas

untuk penyaluran yang relatif lama.

Menyortasi sesuai keseragaman warna,

ukuran dan tidak adanya cacat oleh

kelompok tersebut sebagai kelas super

Pengemasan dibagi menjadi dua sesuai

kebutuhan pelanggannya baik menggunakan

karung jala dengan berat 20 kilogram untuk

pedagang besar maupun plastik, 1 kilogram

Cabai dibagi 4-10 guna pedagang pengecer.

Menengah Melakukan sortasi hanya sekedar untuk

memudahkan bagi pelanggannya, karena

biasanya dari petani belum disortir.

Pengemasan secara khusus menggunakan

karung jala dengan berat lebih dari 15

kilogram karena sasaran utamanya grosir.

Pendek Saat kegiatan petik, petani langsung

menyortir untuk keseragaman Cabainya.

Pengemasan menggunakan plastik, biasanya

dengan berat kurang dari 15 kilogram.

Sumber : Data Primer, 2011

4.4.2 Sarana Transportasi

Pengangkutan Cabai yang akan dikirim ke pasar dengan menggunakan kendaraan roda dua

ataupun angkutan roda empat (terlampir pada gambar 4.8) dapat memberi kemudahan bagi

pemakainya apabila penggunaanya tepat. Menggunakan jenis transportasi umum seperti

kendaraan roda dua maupun roda empat merupakan alat transportasi yang sangat dibutuhkan

dalam proses penyaluran dari petani ke konsumen (Anonim, 2012). Pemilihan kendaraan roda

dua maupun roda empat dilihat dari jumlah Cabai yang akan dibawa untuk disalurkan perlu

diperhatikan, agar mutu dan kualitasnya dapat tetap baik. Pemasaran yang diterapkan oleh

partisipan, komoditas Cabai di salurkan ke pasar Ngasem dan Ambarawa. Hal ini dapat

Page 12: BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2966/5/T1_522008023_BAB IV.pdf · BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1. Gambaran Umum Wilayah

23

mendatangkan keuntugan dan kerugian dalam usahataninya oleh karena itu pemilihan sarana

transportasi secara efektif dapat memberi keuntungan. Pemilihan sarana transportasi dapat

memberi nilai lebih untuk menjaga agar mutu dan kualitas suatu komoditas dalam proses

penyalurannya dapat terjaga dan berjalan dengan baik. Dengan adanya sarana transportasi yang

tepat untuk dipilih dalam penyalurannya dapat memberi keuntungan tersendiri bagi pemakainya.

Kendaraan roda dua dapat dipakai bila Cabai yang akan dikirim dalam jumlah sedikit dengan

ketentuan kurang dari 15 kilogram akan lebih efisien, sedangkan kendaraan roda empat atau

mobil sayur lebih sering digunakan untuk mengangkut dalam jumlah yang banyak yakni lebih

dari 15 kilogram, selain itu pengangkutannya mudah. Berikut penuturan dari bapak Dedi Suhanto

mengenai hal diatas:

“Karena hasil Cabai yang saya panen tidak begitu banyak atau biasanya kurang dari 15

kilogram maka untuk penyalurannya menggunakan kendaraan roda dua.”

Bapak Rosamaji menambahkan mengenai hal diatas:

“Untuk memasok Cabai ke pedagang grosir dalam sekali panen biasanya Cabai yang

terkumpul lebih dari 15 kilogram sehingga biasa saya menggunakan kendaraan roda

empat untuk menyalurkannya selain mudah dan tidak repot.”

Dengan pemilihan alat transportasi yang tepat dapat mempermudah penyaluran.

Demikian dengan jarak yang ditempuh dalam pengangkutan dengan kondisi jalan yang baik

maka dapat memberi kemudahan bagi pemakainya, sehingga faktor terjadinya kehilangan hasil

dapat terhindarkan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.5

Tabel 4.5 Penggunaan Sarana Transportasi

Saluran

Distribusi

Sarana Transportasi

Panjang Penggunaan alat transportasi dengan kendaran roda empat untuk menyediakan

pedagang grosir dengan berat minimal 15-20 kilogram, sedangkan untuk roda dua dapat

dipakai apabila jumlah Cabai yang akan di bawa antara 5-15 kilogram, agar lebih

efisien.

Menengah Kendaraan roda empat merupakan kendaraan yang umum dipakai dengan berat lebih

dari 15 kilogram karena sasaran utamanya grosir.

Pendek Pengangkutan dilakukan dengan kendaraan roda dua, karena biasanya dengan berat

kurang dari 15 kilogram.

Sumber : Data Primer, 2011