BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional...
Transcript of BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional...
12
BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Secara administratif Kabupaten Semarang terbagi menjadi 19 Kecamatan, 27 Kelurahan
dan 208 desa. Batas-batas Kabupaten Semarang adalah sebelah utara berbatasan dengan Kota
Semarang dan Kabupaten Demak. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Boyolali. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten
Magelang. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Kendal.
Dalam bab sebelumnya peneliti memberi batasan wilayah untuk diteliti. Penelitian ini
hanya membatasi tiga kecamatan saja yakni: Ambarawa, Bandungan dan Sumowono. Berikut
gambaran umum mengenai keadaan di tiap Kecamatan dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Gambaran Umum Kecamatan Ambarawa, Bandungan dan Sumowono.
Penelitian Kecamatan Ambarawa Kecamatan Bandungan Kecamatan Sumowono
-Luas areal
-Pembagian
desa
-Jumlah
penduduk
-Batas wilayah
4840,020 ha.
Terbagi menjadi 8
kelurahan dan 2 desa.
56.570 jiwa
Sebelah barat = Kec.
Jambu
Sebelah timur = Kec.
Bawen
Sebelah utara = Kec.
Bandungan
Sebelah selatan = Kec.
Banyu Biru
4824 ha.
Terbagi menjadi 1
kelurahan dan 9 desa.
50.611 jiwa
Sebelah barat = Kec.
Sumowono
Sebelah timur = Kec.
Bawen
Sebelah utara = Kec.
Bergas
Sebelah selatan = Kec.
Ambarawa
1345 ha
Terbagi menjadi 16 desa.
31.735 jiwa
Sebelah barat = Kab.
Temanggung
Sebelah timur = Kec.
Bandungan
Sebelah utara = Kab. Kendal
Sebelah selatan = Kab.
Temanggung dan Kec. Jambu
Sumber : Data Sekunder ( BPS 2010, Kabupaten Semarang)
4.2. Gambaran Umum Partisipan dan Key Informant
4.2.1 Partisipan
Dalam penelitian ini terdapat 9 orang sebagai partisipan, diantaranya 3 petani dan 6
pedagang perantara yang meliputi pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang
13
pengecer. Partisipan tersebut ditetapkan sesuai dengan kriteria umum yaitu petani Cabai, sudah
menekuni usahataninya dengan pengalaman menjadi petani lebih dari 15 tahun, sedangkan
Pedagang perantara Cabai memiliki pengalaman berdagang minimal 3 tahun.
Selain itu ada kriteria khusus yaitu partisipan mampu untuk menjawab setiap pertanyaan
dalam kuisioner yang diberikan secara menyakinkan dan berwawasan luas. Berdasarkan kriteria
tersebut, maka ditetapkan bahwa para partisipan yang akan menjadi obyek penelitian adalah
bapak Puji Slamet, ibu Pariah atau ma’tofah, bapak Sarrodin, ibu Sri Rumiati, ibu Siti Nuraini,
ibu Kotimah,ibu Ngatinem, Mak yem atau Ngatiyem dan bapak Mujianto. Hal tersebut dapat
dilihat data umum partisipan berdasarkan tabel 4.2.
Tabel 4.2 Gambaran Umum Partisipan
No. Nama Pendidikan Umur
(tahun)
Luas lahan Lama menjadi
petani/pedagang
Pekerjaan
1. Puji Slamet
SLTA 46 5.000 m² 21 Petani
2. Ma’tofah
SD 54 2.500 m² 35 Petani
3. Sarrodin
SLTA 59 3.400 m² 45 Petani
4. Sri Rumiati
Tidak sekolah 50 - 6 Pedagang pengecer
5. Ngatinem SD 40 - 4 Pedagang pengecer
6. Siti Nuraini
SLTA 42 - 3 Pedagang grosir
7. Mak yem Tidak sekolah 60 - 21 Pedagang grosir
8. Kotimah
SD 43 - 5 Pedagang pengumpul
9. Mujianto SLTP 30 - 5 Pedagang pengumpul
Sumber : Data Primer, 2011
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui usia partisipan petani dan pedagang ditiga kecamatan
kabupaten Semarang pada sampel yang didapat berkisar antara 42–60 tahun. Dengan luas lahan
berkisar antara 2.500-5.000m² dari keseluruhan partisipan, telah memiliki pengalaman menjadi
petani berkisar antara 21-45 tahun sedangkan pedagangnya berkisar antara 3-21 tahun. Pada
jenjang pendidikan, terdapat berbagai macam partisipan yang berpendidikan rendah maupun
tinggi mulai dari yang tidak sekolah hingga tamatan SLTA. Hal ini terjadi karena adanya syarat
atau kriteria umum maupun khusus yang dipakai oleh peneliti untuk mempermudah proses
penelitian. Semisal ibu Sri Rumiati beliau saat diwawancarai mengaku tidak pernah sekolah
14
karena faktor lingkungan dimasa kecilnya, tetapi beliau diajari oleh teman dan orang tua untuk
belajar membaca dan menulis. Meskipun beliau tidak sekolah, tetapi sesuai kriteria beliau dapat
dipilih sebagai partisipan, sama seperti Mak yem. Beliau juga tidak pernah merasakan duduk
dibangku sekolah tetapi karena orang tuanya sebagai pedagang maka Mak yem belajar dari
kedua orang tuanya sehingga beliau lebih berpengalaman.
4.2.2 Key Informant
Untuk pengambilan data, selain dari para partisipan di atas diambil juga data dari para
key informant yang bertujuan untuk melengkapi dari hasil wawancara dengan para partisipan.
Data umum mengenai key informant dapat dilihat dari tabel 4.3 dibawah ini:
Tabel 4.3 Gambaran umum key informant
Nama Keterangan Kecamatan
Didik Cahyadi Wakil ketua kelompok tani Albarokah Ambarawa
Dedi Suhanto Ketua kelompok tani Kuda Manunggal Ambarawa
Rosamaji Ketua kelompok tani Subur Makmur Bandungan
Bandhi Anggota Kelompok tani Maju Makmur Sumowono
Sumber: Data Primer, 2011
Dari tabel 4.3 yang menjadi key informant dalam penelitian ini sesuai dengan kriteria
yang ditetapkan oleh peneliti agar lebih terarah. Yang menjadi key informant terdapat ketua,
wakil dan anggota dimana orang tersebut dianggap pas dan mampu untuk dipilih sebagai
informasi kunci. Pemilihan key informant tidak selalu didasarkan dengan jabatan yang dimiliki,
melainkan pengetahuan yang dimiliki. Seperti bapak Bandi, beliau tidak memiliki jabatan
sebagai ketua maupun wakil dalam suatu kelompok tani, tetapi oleh masyarakat sekitar beliau
dianggap sebagai panutan dalam teknik budidaya serta penyalurannya sehingga peneliti
memilihnya sebagai key informant.
4.3. Pola Distribusi Pemasaran Cabai
Pola distribusi adalah rute dan status kepemilikan yang ditempuh oleh suatu komoditas
ketika Cabai ini mengalir dari penyedia produk melalui petani sampai ke konsumen akhir. Pola
ini terdiri dari pedagang perantara yang memasarkan komoditas Cabai dari petani sampai ke
konsumen (Dillon, 2007). Menurut Kartasapoetra (1986), pemasaran produk pertanian harus
menjamin agar produk tersebut dapat cepat tersalurkan, mengingat produk tersebut cepat busuk
15
dan rusak, sehingga ketepatan dalam penggunaan pedagang perantara perlu diperhatikan. Dari
hasil penelitian di kabupaten Semarang ditemukan pola distribusi pemasaran Cabai seperti pada
gambar 4.1 sebagai berikut:
Gambar 4.1 Pola Distribusi Pemasaran Cabai.
4.3.1 Pola Distribusi Panjang
Menurut Soekartawi (2001), untuk mata rantai pemasaran panjang, produsen sering
menggunakan beberapa pedagang pengumpul sebagai perantara, dalam penyaluran produk
kepada pedagang pengumpul ke pedagang grosir yang kemudian menjualnya ke pedagang
pengecer dan berakhir ke konsumen. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.2 Pola Distribusi Panjang
Setiap petani memiliki karakter masing-masing dalam penyaluran Cabainya. Seperti yang
dilakukan oleh bapak Sarrodin dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penyalurannya terdapat
beberapa jalur untuk memasarkan Cabainya, dengan mempertimbangkan harga tinggi dan
kecocokan harga. Penyaluran yang dilakukan oleh bapak Sarrodin merupakan pola distribusi
panjang, mengenai hal tersebut terdapat ketentuan hasil panen yang diberikan ke pedagang grosir
yakni 15-50 kilogram. Berikut penuturan dari bapak Sarrodin mengenai hal diatas:
“Sesuai dengan kecocokan harga dalam penyalurannya, saya melakukan penjualan
kepedagang pengumpul menurut informasi yang saya dapatkan, selanjutnya akan
disalurkan kepedagang grosir di pasar Ngasem, dan berlanjut disalurkan kepedagang
pengecer yang ada di daerah Ambarawa, serta untuk menyediakan pedagang keliling di
pasar Sumowono dan sekitar rumah saya.”
Bapak Bandi juga menambahkan mengenai hal diatas berikut penuturannya:
“Hasil panen Cabai saya jual sendiri dan beberapa pedagang perantara agar dapat
tersalurkan ke berbagai daerah tidak hanya di Sumowono, Bandungan dan sekitarnya
saja, biasanya bagi pedagang grosir dipasar Ngasem terdapat ketentuan untuk hasil panen
PETANI PEDAGANG
PENGUMPUL
GROSIR PENGECER KONSUMEN
Pedagang Pengumpul Konsumen Pengecer Grosir Petani
16
15-50 kilogram. Saya selalu mencari informasi harga dari pedagang maupun teman
sesama petani.”
Pedagang pengumpul yang dimaksud yakni ibu Kotimah. Beliau mencari Cabainya
dengan terjun langsung ke lokasi penanaman untuk dikumpulkan terlebih dahulu sebelum
komoditas Cabai yang dikumpulkan akan dijual ke pedagang grosir. Dalam melakukan
pembelian, biasanya pedagang pengumpul langsung membeli hasil produksi Cabai dari petani
atau dilokasi panen (Soekartawi, 2001).
Berikut penuturan dari ibu Kotimah mengenai hal diatas:
“Biasanya saya ambil produk Cabai dari para petani disekitar Sumowono. Untuk
pengambilan Cabai saya datang langsung ke lapangan baik sawah maupun tempat tinggal
petaninya yang nantinya saya jual ke pedagang grosir.
Bapak Mujianto menambahkan mengenai hal diatas:
“Penjualan ke pedagang grosir dapat memberi keuntungan tersendiri baik pihak saya
maupun pedagang grosir. Pedagang grosir untuk pasokan Cabai dapat terjamin dengan
adanya pedagang pengumpul, karena grosir tidak perlu bersusah payah untuk
mendapatkan jumlah Cabai yang memadai.”
Pedagang grosir yang dimaksud adalah ibu Siti Nuraini sebagai perwakilan pedagang
grosir di pasar Ngasem. Ibu Siti untuk mendapatkan komoditas Cabainya, beliau biasanya
mengambil dari para pedagang pengumpul langganananya. Dari hasil Cabai yang didapat beliau
selalu memperhatikan mutu dan kualitas agar dapat bertahan lama. Untuk penyaluran komoditas
Cabai selanjutnya akan dijual ke pedagang pengecer dan berlanjut ke konsumen. Menurut
Soekartawi (2001), pedagang grosir pada umumnya menjual ke pedagang pengecer. Berikut
penuturan dari ibu Siti Nuraini mengenai hal diatas:
“Untuk mendapatkan Cabai saya dapat dari para pedagang pengumpul, sehingga dalam
penyaluran cabainya akan menjadi lebih lama. Hal ini diperlukan tambahan penanganan
khusus untuk menjaga mutu dan kualitasnya yang nantinya saya jual kembali ke
pedagang pengecer.”
Seperti ibu Sri Rumiati agar penjualan dapat berlangsung, beliau akan mengambil dari
pedagang grosir apabila tidak ada pasokan dari pedagang pengumpul, maka partisipan
menggunakan dua alternatif untuk dapat berjualan yakni dari pedagang pengumpul maupun
pedagang grosir. Berikut penuturan dari ibu Sri Rumiati mengenai hal diatas:
17
“Untuk memperoleh Cabai yang akan dijual, sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk
mengambil Cabai dari pedagang grosir di pasar Ngasem sebagai cadangan bila dari
pengumpul tidak ada yang setor atau memasok.”
Pedagang pengecer banyak terdapat di berbagai daerah konsumsi (Soekartawi, 2001).
Seperti yang diungkapkan diatas, yang merupakan salah satu daerah konsumsi Cabai adalah
Ambarawa. Para pedagang pengecer di daerah Ambarawa dan sekitarnya dalam memenuhi
permintaan konsumen akan komoditas Cabai, biasanya mengambil dari grosir dipasar Ngasem.
Pendistribusian yang dilakukan dengan melibatkan beberapa pedagang perantara
memberikan kepuasan tersendiri dalam pemasaran Cabai, karena dengan melibatkan beberapa
pedagang perantara maka petani dapat diberi pengetahuan mengenai berbagai informasi
usahatani Cabai maupun harga dipasaran. Distribusi ini merupakan jalur panjang, karena
melibatkan tiga pedagang perantara yakni pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang
pengecer. Distribusi semacam ini mempunyai keunggulan yakni: dengan adanya pedagang
pengumpul maka akan menjamin pasokan Cabai bagi para pedagang grosir dan dapat
menjangkau berbagai daerah yang lebih luas. Sedangkan kelemahannya: dapat memakan waktu
lebih lama dan membutuhkan penanganan yang lebih dalam menjaga mutu dan kualitas Cabai
tersebut.
4.3.2 Pola Distribusi Menengah
Pola distribusi menengah tergolong yang sering di pakai oleh petani untuk mempermudah
penjualannya. Menurut Soekartawi (2001), pola ini disebut juga pola tradisional karena hanya
memakai pedagang grosir dan pengecer yang banyak digunakan oleh petani. Hal ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.3 Pola Distribusi Menengah
Menurut Kotler (1997), petani hanya melayani penjualan dalam jumlah besar kepada
pedagang grosir. Dari hasil temuan dilapangan menunjukkan bahwa penyaluran yang dilakukan
oleh Ma’tofah,yang sudah menjadi kebiasaan selalu menjual ke pedagang grosir. Bagi pedagang
grosir untuk mendapatkan Cabainya terdapat dua alternatif. Pedagang grosir dapat langsung
berhubungan dengan petaninya maupun mengambil dari pedagang pengumpul. Dari hasil temuan
Konsumen Pengecer Grosir Petani
18
dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petaninya menjual produk Cabai ke pedagang
grosir. Untuk menyalurkan Cabainya para pedagang grosir selalu menjamin akan disalurkan ke
pedagang pengecer lainnya. Berikut penuturan dari Ma’tofah mengenai hal diatas:
“Dengan memperhatikan mutu dan kualitas hasil Cabai setelah dipanen biasa saya
berikan ke pedagang grosir di pasar Ngasem yang selanjutnya akan diecerkan di pasar
tradisional yang lain untuk melewati proses distribusi selanjutnya.”
Bapak Rossamaji juga menuturkan mengenai hal diatas:
“Hasil panen Cabai biasanya saya memanfaatkan pedagang perantara yakni pedagang
grosir di pasar Ngasem, soalnya sudah menjadi kebiasaan baik saya maupun masyarakat
sekitar. Apalagi di pasar Ngasem ini merupakan Sub Terminal Agribisnis (STA) sehingga
saya berfikiran Cabai saya pasti laku dan terjamin bila saya jual kesana.”
Melalui pernyataan Ma’tofah diatas didukung oleh pendapat dari bapak Rosamaji yakni
menjual hasil panen ke pedagang grosir memberi keuntungan, diantaranya dalam proses
pendistribusian dimudahkan dalam memasarkan hasil panenanya. Di pasar Ngasem yang
merupakan STA yakni tempat berkumpulnya para pedagang grosir sehingga banyak pedagang
pengecer yang datang ke pasar tersebut. Selain itu sudah menjadi kebiasaan bagi partisipan
setelah panen langsung menjual ke pedagang grosir.
Pedagang grosir yang dimaksud adalah ibu Ngatiyem yang lebih akrab dipanggil mak
Yem. Beliau berprofesi sebagai pedagang sudah mencapai 21 tahun. Pembelian Cabai selalu dari
petaninya langsung di daerah Bandungan, karena kebanyakan petani disana selalu menjual
Cabainya dalam jumlah besar dan menjadi kebiasaan untuk memakai pedagang grosir. Berikut
penuturan dari Mak Yem mengenai hal diatas:
“Selama 21 tahun menjadi pedagang grosir, yang menjadi pemasok utama yakni dari
petaninya langsung. Bagi saya dengan jumlah Cabai yang dipasok dari petani saja untuk
mengumpulkannya tidak butuh waktu lama. Dengan strategi khusus guna menekan harga
bagi petaninya, maka saya dapat memenuhi kebutuhan bagi para pedagang pengecer.”
Seperti ibu Ngatinem salah satunya yang menjadi pedagang pengecer di pasar Ngasem.
Beliau selalu berjualan pada pagi dan siang hari untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Pada
pasar Ngasem ini tidak banyak pedagang pengecer yang berjualan, karena kebanyakan
merupakan pedagang besar. Perlu diketahui bahwa pasar Ngasem ini para pedagang grosir mulai
aktif mulai pukul 16.00 WIB dan pagi harinya pasar ini sepi, terkecuali bila ada pedagang
19
pengecer yang berjualan. Untuk menyediakan para konsumen, sebelum pulang selalu ibu
Ngatinem membeli Cabai ke pedagang grosir untuk dijual keesokan harinya.
Berikut penuturan dari ibu Ngatinem mengenai hal diatas:
“Untuk menjamin kebutuhan konsumen dapat terpenuhi maka sudah menjadi kebiasaan
tiap sore hari, saya membeli Cabai dari pedagang grosir agar dapat berjualan pada
paginya, karena pasar Ngasem mulai beraktifitas pukul 16.00 wib .”
Dari uraian diatas, distribusi ini dapat dikatakan sebagai jalur menengah, karena
melibatkan dua pedagang perantara yakni pedagang grosir dan pedagang pengecer. Distribusi
semacam ini mempunyai keunggulan yakni: pasokan Cabai sampai ke konsumen terjamin
jumlahnya, dengan demikian tanpa pedagang pengumpul grosir masih dapat lebih cepat
mengumpulkan Cabai. Sedangkan kelemahannya: ada upaya untuk menekan harga ditingkat
petani untuk memperebutkan jumlah Cabai di pasaran.
4.3.3 Pola Distribusi Pendek
Pada jalur pemasaran Cabai dari petani langsung dijual ke konsumen maka pola ini dapat
dikatakan sebagai pola distribusi pendek. Menurut Soekartawi (2001), distribusi pendek
merupakan saluran yang sangat efisien karena rantai pemasarannya lebih singkat, sehingga
dalam penyalurannya tidak banyak berhubungan dengan pedagang perantara.
Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.4 Pola Distribusi Pendek
Pendistribusian yang dilakukan dengan jenis saluran secara langsung dapat memberi
keuntungan sendiri bagi petani, meskipun pendapatan yang diterima antara petani menjual
langsung ke konsumen, maupun petani menjual ke pedagang pengecer, hasil yang didapat sama.
Pada pola secara langsung dapat digunakan oleh semua petani sebagai alternatif kedua apabila
petani tersebut juga bertindak sebagai pedagang pengecer. Penyaluran secara langsung juga
dilakukan oleh petani apabila hasil Cabai sedikit, kurang dari 15 kilogram ataupun faktor
kepercayaan dengan pedagang perantara dalam pemasaran Cabainya. Hal diatas dibuktikan dari
penuturan bapak Puji Slamet sebagai berikut:
“Biasanya saya langsung jual ke pasar tanpa menggunakan jasa perantara. Menurut saya
pendapatan dari jual langsung ke konsumen maupun ke pengecer sama saja. Sebenarnya
Konsumen Petani Pengecer
20
lebih efisien bila saya jual langsung ke konsumennya, karena bila saya titipkan ke
pengecer takut kalau nanti di bohongi masalah harganya”.
Bapak Didik Cahyadi juga menambahkan mengenai hal diatas.
“Dalam penjualan terdapat ketentuan yang harus diperhatikan yakni hasil panen kurang
dari 15 kilogram langsung saya jual ke konsumennya dan bila lebih dari itu maka dapat di
jual ke pengecer, tetapi hal tersebut jarang saya lakukan. Bagi saya dengan menanam
Cabai hanya sebagai selingan saja biar mendapat tambahan pendapatan, bukan sebagai
prioritas utama, meski demikian sepetak dua petak saya selalu tanam Cabai.”
Dari penuturan diatas menunjukkan bahwa pak Puji dalam pendistribusian Cabainya
selalu menjual langsung ke konsumen. Pak Didik Cahyadi menambahkan mengenai jumlah
panenan Cabai yang didapat terdapat dua ketentuan untuk penjualan ke pedagang pengecer
maupun lagsung ke konsumen. Kebiasaan pemasaran Cabai seperti yang diterapkan oleh bapak
Dedi Suhanto sejalan dengan yang dituturkan oleh bapak Didik, untuk hasil panen Cabai dijual
ke pedagang pengecer apabila hasil panenan lebih dari 15 kilogram. Berikut penuturan dari
bapak Dedi Suhanto mengenai hal diatas:
“Terkadang saya melakukan penjualan ke pedagang pengecer yang ada di pasar Ngasem,
bila hasil panennya lebih dari 15 kilogram tetapi lebih sering saya menjual ke
konsumennya langsung karena lahan di sekitar sini sempit-sempit. Tanaman Cabai bukan
sebagai prioritas utamanya hanya sebagai pelengkap untuk menambah pendapatan.”
Pendistribusian yang diterapkan oleh bapak Puji, bapak Didik dan bapak Dedi Suhanto
merupakan jalur yang pendek, karena selalu menjual ke konsumennya langsung. Dari distribusi
ini mempunyai keunggulan yakni: distribusi pemasaran Cabai lebih efisien karena rantai
pemasarannya lebih singkat dan penyampaian Cabai lebih cepat karena langsung di distribusikan
ke konsumen. Sedangkan kelemahannya: tanaman Cabai bukan sebagai prioritas utama
melainkan sebagai pelengkap untuk menambah pendapatan.
4.4 Aktifitas Distribusi Fisik Bagian Dari Pola Distribusi Pemasaran Cabai
4.4.1 Penanganan Pasca Panen
Penanganan pascapanen Cabai di Indonesia umumnya masih sederhana sehingga tingkat
kerusakannya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena fasilitas dan pengetahuan petani tentang
penanganan pasca panen masih terbatas. Oleh karena itu, petani Cabai perlu memiliki
21
pengetahuan tentang penanganan komoditas yang mudah rusak dan busuk, agar cara
penanganannya dapat ditentukan secara tepat sehingga kesegaran komoditi dapat dipertahankan
lebih lama (Hendra, 2008). Setiap komoditi mempunyai tingkat kematangan tertentu untuk
dipanen. Pemanenan yang terlalu muda dan terlalu tua, maka akan menghasilkan mutu yang
kurang baik (terlampir pada gambar 4.5). Buah Cabai yang dipanen tepat masak dan tidak
segera dipasarkan akan terus melakukan proses pemasakan, sehingga perlu adanya tempat
pengemasan khusus. Hal ini dibuktikan dari penuturan bapak Rosamaji selaku key informant:
“Untuk pemanenan Cabai itu dalam proses pematangannya tidak serempak sehingga
perlu dipilih mana yang layak untuk dipetik, sehingga bila sembarangan cara
pemanenannya itu nantinya akan menimbulkan kerugian. Yang layak dipanen apabila
warna Cabai sudah berwarna merah dan bila dipegang maka buahnya terasa keras.”
Pengalaman dalam penilaian tingkat kematangan secara visual dan perbedaan warna,
bentuk, ukuran dapat digunakan sebagai kriteria panen. Proses pemanenan untuk komoditas
Cabai dilakukan secara bertahap sehingga hasil panennya dapat dilakukan berulang kali. Hal ini
dapat menguntungkan bagi petani apabila pemahaman dari petani untuk pemetikan yang tepat
karena dapat memberikan kualitas dan mutu yang baik.
Pengelompokan sangat tergantung pada jenis Cabai. Cara sortasi dan pengelompokan
dapat berbeda-beda tetapi tujuannya adalah untuk membuat keseragaman dalam ukuran, warna
dan jenis Cabainya (Anonimous, 2005). Pengelompokan pada komoditi hortikultura biasanya
terdiri atas kelas super, kelas I, kelas II dan apkir (terlampir pada gambar 4.6). Hasil penelitian
untuk menjaga mutu dan kualitas Cabai, dengan melakukan sortasi dan pengelompokan jenis
Cabai perlu diperhatikan sebelum ke pelanggan. Sortasi perlu dilakukan untuk mempermudah
penjualan. Kelas super merupakan kelompok yang dianggap sangat baik untuk penilaian faktor
mutu dan cocok untuk diekspor maupun dikonsumsi dalam negri, selain itu dapat berpengaruh
terhadap harga.
Jenis-jenis kemasan (packing) yang biasa digunakan untuk Cabai adalah karung jala dan
karung plastik (terlampir pada gambar 4.7). Prinsip pembuatan kemasan yang perlu
diperhatikan adalah ekonomis, banyak tersedia, ringan, kuat dan dapat melindungi komoditi.
Kapasitas kemasan khususnya Cabai adalah 5-20 kilogram cukup baik untuk Cabai. Semakin
besar kapasitas kemasan maka akan semakin besar timbunan dan tekanan sehingga Cabai
22
didalamnya akan mengalami kerusakan yang lebih besar saat pengangkutan (Anonimous, 2005).
Bagi petani yang menggunakan beberapa pedagang perantara selalu mempertimbangkan dengan
hal diatas yakni pembagian kemasan dibagi atas dua bagian diantaranya pengemasan untuk
pedagang grosir dan pedagang pengecer. Dalam proses pasca panen dilakukan pengemasan
setelah pemanenan Cabai di lahan guna mempertahankan mutu dan kualitas. Pengemasan dilihat
dari kebutuhan pelanggannya mengingat sifat Cabai yang mudah rusak dan busuk maka
diperlukan penaganan khusus agar kesegaran Cabai dapat terjaga.
Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.4 sebagai berikut:
Tabel 4.4 Kegiatan Penanganan Pasca Panen Pemasaran Cabai
Saluran Penanganan pasca panen
Distribusi Sortasi Pengemasan
Panjang Lebih mengutamakan mutu dan kualitas
untuk penyaluran yang relatif lama.
Menyortasi sesuai keseragaman warna,
ukuran dan tidak adanya cacat oleh
kelompok tersebut sebagai kelas super
Pengemasan dibagi menjadi dua sesuai
kebutuhan pelanggannya baik menggunakan
karung jala dengan berat 20 kilogram untuk
pedagang besar maupun plastik, 1 kilogram
Cabai dibagi 4-10 guna pedagang pengecer.
Menengah Melakukan sortasi hanya sekedar untuk
memudahkan bagi pelanggannya, karena
biasanya dari petani belum disortir.
Pengemasan secara khusus menggunakan
karung jala dengan berat lebih dari 15
kilogram karena sasaran utamanya grosir.
Pendek Saat kegiatan petik, petani langsung
menyortir untuk keseragaman Cabainya.
Pengemasan menggunakan plastik, biasanya
dengan berat kurang dari 15 kilogram.
Sumber : Data Primer, 2011
4.4.2 Sarana Transportasi
Pengangkutan Cabai yang akan dikirim ke pasar dengan menggunakan kendaraan roda dua
ataupun angkutan roda empat (terlampir pada gambar 4.8) dapat memberi kemudahan bagi
pemakainya apabila penggunaanya tepat. Menggunakan jenis transportasi umum seperti
kendaraan roda dua maupun roda empat merupakan alat transportasi yang sangat dibutuhkan
dalam proses penyaluran dari petani ke konsumen (Anonim, 2012). Pemilihan kendaraan roda
dua maupun roda empat dilihat dari jumlah Cabai yang akan dibawa untuk disalurkan perlu
diperhatikan, agar mutu dan kualitasnya dapat tetap baik. Pemasaran yang diterapkan oleh
partisipan, komoditas Cabai di salurkan ke pasar Ngasem dan Ambarawa. Hal ini dapat
23
mendatangkan keuntugan dan kerugian dalam usahataninya oleh karena itu pemilihan sarana
transportasi secara efektif dapat memberi keuntungan. Pemilihan sarana transportasi dapat
memberi nilai lebih untuk menjaga agar mutu dan kualitas suatu komoditas dalam proses
penyalurannya dapat terjaga dan berjalan dengan baik. Dengan adanya sarana transportasi yang
tepat untuk dipilih dalam penyalurannya dapat memberi keuntungan tersendiri bagi pemakainya.
Kendaraan roda dua dapat dipakai bila Cabai yang akan dikirim dalam jumlah sedikit dengan
ketentuan kurang dari 15 kilogram akan lebih efisien, sedangkan kendaraan roda empat atau
mobil sayur lebih sering digunakan untuk mengangkut dalam jumlah yang banyak yakni lebih
dari 15 kilogram, selain itu pengangkutannya mudah. Berikut penuturan dari bapak Dedi Suhanto
mengenai hal diatas:
“Karena hasil Cabai yang saya panen tidak begitu banyak atau biasanya kurang dari 15
kilogram maka untuk penyalurannya menggunakan kendaraan roda dua.”
Bapak Rosamaji menambahkan mengenai hal diatas:
“Untuk memasok Cabai ke pedagang grosir dalam sekali panen biasanya Cabai yang
terkumpul lebih dari 15 kilogram sehingga biasa saya menggunakan kendaraan roda
empat untuk menyalurkannya selain mudah dan tidak repot.”
Dengan pemilihan alat transportasi yang tepat dapat mempermudah penyaluran.
Demikian dengan jarak yang ditempuh dalam pengangkutan dengan kondisi jalan yang baik
maka dapat memberi kemudahan bagi pemakainya, sehingga faktor terjadinya kehilangan hasil
dapat terhindarkan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.5
Tabel 4.5 Penggunaan Sarana Transportasi
Saluran
Distribusi
Sarana Transportasi
Panjang Penggunaan alat transportasi dengan kendaran roda empat untuk menyediakan
pedagang grosir dengan berat minimal 15-20 kilogram, sedangkan untuk roda dua dapat
dipakai apabila jumlah Cabai yang akan di bawa antara 5-15 kilogram, agar lebih
efisien.
Menengah Kendaraan roda empat merupakan kendaraan yang umum dipakai dengan berat lebih
dari 15 kilogram karena sasaran utamanya grosir.
Pendek Pengangkutan dilakukan dengan kendaraan roda dua, karena biasanya dengan berat
kurang dari 15 kilogram.
Sumber : Data Primer, 2011