Bab 2. Akuaponik

18
BAB 2. SISTEM BUDIDAYA ORGANIK “AKUAPONIK” 2.1 PENDAHULUAN 2.1.1 DESKRIPSI Semakin tingginya permintaan konsumsi ikan menuntut percepatan produksi budidaya ikan sehingga proses budidaya sistem intensif dengan kepadatan tebar yang tinggi menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Keterbatasan lahan untuk budidaya ikan juga turut andil meningkatkan padat tebar pada budidaya ikan menjadi solusi untuk meningkatkan produktivitas. Namun kepadatan ikan yang tinggi pada budidaya sistem tersebut memunculkan beberapa permasalahan, salah satunya adalah menurunnya kualitas air media budidaya ikan. Penurunan kualitas air pada sistem budidaya intensif disebabkan oleh cepatnya akumulasi limbah dari residu pakan dan bahan organik. Penurunan kualitas air bersumber dari sisa pakan, feses, dan hasil aktivitas metabolisme ikan sehingga apabila limbah tersebut tidak diolah dengan baik, maka akan menggangu pertumbuhan ikan (Kordi dan Tancung, 2007). Salah satu upaya yang dapat digunakan dalam menangani permasalahan penurunan kualitas air pada budidaya ikan intensif adalah dengan penerapan sistem resirkulasi. Resirkulasi yang umumnya menggunakan bahan-bahan filter hanya dapat memperbaiki kualitas air 1

Transcript of Bab 2. Akuaponik

BAB 2. SISTEM BUDIDAYA ORGANIK “AKUAPONIK”

2.1 PENDAHULUAN

2.1.1 DESKRIPSI

Semakin tingginya permintaan konsumsi ikan menuntut percepatan

produksi budidaya ikan sehingga proses budidaya sistem intensif dengan

kepadatan tebar yang tinggi menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Keterbatasan lahan untuk budidaya ikan juga turut andil meningkatkan padat tebar

pada budidaya ikan menjadi solusi untuk meningkatkan produktivitas. Namun

kepadatan ikan yang tinggi pada budidaya sistem tersebut memunculkan beberapa

permasalahan, salah satunya adalah menurunnya kualitas air media budidaya ikan.

Penurunan kualitas air pada sistem budidaya intensif disebabkan oleh

cepatnya akumulasi limbah dari residu pakan dan bahan organik. Penurunan

kualitas air bersumber dari sisa pakan, feses, dan hasil aktivitas metabolisme ikan

sehingga apabila limbah tersebut tidak diolah dengan baik, maka akan menggangu

pertumbuhan ikan (Kordi dan Tancung, 2007).

Salah satu upaya yang dapat digunakan dalam menangani permasalahan

penurunan kualitas air pada budidaya ikan intensif adalah dengan penerapan

sistem resirkulasi. Resirkulasi yang umumnya menggunakan bahan-bahan filter

hanya dapat memperbaiki kualitas air secara fisik, namun penyebab penurunan

kualitas air secara kimia belum teratasi dengan optimal. Salah satu parameter

kimia yang menyebabkan menurunnya kualitas air pada budidaya ikan dan

berbahaya bagi ikan adalah amonia. Maka perlu dilakukan perbaikan sistem

resirkulasi sehingga dapat memperbaiki kualitas air secara fisika dan kimia.

Penggunaan media budidaya hidroponik dapat dimanfaatkan sebagai filter pada

proses resirkulasi.

Sistem budidaya ikan dengan budidaya tanaman secara hidroponik pada

sirkulasi air yang sama dengan media budidaya ikan disebut sistem akuaponik.

Tujuan utama dari akuaponik adalah memanfaatkan limbah nutrien yang

dilepaskan oleh ikan untuk menumbuhkan tanaman sehingga keberadaan limbah

nutrien di dalam media budidaya tidak mengganggu pertumbuhan ikan. Sistem

1

akuaponik merupakan suatu sistem budidaya yang kompleks sehingga diperlukan

manajemen yang baik dalam aplikasinya. Perbedaan media tanam dan waktu

resirkulasi diasumsikan berpengaruh terhadap reduksi amonia pada media

budidaya ikan.

Jenis media tanam pada sistem akuaponik cukup beragam, mulai dari

tanah gambut, arang aktif, sekam hingga gel. Pulau Bangka yang memiliki potensi

produksi sawit juga menghasilkan limbah dari produksi tersebut. Cangkang sawit

merupakan salah satu diantara limbah-limbah produksi sawit. Banyaknya limbah

berupa cangkang sawit ini memberikan permasalahan tersendiri. Beberapa

perusahaan sawit menggunakan cangkang sawit sebagai bahan bakar dengan

pembakaran sederhana. Sisa pembakaran ini masih menjadi limbah yang belum

dimanfaatkan optimal dan diprediksikan memiliki kemampuan sebagai media

tanam pada budidaya sistem akuaponik. Penggunaan cangkang sawit diharapkan

memiliki kemampuan reduksi limbah organik budidaya ikan pada sistem

akuaponik. Pemanfaatan limbah diharapkan dapat meningkatkan daya guna serta

memudahkan masyarakat Bangka memperoleh media akuaponik yang terjangkau.

Kemampuan reduksi limbah organik diprediksi juga dipengaruhi frekuensi

sirkulasi air yang melalui media tanam. Menurut Ratannanda (2011), waktu

retensi optimal resirkulasi air dalam sistem akuaponik adalah 120 menit. Pada

masa tersebut dapat direduksi amonia 58,4%, nitrit 51,9% dan nitrat 33,88%.

Namun resirkulasi secara terus-menerus pada sistem akuaponik yang terbatas

menjadikan keterbatasan media tanam hidroponik. Semakin tinggi persentase

pergantian air setiap harinya maka media budidaya akan semakin encer dan akan

berpengaruh secara langsung terhadap penurunan konsentrasi nitrit pada media

budidaya, begitupun sebaliknya.

Dengan demikian penelitian untuk mengkaji tentang jenis media tanam

menggunakan limbah cangkang sawit dengan frekuensi resirkulasi diperlukan

untuk memperoleh kombinasi dari variable tersebut dalam upaya mencapai

kualitas air media budidaya ikan dan pertumbuhan tanaman hidroponik yang

optimal.

2

2.1.2 RELEVANSI

Mahasiswa dan praktisi budidaya ikan diharapkan mampu memahami

tentang sistem budidaya ikan organik untuk mewujudkan produk budidaya ikan

yang aman dan sehat. Pemahaman bab ini menjadi dasar bagi mahasiswa untuk

mempelajari bab selanjutnya.

2.1.3 KOMPETENSI

Pada akhir pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan memiliki

kompetensi berupa pemahaman konsep budidaya ikan sistem organik. Adapun

materi pokok yang disampaikan dalam bab ini adalah definisi budidaya organik

dan prinsip budidaya ikan sistem organik..

2.2 PENYAJIAN

2.2.1 Pengertian akuaponik

Akuaponik adalah sistem budidaya yang mengkombinasikan ikan dan

tanaman pada sistem sirkulasi air yang sama (Nugroho dan Sutrisno, 2008).

Menurut Ratannanda (2011), akuaponik merupakan bio-integrasi yang

menghubungkan akuakultur berprinsip resirkulasi dengan produksi tanaman atau

sayuran hidroponik. Oleh karena itu, akuaponik dirancang untuk memanfaatkan

air yang mengandung nutrien yang dikeluarkan langsung oleh ikan untuk

diserapkan tanaman hidroponik yang diresirkulasi secara terus-menerus maupun

secara berkala. Sistem akuaponik disajikan pada Gambar 2.1.

3

Gambar 2.1. Sistem Akuaponik (Ecolife Foundation, 2011)

2.2.2 Prinsip Dasar Akuaponik

Sistem akuaponik dalam prosesnya menggunakan air dari kolam ikan

kemudian disirkulasikan ke tanaman melalui pompa. Bakteri nitrifikasi mengubah

limbah ikan sebagai nutrien yang dapat dimanfaatkan tanaman. Kemudian

tanaman akan berfungsi sebagai filter vegetasi yang akan mengurai zat racun

tersebut menjadi zat yang tidak berbahaya bagi ikan dan suplai oksigen pada air

yang digunakan untuk memelihara ikan. Menurut Nelson (2008), ada tiga jenis

keuntungan dalam sistem akuaponik yaitu ikan, tanaman, dan bakteri yang

menguntungkan. Ada dua jenis bakteri yang berbeda yaitu Nitrosomonas dan

Nitrobacter. Bakteri Nitrosomonas mengubah amonia menjadi nitrit dan kemudian

oleh bakteri Nitrobacter, nitrit diubah menjadi nitrat. Saat sampai ke tanaman,

nitrat diserap tanaman untuk membantu pertumbuhannya. Proses siklus nitrogen

pada sistem akuaponik disajikan pada Gambar 2.2.

4

Gambar 2.2. Daur Siklus Akuaponik (Ecolife Foundation, 2011)

Proses siklus nitrogen anorganik menjadi nitrogen organik dilakukan oleh

mikroorganisme dan jamur. Sisa pakan dan kotoran ikan di dekomposisi oleh

bakteri menjadi gas nitrogen berupa amonia. Sumber amonia di perairan berasal

dari pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang didekomposisikan

olah bakteri dan jamur. Amonia dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat yang

dilakuakan oleh bakteri aerobik. Proses nitrifikasi amonia menjadi nitrit dilakukan

oleh bakteri nitrosomonas sedangkan denitrifikasi nitrit menjadi nitrat dilakukan

olah bakteri nitrobacter. Kemudian nitrat diserap oleh tanaman sebagai sumber

makanan.

Budidaya sistem akuaponik amonia, nitrit, nitrat yang merupakan limbah

dari budidaya ikan dapat diserap dan digunakan sebagai pupuk oleh tanaman

hidroponik sehingga menurunkan konsentrasi cemaran limbah amonia serta

meningkatkan kualitas air (Sumoharjo, 2010). Untuk kegiatan budidaya perikanan

kualitas air yang tepat dan berada dalam kisaran layak berkaitan dengan

pertumbuhan ikan (Effendi, 2002).

2.2.3 Pemilihan Komoditas Ikan dan Tanaman

Pemilihan komoditas jenis ikan yang akan dipelihara merupakan salah satu

hal yang perlu dilakukan dengan tepat agar usaha pemeliharaan ikan dalam sistem

akuaponik dapat berhasil (Nugroho dan Sutrisno, 2008). Di dalam pemilihan

komoditas jenis ikan yang akan dibudidayakan dalam sistem akuaponik perlu

5

memperhatikan kolam budidaya dan umur panen ikan serta jenis ikan yang akan

dibudidayakan. Menurut Pramono (2009) jenis ikan air tawar yang dapat

dibudidayakan pada sistem akuaponik adalah ikan nila, patin, gurame, tawes,

mujair, mas, lele, bawal dan ikan hias.

Pemilihan komoditas tanaman yang digunakan pada sistem akuaponik

untuk mendukung keberhasilan dalam penyerapan limbah organik di perairan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan tanaman dalam sistem

akuaponik di antaranya jenis tanaman yang digunakan, tipe perakaran serabut,

umur panen tanaman sesuai jenis ikan yang di pelihara. Beberapa sayuran yang

bisa ditanam pada sistem akuaponik yaitu kangkung, selada, sawi, bayam, seledri,

cabai, tomat, timun (Nugroho dan Sutrisno, 2008).

Sistem akuaponik merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan

dalam rangka pemecahan keterbatasan air dan lahan. Menurut Sumoharjo (2010)

penerapan sistem akuaponik memiliki keuntungan antara lain yaitu:

a. Multiple product

Sistem akuaponik merupakan sistem budidaya yang mengkombinasikan

antara budidaya ikan dan tanaman hidroponik dapat menghasilkan produksi

polikultur yang mampu meningkatakan diversitas produk yang dihasilkan, yaitu

ikan dan tanaman secara bersama dalam satu siklus produksi. Pada sistem

akuaponik dapat diterapkan sistem panen ganda dengan memperhatikan jenis

tanaman, ikan yang dibudidayakan, dan masa produksi tanaman maupun ikan.

b. Hemat lahan dan penggunaan air

Teknik budidaya dengan sistem akuaponik mampu menghemat lahan

sempit dan air melalui efisiensi yang dilakukan dengan sistem resirkulasi sehingga

bermanfaat bagi tanaman yang membutuhkan air dalam jumlah yang banyak.

Teknik ini dimungkinkan untuk diterapkan pada daerah yang sedikit mengalami

kesulitan air dan lahan sempit. Sistem resirkulasi dapat diatur dengan

menggunakan pengatur waktu (timer) sehingga interval waktu penyiraman

tanaman dapat pula diatur sebagaimana mestinya.

c. Resirkulasi nutrisi

Pada proses pemberian pakan pada ikan, apabila pakan yang diberikan

berlebihan dan tidak dimakan ikan akan menjadi limbah di perairan. Proses

6

resirkulasi yang dilakukan pada teknik akuaponik memungkinkan untuk mendaur

ulang limbah pakan di perairan menjadi nutrisi bagi tanaman. Sehingga air dari

media tanaman kembali ke media budidaya menjadi bersih.

d. Produk sehat

Produksi dengan menggunakan sistem akuaponik memungkinkan untuk

menghasilkan produksi yang sehat dan organik. Hal ini dikarenakan di dalam

budidaya ikan dan tanaman dapat dilakukan tanpa menggunkan bahan kimia

maupun antibiotik untuk mendukung pertumbuhan dan pengendalian penyakit.

Kondisi lingkungan yang lebih mudah dikendalikan menjadi faktor untuk

menggurangi kontaminasi penyakit yang dapat mengganggu ikan dan tanaman.

2.2.4 Kualitas Air Akuaponik

Kualitas air peran penting dalam bidang perikanan terutama untuk

kegiatan budidaya. Kualitas didefinisikan sebagai faktor kelayakan suatu perairan

untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya

ditentukan dalam kisaran tertentu (Boyd, 1982). Kondisi kualitas air juga berperan

dalam menekan terjadinya peningkatan perkembangan bakteri patogen dan parasit

di dalam kolam budidaya ikan (Effendi, 2003). Kualitas air sangat di pengaruhi

olah faktor – faktor fisika dan kimia perairan seperti :

a. Oksigen terlarut (O2)

Oksigen adalah satu jenis gas terlarut dalam air dengan jumlah yang sangat

banyak. Oksigen yang diperlukan biota air untuk bernapasannya harus larut dalam

air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila tersediaannya di

dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota

akan terhambat. Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai kepentingan pada dua

aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif

yang tergantung bagi spesies tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan stuktur

molekul sel darah ikan, yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial

oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah (Zonneveld et

al., 1991).

Biota air membutuhkan oksigen guna pembakaran bahan bakarnya

(makanan) untuk menghasilkan aktivitasnya. Oleh karena itu, ketersediaan

7

oksigen bagi biota air menentukan aktivitasnya serta kekurangan oksigen dalam

air dapat mengganggu kehidupan biota air.

Beberapa jenis ikan mampu bertahan hidup pada perairan dengan

konsentrasi oksigen 3 - 4 ppm, akan tetapi nafsu makan ikan mulai menurun.

Secara umum ikan nila merah dapat hidup dalam air dengan kandungan oksigen

0,3 – 0,5 mg/l. untuk itu, konsentrasi oksigen terlarut dalam air yang baik dalam

budidaya perairan adalah 5-7 ppm (Judantari et al., 2008).

b. Karbon dioksida (CO2)

Di perairan konsentrasi karbon dioksida diperlukan untuk proses

fotosintesis oleh tanaman air. Nilai CO2 ditentukan olah pH dan suhu. Jika jumlah

CO2 dalam air bertambah akan menekan aktivitas pernapasan ikan dan

menghambat pengikatan oksigen olah darah sehingga membuat ikan stress.

Kandungan CO2 untuk budidaya ikan nila merah sebaiknya kurang dari 15

mg/liter ( Effendi, 2003).

c. Suhu

Suhu air dapat mempengaruhi kehidupan biota air secara tidak langsung,

yaitu melalui pengaruhnya terhadap kelarutan oksigen dalam air. Semakain tinggi

suhu air, semakain rendah daya larutan oksigen di dalam air dan sebaliknya.

Proses penyerapan cahaya berlangsung secara lebih intensif pada lapisan atas

perairan sehingga lapisan atas perairan memiliki suhu yang lebih tinggi (lebih

panas) dan densitas yang lebih kecil daripada lapisan bawah. Suhu optimal untuk

pertumbuhan ikan nila merah berkisar 22-32oC. serta ikan nila merah dapat

beradaptasi pada kisaran suhu 14-38oC (Khairuman dan Amri, 2011). Jika suhu di

bawah 25oC akan menghambat pertumbuhan dan nafsu makan ikan menurun serta

serangan penyakit akan lebih mudah (Effendi, 2003).

d. Derajat keasaman (pH)

Ikan nila merah dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada

lingkungan perairan dengan alkalinitas rendah atau netral. Pada lingkungan

dengan pH rendah pertumbuhan ikan nila mengalami penurunan, aktivitas

pernapasan naik dan konsumsi oksigen terlarut akan berkurang, nafsu makan

berkurang. Ikan nila merah masih dapat hidup pada nilai pH berkisar 5-10. Tetapi

8

untuk budidaya ikan nila pada kolam air tenang sebaiknya mempunyai pH sekitar

7- 8.5 (Effendi, 2000).

e. Amonia (NH3)

Amonia dalam air merupakan produk hasil metabolisme ikan dan

pembusukan senyawa organik oleh bakteri. Keberadaan amonia dalam air dapat

mempengaruhi pertumbuhan ikan karena dapat mereduksi masukan oksigen yang

disebabkan oleh rusaknya insang. Sumber penyebab kadar amonia di dalam kolam

budidaya yaitu berasal dari sisa pakan dan kotoran serta aktivitas metabolisme

(Effendi, 2003). Kesetimbangan antara gas amonia dan gas ammonium

ditunjukkan dalam persamaan reaksi.

NH3 + H2O NH3+ + OH-

Perairan alami amonia terdapat dalam 2 bentuk, yaitu NH3 (amonia) yang

beracun dan NH4+ (ammonium) yang tidak beracun. Keracunan kadar amonia

terhadap organisme perairan akan meningkat jika terjadi penurunan pH, suhu dan

DO. Pada pH 7 atau kurang, sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi. .

Pada pH 8, sekitar 5-9% amonia dalam bentuk tak terionisasi yang bersifat toksik.

Sementara pada pH 9 sebanyak 37-50% amonia dan pada pH 10 kadar amonia

berkisar 85-90%, sehinga mengakibatkan sering terjadi toksik pada kolam

pemeliharaan ikan (Kordi dan Tancung, 2007).

Peningkatan toksisitas amonia sering terjadi pada sore hari terutama pada

kolam yang pH 9-10. Hal ini karena suhu pada sore hari lebih tinggi sehingga

semakin banyak total amonia yang berubah dalam bentuk racun. Pengaruh

langsung dari kadar amonia tinggi yang belum mematikan ialah rusaknya jaringan

insang, dimana lempeng insang membengkak sehingga fungsinya sebagai alat

pernapasan akan terganggu. Ikan dapat mengalami kematian pada perairan yang

kadar amonia lebih dari 0,1-0,2 mg/liter (Sawyer dan McCarty, 1978). Pada kadar

amonia 0,08 mg/liter dapat menurunkan nafsu makan dan pertumbuhan ikan

(Meade, 1989). Untuk budidaya ikan di perairan kolam tenang kondungan amonia

sebaikanya kurang dari 0,016 mg/liter.

9

f. Nitrit (NO2)

Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat, dan antara

nitrat dan gas nitrogen. Kandungan nitrit (N-N02) dalam perairan dapat

menghambat kemampuan darah biota air dalam mengikat oksigen, sehingga biota

air akan terserang methaemoglobin yang dapat menyebabkan kematian. Setelah

nitrit terbentuk dari terakumulasi maka nitrobakter akan tumbuh dengan

mengkonsumsi nitrit tersebut dan kemudian menguraikannya menjadi nitrat (N-

N03). Di perairan, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat

sedikit, lebih sedikit dari pada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan

keberadaan oksigen (Novotny dan Olem, 1994). Di perairan, kadar nitrit yang

lebih dari 0,05 mg/liter dapat bersifat toksik bagi organisme perairan (Moore,

1991). Untuk keperluan budidaya ikan kadar nitrit tidak lebih dari 1 mg/liter

(Sawyer dan McCarty, 1978).

DAFTAR PUSTAKA

Agritekno, S. 2002. Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Penebar Swadaya. Jakarta

APHA, 2005. Standar Methods for the Examination of Water and Wastewater. Washington (USA)

10

Arikuntoro, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka Cipta. Jakarta

Barus, T. A. 2000. Pengantar Limnologi. Universitas Sriwijaya. Palembang

Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam the Netherland.

Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelola Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Jakarta

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta

Effendi, I. 2002. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya

Hadadi, A., Herry., Setyorini., Surahman A., dan Ridwan, E. 2007. Pemanfaatan Liambah Kelapa Sawit untuk Bahan Pakan Ikan. Jurnal Budidaya Air Tawar. 4(1) : 10-17

Handajani, H dan Widodo, W. 2010. Nutrisi Ikan. Umm Press. Malang

Judantari, S., Khairuman., Amri, K. 2008. Prospek Bisnis Dan Teknik Budidaya Nila Unggul. Gramedia Pustaka. Jakarta

Khairuman dan Amri, K. 2002. Budidaya Intensif Ikan Nila. Agromedia Pustaka. Jakarta

Khairuman dan Amri, K. 2003. Budidaya Ikan Nila Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Depok

Khairuman dan Amri, K. . 2011. Buku Pintar Budidaya dan Bisnis 15 Ikan Konsumsi. Agromedia pustaka. Jakarta

Kordi, M. G. 1996. Parameter Kualitas Air. Karya Anda. Surabaya

Kordi, M.G dan Tancung, A. B. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan. Renika cipta. Jakarta

Krause,H.M dan Kaiser, H. 1977. Plant Response to Heavy Metals and Sulphur Dioxide. Environmental Pollution, 12: 63-70.

Losordo TM,, Masser MP., Rakocy, J. 1998. Recirculating Aquaculture Tank Production Systems : An Overview of Critical Cansiderations, Revised. SRAC Publication NO. 451. USA

Meade, J. W. 1989. Aquaculture Management. Thomson Publishing. New York.

11

Moore, J. W. 1991. Inorganic Contaminants of Surface Water, Springer Verlag. New York

Nelson, R. L. 2008. Aquaponic Equipment The Biofilter. Aquaponic Journal Issue 48

Nugroho, E. dan Sutrisno. 2008. Budidaya ikan dan Sayuran dengan Sistem Akuaponik. Penebar Swadaya. Jakarta

Novotny, V. and H. Olem. 1994. Water Quality, Prevention, Identification, and Management of Diffusi Pollution. Van Nostrans Reinhold, New York. 1045 p.

Ratannanda, Ruli. 2011. Penentuan Waktu Retensi Sistem Akuaponik Untuk Mereduksi Limbah Budidaya Ikan Nila. Institut Pertanian Bogor.

Sawyer, C. N. and McCarty, P. L. 1978. Chemistry For Environmental Engineering. Third edition, McGraw-Hill Book Company, Tokyo. 532 p.

Sucipto, A. dan Prihartono, R. E. 2005. Pembesaran Nila Merah Bangkok. Penebar Swadaya. Jakarta

Surawidjaja, E. H. 2006. Akuakultur berbasis – trophic level: revitalisasi untuk ketahanan pangan, daya saing ekspor, dan kelestarian lingkungan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Akuakultur.

Sumoharjo. 2010. Penyisihan limbah nitrogen pada pemeliharaan ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam sistem akuaponik : konfigurasi desain bioreactor. [Tesis]. Program pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Zonneveld, A., Huisman, FA., Boon, JH. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan Gramedia Pustaka. Jakarta

12