BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1....

39
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. Pengertian Kebijakan Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan/kepemimpinan dan cara bertindak (Balai Pustaka, 2007). Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, 2008), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut. Menurut Titmuss (1974) (Edi Suharto,2008), kebijakan adalah prinsip- prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu. Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Carl Friedrich, kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang- peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi (Winarno,Budi,2002) 14 Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1....

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan

2.1.1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar

dan rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan/kepemimpinan dan cara bertindak

(Balai Pustaka, 2007). Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, 2008),

kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang

konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan

tersebut. Menurut Titmuss (1974) (Edi Suharto,2008), kebijakan adalah prinsip-

prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu. Kebijakan adalah

suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang

dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Carl

Friedrich, kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang

diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu

sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-

peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Anderson

merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan secara sengaja dilakukan oleh

seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan

tertentu yang dihadapi (Winarno,Budi,2002)

14 Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

2.1.2. Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Chief J.O (1981) (Abdul Wahab, 2005), kebijakan publik adalah

suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada tujuan tertentu yang diarahkan pada

suatu masalah tertentu yang saling berkaitan yang memengaruhi sebagian besar

warga masyarakat. Menurut Nugroho (2008), kebijakan publik adalah keputusan yang

dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan

tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan Publik adalah strategi untuk

mengantarkan masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa

transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.

Karakteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan politik

tersebut dirumuskan oleh apa yang disebut Easton (Agustino, 2006) sebagai

“otoritas” dalam sistem politik yaitu: “para senior, kepala tertinggi, eksekutif,

legislatif, para hakim, administrator, penasehat, para raja, dan sebagainya.”

Selanjutnya Easton menyebutkan bahwa mereka-mereka yang berotoritas dalam

sistem politik dalam rangka memformulasikan kebijakan publik itu adalah orang-

orang yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggung

jawab dalam suatu masalah tertentu di mana pada satu titik mereka diminta untuk

mengambil keputusan di kemudian hari yang diterima serta mengikat sebagian besar

anggota masyarakat selama waktu tertentu.

2.1.3. Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan Publik

Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William N.Dunn, (2003)

adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam

realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang

disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan.

Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan

mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan

alokasi sumber daya publik yang lebih dari pada isu lain. Dalam agenda setting juga

sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu

agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai

masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah

terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau

akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan

tersebut. Menurut William N.Dunn (1999), isu kebijakan merupakan produk atau

fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun

penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi

suatu agenda kebijakan.

b. Formulasi Kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh

para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari

pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai

alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu

masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil

untuk memecahkan masalah.

c. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar

pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan

rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus

percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah harus didukung. Legitimasi dapat

dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu, dimana melalui proses ini, warga

negara belajar untuk mendukung pemerintah.

d. Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah diambil, dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang

memobilisasi sumber daya finansial dan manusia.

e. Penilaian / Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut

estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan

dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional.

Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan

dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa

meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan program-program yang

diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap

dampak kebijakan.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan

dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang paling

penting dalam proses kebijakan.

Beberapa definisi implementasi kebijakan yang dirangkum oleh Agustino (2006)

adalah sebagai berikut :

a. Bardach (Agustino, 2006:54)

Implementasi kebijakan adalah cukup untuk membuat sebuah program dan

kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi

merumuskannya dalam kata–kata dan slogan-slogan yang kedengarannya

mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya,

dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan orang.

b. Metter dan Horn (1975) (Agustino, 2006:139)

Implementasi kebijakan ialah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh

individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau

swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam

keputusan kebijakan.

c. Mazmanian dan Sabatier (1983:61) (Agustino, 2006:139)

Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar,

biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-

perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan

peradilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi,

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara

untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.

Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi

kebijakan menyangkut minimal tiga hal yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran

kebijakan, (2) adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan dan (3) adanya hasil

kegiatan (Agustino,2008). Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh

Lester dan Stewart (2000) (Agustino, 2006), bahwa implementasi sebagai suatu

proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat

diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output) yaitu

tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

2.1.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan

Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variabel atau

faktor dan masing-masing variabel atau faktor tersebut saling berhubungan satu sama

lain. Untuk memperdalam pemahaman kita terhadap variabel atau faktor apa saja

yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, maka berikut ini

dipaparkan beberapa teori implementasi menurut Subarsono (2009) :

a. Teori George C.Edward III (1980)

Menurut George C. Edward III, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap

keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor sumber daya,

birokrasi, komunikasi, dan disposisi. (Subarsono,2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

a.1 Faktor Sumber Daya

Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan,

karena bagaimanapun dibutuhkan kejelasan dan konsistensi dalam menjalankan

suatu kebijakan dari pelaksana (implementor) kebijakan. Jika para personil yang

mengimplementasikan kebijakan kurang bertanggung jawab dan kurang

mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka

implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.

Menurut Winarno (2002), sumber-sumber yang akan mendukung kebijakan

yang efektif terdiri dari :

a.1.1 Staf

Sumber daya manusia pelaksana kebijakan, dimana sumber daya manusia

tersebut memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi untuk

melaksanakan kebijakan. Sumber daya manusia memiliki jumlah yang

cukup dan memenuhi kualifikasi adalah para pelaksana yang berjumlah

cukup dan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan dalam

melaksanakan kebijakan yang ditetapkan. Jumlah pelaksana yang banyak

tidak otomatis mendorong implementasi yang berhasil, jika tidak memiliki

ketrampilan yang memadai. Di sisi lain kurangnya personil yang memiliki

ketrampilan juga akan menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut.

a.1.2 Kewenangan

Kewenangan dalam sumber daya adalah kewenangan yang dimiliki oleh

sumber daya manusia untuk melaksanakan suatu kebijakan yang

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

ditetapkan. Kewenangan yang dimiliki oleh sumber daya manusia adalah

kewenangan setiap pelaksana untuk melakukan hal-hal yang berkaitan

dengan apa yang diamanatkan dalam suatu kebijakan.

a.1.3 Informasi

Informasi merupakan sumber penting dalam implementasi kebijakan.

Informasi dalam sumber daya adalah informasi yang dimiliki oleh sumber

daya manusia untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan.

Informasi untuk melaksanakan kebijakan di sini adalah segala keterangan

dalam bentuk tulisan atau pesan, pedoman, petunjuk dan tata cara

pelaksanaan yang bertujuan untuk melaksanakan kebijakan.

a.1.4 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana adalah semua yang tersedia demi terselenggaranya

pelaksanaan suatu kebijakan dan dipergunakan untuk mendukung secara

langsung.

a.2 Faktor Komunikasi

Komunikasi adalah suatu kegiatan manusia untuk menyampaikan apa yang

menjadi pemikiran dan perasaannya, harapan atau pengalamannya kepada

orang lain. Faktor komunikasi dianggap sebagai faktor yang amat penting,

karena menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah dalam

pelaksanaan kebijakan sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaan

kebijakan berjalan dengan efektif dan efisien tanpa ada yang dirugikan.

Implementasi yang efektif baru akan terjadi apabila para pembuat kebijakan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

dan implementor mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan hal itu

hanya dapat diperoleh melalui komunikasi yang baik.

Menurut Ernawati (2009), komunikasi adalah proses penyampaian

pesan/berita dari seseorang ke orang lain sehingga antara kedua belah pihak terjadi

adanya saling pengertian. Komunikasi merupakan keterampilan manajemen yang

sering digunakan dan sering disebut sebagai suatu kemampuan yang sangat

bertanggungjawab bagi keberhasilan seseorang, hal ini sangat penting sehingga

orang-orang sepenuhnya tahu bagaimana cara berkomunikasi.

Menurut Widjaja (2000), unsur-unsur yang terdapat dalam setiap proses komunikasi

terdiri dari :

a.2.1.1 Sumber Pesan

Adalah dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan dan digunakan dalam

rangka memperkuat pesan itu sendiri.

a.2.1.2 Komunikator

Adalah orang atau kelompok yang menyampaikan pesan kepada orang lain,

yang meliputi penampilan, penguasaan masalah dan penguasaan bahasa.

a.2.1.3 Komunikan

Adalah orang yang menerima pesan.

a.2.1.4 Pesan

Adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator, dimana

pesan ini mempunyai pesan yang sebenarnya menjadi pengarah dalam usaha

mencoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Adapun unsur-unsur

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

yang terdapat dalam pesan meliputi : cara penyampaian pesan, bentuk pesan

(informatif, persuasif, koersif), merumuskan pesan yang mengena (umum,

jelas, gamblang, bahasa jelas, positif, seimbang, sesuai dengan keinginan

komunikan).

a.2.1.5 Media

Adalah sarana yang digunakan komunikator dalam penyampaian pesan agar

dapat sampai pada komunikan, meliputi media umum dan media massa.

a.2.1.6 Efek

Adalah hasil akhir dari suatu komunikasi, yakni apabila sikap dan tingkah

laku orang lain itu sesuai, maka komunikasi dianggap berhasil dan demikian

sebaliknya.

Tujuan komunikasi keorganisasian antara lain untuk memberikan informasi, baik

kepada pihak luar maupun pihak dalam, memanfaatkan umpan balik dalam rangka

proses pengendalian manajemen, mendapatkan pengaruh, alat untuk memecahkan

persoalan untuk pengambilan keputusan, mempermudah perubahan-perubahan yang

akan dilakukan, mempermudah pembentukan kelompok-kelompok kerja serta dapat

dijadikan untuk menjaga pintu keluar masuk dengan pihak-pihak luar organisasi.

(Umar,2002).

Arah komunikasi di dalam suatu organisasi menurut Umar (2002) antara lain :

a.2.2.1 Komunikasi ke bawah, yaitu dari atasan ke bawahan, yang dapat berupa

pengarahan, perintah, indoktrinasi maupun evaluasi. Medianya bermacam-

macam seperti memo, telephon, surat dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

a.2.2.2 Komunikasi ke atas, yaitu komunikasi dari bawahan ke atasan. Fungsi

utamanya adalah mencari dan mendapatkan informasi tentang aktivitas-

aktivitas dan keputusan-keputusan yang meliputi laporan pelaksanaan kerja,

saran serta rekomendasi, usulan anggaran, pendapat-pendapat, keluhan-

keluhan, serta permintaan bantuan. Medianya biasanya adalah laporan baik

secara tertulis atau nota dinas.

a.2.2.3 Komunikasi ke samping, yaitu komunikasi antar anggota organisasi

yang setingkat. Fungsi utamanya adalah melakukan kerja sama dan proaktif

pada tingkat mereka sendiri, di dalam bagian, luar atau antar bagian lain yang

bertujuan untuk memecahkan berbagai masalah maupun menceritakan

pengalaman mereka dalam melaksanakan pekerjaannya.

a.2.2.4 Komunikasi ke luar, yaitu komunikasi antara organisasi dan pihak luar,

misalnya dengan pelanggan dan masyarakat pada umumnya. Organisasi

berkomunikasi dengan pihak luar dapat melalui bagian Public Relations atau

media iklan lain.

Menurut Cummings (Umar,2002), dalam berkomunikasi ada caranya tersendiri.

Untuk mengkomunikasiskan ke bawah, hal-hal pokok yang perlu dikuasai oleh atasan

adalah :

a.2.3.1 Memberikan perhatian penuh kepada bawahan.

a.2.3.2 Menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka.

a.2.3.3 Mendengarkan dengan umpan balik.

a.2.3.4 Memberikan waktu yang cukup.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

a.2.3.5 Menghindari kesan memberikan persetujuan maupun penolakan.

Untuk berkomunikasi ke atas, bawahan dapat melakukan cara-cara berkomunikasi

berikut ini :

a.2.4.1 Melaporkan segera setiap perubahan yang dihadapi.

a.2.4.2 Menyusun informasi sebelum dilaporkan.

a.2.4.3 Memberikan keterangan selengkapnya jika atasan memiliki waktu.

a.2.4.4 Mengajukan fakta bukan perkiraan.

a.2.4.5 Melaporkan juga perihal sikap, produktifitas, moral kerja atau persoalan

khusus yang dihadapi bawahan.

a.2.4.6 Menghindari penyebaran informasi yang salah.

a.2.4.7 Meminta nasehat kepada atasan mengenai cara-cara yang sulit diatasi

sendiri oleh bawahan.

Secara umum George C.Edward III membahas tiga hal yang penting dalam

proses komunikasi kebijakan (Winarno,B,2002) yaitu :

a.2.5.1 Transmisi adalah mereka yang melaksanakan keputusan, harus mengetahui

apa yang harus dilakukan. Keputusan dan perintah harus diteruskan kepada

personil yang tepat sebelum keputusan dan perintah itu diikuti. Komunikasi

harus akurat dan mudah dimengerti. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran

kebijakan harus disampaikan kepada kelompok sasaran (target) sehingga akan

mengurangi dampak dari implementasi tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

a.2.5.2 Kejelasan

Jika kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka

petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para

pelaksana, akan tetapi komunikasi harus jelas juga. Ketidakjelasan pesan

komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan dan

akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin

bertentangan dengan makna pesan awal.

a.2.5.3 Konsistensi

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-

perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah

yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur

kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut

tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankaan tugasnya

dengan baik.

a.3 Faktor Disposisi (sikap)

Disposisi diartikan sebagai sikap para implementor untuk

mengimplementasikan kebijakan. Dalam implementasi kebijakan menurut

George C.Edward III, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para

implementor tidak hanya harus mengetahui apa yang harus mereka

lakukan dan mempunyai kemampuan untuk mengimplementasikan

kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk

mengimplementasikan kebijakan tersebut (Agustino,2006)

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

Disposisi sebagaimana yang dijelaskan oleh Subarsono (2005) adalah

watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti kejujuran,

komitmen, sifat demokratis. Ketika implementor memiliki sifat atau

perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses

implementasi kebijakan tidak efektif. Disposisi oleh implementor ini

mencakup tiga hal penting yaitu :

a.3.1.1 Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan

memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan.

a.3.1.2 Kognisi, yaitu pemahaman para implementor terhadap

kebijakan yang dilaksanakan.

a.3.1.3 Intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang

dimiliki oleh setiap implementor.

a.4 Faktor Struktur Birokrasi

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan

sudah mencukupi dan para implementor telah mengetahui apa dan

bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk

melakukannya, implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif,

karena terdapat ketidakefisienan struktur birokrasi yang ada. Kebijakan

yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang.

Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung

kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan

koordinasi yang baik.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

Menurut George C.Edward III terdapat dua karakteristik yang dapat

mendongkrak kinerja struktur birokrasi ke arah yang lebih baik, yaitu

dengan melakukan Standard Operating Prosedure (SOP) dan

melaksanakan fragmentasi.

a.4.1 Standard Operating Prosedure (SOP) adalah suatu kegiatan rutin

yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan untuk

melaksanakan berbagai kegiatannya setiap hari sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan. Struktur organisasi yang terlalu

panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan

menimbulkan red-tape, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan

kompleks. Hal ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas

organisasi tidak fleksibel.

a.4.2 Fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-

kegiatan dan aktivitas-aktivitas pegawai di antara beberapa unit.

b. Teori Merilee S. Grindle (1980)

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S.Grindle (Wibawa,1994) yang

menjelaskan bahwa implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu isi

kebijakan dan lingkungan (konteks) implementasi, kedua hal tersebut harus didukung

oleh program aksi dan proyek individu yang didesain dan dibiayai berdasarkan tujuan

kebijakan, sehingga dalam pelaksanaan kegiatan akan memberikan hasil berupa

dampak pada masyarakat, individu dan kelompok serta perubahan dan penerimaan

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

oleh masyarakat terhadap kebijakan yang terlaksana. Variabel isi kebijakan menurut

Grindle mencakup beberapa indikator yaitu :

b.1.1 Kepentingan kelompok sasaran atau target group yang termuat dalam isi

kebijakan.

b.1.2 Jenis manfaat yang diterima oleh target group.

b.1.3 Derajat perubahan yang diharapkan dari sebuah kebijakan.

b.1.4 Letak pengambilan keputusan.

b.1.5 Pelaksana program telah disebutkan dengan rinci.

b.1.6 Dukungan oleh sumber daya yang dilibatkan.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup 3 indikator yaitu :

b.2.1 Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para

aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan.

b.2.2 Karakteristik lembaga dan rejim yang sedang berkuasa.

b.2.3 Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih

sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh

karenanya, tinggi-rendahnya intensitas berbagai pihak (politisi, pengusaha,

masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya ) dalam implementasi kebijakan akan

berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan.

c. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

Menurut Meter dan Horn, ada 6 variabel yang memengaruhi kinerja implementasi

yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

c.1 Standar dan Sasaran Kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat

direalisasikan.

c.2 Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia

(human resources) maupun sumber daya non manusia (non human resources).

c.3 Hubungan Antar Organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan

koordinasi dengan instansi lain.

c.4 Karakteristik Agen Pelaksana

Karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma

dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan

memengaruhi kemauan untuk melaksanakan kebijakan dan intensitas disposisi

implementor yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

d. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining

Dalam pandangan Weimer dan Vining ada tiga kelompok variabel besar yang

dapat memengaruhi keberhasilan implementasi suatu program yaitu :

d.1 Logika dari suatu Kebijakan

Ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal dan mendapat

dukungan teoritis.

d.2 Lingkungan tempat kebijakan tersebut dioperasikan akan memengaruhi

keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Yang dimaksud lingkungan dalam hal

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam dan fisik atau

geografis.

d.3 Kemampuan Implementor

Keberhasilan suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan

ketrampilan dari implementor kebijakan.

2.1.6. Analisa Kebijakan Publik

Analisa kebijakan adalah aktifitas menciptakan pengetahuan tentang dan

proses pembuatan kebijakan. Disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan

berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan

mentransformasikan informasi yang policy relevant untuk memecahkan masalah

kebijakan (Dunn,2003). Menurut William N.Dunn bentuk analisa kebijakan adalah

sebagai berikut :

a. Analisa kebijakan prospektif yaitu bentuk analisa yang mengarahkan sebelum

aksi kebijakan mulai diimplementasikan. Bentuk ini melibatkan teknik-teknik

peramalan untuk memprediksikan kemungkinan yang timbul akibat kebijakan

yang akan dilaksanakan.

b. Analisa kebijakan retrospektif yaitu bentuk analisa yang menjelaskan sebagai

penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Bentuk

ini bersifat evaluatif, karena melibatkan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang

sedang ataupun yang telah dilaksanakan.

c. Analisa kebijakan terintegrasi yaitu bentuk analisa yang mengkombinasikan gaya

operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan. Bentuk ini melibatkan teknik

peramalan maupun evaluasi terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan.

2.1.7. Kebijakan Kesehatan

Kebijakan Kesehatan (Health Policy) adalah segala sesuatu untuk memengaruhi

faktor–faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan

masyarakat dan bagi seorang dokter, kebijakan merupakan segala sesuatu yang

berhubungan dengan layanan kesehatan (Walt, 1994).

Sektor kesehatan merupakan bagian penting dari perekonomian di berbagai negara.

Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan digambarkan sebagai spons

yang dapat menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga

kesehatan. Ada juga yang berpendapat bahwa sektor kesehatan merupakan

pembangkit perekonomian melalui inovasi dan investasi di bidang teknologi

biomedis serta produksi dan penjualan obat-obatan. Sebagian masyarakat selalu

mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien dengan memanfaatkan rumah sakit,

klinik atau apotik, begitu juga dengan profesi kesehatan. Kesehatan juga dipengaruhi

oleh masalah sosial lainnya seperti kemiskinan. Karena pengambilan keputusan

kesehatan berkaitan dengan kematian dan keselamatan, maka masalah kesehatan

ditempatkan pada posisi yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial

lainnya.

2.1.8 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Kesehatan

Menurut Leichter (Buse, 2009), faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan

kesehatan adalah :

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

a. Faktor Situasional

Faktor yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan

(contoh: kekeringan)

b. Faktor Struktural

Faktor ini meliputi :

b.1 Sistem politik yaitu mencakup keterbukaan sistem dan kesempatan bagi

warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan

kebijakan (contohnya : warga masyarakat diminta pendapatnya tentang

kebijakan BBM bersubsidi).

b.2 Bidang ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja (contohnya : negara

dapat memindahkan tenaga profesional ke daerah yang kurang tenaga).

b.3 Kondisi demografi atau kemajuan teknologi (contohnya : akibat kemajuan

teknologi mengakibatkan pertambahan jumlah wanita hamil yang

melahirkan secara caesar ).

b.4 Kekayaan suatu negara akan berpengaruh kuat terhadap jenis layanan

kesehatan.

c. Faktor budaya yaitu faktor yang dapat berpengaruh seperti hirarki, gender, stigma

terhadap penyakit tertentu.

d. Faktor Internasional atau eksogen yaitu faktor yang menyebabkan meningkatnya

ketergantungan antar negara dan memengaruhi kemandirian dan kerja sama

internasional dalam kesehatan (contoh : Program Pemberantasan Penyakit Polio).

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

2.1.9 Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan

Gambar 2.1 Segitiga Analisis Kebijakan

Gambar 2.1 Segitiga Analisis Kebijakan

Sumber : Walt and Gilson (1994)

Keuntungan analisis kebijakan adalah dapat menjelaskan mengenai apa dan

bagaimana hasil (outcome) kebijakan akan dicapai, model kebijakan di masa depan

dapat dirancang sehingga mudah dalam mengimplementasikan kebijakan secara lebih

efektif. Penggunaan analisis kebijakan dapat dilihat contohnya dalam analisis

kebijakan penentuan tarif untuk meningkatkan efisiensi di pelayanan kesehatan,

dimana konteksnya terdiri dari kondisi ekonomi, ideologi dan budaya. Konten

Aktor/Pelaku: Individu Pelaku Organisasi

Konteks

Isi/ Konten

Proses

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

(isinya) menjabarkan apa tujuan yang ingin dicapai dan apakah ada pengecualian

terhadap tarif yang diberlakukan ? Aktor (pelaku) dalam kebijakan ini adalah siapa

yang mendukung dan menolak kebijakan tarif tersebut ? Analisis prosesnya yaitu

bagaimana pendekatan dilakukan, apakah secara top-down atau bottom up ?

Bagaimana kebijakan ini akan dikomunikasikan?

2.2. Eliminasi Filariasis

2.2.1. Program Eliminasi Filariasis

Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009, maka

dipandang dari sudut :

a. Tujuan

a.1 Tujuan Umum

Filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada

tahun 2020.

a.2 Tujuan Khusus

a.2.1 Menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang

dari 1% di setiap kabupaten/kota.

a.2.2 Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

b. Pengertian

b.1 Eliminasi filariasis

Adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis di tengah -

tengah masyarakat sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi

masalah kesehatan masyarakat.

b.2 Pengobatan massal filariasis

Pemberian obat kepada semua penduduk di daerah endemis filariasis

dengan DEC (diethylcarbamazine citrate), albendazol dan paracetamol

sesuai takaran, setiap tahun minimal selama 5 tahun berturut-turut, yang

bertujuan untuk menghilangkan sumber penularan dan memutuskan mata

rantai penularan filariasis di daerah.

b.3 Tatalaksana kasus filariasis

Pengobatan dan perawatan penderita klinis filariasis yang bertujuan

untuk mematikan cacing filaria serta mencegah dan membatasi kecacatan.

Perawatan penderita lebih ditekankan pada perawatan mandiri dan seumur

hidup.

c. Kebijakan

c.1 Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional program

pemberantasan penyakit menular.

c.2 Melaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia dengan menerapkan

Program Eliminasi Filariasis Limfatik Global dari WHO, yaitu

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

memutuskan rantai penularan filariasis serta mencegah dan membatasi

kecacatan.

c.3 Satuan lokasi pelaksanaan (implementation unit) eliminasi filariasis adalah

kabupaten/kota.

c.4 Mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, provinsi dan negara.

2.2.2. Strategi Eliminasi Filariasis di Indonesia

a. Strategi Nasional

Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun

2009, strategi yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka mencapai

eliminasi filariasis adalah :

a.1 Memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di

daerah endemis filariasis.

a.2 Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis

filariasis.

a.3 Pengendalian vektor secara terpadu.

a.4 Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara.

a.5 Memperkuat surveilans dan mengembangkan penelitian.

b. Kegiatan Pokok

Untuk merealisasikan strategi eliminasi filariasis tersebut, maka

dilaksanakanlah berbagai kegiatan yaitu :

b.1 Meningkatkan promosi

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

b.1.1 Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat,

perorangan atau lembaga kemasyarakatan, agar berperan aktif

dalam upaya eliminasi filariasis antara lain :

b.1.1.1 Penderita klinis filariasis bersedia memeriksakan diri ke

unit pelayanan kesehatan serta mampu merawat anggota

tubuh yang sakit.

b.1.1.2 Anggota masyarakat melaksanakan pengobatan filariasis

secara teratur, minimal 5 tahun berturut-turut.

b.1.1.3 Anggota masyarakat, perorangan atau berkelompok

berperan aktif dalam upaya eliminasi filariasis di

daerahnya. Masyarakat membentuk relawan

filariasis di tempat tinggalnya, baik relawan dalam

perawatan penderita klinis kronis filariasis,

pengobatan massal filariasis, maupun dalam

rangka pemantauan kinerja program filariasis di

daerahnya.

b.1.1 Pengembangan pesan promosi yang mendukung peningkatan

pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam upaya eliminasi

filariasis yaitu :

b.1.2.1 Mengidentifikasi dan menentukan sasaran promosi.

b.1.2.2 Menentukan metode promosi yang tepat.

b.1.2.3 Merancang dan menggandakan bahan-bahan promosi

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

b.2 Mengembangkan sumber daya manusia filariasis

b.2.1 Memperkuat kemampuan sumber daya manusia dalam

penyelenggaraan program eliminasi filariasis, baik melalui

pendidikan, pelatihan, sosialisasi, distribusi informasi dan

penyelenggaraan seminar eliminasi filariasis.

b.2.2 Prioritas pendidikan dan pelatihan tenaga profesional adalah

tenaga pelaksana eliminasi filariasis, tenaga epidemiologi,

tenaga entomologi, serta tenaga mikroskopis di pusat dan di

daerah.

b.3 Menyempurnakan Tata Organisasi

b.3.1 Pembentukan Task Force eliminasi filariasis atau kelompok

kerja eliminasi filariasis di pusat dan di daerah.

b.3.2 Pengembangan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor.

b.3.3 Penyempurnaan pedoman pelaksanaan Program Eliminasi

Filariasis.

b.3.4 Mendorong terbentuknya lembaga swadaya masyarakat

(LSM) peduli filariasis.

b.4 Meningkatkan Kemitraan

b.4.1 Inventarisasi dan merumuskan kerjasama lembaga mitra.

b.4.2 Memprioritaskan kerjasama antara Program Eliminasi

Filariasis dengan program pemberantasan kecacingan, kusta,

pengendalian vektor dan program lain yang dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

meningkatkan efisiensi dan efektifitas Program Eliminasi

Filariasis.

b.4.3 Menentukan skala prioritas kerjasama antar sektor pada

program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) terutama dalam

rangka penemuan kasus dan pengobatan massal serta lembaga

mitra pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan, media

massa dan lain sebagainya.

b.4.4 Melakukan kerjasama dengan lembaga donor nasional dan

internasional serta dunia usaha.

b.5 Meningkatkan Advokasi

b.5.1 Meningkatkan advokasi para penentu kebijakan untuk

mendapatkan dukungan komitmen, tersusunnya peraturan

perundangan, serta terlaksananya program eliminasi

filariasis dengan dukungan anggaran, sumber daya manusia,

dan sarana penunjang lainnya yang memadai serta penggerakan

semua potensi yang ada di pusat dan di daerah.

b.5.2 Prioritas advokasi pada para menteri dan pimpinan lembaga

pemerintah terkait, gubernur, bupati, walikota, DPR, DPRD

provinsi dan DPRD kabupaten/kota, badan dan dinas terkait di

provinsi dan di kabupaten/kota, komisi kesehatan di

provinsi dan di kabupaten/kota, pimpinan lembaga sosial

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

kemasyarakatan, dunia usaha, media massa dan lembaga

donor.

b.6 Pemberdayaan Masyarakat

b.6.1 Menumbuhkembangkan norma kemasyarakatan yang berdaya

guna dan mandiri dalam upaya eliminasi filariasis.

b.6.2 Mengutamakan pemberdayaan masyarakat dalam penemuan

dan perawatan penderita klinis filariasis serta pelaksanaan

pengobatan massal filariasis dengan sasaran prioritas

pemberdayaan adalah penderita dan keluarganya, tokoh

masyarakat, guru, tenaga kesehatan, penyandang dana lokal

dan masyarakat luas.

b.7 Memperluas Jangkauan Program

b.7.1 Melaksanakan tahapan kegiatan eliminasi filariasis agar

tercapai tujuan eliminasi filariasis tahun 2020.

b.7.2 Memperluas jangkauan program eliminasi filariasis dengan

pendekatan kepulauan, pendekatan lintas batas administrasi

pemerintahan dan pendekatan kawasan edipemiologi filariasis.

b.7.3 Melaksanakan upaya pengendalian vektor secara terpadu

terutama dengan Program Pemberantasan Malaria dan Demam

Berdarah Dengue.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

b.8 Memperkuat Sistem Informasi Strategis

b.8.1 Mengembangkan sistem surveilans eliminasi filariasis

yang mampu mendukung perencanaan, pengendalian dan

evaluasi program eliminasi filariasis.

b.8.2 Mengembangkan sistem surveilans eliminasi filariasis

kabupaten/kota yang terintegrasi dalam sistem surveilans

eliminasi filariasis provinsi dan nasional serta sistem

surveilans epidemiologi kesehatan.

b.8.3 Meningkatkan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi

elektromedia.

2.2.3. Langkah-langkah Eliminasi Filariasis

Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun

2009, langkah-langkah eliminasi filariasis adalah sebagai berikut :

a. Pentahapan Kabupaten/Kota

Program eliminasi filariasis di kabupaten/kota melalui tahapan penemuan kasus

kronis filariasis, pemetaan endemisitas filariasis kabupaten/kota, penetapan data

dasar sebelum pengobatan filariasis, pengobatan massal filariasis,

penatalaksanaan kasus klinis filariasis, monitoring dan evaluasi, sertifikasi

eliminasi filariasis.

a.1 Penemuan Kasus Klinis Filariasis

Setiap kabupaten/kota mengumpulkan data kasus klinis filariasis yang

dilakukan pemutakhiran secara teratur setiap akhir tahun. Data ini

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

merupakan data dasar penetapan endemisitas daerah, lokasi survei data

dasar (baseline survey), penetapan prioritas daerah pelaksana kegiatan

penatalaksanaan kasus klinis filariasis dan evaluasi Program Eliminasi

Filariasis. Secara operasional, penemuan kasus klinis filariasis

dilaksanakan oleh puskesmas dengan melaksanakan kegiatan:

a.1.1 Kampanye penemuan dan penatalaksaan kasus klinis filariasis.

a.1.2 Mendorong penemuan dan pelaporan kasus oleh masyarakat, kepala

desa, PKK, guru dan pusat-pusat pelayanan kesehatan.

a.1.3 Pemeriksaan dan penetapan kasus klinis filariasis.

a.1.4 Perekaman dan pelaporan data kasus klinis filariasis.

a.2 Penentuan Endemisitas Filariasis di Kabupaten/Kota

Daerah endemis filariasis menjadi prioritas penyelenggaraan eliminasi

filariasis di kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Penentuan endemisitas

filariasis di kabupaten/kota dapat dilakukan dengan tahapan sebagai

berikut :

a.2.1 Kabupaten/kota yang memiliki kasus klinis filariasis, melaksanakan

survei mikrofilaria (survei darah jari) di desa dengan jumlah kasus

klinis filariasis terbanyak. Microfilaria rate 1% atau lebih merupakan

indikator sebagai kabupaten/kota endemis filariasis.

a.2.2 Kabupaten/kota yang terdapat kasus klinis filariasis, berdekatan atau

berada di antara dua daerah endemis filariasis dan memiliki geografi

serta budaya masyarakat yang kurang lebih sama dengan daerah

Universitas Sumatera Utara

Page 31: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

endemis filariasis ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis

filariasis.

a.2.3 Penentuan kabupaten/kota endemis ditetapkan dengan keputusan

gubernur.

a.3 Survei Data Dasar Sebelum Pengobatan Massal Filariasis

Kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis

filariasis dan akan melaksanakan pengobatan massal, perlu melakukan

survei data dasar di minimal 2 desa berdasarkan jumlah kasus klinis

terbanyak.

a.4 Persiapan Pelaksanaan POMP Filariasis

Sebelum kegiatan pelaksanaan POMP filariasis dilakukan, maka

dilakukan kegiatan persiapan yaitu :

a.4.1 Advokasi/sosialisasi di kabupaten

a.4.2 Rapat koordinasi di kabupaten/kota

a.4.3 Sosialisasi di puskesmas

a.4.4 Distribusi obat sampai puskesmas

a.4.5 Pendataan sasaran

a.4.6 Training kader

a.4.7 Packing obat sesuai sasaran

a.4.8 Penyediaan bahan promosi (spanduk, kartu pengobatan, poster,

flyer)

Universitas Sumatera Utara

Page 32: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

a.5 Pelaksanaan POMP Filariasis

Pengobatan massal dilakukan pada semua penduduk kabupaten/kota,

sekali setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut. Pengobatan massal

dapat dilakukan serentak pada seluruh wilayah kabupaten/kota, atau secara

bertahap per kecamatan sesuai dengan kemampuan daerah dalam

mengalokasikan anggaran daerah untuk kegiatan pengobatan

massal.Pengobatan massal secara bertahap harus dapat diselesaikan di

seluruh wilayah kabupaten/kota dalam waktu 5-7 tahun agar reinfeksi tidak

terjadi.

a.6 Monitoring dan Evaluasi

a.6.1 Monitoring cakupan pengobatan massal dilaksanakan setiap tahun

setelah pengobatan massal.

a.6.2 Survei cakupan pengobatan massal dilakukan setelah pelaksanaan

pengobatan massal tahun pertama.

a.6.3 Survei evaluasi prevalensi mikrofilaria dilaksanakan sebelum

pengobatan tahun ketiga dan kelima.

a.7 Sertifikasi Eliminasi Filariasis

Sertifikasi dilakukan setelah pengobatan massal tahun kelima. Sertifikasi

adalah penilaian untuk menentukan apakah kabupaten/kota telah berhasil

mengeliminasi filariasis.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

a.8 Penatalaksanaan Kasus Klinis

Penatalaksanaan kasus klinis dilakukan terhadap semua kasus klinis yang

ditemukan untuk mencegah dan membatasi kecacatan. Penatalaksanaan

kasus dilakukan dengan pemberian obat dan perawatan.

a.9 Penatalaksanaan Kasus Asimptomatis

Setiap orang sehat yang ditemukan mikrofilaria dalam darahnya mendapat

pengobatan yang memadai agar tidak menderita klinis filariasis dan tidak

menjadi sumber penularan terhadap masyarakat sekitarnya.

a.10 Pengendalian Vektor

Pengendalian nyamuk sebagai vektor penular filariasis dilaksanakan untuk

memutus rantai penularan. Dilaksanakan secara terpadu dengan

pengendalian vektor lainnya.

b. Pentahapan Provinsi

b.1 Provinsi bertugas untuk menentukan endemitas filariasis semua

kabupaten/kota yang ada di wilayahnya yang diharapkan selesai tahun 2006.

b.2 Provinsi mendorong perluasan pelaksanaan eliminasi filariasis, sehingga

semua kabupaten/kota endemis filariasis melaksanakan program eliminasi.

Pada tahun 2014, diharapkan semua kabupaten/kota endemis filariasis telah

selesai melaksanakan pengobatan massal.

b.3 Melaksanakan kerjasama lintas batas kabupaten/kota.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

c. Pentahapan Nasional

c.1 Mendorong perluasan jangkauan program ke seluruh provinsi.

c.2 Mendorong kerjasama lintas batas antar provinsi.

c.3 Mendorong kerjasama lintas batas dengan negara lain.

c.4 Pada tahun 2014, diharapkan semua kabupaten/kota endemis filariasis telah

melaksanakan pengobatan massal filariasis tahun kelima.

c.5 Pra sertifikasi eliminasi filariasis dilakukan pada tahun 2015-2020.

Berikut ini ditampilkan skema proses eliminasi filariasis di kabupaten/kota :

Gambar 2.2 Skema Proses Eliminasi Filariasis di Kabupaten/Kota

Universitas Sumatera Utara

Page 35: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

Agenda eliminasi filariasis Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.1. Untuk

melaksanakan pengobatan massal filariasis terhadap lebih dari 60 juta penduduk

Indonesia yang tinggal di daerah endemis filariasis, mengacu pada agenda yang telah

ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan RI.

Tabel 2.1. Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia

Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia Kegiatan Tahun

01 02 03 04 05 06 07 08 09 .. 13 14 .. 20 Persiapan x x x x x Pemetaan Kab/Kota x x x x x Pengobatan Massal x x x x x x x x x x x Evaluasi Cakupan MDA x x x x x x x x x x x Evaluasi prevalensi Mf x x x x x x x x x Pengobatan selektif x x x x x x x x x x x x x Tatalaksana Kasus x x x x x x x x x x x x x Sertifikasi x x

d. Pendekatan Perluasan Program

Pendekatan ini perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya reinfeksi daerah yang

sudah eliminasi.

d.1 Pendekatan kepulauan

Perluasan jangkauan program eliminasi filariasis dilakukan dengan

mengutamakan pelaksanaan pengobatan massal secara serentak pulau-

perpulau.

d.2 Pendekatan lintas batas

Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan daerah yang

berbatasan langsung dengan daerah yang sedang melaksanakan pengobatan

massal.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

d.3 Pendekatan blok

Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan blok-perblok daerah

yang mempunyai kesamaan geografis, budaya, mobilitas penduduk atau

secara epidemiologis mudah terjadi penularan.

2.2.4. Sumber Dana dan Sarana Eliminasi Filariasis

Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009,

pemerintah pusat dan daerah menggalang setiap sumber pendanaan pemerintah,

lembaga kemasyarakatan, kerjasama antar negara dan lembaga internasional.

1. Sumber pendanaan pelaksanaan pengobatan massal filariasis

a. Biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal filariasis di

kabupaten/kota, puskesmas dan penggerakan masyarakat bersumber dari

alokasi anggaran di kabupaten/kota dan kerjasama di kabupaten/kota.

b. Pengadaan obat-obatan dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis

bersumber dari pemerintah (Departemen Kesehatan) untuk obat DEC dan

paracetamol dan Badan Kesehatan Dunia WHO untuk obat albendazole.

c. Alokasi anggaran dan pelaksanaan pengobatan selektif, penatalaksanaan

reaksi pengobatan massal filariasis, bersumber dari anggaran pemerintah

kabupaten/kota.

d. Pemetaan, survei cakupan pengobatan massal dan survei evaluasi prevalensi

mikrofilaria bersumber dari alokasi anggaran pemerintah provinsi.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

b. Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis

Biaya operasional dan logistik obat serta sarana penunjang lainnya bersumber dari

alokasi anggaran pemerintah kabupaten/kota.

2.2.5. Indikator Kinerja

Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009,

indikator kinerja eliminasi filariasis ada 2 yaitu :

a. Persentase kabupaten endemis menjadi tidak endemis

= ( Jumlah kab/kota eliminasi filariasis pada akhir tahun tertentu / Jumlah

kab/kota endemis filariasis sebelum program eliminasi filariasis dilaksanakan

pada tahun yang sama ) x 100 %

Kab/kota endemis filariasis adalah kab/kota yang memiliki microfilaria rate >= 1

%, dan kab/kota eliminasi filariasis adalah apabila hasil evaluasi tahun ke 5

menunjukkan microfilaria rate < 1 %.

b. Kasus klinis yang ditangani per tahun (> 90 %)

b.1 Persentase kasus klinis yang ditangani per tahun = (jumlah kasus klinis

filariasis yang ditangani pada tahun tertentu / jumlah kasus klinis yang tercatat

pada tahun yang sama) x 100 %

b.2 Jumlah limfedema yang ditangani per tahun

b.3 Jumlah hidrokel yang dioperasi per tahun

Secara skematis, eliminasi filariasis, strategi dan kegiatan pokok dapat

diperlihatkan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 38: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

Gambar 2.3. Skema Eliminasi Filariasis, Strategi dan Kegiatan Pokok

2.3. Landasan Teori

Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan.

Menurut George C. Edward III (Subarsono,2009) ada 4 faktor yang menentukan

keberhasilan implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi, sumber daya, disposisi

dan struktur birokrasi. Keempat faktor tersebut saling berhubungan dan saling

memengaruhi dalam proses implementasi. Hubungan faktor-faktor yang saling

memengaruhi tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini :

Gambar 2.4 Model Implementasi menurut George C. Edward III

Kegiatan Pokok : 1. Meningkatkan promosi 2. Mengembangkan sumber daya manusia filariasis 3. Menyempurnakan tata organisasi 4. Meningkatkan kemitraan 5. Meningkatkan advokasi 6.Memberdayakan masyarakat 7. Memperluas jangkauan program 8.Memperkuat sistem informasi strategis

Strategi : 1. Memutus rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis 2. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis 3. Pengendalian vektor secara terpadu 4. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara 5. Memperkuat surveilans dan penelitian

Eliminasi

Filariasis

Komunikasi

Sumber Daya Implementasi

Disposisi

Struktur Birokrasi

Universitas Sumatera Utara

Page 39: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39979/4/Chapter II.pdf · Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, ... Anderson merumuskan

2.4. Kerangka Berfikir

Berdasarkan landasan teori di atas, maka faktor-faktor yang memengaruhi

implementasi pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah

faktor komunikasi, sumber daya, disposisi, dan stuktur birokrasi.

Gambar 2.5 Kerangka Berfikir Penelitian

Komunikasi - Transmisi - Konsistensi - Kejelasan Sumber Daya - Instrumen Kebijakan - Alokasi Biaya/Anggaran - SDM - Ketersediaan Faskes Disposisi - Komitmen Implementor - Kejujuran Implementor - Sikap Demokratis Struktur Birokrasi - Struktur Organisasi - SOP - Koordinasi Berjenjang

Kebijakan Program Eliminasi

Filarisis

Implementasi Pelaksanaan

POMP Filariasis

Pencapaian Target

Cakupan POMP Filariasis

Universitas Sumatera Utara