BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1....
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1....
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan
2.1.1. Pengertian Kebijakan
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan/kepemimpinan dan cara bertindak
(Balai Pustaka, 2007). Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, 2008),
kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang
konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan
tersebut. Menurut Titmuss (1974) (Edi Suharto,2008), kebijakan adalah prinsip-
prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu. Kebijakan adalah
suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang
dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Carl
Friedrich, kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-
peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Anderson
merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan secara sengaja dilakukan oleh
seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan
tertentu yang dihadapi (Winarno,Budi,2002)
14 Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Pengertian Kebijakan Publik
Menurut Chief J.O (1981) (Abdul Wahab, 2005), kebijakan publik adalah
suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada tujuan tertentu yang diarahkan pada
suatu masalah tertentu yang saling berkaitan yang memengaruhi sebagian besar
warga masyarakat. Menurut Nugroho (2008), kebijakan publik adalah keputusan yang
dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan
tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan Publik adalah strategi untuk
mengantarkan masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa
transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.
Karakteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan politik
tersebut dirumuskan oleh apa yang disebut Easton (Agustino, 2006) sebagai
“otoritas” dalam sistem politik yaitu: “para senior, kepala tertinggi, eksekutif,
legislatif, para hakim, administrator, penasehat, para raja, dan sebagainya.”
Selanjutnya Easton menyebutkan bahwa mereka-mereka yang berotoritas dalam
sistem politik dalam rangka memformulasikan kebijakan publik itu adalah orang-
orang yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggung
jawab dalam suatu masalah tertentu di mana pada satu titik mereka diminta untuk
mengambil keputusan di kemudian hari yang diterima serta mengikat sebagian besar
anggota masyarakat selama waktu tertentu.
2.1.3. Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan Publik
Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William N.Dunn, (2003)
adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam
realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang
disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan.
Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan
mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan
alokasi sumber daya publik yang lebih dari pada isu lain. Dalam agenda setting juga
sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu
agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai
masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah
terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau
akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan
tersebut. Menurut William N.Dunn (1999), isu kebijakan merupakan produk atau
fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun
penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi
suatu agenda kebijakan.
b. Formulasi Kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh
para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu
masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
Universitas Sumatera Utara
masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil
untuk memecahkan masalah.
c. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar
pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan
rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus
percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah harus didukung. Legitimasi dapat
dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu, dimana melalui proses ini, warga
negara belajar untuk mendukung pemerintah.
d. Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah diambil, dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang
memobilisasi sumber daya finansial dan manusia.
e. Penilaian / Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan
dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional.
Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan
dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa
meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan program-program yang
diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap
dampak kebijakan.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang paling
penting dalam proses kebijakan.
Beberapa definisi implementasi kebijakan yang dirangkum oleh Agustino (2006)
adalah sebagai berikut :
a. Bardach (Agustino, 2006:54)
Implementasi kebijakan adalah cukup untuk membuat sebuah program dan
kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi
merumuskannya dalam kata–kata dan slogan-slogan yang kedengarannya
mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya,
dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan orang.
b. Metter dan Horn (1975) (Agustino, 2006:139)
Implementasi kebijakan ialah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijakan.
c. Mazmanian dan Sabatier (1983:61) (Agustino, 2006:139)
Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar,
biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-
perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan
peradilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi,
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara
untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.
Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi
kebijakan menyangkut minimal tiga hal yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran
kebijakan, (2) adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan dan (3) adanya hasil
kegiatan (Agustino,2008). Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh
Lester dan Stewart (2000) (Agustino, 2006), bahwa implementasi sebagai suatu
proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat
diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output) yaitu
tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.
2.1.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variabel atau
faktor dan masing-masing variabel atau faktor tersebut saling berhubungan satu sama
lain. Untuk memperdalam pemahaman kita terhadap variabel atau faktor apa saja
yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, maka berikut ini
dipaparkan beberapa teori implementasi menurut Subarsono (2009) :
a. Teori George C.Edward III (1980)
Menurut George C. Edward III, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor sumber daya,
birokrasi, komunikasi, dan disposisi. (Subarsono,2009).
Universitas Sumatera Utara
a.1 Faktor Sumber Daya
Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan,
karena bagaimanapun dibutuhkan kejelasan dan konsistensi dalam menjalankan
suatu kebijakan dari pelaksana (implementor) kebijakan. Jika para personil yang
mengimplementasikan kebijakan kurang bertanggung jawab dan kurang
mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.
Menurut Winarno (2002), sumber-sumber yang akan mendukung kebijakan
yang efektif terdiri dari :
a.1.1 Staf
Sumber daya manusia pelaksana kebijakan, dimana sumber daya manusia
tersebut memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi untuk
melaksanakan kebijakan. Sumber daya manusia memiliki jumlah yang
cukup dan memenuhi kualifikasi adalah para pelaksana yang berjumlah
cukup dan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan dalam
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan. Jumlah pelaksana yang banyak
tidak otomatis mendorong implementasi yang berhasil, jika tidak memiliki
ketrampilan yang memadai. Di sisi lain kurangnya personil yang memiliki
ketrampilan juga akan menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut.
a.1.2 Kewenangan
Kewenangan dalam sumber daya adalah kewenangan yang dimiliki oleh
sumber daya manusia untuk melaksanakan suatu kebijakan yang
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan. Kewenangan yang dimiliki oleh sumber daya manusia adalah
kewenangan setiap pelaksana untuk melakukan hal-hal yang berkaitan
dengan apa yang diamanatkan dalam suatu kebijakan.
a.1.3 Informasi
Informasi merupakan sumber penting dalam implementasi kebijakan.
Informasi dalam sumber daya adalah informasi yang dimiliki oleh sumber
daya manusia untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan.
Informasi untuk melaksanakan kebijakan di sini adalah segala keterangan
dalam bentuk tulisan atau pesan, pedoman, petunjuk dan tata cara
pelaksanaan yang bertujuan untuk melaksanakan kebijakan.
a.1.4 Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana adalah semua yang tersedia demi terselenggaranya
pelaksanaan suatu kebijakan dan dipergunakan untuk mendukung secara
langsung.
a.2 Faktor Komunikasi
Komunikasi adalah suatu kegiatan manusia untuk menyampaikan apa yang
menjadi pemikiran dan perasaannya, harapan atau pengalamannya kepada
orang lain. Faktor komunikasi dianggap sebagai faktor yang amat penting,
karena menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah dalam
pelaksanaan kebijakan sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaan
kebijakan berjalan dengan efektif dan efisien tanpa ada yang dirugikan.
Implementasi yang efektif baru akan terjadi apabila para pembuat kebijakan
Universitas Sumatera Utara
dan implementor mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan hal itu
hanya dapat diperoleh melalui komunikasi yang baik.
Menurut Ernawati (2009), komunikasi adalah proses penyampaian
pesan/berita dari seseorang ke orang lain sehingga antara kedua belah pihak terjadi
adanya saling pengertian. Komunikasi merupakan keterampilan manajemen yang
sering digunakan dan sering disebut sebagai suatu kemampuan yang sangat
bertanggungjawab bagi keberhasilan seseorang, hal ini sangat penting sehingga
orang-orang sepenuhnya tahu bagaimana cara berkomunikasi.
Menurut Widjaja (2000), unsur-unsur yang terdapat dalam setiap proses komunikasi
terdiri dari :
a.2.1.1 Sumber Pesan
Adalah dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan dan digunakan dalam
rangka memperkuat pesan itu sendiri.
a.2.1.2 Komunikator
Adalah orang atau kelompok yang menyampaikan pesan kepada orang lain,
yang meliputi penampilan, penguasaan masalah dan penguasaan bahasa.
a.2.1.3 Komunikan
Adalah orang yang menerima pesan.
a.2.1.4 Pesan
Adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator, dimana
pesan ini mempunyai pesan yang sebenarnya menjadi pengarah dalam usaha
mencoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Adapun unsur-unsur
Universitas Sumatera Utara
yang terdapat dalam pesan meliputi : cara penyampaian pesan, bentuk pesan
(informatif, persuasif, koersif), merumuskan pesan yang mengena (umum,
jelas, gamblang, bahasa jelas, positif, seimbang, sesuai dengan keinginan
komunikan).
a.2.1.5 Media
Adalah sarana yang digunakan komunikator dalam penyampaian pesan agar
dapat sampai pada komunikan, meliputi media umum dan media massa.
a.2.1.6 Efek
Adalah hasil akhir dari suatu komunikasi, yakni apabila sikap dan tingkah
laku orang lain itu sesuai, maka komunikasi dianggap berhasil dan demikian
sebaliknya.
Tujuan komunikasi keorganisasian antara lain untuk memberikan informasi, baik
kepada pihak luar maupun pihak dalam, memanfaatkan umpan balik dalam rangka
proses pengendalian manajemen, mendapatkan pengaruh, alat untuk memecahkan
persoalan untuk pengambilan keputusan, mempermudah perubahan-perubahan yang
akan dilakukan, mempermudah pembentukan kelompok-kelompok kerja serta dapat
dijadikan untuk menjaga pintu keluar masuk dengan pihak-pihak luar organisasi.
(Umar,2002).
Arah komunikasi di dalam suatu organisasi menurut Umar (2002) antara lain :
a.2.2.1 Komunikasi ke bawah, yaitu dari atasan ke bawahan, yang dapat berupa
pengarahan, perintah, indoktrinasi maupun evaluasi. Medianya bermacam-
macam seperti memo, telephon, surat dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
a.2.2.2 Komunikasi ke atas, yaitu komunikasi dari bawahan ke atasan. Fungsi
utamanya adalah mencari dan mendapatkan informasi tentang aktivitas-
aktivitas dan keputusan-keputusan yang meliputi laporan pelaksanaan kerja,
saran serta rekomendasi, usulan anggaran, pendapat-pendapat, keluhan-
keluhan, serta permintaan bantuan. Medianya biasanya adalah laporan baik
secara tertulis atau nota dinas.
a.2.2.3 Komunikasi ke samping, yaitu komunikasi antar anggota organisasi
yang setingkat. Fungsi utamanya adalah melakukan kerja sama dan proaktif
pada tingkat mereka sendiri, di dalam bagian, luar atau antar bagian lain yang
bertujuan untuk memecahkan berbagai masalah maupun menceritakan
pengalaman mereka dalam melaksanakan pekerjaannya.
a.2.2.4 Komunikasi ke luar, yaitu komunikasi antara organisasi dan pihak luar,
misalnya dengan pelanggan dan masyarakat pada umumnya. Organisasi
berkomunikasi dengan pihak luar dapat melalui bagian Public Relations atau
media iklan lain.
Menurut Cummings (Umar,2002), dalam berkomunikasi ada caranya tersendiri.
Untuk mengkomunikasiskan ke bawah, hal-hal pokok yang perlu dikuasai oleh atasan
adalah :
a.2.3.1 Memberikan perhatian penuh kepada bawahan.
a.2.3.2 Menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka.
a.2.3.3 Mendengarkan dengan umpan balik.
a.2.3.4 Memberikan waktu yang cukup.
Universitas Sumatera Utara
a.2.3.5 Menghindari kesan memberikan persetujuan maupun penolakan.
Untuk berkomunikasi ke atas, bawahan dapat melakukan cara-cara berkomunikasi
berikut ini :
a.2.4.1 Melaporkan segera setiap perubahan yang dihadapi.
a.2.4.2 Menyusun informasi sebelum dilaporkan.
a.2.4.3 Memberikan keterangan selengkapnya jika atasan memiliki waktu.
a.2.4.4 Mengajukan fakta bukan perkiraan.
a.2.4.5 Melaporkan juga perihal sikap, produktifitas, moral kerja atau persoalan
khusus yang dihadapi bawahan.
a.2.4.6 Menghindari penyebaran informasi yang salah.
a.2.4.7 Meminta nasehat kepada atasan mengenai cara-cara yang sulit diatasi
sendiri oleh bawahan.
Secara umum George C.Edward III membahas tiga hal yang penting dalam
proses komunikasi kebijakan (Winarno,B,2002) yaitu :
a.2.5.1 Transmisi adalah mereka yang melaksanakan keputusan, harus mengetahui
apa yang harus dilakukan. Keputusan dan perintah harus diteruskan kepada
personil yang tepat sebelum keputusan dan perintah itu diikuti. Komunikasi
harus akurat dan mudah dimengerti. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan harus disampaikan kepada kelompok sasaran (target) sehingga akan
mengurangi dampak dari implementasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
a.2.5.2 Kejelasan
Jika kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka
petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para
pelaksana, akan tetapi komunikasi harus jelas juga. Ketidakjelasan pesan
komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan dan
akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin
bertentangan dengan makna pesan awal.
a.2.5.3 Konsistensi
Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-
perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah
yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur
kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut
tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankaan tugasnya
dengan baik.
a.3 Faktor Disposisi (sikap)
Disposisi diartikan sebagai sikap para implementor untuk
mengimplementasikan kebijakan. Dalam implementasi kebijakan menurut
George C.Edward III, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para
implementor tidak hanya harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan dan mempunyai kemampuan untuk mengimplementasikan
kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk
mengimplementasikan kebijakan tersebut (Agustino,2006)
Universitas Sumatera Utara
Disposisi sebagaimana yang dijelaskan oleh Subarsono (2005) adalah
watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti kejujuran,
komitmen, sifat demokratis. Ketika implementor memiliki sifat atau
perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses
implementasi kebijakan tidak efektif. Disposisi oleh implementor ini
mencakup tiga hal penting yaitu :
a.3.1.1 Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan
memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan.
a.3.1.2 Kognisi, yaitu pemahaman para implementor terhadap
kebijakan yang dilaksanakan.
a.3.1.3 Intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang
dimiliki oleh setiap implementor.
a.4 Faktor Struktur Birokrasi
Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan
sudah mencukupi dan para implementor telah mengetahui apa dan
bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk
melakukannya, implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif,
karena terdapat ketidakefisienan struktur birokrasi yang ada. Kebijakan
yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang.
Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung
kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan
koordinasi yang baik.
Universitas Sumatera Utara
Menurut George C.Edward III terdapat dua karakteristik yang dapat
mendongkrak kinerja struktur birokrasi ke arah yang lebih baik, yaitu
dengan melakukan Standard Operating Prosedure (SOP) dan
melaksanakan fragmentasi.
a.4.1 Standard Operating Prosedure (SOP) adalah suatu kegiatan rutin
yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan untuk
melaksanakan berbagai kegiatannya setiap hari sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Struktur organisasi yang terlalu
panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan
menimbulkan red-tape, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan
kompleks. Hal ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas
organisasi tidak fleksibel.
a.4.2 Fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-
kegiatan dan aktivitas-aktivitas pegawai di antara beberapa unit.
b. Teori Merilee S. Grindle (1980)
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S.Grindle (Wibawa,1994) yang
menjelaskan bahwa implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu isi
kebijakan dan lingkungan (konteks) implementasi, kedua hal tersebut harus didukung
oleh program aksi dan proyek individu yang didesain dan dibiayai berdasarkan tujuan
kebijakan, sehingga dalam pelaksanaan kegiatan akan memberikan hasil berupa
dampak pada masyarakat, individu dan kelompok serta perubahan dan penerimaan
Universitas Sumatera Utara
oleh masyarakat terhadap kebijakan yang terlaksana. Variabel isi kebijakan menurut
Grindle mencakup beberapa indikator yaitu :
b.1.1 Kepentingan kelompok sasaran atau target group yang termuat dalam isi
kebijakan.
b.1.2 Jenis manfaat yang diterima oleh target group.
b.1.3 Derajat perubahan yang diharapkan dari sebuah kebijakan.
b.1.4 Letak pengambilan keputusan.
b.1.5 Pelaksana program telah disebutkan dengan rinci.
b.1.6 Dukungan oleh sumber daya yang dilibatkan.
Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup 3 indikator yaitu :
b.2.1 Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para
aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan.
b.2.2 Karakteristik lembaga dan rejim yang sedang berkuasa.
b.2.3 Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih
sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh
karenanya, tinggi-rendahnya intensitas berbagai pihak (politisi, pengusaha,
masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya ) dalam implementasi kebijakan akan
berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan.
c. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn
Menurut Meter dan Horn, ada 6 variabel yang memengaruhi kinerja implementasi
yaitu :
Universitas Sumatera Utara
c.1 Standar dan Sasaran Kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
direalisasikan.
c.2 Sumber Daya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia
(human resources) maupun sumber daya non manusia (non human resources).
c.3 Hubungan Antar Organisasi
Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan
koordinasi dengan instansi lain.
c.4 Karakteristik Agen Pelaksana
Karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma
dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan
memengaruhi kemauan untuk melaksanakan kebijakan dan intensitas disposisi
implementor yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
d. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining
Dalam pandangan Weimer dan Vining ada tiga kelompok variabel besar yang
dapat memengaruhi keberhasilan implementasi suatu program yaitu :
d.1 Logika dari suatu Kebijakan
Ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal dan mendapat
dukungan teoritis.
d.2 Lingkungan tempat kebijakan tersebut dioperasikan akan memengaruhi
keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Yang dimaksud lingkungan dalam hal
Universitas Sumatera Utara
ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam dan fisik atau
geografis.
d.3 Kemampuan Implementor
Keberhasilan suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan
ketrampilan dari implementor kebijakan.
2.1.6. Analisa Kebijakan Publik
Analisa kebijakan adalah aktifitas menciptakan pengetahuan tentang dan
proses pembuatan kebijakan. Disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan
berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan
mentransformasikan informasi yang policy relevant untuk memecahkan masalah
kebijakan (Dunn,2003). Menurut William N.Dunn bentuk analisa kebijakan adalah
sebagai berikut :
a. Analisa kebijakan prospektif yaitu bentuk analisa yang mengarahkan sebelum
aksi kebijakan mulai diimplementasikan. Bentuk ini melibatkan teknik-teknik
peramalan untuk memprediksikan kemungkinan yang timbul akibat kebijakan
yang akan dilaksanakan.
b. Analisa kebijakan retrospektif yaitu bentuk analisa yang menjelaskan sebagai
penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Bentuk
ini bersifat evaluatif, karena melibatkan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang
sedang ataupun yang telah dilaksanakan.
c. Analisa kebijakan terintegrasi yaitu bentuk analisa yang mengkombinasikan gaya
operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi
Universitas Sumatera Utara
informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan. Bentuk ini melibatkan teknik
peramalan maupun evaluasi terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan.
2.1.7. Kebijakan Kesehatan
Kebijakan Kesehatan (Health Policy) adalah segala sesuatu untuk memengaruhi
faktor–faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan
masyarakat dan bagi seorang dokter, kebijakan merupakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan layanan kesehatan (Walt, 1994).
Sektor kesehatan merupakan bagian penting dari perekonomian di berbagai negara.
Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan digambarkan sebagai spons
yang dapat menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga
kesehatan. Ada juga yang berpendapat bahwa sektor kesehatan merupakan
pembangkit perekonomian melalui inovasi dan investasi di bidang teknologi
biomedis serta produksi dan penjualan obat-obatan. Sebagian masyarakat selalu
mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien dengan memanfaatkan rumah sakit,
klinik atau apotik, begitu juga dengan profesi kesehatan. Kesehatan juga dipengaruhi
oleh masalah sosial lainnya seperti kemiskinan. Karena pengambilan keputusan
kesehatan berkaitan dengan kematian dan keselamatan, maka masalah kesehatan
ditempatkan pada posisi yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial
lainnya.
2.1.8 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Kesehatan
Menurut Leichter (Buse, 2009), faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan
kesehatan adalah :
Universitas Sumatera Utara
a. Faktor Situasional
Faktor yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan
(contoh: kekeringan)
b. Faktor Struktural
Faktor ini meliputi :
b.1 Sistem politik yaitu mencakup keterbukaan sistem dan kesempatan bagi
warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan
kebijakan (contohnya : warga masyarakat diminta pendapatnya tentang
kebijakan BBM bersubsidi).
b.2 Bidang ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja (contohnya : negara
dapat memindahkan tenaga profesional ke daerah yang kurang tenaga).
b.3 Kondisi demografi atau kemajuan teknologi (contohnya : akibat kemajuan
teknologi mengakibatkan pertambahan jumlah wanita hamil yang
melahirkan secara caesar ).
b.4 Kekayaan suatu negara akan berpengaruh kuat terhadap jenis layanan
kesehatan.
c. Faktor budaya yaitu faktor yang dapat berpengaruh seperti hirarki, gender, stigma
terhadap penyakit tertentu.
d. Faktor Internasional atau eksogen yaitu faktor yang menyebabkan meningkatnya
ketergantungan antar negara dan memengaruhi kemandirian dan kerja sama
internasional dalam kesehatan (contoh : Program Pemberantasan Penyakit Polio).
Universitas Sumatera Utara
2.1.9 Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan
Gambar 2.1 Segitiga Analisis Kebijakan
Gambar 2.1 Segitiga Analisis Kebijakan
Sumber : Walt and Gilson (1994)
Keuntungan analisis kebijakan adalah dapat menjelaskan mengenai apa dan
bagaimana hasil (outcome) kebijakan akan dicapai, model kebijakan di masa depan
dapat dirancang sehingga mudah dalam mengimplementasikan kebijakan secara lebih
efektif. Penggunaan analisis kebijakan dapat dilihat contohnya dalam analisis
kebijakan penentuan tarif untuk meningkatkan efisiensi di pelayanan kesehatan,
dimana konteksnya terdiri dari kondisi ekonomi, ideologi dan budaya. Konten
Aktor/Pelaku: Individu Pelaku Organisasi
Konteks
Isi/ Konten
Proses
Universitas Sumatera Utara
(isinya) menjabarkan apa tujuan yang ingin dicapai dan apakah ada pengecualian
terhadap tarif yang diberlakukan ? Aktor (pelaku) dalam kebijakan ini adalah siapa
yang mendukung dan menolak kebijakan tarif tersebut ? Analisis prosesnya yaitu
bagaimana pendekatan dilakukan, apakah secara top-down atau bottom up ?
Bagaimana kebijakan ini akan dikomunikasikan?
2.2. Eliminasi Filariasis
2.2.1. Program Eliminasi Filariasis
Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009, maka
dipandang dari sudut :
a. Tujuan
a.1 Tujuan Umum
Filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada
tahun 2020.
a.2 Tujuan Khusus
a.2.1 Menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang
dari 1% di setiap kabupaten/kota.
a.2.2 Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis.
Universitas Sumatera Utara
b. Pengertian
b.1 Eliminasi filariasis
Adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis di tengah -
tengah masyarakat sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi
masalah kesehatan masyarakat.
b.2 Pengobatan massal filariasis
Pemberian obat kepada semua penduduk di daerah endemis filariasis
dengan DEC (diethylcarbamazine citrate), albendazol dan paracetamol
sesuai takaran, setiap tahun minimal selama 5 tahun berturut-turut, yang
bertujuan untuk menghilangkan sumber penularan dan memutuskan mata
rantai penularan filariasis di daerah.
b.3 Tatalaksana kasus filariasis
Pengobatan dan perawatan penderita klinis filariasis yang bertujuan
untuk mematikan cacing filaria serta mencegah dan membatasi kecacatan.
Perawatan penderita lebih ditekankan pada perawatan mandiri dan seumur
hidup.
c. Kebijakan
c.1 Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional program
pemberantasan penyakit menular.
c.2 Melaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia dengan menerapkan
Program Eliminasi Filariasis Limfatik Global dari WHO, yaitu
Universitas Sumatera Utara
memutuskan rantai penularan filariasis serta mencegah dan membatasi
kecacatan.
c.3 Satuan lokasi pelaksanaan (implementation unit) eliminasi filariasis adalah
kabupaten/kota.
c.4 Mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, provinsi dan negara.
2.2.2. Strategi Eliminasi Filariasis di Indonesia
a. Strategi Nasional
Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun
2009, strategi yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka mencapai
eliminasi filariasis adalah :
a.1 Memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di
daerah endemis filariasis.
a.2 Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis
filariasis.
a.3 Pengendalian vektor secara terpadu.
a.4 Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara.
a.5 Memperkuat surveilans dan mengembangkan penelitian.
b. Kegiatan Pokok
Untuk merealisasikan strategi eliminasi filariasis tersebut, maka
dilaksanakanlah berbagai kegiatan yaitu :
b.1 Meningkatkan promosi
Universitas Sumatera Utara
b.1.1 Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat,
perorangan atau lembaga kemasyarakatan, agar berperan aktif
dalam upaya eliminasi filariasis antara lain :
b.1.1.1 Penderita klinis filariasis bersedia memeriksakan diri ke
unit pelayanan kesehatan serta mampu merawat anggota
tubuh yang sakit.
b.1.1.2 Anggota masyarakat melaksanakan pengobatan filariasis
secara teratur, minimal 5 tahun berturut-turut.
b.1.1.3 Anggota masyarakat, perorangan atau berkelompok
berperan aktif dalam upaya eliminasi filariasis di
daerahnya. Masyarakat membentuk relawan
filariasis di tempat tinggalnya, baik relawan dalam
perawatan penderita klinis kronis filariasis,
pengobatan massal filariasis, maupun dalam
rangka pemantauan kinerja program filariasis di
daerahnya.
b.1.1 Pengembangan pesan promosi yang mendukung peningkatan
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam upaya eliminasi
filariasis yaitu :
b.1.2.1 Mengidentifikasi dan menentukan sasaran promosi.
b.1.2.2 Menentukan metode promosi yang tepat.
b.1.2.3 Merancang dan menggandakan bahan-bahan promosi
Universitas Sumatera Utara
b.2 Mengembangkan sumber daya manusia filariasis
b.2.1 Memperkuat kemampuan sumber daya manusia dalam
penyelenggaraan program eliminasi filariasis, baik melalui
pendidikan, pelatihan, sosialisasi, distribusi informasi dan
penyelenggaraan seminar eliminasi filariasis.
b.2.2 Prioritas pendidikan dan pelatihan tenaga profesional adalah
tenaga pelaksana eliminasi filariasis, tenaga epidemiologi,
tenaga entomologi, serta tenaga mikroskopis di pusat dan di
daerah.
b.3 Menyempurnakan Tata Organisasi
b.3.1 Pembentukan Task Force eliminasi filariasis atau kelompok
kerja eliminasi filariasis di pusat dan di daerah.
b.3.2 Pengembangan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor.
b.3.3 Penyempurnaan pedoman pelaksanaan Program Eliminasi
Filariasis.
b.3.4 Mendorong terbentuknya lembaga swadaya masyarakat
(LSM) peduli filariasis.
b.4 Meningkatkan Kemitraan
b.4.1 Inventarisasi dan merumuskan kerjasama lembaga mitra.
b.4.2 Memprioritaskan kerjasama antara Program Eliminasi
Filariasis dengan program pemberantasan kecacingan, kusta,
pengendalian vektor dan program lain yang dapat
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan efisiensi dan efektifitas Program Eliminasi
Filariasis.
b.4.3 Menentukan skala prioritas kerjasama antar sektor pada
program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) terutama dalam
rangka penemuan kasus dan pengobatan massal serta lembaga
mitra pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan, media
massa dan lain sebagainya.
b.4.4 Melakukan kerjasama dengan lembaga donor nasional dan
internasional serta dunia usaha.
b.5 Meningkatkan Advokasi
b.5.1 Meningkatkan advokasi para penentu kebijakan untuk
mendapatkan dukungan komitmen, tersusunnya peraturan
perundangan, serta terlaksananya program eliminasi
filariasis dengan dukungan anggaran, sumber daya manusia,
dan sarana penunjang lainnya yang memadai serta penggerakan
semua potensi yang ada di pusat dan di daerah.
b.5.2 Prioritas advokasi pada para menteri dan pimpinan lembaga
pemerintah terkait, gubernur, bupati, walikota, DPR, DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota, badan dan dinas terkait di
provinsi dan di kabupaten/kota, komisi kesehatan di
provinsi dan di kabupaten/kota, pimpinan lembaga sosial
Universitas Sumatera Utara
kemasyarakatan, dunia usaha, media massa dan lembaga
donor.
b.6 Pemberdayaan Masyarakat
b.6.1 Menumbuhkembangkan norma kemasyarakatan yang berdaya
guna dan mandiri dalam upaya eliminasi filariasis.
b.6.2 Mengutamakan pemberdayaan masyarakat dalam penemuan
dan perawatan penderita klinis filariasis serta pelaksanaan
pengobatan massal filariasis dengan sasaran prioritas
pemberdayaan adalah penderita dan keluarganya, tokoh
masyarakat, guru, tenaga kesehatan, penyandang dana lokal
dan masyarakat luas.
b.7 Memperluas Jangkauan Program
b.7.1 Melaksanakan tahapan kegiatan eliminasi filariasis agar
tercapai tujuan eliminasi filariasis tahun 2020.
b.7.2 Memperluas jangkauan program eliminasi filariasis dengan
pendekatan kepulauan, pendekatan lintas batas administrasi
pemerintahan dan pendekatan kawasan edipemiologi filariasis.
b.7.3 Melaksanakan upaya pengendalian vektor secara terpadu
terutama dengan Program Pemberantasan Malaria dan Demam
Berdarah Dengue.
Universitas Sumatera Utara
b.8 Memperkuat Sistem Informasi Strategis
b.8.1 Mengembangkan sistem surveilans eliminasi filariasis
yang mampu mendukung perencanaan, pengendalian dan
evaluasi program eliminasi filariasis.
b.8.2 Mengembangkan sistem surveilans eliminasi filariasis
kabupaten/kota yang terintegrasi dalam sistem surveilans
eliminasi filariasis provinsi dan nasional serta sistem
surveilans epidemiologi kesehatan.
b.8.3 Meningkatkan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi
elektromedia.
2.2.3. Langkah-langkah Eliminasi Filariasis
Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun
2009, langkah-langkah eliminasi filariasis adalah sebagai berikut :
a. Pentahapan Kabupaten/Kota
Program eliminasi filariasis di kabupaten/kota melalui tahapan penemuan kasus
kronis filariasis, pemetaan endemisitas filariasis kabupaten/kota, penetapan data
dasar sebelum pengobatan filariasis, pengobatan massal filariasis,
penatalaksanaan kasus klinis filariasis, monitoring dan evaluasi, sertifikasi
eliminasi filariasis.
a.1 Penemuan Kasus Klinis Filariasis
Setiap kabupaten/kota mengumpulkan data kasus klinis filariasis yang
dilakukan pemutakhiran secara teratur setiap akhir tahun. Data ini
Universitas Sumatera Utara
merupakan data dasar penetapan endemisitas daerah, lokasi survei data
dasar (baseline survey), penetapan prioritas daerah pelaksana kegiatan
penatalaksanaan kasus klinis filariasis dan evaluasi Program Eliminasi
Filariasis. Secara operasional, penemuan kasus klinis filariasis
dilaksanakan oleh puskesmas dengan melaksanakan kegiatan:
a.1.1 Kampanye penemuan dan penatalaksaan kasus klinis filariasis.
a.1.2 Mendorong penemuan dan pelaporan kasus oleh masyarakat, kepala
desa, PKK, guru dan pusat-pusat pelayanan kesehatan.
a.1.3 Pemeriksaan dan penetapan kasus klinis filariasis.
a.1.4 Perekaman dan pelaporan data kasus klinis filariasis.
a.2 Penentuan Endemisitas Filariasis di Kabupaten/Kota
Daerah endemis filariasis menjadi prioritas penyelenggaraan eliminasi
filariasis di kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Penentuan endemisitas
filariasis di kabupaten/kota dapat dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :
a.2.1 Kabupaten/kota yang memiliki kasus klinis filariasis, melaksanakan
survei mikrofilaria (survei darah jari) di desa dengan jumlah kasus
klinis filariasis terbanyak. Microfilaria rate 1% atau lebih merupakan
indikator sebagai kabupaten/kota endemis filariasis.
a.2.2 Kabupaten/kota yang terdapat kasus klinis filariasis, berdekatan atau
berada di antara dua daerah endemis filariasis dan memiliki geografi
serta budaya masyarakat yang kurang lebih sama dengan daerah
Universitas Sumatera Utara
endemis filariasis ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis
filariasis.
a.2.3 Penentuan kabupaten/kota endemis ditetapkan dengan keputusan
gubernur.
a.3 Survei Data Dasar Sebelum Pengobatan Massal Filariasis
Kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis
filariasis dan akan melaksanakan pengobatan massal, perlu melakukan
survei data dasar di minimal 2 desa berdasarkan jumlah kasus klinis
terbanyak.
a.4 Persiapan Pelaksanaan POMP Filariasis
Sebelum kegiatan pelaksanaan POMP filariasis dilakukan, maka
dilakukan kegiatan persiapan yaitu :
a.4.1 Advokasi/sosialisasi di kabupaten
a.4.2 Rapat koordinasi di kabupaten/kota
a.4.3 Sosialisasi di puskesmas
a.4.4 Distribusi obat sampai puskesmas
a.4.5 Pendataan sasaran
a.4.6 Training kader
a.4.7 Packing obat sesuai sasaran
a.4.8 Penyediaan bahan promosi (spanduk, kartu pengobatan, poster,
flyer)
Universitas Sumatera Utara
a.5 Pelaksanaan POMP Filariasis
Pengobatan massal dilakukan pada semua penduduk kabupaten/kota,
sekali setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut. Pengobatan massal
dapat dilakukan serentak pada seluruh wilayah kabupaten/kota, atau secara
bertahap per kecamatan sesuai dengan kemampuan daerah dalam
mengalokasikan anggaran daerah untuk kegiatan pengobatan
massal.Pengobatan massal secara bertahap harus dapat diselesaikan di
seluruh wilayah kabupaten/kota dalam waktu 5-7 tahun agar reinfeksi tidak
terjadi.
a.6 Monitoring dan Evaluasi
a.6.1 Monitoring cakupan pengobatan massal dilaksanakan setiap tahun
setelah pengobatan massal.
a.6.2 Survei cakupan pengobatan massal dilakukan setelah pelaksanaan
pengobatan massal tahun pertama.
a.6.3 Survei evaluasi prevalensi mikrofilaria dilaksanakan sebelum
pengobatan tahun ketiga dan kelima.
a.7 Sertifikasi Eliminasi Filariasis
Sertifikasi dilakukan setelah pengobatan massal tahun kelima. Sertifikasi
adalah penilaian untuk menentukan apakah kabupaten/kota telah berhasil
mengeliminasi filariasis.
Universitas Sumatera Utara
a.8 Penatalaksanaan Kasus Klinis
Penatalaksanaan kasus klinis dilakukan terhadap semua kasus klinis yang
ditemukan untuk mencegah dan membatasi kecacatan. Penatalaksanaan
kasus dilakukan dengan pemberian obat dan perawatan.
a.9 Penatalaksanaan Kasus Asimptomatis
Setiap orang sehat yang ditemukan mikrofilaria dalam darahnya mendapat
pengobatan yang memadai agar tidak menderita klinis filariasis dan tidak
menjadi sumber penularan terhadap masyarakat sekitarnya.
a.10 Pengendalian Vektor
Pengendalian nyamuk sebagai vektor penular filariasis dilaksanakan untuk
memutus rantai penularan. Dilaksanakan secara terpadu dengan
pengendalian vektor lainnya.
b. Pentahapan Provinsi
b.1 Provinsi bertugas untuk menentukan endemitas filariasis semua
kabupaten/kota yang ada di wilayahnya yang diharapkan selesai tahun 2006.
b.2 Provinsi mendorong perluasan pelaksanaan eliminasi filariasis, sehingga
semua kabupaten/kota endemis filariasis melaksanakan program eliminasi.
Pada tahun 2014, diharapkan semua kabupaten/kota endemis filariasis telah
selesai melaksanakan pengobatan massal.
b.3 Melaksanakan kerjasama lintas batas kabupaten/kota.
Universitas Sumatera Utara
c. Pentahapan Nasional
c.1 Mendorong perluasan jangkauan program ke seluruh provinsi.
c.2 Mendorong kerjasama lintas batas antar provinsi.
c.3 Mendorong kerjasama lintas batas dengan negara lain.
c.4 Pada tahun 2014, diharapkan semua kabupaten/kota endemis filariasis telah
melaksanakan pengobatan massal filariasis tahun kelima.
c.5 Pra sertifikasi eliminasi filariasis dilakukan pada tahun 2015-2020.
Berikut ini ditampilkan skema proses eliminasi filariasis di kabupaten/kota :
Gambar 2.2 Skema Proses Eliminasi Filariasis di Kabupaten/Kota
Universitas Sumatera Utara
Agenda eliminasi filariasis Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.1. Untuk
melaksanakan pengobatan massal filariasis terhadap lebih dari 60 juta penduduk
Indonesia yang tinggal di daerah endemis filariasis, mengacu pada agenda yang telah
ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan RI.
Tabel 2.1. Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia
Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia Kegiatan Tahun
01 02 03 04 05 06 07 08 09 .. 13 14 .. 20 Persiapan x x x x x Pemetaan Kab/Kota x x x x x Pengobatan Massal x x x x x x x x x x x Evaluasi Cakupan MDA x x x x x x x x x x x Evaluasi prevalensi Mf x x x x x x x x x Pengobatan selektif x x x x x x x x x x x x x Tatalaksana Kasus x x x x x x x x x x x x x Sertifikasi x x
d. Pendekatan Perluasan Program
Pendekatan ini perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya reinfeksi daerah yang
sudah eliminasi.
d.1 Pendekatan kepulauan
Perluasan jangkauan program eliminasi filariasis dilakukan dengan
mengutamakan pelaksanaan pengobatan massal secara serentak pulau-
perpulau.
d.2 Pendekatan lintas batas
Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan daerah yang
berbatasan langsung dengan daerah yang sedang melaksanakan pengobatan
massal.
Universitas Sumatera Utara
d.3 Pendekatan blok
Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan blok-perblok daerah
yang mempunyai kesamaan geografis, budaya, mobilitas penduduk atau
secara epidemiologis mudah terjadi penularan.
2.2.4. Sumber Dana dan Sarana Eliminasi Filariasis
Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009,
pemerintah pusat dan daerah menggalang setiap sumber pendanaan pemerintah,
lembaga kemasyarakatan, kerjasama antar negara dan lembaga internasional.
1. Sumber pendanaan pelaksanaan pengobatan massal filariasis
a. Biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal filariasis di
kabupaten/kota, puskesmas dan penggerakan masyarakat bersumber dari
alokasi anggaran di kabupaten/kota dan kerjasama di kabupaten/kota.
b. Pengadaan obat-obatan dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis
bersumber dari pemerintah (Departemen Kesehatan) untuk obat DEC dan
paracetamol dan Badan Kesehatan Dunia WHO untuk obat albendazole.
c. Alokasi anggaran dan pelaksanaan pengobatan selektif, penatalaksanaan
reaksi pengobatan massal filariasis, bersumber dari anggaran pemerintah
kabupaten/kota.
d. Pemetaan, survei cakupan pengobatan massal dan survei evaluasi prevalensi
mikrofilaria bersumber dari alokasi anggaran pemerintah provinsi.
Universitas Sumatera Utara
b. Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis
Biaya operasional dan logistik obat serta sarana penunjang lainnya bersumber dari
alokasi anggaran pemerintah kabupaten/kota.
2.2.5. Indikator Kinerja
Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009,
indikator kinerja eliminasi filariasis ada 2 yaitu :
a. Persentase kabupaten endemis menjadi tidak endemis
= ( Jumlah kab/kota eliminasi filariasis pada akhir tahun tertentu / Jumlah
kab/kota endemis filariasis sebelum program eliminasi filariasis dilaksanakan
pada tahun yang sama ) x 100 %
Kab/kota endemis filariasis adalah kab/kota yang memiliki microfilaria rate >= 1
%, dan kab/kota eliminasi filariasis adalah apabila hasil evaluasi tahun ke 5
menunjukkan microfilaria rate < 1 %.
b. Kasus klinis yang ditangani per tahun (> 90 %)
b.1 Persentase kasus klinis yang ditangani per tahun = (jumlah kasus klinis
filariasis yang ditangani pada tahun tertentu / jumlah kasus klinis yang tercatat
pada tahun yang sama) x 100 %
b.2 Jumlah limfedema yang ditangani per tahun
b.3 Jumlah hidrokel yang dioperasi per tahun
Secara skematis, eliminasi filariasis, strategi dan kegiatan pokok dapat
diperlihatkan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Skema Eliminasi Filariasis, Strategi dan Kegiatan Pokok
2.3. Landasan Teori
Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan.
Menurut George C. Edward III (Subarsono,2009) ada 4 faktor yang menentukan
keberhasilan implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi, sumber daya, disposisi
dan struktur birokrasi. Keempat faktor tersebut saling berhubungan dan saling
memengaruhi dalam proses implementasi. Hubungan faktor-faktor yang saling
memengaruhi tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini :
Gambar 2.4 Model Implementasi menurut George C. Edward III
Kegiatan Pokok : 1. Meningkatkan promosi 2. Mengembangkan sumber daya manusia filariasis 3. Menyempurnakan tata organisasi 4. Meningkatkan kemitraan 5. Meningkatkan advokasi 6.Memberdayakan masyarakat 7. Memperluas jangkauan program 8.Memperkuat sistem informasi strategis
Strategi : 1. Memutus rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis 2. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis 3. Pengendalian vektor secara terpadu 4. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara 5. Memperkuat surveilans dan penelitian
Eliminasi
Filariasis
Komunikasi
Sumber Daya Implementasi
Disposisi
Struktur Birokrasi
Universitas Sumatera Utara
2.4. Kerangka Berfikir
Berdasarkan landasan teori di atas, maka faktor-faktor yang memengaruhi
implementasi pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah
faktor komunikasi, sumber daya, disposisi, dan stuktur birokrasi.
Gambar 2.5 Kerangka Berfikir Penelitian
Komunikasi - Transmisi - Konsistensi - Kejelasan Sumber Daya - Instrumen Kebijakan - Alokasi Biaya/Anggaran - SDM - Ketersediaan Faskes Disposisi - Komitmen Implementor - Kejujuran Implementor - Sikap Demokratis Struktur Birokrasi - Struktur Organisasi - SOP - Koordinasi Berjenjang
Kebijakan Program Eliminasi
Filarisis
Implementasi Pelaksanaan
POMP Filariasis
Pencapaian Target
Cakupan POMP Filariasis
Universitas Sumatera Utara