BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan...

37
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Pasien Pengelolaan pasien yang terluka parah memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat dan dikenal sebagai Initial Assessment (penilaian awal), meliputi (American College of Surgeons, 2008): 1. Persiapan 2. Triase 3. Primary Survey 4. Resusitasi 5. Transportasi jika ada kemungkinan untuk merujuk 6. Secondary Survey 7. Pemantauan dan reevaluasi berkesinambungan 2.2 Persiapan Persiapan pasien sebaiknya berlangsung dalam 2 fase yang berbeda, yaitu : 1. Fase Pra-rumah Sakit (Pre-hospital) Umumnya terdapat 3 kategori personel pada kegawatdaruratan, yaitu: penerima pertama, Basic Emergency Medical Technicians (EMT-B), dan paramedis (EMT-P). Penerima pertama adalah orang yang sudah terlatih untuk memberikan pertolongan pertama seperti, pembalutan, pembidaian, kontrol perdarahan, dan resusitasi jantung paru. Umumnya, mereka adalah polisi, pemadam kebakaran, dan relawan lain yang tiba pertama kali di tempat kejadian. Penerima pertama umumnya tidak melakukan transportasi pada pasien. EMT-B adalah orang yang terlatih untuk melakukan bantuan hidup dasar, meliputi penilaian tanda dan gejala, membebaskan tubuh pasien yang mungkin terperangkap dalam kendaraan, imobilisasi, dan memberikan terapi non-invasif seperti pemberian oksigen. EMT-T adalah orang yang Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan...

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Pasien

Pengelolaan pasien yang terluka parah memerlukan penilaian yang cepat

dan pengelolaan yang tepat dan dikenal sebagai Initial Assessment (penilaian

awal), meliputi (American College of Surgeons, 2008):

1. Persiapan

2. Triase

3. Primary Survey

4. Resusitasi

5. Transportasi jika ada kemungkinan untuk merujuk

6. Secondary Survey

7. Pemantauan dan reevaluasi berkesinambungan

2.2 Persiapan

Persiapan pasien sebaiknya berlangsung dalam 2 fase yang berbeda, yaitu :

1. Fase Pra-rumah Sakit (Pre-hospital)

Umumnya terdapat 3 kategori personel pada

kegawatdaruratan, yaitu: penerima pertama, Basic Emergency

Medical Technicians (EMT-B), dan paramedis (EMT-P). Penerima

pertama adalah orang yang sudah terlatih untuk memberikan

pertolongan pertama seperti, pembalutan, pembidaian, kontrol

perdarahan, dan resusitasi jantung paru. Umumnya, mereka adalah

polisi, pemadam kebakaran, dan relawan lain yang tiba pertama

kali di tempat kejadian. Penerima pertama umumnya tidak

melakukan transportasi pada pasien. EMT-B adalah orang yang

terlatih untuk melakukan bantuan hidup dasar, meliputi penilaian

tanda dan gejala, membebaskan tubuh pasien yang mungkin

terperangkap dalam kendaraan, imobilisasi, dan memberikan terapi

non-invasif seperti pemberian oksigen. EMT-T adalah orang yang

Universitas Sumatera Utara

6

terlatih untuk melakukan bantuan hidup lanjutan, termasuk

pemasangan intubasi endotrakeal, interpretasi ritme jantung,

defibrilasi, serta pemberian obat parenteral (Biddinger dan

Thomas, 2005).

Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan

petugas lapangan akan menguntungkan pasien. Sebaiknya, rumah

sakit sudah diberitahukan sebelum pasien mulai diangkut dari

tempat kejadian. Pemberitahuan ini memungkinkan rumah sakit

mempersiapkan timnya sehingga sudah siap saat pasien tiba di

rumah sakit. Pada fase pra-rumah sakit, titik berat diberikan pada

penjagaan airway, kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi pasien,

dan segera ke rumah sakit terdekat yang cocok (American College

of Surgeons, 2008).

2. Fase Rumah Sakit

Harus dilakukan dengan perencanaan sebelum pasien tiba.

Sebaiknya, ada ruangan/daerah khusus untuk pasien trauma.

Perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube, dsb.) sudah

dipersiapkan, dicoba, dan diletakkan di tempat yang mudah

terjangkau. Cairan kristaloid (misalnya, Ringer Lactate) yang

sudah dihangatkan disiapkan dan diletakkan pada tempat yang

mudah dicapai. Perlengkapan monitoring yang diperlukan sudah

dipersiapkan. Suatu sistem pemanggilan tenaga medik tambahan

sudah harus ada, demikian juga tenaga laboratorium dan radiologi.

Semua tenaga medis yang berhubungan dengan pasien harus

dihindarkan dari kemungkinan penularan penyakit menular,

terutama hepatitis dan Acquired Immuno-deficiency Syndrome

(AIDS). Center for Disease Control (CDC) dan pusat kesehatan

lain sangat menganjurkan pemakaian alat-alat proteksi seperti

masker (face mask), proteksi mata (kacamata), baju kedap air, dan

Universitas Sumatera Utara

7

sarung tangan kedap air bila ada kontak dengan cairan tubuh pasien

(American College of Surgeons, 2008).

2.3 Triase

Triase adalah cara pemilahan pasien berdasarkan kebutuhan terapi dan

sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan

kontrol vertebra servikal, Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan)

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2011) berikut

merupakan langkah-langkah triase:

Universitas Sumatera Utara

8

Gambar 2.1 Panduan Tindakan Triase pada Pasien Trauma

Sumber : Centers for Disease Control and Prevention (2011).Guidelines for field

triageof injured patients: Recommendations of the National Expert Panel on Field

Triage

Universitas Sumatera Utara

9

Gambar 2.2 Label Triase Kegawatdaruratan

Sumber : Biddinger dan Thomas (2005). An Introduction to Clinical Emergency

Medicine

Universitas Sumatera Utara

10

Tabel 2.1 Interpretasi Label Triase Kegawatdaruratan

Warna Interpretasi

Hitam Zero priority. Pasien meninggal atau

pasien yang masih hidup tetapi dengan

keadaan yang fatal dan perlukaan yang

tidak bisa diresusitasi.

Merah First priority.Pasien dengan trauma

berat yang memerlukan pertolongan

dan transportasi cepat (Contoh: adanya

gagal napas, trauma torakoabdominal,

trauma kepala berat, trauma

maksilofasial berat, adanya syok atau

perdarahan masif, dan luka bakar

berat).

Kuning Second priority. Pasien dengan

perlukaan yang digolongkan sebagai

keadaan yang tidak mengancam

kehidupan (Contoh: trauma abdominal

tanpa syok, trauma toraks tanpa

gangguan pernapasan, fraktur mayor

tanpa syok, trauma kepala, trauma

servikal, dan luka bakar minor).

Hijau Pasien dengan perlukaan ringan yang

tidak memerlukan stabilisasi cepat

(Contoh: Trauma jaringan lunak,

fraktur ekstremitas, dislokasi

ekstremitas, trauma maksilofasial tanpa

gangguan jalan napas, dan

kegawatdaruratan psikiatri).

Sumber : Biddinger dan Thomas (2005). An Introduction to Clinical Emergency

Medicine

2.4 Cara transportasi

Prioritas pertama ketika penolong datang untuk pertama kali ialah

memastikan lokasi kejadian aman dari faktor lain yang berpotensi mempersulit

proses pertolongan, seperti kendaraan yang berlalu lalang, benda-benda

berbahaya, atau kabel listrik. Penolong harus memposisikan diri berada di jarak

yang aman. Sebelum tiba di rumah sakit, penolong dan korban harus

Universitas Sumatera Utara

11

didekontaminasi untuk mencegah penularan infeksi ke pasien atau tenaga medis

lainnya (Biddinger dan Thomas, 2005). Dalam memilih cara transportasi, prinsip

“Do no further harm” harus menjadi pertimbangan utama. Transportasi melalui

udara, darat, dan air dapat dilakukan dengan aman apabila memperhitungkan

prinsip tersebut (American College of Surgeons, 2008).

Ekstrikasi adalah teknik pemindahan pasien secara aman dari tempat

kejadian ke alat transportasi penyelamatan. Ini mungkin menjadi sulit dilakukan

pada ruangan yang sempit, pasien obesitas, dan pasien trauma. Pemindahan

benda-benda yang mungkin masih menjerat pasien juga dilakukan pada proses

ekstrikasi. Keterlambatan pada proses ekstrikasi lebih dari 20 menit dapat

berpotensi menimbulkan trauma yang lebih berat (Biddinger dan Thomas, 2005).

Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya, kecuali apabila terhadap pasien

telah dilakukan stabilisasi,tenaga yang cukup terlatih, dan telah diperhitungkan

kemungkinan yang terjadi selama transportasi (American College of Surgeons,

2008).

Selain itu, setiap penolong diharapkan terlatih untuk melakukan teknik

imobilisasi spinal. Kolar servikal keras dengan ukuran yang tepat harus dipasang

pada pasien dengan potensi cedera spinalis. Selain itu, pasien harus dilakukan

stabilisasi saat transportasi dengan menggunakan papan yang keras yang

dilengkapi dengan tali pengaman (Biddinger dan Thomas, 2005).

Gambar 2.3 Teknik Imobilisasi Spinal

Sumber : Mahadevan (2005). An Introduction to Clinical Emergency Medicine

Universitas Sumatera Utara

12

2.4.1 Standarisasi Kendaraan Transportasi Pasien

Menurut Kepmenkes No. 143/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang

Standarisasi Kendaraan Pelayanan Medik, jenis kendaraan pelayanan medik

meliputi (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia,

2001):

1. Ambulans Transportasi

Ambulans ini dipakai untuk penderita yang tidak memerlukan

perawatan khusus/tindakan darurat untuk menyelamatkan nyawa dan

diperkirakan tidak akan timbul kegawatan selama dalam perjalanan.

Berikut ini merupakan persyaratan – persyaratan teknis yang harus

terpenuhi:

a. Kendaraan roda empat atau lebih dengan peredam getaran yang lunak.

b. Warna kendaraan putih.

c. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada.

d. Lampu rotator berwarna biru terletak di tengah atas kendaraan.

e. Antara dinding dan lantai tidak bersudut dan lantainya landai.

f. Dilengkapi dengan sabuk pengaman untuk penderita dan petugas.

g. Buku petunjuk pemeliharaan alat – alat berbahasa Indonesia.

h. Radio komunikasi/telepon genggam di ruangan pengemudi.

i. Ruangan penderita mempunyai akses langsung dengan tempat

pengemudi.

j. Tempat duduk bagi petugas dan keluarga di ruangan penderita.

k. Ruangan penderita cukup luas untuk sekurang-kurangnya 1(satu) tandu.

l. Gantungan infus terletak sekurang-kurangnya 20 cm di atas tempat

penderita.

m. Tempat sambungan listrik khusus untuk 12 Volt DC di ruang penderita.

n. Lampu ruangan secukupnya dan bukan neon.

o. Lemari untuk obat dan peralatan.

p. Tempat kereta dorong penderita.

q. Dipersiapkan untuk dapat membawa inkubator transport.

Universitas Sumatera Utara

13

r. Persiapan alat medis berupa tabung oksigen dengan peralatannya, alat

penghisap 12 Volt DC, serta peralatan medis pertolongan pertama pada

kegawatdaruratan lain seperti pengukur tekanan darah, obat – obatan

sederhana, dan cairan infus secukupnya.

s. Persiapan petugas yang terdiri dari 1(satu) orang pengemudi dengan

kemampuan Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan komunikasi, serta 1(satu)

orang perawat dengan kemampuan pertolongan pertama pada

kegawatdaruratan.

Berikut ini merupakan tata tertib yang perlu dipatuhi selama

transportasi menggunakan ambulans ini:

A. Sewaktu menuju tempat penderita boleh menggunakan sirene dan lampu

rotator.

B. Pada saat mengangkut penderita hanya boleh menggunakan lampu

rotator.

C. Semua peraturan lalu lintas harus dipatuhi.

D. Kecepatan kendaraan maksimum adalah 40 km/jam di jalan biasa dan 80

km/jam di jalan bebas hambatan.

E. Petugas membuat /mengisi laporan kendaraan penderita selama 6(enam)

jam transportasi, yang disebut dengan lembar catatan penderita yang

mencakup identitas, waktu, dan keadaan penderita.

F. Petugas memakai seragam dengan identitas yang jelas.

2. Ambulans Gawat Darurat

Ambulans ini digunakan dengan tujuan pertolongan gawat darurat

pra-rumah sakit, pengangkutan penderita gawat darurat yang sudah stabil

dari lokasi kejadian ke tempat tindakan definitif/rumah sakit, serta

sebagai kendaraan transportasi rujukan.Berikut ini merupakan

persyaratan – persyaratan teknis yang harus terpenuhi:

a. Kendaraan roda empat atau lebih dengan peredam getaran lunak.

b. Warna kendaraan kuning muda.

Universitas Sumatera Utara

14

c. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada

d. Lampu rotator berwarna biru terletak di tengah atas kendaraan.

e. Tanda pengenal dengan mencantumkan 118 dan tanda gawat

darurat/emergensi di bagian depan, belakang, samping kanan dan kiri

kendaraan, dilengkapi dengan AC, alat pengatur di ruangan pengemudi.

f. Pintu belakang dapat dibuka ke arah atas.

g. Buku petunjuk pemeliharaan alat – alat berbahasa Indonesia.

h. Radio komunikasi/telepon genggam di ruangan pengemudi.

i. Dilengkapi dengan sabuk pengaman untuk penderita dan petugas.

j. Ruangan penderita cukup luas untuk sekurang-kurangnya 2(dua) tandu.

Tandu yang dimaksud yang dapat dilipat.

k. Tempat duduk yang dapat diatur/dilipat bagi petugas di ruangan

penderita(“Captain’s Seat”).

l. Ruangan penderita cukup tinggi sehingga infus dapat menetes dengan

baik.

m. Gantungan infus terletak sekurang-kurangnya 90 cm di atas tempat

penderita.

n. Lampu ruangan secukupnya dan bukan lampu neon. Lampu yang

dimaksud dapat bergerak, dapat dilipat dan spotlight untuk menerangi

penderita.

o. Lemari untuk obat dan peralatan.

p. Air bersih 20 liter dan penampungan air limbah (otomatis).

q. Lemari es/freezer.

r. Tempat sambungan listrik khusus untuk 12 Volt DC di ruangan

penderita.

s. Tempat kereta dorong pasien 2(dua) buah.

t. Meja yang dapat dilipat.

u. Dipersiapkan untuk dapat membawa inkubator transport.

v. Peta setempat

w. Perlengkapan medis berupa tabung oksigen dengan peralatan untuk

2(dua) orang, peralatan medis pertolongan pertama kegawatdaruratan,

Universitas Sumatera Utara

15

peralatan resusitasi manual/otomatis lengkap bagi orang dewasa,

anak/bayi, alat penghisap manual dan listrik 12 Volt DC, alat

monitor/diagnostik untuk anak dan dewasa, alat monitor jantung dan

pernafasan, alat defibrilator untuk anak dan sewasa, set bedah minor,

obat – obatan gawat darurat dan cairan infus secukupnya, etonox,

kantung mayat, dan sarung tangan disposable.

x. Persiapan petugas yang terdiri dari 1(satu) orang pengemudi dengan

kemampuan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan dan

komunikasi, 1(satu) orang perawat, dan 1(satu) orang dokter masing -

masing dengan kemampuan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan.

Secara umum, tata tertib yang perlu dipatuhi selama transportasi

menggunakan ambulans jenis ini sama dengan tata tertib penggunaan

ambulans transportasi.

3. Ambulans Rumah Sakit Lapangan

Dalam keadaan sehari – hari, ambulans ini dipakai untuk

melaksanakan fungsi ambulans gawat darurat. Bila diperlukan, dapat

digabungkan dengan ambulans – ambulans sejenis dan ambulans

pelayanan medik bergerak membentuk sebuah rumah sakit lapangan.

Berikut ini merupakan persyaratan – persyaratan teknis yang harus

terpenuhi:

a. Kendaraan roda empat atau lebih dengan peredam getaran lunak.

b. Warna kendaraan kuning muda.

c. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada.

d. Lampu rotator berwarna biru terletak di tengah atas kendaraan.

e. Tanda pengenal dengan mencantumkan 118 dan tanda gawat

darurat/emergensi di bagian depan, belakang, samping kanan dan kiri

kendaraan, dilengkapi dengan AC, alat pengatur di ruangan pengemudi.

f. Pintu belakang dapat dibuka ke arah atas.

g. Buku petunjuk pemeliharaan alat – alat berbahasa Indonesia.

h. Radio komunikasi/telepon genggam di ruangan pengemudi.

Universitas Sumatera Utara

16

i. Dilengkapi dengan sabuk pengaman untuk penderita dan petugas.

j. Ruangan penderita cukup luas untuk sekurang-kurangnya 2(dua) tandu.

Tandu yang dimaksud yang dapat dilipat.

k. Tempat duduk yang dapat diatur/dilipat bagi petugas di ruangan

penderita(“Captain’s Seat”).

l. Ruangan penderita cukup tinggi sehingga infus dapat menetes dengan

baik.

m. Gantungan infus terletak sekurang-kurangnya 90 cm di atas tempat

penderita.

n. Lampu ruangan secukupnya dan bukan lampu neon. Lampu yang

dimaksud dapat bergerak, dapat dilipat dan spotlight untuk menerangi

penderita.

o. Lemari untuk obat dan peralatan.

p. Air bersih 20 liter dan penampungan air limbah (otomatis).

q. Lemari es/freezer.

r. Tempat sambungan listrik khusus untuk 12 Volt DC di ruangan

penderita.

s. Tempat kereta dorong pasien 2(dua) buah.

t. Meja yang dapat dilipat.

u. Dipersiapkan untuk dapat membawa inkubator transport.

v. Tenda lapangan lengkap.

w. Perlengkapan medis berupa tabung oksigen dengan peralatan untuk

2(dua) orang, peralatan medis pertolongan pertama kegawatdaruratan,

peralatan resusitasi manual/otomatis lengkap bagi orang dewasa,

anak/bayi, alat penghisap manual dan listrik 12 Volt DC, alat

monitor/diagnostik untuk anak dan dewasa, alat monitor jantung (EKG)

dan pernafasan, set bedah minor, obat – obatan gawat darurat dan cairan

infus secukupnya, kantong mayat, dan sarung tangan disposable.

x. Persiapan petugas yang terdiri dari 1(satu) orang pengemudi dengan

kemampuan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan dan

komunikasi, 1(satu) orang perawat, dan 1(satu) orang dokter gawat

Universitas Sumatera Utara

17

darurat (tergantung keadaan) masing - masing dengan kemampuan

pertolongan pertama pada kegawatdaruratan.

Secara umum, tata tertib yang perlu dipatuhi selama transportasi

menggunakan ambulans jenis ini sama dengan tata tertib penggunaan

ambulans transportasi.

4. Ambulans Pelayanan Medik Bergerak

Ambulans ini dipergunakan untuk pelaksanaan upaya pelayanan

medik di lapangan dan dapat dipergunakan sebagai ambulans

transportasi. Berikut ini merupakan persyaratan – persyaratan teknis yang

harus terpenuhi:

a. Kendaraan roda empat atau lebih dengan peredam getaran yang lunak,

berbentuk kontainer yang berfungsi sebagai poliklinik.

b. Warna kendaraan kuning muda.

c. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada.

d. Lampu rotator berwarna biru terletak di tengah atas kendaraan.

e. Ruangan kerja yang cukup luas untuk tujuan penggunaannya dan cukup

tinggi sehingga petugas dapat berdiri tegak untuk bekerja dan cairan

infus dapat menetes dengan baik.

f. Dilengkapi dengan AC, alat pengatur di ruangan pengemudi.

g. Dilengkapi dengan sabuk pengaman untuk penderita dan petugas.

h. Radio komunikasi/telepon genggam di ruangan pengemudi.

i. Tempat duduk sesuai keperluan di ruangan kerja.

j. Tempat tidur/tandu yang dilipat bagi sekurang – kurangnya 1(satu)

penderita.

k. Lampu ruangan secukupnya dan 2(dua) buah lampu sorot bergerak dan

dapat dilipat.

l. Tempat sambungan listrik khusus untuk 12 Volt DC.

m. Generator 220 Volt DC dengan peralatannya.

n. Meja kerja yang dapat dilipat .

o. Tempat kereta dorong penderita.

Universitas Sumatera Utara

18

p. Peta lokasi.

q. Persiapan alat medis berupa tabung oksigen dengan peralatannya,

peralatan resusitasi lengkap untuk dewasa dan anak, peralatan medis

pertolongan pertama kegawatdaruratan dan cairan infus secukupnya,

serta peralatan upaya pelayanan medis sesuai tujuan penggunaan

kendaraan.

r. Persiapan petugas yang terdiri dari 1(satu) orang pengemudi dengan

kemampuan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan dan

komunikasi, 1(satu) orang perawat (jumlah sesuai kebutuhan),petugas

paramedis lain sesuai kebutuhan dan 1(satu) orang dokter masing -

masing dengan kemampuan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan.

Secara umum, tata tertib yang perlu dipatuhi selama transportasi

menggunakan ambulans jenis ini sama dengan tata tertib penggunaan

ambulans transportasi.

5. Ambulans Gawat Darurat Sepeda Motor

Ambulans ini digunakan untuk pertolongan gawat darurat pra-

rumah sakit. Berikut ini merupakan persyaratan – persyaratan teknis yang

harus terpenuhi:

a. Kendaraan roda dua.

b. Warna kendaraan kuning muda.

c. Tempat duduk untuk 2(dua) orang.

d. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada.

e. Radio komunikasi/telepon genggam.

f. Tanda pengenal (spot light) dengan mencantumkan 118 dan tanda gawat

darurat/emergensi di bagian depan dan belakang.

g. Silinder > 150 cc.

h. Helm, jaket dengan identitas terbuat dari bahan yang memendarkan

cahaya (scotch light).

i. Lampu rotator berwarna biru.

Universitas Sumatera Utara

19

j. Persiapan alat medis berupa tabung oksigen dan regulator, EKG monitor

dan defibrilator, kotak darurat/emergensi, alat – alat pertolongan luka.

k. Persiapan petugas yang terdiri dari 2(dua) orang perawat/paramedis

dengan kemampuan pertolongan pertama kegawatdaruratan.

Berikut ini merupakan tata tertib yang perlu dipatuhi selama

transportasi menggunakan ambulans ini:

a. Petugas memakai seragam dengan identitas yang jelas.

b. Lembar catatan penderita.

6. Ambulans Pengangkut Jenazah

Ambulans ini digunakan untuk mengangkut jenazah. Berikut ini

merupakan persyaratan – persyaratan teknis yang harus terpenuhi:

a. Kendaraan roda empat atau lebih.

b. Warna kendaraan hitam.

c. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada.

d. Lampu rotator berwarna biru terletak di tengah atas kendaraan.

e. Dilengkapi dengan sabuk pengaman untuk peti jenazah.

f. Dapat mengangkut 1(satu) peti jenazah.

g. Ruangan jenazah terpisah dengan ruangan pengemudi.

h. Tempat duduk lipat bagi sekurang – kurangnya 4(empat) orang di

ruangan jenazah.

i. Tanda pengenal kereta jenazah dari bahan yang memantulkan cahaya.

j. Gantungan karangan bunga di depan, samping kiri dan kanan kendaraan.

k. Persiapan petugas yang terdiri dari 1(satu) orang pengemudi dan petugas

pengawal jenazah sesuai kebutuhan.

Berikut ini merupakan tata tertib yang perlu dipatuhi selama

transportasi menggunakan ambulans ini:

Universitas Sumatera Utara

20

a. Sirene hanya boleh digunakan pada waktu bergerak dalam iringan

jenazah (konvoi) dengan menaati peraturan lalu lintas tentang konvoi).

b. Bilamana tidak membentuk iringan, hanya boleh mempergunakan lampu

rotator.

c. Kecepatan maksimum di jalan biasa adalah 40 km/jam dan di jalan bebas

hambatan 80 km/jam.

d. Semua peraturan lalu lintas harus ditaati.

7. Ambulans Udara

Berikut ini merupakan persyaratan – persyaratan teknis yang harus

terpenuhi:

a. Heli kecil :

a. Persiapan perlengkapan medis berupa 2 buah tandu, 1 buah vacum

matres, 1 buah keranjang tandu, defibrilator/EKG monitor, pulsemeter,

kotak respirator, alat dan obat resusitasim suction, pneumatic (inflattable)

splints, kotak obat – obatan (syok luka bakar, keracunan, perdarahan, dan

lain-lain) termasuk infus dan alat infus, kotak pendingin untuk

korban/bag – bag korban, dan kantong mayat.

b. Persiapan perlengkapan non medis berupa baterai, ear protector,

pemadam kebakaran, radio komunikasi, dan piroteknik.

c. Persiapan personil sebanyak 3(tiga) orang terdiri dari pilot yang

mendapat latihan lengkap, dokter umum yang memiliki kemampuan

pertolongan pertama kegawatdaruratan, serta pembantu medis

(paramedis, orang awam yang telah mendapatkan pelatihan untuk

pertolongan pertama kegawatdaruratan) dan mempunyai pengetahuan

tentang lapangan.

b. Heli besar : Jenisnya sama dengan di atas hanya jumlah ditambah.

a. Persiapan personil terdiri dari pilot dibantu co-pilot, winchman, radar

operator/navigator, dan pembantu medis (jumlah disesuaikan).

c. Pesawat Fixed Wing : tergantung jenis pesawat (minimal seperti heli

besar).

Universitas Sumatera Utara

21

Berikut ini merupakan persyaratan teknis untuk penggunaan

pesawat sebagai ambulans udara :

a. Noise level (bising di permukaan).

b. Vibrasi akibat gerakan rotor.

c. Temperatur dalam kabin.

d. Sebaiknya twin engine.

e. Perlu juga diperhatikan fasilitas kendaraan (lapangan terbang, helipad),

dan jarak yang harus ditempuh. Untuk helikopter bila berjarak maksimal

200 – 300 km. Lebih dari jarak itu harus menggunakan pesawat fixed

wing.

2.5 Primary Survey Care

Primary Survey terdiri dari A-B-C-D-E : airway, breathing, circulation,

disability, exposure, termasuk penilaian komplit tanda vital(Ma dan Cline, 2004).

2.5.1 Airway , menjaga jalan nafas dengan kontrol servikal (cervical spine

control)

1. Bentuk anatomis dari jalan napas

Pengetahuan yang benar tentang struktur anatomis jalan napas

diperlukan untuk tindakan yang akan dilakukan pada manajemen airway.

Saluran napas berawal dari rongga hidung(nasal cavity) dan rongga

mulut(oral cavities). Rongga hidung memanjang darinostrils sampai ke

rongga hidung posterior(choana). Nasofaring memanjang dari ujung rongga

hidung sampai ke soft palatum. Rongga mulut diisi oleh gigi di sisi anterior,

hard dan soft palatum di sisi superior, dan lidah di sisi inferior. Orofaring,

yang menghubungkan rongga mulut dengan nasofaring, memanjang dari soft

palatum sampai ke ujung epiglotis. Kemudian, orofaring akan berlanjut

sebagai laringofaring, yang memanjang dari epiglotis sampai ke batas atas

kartilago krikoid (setentang servikal 6 pada vertebra). Laring terletak di antara

laringofaring dan trakea. Epiglotis yang fleksibel, yang berasal dari tulang

Universitas Sumatera Utara

22

hyoid dan bagian dasar dari lidah, menutupi glotis selama proses menelan dan

melindungi jalan napas dari aspirasi. Laryngeal inlet adalah bagian yang

terbuka menuju laring yang diisi oleh epiglotis, aryepiglottis folds, dan

kartilago aritenoid. Glotis adalah vocal apparatus, termasuk true dan

falsevocal cord, yang berada di sisi inferior dan posterior dari epiglotis.

Bagian-bagian saluran napas tampak luar juga penting untuk diketahui.

Mentum adalah bagian anterior dari mandibula, dan merupakan ujung dari

dagu. Hyoid bone membentuk bagian dasar dari rongga mulut. Kartilago

tiroidea membentuk prominensia laring (Adam’s Apple) dan thyroid notch.

Kartilago krikoidea, berada di sisi inferior kartilago tiroid, dan membentuk

cincin sempurna yang menopang jalan napas bagian bawah. Membran

krikotiroidea berada di antara kartilago tiroidea dan kartilago krikoidea, serta

memiliki peranan penting dalam manajemen airway yang membutuhkan

tindakan operatif (Mahadevan dan Sovndal, 2005).

Gambar 2.4 Struktur anatomi jalan napas tampak lateral

Sumber : Mahadevan dan Sovndal (2005). An Introduction to Clinical Emergency

Medicine

Universitas Sumatera Utara

23

Gambar 2.5 Struktur anatomi jalan napas eksterna

Sumber : Mahadevan dan Sovndal (2005). An Introduction to Clinical Emergency

Medicine

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi

pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,

fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau

trakea.Selain itu, beberapa tanda objektif sumbatan jalan napas dapat diketahui

dengan 3 cara, yaitu look, listen, dan feel. Penolong harus melihat (look) apakah

pasien mengalami agitasi yang memberi kesan hipoksia atau ada penurunan

kesadaran yang memberi kesan hiperkarbia atau adanya sianosis di sekitar mulut

dan kuku yang memberi kesan hipoksemia. Setelah itu, penolong harus

mendengar (listen) adanya suara-suara pernapasan abnormal seperti snoring

(mendengkur), gargling (berkumur), dan suara lain yang mungkin berhubungan

dengan sumbatan parsial di faring atau laring (American College of Surgeons,

2008). Stridor, suara napas dengan nada tinggi, dapat dikaitkan dengan adanya

obstruksi jalan napas parsial di bagian laring (inspiratory stridor) atau trakea

(expiratory stridor). Mengorok (snoring) biasanya diindikasikan pada obstruksi

jalan napas parsial di bagian faring, serta suara parau (hoarseness) lebih mengarah

pada gangguan proses di laring. Aphonia pada pasien sadar merupakan tanda

bahaya terjadinya kolaps sistem pernapasan (Mahadevan dan Sovndal, 2005).

Kemudian, penolong harus meraba (feel) lokasi trakea dan menentukan dengan

Universitas Sumatera Utara

24

cepat apakah posisi trakea berada di tengah (American College of Surgeons,

2008). Trauma servikal perlu dicurigai pada setiap kasus kecelakaan lalu lintas

karena hal tersebut merupakan penyebab tersering terjadinya trauma servikal

(Glaspy, 2004). Jalan napas harus dibuka menggunakan manuver head tilt-chin lift

dan manuver jaw thrust dipakai jika ada kecurigaan adanya trauma servikal

(Vissers, 2004). Tanda-tanda kecurigaan adanya trauma servikal, yaitu: adanya

trauma mayor, penurunan tingkat kesadaran, cedera tumpul di sekitar klavikula,

mekanisme trauma yang jelas membuktikan ada trauma di daerah spinal, terdapat

nyeri di leher, ada ekimosis atau deformitas, dan adanya defisit neurologis

(Manthey, 2005). Ketika pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka

lidah mungkin akan jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk

sumbatan seperti itu dapat diperbaiki segera dengan manuver chin lift, yaitu

dengan meletakkan jari-jari salah satu tangan di bawah rahang. Kemudian, secara

hati-hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan

yang sama dengan tangan menahan bibir bawah untuk membuka mulut. Manuver

ini tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Sedangkan jaw thrust adalah

manuver yang dilakukan dengan memegang sudut rahang bawah (angulus

mandibula) kiri dan kanan lalu, mendorong rahang bawah ke depan. Selama

mengerjakan prosedur, harus dilakukan in-line immobilization (American College

of Surgeons, 2008).

Pada pasien yang dapat berbicara dapat dianggap jalan nafas bersih. Akan

tetapi, penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan (American College

of Surgeons, 2008).

Gambar 2.6 Head tilt dan chin lift Gambar 2.7 Jaw thrust tanpa head tilt

Sumber : Mahadevan dan Sovndal (2005). An Introduction to Clinical Emergency

Medicine

Universitas Sumatera Utara

25

Pasien dengan gangguan kesadaran atau dengan skor Glassgow Coma

Scale sama dengan atau kurang dari 8, biasanya memerlukan pemasangan airway

definitif. Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya

airway definitif. Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan,

bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi dari leher. Anggaplah ada

fraktur servikal pada setiap pasien multitrauma, terlebih bila ada gangguan

kesadaran atau perlukaan di atas klavikula (American College of Surgeons, 2008).

2.5.2 Breathing dan ventilasi

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi juga

mungkin terganggu karena adanya gangguan pergerakan napas (ventilatory

mechanics) atau karena adanya depresi susunan saraf pusat. Jika pernapasan tidak

membaik dengan terbukanya airway, kemungkinan penyebab lain harus segera

dicari. Trauma langsung pada dada menyebabkan rasa sakit saat bernapas dan

menyebabkan pernapasan yang cepat, dangkal, dan hipoksemia. Cedera intra

kranial dapat mengganggu pola pernapasan. Pada trauma servikal dapat terjadi

pernapasan diagfragmatik sehingga kemampuan penyesuaian untuk kebutuhan

oksigen yang meningkat menjadi terganggu. Oleh karena itu, ada beberapa hal

yang perlu diperhatikan dalam penilaian breathing, yaitu :

1. Lihat (look) naik turunnya dada simetris dan pergerakan dada yang

adekuat.

2. Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.

Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau kedua

hemitoraks merupakan tanda adanya cedera dada. Hati – hati terhadap

laju pernapasan yang cepat karena menjadi kemungkinan adanya

respiratory distress.

Gunakan pulse oxymetry yang mampu memberikan informasi tentang saturasi

oksigen dan perfusi perifer pasien (American College of Surgeons, 2008). Alat ini

dapat mengukur saturasi oksigen di hemoglobin arterial melalui jari atau daun

telinga (Andrews dan Nolan, 2005).

Universitas Sumatera Utara

26

2.5.3 Circulation dengan kontrol perdarahan

1. Volume darah dan cardiac output

Perdarahan merupakan sebab utama kematian pascatrauma yang mungkin

dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan

hipotensi pada pasien trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia,

sampai terbukti sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan penilaian yang cepat dari

status hemodinamik pasien (American College of Surgeons, 2008).

Ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan

informasi mengenai keadaan hemodinamik ini, yakni (American College of

Surgeons, 2008):

1. Tingkat kesadaran

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang akan

berakibat pada penurunan kesadaran.

2. Warna kulit

Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma

yang warna kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas

,jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, warna pucat

keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda

hipovolemia.

3. Nadi

Periksalah pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri

karotis (kiri/kanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi

yang tidak cepat, kuat, dan teratur biasanya merupakan tanda

normovolemia (bila pasien tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang

cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat

disebabkan oleh keadaan lain. Nadi yang tidak teratur biasanya

merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi arteri

besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera untuk

memperbaiki volume dan cardiac output.

Universitas Sumatera Utara

27

Tabel 2.2 Perkiraan Jumlah Darah yang Hilang pada Presentasi Klinis Inisial

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Volume darah

yang

hilang(ml)

<750 750-1500 1500-2000 >2000

Persentase

jumlah darah

yang

hilang(%)

<15% 15-30% 30-40% >40%

Pulsasi nadi

<100 100-120 120-140 >140

Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun

Tekanan

pulsasi

Normal/ atau

meningkat

Menurun Menurun Menurun

Frekuensi

napas

<20 20-30 30-40 >35

Volume

urin(ml/jam)

>30 20-30 5-15 Tidak ada

Status

kesadaran

Sedikit

kebingungan

Kebingungan

dalam

tingkat

ringan

Kebingungan

dalam tingkat

sedang

Kebingungan

dalam tingkat

berat sampai

letargi

Terapi

pengganti

cairan

Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan

darah

Kristaloid dan

darah

Sumber : American College of Surgeons (2012). Advanced Trauma Life Support

Student Course Manual 9th Edition

2. Perdarahan

Perdarahan eksternal harus dikenali dan dikelola pada primary

survey. Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan langsung

pada luka.Sumber perdarahan internal (tidak terlihat) adalah

perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, fraktur tulang panjang,

retroperitoneal, atau fraktur pelvis (American College of Surgeons,

2008).

Universitas Sumatera Utara

28

2.5.4 Disability (Neurologic Evaluation)

Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan

neurologis cepat. Yang dinilai di sini adalah tingkat kesadaran , ukuran dan reaksi

pupil , tanda-tanda lateralisasi , dan tingkat cedera spinal. GCS (Glasgow Coma

Scale) adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan outcome pasien

terutama motorik terbaiknya. Bila pemeriksaan GCS belum dilakukan pada

primary survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan

neurologis.Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan/atau

penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak.

Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan

oksigenasi, ventilasi, dan perfusi (American College of Surgeons, 2008).

2.5.5 Exposure

Pakaian pasien harus dibuka secara keseluruhan dengan cara menggunting

pakaiannya untuk memeriksa dan mengevaluasi pasien. Setelah pakaian dibuka,

pasien harus diselimuti untuk mencegah hipotermia. Pasien harus dipakaikan

selimut hangat, suhu ruangan sudah cukup hangat, dan diberikan cairan intravena

yang telah dihangatkan (American College of Surgeons, 2008).

2.6 Resusitasi

Resusitasi yang agresif dan pengelolaan yang cepat pada yang mengancam

jiwa merupakan hal yang mutlak untuk mempertahankan hidup pasien.Yang perlu

dinilai adalah (American College of Surgeons, 2008):

2.6.1 Airway

Airway harus dijaga dengan baik pada semua pasien. Jaw thrust atau chin

lift dapat dipakai. Bila pasien tidak sadar atau tidak ada gag reflex dapat dipakai

oropharyngeal airway. Bila ada keraguan mengenai kemampuan menjaga airway,

lebih baik memasang airway definitif.

Universitas Sumatera Utara

29

2.6.1.1 Alat Bantu Napas Non-Definitif

Alat bantu napas tambahan dapat dipakai untuk membantu manajemen

jalan napas. Oropharyngeal airway (OPA) adalah alat yang berbentuk seperti

huruf S yang didesain untuk menahan lidah agar tidak jatuh ke dinding faring

posterior ketika akan diberikan kanal udara dan suctioning melalui mulut (Gambar

2.8). Alat ini efektif digunakan untuk pasien yang masih bernapas spontan tetapi,

dengan gag reflex yang lemah. Penggunaan OPA pada pasien dengan gag reflex

dapat menyebabkan laringospasme atau muntah. OPA terdiri dari berbagai macam

ukuran. Ukuran OPA yang tepat diperkirakan ukurannya dengan

menempatkannya dari ujung mulut sampai ujung distalnya mencapai sudut dari

rahang (Mahadevan dan Sovndal, 2005).

Nasopharyngeal airway (NPA) adalah alat yang berbentuk tabung seperti

terompet yang terbuat dari karet lembut atau plastik yang membantu melancarkan

jalan napas dari hidung ke faring (Gambar 2.9). Alat ini digunakan pada pasien

semi sadar yang tidak dapat menggunakan OPA. Ini juga efektif pada pasien

dengan trauma, trismus, atau penghalang lain. Ukuran NPA yang tepat ditentukan

dengan mengukur panjang antara ujung hidung ke tragus telinga. Kedua alat ini

tidak dapat menjadi alat bantu napas yang definitif (Mahadevan dan Sovndal,

2005).

Gambar 2.8 Oropharyngeal Airway Gambar 2.9 Nasopharyngeal Airway

Sumber : Mahadevan dan Sovndal (2005). An Introduction to Clinical Emergency

Medicine

Universitas Sumatera Utara

30

Selain itu, penolong juga dapat menggunakan laryngeal mask airway.

Laryngeal mask airway sangat bermanfaat untuk pertolongan pasien dengan jalan

napas sulit terutama ketika usaha intubasi endotrakeal atau sungkup muka gagal.

Akan tetapi, penempatan alat yang benar sulit dilakukan (American College of

Surgeons, 2008).

2.6.1.2 Alat Bantu Napas Definitif

Pada pemberian alat bantu napas definitif, terdapat 3 alat yang dapat

dipergunakan, yaitu pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway surgical

(krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif

didasarkan pada beberapa indikasi, yaitu (American College of Surgeons, 2008):

1. Adanya henti napas.

2. Ketidakmampuan mempertahankan jalan napas dengan cara lain.

3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah

atau muntahan.

4. Ancaman segera atau bahaya kemungkinan adanya sumbatan jalan

napas, seperti akibat fraktur tulang wajah, hematoma retrofaringeal,

atau kejang berkepanjangan.

5. Adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan napas (GCS

≤8).

6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan

pemberian oksigen melalui sungkup.

Untuk memberikan alat bantu napas definitif, dapat dilakukan dengan

pemasangan intubasi endotrakeal.

Universitas Sumatera Utara

31

Tabel 2.3 Indikasi pemasangan alat bantu napas definitif

Kebutuhan untuk perlindungan

jalan napas

Kebutuhan untuk ventilasi dan

oksigenasi

Fraktur maksilofasial berat Usaha bernapas yang tidak adekuat

1. Napas cepat (Tachypnea)

2. Hipoksia

3. Hiperkarbia

4. Sianosis

Adanya resiko obstruksi

1. Hematoma pada leher

2. Trauma laring atau trakea

3. Ada stridor

Perdarahan masif dan memerlukan

resusitasi volume

Adanya resiko aspirasi

1. Perdarahan

2. Muntah

Trauma kepala tertutup berat yang

membutuhkan hiperventilasi

Tidak sadar Henti napas (Apnea)

1. Adanya paralisis neuromuskular

2. Dalam keadaan tidak sadar

Sumber: American College of Surgeons (2012). Advanced Trauma Life Support

Student Course Manual 9th Edition

Universitas Sumatera Utara

32

Gambar 2.10 Melakukan tindakan intubasi orotrakeal menggunakan teknik two

person serta in-line cervical spine immobilization

Sumber : American College of Surgeons (2012). Advanced Trauma Life Support

Student Course Manual 9th Edition

2.6.2 Breathing/Ventilasi/Oksigenasi

Kontrol jalan nafas pada pasien dengan airway terganggu karena faktor

mekanik, ada gangguan ventilasi atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan

intubasi endotrakeal, baik melalui oral maupun nasal. Prosedur ini harus

dilakukan dengan kontrol terhadap vertebral servikal. Surgical airway

(cricothryoidectomy) dapat dilakukan bila intubasi endotrakeal tidak

memungkinkan karena kontraindikasi atau masalah teknis (American College of

Surgeons, 2008).

Adanya tension pneumothorax akan sangat mengganggu ventilasi dan

sirkulasi, dan bila curiga akan adanya keadaan ini, harus segera dilakukan

dekompresi. Setiap pasien trauma diberikan oksigen. Bila tanpa intubasi,

sebaiknya oksigen diberikan denganface mask. Pemakaian pulse oxymetry baik

untuk menilai saturasi oksigen yang adekuat (American College of Surgeons,

2008).

Universitas Sumatera Utara

33

2.6.3 Circulation (dengan kontrol perdarahan)

Lakukan kontrol perdarahan dengan perbaikan volume intravaskuler. Bila

ada gangguan sirkulasi, harus dipasang sedikitnya 2 IV line. Kateter IV yang

dipakai harus berukuran besar. Besar arus (tetesan infus) yang didapat tidak

tergantung dari ukuran vena melainkan tergantung dari besar kateter IV dan

berbanding terbalik dengan panjang kateter IV. Pada awalnya, sebaiknya

menggunakan vena pada lengan. Jenis jalur IV line seperti vena seksi atau vena

sentral tergantung dari kemampuan petugas yang melayani (American College of

Surgeons, 2008).

Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk

permintaan darah dan pemeriksaan laboratorium rutin. Perbaikan volume sirkulasi

dengan cara pemberian cairan yang agresif tidak dapat menggantikan proses

pengehentian(kontrol) perdarahan. Pada saat pasien datang, pasien diberikan

terapi cairan cepat berupa 1-2 liter cairan kristaloid, sebaiknya Ringer lactate.

Cairan harus dihangatkan sebelumnya dengan suhu 370-40

0(disimpan dalam

keadaan hangat ataupun memakai alat penghangat). Bila tidak ada respon dengan

pemberian bolus kristaloid, diberikan transfusi darah. Hipotermia dapat terjadi

pada pasien yang diberikan ringer lactate yang tidak dihangatkan atau darah yang

masih dingin, atau bila pasien dalam keadaan kedinginan karena tidak diselimuti.

Hipotermia potensial mengancam nyawa dan harus diambil tindakan sesegera

mungkin untuk mencegah hal tersebut terjadi, seperti menghangatkan ruangan.

Untuk menghangatkan cairan, dapat dipakai alat pemanas cairan atau oven

microwave sampai mencapai suhu 390C. Oven microwave tidak boleh digunakan

untuk menghangatkan darah (American College of Surgeons, 2008).

2.6.4 Pemantauan EKG

EKG dipasang pada semua pasien trauma. Disritmia (termasuk takikardia

yang tidak diketahui penyebabnya), fibrilasi atrium atau ekstra sistol dan

perubahan segmen ST dapat disebabkan oleh kontusio jantung. Pulseless

Electrical Activity (PEA, dulu disebut sebagai Disosiasi elektromekanikal, EMD)

Universitas Sumatera Utara

34

mungkin disebabkan oleh tamponade jantung, tension pneumothorax, atau

hipovolemia berat. Jika ditemukan bradikardia, konduksi aberan atau ekstra sistol

harus segera dicurigai adanya hipoksia atau hipoperfusi. Hipotermia yang berat

juga dapat menyebabkan disritmia (American College of Surgeons, 2008).

2.6.5 Pemasangan kateter urin

Produksi urin merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan

perfusi ginjal dan hemodinamik pasien. Selain itu, pemeriksa perlu melakukan

pengambilan sampel urin untuk pemeriksaan urin rutin. Kateter urin jangan

dipasang bila ada dugaan ruptur uretra. Kecurigaan adanya ruptur uretra ditandai

dengan (American College of Surgeons, 2008):

1. Adanya darah di orifisium uretra eksterna (meatus bleeding)

2. Ecchymosis di daerah perineum

3. Hematoma di skrotum atau perineum

4. Pada colok dubur, letak prostat tinggi atau tidak teraba

5. Adanya fraktur pelvis

2.6.6 Pemasangan Kateter Lambung

Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan

mengurangi kemungkinan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan oleh

darah yang tertelan akibat pemasangan NGT yang traumatik atau perlukaan

lambung. Bila lamina kribosa patah atau diduga patah, kateter lambung dipasang

melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT ke dalam rongga otak. Dalam

keadaan ini, semua pipa tidak boleh dimasukkan melalui nasofaring (American

College of Surgeons, 2008).

Universitas Sumatera Utara

35

2.7 Secondary Survey Care

Secondary survey care adalah pemeriksaan teliti dan menyeluruh dari

kepala sampai kaki (head to toe examination), termasuk reevaluasi tanda vital.

Secondary survey care baru dilakukan setelah primary survey care selesai,

resusitasi dilakukan dan ABC dalam keadaan stabil (American College of

Surgeons, 2008).

2.7.1 Anamnesis

Riwayat “AMPLE” patut diingat (American College of Surgeons, 2008):

A : Allergy

M : Medication (obat yang diminum saat ini)

P : Past illness (penyakit penyerta)

L : Last meal

E : Event (berhubungan dengan kejadian trauma)

Mekanisme perlukaan juga sangat menentukan keadaan pasien dan dapat

memprediksi jenis perlukaan yang terjadi. Jenis perlukaan terbagi menjadi dua,

yakni trauma tumpul dan trauma tajam. Pada kasus kecelakaan lalu lintas, trauma

tumpul sering kali terjadi. Keterangan lain yang dibutuhkan pada kecelakaan lalu

lintas ialah pemakaian sabuk pengaman, deformasi kemudi, arah

tabrakan,kerusakan kendaraan, dan adanya penumpang terlempar ke luar.

Universitas Sumatera Utara

36

Tabel 2.4 Mekanisme perlukaan dan kemungkinan pola perlukaan

Mekanisme Perlukaan Kemungkinan Pola Perlukaan

Benturan frontal

1. Kemudi Bengkok

2. Jejak lutut pada dashboard

3. Cedera bull’s eye, pada kaca

depan

1. Ruptur hepar

2. Fraktur / dislokasi coxae,

lutut

3. Fraktur servikal

4. Kontusio miokard

5. Pneumothorax

6. Ruptur aorta

Benturan samping 1. Sprain servikal bagian

kontralateral

2. Fraktur servikal

3. Pneumothorax

4. Ruptur aorta

5. Ruptur hepar

6. Fraktur pelvis

Benturan belakang 1. Kerusakan jaringan lunak

leher

2. Fraktur servikal

Terlempar keluar 1. Semua jenis perlukaan

2. Mortalitas meningkat

Pejalan kaki dengan mobil 1. Trauma kapitis

2. Perlukaan

toraks/abdomen

3. Fraktur tungkai/pelvis

Sumber : American College of Surgeons (2012). Advanced Trauma Life Support

Student Course Manual 9th Edition

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan secara detail dari kepala sampai kaki hanya dimulai jika

keadaan mengancam jiwa pasien sudah terevaluasi dan tertangani selama primary

survey care. Pemeriksaan dimulai dari (Manthey, 2005):

1. Kepala, mata, telinga, hidung, dan tenggorokan

a. Nilai adakah tanda-tanda fraktur basis kranii dengan

mengidentifikasi adanya battle’s sign (adanya ekimosis di daerah

Universitas Sumatera Utara

37

mastoid), raccoon’s eyes (ekimosis di daerah mata), atau

hemotimpanum (kumpulan darah di belakang gendang telinga).

Lihat apakah adanya kebocoran cairan serebrospinal yang ditandai

dengan adanya rhinorrhea atau otorrhea.

b. Nilai apakah adanya depresi fraktur tengkorak dengan palpasi

secara hati-hati. Adanya benda asing atau bagian tulang yang

menusuk tidak boleh dimanipulasi.

c. Nilai perlukaan pada wajah dan kestabilannya dengan mempalpasi

tulang wajah. Fraktur fasialis berat dapat berakibat pada gangguan

jalan napas.

d. Nilai laserasi yang perlu ditangani.

e. Nilai ukuran pupil dan fungsinya.

f. Periksa septum hidung untuk memastikan ada atau tidaknya

hematoma.

2. Leher

a. Palpasi servikal dan tentukan apakah ada nyeri tekan,

pembengkakan, atau deformitas.

b. Lihat apakah ada emfisema subkutan yang mungkin berkaitan

dengan pneumotoraks atau trauma laringotrakeal.

3. Toraks

a. Palpasi daerah sternum, klavikula, dan iga untuk menentukan

adanya nyeri tekan atau krepitasi.

b. Lihat apakah ada memar atau deformitas yang mungkin berkaitan

dengan adanya trauma pada paru.

4. Abdomen

a. Nilai apakah ada distensi, dan nyeri tekan. Dua sumber perdarahan

yang paling sering menyebabkan pasien kehilangan banyak darah

ialah hepar dan limpa.

b. Ekimosis pada daerah punggung mungkin berkaitan dengan adanya

perdarahan retroperitoneal.

Universitas Sumatera Utara

38

5. Punggung

a. Pemeriksaan ini dilakukan dengan log-roll pasien dengan dibantu

oleh asisten sambil tetap menjaga servikal tetap stabil. Palpasi

daerah servikal untuk menentukan apakah ada nyeri tekan atau

tidak.

b. Nilai luka tersembunyi pada bagian ketiak, dibawah kolar servikal,

dan daerah bokong.

6. Perineum,rektum, dan uretra

a. Pada perineum, lihat apakah ada ekimosis ,yang mengarahkan pada

adanya fraktur pelvis. Pada uretra, lihat apakah ada akumulasi

darah yang menjadi tanda adanya disrupsi uretra sebelum

dilakukan pemasangan kateter uretra. Pada daerah rektum, periksa

apakah adanya letak prostat tinggi yang mengindikasikan adanya

disrupsi pada membran uretra dan menjadi kontraindikasi

pemasangan kateter urin.

7. Ekstremitas

a. Evaluasi kembali status vaskular pasien di setiap ekstremitas, yaitu

pulsasi nadi , warna kulit, capillary refill time, dan suhunya.

b. Inspeksi dan palpasi secara keseluruhan, evaluasi range of motion

dari setiap persendian. Nilai apakah ada deformitas, krepitasi, nyeri

tekan, pembengkakan, dan laserasi. Fraktur femur dapat menjadi

sumber perdarahan tersembunyi.

2.7.3 Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis harus dilakukan dengan teliti meliputi

pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, serta pemeriksaan

motorik dan sensorik. Perubahan dalam status neurologis dapat dinilai dengan

penilaian skor GCS.

Universitas Sumatera Utara

39

Tabel 2.5 Penilaian skor Glassgow Coma Scale

Penilaian Skor

Membuka Mata (Eye Opening)

Spontan 4

Dengan Perintah 3

Dengan stimulus nyeri 2

Tidak ada respons 1

Respon Verbal

Orientasi baik 5

Kebingungan 4

Kata-kata yang tidak sesuai 3

Suara-suara yang tidak jelas 2

Tidak ada respon 1

Respon Motorik

Mengikuti perintah 6

Melokalisasi nyeri 5

Fleksi untuk menjauhi stimulus nyeri 4

Fleksi abnormal (Dekortikasi) 3

Ekstensi (Deserebrasi) 2

Tidak ada respon 1

Sumber : American College of Surgeons (2012). Advanced Trauma Life Support

Student Course Manual 9th Edition

2.8 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris

khususnya, mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo, 2002).

Proses adopsi perilakumenurut Notoadmodjo S.(1977) yang mengutip

pendapat Rogers (1974) dalam Sunaryo (2002), sebelum seseorang mengadopsi

perilaku, di dalam diri orang tersebut terjadi suatu proses yang berurutan (akronim

“AIETA”), yaitu:

1. Awareness (kesadaran), individu menyadari adanya stimulus.

2. Interest (tertarik), individu mulai tertarik pada stimulus.

3. Evaluation (menimbang-nimbang), individu menimbang-nimbang

tentang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Pada

proses ketiga ini, subjek sudah memiliki sikap yang lebih baik lagi.

Universitas Sumatera Utara

40

4. Trial (mencoba), individu sudah mulai mencoba perilaku baru.

5. Adoption, individu telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, sikap, dan kesadarannya terhadap stimulus.

Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif mencakup 6 tingkatan, yaitu:

1. Tahu, merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

Tahu artinya dapat mengingat atau mengingat kembali suatu

materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa

seseorang itu tahu adalah ia dapat menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, dan menyatakan.

2. Memahami, artinya kemampuan untuk menjelaskan dan

menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang

diketahui. Seseorang yang telah paham tentang sesuatu harus

dapat menjelaskan, memberikan contoh, dan menyimpulkan.

3. Penerapan, yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi dan kondisi nyata, atau dapat

menggunakan hukum-hukum, rumus, dan metode dalam situasi

nyata.

4. Analisis, artinya adalah kemampuan untuk menguraikan objek

ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil tetapi, masih di dalam

suatu struktur objek tersebut dan masih terkait satu sama lain.

Ukuran kemampuan adalah ia dapat menggambarkan, membuat

bagan, membedakan, memisahkan, membuat bagan proses

adopsi perilaku, dan dapat membedakan pengertian psikologi

dengan fisiologi.

5. Sintesis, yaitu suatu kemampuan untuk menghubungkan

bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru

atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari

formulasi-formulasi yang ada. Ukuran kemampuannya adalah

ia dapat menyusun, meringkaskan, merencanakan, dan

menyesuaikan suatu teori atau rumusan yang telah ada.

Universitas Sumatera Utara

41

6. Evaluasi, yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria

yang telah ada atau disusun sendiri.

Universitas Sumatera Utara