BAB 2 USAHA KECIL DALAM KONTEKS...
Transcript of BAB 2 USAHA KECIL DALAM KONTEKS...
19
BAB 2
USAHA KECIL DALAM KONTEKS PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL
Penelitian ini berusaha mengkaji sejauhmana kemampuan usaha tape ketan
sebagai motor penggerak pengembangan ekonomi lokal di Kecamatan Cibeureum,
Cibingbin, dan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Adapun teori-teori yang terkait dengan
konteks studi ini adalah pengembangan ekonomi lokal dan usaha kecil. Namun,
sebelumnya akan dipaparkan pula mengenai teori Community Economic Development
terkait dengan kondisi usaha tape ketan yang merupakan kegiatan ekonomi yang tumbuh
dari komunitas di Kecamatan Cibeureum, Cibingbin, dan Cigugur.
2.1
Community Economic Development (CED) merupakan pendekatan yang tidak semata-
mata hanya menekankan kepada tujuan-tujuan ekonomi, tetapi berusaha memadukan
semua aspek yang mendukung kehidupan manusia, untuk mencapai tujuan hidup yang
lebih seimbang terutama dikaitkan dengan kebahagiaan berkenaan dengan penghargaan
yang diterima sebagai manusia seutuhnya (Sen, 1999).
Community Economic Development
CED merupakan proses dimana masyarakat dapat memprakarsai dan
menghasilkan solusi mereka sendiri pada persoalan-persoalan mereka bersama dan
dengan cara demikian membangun kapasitas masyarakat jangka panjang dan
membangun perkembangan dan keterpaduan sasaran-sasaran ekonomi, sosial, dan
lingkungan (Roseland, 1998).
Definisi lain menyebutkan bahwa CED merupakan tindakan yang diambil oleh
komunitas lokal untuk menyediakan kesempatan ekonomi dan meningkatkan kondisi
sosial secara berkelanjutan (wikipedia.org). CED adalah proses sosial yang berpusat
terhadap komunitas yang menggabungkan antara pengembangan sosial dan ekonomi
untuk membantu perkembangan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya suatu
komunitas. CED merupakan alternatif untuk pengembangan ekonomi konvensional,
yang memiliki prinsip: “…masalah yang dihadapi komunitas adalah pengangguran,
20
kemiskinan, kesempatan kerja yang rendah, degradasi lingkungan dan rendahnya kontrol
komunitas, sehingga perlu ditangani melalui jalan partisipatif dan menyeluruh”. Jadi
dapat dikatakan bahwa CED adalah proses dimana orang yang tinggal di dalam suatu
komunitas bekerja bersama untuk menciptakan keragaman dan keberlanjutan ekonomi
lokal.
2.1.1 Pendekatan Community Economic Development
Terdapat 3 pendekatan yang berbeda dalam CED (Boothroyd P. and Davis H.C,
1999), yaitu:
1. Pendekatan Peningkatan Pertumbuhan (CED)
Dalam pendekatan ini, CED dipandang sebagai sinonim dengan peningkatan
pertumbuhan dalam pekerjaan, pendapatan, atau kegiatan berbasis bisnis.
Community secara sederhana dipandang sebagai tempat dimana bisnis
bersama-sama meningkatkan kepentingan mereka melalui perluasan
ekonomi. Pendekatan ini mirip dengan konsep Local Economic Development,
karena memberikan arti community sebagai tempat melakukan kegiatan
ekonomi bersama yang meningkatkan kepentingan bersama melalui
perluasan ekonomi.
2. Pendekatan Perubahan Struktural (CED)
Fokus pendekatan ini adalah pada kualitas perekonomian, dalam arti
memperhatikan stabilitas dan keberlanjutan perekonomian. Dalam
pendekatan ini beberapa perubahan struktur digunakan untuk meningkatkan
kendali lokal pada kepentingan-kepentingan stabilitas dan keberlanjutan
perekonomian.
3. Pendekatan Kebersamaan (CED)
Pendekatan ini mempertimbangkan bagaimana kekayaan (dalam arti luas)
digunakan dan didistribusikan. Penekanan pada pengembangan ekonomi
dalam suatu cara yang memperkuat masyarakat. Community dalam
pendekatan ini adalah suatu kualitas sosial/emosional dimana penduduk
21
merasa terkait satu dengan yang lain. Arah dari pendekatan ini adalah untuk
menciptakan fungsi produksi dan distribusi yang adil. Pendekatan ini
memiliki kemiripan dengan konsep Community Development, karena
memberikan arti community sebagai suatu kualitas emosional yang membuat
penduduk merasa terkait satu sama lain.
2.2
Konsep PEL adalah konsep yang timbul setelah melihat akibat dari penerapan konsep
development from above dimana industri asing dapat cepat masuk tetapi dapat juga cepat
pergi apabila keadaan sudah tidak menguntungkan lagi bagi mereka, dan
mempertimbangkan perekonomian yang lebih terbuka sehingga konsep development
from below menjadi sulit diterapkan (Nurzaman, 2002).
Pengembangan Ekonomi Lokal
2.2.1 Pengertian Pengembangan Ekonomi Lokal
Terdapat berbagai definisi dan pengertian mengenai pengembangan ekonomi
lokal (PEL). Salah satunya, PEL didefinisikan sebagai suatu konsep dimana wilayah
memanfaatkan sumber daya alam, tenaga kerja, investasi, kewirausahaan, transportasi,
komunikasi, teknologi, pasar, kondisi ekonomi, dan kapasitas pemerintah lokal dalam
mengembangkan wilayahnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fokus utama dari PEL
adalah pengembangan potensi sumber daya fisik dan masyarakat lokal ditekankan untuk
menciptakan kesempatan kerja dan merangsang aktivitas-aktivitas perekonomian baru
(Blakely, 1994). Ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah pada titik beratnya
pada kebijakan “endogenous development” menggunakan potensi sumber daya manusia,
institutional dan fisik setempat. Orientasi ini mengarahkan kepada fokus dalam proses
pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan
kegiatan ekonomi.
Sementara itu, The World Bank (2001) mendefinisikan PEL sebagai proses
dimana publik, sektor usaha dan non-pemerintah bekerja sama untuk menciptakan
kondisi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang lebih baik.
22
Pelaksanaan PEL berarti bekerja secara langsung untuk membangun kekuatan ekonomi
di seluruh wilayah lokal untuk meningkatkan masa depan perekonomian dan kualitas
hidup penduduknya. Mengutamakan ekonomi lokal sangat penting karena komunitas
saat ini bergantung kepada kemampuan mereka untuk mengadopsi perubahan yang cepat
dan lingkungan pasar kompetitif yang berkembang.
Walaupun sama-sama untuk kepentingan lokal, PEL berbeda dari development
from below dalam sikapnya terhadap dengan hubungan luar. Dalam development from
below, hubungan dengan luar dibatasi. Dalam PEL, adanya hubungan dengan pihak luar
diangap sebagai kenyataan yang ada dan dimanfaatkan untuk kepentingan lokal
(Nurzaman, 2002).
2.2.2 Tujuan Pengembangan Ekonomi Lokal
Konsep PEL bertujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan, menciptakan
kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan, PEL juga bisa menjadi bagian integral
dari upaya pembangunan daerah melalui peningkatan daya saing kolektif, penciptaan
peluang-peluang baru, dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sementara
menurut Blakely (1989), tujuan dari PEL adalah meningkatkan jumlah dan ragam
kesempatan kerja yang ada bagi penduduk. PEL berorientasi proses yang melibatkan
pembentukan lembaga-lembaga baru, pengembangan industri-industri alternatif,
peningkatan kapasitas pekerja yang ada, mengidentifikasikan pasar-pasar baru, transfer
pengetahuan dan pemupukan perusahaan-perusahaan baru.
Menurut The World Bank (2001), tujuan dari PEL adalah untuk membangun
kapasitas ekonomi dalam suatu wilayah dalam rangka meningkatkan masa depan
perekonomian dan kualitas hidup seluruh masyarakatnya. Hal ini merupakan proses
dimana publik, sektor swasta dan non-pemerintahan bekerja bersama-sama untuk
menciptakan kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja.
Namun, tujuan dari PEL ini tidak semata-mata hanya menekankan kepada
pencapaian perekonomian yang tinggi dengan memberdayakan potensi lokal seperti
sumber daya alam dan manusia, institusional, serta fisik setempat, tetapi juga terbinanya
23
kemitraan dan kerjasama yang baik berbagai pihak, yaitu pemerintah, organisasi-
organisasi lokal serta pihak swasta.
Apapun bentuk kebijakan yang diambil, PEL mempunyai satu tujuan, yaitu
meningkatkan jumlah dan variasi peluang kerja tersedia untuk penduduk setempat.
Dalam mencapai itu, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat dituntut untuk
mengambil inisiatif dan bukan hanya berperan pasif saja.
2.2.3 Pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal
Terdapat lima pendekatan dasar PEL yaitu:
• Pendekatan klaster
• Pendekatan kemitraan publik swasta
• Pendekatan usaha kecil
• Pendekatan regional, dan
• Pendekatan rantai nilai
Pendekatan-pendekatan PEL ini sangat bergantung terhadap potensi, peluang,
serta kendala yang dimiliki setiap daerah. Dari kelima pendekatan PEL yang ada, usaha
kecil disebut sebagai salah satu inisiator dalam PEL.
Pilar utama pendekatan usaha kecil adalah penciptaan iklim bisnis yang kondusif
termasuk kemudahan-kemudahan dalam perijinan, pemberian insentif yang produktif
dan peningkatan akses pengusaha kecil kepada modal dan teknologi tepat guna. Dengan
demikian, inovasi dapat dilakukan, investasi swasta dapat ditingkatkan dan lapangan
kerja dapat tercipta.
2.3
Keberadaan usaha kecil merupakan konsekuensi dari perubahan sistem perekonomian
yang mengandalkan sektor pertanian menuju basis ekonomi non-pertanian. Di Indonesia
khususnya, begitu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya terhadap usaha
kecil (Sjaifudian dkk, 1995).
Usaha Kecil
24
Sementara itu, belajar dari negara seperti USA, statistik menunjukkan bahwa
ternyata bisnis kecil, dan bukan perusahaan raksasa, yang merupakan tulang punggung
perekonomian lokal. Dua-per-tiga dari seluruh pekerjaan baru diciptakan oleh
perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan kurang dari 20 orang (Morris, 1993).
2.3.1 Pengertian Usaha Kecil
Mengenai pengertian usaha kecil ternyata sangat bervariasi, di satu negara
berlainan dengan negara lainnya. Misalnya usaha kecil di United Kingdom adalah suatu
usaha apabila jumlah karyawannya antara 1-200 orang; di Jepang antara 1-300; di USA
antara 1-500 orang.
Menurut Biro Pusat Statistik RI, usaha kecil didefinisikan sebagai kegiatan
manufaktur dengan jumlah tenaga kerja 5-19 orang, dengan modal kurang dari Rp 20
juta, dan modal maksimum untuk satu siklus produksi Rp 25 juta (Bank Indonesia).
Pada tahun 1991 Dinas Perindustrian dan Perdagangan menyusun rumusan
pengelompokkan usaha yaitu untuk usaha kecil dan kerajinan didefinisikan sebagai
kelompok usaha dengan teknologi madya (tradisional), merupakan organisasi padat
karya, dengan kekayaan keseluruhan tidak lebih dari Rp 600 juta, investasi per pekerja
tidak lebih dari Rp 625 ribu, dan investasi peralatan (tidak termasuk tanah, gedung, dan
pembangkit tenaga listrik) tidak lebih dari Rp 300 juta. Sedangkan Bank Indonesia
menentukan batas tertinggi dari investasi, di luar tanah dan bangunan, sebesar Rp 600
juta bagi pengertian usaha kecil.
Dinas Koperasi dan PKK (1995) mengeluarkan buku yang didalamnya
disebutkan bahwa golongan usaha kecil dalam kenyataannya adalah sangat heterogen
karena meliputi berbagai kegiatan sektor ekonomi, seperti: pertanian, peternakan,
perikanan usaha pengolahan, konstruksi angkutan, perdagangan dan jasa.
Anderson (1987) mengemukakan definisi pengelompokan kegiatan usaha
ditinjau dari jumlah pekerja seperti tergambar pada tabel 2.1
25
Tabel 2.1 Pengelompokkan Kegiatan Usaha Ditinjau dari Jumlah Pekerja
Usaha - Kecil I – kecil
- Kecil II – kecil 1-9 pekerja
10-19 pekerja Usaha Menengah Besar – kecil
Kecil – menengah Menengah – menengah Besar – menengah
100-199 pekerja 201-499 pekerja 500-999 pekerja
1000-1999 pekerja Usaha Besar ………………………………. > 2000 pekerja
Sumber: Anderson, Tommy D. (1987), Profit in Small Firms, School of Economics University of Gothenberg, Sweden dalam Tiktik dan Rachman, 2004.
Namun, terlepas definisi masing-masing sektor, sebagai payung institusi yang
ada yakni UU. No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, didefinisikan bahwa usaha kecil
adalah:
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 milyar
c. Milik warga Negara Indonesia
d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan
Usaha Menengah atau Usaha Besar.
e. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum,
atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
2.3.2 Kriteria Umum Usaha Kecil
Kendati terdapat beberapa definisi mengenai usaha kecil, namun agaknya usaha
kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam, yaitu:
1. Banyak berlokasi di pedesaan, sub-urban dan kota-kota kecil. Kegiatan usaha
kecil lebih berorientasi ke sektor pertanian (Tambunan, 1993).
2. Dilihat menurut golongan usaha tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari
seluruh usaha kecil bergerak pada kelompok usaha makanan, minuman dan
tembakau.
26
3. Pelaku adalah rakyat dengan status sosial ekonomi rendah, khususnya dalam
bidang pendidikan.
4. Sumber tenaga kerja dari lingkungan keluarga atau lingkungan sosial budaya
setempat.
5. Tidak adanya pembagian tugas kerja yang jelas antara bidang administrasi
dan operasi. Kebanyakan usaha kecil dikelola oleh perorangan yang
merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta
memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabar dekatnya.
6. Rendahnya akses usaha-usaha kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal
sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari
modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang
perantara, bahkan rentenir.
7. Memiliki kemampuan terbatas dalam menerapkan teknologi, atau teknologi
sederhana atau tradisional.
8. Interaksi usaha atau bisnis sangat terbatas antara sektor hulu dan hilir.
9. Usaha kecil umumnya memiliki prinsip asal dapat berjualan dengan “aman”
saja sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal yang besar,
dan modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja
(Kuncoro, 2003). Dengan tingkat keuntungan yang sangat rendah, usaha
kecil lebih merupakan upaya bertahan hidup.
2.3.3 Peranan Usaha Kecil
Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, usaha kecil dianggap memiliki
peranan penting. Hal ini dikarenakan kondisi sebagian besar penduduk Indonesia yang
masih berpendidikan rendah dan menggantungkan hidupnya kepada kegiatan usaha
kecil, baik yang bersifat tradisional maupun modern. Usaha kecil menengah (UKM)
dapat dikatakan tulang punggung perekonomian nasional, dapat dilihat dari besarnya
kontribusi kegiatan UKM terhadap perekonomian, dimana tahun 2003 mencapai 57%
dari total produk domestik bruto (PDB).
27
Dalam konstelasi inilah, perhatian untuk menumbuhkembangkan usaha kecil
dilandasi oleh alasan:
1. Usaha kecil menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menyerap banyak
tenaga kerja umumnya membuat banyak usaha kecil juga intensif dalam
menggunakan sumber daya alam lokal. Dari sisi kebijakan, usaha kecil jelas
perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi
sebagian besar angkatan kerja di Indonesia, namun juga merupakan ujung
tombak dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bisa dikatakan, usaha kecil
berfungsi sebagai strategi mempertahankan hidup di tengah krisis moneter.
2. Usaha kecil memegang peranan penting dalam ekspor non-migas, yang pada
tahun 1990 mencapai USS 1.031 juta atau menempati ranking kedua setelah
ekspor dari kelompok aneka industri.
Sementara dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
secara tegas menyatakan tujuan pemberdayaan usaha kecil adalah:
1. Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil menjadi usaha yang
tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah.
2. Meningkatkan peranan usaha kecil dalam pembentukan produk nasional,
perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan ekspor, serta peningkatan
dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung
serta memperkokoh struktur perekonomian nasional.
2.3.4 Fungsi Usaha Kecil
Usaha kecil memiliki beberapa fungsi penting dalam perekonomian Indonesia,
yaitu:
1. Usaha kecil tidak hanya menyediakan barang-barang dan jasa bagi konsumen
yang berdaya beli rendah, tetapi juga bagi konsumen perkotaan lain yang
berdaya beli tinggi. Selain itu, usaha kecil juga menyediakan bahan baku atau
jasa bagi usaha menengah dan besar, termasuk pemerintah lokal.
2. Usaha kecil mampu menyediakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan.
28
3. Usaha kecil dapat memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia di sektor-sektor perdagangan, transportasi, dan usaha.
4. Usaha kecil memiliki peran yang cukup penting dalam penghasilan devisa negara
melalui usaha pakaian jadi (garmen), barang-barang kerajinan termasuk mebel
dan pelayanan bagi turis.
5. Usaha kecil mempunyai peran strategis yang mengantarai kebijakan pemerintah
untuk mengembangkan sektor usaha berdasrkan teknologi canggih dan kebijakan
pengentasan kemiskinan.
2.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Usaha Kecil
Dalam kegiatan suatu usaha, diperlukan penggunaan faktor produksi untuk
menghasikan output. Selanjutnya, diperlukan proses pemasaran untuk mendistribusikan
output yang dihasilkan tersebut.
1. Faktor Produksi, yang meliputi tenaga kerja, bahan baku, modal, alat produksi
dan teknologi, jiwa wirausaha dan kemampuan manajerial pengusaha.
a. Tenaga Kerja
Faktor tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
menentukan terhadap kinerja usaha kecil dan kelangsungannya di masa depan.
Hal ini dapat tercermin dari kualitas dan kuantitas tenaga kerja dalam suatu
usaha kecil. (Tambunan, 2002). Jumlah tenaga kerja yang proporsional penting
untuk menentukan tingkat produktivitas dan efisiensi produksi. Sedangkan jika
dilihat dari sisi kualitas, proses produksi dalam usaha kecil umumnya masih
sederhana sehingga tidak memiliki prasyarat tenaga kerja berketerampilan tinggi.
Tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan apapun bahkan masih dapat
dengan mudah masuk ke usaha kecil.
b. Bahan Baku
Pengadaan bahan baku sering menjadi persolaan yang dihadapi usaha kecil dan
menghambat proses produksi. Persoalan bahan baku sendiri dapat dilihat dari
ketersediaannya (kualitas dan kuantitas) serta harganya. Selain itu, sumber bahan
29
baku juga menjadi faktor yang penting dalam kegiatan produksi usaha kecil.
Dalam rangka pengembangan ekonomi lokal, bahan baku yang digunakan
ditekankan berasal dari lokal (local oriented). Hal ini dimaksudkan agar
multiplier effect pengembangan usaha akan jatuh ke wilayahnya sendiri yang
selanjutnya akan diikuti oleh terciptanya pendapatan dan pekerjaan dari sektor
lain dan pada akhirnya mampu meningkatkan perekonomian secara makro dan
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut (Supratikno
H, 1994 dalam Perkasa, 2005).
c. Modal
Modal adalah salah satu faktor penting dalam suatu usaha dan sering menjadi
faktor penghambat dalam perkembangan usaha karena akan mempengaruhi
kegiatan produksi dan pemasaran. Usaha kecil umumnya memulai proses
produksi dengan menggunakan modal sendiri (tabungan keluarga atau menjual
harta bendanya) dan jumlahnya pun masih relatif kecil. Sumber keuangan lain
yang biasa digunakan usaha kecil adalah sumber-sumber keuangan informal
seperti pinjaman keluarga/saudara, pembeli atau bandar, serta pemasok bahan
baku dan rentenir. Dengan ketersediaan modal ini diharapkan seluruh aspek yang
terkait dengan proses produksi dapat diperoleh dengan lancar. Kelangkaan umum
yang dialami usaha kecil mempengaruhi kemampuan dalam memperoleh bahan
baku, membayar upah dan pengadaan teknologi.
d. Alat Produksi dan Teknologi
Pada kebanyakan usaha kecil, alat produksi yang digunakan masih sederhana dan
tradisional, bahkan masih mengandalkan teknik manual dari tenaga kerja. Selain
karena faktor keterbatasan modal, penggunaan alat yang sederhana ini juga
berkaitan dengan kondisi suplai tenaga kerja yang murah dan berlimpah sehingga
mendorong pengusaha untuk lebih memilih menggunakan sistem padat karya.
Selain itu, kondisi ini juga sesuai dengan keberadaan usaha kecil yang umumnya
berada di pedesaan dan sangat kental diwarnai oleh sistem kekeluargaan dan
30
kekerabatan. Di sisi lain, penggunaan alat produksi dan teknologi diharapkan
mampu meningkatkan produkstivitas dan efisiensi kerja serta daya saing produk.
e. Jiwa Kewirausahaan dan Kemampuan Manajerial
Jiwa kewirausahaan pengusaha salah satunya dapat dicirikan oleh kemampuan
melakukan inovasi dan kreasi. Inovasi dan perubahan menjadi kunci bagi
penciptaan daya saing. Kemampuan inovasi diperlukan untuk menghasilkan
produk baru, desain baru, proses produksi, pendekatan pemasaran, dan
pengelolaan sumber daya.
Sedangkan kemampuan manajerial dapat dicirikan oleh sistem pengaturan
keuangan (administrasi pembukuan) dan pembagian tugas kerja (manajemen
terhadap tenaga kerja). Pengelolaan keuangan pada usaha kecil umumnya masih
berbaur antara keuangan keluarga dengan perusahaan. Pemilik biasanya
merangkap sebagai pengelola dalam usaha kecil.
Sistem pengelolaan ini kemudian berpengaruh terhadap sulitnya akses pengusaha
terhadap sumber modal formal seperti bank karena statusnya kurang diakui dan
kurang dipercaya (Saleh, 1986).
2. Pemasaran
Pemasaran merupakan aspek yang memegang peranan penting dalam menunjang
keberlangsungan usaha kecil dimana output yang dihasilkan didistribusikan kepada
konsumen. Usaha kecil umumnya mengisi segmen pasar menengah ke bawah, seperti
makanan dan minuman tradisional, pakaian dan alat-alat rumah tangga dari kayu,
bambu, dan rotan yang lebih banyak dijual ke pasar domestik atau lokal (Tambunan,
1993).
Hasil penjualan produk yang dihasilkan dari pemasaran akan digunakan untuk
proses produksi selanjutnya. Karena itu, dibutuhkan cara, wilayah, dan teknik pemasaran
yang baik dalam menunjang penjualan produk yang tinggi.
31
2.3.6 Kekuatan dan Kelemahan Usaha Kecil
Karakteristik yang melekat pada usaha kecil bisa merupakan kekuatan yang
potensial. Di sisi lain, pada kekuatan tersebut secara implisit terkandung kelemahan
yang justru menghambat perkembangan usaha kecil. Beberapa kekuatan dan kelemahan
yang dihadapi usaha kecil dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2
Kekuatan dan Kelemahan Usaha Kecil
No. Faktor Kekuatan Kelemahan 1. Sumber daya Manusia Motivasi yang kuat paling tidak
untuk mempertahankan usahanya Kemampuan melihat peluang pengembangan usaha terbatas
Suplai tenaga kerja berlimpah Ekonomi Mengandalkan sumber-sumber
keuangan informal yang mudah diperoleh
Nilai tambah yang diperoleh relatif rendah
Mengisi segmen pasar bawah yang tinggi permintaannya
Pengelolaan uang untuk konsumsi dan produksi belum terpisah Tergantung kepada modal kerja
Informasi Interaksi yang terjadi antar dan inter kelompok-kelompok usaha merupakan ajang pertukaran informasi efektif
Proses belajar dari pengalaman (keberhasilan dan kegagalan) orang lain sangat minim Distribusi informasi kepada usaha kecil sangat terbatas Budaya membaca masih minim
Lembaga Pendukung
Budaya atau kekerabatan dapat menggalang solidaritas untuk memberdayakan pengusaha kecil
Kemampuan koordinasi berdasarkan pembagian kerja masih terbatas
Lembaga kekerabatan bisa pula berfungsi sebagai sarana konsultasi sekaligus kontrol terhadap implementasi program dan intervensi
2. Program dan Intervensi Permodalan Membantu kelancaran
pengembangan usaha Kebutuhan modal berbeda-beda pada usaha yang tingkat perkembangannya juga berbeda UK menghadapi kendala administratif
Pelatihan Bermanfaat ‘sesaat’ meningkatkan produktivitas
Ketidakberlanjutan program Lamanya pelatihan perlu pula memperhatikan faktor kesiapan kelompok binaan untuk dilepas secara mandiri
Pemasaran Pola keterkaitan membuka peluang pasar
Posisi tawar yang rendah cenderung menyudutkan pengusaha kecil
Pengelompokan (aglomerasi) dalam Meningkatkan persaingan melalui tiru-
32
No. Faktor Kekuatan Kelemahan batas-batas tertentu memberikan keuntungan melalui penekanan ongkos produksi, meningkatkan akses ke SD
meniru akumulasi menjadi terbatas
Fungsi Kelembagaan
Budaya kekerabatan bisa menjadi institusi yang representatif bagi pengusaha kecil
Pelayanan sangat terfragmentasi dan belum memberikan peluang untuk memilih sesuai kebutuhan masing-masing jenis usaha
Meningkatkan akses kepada SD Pemasaran masih tetap menjadi kendala besar
3. Kinerja Padat Karya Jaring pengaman masalah
kelangkaan kesempatan kerja Kurang memperhatikan kualitas kesempatan kerja Sering mengandalkan tenaga kerja tak dibayar Cenderung eksploitatif terhadap tenaga kerja untuk mengejar tingkat penghasilan
Nilai Tambah Rendah
Efisien menggunakan bahan baku Proses akumulasi sulit terjadi
Lentur dan Luwes
Daya tahan hidupnya tinggi terutama dalam situasi ekonomi yang kurang memuaskan
Spesialisasi dan akumulasi terbatas
Strategi usaha jangka pendek
Proses pengembalian modal dapat cepat tercapai
Usaha bersifat sementara Kurang antisipatif terhadap dinamika ekonomi makro
Sumber: “Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil” oleh Hetifah Sjaifudian, Dedi Haryadi, dan Maspiyati 2.4
Pengembangan ekonomi lokal adalah konsep yang menekankan adanya pemanfaatan
segenap potensi lokal dalam rangka menciptakan lapangan kerja dan merangsang
pertumbuhan kegiatan ekonomi. Sejalan dengan hal ini, salah satu pendekatan yang bisa
dilakukan adalah melalui upaya pengembangan usaha kecil. Hal ini terkait dengan
kemampuan usaha kecil dalam menyerap lapangan kerja yang besar terutama penduduk
dengan latar belakang pendidikan rendah dan umumnya tidak memiliki keterampilan
tinggi. Sehingga kegiatan lokal seperti usaha kecil diharapkan mampu memberikan
dampak yang signifikan terhadap pengembangan ekonomi lokal.
Kajian Teoritis: Usaha Kecil dalam Konteks Pengembangan Ekonomi
Lokal