BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2006-2-00876-MN bab 2.pdf ·...
Transcript of BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2006-2-00876-MN bab 2.pdf ·...
5
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Merek
Aaker (2001,p13) menyatakan bahwa merek memberikan “nilai” sehingga nilai total
produk yang “bermerek” baik menjadi lebih tinggi dibandingkan produk yang semata-mata
secara objektif.
Berikut beberapa definisi merek yang diberikan pakar pemasaran :
Menurut Duanne E. Knapp (2002,p12), “Brand adalah keseluruhan impresi yang
diterima oleh konsumen, selanjutnya dipersepsikan berdasarkan manfaat fungsional dan
emosional, sehingga impresi tersebut tertanam pada posisi tertentu dalam benaknya”.
Menurut pendapat Kotler dan The American Marketing association (2005,p3), “A
brand is a name, term, sign, symbol, or design, or a combination of these, which is intended
to identify the goods or services of one group of sellers and differentiate them from those of
competitors”.
(Sebuah merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan, atau kombinasi
itu semua, yang bermaksud untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari suatu kelompok
penjual dan membedakannya dari pesaingnya).
Menurut Koch (2005,p3):
“A brand is a visual design and/or name that is given to a product or service by an
organization in order to differentiate it from competing products and which assures
consumers that the product will be high and consistent quality”.
(Sebuah merek adalah suatu rancangan yang bisa dilihat dan atau nama yang
diberikan kepada barang atau jasa oleh perusahaan dengan tujuan membedakannya dari
6
produk saingan dan untuk meyakinkan konsumen bahwa produk tersebut memiliki
konsistensi mutu yang tinggi).
Menurut Scott M. Davis (2005,p5) :
“A brand is an intangible but critical component of what a company stand for”.
(Sebuah merek adalah sesuatu yang tidak berwujud tetapi merupakan komponen
yang penting dari tujuan perusahaan berdiri).
Menurut Tybout dan Carpenter (2001,p76) :
“A brand is a name or symbol that is associated with a product or service and to
which buyers attach psychological meanings”.
(Sebuah merek adalah nama atau simbol yang diasosiasikan dengan barang atau
jasa agar pembeli menyematkan artinya secara psikologi).
2.2 Merek dan Produk
Pujangga Inggris William Shakespeare pernah mengatakan : “Apa artinya sebuah
nama? Sebuah mawar yang kita sebut dengan nama lain tetap saja berbau harum”. Al Ries
dan Jack Trout (2001,p13) tidak menyetujui pendapat tersebut. Mereka mengatakan:
“Shakespeare salah. Setangkai mawar yang disebut dengan nama lain tidak akan berbau
harum …. Itulah mengapa satu-satunya keputusan paling penting dalam pemasaran parfum
adalah nama”.
Produk adalah sesuatu yang dibuat di pabrik ; merek (brand) adalah sesuatu yang
dibeli seorang konsumen. Produk bisa ditiru pesaing ; merek adalah unik. Produk bisa
dengan cepat ketinggalan zaman ; merek yang berhasil tidak terhingga masanya. Dengan
kata lain, Product is made in the factory, but brand is build in the mind (Produk dibuat di
pabrik, tetapi merek dibangun di dalam pikiran).
Perbedaan merek dan produk dapat digambarkan seperti gambar berikut ini.
7
Gambar 2.1
Merek dan produk
Sumber: Aaker (2000,p52)
2.3 Fungsi dan Manfaat Merek
Menurut Tjiptono (2005,p20), merek bermanfaat bagi produsen maupun konsumen.
Manfaat merek bagi produsen dan konsumen dikarenakan fungsi-fungsi merek tersebut bagi
produsen maupun konsumennya.
Bagi produsen, merek mempunyai fungsi dan manfaat sebagai berikut:
1. Identifikasi
Memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk bagi perusahaan, terutama
dalam pengorganisasian sediaan dan pencatatan akuntansi.
2. Proteksi hukum terhadap fitur produk yang unik
8
Nama merek bisa diproteksi melalui merek dagang terdaftar (registered trademarks),
proses pemanufakturan bisa dilindungi melalui hak paten, dan kemasan bisa diproteksi
melalui hak cipta (copyrights) dan desain. Hak-hak properti intelektual ini memberikan
jaminan bahwa perusahaan dapat berinvestasi dengan aman dalam merek yang
dikembangkannya dan meraup manfaat dari aset bernilai tersebut.
3. Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas
Signal ini membuat para pelanggan bisa dengan mudah memilih dan membelinya lagi di
lain waktu. Loyalitas merek seperti ini menghasilkan predictability dan security permintaan
bagi perusahaan dan menciptakan hambatan masuk yang menyulitkan perusahaan lain
untuk memasuki pasar.
4. Asosiasi
Merek menciptakan kesan dan makna unik yang membedakan produk dari para pesaing.
5. Sumber keunggulan kompetitf
Terutama melalui perlindungan hukum, loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk
dalam benak konsumen.
6. Sumber financial returns
Terutama menyangkut pendapatan di masa mendatang.
Sedangkan, bagi konsumen fungsi dan manfaat merek antara lain:
1. Identifikasi
Bisa dilihat dengan jelas; memberikan makna bagi produk; gampang mengidentifikasi
produk yang dibutuhkan atau dicari.
2. Praktikalitas
9
Memfasilitasi penghematan waktu dan energi melalui pembelian ulang identik dan
loyalitas.
3. Jaminan
Memberikan jaminan bagi konsumen bahwa mereka bisa mendapatkan kualitas yang
sama sekalipun pembelian dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda.
4. Optimisasi
Memberikan kepastian bahwa konsumen dapat membeli alternative terbaik dalam
kategori produk tertentu dan pilihan terbaik untuk tujuan spesifik.
5. Karakterisasi
Mendapatkan informasi mengenai citra diri konsumen atau citra yang ditampilkannya
kepada orang lain.
6. Kontinuitas
Kepuasan terwujud melalui familiaritas dan intimasi dengan merek yang telah digunakan
atau dikonsumsi pelanggan selama bertahun-tahun.
7. Hedonistik
Kepuasan terkait dengan daya tarik merek, logo, dan komunikasinya.
8. Etis
Kepuasan berkaitan dengan perilaku bertanggung jawab merek bersangkutan dalam
hubungannya dengan masyarakat.
2.4 Ekuitas Merek
2.4.1 Definisi Ekuitas Merek
10
Kesadaran konsumen yang tinggi terhadap merek saat ini telah membuat
perusahaan untuk berlomba-lomba menjadikan merek sebagai aset perusahaan dalam
menjalankan usaha. Merek yang dibangun bukan sekedar merek, namun lebih menyeluruh
dalam satu kesatuan ekuitas merek (Knapp 2002,p18). Ekuitas merek berkaitan dengan nilai
merek sebagai aset yang tidak berwujud dibandingkan produk yang ditawarkan. Berbagai
definisi Ekuitas Merek dikemukakan oleh para ahli pemasaran, sebagai berikut:
Menurut Farquhar (2005,p14):
“The added value to the firm, the trade, or the consumer with which a given brand
endows a product”.
(Suatu nilai tambah untuk perusahaan, perdagangan, atau untuk konsumen yang
diberikan suatu merek atas produknya).
Menurut Aaker (2001,p7):
“Brand equity is a set of assets linked to a brand’s name and symbol that adds to the
value provided by a product or service to a firm”.
(Ekuitas merek adalah seperangkat aktiva yang berhubungan dengan nama merek
dan simbol yang menjadi penambah nilai atas barang atau jasa kepada perusahaan).
Menurut Knapp (2002,p3), ekuitas merek adalah totalitas dari persepsi merek,
mencakup kualitas relatif dari produk dan jasa, kinerja keuangan, loyalitas pelanggan,
kepuasan, dan keseluruhan penghargaan terhadap merek. Ekuitas merek menggambarkan
perbedaan antara nilai merek bagi konsumen dengan nilai produk tanpa diberi merek.
Menurut Coney (2001,p350), ekuitas merek adalah nilai konsumen yang terbentuk
melalui merek dan keseluruhan fungsi karakteristik dari produk. Ekuitas merek bisa
disamakan dengan reputasi merek. Merek yang memiliki reputasi baik akan memberikan
potensi ekuitas merek yang tinggi. Sedangkan, merek yang tidak terkenal atau memiliki
reputasi rendah tidak akan memiliki potensi bagi ekuitas merek.
11
Sedangkan, berdasarkan pendapat dari Nicolino (2004,p75), sebuah ekuitas merek
adalah sesuatu yang benar-benar tidak dapat diserap indera, hanya eksis dalam pikiran
orang-orang, walaupun ia memiliki kekuatan untuk menghasilkan uang.
Apapun definisinya, ekuitas merek menggambarkan pertambahan nilai sebuah
produk akibat nama merek yang ditambahkan pada produk tersebut. Ekuitas merek timbul
apabila konsumen memiliki tingkat kesadaran yang tinggi terhadap sebuah merek, memiliki
persepsi yang kuat serta nilai rasa yang berbeda atau unik dalam benaknya. Semua
pemahaman tentang ekuitas merek dapat digambarkan seperti gambar berikut ini.
Gambar 2.2
Totalitas Ekuitas Merek
Sumber: Tunggal (2005,p13)
2.4.2 Manfaat Ekuitas Merek
12
Berdasarkan pendapat Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004,p6), ekuitas merek
merupakan aset yang dapat memberikan nilai tersendiri di mata pelanggan, antara lain:
Aset yang dikandung dapat membantu pelanggan dalam menafsirkan, memproses,
dan menyimpan informasi yang terkait dengan produk dan merek tersebut.
Mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian
atas dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan.
Mempertinggi tingkat kepuasan konsumen.
Sedangkan, bagi perusahaan manfaat dari ekuitas merek adalah:
Mempertinggi keberhasilan program dalam memikat konsumen baru atau merangkul
kembali konsumen lama.
Ekuitas merek yang kuat dapat menghilangkan keraguan konsumen terhadap
kualitas produk.
Ekuitas merek yang kuat dapat meningkatkan penjualan karena mampu menciptakan
loyalitas saluran distribusi.
Ekuitas merek yang kuat memungkinkan perusahaan memperoleh margin yang lebih
tinggi dengan menerapkan harga premium (premium price), dan mengurangi
ketergantungan pada promosi sehingga dapat diperoleh laba yang lebih tinggi.
Ekuitas merek yang kuat dapat digunakan sebagai dasar untuk pertumbuhan dan
perluasan merek kepada produk lain atau menciptakan bidang bisnis baru terkait
yang biayanya akan jauh lebih mahal untuk dimasuki tanpa merek yang memiliki
ekuitas merek tersebut.
Aset-aset ekuitas merek lainnya dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi
perusahaan dengan memanfaatkan celah-celah yang tidak dimiliki pesaing.
Disadari atau tidak, ekuitas merek menempati posisi yang penting bagi tercapainya tujuan
perusahaan. Dengan demikian, perusahaan yang ingin tetap bertahan dan selangkah lebih
maju dari pesaingnya perlu mengetahui kondisi ekuitas merek produknya.
13
2.4.3 Elemen-elemen Ekuitas Merek
Berdasarkan pendapat Aaker (2001,p7-9), elemen-elemen ekuitas merek terbagi atas
Brand Awareness, Brand Association, Perceived Quality, dan Brand Loyalty.
a. Kesadaran Merek (Brand Awareness)
Menurut Durianto, Sugiarto, dan Budiman (2004,p6), kesadaran (Awareness) adalah
kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali, mengingat kembali suatu merek
sebagai bagian dari suatu kategori produk tertentu. Atau dengan kata lain, awareness
menggambarkan keberadaan merek di dalam pikiran konsumen, yang dapat menjadi
penentu dalam beberapa kategori dan biasanya mempunyai peranan kunci dalam brand
equity. Kesadaran juga mempengaruhi persepsi dan tingkah laku. Kesadaran merek
merupakan key of brand asset atau kunci pembuka untuk masuk ke elemen lainnya. Jadi,
jika kesadaran itu sangat rendah maka hampir dipastikan bahwa ekuitas mereknya juga
rendah.
Sebuah merek dengan kesadaran konsumen yang tinggi biasanya disebabkan oleh
beberapa faktor (Durianto, Sugiarto, dan Budiman, 2004,p8), antara lain:
• Diiklankan secara luas.
• Eksistensi yang sudah teruji oleh waktu.
• Jangkauan distribusi yang luas.
• Merek tersebut dikelola dengan baik.
Pada umumnya konsumen cenderung membeli produk dengan merek yang sudah
dikenalnya atas dasar pertimbangan kenyamanan, keamanan, dan lain-lain.
Bagaimanapun juga, merek yang sudah mereka kenal menghindarkan mereka dari risiko
pemakaian karena asumsi mereka adalah bahwa merek yang sudah dikenal dapat
diandalkan.
Peran kesadaran merek dalam membantu merek dapat dipahami dengan mengkaji
bagaimana kesadaran merek menciptakan suatu nilai, antara lain:
14
• Jangkar yang menjadi cantolan asosiasi lain
Jika kesadaran suatu merek rendah, suatu asosiasi yang diciptakan oleh pemasar akan
sulit melekat pada merek tersebut.
• Familier/ rasa suka
Jika kesadaran merek kita sangat tinggi, konsumen akan sangat akrab dengan merek
kita, dan lama-kelamaan akan timbul rasa suka terhadap merek yang kita pasarkan.
• Substansi/ komitmen
Kesadaran merek menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang sangat penting
bagi suatu perusahaan. Jadi, jika kesadaran atas merek tinggi, kehadiran merek itu
akan selalu dapat kita rasakan.
• Mempertimbangkan merek
Jika suatu merek tidak tersimpan dalam ingatan, merek tersebut tidak akan
dipertimbangkan dalam benak konsumen.
Tingkat kesadaran konsumen terhadap merek dapat diukur melalui piramida
kesadaran merek.
Gambar 2.3
Piramida Kesadaran Merek
Sumber: Durianto, Sugiarto, dan Budiman, 2004, p7
15
Dari piramida tersebut secara berurutan dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Unaware of Brand (Tidak Menyadari Merek) adalah tingkat paling rendah dalam
piramida kesadaran merek, dimana konsumen tidak menyadari adanya suatu merek.
2) Brand Recognition (Pengenalan Merek) adalah tingkat minimal kesadaran merek,
dimana pengenalan suatu merek muncul lagi setelah dilakukan pengingatan kembali
lewat bantuan (aided recall).
3) Brand Recall (Pengingatan Kembali Terhadap Merek) adalah pengingatan kembali
terhadap merek tanpa bantuan (unaided recall).
4) Top of Mind (Puncak Pikiran) adalah merek yang disebutkan pertama kali oleh
konsumen atau yang pertama kali muncul dalam benak konsumen. Dengan kata lain,
merek tersebut merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada dalam benak
konsumen.
b. Asosiasi Merek (Brand Association)
Suatu asosiasi mampu memberikan landasan yang penting bagi konsumen untuk
menciptakan perasaan positif atas nilai dan pengalaman yang dirasakan sehingga
perasaan positif inilah yang membuat konsumen membeli dan menggunakan merek
tersebut.
Menurut Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004,p69), asosiasi merek adalah segala
kesan yang muncul di benak seseorang yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu
merek. Kesan-kesan yang terkait merek akan semakin meningkat dengan semakin
banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek atau dengan
semakin seringnya penampakan merek tersebut dalam strategi komunikasinya, ditambah
lagi jika kaitan tersebut didukung oleh suatu jaringan oleh kaitan-kaitan lain.
Menurut Simamora (2001,p82), asosiasi merek adalah segala hal yang berkaitan
tentang merek dalam ingatan. Asosiasi tidak hanya eksis, tetapi juga mempunyai tingkat
16
kekuatan. Keterkaitan asosiasi dengan merek akan lebih kuat jika dilandaskan pada
banyak pengalaman. Berbagai asosiasi yang diingat konsumen dapat dirangkai, sehingga
membentuk brand image di benak konsumen. Singkatnya, brand image adalah
sekumpulan asosiasi merek yang terbentuk pada benak konsumen.
Agar konsumen memiliki asosiasi sesuai dengan atribut produk atau sesuai dengan
asosiasi yang diharapkan, maka asosiasi merek tidak hanya harus baik tapi juga unik dan
tidak dimiliki oleh merek pesaing. Dengan keunikan tersebut, suatu asosiasi dapat
diarahkan kepada satu merek saja. Semakin banyak pengetahuan konsumen terhadap
produk serta mengaitkannya pada atribut produk yang sudah ada, maka semakin kuat
asosiasi terhadap merek (Simamora, 2001,p91).
c. Persepsi Kualitas (Perceived Quality)
Menurut Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004,p96), persepsi kualitas merupakan
persepsi konsumen terhadap kualitas suatu merek produk. Persepsi terhadap kualitas
keseluruhan dari suatu produk dapat menentukan nilai dari produk tersebut dan
berpengaruh secara langsung kepada keputusan pembelian konsumen dan loyalitas
mereka terhadap merek.
Persepsi kualitas yang positif akan mendorong keputusan pembelian dan
menciptakan loyalitas terhadap produk tersebut. Sebaliknya, jika persepsi kualitas
pelanggan negatif, produk tidak akan diminati dan tak akan bertahan lama di pasar.
Menurut Aaker (2001,p124), persepsi kualitas merupakan persepsi konsumen
terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang
sama dengan maksud yang diharapkan.
Persepsi kualitas adalah salah satu kunci dimensi ekuitas merek. Persepsi kualitas
mempunyai atribut penting yang dapat diaplikasikan dalam berbagai hal, seperti:
• Kualitas aktual atau obyektif (actual or objective quality)
17
Perluasan ke suatu bagian dari barang atau jasa yang memberikan pelayanan lebih
baik.
• Kualitas isi produk (product-based quality)
Karakteristik dan kuantitas unsur, bagian, atau pelayanan yang disertakan.
• Kualitas proses manufaktur (manufacturing quality)
Kesesuaian dengan spesifikasi; hasil akhir yang “tanpa cacat” (zero defect).
d. Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
Berdasarkan pendapat Tunggal (2005,p22), loyalitas merek adalah apabila para
pelanggan memiliki perasaan positif terhadap suatu merek dan mereka menggunakan
produk merek tersebut secara teratur; hasil yang diharapkan bila suatu merek
menentukan suatu prioritas untuk dianggap pertama dan terutama sebagai seorang
“teman” bagi para pelanggan.
Loyalitas merupakan indikator ekuitas merek yang berkaitan dengan penjualan dan
laba masa depan. Dengan loyalitas, sebuah perusahaan sudah memiliki pasar yang sudah
dipegang. Menurut Simamora (2001,p70), loyalitas merek merupakan inti dari ekuitas
merek selain menjadi gagasan sentral dalam pemasaran. Loyalitas merupakan ukuran
kedekatan konsumen pada sebuah merek. Bila loyalitas merek meningkat, kerentanan
kelompok konsumen terhadap serangan pesaing dapat dikurangi.
Menurut pendapat Simamora (2001,p72), loyalitas merek merupakan aset strategis
jika dikelola dengan benar. Loyalitas yang tinggi memberikan nilai positif bagi perusahaan
yaitu mengurangi biaya pemasaran, meningkatkan perdagangan, menarik minat para
konsumen baru, dan memberi waktu untuk merespon ancaman persaingan.
Oleh karena merupakan bagian penting dari ekuitas merek, maka perusahaan harus
berusaha terus-menerus untuk meningkatkan dan mempertahankan loyalitas konsumen
terhadap mereknya. Menurut Simamora (2001,p73), untuk dapat memelihara dan
meningkatkan loyalitas perusahaan harus menghargai hak konsumen sehingga apa yang
18
diharapkan konsumen terpenuhi, merasa puas, dan merasa tetap dekat dengan
mereknya.
Menurut pendapat Tunggal (2005,p103), loyalitas merek dari pelanggan yang ada
mewakili suatu aset strategik jika dikelola dan dieksploitasi dengan benar, serta
mempunyai potensi untuk memberi nilai dalam:
• Mengurangi biaya pemasaran
• Peningkatan perdagangan
• Memikat para pelanggan baru
• Meyakinkan kembali (reassurance)
Menurut Simamora (2001,p71), tingkat loyalitas konsumen bisa dikategorikan dalam
sebuah piramida. Adapun piramida tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 2.4
Piramida Loyalitas Konsumen
Sumber: Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2004, p130
Dari piramida di atas secara berurutan dari tingkat paling rendah ke tingkat paling tinggi
dapat dijelaskan sebagai berikut:
19
1) Switcher (Pembeli yang berpindah-pindah) adalah pembeli yang sama sekali tidak
loyal. Pembeli tidak mau terpikat pada merek apapun. Merek memainkan peran kecil
dalam keputusan pembelian mereka.
2) Habitual Buyer (Pembeli yang bersifat kebiasaan) adalah para pembeli yang puas
dengan produk atau setidaknya mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi
merek produk tersebut. Pada tipe ini pembeli memilih merek karena faktor kebiasaan.
3) Satisfied Buyer with Switching Cost (Pembeli yang puas dengan biaya peralihan)
adalah orang-orang yang puas namun mereka memikul biaya peralihan, seperti biaya
waktu, uang, atau risiko pemakaian berkenaan dengan peralihan.
4) Liking the Brand (Menyukai merek) adalah konsumen yang sungguh-sungguh
menyukai merek. Preferensi mereka dilandasi pada suatu asosiasi, seperti simbol,
rangkaian pengalaman dalam menggunakan perceived quality yang tinggi.
5) Commited Buyer (Konsumen yang komit) adalah konsumen yang mempunyai
kebanggaan dalam menemukan atau menggunakan merek. Merek sangat penting
bagi mereka, baik karena fungsi operasional maupun fungsi emosional dalam
mengekspresikan jati diri pembeli.
Menurut Tunggal (2005,p104), cara-cara untuk menciptakan dan memelihara loyalitas
merek, antara lain:
• Memperlakukan pelanggan dengan layak
• Menjalin kedekatan dengan pelanggan
• Mengelola kepuasan pelanggan
• Memberikan ekstra yang tidak terjangkau oleh para pesaing
• Menciptakan biaya peralihan (switching cost)
2.4.4 Memperkuat Ekuitas Merek
20
Menurut Temporal (2001,p11), membangun sebuah ekuitas merek tidaklah mudah.
Proses membangun ekuitas merek dimulai dari pengenalan produk. Proses ini merupakan
tahap awal yang sangat penting bagi eksistensi perusahaan untuk jangka panjang. Artinya
perusahaan yang membangun ekuitas merek harus memiliki kegigihan untuk membentuk
citra merek yang baik di benak konsumen. Citra merek yang terbentuk melalui merek inilah
yang sangat menentukan sekaligus mempengaruhi bagaimana kelanjutan perusahaan di
masa mendatang.
Tentu saja usaha perusahaan dalam memperkuat ekuitas merek yang telah dibangun
tidak dalam waktu yang singkat. Hanya kemampuan dan komunikasi yang konsisten dan
inovatif dengan penentuan posisi yang tepat, yang bisa membuat orang-orang terkesan dan
membangun kesetiaan merek.
Menurut knapp (2002,p15), cara terbaik memperkuat ekuitas merek adalah dengan
D.R.E.A.M, yaitu Differentiation, Relevance, Esteem, Awareness, Mind’s eye.
1) Differentiation (Diferensiasi)
Berdasarkan pendapat Knapp (2002,p15), diferensiasi harus merupakan langkah
pertama jika suatu merek ingin menembus kekusutan pasar dan menempati suatu posisi
khusus dalam pikiran audiens target. Hal ini berarti suatu merek perlu berbeda dari
produk-produk lain yang sejenis.
Menurut Aaker (2001,p306), jika tidak ada nilai pembeda pada suatu merek, maka
nilai dari merek tersebut akan menjadi rendah. Untuk membangun suatu merek yang kuat
harus dimulai dengan membangun poin-poin pembeda. Poin-poin yang membedakan
antara merek yang satu dengan merek yang lain dapat dibangun dengan membuat merek
sebagai produk, pribadi, dan membuat merek sebagai organisasi.
Merek sebagai produk (nilai)
Merek harus bisa menciptakan nilai lebih untuk ditawarkan. Nilai lebih yang
ditawarkan pada umumnya merupakan manfaat fungsional dan emosional yang
21
diberikan oleh produk tersebut. Bila suatu merek tidak bisa menawarkan nilai
lebih, maka merek tersebut akan rentan terhadap merek lain produk sejenis dari
pesaing.
Merek sebagai pribadi (kepribadian merek)
Merek bisa menciptakan ikatan emosional dan keuntungan pengekspresian diri.
Ikatan emosional dan pengekspresian diri ini akan menciptakan hubungan yang
erat antara merek dengan konsumen, dan pada akhirnya akan menjadi poin
pembeda dengan merek produk sejenis.
Merek sebagai organisasi (asosiasi perusahaan)
Asosiasi organisasi juga dapat menjadi poin pembeda dengan merek produk
sejenis. Biasanya citra organisasi suatu perusahaan bisa menjadi poin pembeda
suatu merek bila konsumen mengetahui bahwa suatu merek tersebut berasal dari
perusahaan yang dinilai bagus oleh konsumen.
2) Relevance (Relevansi)
Menurut Knapp (2002,p15), suatu merek perlu relevan bagi kehidupan para
konsumen. Artinya, merek tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan dan dibutuhkan
oleh konsumen seperti produk yang berkualitas, kemasan yang menarik, dan manfaat
fungsional lainnya. Sedangkan, menurut Aaker (2001,p304), suatu merek dapat dikatakan
relevan bila merek tersebut memiliki arti tersendiri bagi konsumen dan sesuai dengan
kebutuhan yang diperlukan oleh konsumen.
3) Esteem (Penghargaan)
Berdasarkan pendapat Aaker (2001,p304), suatu merek dapat dikatakan esteem
apabila merek itu dapat menarik respect yang tinggi dari konsumen dan dianggap
memiliki kualitas terbaik di kelasnya. Selain itu, merek tersebut juga semakin berkembang
popularitasnya dan menjadi pemimpin di kelasnya.
4) Awareness (Kesadaran)
22
Menurut Aaker (2001,p330), kesadaran suatu merek tercermin dari kehadiran merek
tersebut dalam pikiran konsumen dan mempunyai peranan penting dalam ekuitas merek.
Meningkatkan kesadaran merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pangsa pasar
yang dimiliki oleh merek. Kesadaran dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku
konsumen itu sendiri. Kesadaran suatu merek juga dapat mencerminkan pengetahuan
dan opini terhadap merek tersebut yang ada dalam pikiran konsumen. Kesadaran merek
juga membutuhkan jangkauan kontinum (continum ranging) dari perasaan yang tidak
pasti bahwa merek tertentu dikenal, menjadi keyakinan bahwa produk tersebut
merupakan satu-satunya dalam kelas produk bersangkutan. Peran atas kesadaran merek
atau ekuitas merek tergantung pada konteks dan pada tingkat mana kesadaran merek itu
dicapai.
5) Mind’s eye (pikiran)
Menurut Knapp (2002,p8), mind’s eye atau pikiran adalah suatu posisi khusus yang
ditempati oleh merek dalam benak konsumen berdasarkan manfaat-manfaat emosional
dan fungsional yang dirasakan dari internalisasi jumlah semua kesan yang diterima oleh
konsumen.
Dari teori di atas dapat disimpulkan jika merek kurang khusus atau berbeda dalam benak
konsumen, maka keadaan ini akan memberi kesempatan bagi pesaing untuk menempati
posisi merek di benak konsumen. Untuk itu perusahaan harus mampu memperkuat merek
yang ditawarkan secara terus-menerus dan memonitor kesan-kesan yang diciptakan (Knapp,
2002,p9).
2.5 Lima Kekuatan Daya Tarik Struktural Segmen
Michael Porter mengidentifikasikan lima kekuatan yang menentukan daya tarik laba
jangka panjang intrinsik dari suatu pasar.
23
1. Ancaman persaingan segmen yang ketat : Suatu segmen menjadi tidak menarik jika ia
telah memiliki pesaing yang banyak, kuat, atau agresif. Bahkan, menjadi tidak menarik
jika segmen tersebut stabil atau menurun, penambahan kapasitas pabrik dilakukan dalam
jumlah yang besar, biaya tetap tinggi, penghalang untuk keluar besar, atau jika pesaing
memiliki kepentingan yang besar untuk tinggal di dalam segmen tersebut. Kondisi itu
akan menyebabkan sering terjadinya perang harga, perang iklan, dan pengenalan produk
baru, sehingga akan menjadi sangat mahal bagi perusahaan untuk bersaing.
2. Ancaman pendatang baru : Segmen yang paling menarik adalah segmen yang memiliki
penghalang untuk masuk yang tinggi dan penghalang untuk keluar yang rendah. Sedikit
perusahaan baru yang dapat memasuki industri, dan perusahaan yang berkinerja dengan
buruk dapat dengan mudah keluar. Jika penghalang untuk masuk dan penghalang untuk
keluar tinggi, potensi laba tinggi, namun perusahaan menghadapi resiko yang lebih besar
karena perusahaan yang berkinerja buruk harus tinggal dan berjuang keras disana. Jika
penghalang untuk masuk dan keluar rendah, perusahaan dapat mudah untuk masuk dan
keluar dari industri, serta tingkat pengembalian investasinya stabil dan rendah. Kasus
terburuk adalah jika penghalang untuk masuk rendah dan penghalang untuk keluar tinggi
(Disini perusahaan-perusahaan akan masuk dalam situasi yang menguntungkan namun
sulit untuk keluar dari situasi yang buruk. Akibatnya adalah terjadinya kelebihan kapasitas
yang kronis dan penurunan penghasilan bagi semua pihak).
3. Ancaman produk subsitusi : Suatu segmen menjadi tidak menarik jika terdapat subsitusi
aktual atau potensial dari suatu produk. Subsitusi membatasi harga dan laba yang dapat
dihasilkan oleh suatu segmen. Perusahaan harus mengamati secara dekat kecenderungan
harga produk subsitusi. Jika kemajuan teknologi atau persaingan meningkat di industri
subsitusi tersebut, harga dan laba dalam segmen tersebut mungkin akan menurun.
4. Ancaman peningkatan kekuatan posisi tawar pembeli : Suatu segmen menjadi tidak
menarik jika pembeli memiliki posisi tawar yang kuat atau semakin meningkat. Pembeli
24
akan berusaha untuk memaksa agar harga diturunkan, meminta lebih banyak mutu dan
pelayanan, serta membuat para pesaing saling beradu, yang semuanya menjadi beban
bagi profitabilitas penjual. Kekuatan posisi tawar para pembeli berkembang jika produk
tersebut tidak terdiferensiasi, dan biaya perpindahan ke pemasok / produk lain rendah.
Untuk melindungi diri mereka, penjual dapat memilih pembeli yang memiliki kekuatan
posisi tawar yang paling rendah atau yang sulit mengganti pemasok. Pertahanan yang
lebih baik adalah mengembangkan tawaran unggul yang tidak dapat ditolak oleh pembeli
yang kuat.
5. Ancaman peningkatan kekuatan posisi tawar pemasok : Suatu segmen menjadi tidak
menarik jika para pemasok perusahaan mampu menaikkan harga atau mengurangi
kuantitas yang mereka pasok. Pemasok cenderung menjadi kuat jika terdapat sedikit
subsitusi, produk yang dipasok adalah produk masukan yang penting, dan biaya
berpindah pemasok tinggi. Pertahanan terbaik adalah membangun hubungan menang-
menang dengan pemasok atau memakai berbagai sumber pasokan.
Lima kekuatan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.5
Analisis Porter
Sumber: Kotler (2000,p248)
25
Kerangka Pemikiran Teoritis
Gambar 2.6
Kerangka Pemikiran
Sumber: Penelitian
2.6 Metodologi Penelitian
2.6.1 Jenis dan Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan jenis penelitian
studi kasus.
2.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan penelitian lapangan (field research).
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data primer, yaitu data yang didapat dari sumber
pertama, misalnya dari individu / perseorangan, seperti hasil wawancara atau hasil pengisian
kuesioner yang biasa dilakukan oleh peneliti (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak,2004,p14).
Penelitian lapangan yang dilakukan antara lain dengan cara:
a. Wawancara Terstruktur
26
Menurut Sugiyono (2002,p130), wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik
pengumpulan data bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti
tentang informasi apa yang akan diperoleh. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan
terhadap pihak perusahaan ERA Karunia untuk mengetahui tentang profil perusahaan
dan sedikit tentang gambaran perkembangan bisnis property yang ditangani oleh ERA
Karunia.
b. Kuesioner
Menurut Sugiyono (2002,p135), kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis
kepada responden untuk dijawab. Dimaksudkan untuk memperoleh data pengukuran
elemen-elemen Brand equity Era. Responden dari kuesioner ini adalah para konsumen
pemakai jasa broker property.
Pada penelitian ini responden yang diambil sebanyak 100 orang secara purposive sampling.
Jadi, sampel sengaja bertujuan dipilih yang memang menggunakan jasa broker property.
2.6.3 Definisi Operasional dan Instrumen Pengukuran
a) Definisi Operasional Variabel
Menurut Singarimbun (2001,p46), Definisi Operasional Variabel adalah penjelasan dari
teoritis variabel sehingga dapat diamati dan diukur dengan menentukan hal-hal yang
diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain, definisi operasional variabel
adalah semacam petunjuk pelaksanaan yang memberitahukan bagaimana mengukur
variabel dan merupakan suatu informasi ilmiah yang sangat membantu penelitian lain
yang ingin menggunakan variabel yang sama.
Variabel-variabel yang diteliti oleh penulis mencakup:
1. Variabel Demografis, mencakup:
- Jenis kelamin - Tingkat Pendidikan
- Usia - Pekerjaan
27
- Wilayah tempat tinggal - Pengeluaran per bulan
2. Variabel Brand Awareness, menginformasikan tingkat kemampuan responden dalam
mengenal dan mengingat nama merek. Variabel ini mencakup:
- Unaware of Brand
- Brand Recognition
- Brand Recall
- Top of Mind
3. Variabel Brand Association, merupakan segala hal yang berkaitan dengan ingatan
tentang sebuah merek. Berdasarkan asosiasi-asosiasi yang telah diolah maka dapat
dihasilkan brand image dari broker property ERA.
4. Variabel Perceived Quality, untuk mengetahui informasi mengenai ada atau tidak
kesenjangan antara persepsi konsumen terhadap kualitas ERA dengan tingkat
kepentingan kualitas jasa ERA tersebut.
5. Variabel Brand Loyalty, untuk mengetahui tingkat loyalitas konsumen terhadap broker
property ERA. Variabel-variabelnya meliputi:
- Switcher
- Habitual Buyer
- Satisfied Buyer
- Liking the Brand
- Commited Buyer
b) Variabel dan Instrumen Pengukuran
Menurut Sugiyono (2002,p31), variabel penelitian pada dasarnya adalah sesuatu hal yang
berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh
informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan, instrumen
penelitian menurut Sugiyono (2002,p97), adalah suatu alat yang digunakan mengukur
fenomena alam atau sosial yang diamati (alat ukur dalam penelitian). Secara spesifik
28
semua fenomena ini disebut variabel penelitian. Dalam penelitian ini terdapat empat
variabel, yaitu brand awareness, brand association, perceived quality, dan brand loyalty.
2.6.4 Teknik Analisis Data
Hasil dari penyebaran kuesioner akan menjadi data input untuk diolah dan dianalisa.
1. Menganalisa Data Profil Demografis
Data yang telah dikumpulkan dihitung dengan tabulasi dan dipersentase untuk
mengetahui bermacam-macam responen dari sisi:
• Jenis kelamin
• Usia responden
• Wilayah tempat tinggal
• Tingkat pendidikan
• Pekerjaan
• Pengeluaran per bulan
2. Perhitungan Brand Awareness
Untuk mengukur kesadaran merek digunakan Analisis Deskriptif Persentase, yaitu dengan
cara menabulasikan data yang diperoleh. Dalam penganalisisan ini, responden yang
dilibatkan masih lengkap yaitu sebanyak 100 orang.
3. Menganalisa Brand Association
Mulai dari penganalisisan brand association sampai pada brand loyalty, responden yang
digunakan hanya 74 orang saja. Hal ini terjadi karena dari 100 orang responden hanya 74
orang yang mengenal merek ERA. Maka, hanya mereka (74 orang) yang dilibatkan.
Sedangkan untuk berbagai uji validitas dan reliabilitas, hanya dipakai 30 orang (sudah
bisa mewakili) dari 74 orang responden.
Sebelum melakukan analisa lebih jauh tentang Brand Association, dilakukan pengujian
validitas dan realibilitas atas asosiasi-asosiasi dengan menggunakan software SPSS yang
melibatkan 30 orang responden. Ada Delapan asosiasi dari broker property ERA, yaitu:
29
Asosiasi 1. komisinya pas Asosiasi 5. Profesional
Asosiasi 2. Bersahabat Asosiasi 6. Memberi Kenyamanan
Asosiasi 3. Surat-suratnya lengkap Asosiasi 7. Siap Membantu
Asosiasi 4. Proses cepat Asosiasi 8. Broker Property Terkenal
Hasil uji validitas dan realibilitas dari kuesioner mengenai Brand Association, adalah
reliable dan valid. Reliable karena α > 0,6 yaitu 0,6429. Valid karena r > rtabel product
moment, yaitu > 0,361 untuk N= 30. (Lihat Lampiran).
Setelah diketahui bahwa asosiasi-asosiasi tersebut dapat diandalkan, maka analisis
tentang Brand Association dapat dilanjutkan guna medapatkan brand image yang
membentuk merek broker property ERA. Uji Cochran adalah sarana perhitungan statistik
untuk mencapai tujuan tersebut, dengan penentuan hipotesis:
Ho: Kemungkinan jawaban “Ya” sama untuk setiap asosiasi
H1: Kemungkinan jawaban “Ya” tidak sama untuk setiap asosiasi
Langkah-langkah:
1) Hitung statistic Q dengan rumus Test Cochran (Q) menurut Durianto, Sugiarto, dan
Sitinjak (2004,p84):
Q = ∑
∑−
−−−2
22 ).1().1(
i
j
RCN
NCCCC
Keterangan: C: banyaknya asosiasi
Ri: jumlah baris jawaban “Ya”
Cj: jumlah kolom jawaban “Ya”
N: total besar
2) Tolak Ho bila Q > 2),( vX α V= C – 1
Terapan Uji Cochran untuk mengetahui signifikansi setiap asosiasi yang ada dalam
suatu merek dimulai dengan pengujian semua asosiasi. Atas dasar analisis dilakukan
30
perbandingan antara nilai Q dengan 2),( vtabelX α . Jika diperoleh nilai Q < 2
),( vtabelX α ,
maka Ho diterima yang berarti semua asosiasi yang diuji saling berhubungan
membentuk brand image dari suatu merek. Jika diperoleh Q > 2),( vtabelX α , dapat
disimpulkan belum cukup bukti untuk menerima Ho. Dengan demikian tidak semua
asosiasi adalah sama dan pengujian dilanjutkan ke tahap dua untuk mengetahui
asosiasi mana yang tidak sama dan dapat dikeluarkan dari asosiasi-asosiasi penyusun
brand image suatu merek.
Untuk masuk ke tahap dua, dicari asosiasi yang memiliki jumlah kolom terkecil yang
selanjutnya akan dicoba dikeluarkan dari komponen asosiasi-asosiasi pembentuk brand
image. Dengan demikian nilai N sekarang akan berkurang sebesar nilai total kolom
yang dikeluarkan tersebut. Nilai Q dihitung kembali dengan mempertimbangkan
kondisi yang baru tersebut. Saat ini asosiasi yang diuji signifikansi hubungannya
menjadi berkurang satu pula sehingga derajat bebas dari 2),( vtabelX α berkurang satu
juga. Tahap pembandingan Q dengan 2),( vtabelX α dilakukan lagi. Jika nilai Q >
2),( vtabelX α , lanjutkan tahap pengujian ke tahap tiga dengan teknik yang sama. Jika
nilai Q < 2),( vtabelX α , maka pengujian dihentikan yang berarti brand image suatu
merek terbentuk dari asosiasi-asosiasi sisanya yang belum diuji dan asosiasi terakhir
yang diuji.
4. Perhitungan Perceived Quality
Sama halnya seperti menganalisis Brand Association, Perceived Quality juga memerlukan
pengujian validitas dan realibilitas terhadap Performance (kinerja) dan Importance
(harapan) terlebih dahulu. Jumlah responden yang dilibatkan dalam pengujian ini juga
sebanyak 30 orang.
31
Hasil uji validitas dan realibilitas dari kuesioner mengenai Perceived quality atas
performance dan importance dari broker property ERA menunjukkan hasil yang reliable
dan valid. Perfomance reliable karena α > 0,6 yaitu 0,6733 dan valid karena r > rtabel
product moment, yaitu > 0,361 untuk N= 30 (Lihat lampiran). Sedangkan, Importance
reliable karena α > 0,6 yaitu 0,6365 dan valid karena r > rtabel product moment, yaitu
> 0.361 untuk N= 30 (Lihat lampiran).
Setelah mengetahui hasil validitas dan realibilitas, berikutnya data akan diproses dengan
mencari rata-rata )(X dan standar deviasi (SD) untuk mendapatkan titik-titik
berpasangan pada diagram kartesius.
Data mengenai Perceived Quality diperoleh melalui kuesioner dengan menggunakan Skala
Likert. Dimana responden diberi 5 alternatif pilihan yang masing-masing pilihan tersebut
mempunyai bobot nilai.
Bobot ranking untuk tingkat Performance (kinerja):
1 = a = Sangat Tidak Baik
2 = b = Tidak Baik
3 = c = Cukup
4 = d = Baik
5 = e = Sangat Baik
Sedangkan, bobot ranking untuk tingkat Importance (kepentingan):
1 = a = Sangat Tidak Penting
2 = b = Tidak Penting
3 = c = Biasa Saja
4 = d = Penting
5 = e = Sangat Penting
32
Pengukuran untuk perceived quality dipakai rata-rata, standar deviasi, rentang skala
pengukuran, dan diagram kartesius (performance – importance).
Rumus Rata-rata )(X dan Standar Deviasi (SD) menurut Durianto, Sugiarto, dan
Sitinjak (2004,p43):
)(X =n
fixi∑ .
(SD)= 1
).(.
22
−
−∑ ∑
nn
xifixifi
Keterangan: Xi: nilai pengukuran ke- i
fi: frekuensi kelas ke- i
n: banyaknya pengamatan
Hasil dari nilai rata-rata dan standar deviasi tersebut kemudian dipetakan ke rentang
skala yang dipertimbangkan informasi interval berikut:
Interval = nilai tertinggi – nilai terendah
banyaknya kelas
= (5 – 1) / 5 = 0,8
Setelah besarnya interval diketahui, lalu dibuat rentang skala sehingga dapat diketahui
dimana letak rata-rata penilaian responden terhadap setiap unsur diferensiasinya dan
sejauh mana variasinya. Rentang skala tersebut adalah:
1,00 – 1,80 = sangat tidak baik
1,80 – 2,60 = tidak baik
2,60 – 3,40 = cukup
3,40 – 4,20 = baik
4,20 – 5,00 = sangat baik
33
Kemudian, sampailah pada pembuatan Diagram Cartecius (performance – importance).
Berikut adalah tampilan diagram kartesius.
Gambar 2.7
Diagram Cartesius
Sumber: Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004,p109)
Diagram Kartesius merupakan pendeteksian antara Tingkat Kinerja (performance) dan
Tingkat Kepentingan (importance), yang terdiri atas empat bagian (kuadran). Menurut
Supranto (2001,p242), arti dari keempat kuadran tersebut adalah:
a) Kuadran I, menunjukan faktor atau atribut yang dianggap mempengaruhi kepuasan
pelanggan, termasuk unsur-unsur yang dianggap sangat penting, namun manajemen
belum melaksanakannya sesuai keinginan pelanggan, sehingga mengecewakan/ tidak
puas.
b) Kuadran II, menunjukan unsur jasa pokok yang telah berhasil dilaksanakan
perusahaan, untuk itu wajib dipertahankan. Dianggap sangat penting dan sangat
memuaskan.
34
c) Kuadran III, menunjukan beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya bagi
pelanggan, pelaksanaannya oleh perusahaan biasa-biasa saja. Dianggap kurang
penting dan kurang memuaskan.
d) Kuadran IV, menunjukan faktor yang mempengaruhi pelanggan dianggap kurang
penting, akan tetapi pelaksanaanya berlebihan. Dianggap kurang penting tetapi
memuaskan.
5. Pengukuran Brand Loyalty
Permulaan dari menganalisis Brand Loyalty juga diawali dengan pengujian validitas dan
realibilitas seperti pada Brand Association dan Perceived Quality, yang juga melibatkan 30
orang responden.
Hasil uji validitas dan realibilitas dari kuesioner mengenai Brand Loyalty dari broker
property ERA juga menunjukkan hasil yang reliable dan valid. Reliable karena α > 0,6
yaitu 0,6466 dan valid karena r > rtabel product moment, yaitu > 0,361 untuk N= 30
(Lihat lampiran).
Setelah uji validitas dan reliabilitas dilakukan, selanjutnya barulah menganalisis switcher,
habitual buyer, satisfied buyer, liking the brand, dan commited buyer dengan menghitung
rata-rata )(X dan standar deviasinya (SD) dengan rumus yang sama dengan yang
digunakan pada perhitungan rata-rata dan standar deviasi pada perceived quality.
Kemudian, untuk mengetahui jumlah responden yang kemungkinan berpindah merek,
digunakan Brand Switching Pattern Matrix dengan cara tabulasi data dari kuesioner.
Setelah mendapatkan hasilnya, barulah dapat diketahui kemungkinan besarnya
perpindahan merek tersebut melalui Matriks Probabilitas Transisi yang diperoleh dengan
menggunakan rumus PRoT (Possibility Rate of Transition = kemungkinan perpindahan
merek). Rumus PRoT menurut Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004,p133) adalah
sebagai berikut:
35
PRoT = xtxAtAL
Lnt x
x %1001−
Keterangan : PRoT: kemungkinan tingkat perpindahan suatu merek
ALx: konsumen yang tetap setia terhadap merek
Atx: total konsumen yang diteliti dari merek X
t: banyaknya penelitian
Semakin besar nilai ProT, maka tingkat loyalitas pelanggan semakin rendah.
Untuk lebih memperjelas tahapan penelitian setiap elemen-elemen brand equity, berikut
disajikan urutan penelitian yang dilakukan dalam mengukur brand equity broker property
ERA.
36
Gambar 2.8
Flow Chart Analisa Data
Sumber: Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004,p48)
Terhadap empat elemen utama akan diberikan gambar urut-urutan penelitian, mulai dari
teknik penganalisisan brand awareness, brand association, perceived quality, dan brand
loyalty.
37
Gambar 2.9
Flow Chart Analisis Brand Awareness
Sumber: Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004,p49)
38
Gambar 2.10
Flow Chart Analisis Brand Association
Sumber: Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004,p50)
39
Gambar 2.11
Flow Chart Analisis Perceived Quality
Sumber: Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004,p51)
40
Gambar 2.12
Flow Chart Analisis Brand Loyalty
Sumber: Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004,p52)
41
2.6.5 Kelemahan Teknik Analisis Data
Kelemahan dari teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah
karena sampel diambil secara non random (jumlah sedikit), jadi keragaman belum tentu
terwakili.