BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA...
Transcript of BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA...
5
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. LANDASAN TEORI
Dalam skripsi ini, teori yang akan dibahas adalah mengenai e-procurement dan
balanced scorecard. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam dinamika
bisnis global yang kompetitif, teknologi berbasis internet merupakan keharusan. Perusahaan
menggunakan aplikasi teknologi informasi dengan internet yang disebut e-procurement
guna menunjang performa pengadaan barang dan jasa pada perusahaan yang akan diukur
dengan balanced scorecard. Berikut adalah teori-teori yang berhubungan dengan keduanya.
2.1.1. E-PROCUREMENT
E-procurement merupakan singkatan dari electronic procurement. Procurement
ini sendiri memiliki arti khusus, yaitu pengaukisisian suatu produk barang dan atau jasa
dengan kemungkinan terbaik atas total biaya kepemilikan, dalam kuantitas dan kualitas
yang tepat, di waktu yang tepat dan sumber daya yang tepat untuk keuntungan
langsung bagi perusahaan, atau individual secara umum via kontrak (wikipedia.com;
procurement). Procurement juga meliputi hampir semua keputusan pembelian termasuk
beberapa faktor seperti pengiriman dan penanganan, keuntungan marginal, dan
fluktuasi harga.
E-procurement biasa dikenal dengan istilah supplier exchenge. E-procurement
ini merupakan pembelian dan penjualan produk barang dan jasa untuk persediaan
dengan menggunakan teknologi internet atau sistem informasi dan jaringan lainnya
(seperti EDI – Electronic Data Interchange dan ERP – Enterprise Resource Planning)
secara business to business (B2B) atau business to consumer (B2C) (wikipedia; e-
procurement).
6
PENGERTIAN E-PROCUREMENT
Perusahaan dengan aneka industri menggunakan e-procurement untuk
meningkatkan efesiensi manajemen persediaan dan pengadaan produk barang dan
jasa dan untuk mengurangi biaya. E-procurement merupakan solusi teknologi yang
memfasilitasi pembelian perusahaan dengan menggunakan internet (Presutti 2003;
p:221). Menurut Min dan Gale tahun 2003 menjabarkan bahwa e-procurement
merupakan praktik pembelian business to business yang menggunakan sistem
electronic commerce untuk mengidentifikasikan penyedia barang dan jasa, yang
melakukan transfer pembayaran dan interaksi dengan penyedia barang dan jasa.
Secara umum situs e-procurement memperbolehkan penyedia barang/jasa
dan pengguna lain yang terdaftar untuk melihat pembeli dan penjual produk barang
kebutuhan dan jasa. Berdasarkan tujuan dari procurement, yaitu pengadaan produk
berupa barang dan jasa, maka dalam situs e-procurement biasanya pembeli dan
penjual barang-barang kebutuhan maupun jasa menspesifikasikan biaya dari produ-
produk tersebut hingga melakukan pelelangan (e-tendering) atau tawaran.
E-procurement juga dapat digunakan untuk pertimbangan kualifikasi
pelanggan untuk potongan harga dan tawaran spesial. Disamping itu juga dapat
mengautomisasikan pembelian dan penjualan dengan didukung oleh piranti
lunaknya. Jadi dapat dikatakan bahwa e-procurement diintergrasikan dengan trend
automiisasi dan komputerisasi supply chain management dimana softwarenya
mendukung untuk integrasi penyedia produk/jasa.
TUJUH TIPE E-PROCUREMENT
Mengacu pada wikipedia.com, dikatakan bahwa terdapat tujuh tipe utama
e-procurement , yaitu:
7
1. Web based ERP (Electronic Resource Planning): membuat dan menyetujui
rekuisisi pembelian, penempatan order pembelian dan menerima produk
dan jasa dengan menggunakan sistem piranti lunak berbasis internet.
2. E-MRO (Maintenance, Repair, and Overhaul): sama dengan poin nomor
satu dengan pengecualian bahwa produk dan jasa yang diadakan berkaitan
dengan pemeliharaan, perbaikan, dan pengecekan berkala.
3. E-sourcing: mengidentifikasikan leveransir baru untuk kategori produk yang
spesifik untuk pembelian kebutuhan yang menggunakan teknologi internet.
4. E-tendering: melakukan permintaan untuk informasi produk dan harga
kepada leveransir dengan menggunakan teknologi internet.
5. E-reverse auctioning: menggunakan teknologi internet untuk membeli
produk dan jasa dari sejumlah leveransir yang diketahui maupun yang
belum diketahui.
6. E-informing: mengumpulkan dan mendistribusikan informasi pembelian
produk dan jasa dari dan ke kelompok internal dan eksternal dengan
menggunakan teknologi internet.
7. E-marketsites: perluasan dari web based ERP untuk membuka lebih luas
rantai nilai. Komunitas pembeli dapat mengakses penyedia barang dan jasa
yang dipilih, memasukkannya ke kerangjang belanja, membuat rekuisisi,
mencari persetujuan, menerima PO (purchase orders) dan proses faktur
elektronik dengan integrasi ke rantai persedian penyedia dan sistem
keuangan pembeli.
PENGGERAK POTENSIAL ATAS PENERAPAN E-PROCUREMENT
Dalam penggunaan e-procurement di Indonesia saat ini, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi penerapan e-procurement dalam organisasi atau
8
perusahaan di Indonesia. Berikut adalah lima faktor utama yang mempengaruhi
penerpan e-procurement, yaitu (Hellen Walker dan Christine Harland, 2008):
1. Faktor Organisasional.
Yang muncul pertama dalam mempengaruhi penerapan e-
procurement adalah ukuran dan jenis kegiatan. Sistem e-procurement
lebih bagus digunakan dalam organisasi yang besar ketimbang
organisasi kecil. Small to Medium Enterprises (SMEs) sering mengalami
keterlambatan atau lag ketimbang penerapan pada perusahaan yang
besar (ISM-Information System Management/Forrester research, 2003).
Keterlambatan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti:
sikap pemilik perusahaan yang tidak mendukung teknoloogi, miskin
sumber daya, infrastruktur IT yang kurang memadai dan mahhal,
keterbatasan pengetahuan, minimnya keahlian dalam sistem informasi
(Harland dkk; 2007). Walaupun begitu, penerapan e-procurement tetap
dapat berjalan dalam SMEs dengan berbasis situs perusahaan korporasi
(Berlak dan Weber, 2004).
Beberapa tipe operasi organisasional terlihat menjangjikan
dengan menggunakan e-procurement. Penggunaan e-procurement
seriingkali digunakan untuk transaksi pengadaan secara berulang dari
penyedia barang/jasa, tanpa intervensi manusia dan kertas kerja dan
seringkali menghasilkan peningkatan efesiensi performa untuk pembeli
dan penyedia barang/jasa (Melvielle dkk, 2004; Sanders, 2005;
Subramani, 2004).
Rutinitas dan pengulanan dalam sistem pengadaan akan
mengingkatkan efesiensi dalam proses ini dan menghasilkan level yang
lebih tinggi dalam integrasi elektronik anatara pembeli dan penyedia
barang/jasa (Choudhury, 2008).
9
2. Faktor Kesiapan.
Kesiapan organisasi dan tekanan eksternal organisasi sangat
mempengaruhi strategi e-bisnis. Banyak perusahaan mengalami
beberapa masalah dalam mengimplementasikan proyek e-bisnis yang
berkaitan dengan keputusan yang tergesa-gesa, piranti lunak yang
tidak jelas, dan seringkali tidak ada dasar secara teoritis yang
mendeterminasikan aplikasi apa yang paling tepat (Cox, 2001). Untuk
mendapatkan keuntungan yang maksimal, pembelian harus dievaluasi
dan ditingkatkan sebelum diadaptasikan dengan aplikasi e-procurement
(Presutti, 2003)
3. Faktor Persediaan.
E-procurement lebih dapat dikatakan memberikan keuntungan
dalam penyebaran rantai persediaan menjadi lebih terintegrasi (Liao,
2003). Beda pemain dalam rantai persediaan berarti beda kekuatan,
legitimasi, dan kebutuhan dalam penggunaan e-procurement, dan e-
procurement dapat memberikan efek pada kepercayaan hubungan
rantai persediaan (Gattikar, 2007; Klein, 2007). Kurangnya bantuan dan
kelembaman struktural dari organisasi besar dalam rantai persediaan
dapat mengurangi rangsangan implementasi e-bisnis (Zhu, 2006).
Keuntungan terbaik dari e-bisnis terletak jika aplikasi
terintegrasi secara penuh sepanjang supply chain (Currie, 2000). E-
procurement lebih baik digunakan jika dirasa penyedia barang/jasa
memiliki kemampuan untuk berurusan dengan sistem ini; Hal ini
dikarenakan ada beberapa kesulitan dalam mengintegrasikan sistem
informasi melewati batasan-batasan perusahaan dalam rantai
persediaan jika penyedia tidak memiliki kemampuan yang mendukung
(Bagchi dan Skjoett-Larsen, 2003).
10
4. Faktor Strategik.
Perusahaan memungkinkan untuk menggunakan teknologi
elektroniik sebagai bagian untuk melengkapi strategi bisnisnya,
mendukung untuk meningkatkan performa perusahaan dan
meningkatkan keunggulan kompetitif. Penggunaan e-bisnis dalam
strategi telah dipertimbangkan dalam beberapa pembelajaran, dana
bagaimana strategi e-bisnis diselaraskan dengan keseluruhan strategi
perusahaan. Internet hanya akan menjadi sumber daya yang sangat
baik dalam keunggulan kompetitif jika diintegrasikan dengan strategi
perusahaan (Porter, 2001). E-bisnis strategi harus dispesifikasikan
dengan tujuan, dan konteks dari aplikasi (Soliman dan Youseff, 2001);
Pilihan ini harus sejalan dengan puluhan organisasi dan manajerial, dan
diintegrasikan dengan proses organisasi (Graham dan Gardaker, 2000).
Kesimpulannya, jika organisasi secara strategis menggunakan
e-procurement, mereka seharusnya memiliki spesifik strategi dalam
e-procurement, dan semua ini akan sejalan dengan strategi
organisasional yang lebih luas.
5. Faktor Kebijakan Hukum.
Procurement publik dapat digunakan untuk mendukung
kebijakan pemerintah yang lebih luas, baik penggunaan procurement
secara tradisional dan menggunakan elektronik. E-procurement dalam
ruang lingkup publik dapat dilihat dari alat kebijakan untuk mendukung
penyampaian kebijakan procurement publik, meningkatkan
transparansi, dan efesiensi (Carrayannis, dan Popescu, 2005; Croom
dan Brandon-Jones, 2005). E-procurement dapat membantu
pemerintah untuk menjalankan bisinisnya (dalam BUMN) dengan
11
mengurangi biaya transaksi, membuat keputusan lebih baik, dan lebih
bernilai (Panauioutou, dkk, 2004).
Jika dilihat kebijakan procurement publik saat ini, kebijakan
tersebut dapat digunakan untuk membantu perbaikan bermasyarakat.
Arrowsmith (1995) membuktikan dalam penelitiannya yang meng-
gambarkan bahwa pengeluaran pemerintah yang merupakan instrumen
dari kebijakan sosial dan industri menggunakan procurement dengan
penempatan kontrak untuk membantu tujuan pembangunan regional,
atau meningkatkan kompetitif industri untuk memproduksi suatu
produk dan jasa yang berkualitas dengan harga yang kompetitif.
2.1.2. BALANCED SCORECARD
Performa bisnis perusahaan sangatlah perlu dilakukan pengukuran, apalagi
dalam kondisi global saat ini yang serba cepat dan tidak menentu. Pengukuran
performa ini dapat dilihat melalui kinerja perusahaan tersebut terhadap bisnisnya
sehingga para pihak manajemen dapat menetapkan strategi yang tepat untuk
mengatasi masalah potensial yang ada di perusahaannya. Pengukuran itu sendiri
berarti suatu proses atau aktivitas perbandingan objek-objek tertentu dengan
memberikan bobot kepada objek tersebut dengan cara-cara tertentu.
Menurut Prof. Wahjudi Prakarsa, Ph. D; Ketua program Magister Akuntansi
Universitas Indonesia, mengatakan bahwa dalam era revolusi informasi seperti saat
ini, dunia usaha menghadapi perubahan lingkungan dengan karakteristik yang jauh
berbeda dari era sebelumnya. Dalam era revolusi informasi, keunggulan daya saing
suatu entitas usaha sangat tergantung pada kemampuannya untuk memobilisasi
dan mengeksploitasi sumber daya atau aset tak berwujud yang tidak mudah
dijabarkan dalam dimensi keuangan.
12
Dengan demikian, untuk meningkatkan mutu informasi dalam proses
perumusan dan implementasi strategi, diperlukan sistem informasi multidimensional
yang meliputi baik sistem informasi keuangan maupun non-keuangan. Untuk
mengkonversikan sistem informasi unidimensional menjadi sistem informasi
multidimensional, Kaplan dan Norton telah merancang suatu sistem pengukuran
komprehensif yang terkenal dengan sebutan balanced scorecard.
KELAHIRAN KONSEP BALANCED SCORECARD (BSC)
Ide tentang balanced scorecard pertama kali dipublikasikan dalam artikel
Robert S. Kaplan dan David P. Norton di Harvard Business Review tahun 1992
dalam sebuah artikel berjudul “Balanced Scorecard – Measures that Drive
Performance”. Artikel tersebut merupakan laporan dari serangkaian hasil riset dan
eksperimen terhadap beberapa perusahaan di Amerika serta diskusi rutin dua
bulanan dengan wakil dari berbagai bidang perusahaan sepanjang tahun itu untuk
mengembangkan suatu model pengukuran kinerja baru.
Dikatakan balanced scorecard karena ini menyeimbangkan penggunaan
dari finansial dan non finansial untuk mengevaluasi performa jangka pendek dan
jangka panjang dalam sebuah laporan (Horngern, Datar, & Foster, 2003 ; p:448).
Balanced scorecard berusaha menyediakan ukuran yang komprehensif atas ukuran
performa dari bisnis perusahaan kepada manajer (Hax & Majluf, 1996 ; p:41).
Balanced scorecard menerjemahkan misi dan strategi organisasi menjadi sebuah
ukuran performa/kinerja yang menyediakan kerangka untuk pengimplementasian
strategi (Kaplan & Norton, 1996 ; p:71).
Kaplan dan Norton menjelaskan pentingnya memilih tolok ukur berdasarkan
keberhasilan strategis dalam artikel keduanya, “Putting the Balanced Scorecard to
Work” (September – Oktober 1993). Membuat balanced scorecard harus dimulai
dari penerjemahan strategi dan misi perusahaan ke dalam sasaran dan tolok ukur
13
yang spesifik. Dalam per-kembangannya, balanced scorecard kemudian
berkembang untuk menghubungkan tolok ukur bisnis dengan strategi perusahaan.
Balanced scorecard adalah sebuah ukuran dan sistem manajemen yang
melihat performa/kinerja unit bisnis dari empat perspektif : finansial, pelanggan,
proses bisnis internal, dan pertumbuhan dan pembelajaran (Anthony, Banker,
Kaplan, dan Young, 1997 ; p:27). Melalui mekanisme sebab akibat, perspektif
keuangan menjadi tolok ukur utama yang dijelaskan oleh tolok ukur operasional
pada tiga perspektif lainnya sebagai driver (lead indicators).
BALANCED SCORECARD - SISTEM MANAJEMEN STRATEGIS
Blocher, Chen, dan Lin (1999) mendefinisikan manajemen strategis
sebagai: “Pembangunan yang menopang posisi kompetitif dimana kompetitif
perusahaan menunjang kesuksesan yang berkelanjutan”. Definisi yang lebih formal
dapat ditemukan dari definisi Pierce dan Robinson (1997) yang menyatakan bahwa
manajemen strategis pada dasarnya adalah: “kumpulan keputusan dan aksi yang
menghasilkan formulasi dan implementasi dari perencanaan yang didesain untuk
mencapai objektif perusahaan”.
Manajemen strategis biasanya dihubungkan dengan pendekatan
manajemen yang integratif yang mengedepankan secara bersama-sama seluruh
elemen, seperti: planning, implementing, dan controlling sebuah strategi bisnis.
Tujuan utama dari manajemen strategis adalah untuk mengiidentifikasi mengapa
dalam persaingan beberapa perusahaan bisa sukses sementara sebagian lainnya
mengalami kegagalan. Berdasarkan Charles Hill dan Gareth Jones (1998),
komponen utama proses manajemen strategis meliputi:
1. Misi dan tujuan utama organisasi;
2. Analisis lingkungan internal dan eksternal organisasi;
14
3. Pilihan strategi yang selaras dan sesuai antara kekuatan dan
kelemahan perusahaan dengan peluang dan ancaman lingkungan
eksternal;
4. Pengadopsian struktur organisasi dan sistem pengendalian untuk
mengimplementasikan strategi dan organisasi yang dipilih.
Perusahaan-perusahaan yang inovatif telah menggunakan BSC sebagai
sistem manajemen strategis untuk mengelola strategi mereka dalam jangka
panjang. Ketika perusahaan telah menyusun inisial BSC, mereka hharus segera
memasang scorecard tersebut ke dalam sistem manajemen. Para manajer di
Amerika percaya bahwa scorecard memungkinkan mereka untuk menjembatani gap
utama yang ada di perusahaan: antara pengembangan dan formulasi strategi
dengan proses implementasinya. Menurut Kaplan dan Norton (1996), dari
pengalaman mereka di lapangan ditemui penyebab eksistensi gap tersebut, yang
diuraikan ke dalam empat klasifikasi, yaitu :
1. Hambatan Visi;
Permasalahan ini kerap dialami perusahaan karena belum disepakatinya
bahasa baku untuk menejelaskan visi agar strategi dapat dipahami dan
dijalankan. Hambatan utamanya adalah berupa kesulitan untuk
mendapatkan konsensus tentang makna visi dan strategi itu sendiri.
Jikalau konsensus tersebut didapat, maka ketentuan selanjutnya adalah
bagaimana menjabarkan strategi tersebut ke dalam langkah nyata
untuk segenap elemen organisasi hingga ke level individu.
2. Hambatan Sumber Daya Manusia;
Permasalahan ini kerap terjadi ketika organisasi makin besar tetapi
tidak dilakukannya perencanaan strategi SDM agar tercipta keselarasan
antara tujuan, visi dan kompetensi individu dengan organisasi di setiap
tingkatan. Dengan sistem pengendalian yang tidak fokus pada strategi,
15
maka kompetisi antarkomponen yang terjadi dalam organisasi tidak
aana saling mendukung dalam pencapaian strategi organisasi.
3. Hambatan Operasi;
Dalam situasi dimana strategi tidak terhubung dengan baik ke
anggaran maka pencapaian individu dan organisasi menjadi tidak
selaras dengan sasaran strategis. Alokasi sumber daya lebih mengacu
pada keuntungan-keuntungan jangka pendek yaitu anggaran, dan
terpisah pada prioritas strategi jangka panjang. Era ini ditandai dengan
jamaknya penggunaan analisis varians dengan membandingkan kinerja
operasi aktual dengan anggaran; bukan membandingkannya dengan
pencapaian target-target strategi.
4. Hambatan Pembelajaran;
Survei yang dilakukan para penggegas BSC menemukan bahwa rata-
rata dari sepuluh perusahaan, hanya satu yang berhasil mengeksekusi
strateginya. Penyebab pertama adalah: strategi yang tidak actionable,
biasanya diakibatkan karena tidak adanya sosilisasi strategi. Dimana
manajemen perusahaan tidak mampu atau sama sekali tidak meng-
komunikasikan strateginya. Penyebab kedua adalah tidak adanya
hubungan antara sumber daya dan strategi, misalnya: anggaran. Di
Indonesia, banyak aktivitas lembaga pemerintah lebih dimaksudkan
mengkonsumsi anggaran – dalam arti, jika diakhir periode masih ada
anggaran yang masih sisa, maka anggaran tersebut akan dihabiskan
untuk konsumsi. Penyebab ketiga adalah kelemahan pembelajaran
strategis, adalah porsi pembahasan dan perbincangan tentang strategi
yang amat minim dibanding dengan evaluasi atas kinerja operasional.
Ini berarti, perusahaan tidak saja kehilangan momentum untuk
mengevaluasi efektivitas strateginya secara kontinyu, namun yang lebih
16
parah lagi, perusahaan bahkan tidak mampu membuat skenario
keunggulan perusahaan di masa mendatang.
Hambatan-hambatan eksekusi strategi tersebut diatas, dapat ditanggulangi
dengan mengintegrasikan BSC dalam sebuah strategic menagement system yang
baru. Untuk itu, Kaplan dan Norton memberikan jawaban atas masalah tersebut
berupa empat tahap yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk menggunakan
BSC yang mereka sebut sebagai empat komponen sistem manajemen strategis,
yaitu :
1. Memformulasikan dan mentransformasikan visi dan strategi per-
usahaan. Strategi adalah titik tolak atau referensi bagi keseluruhan
manajemen.
2. Mengkomunikasikan dan menghubungkan tujuan-tujuan dan tolok ukur
strategi. Seluruh sasaran perusahaan harus selaras dari manajemen
tingkat atas sampai individu paling bawah. Pendidikan dan komunikasi
yang terbuka tentang strategi adalah basis bagi pemberdayaan
pegawai.
3. Merencanakan, menyusun target-target, dan menyelaraskan inisiatif-
inisiatif strategis.
4. Mempertinggi umpan balik dan pembelajaran strategis.
HUBUNGAN BALANCED SCORECARD (BSC) DENGAN VISI, MISI DAN
STRATEGI PERUSAHAAN.
Sistem pengukuran kinerja harus dapat memotivasi para manajer dan
karyawan untuk mengimplementasikan strategi unit bisnisnya. Perusahaan yang
dapat menerjemahkan strateginya ke dalam pengukuran akan memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam menjalankan strategi tersebut. Kaplan dan Norton
17
menyatakan pentingnya penciptaan suatu scorecard yang mengkomunikasikan
suatu strategi unit bisnis sebagai berikut:
1. Scorecard mendeskripsikan visi organisasi untuk masa depan keselu-
ruhan organisasi. Dalam hal ini, scorecard memberikan pengertian atas
visi-visi yang dimiliki organisasi.
2. Scorecard membuat model holistik dari strategi yang membiarkan
semua pegawai melihat bagaimana mereka berkontribusi kepada
kesuksesan organisasi. Tanpa sebuah hubungan, idividual dan
departemen dapat mengoptimisasi performa lokalnya, tetapi tidak
berkontribusi dalam mencapai sasaran obejktifnya.
3. Scorecard fokus dalam merubah kinerja. Jika objektif/sasaran dan
ukuran dapat diidentifikasikan, implementasi memungkinkan untuk
tercapai. Jika tidak, maka investasi dan inisiatif akan terbuang.
Selanjutnya Kaplan dan Norton juga mengemukakan tiga prinsip yang
memungkinkan BSC organisasi terhubung dengan strategi, yaitu: cause and effect
relationships, performance drivers dan linkage to financial.
1. Cause and effect relationships
Menurut Kaplan dan Norton, sebuah strategi adalah
seperangkat hipotesis dalam model hubungan cause dan effect, yaitu
suatu hubungan yang dapat diiekspresikan melalui kaitan antara
pernyataan if-then. Pengembangan BSC yang baik harus dapat
menjelaskan rangkaian cerita dari seluruh Strategic Business Unit
(SBU). Melalui model hubungan ini pula, suatu strategi dapat
dianimasikan dan dikritisi bersama, baik sbelum, selama dan sesudah
dieksekusi. Pengujian terhadapa sekumpulan scorecard dapat dilakukan
dengan mudah karena tiap relasi dan hubungan kausalitas dapat diuji
secara rinci.
18
2. Performance drivers
Sebuah BSC yang baik harus memiliki bauran hasil yang memadai dan
pemicu kinerja yang digunakan oleh SBU.
3. Linkage to financial
Adanya kritik terhadap pengukuran kinerja berbasis lapiran keuangan
tidak lantas menghasilkan rekomendasi untuk membuang tolok ukur
keuangan. Keberhasilan perusahaan dalam pencapaian berbagai tujuan
seperti kualitas, kepuasan pelanggan, inovasi dan pemberdayaan
karyawan tidak akan memberikan perbaikan terhadap perusahaan
apabila hal tersebut hanya dianggap sebagai tujuan akir. Semua
pengukuran yang berkaitan dengan pencapaian tujuan keuangan
sebagai tujuan akhir.
BALANCED SCORECARD DAN SISTEM PENGUKURAN KINERJA BISNIS.
Anderson dan Clancy (1991) dalam bukunya “cost accounting”
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai respon balik dari akuntan kepada
manajemen yang terdiri dari informasi tentang sebaik apa suatu aksi
menrepresentasikan perencanaan. Pengukuran kinerja juga mengidentifikasikan
dimana seorang manajer memungkinkan untuk melakukan pengkoreksian atau
penyesuaian untuk perencanaan masa yang akan datang dan melakukan kontrol
aktifitas (Anderson dan Clancy, 1991 ; p:1008).
Dari definisi-definisi di atas dapat disampulkan bahwa pengukuran kinerja
adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam
rantai nilai yang ada pada perusahaan (Yuwono, 2003; p:23). Hasil pengukuran
tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan
informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di mana perusahaan
memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian.
19
Dalam sistem pengukuran kinerja tradisional, pengukuran kinerja dilakukan
dengan menetapkan secara tegas tindakan tertentu yang diharapkan akan
dilakukan oleh personel dan melakukan pengukuran kinerja untuk memastikan
bahwa personel melaksannakan tindakan sebagaimana diharapkan. Oleh karena
itulah timbul beberapa permasalahan dengan pengukuran kinerja, antara lain
(Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007; p:24) :
1. Besarnya skala perusahaan mempengaruhi integrasi fungsi-fungsi dan
semakin kompleksnya struktur organisasi yang berakibat pada jumlah
transaksi internal sehingga mekanisme harga menjadi kacau.
2. Perusahaan yang padat modal dengan berskala besar akan memiliki
banyak stakeholders yang berarti semakin mempersulit proses
deliberasi untuk menyepakati besarnya nilai akun dalam neraca dan
laporan laba rugi yang bukan berasal dari arms’ transactions, seperti
exit value, replacement cost, dsb.
3. Perusahaan yang padat modal dengan berskala besar menghasilkan
lebih dari satu jenis produk, sehingga pengukuran kinerja menjadi
semakin sulit dilakukan terutama dalam pengalokasian biaya overhead.
Dalama manajemen tradisional, pengukuran kinerja dilakukan dengan
menetapkan secara tegas tindakan tertentu yang diharapkan akan dilakukan ileh
personel dan melakukan pengukuran kinerja untuk memastikan bahwa personel
melaksanakan tindakan sebagaimana diharapkan. Sebaliknya, pengukuran kinerja
dalam zaman teknologi informasi, sebagaimana digunakan dalam BSC, bergeser
menuju pemotivasian personel untuk mewujudkan visi dan strategi organisasi
(Mulyadi & J. Setyawan, 1999; p:212-225).
Dengan persaingan yang kian turbulen, proses pengambilan keputusan
manajemen perlu didukung dengan sistem tolok ukur kinerja integratif, dimana
20
secara internal konsisten dengan visi, misi dan strategi perusahaan disertai
kemampuan umpan balik yang semakin cepat, serempak, dan simultan.
Untuk menanggapi peluang dan ancaman dalam persaingan yang sengit,
tolok ukur yang hanya mampu melaporkan secara agregatif result terminal dari
output akuntansi manajemen tradisional yang accountability-based, jelas sudah
tidak memadai (Wahjudi Prakarsa, 1997; p:65). Sejalan dengan sistem
pengendalian manajemen yang membedakan antara pengendalian strategi dan
pengendalian manajemen (K.A. Merchant, 1998), BSC juga merupakan sarana
pengukuran bagi kinerja strategi dan operasionalisasi strategi (action) melalui
lagging indicators dan lead indicators yang melintasi empat perspektif BSC yang
seimbang dan terkait secara kausal dari hilir ke hulu.
PENGUKURAN KINERJA – SYARAT DAN MANFAATNYA.
Dengan munculnya berbagai paradigma baru dimana bisnis harus
digerakkan dengan customer focused, suatu sustem pengukuran kinerja yang
efektif, paling tidak harus memeiliki syarat-syarat sebagai berikut (Wahjudi
Prakarsa, 1997; p:55):
a. Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan karakteristik organisasi
itu sendiri sesuai perspektif pelanggan;
b. Evaluasi atas berbagai aktivitas, menggunakan ukuran-ukuran kinerja
yang customer validated;
c. Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi
pelanggan, sehingga menghasilkan penilaian yang komprehensif;
d. Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh anggota organiasasi
mengenali masalah-maslaah yang ada kemungkinan perbaikan.
21
Secara lebih luas dan rinci, Mc.Mann dan Nanni dalam penelitiannya
memberikan 24 atribut bagi suatu sistem pengukuran kinerja yang baik,
sebagaimana terlihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel 2.1. Atribut tolok ukur kinerja yang baik.
Berbagai Atribut Tolok Ukur Kinerja yang Baik.
Secara umum, suatu sistem pengukuran yang baik harus terdiri dari sekumpulan tolok ukur yang
mengkombinasikan antara matriks keuangan dan non-keuangan dengan 24 atribut berikut :
1. Menduku dan konsistem dengan tujuan,
tindakan, budaya dan faktor-faktor kunci
keberhasilan perusahaan;
2. Relevan dan mendukung strategi;
3. Sederhana untuk diimplementasikan;
4. Tidak kompleks;
5. Digerakkan oleh pelanggan;
6. Integral dalam seluruh fungsi dalam organisasi;
7. Sesuai dengan keseluruhan tingkatan
organisasi;
8. Sesuai dengan lingkungan eksternal;
9. Mendorong kerjasama dalam organisasi baik
secara horisontal maupun vertikal;
10. Hasil pengukurannya dapat dipertanggung-
jawabkan;
11. Jika memungkinkan, dikembangkan dengan
pendekatan top-down dan bottom-up;
12. Dikomunikasikan ke seluruh bagian yang
relevan dalam organisasi;
13. Dapat dipahami;
14. Disepekati bersama;
15. Realistik;
16. Berhubungan dengan faktor-faktor yang
berhubungan dan membuat “sebuah
perbedaan”;
17. Terhubung dengan aktivitas sehingga
hubungan yang jelas terlihat antara sebab
dan akibat;
18. Difokuskan lebih pada pengelolaan sumber
daya ketimbang biaya yang sederhana;
19. Dimanfaatkan untuk memberi “real-time
feedback”;
20. Digunakan untuk memberi “action-oriented
feedback”;
21. Jika diperlukan, suatu tolok ukur bisa
ditambahkan lintas fungsional dan lintas level
manajemen;
22. Mendukung bagi pembelajaran individu dan
organisasi;
23. Mendorong perbaikan secara kontinyu dan
tiada henti;
24. Secara kontinyu dinilai relevansinya terhadap
23 atribut di atas dan dibuang jika
kegunaannya hilang atau ada tolok ukur yang
baru atau lebih relevan ditemukan.
Jika suatu sistem tolok ukur organisasi jauh dari karakteristik atau atribut diatas maka saatnya untuk
menguji kembali kegunaan tlok ukur kinerja yang ada dnn mencari tolok ukurr yang baru.
Sumber: Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007
Manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik adalah sebagai berikut
(Lynch dan Cross, 1993; p:328):
22
1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan
membawa perusahaan lebih dekat pada pelanggannya dan membuat
seluruh orang dalam organiasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan
kepada pelanggan;
2. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagaian dari
mata rantai pelanggan dan pemasok internal;
3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-
upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut;
4. Membuat suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi
lebih konkret sehingga nenoercepat proses pembelajaran organisasi;
5. Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan
memberi penghargaan atas perilaku yang diharapkan tersebut.
ASPEK-ASPEK YANG DIUKUR DALAM BALANCED SCORECARD.
a. Perspektif Keuangan.
Secara tradisional, laporan keuangan merupakan indikator historis-agregatif
yang merefleksikan akibat dari implementasi dan eksekusi strategi dalam satu
periode tertentu. Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya
tahapan dari siklus kehidupan bisnis, yaitu: growth, sustain, dan harvest (Kaplan
dan Norton, 1996; p:48).
Growth adalah tahapan awal siklus kehidupan perusahaan dimana
perusahaan memiliki produk ata jasa secara signifikan memiliki potensi
pertumbuhan terbaik. Disini manajemen terikat dengan komitmen untuk
mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan menambah
kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur, dan jaringan distribusi
yang akan mendukung hubungan global, serta membina dan mengembangkan
hubungan global, serta membina dan mengembangkan hubungan pelanggan. Oleh
23
karena dalam tahap ini, perushaaan biasanya beroperasi dengan arus kas yang
negatif dengan tingkat pengembalian modal yang rendah, maka tolok ukur kinerja
yang cocok adalah tingkat pertumbuhan oendapatan atau penjualan dalam segmen
pasar yang telah ditargetkan (Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007; p:31).
Sustain adalah tahapan dimana perusahaan masih melakukan investasi dan
reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian terbaik. Dalam tahap ini,
perusahaan mencoba mempertahankan pangsa pasar yang ada, bahkan
mengembangkannya jika memungkinkan. Investasi yang dilakukan umumnya
diarahkan untuk menghilangkan bottleneck, mengembangkan kapasitas, dan
meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Sasaran keuangan pada
tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang
dilakukan. Tolok ukur yang kerap digunakan pada tahap ini, misal ROI (Return On
Investment), ROCE (Return on Capital Employed), dan ROE (Return on Equity)
(Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007; p:32).
Harvest adalah tahapan ketiga dimana perusahaan benar-benar
memanen/menuai hasil investasi di tahap-tahap sebelumnya. Tidak ada lagi
investasi besar, baik ekspansi maupun pembangunan kemampuan baru, kecuali
pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Sasaran utama tahap ini
adalah keuangan, sehingga yang diambil sebagai tolok ukur adalah
memaksimumkan arus kas masuk dan pengurangan modal kerja (Yuwono, Sukarno,
dan Ichsan, 2007; p:32).
b. Perspektif Pelanggan.
Filososfi manajemen terkini talah menunjukkan peningkatan pengakuan
atas pentingnya customer focus dan customer satisfaction. Perspektif ini merupakan
leading indicator. Jadi, jika pelanggan tidak puas maka mereka akan mencari
produsen lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kinerja yang buruk dari
24
perspektif ini akan menururnkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun saat
ini kinerja keuangan terlihat baik.
Perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pengukuran, yaitu: customer
core measurement dan custumer value propositions (Kaplan dan Norton, 1996;
p:63).
1. Customer Core Measurement.
Perspektif ini memiliki beberapa komponen pengukurna, yaitu: market
share, customer retention, customer acquisition, customer satisfaction,
dan customer profitability.
Sumber: Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007. Gambar 2.1 Balanced Scorecard: menuntut “score” di empat perspektif secara seimbang.
Market Share; pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai
perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, yang meliputi antara
lain: jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit penjualan.
Customer Retention; mengukur tingkat dimana perusahaan dapat
mempertahankan hubungan dengan konsumen.
25
Customer Satisfaction; menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait
dengan kriteria kinerja spesifik dalam value proposition.
Customer Profitability; mengukur laba bersih dari seorang pelanggan
atau segmen setelah dikurangi biaya yang khusus diperlukan untuk
mendukung pelanggan tersebut.
Sumber: Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007 Gambar 2.2. Tolok ukur utama untuk perspektif pelanggan.
2. Customer Value Proposition.
Pengukuran ini merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada core
value proposition yang didasarkan pada atribut sebagai berikut:
product/service atributes, customer relationship, dan image and
relationship (Kaplan dan Norton, 1996; p:73).
Product/service atributes, meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga,
dan kualitas. Pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas
produk yang ditawarkan. Ada yang mengutamakan fungsi dari produk,
kualitas, atau harga yang murah. Perusahaan harus mengidentifikasi-
kan apa yang diinginkan pelanggan atas produk yang ditawarkan.
Selanjutnya pengukuran kinerja ditetapkan berdasarkan hal tersebut.
26
Customer relationship, menyangkut perasaan pelanggan terhadap
proses pembelian produk yang ditawarkan perusahaan. Perasaan
konsumen sangat dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen
perusahaan terhadap pelanggan berkaitan dengan masalah waktu
penyampaian. Waktu merupakan komponen yang penting dalam
persaingan perusahaan. Konsumen biasanya menganggap penyelesaian
order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi
kepuasan mereka.
Image and reputation, menggambarkan faktor-faktor intangible yang
menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan perusahaan.
Membangun image dan reputasi dapat dilakukan melalui iklan dan
menjaga kualitas seperti yang dijanjikan.
Sumber: Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007 Gambar 2.3. Model Generik: Proporsi nilai pelanggan.
c. Perspektif Proses Bisnis Internal.
Analisis proses bisnis internal perusahaan dilakukan dengan menggunakan
analisis rantai nilai. Disini, manajemen mengidentifikasi proses internal bisnis yang
kritis yang harus diunggulkan perusahaan. Scorecard dalam perspektif ini
memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan
dan apakah produk dan atau jasa mereka sesuai dengan spesifikasi pelanggan.
27
Perspektif ini harus didesain dengan hati-hati oleh mereka yang paling mengetahui
misi perusahaan yang memungkinkan tidak dapat dilakukan oleh konsultan luar.
Perbedaan perspektif bisnis internal antara pendekatan tradisional dan
pendekatan BSC adalah :
1. Pendekatan tradisional berusaha untuk mengawasi dan memperbaiki
proses bisnis yang sudah ada sekarang. Sebaliknya BSC melakukan
pendekatan atau berusaha untuk mengenali semua proses yang
diperlukan untuk menunjang keberjasilan strategi perusahaan,
meskipun proses-proses tersebut belum dilaksanakan.
2. Dalam pendekatan tradisional, sistem pengukuran kinerja hanya
dipusatkan pada bagaiman cara menyampaikan barang atau jasa.
Sedang daalma pendekatan BSC, proses inovasi dimasukkan dalam
perspektif proses bisnis internal.
Aktivitas penciptaan nilai perusahaan, terangkai dalam suatu rantai nilai
yang dimulai dari porses perolehan bahan baku sampai penyamapian produk jadi ke
konsumen. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Shank dan Govindarajan
dalam bukunya Kaplan dan Norton, 1996 yaitu: “the value chain for any firm in any
business is linked set oif value creating activities – from basi raw material sources
to the ultimate product or service that is delivered to customers.”.
Proses bisnis internal dibagi menjadi tiga proses, yaitu : inovasi,
operasional, dan layanan purna jual (Kaplan dan Norton, 1996; p:96). Selanjutnya,
pengukuran kinerj aldam perspektif ini berpedoma pada proses-proses diatas.
1. Proses Inovasi, dalam proses ini, unit bisnis menggali pemahamamn
tentang kebutuhan laten dari pelanggan dan menciptakan produk dan
jaasa yang mereka butuhkan. Proses inovasi dalam perusahaan
biasanya dilakukan oleh baigan R&D sehingga setiap keputusan
pengeluaran suatu produk ke pasar telah memenuhi syarat-syarat
28
pemasaran dan dapat dikkomersialkan (didasarkan pada kebutuhan
pasar). Aktivitas R&D ini merupakan aktivitas penting dalam
menentukan kesuksesan perusahaan, terutama untuk jangka panjang.
2. Proses Operasi, adalah proses untuk membuat dan menyampaikan
produk/jasa. Aktivitas di dalam proses operasi terbagi ke dalam dua
bagian: 1) proses pembuatan produk dan 2) proses penyampaian
produk kepada pelanggan. Pengukuran kinerja yang terkait dalam
proses operasi dikelompokkan pada: waktu, kualitas dan biaya.
3. Proses ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan
produk/jasa tersebut dilakukan. Aktivitas yang terjadi dalam tahapan
ini, misalnya, penanganan garansi dan perbaikan penanganan atasa
barang rusak dan yang dikembalikan serta pemrosesan pembayaran
pelanggan, dengan menggunakan tolok ukur yang bersifat kualitas,
biaya dan waktu seperti yang dilakukan dalam proses operasi. Untuk
siklus waktu, perusahaan dapat menggunakan pengukuran waktu dari
saat keluhan pelanggan diterima hingga keluhan tersebut diselesaikan.
Sumber: Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007 Gambar 2.4. Model Rantai Nilai Ginetik.
d. Perspektif Pembelajaran & Pertumbuhan.
Proses pembelajaran dan pertumbuhan ini bersumber dari faktor sumber
daya manusia, sistem, dan prosedur organisasi. Termasuk dalam perspektif ini
adalah pelatihan pegawai dan budaya perusahaan yang berhubungan dengan
29
perbaikan individu dan organisasi. Dalam organisasi knowledge worker, manusia
adalah sumber daya utama.
Dalam berbagai kasus, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
merupakan fondasi keberhasilan bagi knowledge worker organization dengan tetap
memperhatikan faktor sistem dan organisasi.
Hasil dari pengukuran ketiga persepktif sebelumnya basanya akan
menunjukkan kesenjangan yang besar antara kemampuan orang, sistem dan
prosedur yang ada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang
diinginkan. Itulah mengapa, perusahaan harus melakukan investasi di ketiga faktor
tersebut untuk mendorong perushaaan menjadi sebuah organisasi pembelajar.
Dalam perspektif ini, perusahaan melihat tolok ukur, sebagai berikut
(Kaplan dan Norton, 1996; p:127):
1. Employee Capabilities.
Salah satu perubahaan yang dramatis dalam pemikiran manajemen
selama lima belas tahun terakhir ini adalah peran para pegawai di
organisasi. Faktanya, tidak ada yang lebih baik bagi transformasi
revolusioner dari pemikiran era industrial ke era informasi ketimbang
filosofi manajemen baru, yaitu bagaimana para pegawai
menyumbangkan segenap kemampuannya untuk organisasi (Kaplan
dan Norton, 1996; p:127).
2. Information System Capabilities.
Meskipun motivasi dan keahlian pegawai telah mendukung pencapaian
tujuan-tujuan perusaahan, masih diperlukan informasi-informasi yang
terbaik. Dengan kemampuan sistem informasi yang memadai,
kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan pegawai atas informasi
yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
3. Motivation, Empowerment, dan Alignment.
30
Perspektif ini penting untuk menjamin adanya proses yang
berkesinambungan terhadap upaya pemberian motivasi dan inisiatif
yang sbesar-besarnya bagi pegawai. Paradigma manajemen terbaru
menjelaskan bahwa proses pembelajaran sangat penting bagi pegawai
untuk melakukan trial and error sehingga turbulensi lingkungan sama-
sama dicoba-kenali tidak saja oleh jenjang manajemen strategis tetapi
juga oleh segenap pegawai di dalam organisasi sesuai kompetensinya
masing-masing. Sudah barang tentu upaya itu perlu dukungan motivasi
yang besar dan pemberdayaan pegawai berupa delegasi wewenang
yang memadai untuk mengambil keputusan. Tentu, itu semua tetap
dibarengi dengan upaya penyesuaian yang terus menerus sejalan
dengan tujuan organisasi.
BALANCED SCORECARD SEBAGAI SISTEM PENGENDALIAN STRATEGIS.
Pengendalian merupakan salah satu fungsi manajemen yang menempati
posisi kritis dalam menentukan keberhasilan suatu organisasi. Manajemen kontrol
adalah proses dimana manajer meemberikan pengaruh kepada anggota
organisasinya untuk mengimplementasikan strategi organisasi (Anthony dan
Govindarajan, 2000; p:6).
Bentuk sistem pengendalian manajemen yang baik amat tergantung dari
karakteristik suatu organisasi. Karakteristik pengendalian yang baik adalah suatu
sistem pengendalian yang berorientasi ke depan, digerakkan berdasarkan sasaran,
dan tidak selalu harus ekonomis (Anthony dan Govindarajan, 2000; p:9). Suatu
sistem pengendalian juga harus mencakup sistem operasional yang menyeluruh;
goal congruence, bermuara ke perspektif keuangan, memiliki pola dan jadwal yang
jelas dan terintegrasi (Anthony dan Young, 1999).
31
Yuwono, membagi obyek pengendalian dalam tiga jenis sebagaimana yang
ia sortir dari pendapat W. Ouchi dalam buku Kaplan dan Norton, 1996, yaitu: action
control, results control dan personnel/culture control.
Action control adalah pengendalian untuk menjamin bahwa setiap pegawai
melakukan aktivitas tertentu yang dianggap bermanfaat bagi organisasi. Result
control adalh pengendalian yang lembih menekankan pada hasil akhir.
Personnel/culture control adalah bentuk pengendalian yang mengandalkan pada
kendali perilaku pegawai atau pengendalian sesama pegawai sesuai nilai-nilai,
norma, atau budaya yang telah ada yang ingin diciptakan dalam organisasi. Ketiga
jenis pengendalian tersebut digunakan secara bersama-sama dalam suatu
organisasi dengan tingkat keketatan sesuai kondisi dan kebutuhan.
Manajer bekerja melalui orang-orang dalam organisasi dengan berbagai
cara dan tindakan, seperti: menyeleksi pegawai, melatihnya, menenmpatkan
mereka pada posisi yang tepat, memberdayakan dan mendisiplinkan mereka, dan
lain-lain. Untuk mendukung aktivitas tersebut, manajer memerlukan berbagai
informasi. Jenis-jenis informasi yang diperlukan manajemen tersebut untuk
mengurangi ketidakpastian organisasi pada masa masa mendatang adalah
(Anthony dan Govindarajan, 2000; p:460-461): informal information, task control
information, budget reports, budget signals, dan nonfinancial information.
Kombinasi dari berbagai jenis informasi tersebut kemudian digunakan untuk
mendesain sistem pengukuran kinerja. Meskipun dalam paradigma manajemen
sistem kontrol yang baru, pengukuran kinerja bukan lagi dianggap sebagai fokus
utama suatu sistem pengendalian namun ia merupakan bagian integral dan
terpenting dari pengkontrolan hasil.
Pengkontrolan hasil adalah sistem pengendalian yang paling umum
diterapkan bagi pegawai di berbagai tingkatan dalam organisasi. Salah satu
alasannya karena pengkontrolan ini sanat konsisten dengan organisasi yang
32
terdesntraslisasi dengan tingkat pertanggungjawaban yang sangat luas. Ada empat
elemen utama bagi penerapan pengkontrolan hasil yang baik (Anthony dan
Govindarajan, 2000; p:72-75): Defining performance dimensions; Measuring
performannce; Setting perofrmance targets; Providing reward and punishment.
Suatu strategi memerlukan perencanaan, pembuatan keputusan,
pemantauan atas kemajuanny, dan pengendalian. Oleh karena itu, pengendalian
manajemen juga meski mencakup faktor eksternal yang bbegitu cepat. Ini bisa
dideteksi lebih dini bila proses pemantauan dapat dilakukan dengan sistem
pengendalian yang modern dimana feedback system dilakukan dengan mekanisme
doubel loop. Manajemen tidak saja dituntut untuk mengamati berbagai varian
operasional tetapi mereka diharuskan pula mengevaluasi apakah strategi yang
sedang dijalankan relevan dengan situasi mutakhir perjalanan bisnis.
PROSES PENYUSUNAN BALANCED SCORECARD
Peran manajemen puncak untuk memimpin suatu penyelamatan dan
perubahan dalam organisasi sangat menentukan kesuksesan scorecard. Inisiatif
petinggi organisasi berupa komitmen untuk mengimplementasikan BSC merupakan
garansi bahwa penyusunan BSC akan beroleh manfaat maksimal. Pengalaman di
lapangan, dimana proses scorecard digerakkan oleh manajemen level bawah atau
menengah hanya akan menghasilkan scorecard yang kaku dan tidak memiliki daya
dairing bagi pencapaian organisasi menuju targetnya. Hal ini dikarenakan proses
scorecard dan pengendalian manajemen dimulai dengan kalarifikasi dan
pengembangan terhadap visi dan strategi perusahaan. Suatu fase dimana kritis
karena bangunan scorecard secara keseluruhan berawal, sekaligus mengerucut
dalam proses feedback dalam proses ini.
Dalam sistem manajemen, khususnya proses perencanaan strategis,
penyusunan target adalah bagian tak terpisahkan dari scorecard itu sendiri. Ketika
33
suatu target telah ditentukan, pada empat perspektif dan sub-subnya, maka sistem
informasi akan dengan mudah memeta wilayah tiap target itu menjadi semacam
sistem yang dengan mudah memandu kinerja manajer dan staff. Dengan adanya
target, akan diwujudkan komitmen manajemen dan karyawan untuk mencapai apa
yang telah direncanakan. Target juga merupakan basis bagi evaluasi yang
memberikan andli terhadap perbaikan kinerja karyawan.
Kenneth A. Merchant dalam buku Kaplan dan Norton, 1996, menjelaskan
bahwa penetapan target ini dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: Model based,
Historical dan Negotiated; Internal atau eksternal; Fixed dan Flexible. Dalam
implementasi scorecard setelah strategi dieksekusi, data atau informasi tentang
pencapaian target dari semua tingkatan dalam organisasi sangat diperlukan untuk
mengukur kinerja bisnis, perusahaan , dan manajemen, hingga level individu.
Karena dalam BSC terdapat empat perspektif pengukuran, maka untuk menilai
kinerja manajemen dan karyawan diperlukan penyelarasan dalam menilai
pencapaian target dari masing-masing sasaran strategis tersebut.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dijabarkan langkah penyusunan BSC
yang diringkas dari Yuwono, Sukarno, Ichsan (2007):
1. Membangun konsensus atas pentingnya perubahan manajemen.
Untuk mendapatkan daya dorong yang memadai tentang bagaimana
porses implementasi BSC akan mendapatkan hasil yang maksimal. Oleh karena
itu, isu tentang perubahan manjemen harus ditempatkan di awal proses.
Tujuannya adalah agar BSC dipandang sebagai sarana manajemen yang akan
mengubah sistem dan proses manajemen secara mendasar.
Hal terpenting dari proses menjaring konsensus tentang perubahan
manajemen adalah adanya sense of urgency dari manajer eksekutif. Disini
dibutuhkan dukungan mereka yang konsisten dan pemahaman yang memadai
tentang bagaimana BSC bekerja dan diimplementasikan.
34
2. Pembentukan tim proyek.
Proses pengembangan BSC merupakan salah satu kekuatan besar dari
semua pendekatan. Oleh karena itu, sangat penting untuk secara khusus
membahas siapa yang berpartisipasi dan kapan. Tim harus terdiri dari para
manajemen level atas yang memahami keseluruhan mendasar permasalahan
perusahaan dimana yang pada nantinya masukannya sangat berguna bagi
pembaungan proyek ini. Begitu tim terbentuk, buat serangkaian rencana yang
ditindaklanjuti dengan penugasan untuk penyelesaian proyek. Jika diperlukan,
seluruh tim ditraining ulang tentang konsep BSC.
3. Mendefinisikan profil industri dan perkembangannya.
Tujuan langkah ini adalah untuk mengembangkan sebuah dasar dalam
menyusun konsensus berbagai karakteristik dan persyaratan industri dan untuk
mengidentifikasikan tentang posisi dan peran perusahaan saat ini. Karena kita
akan mencapai persetujuan tentang bagaimana industri akan berkembang di
masa datang maka kita juga akan menyusun panggung yang bernilai dan
dilanjutkan dengan perluasan visi dan strategi masa depan perusahaan. Bentuk
yang cocok untuk pekerjaan ini adalah wawancara individu, terutama dengan
manajemen tingkat atas dan para pemimpin yang pemikirannya paling
berpengaruh di perusahaan.
Dalam wawancara tersebut perlu dikembangkan pandangan tentang
perusahaan dan karakteristiknya dari berbagai sudut pandang. Untuk hal ini,
diperlukan beberapa pendekatan dari beberapa model yang dapat digunakan
sebagai katalisator terbaik sehingga dapat menyiapkan dasar yang baik untuk
diskusi bagi analisis ini.
Secara umum, pemikiran praktis dalam manajemen strategis
dipengaruhi kuat oleh model SWOT – Strength, Weakness, Opportunities,
Threats (Andrew, 1980). Sebagai lanjutannya, Porter, mengenalkan lima model
35
kekuatan kompetitif dimana kekuatan perusahaan dipengaruhi oleh kekuatan
struktural dalam industri khususnya. Pendekatan ini memindahkan fokus dari
perusahaan ke situasi kompetitif dalam industri, dengan suatu aturan bahwa
dalam industri apapun aturan persaingan tercakup dalam lima kekuatan
bersaing.
Lalu di awal 90-an fokus beralih ke lingkungan eksternal sumber daya
dan kapabilitas individual perusahaan. Beberapa ahli memandang hal ini
sebagai tingkat lanjutan antara analisis SWOT dan lima model kekuatan
kompetitif Porter – dimana dalam menghadapi lingkungan eksternal suatu
perusahaan harus membangun kekuatan kompetitif pada sumber daya dan
kapabilitasnya. Pada tahun 1990 Hamel dan Prahalad mengembangkan tema ini
dengan menggunakan istilah “core competition”.
Hal utama lainnya dimana teori dalam area ini telah berkembang
adalah kebebasan gagasan dimana ada kemungkinan mempersiapkan rencana-
rencana strategis jangka panjang secara rinci. Yang dibicarakan orang
disamping itu adalah pentingnya menciptakan kondisi yang menyokong
perkembangan pemikiran strategis di perusahaan. Pemikiran strategis tersebut
kemudian harus menjadi pedoman bagi keputusan dan tindakan khusus sehari-
hari sehingga perusahaan memperoleh dinamika dan ketegasan yang saat ini
diperlukan sebagian besar perusahaan di kebanyakan industri. (Yuwono,
Sukarno, dan Ichsan, 2007; p:86-91)
4. Menentukan Unit atau SBU (Strategic Business Unit).
Penyusunan BSC sejak awal secara hati-hati haris mempertimbangkan
jangkauan aktivitas dan unit organisasi yang akan dicakup oleh scorecard.
Menurut Olve, dkk (1999), bagi perusahaan yang relatif kecil, mungkin paling
baik adalah menciptakan scorecard untuk organisasi secara keseluruhan.
36
Sebaliknya pada perusahaan yang lebih besar dan atau kelompok korporasi
akan lebih cocok jika dengan satu atau dua pilot project di SBU.
Kaplan dan Norton menyatakan bahwa dalam hal scorecard dimulai dari
level korporat (top-down approach) penyusunan scorecard dimulai oleh CEO
untuk mengembangkan satu set scorecard makro bagi keseluruhan organisasi.
Dalam kasus suatu perusahaan besar atau korporat, proses inisialisasi
scorecard akan bekerja dengan baik pada tingkat SBU sesuai dengan aktivitas
sepanjang rantai niilai: inovasi, operasional, pemasaran, penjualan dan
pelayanan.
Pada umumnya, BSC diperlukan bagi unit bisnis setrategis yang
memiliki pelangga, saluran distribusi, fasilitas produksi dan tolok ukur keuangan
yang terpisah. Sebelum SBU didefinisikan dan dipilih, arsitek harus mempelajari
hubungan antara satu SBU dan SBU yang lain, divisi dan organisasi secara
keseluruhan (corporate). Arsitek yang memimpin wawancara dengan key senior
diivisional dan corporate executives berusaha mempelajari:
- Tujuan finansial SBU (growth, profitability, cash flow, harvest).
- Tema-tema perusahaan lainnya (environment, safety, employee
policies, community relations, quality, price competitiveness, dan
innovation).
- Keterhubungannya dengan SBU yang lain (common customers,
core competencies, opportunities for integrated approaches to
customers, internal supplier/customer relationships).
Pemahaman yang akan diperoleh tersebut sangat vital dalam
menuntun proses pengembangan BSC sehingga SBU tidak akan
mengembangkan berbagai ukuran dan tujuan untuk mengoptimalisasi SBU
yang bersangkutan, tapi sebaliknya, merugikan SBU yang lain atau keseluruhan
perusahaan.
37
Suatu korporat sangat mungkin memiliki berbagai SBU yang berbeda
sebagai portofolio bisnisnya. Dalam hal ini, jika scorecard dimulai dari SBU,
kejelasan strategi korporat dan peran SBU di masa datang harus diperoleh.
Korporasi tidak diilihat sebagai gabungan dari berbagai SBU tapi bagaimana
sinergi SBU akan menghasilkan kinerja terbaik korporat. Dengan kata lain,
penyelarasan SBU sangat perlu dilakukan untuk menghasilkan kolaborasi yang
maksimal, terutama apabila suatu korporat memiliki bisnis dan pelanggan yang
tunggal sehingga baik korporat maupun SBU tidak akan memiliki banyak
perbedaan.
Kita menemukan bahwa faktor penentu lainnya dalam pemilihan
rencana yang sesuai adalah kondisi perusahaan pada waktu itu. Jika
perusahaan sedang dalam pertengahan pergolakan (turbulen), proses
scorecard akan sangat bermanfaat.
Dalam kasus-kasus “teaching company”, BSC akan cocok dan dapat
membantu menciptakan kesepahaman dan konsensus tentang strategi masa
datang dan berbagai perubahan yang mungkin mengikuti suatu proses. Karena
salah satu ciri scorecard yang bermanfaat adalah bahwa ia merupakan bagian
pengendalian strategis, ia harus tetap hidup dan beradaptasi terhadap
perubahan sesuai dengan situasi perusahaan dan organisasi. (Yuwono,
Sukarno, dan Ichsan, 2007; p:92-94)
5. Mengevaluasi sistem pengukuran yang ada.
Tahap berikutnya adalah mengevaluasi sistem pengukuran yang
digunakan organisasi atau perusahaan saat ini. Menurut Robert S. Kaplan dan
David P. Norton dalam “Putting the BSC to work” (1993), pada umumnya
sebagian besar organisasi tidak emmiliki satu set tolok ukur yang seimbang.
Mereka terlalu terfokus pada tolok ukur keuangan jangka pendek dan
38
mengabaikan tujuan jangka panjang seperti kepuasan pelanggan/pegawai
maupun pertumbuhan.
Evaluasi sitem pengukuran organisasi dapat dilakukan dengan
menggunakan survei yang mencakup evaluasi terhadap berbagai tolok ukur dan
sistem pengukuran yang digunakan organisasi atau perusahaan saat ini.
Dengan melengkapi berbagai instument yang didasarkan pada the Baldrige
Criteria akan terlihat karakteristik suatu sistem pengukuran yang efektif dan
seberapa jauh organisasi atau perusahaan terlibat dalam standar dan praktik
BSC yang ada.
The Baldrige Criteria selama lebih dari satu dekade telah digunakan
oleh ribuan organisasi di Amerika agar berkompetisi dalam meningkatkan
kinerja organisasi. Berbagai jenis organisasi maupun yang hanya memiliki satu
kantor atau tersebar di seluruh dunia dapat menggunakan the Baldrige Criteria
ini karena mencakup berbagai indikator kunci sebagai framework untuk menilai
kinerja organisasi; pelanggan, produk dan jasa, operasiona, sumber daya
manusia dan keuangan. Kriteria ini akan membantu perusahaan dalam
menyelaraskan sumber daya yang ada, meningkatkan komunikasi, produktivitas
dan efektivitas serta mencapai tujuan-tujuan strategis.
Kuesioner terbagi dalam tiga bagian pengukuran yang meliputi
berbagai aspek dalam sistem pengukuran yang ada dalam organisasi. Bagian I
meluputi 5 pertanyaan menyangkut keseluruhan pendekatan pengukuran yang
ada, bagian II meliputi 35 pertanyaan mencakup berbagai jenis pengukuran
yang spesifik dan bagian III meliputi 10 pertanyaan mengenai analisis dan
penggunaan data dalam organisasi. Baca setiap pertanyaan yang ada dan pilih
jawaban yang sesuai dengan kehendak anda. Lingkup kuesioner berkenaan
dengan keseluruhan organisasi atau perusahaan atau paling tidak untuk
39
sebagaian besar organisasi seperti SBU namun tidak dapat digunakan untuk
satu departemen saja. (Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007; p:95-96)
6. Merumuskan/mengkonfirmasi visi atas tujuan strategis perusahaan.
Dalam praktiknya pengertian antara visi dan misi adalah berbeda.
Dalam hal ini, baik visi maupun misi digambarkan sebagai animasi dan rel yang
akan dicapai di masa mendatang oleh perusahaan. Karena model BSC
berdasarkan pada visi komprehensif bersama maka penting untuk memastikan
pada tingkat awal apakah visi dan misi yang dilaksanakan bersama adalah
reliabel. Karena scorecard akan memberi fokus yang lebih kuat kepada
organisasi dibanding sebelumnya, konsekuensi visi yang salah arah mungkin
akan menjadi permasalahan yang sangat serius. Dalam hal visi hilang, poin ini
meemberi kesempatan yang sangat bagus untuk mulai meletakkan dasar bagi
visi bersama.
Visi adalah gambaran menantang dan imajinatif tentang peran, tujuan
dasar,m karakteristik, dan filosofi organisasi di masa datang yang akan
menajamkan tugas-tugas strategik perusahaan. Misi mendefinisikan bisnis
bahwa organisasi berada pada atau harus berada pada nilai-nilai dan keinginan
stakehholders yang meliputi: produk, jasa, pelanggan, pasar, dan seluruh
kekuatan perusahaan. Nilai adalah serangkaian pernyataan yang berfunsi
sebagai kode etik untuk menjalankan organisasi. Nilai-nilai tersebut digunakan
sebagai acuan dalalm menguji setiap pengambilan keputusan dan pilihan di
masa datang.
Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, harus ada pandangan
bersama yang beralasan tentang situasi internal dan eksternal perusahaan
sebelum visi bersama dikembangakan. Sejumlah faktor harus dipertimbangkan
dalam rangka merumuskan visi. Untuk mengembangkan suatu pernyataan misi
yang baik harus dibuat perkiraan tentang apa yang mungkin dihargai dan dinilai
40
oleh pelanggan. Dengan tetap berfokus pada kebutuhan pelanggan (bukan
pada atribut-atribut prouk atau jasa) perusahaan akan tetap dapat
mempertahankan misinya.
Bahwa kita menganggap penting visi yang dirumuskan tidak berarti
bahwa rencana jangka panjang dibiarkan mengunci perushaan dalam
seperangkat tindakan. Yang benar-benar kita percayai adalah bahwa agar
sukses, perusahaan harus fokus pada bentuk perkembangan yang umum,
berdasarkan pandangan tentang situasi internal dan eksternal dan tentang
faktor-faktor kesuksesan mendasar bagi organisasi secara keseluruhan. Fokus
ini akan memberi fleksibilatas dan dinamika bagi perusahaan yang dibutuhkan
untuk beradaptasi secara terus-menerus terhadap perubahan lingkungan bisnis.
Sebelum beranjak pada pengembangan scorecard, kita harus
mendapatkan satu konfirmasi final setelah visi teridentifikasi tentang
bagiamana pandangan masing-masing peserta terhadap visi tersebut. Salah
satu cara adalah dengan mendapatkan gambaran dari peserta tentang apa
yang ia percayai perihal pandangan perusahaan setelah visi dicapai. Jadi semua
peserta akan mempresentasikan pandangannya tentang perusahaan dimasa
datang dari berbagai perspektif. Cara yang sesuai adalah seluruh peserta
mengekspresikan interpretasi mereka mengenai visi tersebut dalam perspektif
yang berbeda-beda dengan menggunakan sedikit kata kunci saja. Lalu akan
ada diskusi penutup tentang prioritas yang cocok diantara kata-kata kunci yang
disebutkan. Perbedaan opini yang dramatik biasanya akan muncul. (Yuwono,
Sukarno, dan Ichsan, 2007; p:102-104)
7. Merumuskan berbagai perspektif.
Setelah visi komprehensif dan konsep bisnis dirumuskan, kemudian
perlu dipilih perspektif untuk membangun scorecad finansial, pelanggan, proses
internal bisnis, pembelajaran dan pertumbuhan. Jika perspektif ini dirasa belum
41
memadai dimungkinkan pula untuk menambah perspektif lain seperti perspektif
karyawan atua manusi. Pilihan perspektif harus diatur terutama oleh logika
bisnis, dengan hubungan timbal balik yang jelas antar perspektif yang berbea-
beda. Perspektif yang berkembang harus menunjukkan cara yang diinginkan
manajemen untuk mengembangkan organisasi produk dan jasa yang
ditawarkan untuk tujuan proses singkat dan atau tujuan penambahan nilai bagi
pelanggan. Pengaruh-pengaruh ini harus bisa diamati dari perspektif finansial.
Semua perubahan perspektif harus berdasarkan pada alasan-alasan strategis
daripada sekedar beberapa jenis model stakeholders. Ini akibat dari jarangnya
kebutuhan perspektif karyawan yang terpisah karena karyawan dianggap
sumber daya, khususnya dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
(Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007; p:106)
8. Merinci visi berdasarkan masing-masing perspektif dan merumuskan
seluruh tujuan strategis.
Sebagaimana telah kita tegaskan sebelumnya, model BSC utamanya
merupakan suatu alat untuk merumuskan dan mengimplementasikan strategi
perusahaan. Model tersebut harus dilihat sebagai suatu unstrummen untuk
menerjemahkan visi dan strategi yang abstrak ke dalam tolok ukur dan sasaran
yang spesifik. Dengan kata lain, BSC yang dirumuskan dengan baim merupakan
presentasi strategi perusahaan. Jadi tujuan langkah ini adalah untuk
menerjemahkan visi ke dalam istilah nyata dari perspektif yang telah disusun
dan dengan demikian, akan mencapai keseimbangan keseluruhan yang
merupakan ciri unik dari model dan metode ini.
42
Sumber: Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007 Gambar 2.5. Merinci visi ke dalam perencanaan strategis.
Proses ini merupakan bagian yang sangat penting dalam kerja
pengembangan bisnis. Selain itu, adalah merumuskan strategi keseluruhan
dalam istilah-istilah yang lebih umum.
Menurut Yuwono, 2007, dalam bukunya dikatakan bahwa konsep
aktual dari strategi sulit didefinisikan secara spesifik. Perumusan strategi
biasantya sangat kompleks dan membutuhkan input substansial sumber daya.
Alasannya adalah biasanya ada banyak aspek dan variabel yang harus
dipertimbangkan. Seperti halnya di berbagai area lain, tidak ada persetujuan
mengenai prosedur yang sesuai untuk rumusan strategi di suatu perusahaan.
Meskipun begiotu, selalu ada pertanyaan fundamental tentang bagaiman
perusahan mendapatkan dan memperpanjang manfaat kompetitif yang telah
ada di antara saingannya. Pertanyaan ini berada pada jantung proses
pengembangan dan perumussan strategi. Dari pengalaman yang ada, manfaat
terpenting model BSC berada persis dalam area ini. Model ini memudahkan kita
menguraikan visi menjadi spesifik, strategi didasarkan realita dimana orang-
orang di perusahaan merasa bahwa mereka dapat mengerti dan bekerja sama.
Perspektif pembljran
Proses Bisnis Int.
Perspektif Pelanggan
Perspektif Keuangan
Tema-tema strategis: -------------------------- --------------------------
Analisa Internal
SWOT strategic choice
Analisa Eksternal
Visi/misi dan Tujuan
43
Satu cara melalui tahap ini adalah dengan meminta peserta
menjelaskan aturan-aturan umum yang paling mudah dan efektif untuk
mengarahkan perusahaan kepada visi yang diinginkan. Penjelasan itu harus
berdasarkan pada perspektif yang beragam atau andil dari masing-masing
unsur. Poin permmulaan yang sesuai adala penjelasan terdahulu mengenai
bagaiman pandangan perusahaan dimasa mendata. Dari sana, aturan dan
strategi yang cocok akan teridentifikasi dalam bermacam-macam pandangan:
pfitabilitas jangka panjanga, persaingan perusahaan seperti harga dan waktu
pengiriman, organisasi perusahaan dan tipe kompetensi yang akan diolah dan
tersedia. Strategi lain yang akan disusun berkaitan dengan tempat dimana
produk dan jasa akan dikembangkan oleh perusahaan dimana produk dan jasa
akan dikembangkan oleh perusahaan. Dan dengan siapa akan bertanggung
jawab terhadap perkembagna. Untuk melengkapi fase ini, kelompok tersebut
akan emmilih pernyataan untuk masing-masing perspektif yang menunjukkan
strategi prinsipil untuk tujuan prioritas untuk memperoleh visi yang diinginkan.
Dengan begitu, dampak langsungnya adalah strategi akan didasarkan
pada visi, dan organisasi akan menjadi sangat apresiatif. Hal ini dikarenakan
visi akan dispesifikasikan lebih jauh dan lebih mudah untuk dimengerti dalam
praktiik dan bagiamana ia mempengeruhi tindakan sehari-hari. Pengembagnan
strategi darri masing-masing perspektif akan dibawah ini:
a. Perspektif keuangan.
Perspektif ini menggambarkan hasil pilihan strategi yang dibuat
di dalam perspektif lainnya dan secara bersamaan menyusun beberapa
sasaran jangka panjang dan aturan-aturan umum secara luas serta
premis-premis untuk perspektif lainnya. Disini kita menemukan
gambaran mengenai apa yang diharapkan pemilik perusahaan dalam
44
har pertumbuhan dan keuntungan – serta untuk menjelaskan resiko-
resiko keuangan seperti arus uang tunai yang negatif.
Kaplan dan Norton mengacu pada tiga tema strategis yang
terutama berhubungan dengan angka pertumbuhan dan bauran
produk; penurunan pengeluaran dan peningkatan produktivitas dan
aturan-aturan dasar pemanfaatan kapasitas dan strategi investasi.
b. Perspektif pelanggan.
Perspektif ini menjelaskan cara dimana nilai akan diciptakan
untuk pelanggan, bagaimana ia menuntut nilai ini harus dipenuhi dan
mengapa pelanggan mau membayarnya. Maka berbagai proses internal
dan upaya pengembangan perusahaan harus diarahkan berdasarkan
perspektif ini. Orang bisa mengatakan bahwa bagaimanapun proses ini
terjadi, ini merupakan hal yang penting dalam scorecard. Jika
perusahaan gagal mengirim produk dan jasa yang tepat secara efisien
dan efektif untuk memuaskan kebutuhan pelanggan maka pendapatan
tidak akan diperoleh, dan bisnis akan layu bahkan mati.
Kebanyakan upaya tersebut diarahkan untuk menentukan cara
meningkatkan dan meyakinkan loyalitas pelanggan. Untuk mengeri apa
yang harus dilakukan, kita harus mengenal secara keseluruhan setiap
aspek dalam proses pembelian pelanggan. Kita harus mengembangkan
gambaran pasti tentang apa arti produk/jasa bagi mereka.
Strategi yang dipilih dalam perspektif ini harus didasarkan pada
analisa diatas dan disekitar istilah konvensional yang menjelaskan
segmen-segmen pembeli yang akan diprioritaskan, mengidentifikasikan
cara bersaing dan dalam hal ini juga menspesifikasikan kebijakan dan
aturan yang bisa digunakan. Tolok ukur yang merupakan akibat
alamiah dari pilihan strategi ini harus memberi pandangan yang
45
komprehensif. Lebih baik lagi, tersedia informasi mutakhir yang
menyediakan: pangsa pasar; loyalitas pelanggan yang dihitung dari
frekuensi pembelian baru; masuknya pelanggan baru; kepuasan
pelanggan terhadap produk/jasa; profitabilitas pelanggan.
Penting pula mempelajari kecenderungan tentang perubahan
dan sikap pelanggan di tahap awal. Salah satu metode dan wawancara
teratur untuk mengetahui perubahan yang mungkin dalam nilai
pelanggan yang disarankan adalah melalui indeks kepuasan pelanggan.
Selanjutnya, perusahaan harus memperhatikan seluruh perubahan
pada perspektif proses bisnis internal. Hal ini pada akhirnya nanti akan
berpengaruh kepada perspektif keuangan – sehingga harus dianalisa
dengan baik dan hati-hati.
c. Perspektif proses bisnis internal.
Proses apa saja yang menghasilkan bentuk nilai yang benar
bagi pelanggan dan sekaligus memnuhi harapan-harapan pemegang
saham? Jawabannya harus muncul dalam perspektif ini. Perttama kiita
harus mengidentifikasikan proses-proses perusahaan pada seluruh
tingkatan. Model Porter yang dinamakan model “mata rantai nilai”
sangat berguna untuk tujuan ini (1985; p:36). Model tersebut
menjelaskan seluruh proses perusahaan dari analisis kebutuhan
pelanggan melalui pengiriman produk/jasa. Proses ini kemuian diibahas
secara rinci untuk menghindari proses yang tidak bermanfaat bagi
pelanggan baik langsung maupun tak langsung.
Beberapa proses penting yang harus dijelaskan dan dibahas
adalah kecenderungan memperluas basis pelanggan dan yang langsung
mempengaruhi loyalitas pelanggan. Contohnya adalah proses produksi
dan pengiriman dan proses yang berhubungan dengan jasa. Yang tak
46
kalah pula pentingnya adalah prooses pengembangan produk dan
hubungannya dengan kebutuhan pelanggan. Perspektif proses binis
merupakan analisa utama proses internal perusahaan. Analisa ini sering
mencakup identifikasi sumberdaya dan kapabilitas yang dibutuhkan
perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, literatur tentang strategi
menunjukkan kecenderungan terhadap hubungan yang lebih dekat
diantara perusahaan. Normann dan Ramirez dalam bukunya Kaplan dan
Norton mengacu kepada “konstelasi nilai” dan bertahan bahwa
pandangan yang berorientasi pada proses seperti yang dikemukakan
Porter telah gagal menangkap bagaimana pemuasan kebutuhan dan
kesuksesan bisnis namun yang dibutuhkan sebenarnya adalah
kesamaan perspesi.
Sebagai contoh: dalam “organisasi virtual” dimana pemasok
dan elemen-elemen konstitusi yang berbeda bergabung dengan atau
tanpa persetujuan yang mengikat, untuk memberi kesan pada
pelanggan dalam berhubungan dengan perusahaan yang sebenarnya
tidak eksis dalam bentuk tradisional. Hedberg et al. (1999) menegaskan
bahwa cara semacam itu meletakkan tuntutan baru pada manajemen,
pengarangnya mengacu pada organisasi khayalan, berdasarkan pada
khayalan yang dimiliki perusahaan yang berinisiatif.
Ada implikasi jelas dalam penciptaan scorecard tingkat atas,
jika kita memilih untuk bersandar pada partner atau bergantung pada
aktor-aktor lain di lingkungan bisnis kita, maka diperlukan strategi yang
lebih dari sekedar proses kita sendiri melakukan pembahasan tentang
kolom aset untuk menentukan pengetahuan yang bagaimana dan
kapabilitas apa yang diperlukan bagi kompetensi pusat. Kemudian
47
membuat keputusan strategis tentang bagaimana pembiayaan dari
partner eksternal oleh kompetensi luar yang bisa bertahan.
d. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Perspektif ini memungkinkan perusahaan untuk menjamin
adanya pembaruan kapasitas dalam jangka panjang, suatu prasyarat
bagi kelangsungan organisasi di masa datang. Dalam perspektif ini,
perusahaan harus mendasarkan diri tidak hanya pada menjamin dan
mengembangkan keperluan know-how untuk memahami dan
memuaskan kebutuhan pelanggan, tetapi juga bagaiman hal tersebut
dapat menjamin efesiensi yang penting dan produktivitas dari porses
yang sekarang sedang menciptakan nilai kepada pelanggan.
Untuk sampai pada strategi kompetensi yang sesuai yang
menspesifikasi wilayah-wilayah dimana perusahaan akan menanamkan
investasi guna mengembangkan kompetensinya dari dalam dan wilayah
dimana perusahaan mengambil langkah kolaborasi dan kontrak dengan
pihak luar, adalah dengan mengajukan pertanyaan dengan model lima
“W” dan satu “H”: Terdiri dari apa saja kompetensi itu?, Untuk apa
seharusnya ia digunakan?, Bagaimana ia mempengaruhi nilai bagi
pelanggan?, Bagaimana menspesialisasikannya?, Bagaimana ia berubah
dari waktu ke waktu?, Seberapa sering ia digunakan?, Bagaimana ia
dipengaruhi IT?, dsb.
Model lain yang telah terbukti manfaatnya dalam strategi
pengembangan kompetensi adalah matriks kompetensi sebagaimana
yang dikenalkan oleh Hamel dan Prahalad, 1994, di bawah ini:
48
Tabel 2.2. matriks Kompetensi dari Hamel dan Prahalad.
PASAR
Yang ada Sekarang Yang Baru
Yang
Baru
Kompetensi pusat baru yang
bagaimana yang kita butuhkan
untuk menjaga dan memperluas
monopoli kita dalam pasar kita saat
ini?
Kompetensi pusat baru yang
bagaimana yang kita butuhkan untuk
berpartisipasi dalam pasar-pasar
yang paling menarik di masa
mendatang?
Yang
Ada
Apa peluang meningkatkan posisi
kita dalam pasar yang ada dengan
mempengaruhi kompetensi kita
yang ada dengan cara yang lebih
baik?
Produk dan jasa baru apa yang
dapat kita ciptakan dengan kembali
menyebarkan dan
mengkombinasikan kpoompetensi
yang kita miliki dewasa ini?
Sumber: Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007
Sebagai tambahan terhadap pengembangan strategi seperti
yang telah dibahas dia atas, kita juga harus menjelaskan infrastruktur
internal bagi penyampaian informasi dan proses pembuatan keputusan
dalam bentuk umum. Dengan kata lain, struktur dan kondisi yyang
eksis bagi pengembangan organisasi pembelajar yang perlu untuk
mempertahankan posisi pasar, struktur yang kondusif bagi
pengembangan dan pertahanan derajat motivasi yang tinggi dan
penitikberatan yang tepat pada misi bersama. (Yuwono, Sukarno, dan
Ichsan, 2007; p:106-116)
9. Mengidentifikasikan faktor-faktor penting bagi kesuksesan.
Langkah ini berarti berpindah dari deskripsi dan strategi-strategi yang
diuarikan di atas ke diskusi dan penetapan apa yang dibutuhkan visi untuk
berhasil dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh besar dalam hasil.
Dengan kata lain, perusahaan sekarang harus menentukan faktor apa saja yang
paling penting bagi kesuksesan, lalu menyusun prioritasnya. Faktor-faktor kunci
keberhasilan digunakan untuk menjawab apa yang ingin dilakukan oleh
perusahaan/SBU dalam bisnis untuk membedakannya dengan pesaing.
49
Contoh faktor kunci keberhasilan adalah tidak adanya produk cacat,
tenaga kerja yang terlatih, fleksibilitas untuk mengadopsi perubahan kondisi
pasar, memuaskan pelanggan, dan kerjasama dengan pemasok yang
berkualitas tinggi.
Cara yang cocok untuk memulai bagian ini adalah dengan membentuk
kelompok diskusi untuk menentukan, misal, lima faktor yang paling penting
untuk mencapai sasaran strategis yang telah dirumuskan sebelumnya.
(Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007; p:117)
10. Mengembangkan tolok ukur, identifikasi sebab & akibat dan
pengukuran keseimbangan kinerja perusahaan.
Pada langkah ini, kita mengembangkan tolok ukur kinci yang relevan
bagi pemakaian akhir kerja kita. Seperti pada langkah-langkah lainnya, kita
harus memulai dengan beberapa bentuk brainstorming, dimana tidak ada ide
yang ditolak dan semua pemikiran digunakan dalam proses tersebut. Hanya
pada fasa terakhir kita menspesifikasi dan menyusun prioritas untuk tolok ukur
yang terlihat lebih relevan, yang bisa diawasi, dan memadai.
Tantangan terbesar adalah menemukan hubungan sebab akibat yang
jelas dan menciptakan keseimbangan diantara berbagai tolok ukur dalam
perspektif yang dipilih. Maka kita perlu mengadakan diskusi tentang apakah
keseimbangan dapat dicapai diantara tolok ukur yang berbeda sehingga
peningkatan peningkatan jangka pendek tidak bertentangan dengan sasaran
jangka panjang. Tolok ukur dalam perspektif yang berbeda-beda tidak boleh
mengakibatkan terjadinya suboptimasi, tetapi harus cocok dengan dan
mendorong visi komprehensif serta strategi keseluruhan.
Langkah ini merupakan langkah tunggal meskipun pada praktiknya
seringkali lebih cocok dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, tolok ukur
diusulkan; kemudian kemungkinam mengambil tolok ukur dipelajari, sementara
50
pada waktu yang sama struktur diperiksa untuk konsistensi yang logis. Di sini,
yang digunakan adalah apa yang diketahui dalam pengukuran hubungan sebab
akibat. Dalam langkah ini dipisahkan antara lagging indicator dan leading
indicator. (Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007; p:117-118)
11. Mengembangkan top level scorecard.
Ketika langkah-langkah sebelumnya sudah lengkap, scorecard tingkat
tinggi diletakkan bersama untuk dipresentasikan dan mendapat persetujuan
pihak terkait. Untuk mefasilitasi implementasi, sebelum masuk ke dalam
pengembangan scorecard, semua orang di dalam organisasi perlu berpola pikir
efisien dalam beberapa hal yang dikerjakan. Para peserta perlu mendapat
pembagian dokumentasi yang menyediakan teks penjelasan, pendekatan-
pendekatan yang mungkin, dan saran-saran untuk kerja kelompok guna
memfasilitasi proses perincian scorecard.
12. Rincian scorecard dan tolok ukur oleh unit organisasi.
Berdasarkan tolok ukur perusahaan dan organisasi, scorecard tingkat
tinggi dan tolok ukur diuraikan dan dilaksanakan ke unit-unit organisasi tingkat
yang lebih rendah. Jika organisasi terlalu datar dan kecil, sehingga semua
orang bisa mengetahui pengaruh scorecard tingkat tinggi terhadap
pekerjaannya maka biasanya tidak diperlukan lagi perincian scorecard. Jika
perusahaan ingin memanfaatkan potensi maksimal BSC, maka scorecard harus
diuraikan dengan suatu metode. Perincian scorecard pada fase awalnya sudah
harus membentuk organisasi yang memaksimalkan kinerjanya.
13. Merumuskan tujuan.
Tiap tolok ukur yang digunakan harus memiliki sasaran. Suatu
perusahaan membutuhkan sasaran jangka pendek dan jangka panjang
sehingga ia akan memeriksa bagiannya secara berkelanjutan dan mengambil
tindakan perbaikan yang diperlukan pada waktunya.
51
14. Mengembangkan rencana kegiatan/tindakan.
Terakhir, untuk melengkapi scorecard, kita juga harus
menspesifikasikan langkah-langkah yang akan diambil untuk mencapai sasaran
dan visi yang telah ditetapkan. Rencana tindakan ini harus dapat menjelaskan
empat perspektif BSC dalam tolok ukur, target dan inisiatif strategik. Karena
rencana cenderung bersifat massa dan sangat ambisius, kelompok sebaiknya
menyetujui daftar prioritas dan daftar rencana untuk menghindari harapn-
harapan yang tak terkatakan yang kemudian bisa menjadi sumber frustasi yang
destruktif. Untuk itu, diperlukan orang-orang yang bertanggung jawab dan
skedul untuk laporan sementara dan akhir agar dapat dianalisa dengan baik
perkembangannya. (Yuwono, Sukarno, dan Ichsan, 2007; p:121-122)
15. Implementasi scorecard.
Untuk memelihara konsistensi pada scorecard, diperlukan basis yang
berkelanjutan agar fungsinya sebagai alat menajamen yang dinamis dapat
berjalan dengan baik. Scorecard penting juga digunakan dalam seluruh aspek
manajemen organisasi sehari-hari. Jika ia kemudian bisa menjadi dasar agenda
masing masing unit pada kesehariannya, ia akan berfungsi secara natural
dalam memberi laporan dan pengawasan terhadap operasional sehari-hari.
Dengan munculnya paradigma baru, dimana bisnis harus digerakkan
dengan fokus pada pelanggan, suatu sistem kinerja yang efektif harus memiliki
sayarat-syarat sebagai berikut:
a. Didasarkan pada masing-masing aktifitas dan karakteristik
organisasi itu sendiri sesuai perspektif pelanggan.
b. Evaluasi atas berbagai aktivitas, menggunakan berbagai tolok ukur
kinerja yang customer validated.
c. Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi
pelanggan, sehingga menghasilkan penilaian yang komprehensif.
52
d. Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh anggota
organisasi mengenali masalah-masalah yang ada serta
kemungkinan perbaikannya.
Dalam pengembangannya, BSC dapat disusun dengan disesuaikan
kebutuhan SBU yang ada di dalam perusahaan (LBNL, 2008). Dalam hal ini, saya
mengambil procurement BSC sebagai pengembangan metode BSC untuk menalaah
sistem pengadaan barang dan jasa perusahaan yang akan dijelaskan lebih lengkap
pada bab metode penelitian.
53
2.2. KERANGKA PEMIKIRAN
*) Divisi yang dimaksud adalah divisi pengadaan.
Sumber: Hasil olah penulis.
Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran.
Visi Perusahaan
Misi divisi*
Strategi divisi*
Perspektif Keuangan
Perspektif Pelanggan
Perspektif Proses Bisnis
Internal
Perspektif Pertumbuhan & Pembelajaran
Tujuan Strategis Perspektif Keuangan
Tujuan Strategis Perspektif Pelanggan
Tujuan Strategis Perspektif
Prooses Bisnis Internal
Tujuan Strategis Perspektif
Pertumbuhan & Pembelajaran
Hubungan sebab akibat antara tujuan strategis dengan strategi perusahaan dalam menjalankan visi dan misinya.
Pengukuran Kinerja Divisi*