BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00469-TI bab 2.pdf ·...
-
Upload
vuongtuyen -
Category
Documents
-
view
271 -
download
0
Transcript of BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00469-TI bab 2.pdf ·...
39
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Definisi Kualitas1
Pengertian mutu atau kualitas akan berlainan bagi setiap orang dan tergantung
pada konteksnya. Mutu atau kualitas suatu barang pada umumnya diukur dengan
tingkat kepuasan konsumen atau pelanggan. Seberapa besar kepuasan yang diperoleh
pelanggan tergantung dari tingkat kecocokan penggunaan masing-masing pelanggan.
Sebagai contohnya: seorang pengusaha membeli produk yang digunakan sebagai
bahan baku akan mengatakan barang tersebut mempunyai kualitas baik jika barang
tersebut dirasa cocok penggunaannya dan mempunyai kemampuan memproses hingga
menghasilkan barang jadi dengan biaya yang rendah, atau seseorang yang membeli
barang jadi dengan harapan memperoleh barang yang berkualitas dalam arti tidak
terdapat cacat sehingga orang tersebut tidak rugi mengeluarkan uang untuk membeli
barang tersebut. Dengan demikian, pengertian kualitas mencakup kegiatan yang
berkaitan dengan tercapainya kepuasan pemakai barang tersebut.
40
Konsep kualitas itu sendiri sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan
suatu produk atau jasa yang terdiri atas kualitas desain atau rancangan dan kulitas
kesesuaian atau kecocokan. Kualitas rancangan merupakan fungsi spesifikasi produk,
sedangkan kualitas kecocokan adalah seberapa baik produk itu sesuai dengan
spesifikasi dan kelonggaran yang diisyaratkan oleh rancangan itu.
Dari pengertian kualitas dapat dijumpai beberapa elemen antara lain:
1. Kualitas adalah usaha untuk memberi kepuasan bagi pelanggan.
2. Kualitas meliputi: produk, jasa, proses, dan lingkungan.
3. Kualitas akan selalu mengalami perubahan kondisi (bersifat dinamis).
Ada banyak definisi tentang kualitas yang disampaikan oleh para pakar, berikut ini
pengertian kualitas menurut pendapat beberapa ahli:
• Menurut Vincent Gaspersz (1998)
Kualitas adalah sebagai konsistensi peningkatan dan penurunan variasi karakteristik
produk, agar dapat memenuhi spesifikasi dan kebutuhan, guna meningkatkan
kepuasan pelanggan internal dan eksternal.
• Menurut Juran (1993)
Kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan dan manfaatnya.
1Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution, M.Sc. p.15-17)
41
• Menurut Crosby (1979)
Kualitas adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan
atau yang distandardkan. Suatu produk memiliki kualitas apabila sesuai dengan
standar yang sudah ditetapkan. Standar kualitas meliputi: bahan baku, proses
produksi, dan produk jadi.
• Menurut Deming (1982)
Kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen.
• Menurut Feigenbaum (1986)
Kualitas merupakan kepuasan pelanggan seluruhnya (full customer satisfaction).
Suatu produk dikatakan berkualitas apabila dapat memberi kepuasan seluruhnya
kepada konsumen, yaitu sesuai apa yang diharapkan konsumen atas suatu produk.
• Menurut Garvin (1988)
Kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia
atau tenaga kerja, proses dan tugas serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan pelanggan atau konsumen. Selera atau harapan konsumen pada suatu produk
selalu berubah sehingga kulitas produk juga harus berubah atau disesuaikan. Dengan
perubahan kualitas tersebut diperlukan perubahan atau peningkatan keterampilan
kerja, perubahan proses produksi dan tugas, serta perubahan lingkungan perusahaan
agar produk dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen.
1Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution, M.Sc. p.15-17)
42
2.1.2 Sejarah Kualitas2
Penelitian kualitas dimulai dari ditemukannya statistical quality control
dengan diagram kontrol oleh Shewhart pada tahun 1930 sampai sekarang ini.
Menurut Garvin (dalam Bounds, et.al. 1994: 46-84; Lovelock, 1944: 101-
107), kualitas sebagai suatu konsep sudah lama dikenal, tetapi kemunculannya
sebagai fungsi manajemen baru akhir-akhir ini. Ia membagi pendekatan modern
terhadap kualitas ke dalam empat era kualitas, yaitu:
• Inspeksi
Pendekatan ini mulai diterapkan pada abad ke-19. Pengendalian kualitas
mencakup beberapa model yang seragam dari suatu produk untuk mengukur
kinerja sesungguhnya. Keseragaman seperti itu dimungkinkan pada
manufakturing yang dilengkapi dengan pengembangan peralatan yang dirancang
untuk menjamin operasi mesin-mesin agar menghasilkan bagian-bagian yang
identik sehingga dapat saling menggantikan. Inspeksi terhadap output dapat
dilakukan secara langsung maupun dengan bantuan alat tertentu yang dirancang
untuk mengukur output fisik dibandingkan dengan standar yang seragam. Sejak
awal abad ke 20, kegiatan inspeksi dilakukan secara lebih formal dengan
pengendalian kualitas, di mana kualitas itu sendiri dipandang sebagai fungsi
manajemen yang berbeda.
2Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution, M.Sc. p.21,23-24)
43
• Pengendalian kualitas secara statistik
Gerakan kualitas yang menggunakan pendekatan ilmiah untuk
pertama kalinya pada tahun 1931 dengan dipublikasikannya hasil karya W. A.
Shewhart, seorang peneliti kualitas dari Bell Telephone Laboratories. Ia
menyatakan bahwa variabilitas merupakan suatu kenyataan dalam industri dan hal
ini dapat dipahami dengan menggunakan prinsip probabilitas dan statistik.
Kontribusi utamanya adalah bagan pengendalian proses untuk merencanakan nilai
produksi guna menentukan apakah nilai tersebut masuk dalam rentang yang
dikehendaki.
• Jaminan kualitas
Dalam era ini terdapat pengembangan empat konsep baru yang
penting mengenai jaminan kualitas yaitu: biaya kualitas, pengendalian kualitas
terpadu (Total Quality Control), reliability engineering, dan zero defects. Biaya
kualitas merupakan istilah yang diciptakan oleh Joseph M. Juran untuk menjawab
pertanyaan “seberapa besar kualitas dirasa cukup?” Menurut Juran, biaya untuk
mencapai tingkat kualitas dapat dibagi menjadi biaya yang dapat dihindari dan
biaya yang tidak dapat dihindari.
2Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution, M.Sc. p.21,23-24)
44
Biaya yang tidak dapat dihindari berkaitan dengan inspeksi dari
pengendalian kualitas yang dirancang untuk mencegah terjadinya kerusakan.
Biaya yang dapat dihindari adalah biaya kegagalan produk, meliputi: bahan baku
yang rusak, jam kerja yang dipergunakan untuk pengerjaan ulang dan perbaikan,
pemrosesan keluhan, dan kerugian finansial akibat pelanggan kecewa. Implikasi
manajemen dari pandangan Juran ini adalah bahwa pengeluaran tambahan untuk
perbaikan kualitas dapat dibenarkan selama biaya kegagalan masih tinggi.
TQC merupakan pemikiran Armand Feigenbaum yang dikemukakan
pada tahun 1956. Pendapatnya adalah bahwa pengendalian harus dimulai pada
perancangan produk dan berakhir hanya jika produk telah sampai ke tangan
pelanggan yang puas. Prinsip utamanya adalah mutu merupakan pekerjaan setiap
orang. Ia menyatakan bahwa kegiatan kualitas dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kategori, yaitu: pengendalian rancangan baru, bahan baku yang baru datang, dan
pengendalian product/shop floor. Sistem kualitas saat ini juga memasukkan
pengembangan produk baru, seleksi pemasok, dan pelayanan pelanggan.
2Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution M.Sc., p.21,23-24)
45
Reliability engineering (rekayasa keandalan) muncul pada tahun
1950-an yang didorong oleh kebutuhan angkatan bersenjata Amerika untuk
memiliki peralatan elektronik dan senjata udara yang dapat diandalkan, bekerja
dengan baik, serta menghindari kebutuhan untuk penggantian suku cadang yang
mahal.
Zero defects (tidak boleh ada yang salah) pertama kali dimunculkan
oleh Martin Company pada tahun 1961-1962. Konsep ini timbul karena kebutuhan
pelanggan militer akan produk yang tidak hanya bekerja baik saat pertama kali,
tetapi juga diserahkan tepat waktu. Konsep zero defects lebih dipusatkan pada
harapan manajemen dan hubungan antarpribadi daripada keterampilan rekayasa.
Tujuan utamanya adalah mengharapkan kesempurnaan pada saat pertama dan
fokusnya adalah identifikasi masalah pada sumbernya dengan perhatian khusus
untuk mengoreksi penyebab umum kesalahan karyawan, seperti:
• Kurangnya pengetahuan.
• Kurangnya fasilitas yang tepat.
• Kurangnya perhatian, kesadaran, dan motivasi karyawan.
2Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution M.Sc., p.21,23-24)
46
Menurut konsep zero defect, kesalahan yang disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan dapat diatasi dengan menggunakan teknik-teknik
pelatihan modern; kesalahan karena kurangnya fasilitas yang memadai dapat
diatasi dengan survey pabrik dan peralatan secara periodik; sedangkan kesalahan
yang disebabkan kurangnya perhatian merupakan kesalahan yang paling sulit
dideteksi. Oleh karena itu perlu diatasi dengan program zero defect.
Era ketiga manajemen kualitas ini menandai titik balik yang
menentukan. Konsep ini menaruh perhatian utama pada pelanggan dan inisiatif
karyawan sebagai masukan penting bagi program peningkatan kualitas. Gerakan
manajemen kualitas dengan penekanan pada karyawan muncul bersamaan dengan
pemikiran manajemen sumber daya manusia. Berbagai konsep, seperti teori Y dan
Scanlon plan, mendorong manajer untuk menawarkan wewenang yang lebih besar
kepada karyawan, seperti halnya strategi Zero defect yang berfokus pada motivasi
dan inisiatif karyawan.
2Manajemen Mutu Terpadu (Drs. M.N. Nasution M.Sc., p.21,23-24)
47
2.1.3 Variasi, Cacat, dan Penyebab Variasi 3
Variasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk atau proses itu
sendiri. Variasi merupakan indikator dari pada inkonsistensi proses, yang
menyebabkan banyak produk (output) yang tidak sama. Variasi dapat diukur
dengan metode statistik dan seringkali disebut standar deviasi σ- yang merupakan
tingkat penyimpangan pada proses yang diketahui dalam populasi. Variasi jelas
merupakan musuh utama dalam usaha-usaha meningkatkan kinerja proses dan
kualitas produk.
Menurut Gaspersz variasi adalah ketidakseragaman dalam sistem produksi
atau operasional sehingga menimbulkan perbedaan dalam kualitas pada output
(barang / jasa) yang dihasilkan.
Pada dasarnya dikenal dua sumber /penyebab timbulnya variasi yang
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Variasi penyebab khusus (Spesial Causes Variation)
Adalah kejadian-kejadian di luar sistem yang mempengaruhi variasi dalam sistem.
Penyebab khusus dapat bersumber dari faktor-faktor: manusia, peralatan, material,
lingkungan, dan metode kerja
3Statistical Process Control (Vincent G, p.28-29
48
Penyebab khusus ini mengambil pola-pola nonacak (nonrandom patterns)
sehingga dapat diidentifikasi / ditemukan, sebab mereka tidak selalu aktif dalam
proses tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses sehingga
menimbulkan variasi. Dalam konteks pengendalian proses statistikal
menggunakan peta-peta kendali atau kontrol (control charts), jenis variasi ini
sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang melewati atau keluar dari
batas-batas pengendalian yang didefinisikan (defined control limits).
2. Variasi penyebab umum (Common Causes Variation)
Adalah faktor-faktor di dalam sistem atau yang melekat pada proses yang
menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem serta hasil-hasilnya. Penyebab
umum sering disebut juga sebagai penyebab acak (random causes) atau penyebab
sistem (system causes) Karena penyebab umum ini selalu melekat pada sistem,
untuk menghilangkannya kita harus menelusuri elemen-elemen dalam sistem itu
dan hanya pihak manajemen yang dapat memperbaikinya, karena pihak
manajemenlah yang mengendalikan sistem itu.
3Statistical Process Control (Vincent G, p.28-29)
49
Dalam konteks pengendalian proses statistikal dengan menggunakan peta-peta
kendali atau kontrol (control charts), jenis varisi ini sering ditandai dengan titik-
titik pengamatan yang berada dalam batas-batas pengendalian yang didefinisikan
(defined control limits).
Suatu proses yang hanya mempunyai variasi penyebab umum (common-
causes variation) yang mempengaruhi outcomes merupakan proses yang stabil
karena penyebab sistem yang mempengaruhi variasi biasanya relatif stabil
sepanjang waktu. Variasi penyebab umum dapat diperkirakan dalam batas-batas
pengendalian yang ditetapkan secara statistikal. Sedangkan apabila variasi
penyebab-khusus terjadi pada proses, maka akan menyebabkan proses itu menjadi
tidak stabil. Upaya-upaya menghilangkan variasi penyebab-khusus akan
membawa proses ke dalam pengendalian statistikal.
3Statistical Process Control (Vincent G, p.28-29)
50
Pemahaman dan pengendalian variasi merupakan inti dari teori Deming. Dr.
W. Edwards Deming menyatakan bahwa sasaran dari pengendalian kualitas
adalah mengurangi variasi sebanyak mungkin. Pendekatannya adalah
menstandarisasikan proses dengan cara bahwa setiap orang menggunakan
prosedur kerja, peralatan, dan material yang sama. Di samping itu pihak
manajemen industri harus mempelajari proses, mencari sumber-sumber potensi
dari variasi, mengumpulkan data, dan kemudian menghilangkan variasi penyebab-
khusus. Sedangkan variasi penyebab umum merupakan tindakan konkret berikut
sebagai bukti komitmen dari manajemen industri untuk perbaikan terus menerus
(continuous process improvement) setelah variasi penyebab khusus dihilangkan
dari proses itu.
3Statistical Process Control (Vincent G, p.28-29)
51
2.1.4 Program Peningkatan dan Perbaikan Kualitas Six Sigma
2.1.4.1 Sejarah Six Sigma4
Six Sigma merupakan metode atau teknik pengendalian dan peningkatan
kualitas dramatik pertama kali diperkenalkan oleh Motorola. Pada tahun 1988
Bob Galvin selaku CEO Motorola menerima penghargaan Malcoln Baldrige
National Quality Award (MBNQA) untuk penerapan metode Six Sigma pada
perusahaan tersebut. Sejarahnya adalah pada tahun 1980-an dan awal 1990-an,
Motorola merupakan salah satu dari banyak korporat AS dan Eropa di mana
produk yang mereka luncurkan dimakan oleh para pesaing Jepang. Konsep mutu
berbasis TQC / QCC yang diperkenalkan di Jepang telah membuat banyak
perusahaan barat kehilangan daya saingnya, seperti juga kebanyakan perusahaan
di AS, saat itu Motorola tidak memiliki program kualitas. Tetapi pada tahun
1987, keluar dari pendekatan baru dari sektor komunikasi Motorola pada saat itu
dikepalai oleh George Fisher yang kemudian menjadi top executive di Kodak.
Konsep perbaikan kualitas itu dinamakan Six Sigma.
Six Sigma memberikan suatu pendekatan pada Motorola sebuah cara
sederhana dan konsisten untuk melacak dan membandingkan kinerja dalam
persyaratan pelanggan dan sebuah target bisnis ambisius dari kualitas yang
sempurna secara praktis.
4The Six Sigma Way (Pande, p. 5-9) The Six Sigma Handbook (Pydex, p.1-5)
52
Sebagaimana pendekatan Six Sigma kian menyebar keseluruhan bagian
perusahaan dengan dukungan dari Chairman Motorola, Bob Galvin, Six Sigma
memberikan ”otot ekstra” kepada Motorola untuk mencapai tujuan-tujuan yang
pada saat itu sebenarnya tidak mungkin, di mana target awal pada tahun 1980-an
sebesar 10 kali peningkatan pada 5 tahun, diperkecil menjadi 10 kali peningkatan
setiap 2 tahun, atau 100 kali dalam 4 tahun.
4The Six Sigma Way (Pande, p. 5-9)
53
Hanya kurang dari 2 tahun, setelah meluncurkan Six Sigma, Motorola
mendapat penghargaan MBNQA, seperti telah dijelaskan di atas. Karyawan total
perusahaan naik dari 71.000 pada tahun 1980, menjadi lebih dari 130.000 saat ini.
Namun demikian, dalam dekade antara permulaan Six Sigma pada tahun 1987 dan
1997, prestasi dan keberhasilan yang dicatat dari aplikasi program Six Sigma
adalah5:
1. Peningkatan produktivitas rata-rata: 12.3% per tahun.
2. Penurunan COPQ (cost of poor quality) lebih dari 84%.
3. Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99.7%.
4. Penghematan biaya manufaktur lebih dari $ 11 Miliar.
5. Peningkatan tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan rata-rata sebesar 17% dalam
penerimaan, keuntungan, dan harga saham Motorola.
Dewasa ini, Motorola terkenal di seluruh dunia sebagai pemimpin kualitas.
Untuk pencapaian kualitas dan tujuan pemenuhan kepuasan pelanggan
sepenuhnya, Motorola berkonsentrasi pada beberapa inisiatif operasional kunci
dan pada daftar paling atas adalah “kualitas Six Sigma” suatu pengukuran variasi
dari suatu hasil yang diharapkan.
5 The Six Sigma Way (Pande, 17-19)
54
Bahkan lebih dari sekedar sekumpulan peraturan untuk hasil-hasil yang
ditargetkan, Motorola telah menerapkan Six Sigma sebagai sebuah cara untuk
mentransformasi bisnis, sebuah cara yang didorong komunikasi, pelatihan,
kepemimpinan, teamwork, pengukuran, dan fokus pada pelanggan.
Sementara Motorola menggunakan Six Sigma untuk mempertahankan
posisinya dalam pasar global untuk tetap dapat bersaing maka General Electric
adalah jawaban untuk pertanyaan berikut: Bagaimana kamu lebih memperkuat
kemajuan perusahaan yang telah dicapai?
Jack Welch, CEO GE meminta setiap karyawannya untuk menjadi “gila
kualitas”. Welch meluncurkan usaha perbaikan tersebut di akhir tahun 1995
dengan 200 proyek dan program pelatihan intensif, bergerak ke 3000 proyek dan
pelatihan yang lebih banyak di tahun 1996. Contoh keberhasilan penerapan six
sigma di GE dapat dilihat di bawah ini:
1. Tim Six Sigma di unit GE’s lighting telah memperbaiki masalah-masalah dalam
pembayarannya kepada salah satu pelanggan topnya: Wal Mart, menghapus defect
faktur dan perselisihan sebesar 98%.
2. Bisnis jasa GE capital mempersingkat proses tinjauan kontrak dan mencapai
penghematan tahunan sebesar $ 1 milliar.
5 The Six Sigma Way (Pande, 17-19)
55
3. Menggunakan alat dan metodologi six sigma, sebuah tim dari Sistem Kedokteran
GE dan pusat penelitian dan pengembangan GE mengembangkan pipa performix
630 baru dengan atribut-atribut yang diinginkan pelanggan.
Angka-angka luar biasa dibalik inisiatif six sigma dan GE hanyalah
memberikan sebagian dari kisah sukses GE. Dari tahun awal atau tahun-tahun dari
usaha untuk mencapai titik impas, hasil diakselerasi sebesar $ 750 juta menjelang
akhir tahun 1998, perkiraan $ 1.5 milliar pada akhir tahun 1999. Para pemimpin di
GE menyebut hasil-hasil tersebut sebagai bukti yang dapat dilihat dari kontribusi
finansial yang telah dibuat oleh six sigma. Six sigma telah menyebar bagai api ke
seluruh perusahaan dan ini mengubah segala sesuatu yang kita perbuat, ujar
Welch.
4 The Six Sigma Way (Pande, 17-19)
56
2.1.4.2 Definisi Six Sigma6
Six Sigma sebagai sebuah istilah baru dalam dunia bisnis dan juga ilmu
statistika, seringkali mempunyai definisi yang berbeda. Persepsi para insinyur dan
ahli statistik seringkali berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh media bisnis
secara umum. Tetapi adalah tidak arif untuk membuat frase ”Six Sigma” menjadi
membingungkan bagi orang-orang yang ingin mengetahuinya baik mereka yang
memiliki latar belakang ekonomi, statistik, manajemen, atau teknik.
Kata Sigma sendiri merupakan salah satu huruf dari sistem alfabet Yunani
yang dilambangkan dengan ”σ”, yang berarti mengindikasikan banyaknya tingkat
variasi output terhadap target yang telah ditetapkan. Secara statistik, six sigma
adalah suatu ketentuan yang mensyaratkan suatu proses beroperasi pada batas
toleransi perekayasaan terdekat adalah paling sedikit + 6 σ dari rata-rata proses.
Dalam persepsi teknis untuk pengendalian proses maka six sigma dapat berarti
kepada target kinerja operasi yang diukur secara statistik dengan hanya 3.4 cacat
(defect) untuk setiap satu juta kejadian atau ” peluang”. Seringkali dinamakan 3.4
DPMO (Defect Per Million Opportunities) atau 3.4 PPM (Parts Per Millon). Cara
lainnya untuk menentukan Six Sigma adalah sebagai usaha ”perubahan budaya”
agar posisi perusahaan di pasar ada pada kepuasan pelanggan, profitabilitas, dan
daya saing yang lebih besar.
6The Six Sigma Way (Pande, p.10-11)
57
Definisi yang terakhir ini lebih disukai oleh mereka yang memiliki latar
belakang manajemen dan ekonomi. Dari sekian banyak definisi-ukuran, tujuan,
ataupun perubahan budaya yang ada mana paling sesuai untuk mendapatkan kata
”six sigma ” secara tepat?
Sebenarnya tidak ada satupun dari definisi di atas yang kurang tepat atau
yang paling tepat sekalipun. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya
dari bab ini bahwa six sigma bukanlah suatu program teknis keseluruhan dan juga
tidak selalu menekankan pada statistik. Six sigma lebih kepada suatu pendekatan
manajemen untuk mencapai tujuannya berupa kepuasan pelanggan, peningkatan
produktivitas, penurunan tingkat output yang cacat, dan secara umum peningkatan
kinerja perusahaan yang dapat dibuktikan dengan laba, penghematan tahunan,
nilai harga saham, market share, employee, turnover, dan lain-lain. Akan tetapi,
metode ini juga memiliki basis yang cukup kuat pada statistik, terutama jika kita
berbicara pada ukuran yang menjadi indikator awal bagi tercapainya target
kualitas seperti yang diharapkan atau seperti yang dijanjikan oleh metode tersebut
yaitu penurunan tingkat cacat hingga mencapai 3.4 DPMO dengan toleransi
persyaratan (UCL dan LCL) mencapai + 6 σ terhadap rata-rata proses.
5The Six Sigma Way (Pande, p.10-11)
58
Dengan pemahaman menyeluruh terhadap konsep six sigma sebagai suatu
pendekatan manajemen berbasis statistik yang menekankan pada tujuannya
berupa peningkatan kinerja bisnis serta fokus kepada hasil-hasil yang ditargetkan
maka dalam bukunya, The Six Sigma Way, Peter S Pande, mendefinisikan six
sigma secara luas.
Six Sigma adalah sebuah sistem yang merupakan pendekatan manajemen
yang komperhensif dan fleksibel untuk mencapai, mempertahankan, dan
memaksimalkan sukses bisnis, dan juga six sigma secara unik dikendalikan oleh
pemahaman kuat terhadap kebutuhan pelanggan, pemakaian yang disiplin
terhadap fakta, dan analisis statistik dan perhatian yang cermat untuk mengelola,
memperbaiki, dan menanamkan kembali proses bisnis demi tercapinya tingkat
kualitas 6 σ.
2.1.4.3 Konsep Six Sigma Secara Statistik 7
Sigma adalah sebuah unit pengukuran statistik yang mencerminkan
kapabilitas proses. Sigma adalah cara untuk menentukan atau bahkan
memprediksikan kesalahan atau cacat dalam proses, baik untuk proses manufaktur
atau pengiriman sebuah pelayanan. Jika perusahaan kita sudah mencapai level 6
sigma berarti dalam proses kita mempunyai peluang untuk defect atau melakukan
kesalahan sebanyak 3.4 kali dari 1.000.000 kemungkinan (opportunity). Dari hasil
59
perhitungan yang dilakukan dengan memperbandingkan nilai sigma, didapatkan
perbandingan sebagai berikut7:
Tabel 2.1 Perbandingan Hasil 3.8 Sigma dan 6 Sigma
Pencapaian Tujuan-Apa yang telah anda dapatkan Sampel 3.8 Sigma 6 Sigma
Untuk setiap 300.000 surat yang diantar
3.000 salah kirim 1 salah kirim
Melakukan 500.000 kali restart komputer
4.100 berbenturan
< 2 berbenturan
Untuk 500 tahun dari tutup buku akhir tahun
60 bulan tidak seimbang
0.018 bulan tidak seimbang
Untuk setiap minggu penyiaran TV (per channel)
1.68 jam gagal mengudara
1.8 detik gagal mengudara
Proses six sigma Motorola berdasarkan pada distribusi normal yang
mengizinkan pergeseran 1.5 sigma dari nilai target. Konsep Six sigma menurut
Motorola ini berbeda dengan konsep distribusi normal yang tidak memberikan
kelonggaran akan pergeseran. Nilai pergeseran 1.5 sigma ini diperoleh dari hasil
penelitian Motorola atas proses atau sistem industri, di mana menurut hasil
penelitian bahwa sebagus-bagusnya suatu proses industri (khususnya mass
production) tidak akan 100% berada pada suatu titik nilai target tapi akan ada
pergeseran sebesar rata-rata 1.5 sigma dari nilai tersebut.
7Pengendalian Kualitas Statistik (Dorothea, Wahyu, A, 192)
60
Gambar 2.1 Pergeseran Tingkat sigma dalam Konsep Six Sigma Motorola
Pada rata-rata proses umumnya dapat menyimpang sebesar + 1.5 σ dalam
asumsi normalitas. Apabila rata-rata proses menyimpang sejauh 1.5 σ ke kanan,
maka level sigma dari proses akan sebesar 4.5 σ dan arah yang berlawanan akan
menghasilkan 7.5 σ. Secara umum apabila proyek six sigma dijalankan dengan baik
dan konsisten dalam jangka panjang, maka pergeseran 1.5 σ adalah satu ketentuan
yang dapat dimaklumi. Jadi dalam implementasi jangka panjang yang dimaksud
dengan ”six sigma” adalah 6 σ dengan asumsi pergeseran 1.5 σ pada rata-rata
proses dari target yang telah ditetapkan. Adapun DPMO yang dihasilkan untuk
tingkat pengelolaan six sigma ini adalah sebesar 3.4 PPM dan 99.99966% dari data
akan berada dalam batas toleransi 6 σ atau yield sebesar 99.99966%.
7Pengendalian Kualitas Statistik (Dorothea, Wahyu, A, 192
61
Perbandingan antara proses dan konsep pure six sigma, di mana rata-rata
proses adalah tetap, dengan konsep Six Sigma Motorola, di mana rata-rata proses
diasumsikan menyimpang 1.5 σ dalam jangka panjang adalah seperti di bawah ini:
Tabel 2.2 Level Sigma dan Tingkat DPMO8
Sigma Quality Level Mean, fixed Mean, with 1.5 shift Defect Rate
(ppm) Defect Rate (ppm)
3 2,700 66,811 4 63,40 6,210 5 0,57 233 6 0,002 3,4
8Pengendalian Kualitas Statistik (Dorothea, Wahyu, A, 192)
62
Untuk lebih jelasnya tentang tabel konversi level six sigma dan juga nilai
DPMO-nya dapat dilihat pada bagian lampiran. Menurut penelitian di AS, apabila
perusahaan serius dalam penerapan program six sigma maka hasil-hasil berikut
dapat diperoleh:
1. Terjadi peningkatan 1 sigma dari 3-sigma menjadi 4-sigma pada tahun pertama.
2. Pada tahun kedua, peningkatan akan terjadi dari 4-sigma menjadi 4.7-sigma.
3. Pada tahun ketiga, peningkatan akan terjadi dari 4.7 menjadi 5-sigma.
4. Pada tahun keempat, peningkatan akan terjadi dari 5-sigma menjadi 5.1-sigma.
5. Pada tahun-tahun selanjutnya, peningkatan rata-rata adalah 0.1-sigma sampai
maksimum 0.15-sigma setiap bulan.
Sebelumnya dikatakan bahwa dibutuhkan waktu rata-rata 8 tahun untuk
beralih dari tingkat operasional 4-sigma ke 6-sigma, yang berarti harus terjadi
peningkatan sebesar 6210 / 3.4 = 1826.471 kali peningkatan selama 8 tahun atau
secara rata-rata sekitar 228.3 kali peningkatan setiap tahunnya. Suatu peningkatan
yang dramatik untuk mencapai level perusahaan kelas dunia. Peningkatan dari 3-
sigma menjadi 4.7-sigma memberikan hasil yang mengikutui kurva eksponensial
(mengikuti deret ukur), sedangkan peningkatan dari 4.7-sigma sampai 6-sigma
mengikuti gerak kurva linear (mengikuti deret hitung).
63
2.1.4.4 Tema Kunci dan Keuntungan Six Sigma8
Untuk dapat menerapkan metode six sigma secara optimal hal yang perlu
diperhatikan adalah mengetahui 6 tema kunci dari metode six sigma itu sendiri
(Pande). 6 tema ini sering juga ditafsirkan sebagai ”persyaratan utama” dalam
mengembangkan metode six sigma, 6 tema kunci tersebut adalah:
1. Fokus sungguh-sungguh kepada pelanggan (customer focus).
2. Manajemen yang digerakkan oleh data dan fakta (management by fact).
3. Fokus pada proses, manajemen, dan perbaikan.
4. Manajemen proaktif (proactive management).
5. Kolaborasi tanpa batas (dari Jack Welch).
6. Dorongan untuk sempurna, tetapi toleransi terhadap kegagalan.
Adapun keuntungan-keuntungan yang dapat diraih dari penerapan metode ini:
1. Pengurangan biaya produksi akibat inefisiensi produksi.
2. Peningkatan produktivitas.
3. Pertumbuhan pangsa pasar (market share).
4. Retensi/ loyalitas pelanggan (customer loyality)akibat kepuasan pelanggan.
5. Pengurangan waktu siklus (reduce cycle time).
6. Pengurangan tingkat produk yang cacat (reduce defect rate).
7. Pengembangan produk dan jasa (product and service development)
8(The Six Signa Way, Pande, p. 17-19)
64
8. Meningkatnya pencegahan dan kesadaran karyawan akan budaya kualitas.
2.1.5 Pengukuran Kinerja Produk 9
Ukuran Six Sigma terdiri dari:
• Unit (U)
Jumlah part, sub-assy, atau sistem yang diukur atau diperiksa. Sebuah item yang
sedang diproses, atau produk atau jasa akhir yang sedang dikirim kepada
pelanggan-sebuah mobil, pinjaman hipotek, hotel stay, bank statement, dan
sebagainya.
• Defect (cacat)
Segala sesuatu yang membuat customer tidak puas, dapat juga diartikan kegagalan
untuk memenuhi persyaratan pelanggan / kinerja standar-seperti: mesin bocor,
penundaan dalam closing pinjaman hipotek, hapusnya reservasi, statement
error,dsb.
• Defective (Df)
Semua unit yang berisi sebuah defect.
• Opportunity (OP)
Karakteristik yang diperiksa atau diukur, dalam hal ini yang digunakan adalah
Critical To Quality (CTQ).
9 The Six Sigma Way (Pande, 235-239)
65
Ada tiga langkah utama dalam menentukan jumlah opportunity yaitu:
1. Membuat daftar pendahuluan dari jenis cacat.
2. Menentukan yang mana actual defect, kritis bagi konsumen dan spesifik.
3. Periksalah jumlah peluang yang diusulkan terhadap standar.
• Defect Per Unit (DPU)
Ukuran ini merefleksikan jumlah rata-rata dari defect, semua jenis, terhadap
jumlah total unit dari unit yang dijadikan sampel.
UD
=DPU
OP x U=TOP
• Defect Per Opportunity (DPO)
Menunjukkan proporsi defect atas jumlah total peluang dalam sebuah kelompok.
TOPD
=DPO
OP x UD
=DPU
• Defect Per Million Opportunity (DPMO)
DPMO mengindikasikan berapa banyak defect akan muncul, jika ada satu juta
peluang dalam lingkungan pemanufakturan secara kritis.
9 The Six Sigma Way (Pande, 235-239)
66
2.1.5.1 Konsep Pengukuran Berbasis Kecacatan
Pada konsep ini ada dua ukuran yang digunakan yaitu:
1. Ukuran Defective dan Yield, variabel pengukurannya adalah:
Proportion defect; merupakan persentase jumlah unit/ item yang memiliki
satu atau lebih cacat dibanding total unit yang diproduksi. Rumusnya ialah:
%100xdiproduksi yangunit umlah j
umlah j=DPU
defective
Final yield atau ditulis Y final dihitung sebagai 1 dikurangi proportion
defective. Informasi ini memberitahu apakah pecahan dari unit total yang
diproduksi atau dikirim adalah bebas cacat (defect free). Hasil ini biasanya
dikalikan dengan 100%. Ukuran Yield mengindikasikan keefektifan dari sebuah
proses untuk menghasilkan profitabilitas produk yang bebas cacat (defect free)
9The Six Sigma Way (Pande, 235-239)
67
2. Ukuran-ukuran defect
Sering disebut Defect Per Unit (DPU). Ukuran ini mengindikasikan
jumlah total rata-rata dari defect, semua jenis terhadap total yang dihasilkan. Jika
DPU sebesar 1, misalnya, ini mengindikasikan bahwa setiap unit akan memiliki
satu defect, sekalipun beberapa item mungkin memiliki lebih dari satu defect dan
yang lainnya tidak ada defect. DPU 0.25 menunjukkan suatu profitabilitas bahwa
ada satu dari empat unit akan memiliki satu defect. Rumusnya adalah:
unit aljumlah toti terjadyang jumlah
=DPUdefect
Tiga ukuran yang pertama di atas akan membantu mengetahui seberapa
baik atau buruk proses dikerjakan dan bagaimana defect didistribusikan dalam
proses berjalan. Ukuran –ukuran tersebut juga menjadi indikator dari performansi
produk yang dihasilkan.
9The Six Sigma Way (Pande, 235-239)
68
2.1.5.2 Konsep Pengukuran Berbasis Peluang 10
Pada konsep ini, ada tiga variabel yang dapat digunakan untuk
menghitung dan mengekspresikan ukuran-ukuran berbasis peluang defect, yaitu:
1. Defect Per Opportunity (DPO)
Variabel ini menunjukkan proporsi defect atas jumlah total peluang
dalam sebuah kelompok yang diperiksa. Sebagai contoh jika DPO sebesar 0.05
berarti peluang untuk memiliki defect dalam sebuah kategori (CTQ) adalah 0.5.
Rumusnya adalah:
Peluang Unit x Totalunit jumlah
=DPOdeffective
2. Defect Per Million Opportunities (DPMO)
Kebanyakan ukuran-ukuran peluang defect diterjemahkan ke dalam
format DPMO yang mengindikasikan berapa banyak defect akan muncul jika
ada satu juta peluang. Dalam lingkungan pemanufakturan secara khusus DPMO
sering dinamakan parts per million (ppm). Rumus umum untuk menghitung
DPMO adalah:
000.000.1DPOx=DPMO
Ukuran ini seringkali dapat dipakai untuk menentukan peluang
terjadinya cacat pada produk yang diproduksi dalam satu juta peluang.
10 The Six Sigma Way (Pande, 243 – 246)
69
3. Sigma Level
Ukuran Sigma atau level Sigma adalah variabel yang paling penting
dalam metode Six Sigma, karena variabel ini mengindikasikan variabilitas
proses dan sampai level berapa Sigma proses harus dikelola. Ukuran ini juga
mengindikasikan apakah proses saat ini sudah efisien dan ”berkualitas” atau
belum.
Untuk mendapatkan skor Sigma hal yang harus dilakukan adalah kita
harus mengetahui DPMO terlebih dahulu dari hasil tersebut kita konversikan
menjadi ekor Sigma melalui tabel konversi Sigma pada lampiran.
4. Menghitung COPQ
Konsekuensi dari suatu produk jadi yang mempunyai kualitas rendah
adalah perusahaan harus rela kehilangan keuntungan. Untuk mereduksi
kehilangan keuntungan ini, maka perusahaan dapat menjalankan proyek six
sigma. Semakin tingginya tingkat sigma yang dicapai, maka tingkat defect dan
COPQ-nya menjadi rendah.
10 The Six Sigma Way (Pande, 243 – 246)
70
2.1.6 Model Perbaikan DMAIC (Define Measure Analyze Improve Control)
Ada beberapa model struktur dalam peningkatan kualitas six sigma, salah
satunya yang paling banyak dipakai adalah metode DMAIC.
DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus-menerus menuju
target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik menurut ilmu pengetahuan
dan fakta.
Gambar 2.2 Model DMAIC
71
2.1.6.1 Project Statement11
Tools ini digunakan untuk membantu dalam memfokuskan permasalahan
yang akan diteliti. Elemen-elemen yang ada dalam Project Statement antara lain:
a. Business Case (Latar Belakang Proyek) merupakan latar belakang permasalahan
saat ini dalam lingkup luas.
b. Problem Statement (Pernyataan Masalah) yaitu berisi pernyataan masalah yang ada
disertai dengan nilai-nilai yang menunjukkan permasalahan tersebut.
c. Project Scope (Ruang Lingkup Proyek) merupakan batasan-batasan di mana proyek
perbaikan atau pemecahan masalah akan diteliti.
d. Goal Statement (Pernyataan Tujuan) merupakan pernyataan tujuan yang akan
dicapai setelah proyek diselesaikan. Pernyataan tujuan ini haruslah spesifik, terukur,
realistik, dan dapat dimengerti (specific, measurable, realistic, and understandable).
e. Milestone (Batas Waktu Proyek) atau batas waktu yang ditetapkan untuk dapat
menyelesaikan proyek, beserta rincian kegiatan waktu demi waktu, bila diperlukan.
11The Six Sigma Way: Team Fieldbook (Pande, Neuman, & Cavanagh, 101-103)
72
2.1.6.2 Define
Define merupakan langkah operasional pertama dalam program
peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah yang terdapat dalam fase define antara
lain: menentukan atau mendefinisikan tujuan dari proyek Six Sigma, membuat
gambaran dari perusahaan baik berupa: SIPOC diagram dan Peta Proses Operasi.
2.1.6.2.1 SIPOC Diagram12
SIPOC adalah singkatan dari Supplier, Input, Process, Output, dan
Customer. SIPOC adalah diagram yang digunakan untuk menyajikan sekilas dari
aliran kerja. SIPOC dapat digunakan untuk memastikan bahwa semua orang akan
melihat proses dalam cara pandang yang sama. Untuk itulah, SIPOC harus ada
pada awal proyek. Proses dipetakan menjadi beberapa langkah, yaitu:
a. Menamakan proses.
b. Membuat batasan titik awal dan akhir proses.
c. Membuat daftar output dan pelanggan.
d. Membuat daftar input dan pemasok.
e. Identifikasi, memberi nama, dan urutan langkah-langkah yang ada dalam proses.
12The Six Sigma Way: Team Fieldbook (Pande, Neuman, & Cavanagh, 101-103)
73
SIPOC terdiri dari 5 buah elemen yaitu sebagai berikut:
1. Supplier - orang atau kelompok yang memberikan informasi kunci, bahan-bahan,
atau sumber daya lainnya kepada proses.
2. Input – sesuatu yang diberikan, dapat berupa: material, modal, tenaga kerja,
energi, dan informasi.
3. Process – sekumpulan langkah yang mengubah dan idealnya menambahkan nilai
input.
4. Output – hasil keluaran dari proses akhir biasanya berupa: produk jadi
5. Customer – orang yang akan menggunakan output secara langsung atau sebagai
input untuk proses kerja mereka.
2.1.6.2.2 Peta Proses Operasi13
Peta proses operasi (Operation Process Chart) adalah peta kerja yang
mencoba menggambarkan urutan kerja dengan jalan membagi pekerjaan menjadi
elemen-elemen operasi secara detail. Di mana tahapan kerja harus diuraikan
secara logis dan sistematis. Dengan demikian, keseluruhan proses kerja dapat
digambarkan dari awal (raw material) sampai menjadi produk akhir (finish good
products) sehingga analisa perbaikan dari masing-masing operasi kerja secara
individual maupun urutan-urutannya secara keseluruhan akan dapat dilakukan.
13(Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu, Sritomo, W, p. 129)
74
Peta operasi ini umumnya digunakan untuk menganalisa operasi-operasi kerja
yang menghabiskan waktu dalam suatu siklus kerja.
Untuk pembuatan peta proses operasi ini maka simbol-simbol ASME
(American Society of Mechanical Engineers) yang dipakai adalah simbol Operasi,
Inspeksi, dan gabungan antara operasi dengan inspeksi.
2.1.6.3 Measure
Measure merupakan langkah operasional kedua dalam rangka peningkatan
kualitas dalam metode DMAIC. Pada tahap ini dilakukan pengukuran dan
mengenali dan menginventarisasi karakteristik kualitas kunci (CTQ).
Tahap Measure memegang peranan yang sangat penting dalam
meningkatkan kualitas, karena dapat mengetahui kinerja perusahaan melalui
perhitungan data yang dijadikan dasar untuk melakukan analisa dan perbaikan.
Dalam DMAIC terdapat dua konsep pengukuran yaitu: konsep pengukuran kinerja
produk dan konsep pengukuran kinerja proses. Pengukuran kinerja proses dapat
dilakukan dengan:
1. Membuat peta kendali
2. Menghitung kapabilitas proses untuk mengetahui apakah proses yang terjadi
mampu (capable). Analisa kapabilitas proses akan membandingkan kinerja
suatu proses dengan spesifikasi yang telah ditetapkan.
75
Pengukuran kinerja produk dapat dilakukan dengan:
1. Menghitung DPMO (Define Per Million Opportunities), yaitu
mengidentifikasikan berapa banyak produk defect yang muncul jika ada satu
juta peluang, dan menghitung nilai sigma.
2. Menghitung COPQ (Cost of Poor Quality) yaitu biaya yang timbul akibat
proses kegagalan dari suatu proses.
2.1.6.3.1 Jenis-jenis Peta Kontrol
• Peta Kontrol Untuk Data Variabel13
Peta Kontrol X dan R
Peta kontrol X (Rata-rata) dan R (Range) digunakan untuk memantau proses
yang berdimensi kontiniu, sehingga peta kontrol X dan R sering disebut peta
kontrol untuk data variabel. Peta kontrol X menjelaskan kepada kita apakah
perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran titik pusat (central
tendency) rata-rata suatu proses. Sedangkan peta kontrol R (Range)
menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam
ukuran variasi, dengan demikian berkaitan dengan perubahan homogenitas
produk yang dihasilkan dalam suatu proses.
13Statistical Process Control (Vincent G, p. 112)
76
Adapun rumus yang digunakan untuk Peta Kontrol X dan R sebagai berikut:
• Peta Kontrol X (Batas kontrol 3-sigma)
Central Line (CL) dirumuskan CL= X
Upper Control Limit (UCL) dirumuskan UCL = RA+X 2
Lower Control Limit (LCL) dirumuskan LCL = RA-X 2
Keterangan:
A2 = Koefisien untuk batas Kontrol X (nilainya dapat dilihat pada Tabel
Lampiran)
• Peta Kontrol R (Batas kontrol 3-sigma)
Central Line (CL) dirumuskan R=CL
Upper Control Limit (UCL) dirumuskan UCL = RD4
Lower Control Limit (LCL) dirumuskan LCL = RD3
Keterangan:
D3, D4 =Koefisien untuk batas kontrol R
13Statistical Process Control (Vincent G, p. 112)
77
• Peta Kontrol Untuk Data Atribut14
Peta Kontrol p
Peta kontrol p digunakan untuk mengukur proporsi ketidaksesuaian
(penyimpangan atau sering disebut cacat) dari item-item dalam kelompok
yang sedang diinspeksi. Dengan demikian peta kontrol p digunakan untuk
mengendalikan proporsi dari item-item yang tidak memenuhi syarat
spesifikasi kualitas atau proporsi dari produk cacat yang dihasilkan dalam
suatu proses. Proporsi yang tidak memenuhi syarat didefinisikan sebagai rasio
banyaknya item yang tidak memenuhi syarat dalam suatu kelompok terhadap
total banyaknya item dalam kelompok itu. Proporsi sering diungkapkan dalam
bentuk desimal kemudian dikalikan 100% sehingga diperoleh persentase dari
produk cacat.
• Rumus Proporsi cacat ( p )
inspeksi totalcacat total
=p
• Rumus Simpangan Baku (Sp)
n)p-1(p
=Sp atau n
)p-100(p=Sp , dinyatakan dalam persen
14Statistical Process Control (Vincent G, p. 149)
78
• Peta Kontrol p(batas kontrol 3-sigma)
CL= p
in)p-1(p
3+p=UCL
in)p-1(p
3-p=LCL
2.1.6.3.2 Indeks Kapabilitas Proses (Cp)15
Kapabilitas adalah kemampuan dari dalam proses yang menghasilkan
produk yang memenuhi spesifikasi. Jika proses memiliki kapabilitas yang
baik, proses itu akan menghasilkan produk yang berada dalam batas-batas
spesifikasi (di antara batas bawah dan batas atas spesifikasi). Sebaliknya,
apabila proses memiliki kapabilitas yang jelek, proses itu akan menghasilkan
banyak produk yang berada di luar batas-batas spesifikasi sehingga
menimbulkan kerugian karena banyak produk akan ditolak.
15Statistical Process Control (Vincent G, p. 79-81)
79
Indeks Kapabilitas Proses (Cp) dihitung menggunakan formula berikut:
s6LSL-USL
=Cp
di mana:
Cp = indeks kapabilitas proses (process capability index)
USL = batas spesifikasi atas (upper specification index)
LSL = batas spesifikasi bawah (lower specification index)
6 s = enam simpangan baku
Jika nilai indeks kapabilitas proses lebih besar atau sama dengan satu
(Cp > 1), hal itu menunjukkan bahwa proses memiliki kapabilitas yang baik,
yang berarti bahwa proses mampu menghasilkan produk yang berada dalam
batas-batas spesifikasi. Sebaliknya, jika nilai indeks kapabilitas lebih kecil
daripada satu (Cp <1), hal itu menunjukkan bahwa proses memiliki kapabilitas
yang jelek, yang berarti bahwa proses tidak mampu menghasilkan produk
yang sesuai dengan batas-batas spesifikasi.
15Statistical Process Control (Vincent G, p. 79-81)
80
Untuk keperluan praktek, biasanya dipergunakan kriteria sebagai berikut:
• Cp > 1.33, maka proses dianggap mampu (capable)
• Cp = 1.00 – 1.33, maka proses dianggap mampu, namun perlu pengendalian ketat
apabila Cp telah mendekati satu (capable with tight control as Cp approaches
1.00).
• Cp < 1.00, maka proses dianggap tidak mampu (not capable)
Biasanya, indeks kapabilitas proses (Cp) dipergunakan bersamaan dengan indeks
performansi (performance index), Cpk, yang dikemukakan oleh Kane pada tahun
1986. Indeks performansi Kane, Cpk menjelaskan tentang kedekatan nilai rata-rata
dari proses sekarang terhadap salah satu batas spesifikasi atas (USL) atau batas
spesifikasi bawah (LSL). Indeks performansi Kane memiliki persamaan:
)CPU,CPL(min=Cpk
di mana: CPL = indeks kapabilitas bawah (lower capability index) dan CPU =
indeks kapabilitas atas (upper capability index).
Berikut ini adalah persamaan CPL dan CPU
( )s3LSL-X
=CPL
( )s3
X-USL=CPU
15Statistical Process Control (Vincent G, p. 79-81)
81
Besaran CPL dan CPU dapat dibandingkan terhadap kriteria berikut:
• Jika CPL > 1.33, proses akan mampu memenuhi batas spesifikasi bawah (LSL).
• Jika 1.00 < CPL<1.33, proses masih mampu memenuhi batas spesifikasi bawah
(LSL), namun perlu pengendalian ketat apabila CPL telah mendekati 1.00.
• Jika CPL<1.00, proses tidak mampu memenuhi batas spesifikasi bawah (LSL).
• Jika CPU>1.33, proses akan mampu memenuhi batas spesifikasi atas (USL).
• Jika 1.00 < CPU <1.33, proses masih mampu memenuhi batas spesifikasi atas
(USL), namun perlu pengendalian ketat apabila CPU telah mendekati 1.00.
• Jika CPU < 1.00, proses tidak mampu memenuhi batas spesifikasi atas (USL).
Kapabilitas proses dapat juga diukur dengan menggunakan rasio kapabilitas
(capacibility ratio), yang biasanya dinotasikan sebagai CR.
LSL-USLs6
=CR
Untuk keperluan praktek, biasanya dipergunakan kriteria sebagai berikut:
• CR < 0.75, maka proses dianggap mampu.
• CR = 0.75 – 1.00, maka proses dianggap mampu, namun perlu pengendalian ketat
apabila CR telah mendekati 1.00.
• CR >1.00 maka proses dianggap tidak mampu.
15Statistical Process Control (Vincent G, p. 79-81)
82
2.1.6.3.3 Critical To Quality (CTQ)16
CTQ adalah unsur-unsur suatu proses yang secara signifikan
mempengaruhi output dari proses itu sendiri. CTQ merupakan atribut yang sangat
penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan
keinginan pelanggan, serta merupakan elemen-elemen dari suatu produk, proses,
atau praktek-praktek yang berdampak langsung pada kepuasan konsumen.
CTQ dapat digunakan untuk mengidentifikasi proses atau produk yang
akan diperbaiki untuk menerjemahkan permintaan pelanggan. Biasanya,
bentuknya berupa turunan masalah atau breakdown dari semua masalah sampai
tercapai atau teridentifikasi masalah yang sesungguhnya guna memenuhi
keinginan pelanggan.
16 The Six Sigma Way (Pande, p. 28)
83
2.1.6.3.4 Biaya Kualitas17
Biaya kualitas adalah biaya yang terjadi atau mungkin akan terjadi
karena kualitas yang buruk. Ini berarti, biaya kualitas adalah biaya yang
berhubungan dengan penciptaan, pengidentifikasian, perbaikan, dan pencegahan
kerusakan.
Adapun biaya kualitas dikelompokkan dalam empat golongan yaitu:
(Ross, 1994:204)
1. Biaya pencegahan (prevention cost) yaitu biaya yang terjadi untuk mencegah
kerusakan produk yang dihasilkan.
2. Biaya deteksi atau penilaian (detection / appraisal cost) adalah biaya yang terjadi
untuk menentukan apakah produk dan jasa memenuhi persyaratan-persyaratan
kualitas.
3. Biaya kegagalan internal (internal failure cost) adalah biaya yang terjadi karena
ada ketidaksesuaian dengan persyaratan dan terdeteksi sebelum barang atau jasa
tersebut dikirim ke luar (pelanggan)
4. Biaya kegagalan eksternal (external failure cost) adalah biaya yang terjadi karena
produk dan jasa gagal memenuhi persyaratan, yang diketahui setelah produk
dikirim ke pelanggan.
17Manajemen Mutu Terpadu (Nasution, M.N., p127-129) Principles of Total Quality (Ross, p. 204)
84
2.1.6.4 Analyze
Tahap Analyze merupakan langkah operasional ketiga dalam program
peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu melakukan beberapa hal
berikut ini: (1) Mengidentifikasi jenis-jenis cacat yang terjadi dan membuat
prioritas cacat minimal yang memiliki kontribusi dominan terhadap minimnya
kualitas produk secara keseluruhan. Pada tahap ini alat yang digunakan adalah
diagram Pareto. (2) Menginventarisasikan dan menganalisa beberapa akar
penyebab masalah dari cacat-cacat yang dominan tersebut, ditinjau dari segi: man,
machine, environment, method, dan material menggunakan fishbone. (3) Mencari
penyebab yang paling dominan di antara seluruh daftar akar penyebab.
2.1.6.4.1 Diagram Pareto18
Ditemukan oleh ahli ekonomi asal Italia, Vilfredo Pareto. Hukum dari
diagram Pareto adalah 80/20 atau 80% dari probabilitas (cacat produk)
diakibatkan oleh 20% penyebab. Pareto diagram membantu manajemen secara
cepat mengidentifikasikan area paling kritis yang membutuhkan perhatian khusus
dan capat. Adapun cara pembuatannya akan dibahas dalam Bab 4.
18Manajemen Mutu Terpadu ( Nasution, M.N, p.98)
85
Bagan Pareto merupakan grafik yang merangking data dengan
mengklasifikasikan secara menurun dari kanan ke kiri. Kemungkinan data yang
diklasifikasi dapat berupa: masalah, penyebab, jenis ketidaksesuaian, atau
kerusakan dan lain sebagainya. Bagan pareto digunakan untuk mengidentifikasi
dan mengevalusi tipe-tipe yang tidak sesuai. Melalui bagan Pareto maka pengguna
dapat mengetahui dengan cepat dan visual dalam mengidentifikasi frekuensi
kerusakan yang terjadi atau ketidaksesuaian yang paling sering terjadi. Kelebihan
dari diagram Pareto adalah dapat menyampaikan dampak secara visual dari
karakteristik yang diperlukan untuk ditindaklanjuti. Ada dua skala yang
digunakan dalam diagram Pareto yaitu: skala frekuensi di sebelah kiri dan skala
persentase di sebelah kanan.
18Manajemen Mutu Terpadu ( Nasution, M.N, p.98)
86
2.1.6.4.2 Diagram Fishbone19
Diagram Fishbone adalah suatu diagram yang menunjukkan
hubungan antara sebab dan akibat. Berkaitan dengan pengendalian proses
statistikal, diagram sebab akibat dipergunakan untuk menunjukkan faktor-faktor
penyebab dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan faktor-faktor
penyebab. Diagram sebab akibat ini sering juga disebut sebagai Diagram tulang
ikan (fishbone diagram) karena bentuknya seperti kerangka ikan dan pertama
kali diperkenalkan oleh Prof. Kaoru Ishikawa dari Universitas Tokyo pada tahun
1953.
Pada dasarnya, diagram sebab akibat dapat dipergunakan untuk
kebutuhan-kebutuhan berikut:
• Membantu mengidentifikasi akar penyebab dari suatu masalah.
• Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah.
• Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut.
19 Statistical Process Control (Vincent G, p.62)
87
2.1.6.5 Improve
Fase atau tahap yang keempat dalam Metodologi Six Sigma adalah tahap
Improve. Pada tahap ini, usaha-usaha peningkatan kinerja kualitas produk dimulai
dengan cara membuat FMEA (FailureMode and Effect Ananlysis) dan
memberikan usulan perbaikan untuk mengurangi cacat dalam proses.
2.1.6.5.1 Metode FMEA (Failure Mode and Efect Analysis) 20
Disiplin ilmu FMEA pertama kali dikembangkan dalam United States
Military, yaitu dalam Military Procedure MIL-P-1629, dengan judul Procedures for
Performing a Failure Mode, Effects, and Critically Analysis, tanggal 9 November
1949. FMEA adalah metodologi yang digunakan untuk menganalisa dan
menemukan semua kegagalan-kegagalan yang potensial terjadi pada suatu sistem,
menemukan efek-efek dari kegagalan yang terjadi pada sistem, dan kemudian
mencari cara bagaimana untuk memperbaiki atau mengurangi kegagalan-kegagalan
atau efek-efeknya pada sistem.
20 Six Sigma and Beyond: Design for Six Sigma (Stagmatis, D H, p.224-226)
88
Dengan menghilangkan mode kegagalan, maka FMEA akan meningkatkan
keandalan dari produk sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan yang
menggunakan produk itu. Langkah-langkah dalam membuat FMEA:
1. Mengidentifikasi proses atau produk / jasa.
2. Mendaftarkan masalah-masalah potensial yang dapat muncul, efek dari
masalah-masalah tersebut dan penyebabnya. Hindarilah masalah sepele.
3. Menilai masalah untuk keparahan (Severity), probabilitas kejadian (Occurance),
dan detektabilitas (Detection).
4. Menghitung Risk Priority Number (RPN) yang didapat dengan mengalikan
ketiga variabel dalam poin tiga di atas dan menentukan rencana solusi-solusi
yang harus dilakukan.
Untuk keterangan lebih lanjut tentang rating Severity, Occurance, dan
Detection dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
20 Six Sigma and Beyond: Design for Six Sigma (Stagmatis, D H, p.224-226)
89
Tabel 2.3 Kriteria Severity Effect Criteria ( Severity of Effect) Rank
Berbahaya, tanpa peringatan
Memungkinkan untuk membahayakan mesin atau operator, ranking sangat tinggi apabila berhubungan dengan penggunaan kendaraan secara aman atau tidak sesuai dengan peraturan pemerintah. Kegagalan akan timbul tanpa peringatan
10
Berbahaya, dengan peringatan
Memungkinkan untuk membahayakan mesin atau operator, ranking sangat tinggi apabila berhubungan dengan penggunaan kendaraan secara aman atau tidak sesuai dengan peraturan pemerintah. Kegagalan akan timbul dengan adanya peringatan
9
Sangat tinggi
Gangguan utama pada lini produksi, semua hasil produksi (100%) harus dibuang, produk kehilangan fungsi utama. Konsumen sangat tidak puas.
8
Tinggi Gangguan minor pada lini produksi, produksi harus dipilih dan sebagian besar produk (dibawah 100%) harus dibuang, fungsi produk menurun. Konsumen tidak puas.
7
Sedang Gangguan minor pada lini produksi, sebagian kecil produk harus dibuang, produk dapat digunakan, namun kenyamanan terganggu. Konsumen kurang puas
6
Rendah Gangguan minor pada lini produksi, 100% produk mungkin harus di-rework. Produk dapat digunakan namun kemampuan rendah. Konsumen merasa sedikit kecewa
5
Sangat Rendah
Gangguan minor pada lini produksi, produk jadi harus dipilah – pilih dan sebagian kecil harus di-rework. Ketidaksesuaian produk kecil, kerusakan dapat dideteksi oleh kebanyakan konsumen
4
Minor Sebagian kecil produk harus di-rework, namun dilakukan di lini produksi dan di luar stasiun kerja, kerusakan diketahui oleh sebagian besar konsumen.
3
Sangat Minor
Sebagian kecil produk harus di-rework, namun dilakukan di lini produksi dan di dalam stasiun kerja, kerusakan diketahui oleh sangat sedikit konsumen.
2
Tidak ada Tidak ada Efek 1 Severity (S) adalah suatu perkiraan subyektif atau estimasi tentang tingkat parahnya
kerusakan atau bagaimana buruknya pengguna akhir merasakan dampak kerusakan.
20 Six Sigma and Beyond: Design for Six Sigma (Stagmatis, D H, p.224-226)
90
Occurence (O) adalah suatu perkiraan mengenai kemungkinan dari penyebab yang akan
terjadi dan menghasilkan modus kegagalan yang menyebabkan akibat tertentu.
Tabel 2.4 Kriteria Occurence
Probability Of Failure Possible Failure rate
Cpk Rank
Sangat Tinggi: Kegagalan hampir tak dapat dihindari
>=1 dari 2 < 0,33 10 1 dari 3 >= 0,33 9
Tinggi: Kegagalan sangat mirip dengan beberapa kegagalan sebelumnya yang memang sering sekali gagal
1 dari 8 >= 0,51 8 1 dari 20 >= 0,67 7
Sedang: Dapat dikaitkan dengan kegagalan sebelumnya yang sering terjadi, namun tidak dalam proporsi besar
1 dari 80 >= 0,83 6 1 dari 400 >=1,00 5 1 dari 2000 >=1,17 4
Rendah: Kegagalan yang terisolasi dan dapat diasosiasikan dengan beberapa proses yang serupa
1 dari 15000 >= 1,33 3
Sangat Rendah: Hanya kegagalan - kegagalan terisolasi yang serupa dengan proses yang identik.
1 dari 150000 >= 1,50 2
Sangat kecil: Kegagalan hampir tidak mungkin, belum pernah terjadi kegagalan serupa di proses lain yang identik
<=1 dari 1500000
>= 1,67 1
Detection (D) adalah perkiraan subyektif tentang kemungkinan untuk mendeteksi
penyebab dari kegagalan yang ada sebelum produk tersebut keluar dari proses produksi.
20 Six Sigma and Beyond: Design for Six Sigma (Stagmatis, D H, p.224-226)
91
Tabel 2.5 Kriteria Detection
Detection Kriteria: Keberadaan dari cacat dapat dideteksi oleh kontrol proses sebelum koponen atau hasil produksi
lolos ke proses selanjutnya.
Rank
Hampir tidak mungkin
Tidak ada kontrol yang tersedia untuk jenis kegagalan ini 10
Sangat kecil kemungkinannya
Sangat tidak mungkin untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini
9
Kecil kemungkinannya
Tidak mungkin kontrol yang ada tidak dapat mendeteksi kegagalan yang ada
8
Sangat rendah Sangat rendah kemungkinan untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini
7
Rendah Rendah kemungkinan untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini
6
Sedang Ada kemungkinan untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini
5
Agak tinggi Cukup kemungkinan untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini
4
Tinggi Mungkin untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini
3
Sangat tinggi Sangat mungkin untuk kontrol yang ada dapat mendeteksi kegagalan ini
2
Hampir pasti terdeteksi
Hampir pasti kontrol yang ada dapat menangkap kegagalan proses seperti ini, karena sudah diketahui dari proses yang serupa.
1
Risk Priority Number (RPN) merupakan hasil perkalian antara rating severity, detection
dan rating occurance dengan rumus :
RPN = (S) x (O) x (D)
20 Six Sigma and Beyond: Design for Six Sigma (Stagmatis, D H, p.224-226)
92
2.1.6.6 Control
Fase sesudah Improve adalah fase Control. Fase ini merupakan fase
terakhir dalam pemecahan masalah menggunakan metodologi Six Sigma. Dalam
fase ini seluruh usaha-usaha peningkatan yang ada dimodelkan secara uji coba
(trial error) sebagai gambaran kepada perusahaan terhadap upaya perbaikan
secara teknis dan seluruh usaha tersebut kemudian didikumentasikan dan
disebarluaskan ke segenap karyawan perusahaan.
Hal yang akan dilakukan dalam fase ini mencakup:
1. Dokumentasi dan sosialisasi usaha-usaha peningkatan yang telah dibuat.
2. Penutupan proyek Six Sigma sebagai suatu metode untuk memecahkan masalah
yang dihadapi perusahaan.
93
2.1.7 Keuntungan Potensial DMAIC21
Di sisi lain, terdapat alasan organisasional dan alasan yang masuk akal
mengapa perusahaan dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi sebuah model
perbaikan baru sebagai bagian dari Six Sigma, jika perusahaan tidak memiliki proses
pemecahan masalah. Maka DMAIC menawarkan keuntungan ketimbang metode
lainnya, Keuntungan DMAIC yaitu:
1. Membuat awal yang baik. DMAIC dapat membantu perusahaan untuk meletakkan
Six Sigma sebagai suatu pendekatan yang sungguh-sungguh berbeda dan lebih baik.
2. Memberikan sebuah konteks yang baru terhadap alat-alat yang familiar.
Memperkenalkan sebuah model yang baru merupakan dasar pemikiran yang positif
untuk memberikan peluang yang segar bagi banyak orang untuk mempelajari dan
mempraktekkan alat-alat tersebut.
3. Menciptakan sebuah pendekatan yang konsisten.
4. Memprioritaskan pelanggan dan pengukuran.
5. Menawarkan jalur pertukaran proses dan perancangan ulang proses untuk proses
perbaikan. DMAIC dapat membantu perusahaan dalam memperbaiki dan
merancang ulang permasalahan.
21 The Six Sigma Way (Pande, 161)