BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN...

26
9 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Manajemen Konflik Konflik dalam perusahaan terjadi dalam berbagai bentuk dan corak. Berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai pandangan yang berbeda sering berpotensi terjadinya kesalahpahaman, sakit hati dan lain- lain. Sebagai individu sering terjebak dalam kancah konflik yang berkepanjangan, terutama karyawan yang harus saling berhubungan karena tugas serta terjadinya konflik peran. Konflik merupakan hal yang tidak dapat dielakan dalam perusahaan, akan tetapi dapat diselesaikan dan diredakan pada tahap yang paling minimum dan tidak mengganggu kelancaran jalannya perusahaan. Konflik yang terjadi dalam perusahaan dapat menjadi konstruktif namun juga bisa menjadi destruktif. Tentunya konflik yang konstruktif perlu untuk dikembangan, sedangkan konflik destruktif sebaiknya dikurangi. Maka dari itu, untuk mengurangi dan mengatasi terjadinya konflik dekstruktif dalam perusahaan, perlu dilakukannya manajemen konflik. Menurut Lynne Irvine dalam Wirawan (2010:131), manajemen konflik merupakan strategi yang mempekerjakan organisasi dan individu untuk mengidentifikasi dan mengelola perbedaan, sehingga mengurangi

Transcript of BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN...

9

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Pengertian Manajemen Konflik

Konflik dalam perusahaan terjadi dalam berbagai bentuk dan corak.

Berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai pandangan yang

berbeda sering berpotensi terjadinya kesalahpahaman, sakit hati dan lain-

lain. Sebagai individu sering terjebak dalam kancah konflik yang

berkepanjangan, terutama karyawan yang harus saling berhubungan karena

tugas serta terjadinya konflik peran. Konflik merupakan hal yang tidak

dapat dielakan dalam perusahaan, akan tetapi dapat diselesaikan dan

diredakan pada tahap yang paling minimum dan tidak mengganggu

kelancaran jalannya perusahaan. Konflik yang terjadi dalam perusahaan

dapat menjadi konstruktif namun juga bisa menjadi destruktif. Tentunya

konflik yang konstruktif perlu untuk dikembangan, sedangkan konflik

destruktif sebaiknya dikurangi. Maka dari itu, untuk mengurangi dan

mengatasi terjadinya konflik dekstruktif dalam perusahaan, perlu

dilakukannya manajemen konflik.

Menurut Lynne Irvine dalam Wirawan (2010:131), manajemen

konflik merupakan strategi yang mempekerjakan organisasi dan individu

untuk mengidentifikasi dan mengelola perbedaan, sehingga mengurangi

 

10

beban dan pengeluaran dari konflik yang tidak terkelola, sementara

memanfaatkan konflik sebagai sumber inovasi dan perbaikan.

Menurut Wirawan (2010:129), manajemen konflik sebagai proses

pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan

menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi

yang diinginkan.

Dari berbagai definisi mengenai manajemen konflik di atas, dapat

disimpulkan bahwa manajemen konflik mengidentifikasi dan mengambil

langkah untuk situasi yang berpotensi menghasilkan konfrontasi yang

tidak baik, menyelesaikan konflik dan ketidak setujuan dalam sebuah tata

cara yang positif dan konstruktif untuk meminimalisasi dampak negatif.

2.1.1.1 Tujuan Manajemen Konflik

Berikut ini adalah tujuan dari manajemen konflik menurut Wirawan

(2010:132), antara lain:

a. Mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri

pada visi, misi dan tujuan organisasi

b. Memahami orang lain dan menghormati keberagaman

c. Meningkatkan kreativitas

d. Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran

berbagai informasi dan sudut pandang

e. Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman

bersama dan kerja sama

 

11

f. Menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik

g. Menciptakan iklim organisasi konflik dan lingkungan kerja yang

mendukung

2.1.1.2 Gaya Manajemen Konflik

Thomas & Kilmann dalam Wirawan (2010:140) mengemukakan lima

jenis gaya manajemen konflik. Berikut adalah kelima jenis gaya

manajemen konflik tersebut :

1. Kompetisi (competing)

Gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, dimana

seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk

memenangkan konflik dengan pihak lawannya.

Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen

konflik kompetisi :

- Merasa mempunyai kekuasaan dan sumber-sumber lainnya untuk

memaksakan sesuatu kepada lawan konfliknya.

- Tindakan dan keputusan perlu diambil dengan cepat, misalnya dalam

keadaan darurat. Keterlambatan mengambil keputusan atau tindakan

akan memberikan akibat yang tidak baik.

- Dalam tindakan yang tidak populer, terdapat hal yang dilakukan,

seperti mengurangi biaya, peraturan baru, dan pendisiplinan pegawai.

 

12

- Melindungi perusahaan dari kebangkrutan dan keadaan yang dapat

merusak citra perusahaan, seperti perilaku pegawai yang tidak

sepatutnya dan pegawai penyebab masalah (biang kerok).

2. Kolaborasi (collaborating)

Tujuan dari kolaborasi adalah untuk mencari alternatif, dasar bersama,

dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat

konflik. Gaya manajemen konflik kolaborasi merupakan upaya

bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan

pihak-pihak yang terlibat konflik. Upaya tersebut sering meliputi saling

memahami permasalahan konflik atau saling mempelajari ketidak

sepakatan. Selain itu kreativitas dan inovasi juga digunkaan untuk mencari

alternatif yang dapat diterima kedua belah pihak.

Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen

konflik kolaborasi :

- Menciptakan solusi integratif dan tujuan kedua belah pihak terlalu

penting utnuk dikompromikan.

- Tujuan pihak yang terlibat konflik untuk mempelajari lebih jauh

pandangan dari lawan konfliknya.

- Kedua belah pihak tidak mempunyai cukup kekuasaan dan sumber-

sumber untuk memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya.

3. Kompromi (compromising)

Gaya manajemen konflik tengah atau menengah, dengan

menggunakan strategi memberi dan mengambil (give and take), kedua

 

13

belah pihak yang terlibat konflik mencari alternatif titik tengah yang

memuaskan sebagian keinginan mereka. Gaya manajemen konflik

kompromi berada ditengah antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi.

Dalam keadaan tertentu, kompromi dapat berarti membagi perbedaan

diantara dua posisi dan memberikan konsensi untuk mencari titik tengah.

Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen

konflik kompromi:

- Pentingnya tujuan konflik tidak cukup bernilai untuk

dipertahankan dengan menggunakan gaya manajemen konflik

kompetisi atau kolaborasi. Akan tetapi, konflik juga terlalu penting

untuk dihindari.

- Kedua belah pihak mempunyai kekuasaan dan sumber yang sama

serta mempunyai tujuan yang hampir sama.

- Untuk mencapai solusi sementara atas masalah yang kompleks.

4. Menghindar (avoiding)

Dalam gaya manajemen ini, kedua belah pihak yang terlibat konflik

berusaha menghindari konflik. Menurut Thomas & Kilmann dalam

Wirwan (2010:141) untuk menghindar tersebut dapat berupa: (a)

menjauhkan diri dari pokok masalah, (b) menunda pokok masalah hingga

waktu yang tepat, atau (c) menarik diri dari konflik yang mengancam dan

merugikan.

Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen

konflik menghindar:

 

14

- Kepentingan objek konflik rendah atau ada objek konflik lain yang

sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian.

- Objek konflik tidak mungkin untuk dimenangkan karena memiliki

kekuasaan dan sumber-sumber konflik yang rendah. Atau, tidak

mungkin untuk diubah, seperti undang-undang, peraturan

pemerintah, serta peraturan dan kebijakan perusahaan.

- Potensi biaya yang dibutuhkan untuk memenangkan konflik lebih

besar daripada nilai solusinya.

- Untuk menenangkan para karyawan dan mengurangi ketegangan,

serta menciptakan suasana kerja yang kondusif dan tenang

sehingga meningkatkan kinerja karyawan.

5. Mengakomodasi (accommodating)

Gaya manajemen konflik ini mengenai seseorang yang mengabaikan

kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan lawan

konfliknya.

Dari beberapa gaya manajemen konflik di atas, gaya manajemen

konflik yang paling dominan digunakan dalam perusahaan yang kami teliti

adalah gaya manajemen konflik kompromi.

Berikut adalah indikator mengenai keterampilan yang diperlukan

untuk menggunakan gaya manajemen konflik kompromi yang efektif

menurut Wirawan (2010:142):

a. kemampuan bernegosiasi

b. mendengarkan dengan baik yang dikemukakan oleh lawan konflik

 

15

c. mengevaluasi nilai

d. menemukan jalan tengah

e. memberikan konsensi

2.1.2 Pengertian Stres dan Stres Kerja

Sebagian besar dari kita menyadari bahwa dalam kehidupan yang

semakin kompleks, manusia akan cenderung mengalami stres ketika ia

kurang mampu mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan

yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Stres dapat dikatakan bagai

“payung” yang menopang tekanan, beban, konflik, keletihan, ketegangan,

panik, perasaan gemuruh, kemurungan dan hilang daya. Orang-orang yang

mengalami stres bisa menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran

kronis, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif.

Sebenarnya Stres dan Stres Kerja hampir menyerupai satu sama lain,

hanya saja cakupan stres lebih luas dibanding stres kerja karena stres dapat

terjadi di lingkungan kerja maupun di luar lingkungan kerja, sedangkan

stres kerja hanya mencakup pada lingkungan kerja.

Menurut Handoko (2001:200), Stres adalah suatu kondisi ketegangan

yang dinamik yang mempengaruh emosi, proses berpikir dan kondisi

seorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang

untuk menghadapi lingkungan. Pada akhirnya, pada diri para karyawan

dapat berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu

pelaksanaan kerja mereka.

 

16

Menurut Robbins (2001:563) Stres juga dapat diartikan sebagai suatu

kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu

kesempatan dimana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan

atau penghalang.

Adapun menurut Beehr dan Franz dalam Bambang Tarupolo

(2002:17), Stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang

merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja

atau situasi kerja yang tertentu.

Menurut Beehr dan Newman dalam Luthans (2006:441) Stres kerja

sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan,

serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka

untuk menyimpang dari fungsi normal mereka

Dari berbagai definisi mengenai stres di atas, dapat dikutip simpulan

bahwa stres adalah dimana seseorang mengalami tekanan-tekanan dalam

hidupnya yang bisa dipengaruhi dari psikis, emosi, proses berpikir, dan

kondisi seseorang. Stres kerja dapat disimpulkan adalah terjadi akibat

adanya ketidakseimbangan antara karakteristik, psikis dan kepribadian

karyawan dengan aspek-aspek pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan.

 

17

2.1.2.1 Faktor Penyebab Stres Kerja pada Karyawan

Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stressors.

Meskipun stres dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors, biasanya

karyawan mengalami stres karena kombinasi stressors.

Menurut Ivancevich dan Matterson dalam Yuli T (2003:56) membagi

sumber stres dalam lingkungan kerja sebagai berikut:

1. Stres yang bersumber dari lingkungan fisik

Sumber stres ini mengacu pada kondisi fisik dalam lingkungan dimana

pekerja harus beradaptasi untuk memelihara keseimbangan dirinya. Stres

yang bersumber dari lingkungan fisik ini, diantaranya adalah:

‐ kondisi penerangan ditempat kerja

‐ tingkat kebisingan

‐ keluasan wilayah kerja.

2. Stres yang bersumber dari tingkatan individu

Yang dimaksud dengan sumber ini adalah stres yang berkaitan dengan

peran yang dimainkan dan tugas-tugas yang harus diselesaikan

sehubungan dengan posisi seseorang di lingkungan kerjanya, yang

termasuk kedalam sumber stres ini adalah:

o Konflik peran (role conflict)

Kombinasi dari harapan dan tuntutan yang diberikan kepada para

pegawai atau anggota lain dalam organisasi yang menimbulkan

tekanan disebut tekanan peran. Jika terdapat dua atau lebih tekanan

peran, maka timbullah konflik. Konflik peran ini dapat bersifat objektif

 

18

dan subjektif. Disebut objektif jika seseorang menghadapi dua atau

lebih tuntutan yang bertentangan. Disebut subjektif jika seseorang

menghadapi ketidak sesuaian antara keinginan pribadi dengan tujuan

serta nilai dirinya dengan tuntutan perannya. Van Sell, dkk., dan Kahn,

dkk., dalam H. Suwatno dan Donni Juni Priansa (2011:256)

menemukan bahwa tenaga kerja yang menderita konflik peran yang

lebih banyak memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah dan

ketegangan pekerjaan yang lebih tinggi.

o Peran yang rancu/tidak jelas (role ambiguity)

Ketidakjelasan seseorang mengenai peran yang harus dilaksanakannya,

baik yang berkaitan dengan tugas yang harus ia lakukan maupun

dengan tanggung jawab sehubungan dengan posisinya. Hal ini juga

terjadi pada saat individu mengalami ketidakpastian mengenai

tindakan apa untuk diambil dalam rangka memenuhi suatu pekerjaan.

o Beban kerja yang berlebihan (work overload)

Beban kerja ini dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Disebut

kuantitatif jika seseorang menghayati terlalu banyak pekerjaan yang

harus diselesaikan, atau karena keterbatasan waktu untuk

menyelesaikan pekerjaan yang diberikan. Disebut kualitatif jika

seseorang menghayati kurangnya kemampuan dirinya untuk

menyelesaikan pekerjaannya atau pekerjaan yang ia hadapi menuntut

keahlian yang melebihi kemampuannya. Tingkat stres yang optimal

menghadirkan keseimbangan akan tantangan, tanggung jawab, dan

 

19

rewards. Tanda-tanda beban berlebih di antaranya mudah tersinggung,

kelelahan fisik dan mental.

o Tanggung jawab terhadap orang lain (responsibility for people)

Tanggung jawab disini dapat meliputi tanggung jawab terhadap orang

lain/hal-hal lain. Dalam banyak kasus, tanggung jawab terhadap orang

lain lebih potensial sebagai sumber stres. Karena tanggung jawab ini

akan berkaitan dengan pengambilan keputusan yang dapat memberikan

kepuasan bagi berbagai pihak. Lebih jauh lagi, tanggung jawab ini

dapat mengakibatkan berlebihnya beban kerja, konflik peran atau

kerancuan peran.

o Kesempatan untuk mengembangkan karir (career development)

Yang dimaksud dengan stres ini adalah aspek-aspek sebagai hasil dari

interaksi antara individu dengan lingkungan organisasi yang

mempengaruhi persepsi seseorang terhadap kualitas dari

pengembangan karirnya. Stres ini dapat terjadi jika kerja merasakan

kehilangan akan rasa aman terhadap pekerjaannya. Promosi yang

dirasakan tidak sesuai yang secara umum disebabkan karena adanya

ketidak sesuaian antara karir yang diharapkan dengan apa yang

diperoleh selama ini, atau juga tidak ada juga kejelasan perkembangan

karir. Terbatasnya peluang karir tidak akan menimbulkan stres pada

tenaga kerja yang tidak memiliki aspirasi karir.

3. Stres yang bersumber dari kelompok dan organisasi

a) Stres yang bersumber dari kelompok

 

20

Stres disini bersumber dari hasil interaksi individu-individu dalam

suatu kelompok yang disebabkan perbedaan-perbedaan diantara

mereka, baik perbedaan sosial maupun psikologi. Stres yang

bersumber dari kelompok, antara lain:

‐ Hilangnya kekompakan kelompok (lack of cohesiveness)

Kecenderungan untuk bersatu di antara anggota kelompok disebut

sebagai kekompakan. Hilangnya kekompakan ini dapat

mengakibatkan rendahnya moril kerja, tampilan kerja yang buruk

serta perubahan fisik seperti tekanan darah yang meningkat.

‐ Tidak adanya dukungan yang memadai (group support)

Yaitu dukungan dari sesama anggota kelompok, misalnya dalam

membagi masalah. Dukungan kelompok dapat di pandang sebagai

sumber yang dapat membantu seseorang dalam menghadapi stres.

‐ Konflik intra dan inter kelompok.

Dimaksud konflik disini adalah tindakan-tindakan yang

bertentangan antara dua orang atau lebih. Konflik dan stres terjadi

jika antara individu atau satu hal terjadi pertentangan. Konflik yang

timbul dalam hal ini dapat dibagi menjadi:

o Intragroup conflict jika terdapat ketidaksesuaian antara anggota

kelompok tentang bagaimana pemecahan suatu masalah.

Konflik ini dapat disebabkan oleh adanya persepsi,

pengalaman, nilai atau sumber, informasi yang berbeda di

 

21

antara mereka. Interaction conflict timbul jika terdapat

pertentangan di antara anggota kelompok.

o Intergroup conflict terjadi karena kurang adanya koordinasi

yang baik diantara beberapa kelompok, padahal kelompok-

kelompok tersebut didalam melaksanakan tugasnya tergantung

dan berkomunikasi satu dengan yang lainnya.

b) Stres yang bersumber dari organisasi

Stres di sini timbul dari keinginan-keinginan organisasi atau

lembaga sehubungan dengan pencapaian tujuan organisasi atau

lembaga tersebut. Macam-macam stres yang bersumber dari

organisasi, antara lain:

‐ Iklim organisasi

Interaksi di antara individu, stuktur kebijaksanaan dan tujuan

organisasi secara umum disebut iklim organisasi yang

bersangkutan. Iklim dapat mempengaruhi tingkah laku di antara

individu-individunya atau di antara kelompoknya dan juga

interaksi di antara mereka.

‐ Struktur organisasi

Stres yang timbul oleh bentuk struktur organisasi yang berlaku di

lembaga yang bersangkutan. Apabila bentuk dan struktur

organisasi kurang jelas dan dalam jangka waktu yang lama tidak

ada perubahan atau pembaharuan, maka hal tersebut dapat menjadi

 

22

sumber stres. Posisi individu dalam suatu struktur organisasi dapat

juga menggambarkan bagaimana stres yang dialami.

‐ Teritorial organisasi

Istilah yang menggambarkan ruang pribadi atau arena kegiatan

seseorang, tempat dimana mereka bekerja, berpikir atau bergurau.

Setiap orang mengembangkan rasa memiliki terhadap ruang

pribadi mereka, antara lain terhadap ruang kerja, teritorial

organisasi ini berkaitan dengan bagian-bagian organisasi yang

dirasakan akrab, di luar itu sebagai wilayah yang asing.

Sehubungan dengan teritori organisasi ini maka dapat dikatakan

bahwa perubahan pada pola keakraban dapat menjadi pemicu bagi

timbulnya stres pada seseorang.

‐ Teknologi

Sumber daya yang digunakan organisasi untuk mengubah sumber

input menjadi output yang diinginkan dapat melalui individu yaitu

kemampuan atau pengetahuan teknis yang dimiliki atau melalui

peralatan yang tersedia, di mana nantinya akan menghasilkan

output yang diinginkan lembaga. Jika peralatan yang diperlukan

tersebut kurang menunjang pekerjaan maka hal tersebut bisa

menimbulkan stres.

‐ Pengaruh pimpinan

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas pekerjaan,

iklim dan kelompok adalah bagaimana pimpinannya. Sering kali

 

23

pimpinan mempunyai pengaruh yang lebih kuat dibandingkan

dengan aspek-aspek lain dalam pekerjaan, salah satunya bersumber

dari tingkat kewenangan dan kekuasaan. Berkaitan dengan

kekuasaan yang dimilikinya entah itu dalam memberikan reward

atau punishment yang dilakukan pimpinan kepada bawahannya,

pada dasarnya setiap pimpinan dibentuk sama. Ada yang nampak

lebih memperhatikan dan mampu bekerja sama dengan pekerjanya

dan ada yang menggunakan pengetahuannya tentang politis untuk

kepentingan pribadinya dan lain-lain. Pengaruh pimpinan dapat

dipandang sebagai sumber stres tergantung bagaimana individu

dan situasi saat itu.

2.1.2.2 Dampak Stres

Mobilisasi dari mekanisme pertahanan tubuh bukanlah satu-satunya

konsekuensi yang mungkin timbul dari adanya kontak dengan sumber

stres. Akibat dari stres banyak dan bermacam-macam. Ada sebagian yang

positif seperti meningkatkan motivasi, terangsang untuk bekerja lebih giat,

atau mendapat inspirasi untuk hidup lebih baik lagi. T. Cox (2005:92)

telah mengidentifikasikan efek dari stres yang mungkin muncul, yaitu:

1. Dampak Subjektif (subjective effect)

Kekhawatiran/kegelisahan, kelesuan, kebosanan, depresi, keletihan,

frustasi, kehilangan kesabaran, perasaan terkucil dan merasa kesepian.

2. Dampak Perilaku (behavioral effect)

 

24

Akibat stres yang berdampak pada prilaku pekerja dalam bekerja di

antaranya peledakan emosi dan perilaku impulsif.

3. Dampak Kognitif (cognitive effect)

Ketidak mampuan mengambil keputusan yang sehat, daya konsentrasi

menurun, kurang perhatian/rentang perhatian pendek, sangat peka

terhadap kritik/kecaman dan hambatan mental.

4. Dampak Fisiologis (physiological effect)

Kecanduan glukosa darah meninggi, denyut jantung dan tekanan

darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar, dan

tubuh panas dingin.

5. Dampak Kesehatan (health effect)

Sakit kepala dan migran, mimpi buruk, sulit tidur, dan lain-lain.

6. Dampak Organisasi (organizational effect)

Produktivitas menurun/rendah, terasing dari mitra kerja, ketidak

puasan kerja, menurunnya keikatan kerja dan loyalitas terhadap

instansi.

2.1.2.3 Pendekatan Stres Kerja

Terdapat dua pendekatan pada stres kerja, yaitu pendekatan individu

dan perusahaan menurut Veithzal Rivai dan Ella Jauvani Sagala

(2010:1008). Bagi individu penting dilakukan pendekatan karena stres

dapat mempengaruhi kehidupan, kesehatan, produktivitas, dan

penghasilan. Bagi perusahaan bukan saja hanya karena alasan

 

25

kemanusiaan, tetapi juga karena pengaruhnya terhadap prestasi semua

aspek dan efektivitas dari perusahaan secara keseluruhan.

Perbedaan pendekatan individu dengan pendekatan perusahaan tidak

dibedakan secara tegas, pengurangan stres dapat dilakukan pada tingkat

individu, organisasi maupun kedua-duanya.

a) Pendekatan Individu

• Meningkatkan keimanan

• Melakukan meditasi dan pernapasan

• Melakukan kegiatan olahraga

• Melakukan relaksasi

• Dukungan sosial dari teman-teman dan keluarga

• Menghindari kegiatan rutin yang membosankan

b) Pendekatan Perusahaan

• Melakukan perbaikan iklim organisasi

• Melakukan perbaikan terhadap lingkungan fisik

• Menyediakan sarana olahraga

• Melakukan analisis dan kejelasan tugas

• Meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan

• Melakukan restrukturisasi tugas

• Menerapkan konsep Manajemen Berdasarkan Sasaran

 

26

2.1.3 Pengertian Kinerja

Di sebagian besar organisasi, kinerja para karyawan individual

merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan organizational.

Prestasi kerja atau kinerja berasal dari kata job performance (prestasi kerja

atau prestasi sesungguhnya yang pernah dicapai seseorang). Pengertian

kinerja adalah hasil secara kualitas dan kuantitas yang di capai oleh seorang

pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang

diberikan kepadanya.

Menurut Mathis (2006:113), kinerja pada dasarnya adalah apa yang

dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan pada umumnya

untuk kebanyakan pekerjaan meliputi beberapa elemen yaitu kuantitas dari

hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, kemampuan

bekerja sama.

Menurut Wibowo (2007:7), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang

mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan

konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian

kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari

pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan

bagaimana cara mengerjakannya.

Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan

selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang

dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan

sumber-sumber daya yg dimiliki. Helfert dalam Rivai & Sagala (2010:604)

 

27

Dari berbagai definisi kinerja di atas, maka disimpulkan bahwa kinerja

merupakan hasil atau prestasi yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan

strategis organisasi.

2.1.3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

Menurut Mathis (2006:113) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi

bagaimana individu melakukan pekerjaannya, tiga faktor utama tersebut

adalah :

a. Kemampuan individual

‐ Bakat

‐ Minat

‐ Faktor kepribadian

b. Tingkat usaha yang dicurahkan

‐ Motivasi

‐ Etika kerja

‐ Kehadiran

‐ Rancangan tugas

c. Dukungan organisasi

‐ Pelatihan dan pengembangan

‐ Peralatan dan teknologi

‐ Standar kinerja

‐ Manajemen dan rekan kerja

 

28

2.1.4 Kajian Penelitian Terdahulu

2.1.4.1 Hubungan Stres Kerja dengan Kinerja Karyawan

Menurut pendapat dari Zainur Rozikin (2006), adanya faktor stres kerja

yang besar pada karyawan berakibat pada penurunan kinerja karyawan. Dan

tingkat stres kerja yang rendah akan berdampak pada peningkatan kinerja

karyawan.

2.1.4.2 Hubungan Manajemen Konflik dengan Kinerja Karyawan

Penelitian menunjukan bahwa dengan adanya manajemen konflik

kompromi dalam penyelesaian masalah akan membantu meningkatkan

kinerja karyawan. Menurut Huey Wen Chou dan Ying Jung Yeh (2007).

2.2 Kerangka Pemikiran

Menurut Lynne Irvine dalam Wirawan (2010:131), manajemen konflik

merupakan strategi yang mempekerjakan organisasi dan individu untuk

mengidentifikasi dan mengelola perbedaan, sehingga mengurangi beban dan

pengeluaran dari konflik yang tidak terkelola, sementara memanfaatkan

konflik sebagai sumber inovasi dan perbaikan.

Menurut Wirawan (2012:129), manajemen konflik sebagai proses pihak

yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan

menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi

yang diinginkan.

 

29

Thomas & Kilmann dalam Wirawan (2010:140) mengemukakan lima jenis

gaya manajemen konflik. Berikut adalah kelima jenis gaya manajemen

konflik tersebut :

1. Kompetisi (competing)

2. Kolaborasi (collaborating)

3. Kompromi (compromising)

4. Menghindar (avoiding)

5. Mengakomodasi (accommodating)

Dari beberapa gaya manajemen konflik di atas, gaya manajemen konflik

yang paling dominan digunakan dalam perusahaan yang kami teliti adalah

gaya manajemen konflik kompromi.

Berikut adalah indikator mengenai keterampilan yang diperlukan untuk

menggunakan gaya manajemen konflik kompromi yang efektif menurut

Wirawan (2010:142):

a. kemampuan bernegosiasi

b. mendengarkan dengan baik yang dikemukakan oleh lawan konflik

c. mengevaluasi nilai

d. menemukan jalan tengah

e. memberikan konsensi

Menurut Beehr dan Newman dalam Luthans (2006:441) Stres kerja

sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan,

 

30

serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka

untuk menyimpang dari fungsi normal mereka.

Adapun menurut Beehr dan Franz dalam Bambang Tarupolo (2002:17),

Stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak

nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang

tertentu.

Menurut Ivancevich dan Matterson dalam Yuli T (2003:56), sumber stres

dalam lingkungan kerja dibagi menjadi beberapa dimensi, yaitu:

1. Stres yang bersumber dari lingkungan fisik

‐ kondisi penerangan ditempat kerja

‐ tingkat kebisingan

‐ keluasan wilayah kerja.

2. Stres yang bersumber dari tingkatan individu

o Konflik peran (role conflict)

o Peran yang rancu/tidak jelas (role ambiguity)

o Beban kerja yang berlebihan (work overload)

o Tanggung jawab terhdap orang lain (responsibility for people)

o Kesempatan untuk mengembangkan karir (career development)

3. Stres yang bersumber dari kelompok dan organisasi

a) Stres yang bersumber dari kelompok

‐ Hilangnya kekompakan kelompok (lack of cohesiveness)

‐ Tidak adanya dukungan yang memadai (group support)

‐ Konflik intra dan inter kelompok.

 

31

b) Stres yang bersumber dari organisasi

‐ Iklim organisasi

‐ Struktur organisasi

‐ Teritorial organisasi

‐ Teknologi

‐ Pengaruh pimpinan

Menurut Mathis (2006:113), kinerja pada dasarnya adalah apa yang

dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan pada umumnya

untuk kebanyakan pekerjaan meliputi beberapa elemen yaitu kuantitas dari

hassil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, kemampuan

bekerja sama.

Menurut Wibowo (2007:7), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang

mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan

konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian

kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari

pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan

bagaimana cara mengerjakannya.

Menurut Mathis (2006:113) ada tiga faktor utama yang mmpengaruhi

bagaimana individu melakukan pekerjaannya, tiga faktor utama tersebut

adalah :

a) Kemampuan individual

‐ Bakat

‐ Minat

 

32

‐ Faktor kepribadian

b) Tingkat usaha yang curahkan

‐ Motivasi

‐ Etika kerja

‐ Kehadiran

‐ Rancangan tugas

c) Dukungan organisasi

‐ Pelatihan dan pengembangan

‐ Peralatan dan teknologi

‐ Standar kinerja

‐ Manajemen dan rekan kerja

Menurut pendapat dari Zainur Rozikin (2006), adanya faktor stres kerja

yang besar pada karyawan berakibat pada penurunan kinerja karyawan. Dan

tingkat stres kerja yang rendah akan berdampak pada peningkatan kinerja

karyawan. Begitu juga sebaliknya stres kerja dapat memicu meningkatnya

kinerja tergantung dari bobot dan penangannya.

Menurut Huey Wen Chou dan Ying Jung Yeh (2007), dengan adanya

manajemen konflik kompromi dalam penyelesaian masalah akan membantu

meningkatkan kinerja karyawan.

 

33

Gambar 2.2 Paradigma Penelitian

Ivancevich dan Matterson: 1. Stres dari lingkungan fisik:

‐ kondisi penerangan ditempat kerja ‐ tingkat kebisingan ‐ keluasan wilayah kerja.

2. Stres dari tingkatan individu: ‐ konflik peran ‐ ketidak jelasan peran ‐ beban kerja yang berlebihan ‐ tanggung jawab ‐ pengembangan karir

3. Stres dari kelompok & orgz.: a. Kelompok: ‐ Hilangnya kekompakkan ‐ Dukungan grup ‐ Konflik intra dan inter grup b. Organisasi: ‐ Iklim organisasi ‐ Struktur organisasi ‐ Territorial organisasi ‐ Teknologi ‐ Pengaruh pimpinan

Wirawan Manajemen Konflik Kompromi: 1. Kemampuan bernegosiasi 2. Dengarkan dengan baik lawan

konflik 3. Mengevaluasi nilai 4. Menemukan jalan tengah 5. Memberikan konsensi

Mathis: a) Kemampuan individual

‐ Bakat ‐ Minat ‐ Faktor kepribadian

b) Tingkat usaha yang curahkan ‐ Motivasi ‐ Etika kerja ‐ Kehadiran ‐ Rancangan tugas

c) Dukungan organisasi ‐ Pelatihan & pengembangan ‐ Peralatan dan teknologi ‐ Standar kinerja ‐ Manajemen dan rekan kerja

Gaya Manajemen

Konflik (X1)

Stres Kerja (X2)

Kinerja Karyawan

(Y)

 

34

2.3 Hipotesis

Hipotesis untuk penelitian ini berdasarkan identifikasi masalah yang ada

adalah sebagai berikut :

1) T - 1

Ho = Manajemen konflik tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap variabel kinerja karyawan.

Ha = Manajemen konflik berpengaruh secara signifikan terhadap

variabel kinerja karyawan.

2) T - 2

Ho = Stres kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

variabel kinerja karyawan.

Ha = Stres kerja berpengaruh secara signifikan terhadap variabel

kinerja karyawan.

3) T - 3

Ho = Manajemen konflik dan stres kerja tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.

Ha = Manajemen konflik dan stres kerja berpengaruh secara

signifikan terhadap variabel kinerja karyawan.