BAB 2
-
Upload
ferdiansyah-adhitama -
Category
Documents
-
view
30 -
download
3
description
Transcript of BAB 2
-
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini dibahas tinjauan tentang nyeri, analgesik, obat
golongan NSAIDs, piroksikam, piridin, reaksi-asilasi, rekristalisasi, uji
kemurnian senyawa hasil sintesis, identifikasi struktur senyawa hasil
sintesis dan pengujian aktivitas analgesik.
2.1. Tinjauan tentang Nyeri
Nyeri merupakan suatu gejala yang terjadi ketika ada gangguan di
jaringan seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot yang berfungsi
sebagai tanda bahaya. Rasa nyeri juga berfungsi sebagai pertahanan tubuh
(Tan & Raharjda, 2007).
Nyeri timbul jika rangsangan mekanik, termal, kimia dan listrik
melampaui suatu nilai ambang nyeri. Rangsangan-rangsangan inilah yang
mendorong pelepasan mediator-mediator nyeri seperti histamin, serotonin
(5-HT), bradikinin dan prostaglandin serta ion-ion kalium. Mediator ini
kemudian mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas dari kulit,
mukosa dan jaringan lain dan selanjutnya disalurkan ke otak melalui sum-
sum tulang belakang dan diteruskan ke pusat nyeri di hipotalamus hingga
dirasakan sebagai nyeri. Kapasitas prostaglandin sebagai mediator adalah
menurunkan nilai ambang polimodal nociceptor pada serat C (Burke, 2006).
Berdasarkan tempat terjadinya, nyeri dibagi menjadi 2 macam
yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik terdiri dari nyeri dalam
dan nyeri permukaan. Nyeri dalam dirasakan sebagai tekanan, sukar
dilokalisasikan dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya, sebagai contoh
yang paling sering adalah rasa sakit kepala. Nyeri permukaan terjadi apabila
ada rangsangan pada kulit dan dapat dilokalisasi dengan baik, selain itu
-
7
biasanya nyeri ini diikuti suatu reaksi menghindar secara refleks, seperti
menarik kaki pada saat menginjak duri (Mutschler, 1991).
Nyeri viseral mirip dengan nyeri dalam yaitu sifat tekanan dan
reaksi-reaksi yang menyertainya. Biasanya nyeri otot terjadi pada tegangan
organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang dan penyakit yang
disertai radang (Mutschler, 1991).
Rasa nyeri dapat diklasifikasikan sebagai nyeri akut dan kronik.
Nyeri akut merupakan perasaan tidak nyaman, biasanya disebabkan oleh
penyakit, luka, keracunan kimia, atau stimulasi fisika seperti stimulasi panas
(Gringauz, 1997). Nyeri akut biasanya bertahan hanya selama durasi
kerusakan jaringan, sehingga waktunya pendek. Rasa nyeri kronik
merupakan nyeri yang bertahan untuk periode yang panjang. Contoh
penyakitnya adalah rheumatoid arthritis.
Berdasarkan proses terjadinya, nyeri dapat dilawan dengan
beberapa cara yaitu merintangi pembentukan rangsangan reseptor nyeri
dengan analgetik perifer (analgetik non narkotik), merintangi penyaluran
rangsangan di saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anestetik lokal, ataupun
memblok pusat nyeri di SSP dengan analgesik sentral (analgetik narkotik)
atau dengan anestetik umum (Tan & Rahardja, 2007).
2.2. Tinjauan tentang Analgesik
Analgesik atau obat penghalang nyeri adalah senyawa yang dapat
mengurangi atau menghalau rasa nyeri dengan cara menekan fungsi sistem
saraf pusat secara selektif tanpa menghilangkan kesadaran. Berdasarkan
efek farmakologisnya, analgesik dibagi menjadi dua, analgesik narkotik dan
analgesik non-narkotik. Obat-obat analgesik golongan narkotik digunakan
untuk mengurangi rasa sakit dari sedang sampai berat, seperti rasa sakit
yang disebabkan oleh penyakit kanker, atau serangan jantung akut.
-
8
Pemberian obat golongan ini secara terus-menerus dapat menimbulkan
kertergantungan fisik dan mental atau yang disebut dengan kecanduan,
selain itu dapat terjadi depresi napas, mual, dan muntah (Purwanto &
Susilowati, 2000 ; Way et al., 2002). Efek analgesik dari obat golongan ini
dihasilkan oleh karena pengikatan obat pada sisi reseptor khas pada sel
dalam otak dan sumsum tulang, rangsangan reseptor tersebut menimbulkan
efek rasa nyaman dan rasa mengantuk (Purwanto & Susilowati, 2000).
Contoh obat-obat yang termasuk golongan ini adalah turunan morfin,
turunan dihidromorfin, petidin dan metadon (Mutschler, 1991).
Obat golongan analgesik non-narkotik (perifer) adalah obat-obat
yang mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa
mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP), sehingga tidak menurunkan
kesadaran dan tidak menimbulkan ketagihan. Obat-obat golongan ini biasa
digunakan untuk mengurangi rasa sakit dari yang ringan sampai sedang,
seperti nyeri kepala, gigi, otot, persendian, (rematik, encok), ataupun perut.
Efek analgesik yang ditimbulkan oleh obat golongan non-narkotik
ini, dihasilkan dengan cara menghambat secara langsung dan selektif
enzim-enzim pada sistem saraf pusat yang mengkatalis biosintesis
prostaglandin dengan menghambat siklooksigenase, sehingga mencegah
sensitisasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator nyeri yang dapat
dirangsang secara mekanis atau kimiawi (Purwanto & Susilowati,2000).
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan obat golongan ini adalah
gangguan lambung-usus, kerusakan hati, ginjal, dan reaksi alergi pada kulit.
Contoh obat-obat yang termasuk golongan analgesik perifer adalah
parasetamol, turunan salisilat, golongan penghambat prostaglandin,
ibuprofen, turunan antranilat (mefenamat), dan turunan pirasolon
(aminofenazon, metamizol) (Tan & Rahardja, 2007).
-
9
2.3. Tinjauan tentang Obat Golongan NSAIDs
Obat-obat golongan antiinflamasi atau yang sering disebut dengan
analgetik non steroidal antiinflamatory drugs (NSAIDs) adalah golongan
obat analgesik non narkotik yang terutama bekerja secara perifer dengan
aktivitas menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan
aktivitas enzim siklooksigenase (COX). Enzim tersebut terdiri dari 2
bagian, yaitu COX-1 dan COX-2. Prostaglandin adalah mediator inflamasi
yang dilepaskan ketika sel mengalami kerusakan. Prostaglandin tersebut
berperan penting terhadap timbulnya nyeri, demam, dan reaksi peradangan.
Obat golongan NSAIDs berkhasiat sebagai analgesik, antipiretik
dan antiradang serta digunakan untuk menghalau gejala penyakit rematik,
seperti arthosis (Tan & Rahardja, 2007).
NSAIDs yang ideal seharusnya bekerja selektif terhadap COX-2
yang dapat menghambat inflamasi dan tidak menghambat COX-1 agar tetap
dapat melindungi mukosa lambung (Tan & Rahardja, 2007). Contoh-contoh
obat yang termasuk dalam golongan NSAIDs yaitu: turunan asam salisilat
(aspirin, salsalat), turunan asam propionat (fenbufen, ibuprofen), turunan
asam fenamat (asam mefenamat, meklofenamat), turunan pirazolon
(fenilbutazon), turunan asam fenilasetat (diklofenak), turunan asam asetat
inden/indol (indometasin), turunan oksikam (tenoksikam, piroksikam).
2.4. Tinjauan tentang Piroksikam
N NH
O
N
SH3C
OO
OH
Gambar 2.1. Struktur molekul piroksikam
-
10
Rumus molekul : C15H13N3O4
BM : 331.35
Piroksikam memiliki sifat fisika kimia berupa serbuk putih, hampir
putih atau coklat terang atau kuning, tidak berbau. Bentuk piroksikam
memiliki karakteristik monohidrat berwarna kuning, yang sangat sukar
larut dalam air, asam-asam encer dan sebagian besar pelarut organik, sukar
larut dalam etanol dan dalam larutan alkali mengandung air (Depkes RI,
1995).
Piroksikam merupakan suatu turunan oksikam yang juga adalah
penghambat COX nonselektif tetapi pada konsentrasi tinggi juga dapat
menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear, mengurangi produksi
radikal oksigen dan menghambat fungsi limfosit. Piroksikam memiliki
waktu paruh rata-rata 50-60 jam. Waktu paruh yang panjang tersebut
memungkinkan dosis satu kali sehari. Piroksikam cepat diserap oleh
lambung dan usus halus bagian atas dan mencapai 80% dari konsentrasi
puncak plasmanya dalam 1 jam. Piroksikam dimetabolisme secara ekstensif
menjadi metabolit yang tidak aktif dan mempunyai sirkulasi enterohepatis,
kemudian juga penggunaannya pada kerusakan ginjal. Piroksikam
diekskresi sebagai konjugat glukuronid dan sebagian kecil sebagai obat
yang tidak berubah. Toksisitas meliputi gejala-gejala gastrointestinal (20%
dari pasien), pusing, tinitus, sakit kepala dan ruam kulit. Bila piroksikam
diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dari 20 mg/hari maka ditemukan
peningkatan insiden ulkus peptikum dan pendarahan (Katzung, 2002).
-
11
2.5. Tinjauan tentang Piridin
Gambar 2.2. struktur piridin
(Fessenden & Fessenden, 1997).
Rumus molekul : C5H5N
BM : 79,10
Piridin merupakan cairan jernih, tidak berwarna, memiliki bau
tidak enak dan higroskopik. Dapat bercampur dengan air, etanol 95 %, dan
dengan kloroform (FI III, 1979).
2.6. Tinjauan tentang Reaksi Asilasi
Asilasi adalah suatu reaksi yang memindahkan gugus asil dari satu
molekul ke molekul yang lain. Gugus penerima biasanya alkohol
(membentuk ester) atau amina (membentuk amida). Gugus karbonil punya
dua fungsi yaitu menyediakan tempat untuk penyerangan oleh nukleofilik
dan meningkatkan keasaman dari hidrogen pada karbon alfa (Fessenden &
Fessenden, 1986).
Gamb
ar 2.3. Mekanisme reaksi asilasi (Morrison & Boyd, 1987)
Keterangan :
Y : Gugus pergi
Z : Nukleofil
N
CR
O
Y
::
+ z : CR
O
Z
Y
: :. . -
C R O
Z
+ Y-
-
12
Ada tiga macam reaksi asilasi yaitu reaksi asilasi O, N dan C.
Asilasi O merupakan reaksi substitusi pada gugus karbonil dengan senyawa
yang punya atom O pada gugus X, gugus asil tersebut berikatan langsung
dengan atom O menggantikan gugus H pada gugus OH. Asilasi N
merupakan reaksi substitusi pada karbonil dari gugus asil dengan senyawa
yang punya atom N, gugus asil tersebut berikatan langsung dengan atom N
menggantikan atom H pada NH2 sedangkan asilasi C merupakan reaksi
substitusi pada gugus karbonil dari gugus asil dengan senyawa yang punya
atom C. Gugus asil tersebut berikatan langsung dengan atom C (Pine et al,
1988). Reaksi antara piroksikam dengan suatu asil klorida (3,4-
diklorobenzoil klorida) adalah reaksi asilasi O.
Metode yang digunakan untuk melakukan reaksi asilasi adalah
metode Schotten-Baumann. Pada metode ini, nukleofil (alkohol dan amina)
menyerang gugus karbinol elektrofilik dari asil halida. Sintesis ini dilakukan
pada suasana basa dan semua bahan larut dalam pelarut yang digunakan.
Selain ditambah NaOH yang berfungsi untuk menetralkan HCl yang
dibebaskan (membentuk natrium klorida yang larut air) juga ditambahkan
piridin untuk mengubah HCl menjadi agen alkalis yang lebih kuat
(Morisson & Boyel, 1987).
2.7. Tinjauan tentang Pemurnian Senyawa Hasil Sintesis
2.7.1. Tinjauan tentang Rekristalisasi
Rekristalisasi adalah salah satu metode pemurnian hasil sintesis
yaitu zat padat organik yang biasanya terkontaminasi sejumlah kecil
komponen lain. Komponen tersebut terjadi sebagai hasil samping reaksi.
Pemurnian zat hasil sintesis dengan kristalisasi didasarkan pada perbedaan
kelarutannya dalam pelarut yang ditentukan atau campuran pelarut. Pelarut
yang dipilih yaitu zat padat sebagian larut dalam temperatur kamar dan
-
13
lebih larut dalam temperatur tinggi. Kunci dari prosedur rekristalisasi ini
adalah penggunaan jumlah pelarut sekecil mungkin yang menunjukkan zat
padat larut pada temperatur tinggi (titik didih pelarut), jika zat padat
tersebut stabil pada temperatur kamar, sehingga bahan yang tidak
diinginkan tidak larut dan dapat disaring. Zat padat hasil sintesis akan
mengendap dalam larutan filtrat yang didinginkan pada temperatur kamar
dan kemudian dipisahkan dari supernatannya (Kenkel, 1994; Vogel, 1978).
2.7.2. Tinjauan tentang Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah teknik pemisahan zat
berdasarkan kecepatan migrasi dari masing-masing komponennya pada
fase diam yang berupa sebuah lapisan tipis di bawah pengaruh pelarut yang
bergerak (Stahl, 1985).
Pemisahan terjadi karena ada perbedaan kekuatan ikatan antara
fase pengembang dan fase diam dari senyawa yang dianalisis. Kekuatan
ikatan senyawa terhadap fase diam menentukan lama senyawa tersebut
tertahan dalam fase diam, yang tergantung pada tetapan distribusi dari
masing-masing senyawa. Senyawa yang memiliki kekuatan ikatan yang
rendah terhadap fase diam akan dielusi terlebih dahulu, dan sebaliknya
senyawa dengan kekuatan ikatan yang lebih besar terhadap fase diam
dielusi lebih lambat (Skoog, 1992). Kecepatan migrasi dari tiap komponen
tergantung pada suatu konstanta yang disebut koefisien partisi atau
koefisien distribusi, dengan rumus sebagai berikut:
K = Cs
Cm
Cs adalah konsentrasi solut pada fase diam, Cm adalah konsentrasi solut
pada fase pengembang.
-
14
Besarnya hambatan yang terjadi pada fase diam dinyatakan dengan
harga Rf (Retardation Factor), yang dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
Rf = Jarak yang ditempuh masing-masing substansi
Jarak yang ditempuh larutan fase gerak
Harga Rf merupakan parameter yang menyatakan posisi komponen setelah
proses eluasi. Harga Rf dinyatakan dalam desimal pada rentang 0,20-0,80.
Harga Rf dipengaruhi oleh pelarut, kejenuhan bejana, kelembaban udara,
konsentrasi dan kompetisi larutan yang diperiksa, ketidakhomogenan kertas,
arah serabut kertas, senyawa asing dan pencemaran pelarut (Stahl, 1985;
Skoog, 1992).
KLT dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif.
Analisis kualitatif yaitu antara lain identifikasi kemurnian senyawa organik
dan identifikasi campuran suatu zat organik yang dipisahkan. Analisis
kualitatif dilakukan dengan membandingkan antara harga Rf dengan harga
Rf teoritis dari suatu analit dengan pembandingnya. Jika harga Rf senyawa
yang diuji sama dengan harga Rf senyawa pembanding, maka senyawa
yang diuji identik dengan senyawa pembanding. Analisis kuantitatif
diperoleh dengan membandingkan luas area noda analit dengan
standardnya (Skoog, 1992).
2.7.3. Tinjauan tentang Titik Leleh
Titik leleh adalah temperatur saat zat padat kristal berubah menjadi
bentuk cairan pada tekanan 1 atm. Titik leleh ini merupakan salah satu
kriteria untuk identifikasi kemurnian komponen organik.
Senyawa organik murni, pada umumnya memiliki kepastian dan
ketajaman suhu titik leleh yang rentangnya tidak melebihi 0,5oC. Titik leleh
pada senyawa organik dipengaruhi oleh ukuran kristal, jumlah material,
-
15
kecepatan pemanasan pengotor lain. Pengotor menyebabkan titik leleh turun
dan melebar rentang leburnya (Vogel, 1978)
2.8. Tinjauan tentang Uji Identifikasi Struktur Senyawa Hasil
Sintesis
2.8.1. Tinjauan tentang Spektrofotometri Ultraviolet
Spektrofotometri UV merupakan identifikasi secara kualitatif
dengan melihat intensitas dan panjang gelombang maksimum () dari
spektrum senyawa yang terbentuk. Intensitas dan maksimum tergantung
dari struktur molekul senyawa elektronik dari gugus yang terdapat dari
struktur molekul senyawa. Gugus yang dapat menyebabkan terjadinya
penyerapan cahaya dari daerah ultraviolet dan sinar tampak dari gugus
kromofor, sedangkan gugus yang dapat mengubah intensitas serapan dan
maksimum disebut gugus auksokrom (Mulja & Suharman, 1995). Gugus
kromofor yaitu suatu gugus yang mempunyai ikatan kovalen tidak jenuh
dan mengandung elektronik terkonjugasi, yang bertanggung jawab pada
serapan elektronik. Contoh gugus kromofor yang menyebakan transisi n ke
* adalah C=C, C=O, NO2. Gugus ausokrom adalah gugus jenuh yang
memiliki elektron bebas, jika gugus ini terikat pada gugus kromofor dapat
merubah panjang gelombang dan intensitas serapan. Contoh gugus
ausokrom adalah OH, -NH2 dan Cl atau gugus halogen (Roth & Blaschke,
1994).
Spektrofotometri ultraviolet memberikan informasi mengenai
transisi elektron dalam molekul. Radiasi ultraviolet yang tinggi
menyebabkan elektron berpindah dari tingkat energi yang satu menuju
tingkat energi yang lain yang biasanya mampu memecah ikatan kimia.
Umumnya, spektrofotometri ultraviolet memberi serapan pada daerah 200-
400 nm, serapan di bawah 200 nm dapat terjadi apabila dilakukan dalam
-
16
vakum atau pada lingkungan beratmosfir nitrogen murni (Silverstein et al.,
1991). Pelarut yang digunakan harus tidak atau hanya sedikit menunjukkan
absorpsi sendiri serta dapat melarutkan dengan mudah senyawa yang
dianalisis. Pelarut terutama yang digunakan adalah air, etanol, metanol,
asetonitril dan heksan (Roth & Blaschke, 1994)
2.8.2. Tinjauan tentang Spektrofotometri Inframerah
Spektrofotometri inframerah adalah salah satu metode instrumen
yang terutama bermanfaat untuk menetapkan jenis ikatan yang ada dalam
molekul (Hart, 2003). Spektroskopi inframerah dapat digunakan untuk
analisis kualitattif dan kuantitatif serta yang terpenting dari spektroskopi
inframerah adalah dapat digunakan untuk mengidentifikasi komponen
organik yang memiliki spektra yang umumnya kompleks (Skoog, 1992).
Radiasi inframerah yang dipakai untuk analisis instrumen adalah
radiasi inframerah yang rentang bilangan gelombangnya () antara 4000
hingga 650 cm-1
. Radiasi inframerah tersebut terbagi atas dua daerah yaitu;
daerah gugus fungsi pada rentang antara 4000 hingga 1300 cm-1
dan
daerah sidik jari pada rentang antara 1300 hingga 650 cm-1
(Silverstein,
1986).
Daerah gugus fungsi adalah daerah bagian kiri spektrum inframerah
yang khusus berguna dalam identifikasi gugus fungsional. Daerah di kanan
spektrum inframerah pada 1300 cm-1
adalah sidik jari yang sangat rumit
bentuknya karena pita serapan yang ditimbulkan akibat gabungan ikatan
tunggal baik modus tekuk dan ulur yang hampir sama sehingga sulit untuk
ditafsirkan, namun tiap senyawa organik mempunyai serapan yang unik
sehingga menjadi khas untuk senyawa organik (Fessenden, 1997).
-
17
2.8.3. Tinjauan tentang Spektrometri Nuclear Magnetic Resonance
Spektrometri Nuclear Magnetic Resonance (NMR) dapat
digunakan untuk analisis kualitatif, khususnya dalam penentuan struktur
molekul zat organik. Spektrofotometri dapat memberikan gambaran seperti
jenis gugus, lokasi dan jumlah gugus fungsi, gugus tetangga dan hubungan
gugus tersebut dengan gugus tetangga (Mulja, 1995).
Spektroskopi NMR didasarkan pada penyerapan gelombang radio
oleh inti-inti tertentu dalam molekul organik, apabila molekul ini berada
dalam medan magnet yang kuat (Fessenden, 1997). Inti-inti tertentu
menunjukkan perilaku seolah mereka berputar (spin). Karena inti bermuatan
dan muatan putaran menciptakan medan magnetik, inti yang berputar ini
berperilaku sebagai magnet kecil. Inti yang paling penting untuk penetapan
struktur organik dalam spektrofotometri NMR ialah 1H dan
13C yaitu isotop
nonradioaktif yang stabil dari karbon biasa, namun tidak memiliki spin dan
tidak memberikan spektrum NMR (Hart, 2003).
Bila inti dengan spin diletakkan di antara kutub-kutub magnet yang
sangat kuat, inti akan menjajarkan medan magnetiknya sejajar atau
melawan medan magnetik. Inti yang sejajar dengan arah medan magnetik
(paralel) mempunyai energi yang sedikit lebih rendah dari inti yang
melawan arah medan magnetik (antiparalel). Inti dalam medan magnetik
mengalami resonansi bila inti menyerap energi frekuensi radio spesifik inti
pada keadaan spin berenergi lebih rendah tereksitasi ke keadaan spin
berenergi lebih tinggi (Hart, 2003).
Spektrum NMR berupa grafik dari banyaknya energi yang diserap
(intensitas) terhadap kuat medan magnet. Dalam suatu spektrum NMR,
posisi sebuah serapan oleh sebuah proton bergantung pada kuat medan
magnet lokal yang mengitarinya. Biasanya arah medan magnet yang
terpasang dari kiri ke kanan makin besar, bila proton yang lebih mudah
-
18
terbalik akan menyerap energi pada medan magnetik luar lebih rendah,
proton ini menimbulkan puncak spektrum bawah medan (lebih ke kiri).
Proton yang sukar membalik menyerap energi pada medan magnetik luar
tinggi dan menimbulkan puncak spektrum atas medan (lebih ke kanan)
(Fessenden, 1997).
Analisis dengan NMR dilakukan dengan pengamatan pergeseran
kimia. Pergeseran kimia adalah posisi frekuensi resonansi sebuah proton
tertentu dalam pengaruh medan magnet luar berkekuatan tertentu yang
posisinya berbeda dengan proton standar internal. Sebagai standar internal
digunakan TMS (tetrametilsilana), khususnya ditambahkan pada zat yang
tidak larut dalam air. Alasan pemilihan TMS adalah memberikan spektrun
puncak tunggal yang kuat sebagai titik nol, mudah menguap dan dari segi
kimia bersifat lembam (inert) (Mulja, 1995). Pelarut yang digunakan dalam
spektroskopi NMR tidak boleh mengandung proton dalam struktur
molekulnya, titik didih rendah dan lembam. Contoh pelarut non polar yang
digunakan dalam spektroskopi NMR adalah CCl4 atau pelarut dengan
hidrogen yang digantikan oleh deuterium, seperti CDCl3
(deuteriokloroform) dan CD3COCD3 (heksadeuterioaseton) (Hart, 2003).
Selain pelarut kloroform, pelarut lain yang dapat digunakan adalah DMSO
(dimetil sulfoksida), metanol, aseton dan benzena (Harwood & Moody,
1989).
2.9. Tinjauan tentang Mencit
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Anak filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Bangsa : Rodentia
-
19
Anak bangsa : Myomorpha
Suku : Muridae
Anak suku : Murinae
Marga : Mus
Jenis : Mus musculus
(Ballenger, 1999)
Hewan coba yang digunakan adalah mencit, karena struktur
anatomi organ dan proses metabolisme pada mencit hampir sama dengan
manusia, di samping itu juga lebih ekonomis, dan lebih mudah
penanganannya (Baker, 1980). Mencit yang digunakan mencit jantan,
berumur 1,5 bulan, sehat, dan memiliki aktivitas normal sebanyak 55
ekor. Berat mencit jantan dewasa adalah 20-40 gram. Sebelum penelitian
dimulai, semua mencit dipelihara dalam kondisi yang sama selama satu
minggu untuk dapat melakukan penyesuaian, lalu ditimbang setiap hari dan
diamati tingkah laku dan kesehatannya. Mencit dinyatakan sehat dan dapat
digunakan dalam percobaan, bila tingkah lakunya tidak menunjukkan
gejala-gejala sakit, dan berat tubuhnya tidak berkurang lebih dari 10% berat
semula. (Smith & Mangkoewidjojo, 1988).
2.10. Tinjauan tentang Metode Pengujian Efek Analgesik
2.10.1. Metode Rangsangan Kimia
Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi analgesik perifer
dan sentral. Metode ini telah digunakan pada banyak penelitian dan
direkomendasikan sebagai metode skrining yang sederhana (Vogel, 2002).
Induksi nyeri dilakukan dengan injeksi iritan secara intraperitoneal
pada mencit. Reaksi hewan coba adalah meregang atau menggeliat (Vogel,
2002). Metode ini sensitif, reprodusibel untuk analgesik ringan (Turner,
1965). Witkien melakukan percobaan writhing test dengan menggunakan
-
20
tikus jantan. Tikus jantan disuntik secara injeksi intraperitoneal larutan
asam asetat 300 mg/kgBB. Obat yang akan diuji diberikan secara oral lima
belas menit sebelum asam asetat disuntikan kepada tikus. Tiap tikus
kemudian diletakkan pada beker dan setiap geliatan atau regangan pada
tikus tersebut diamati dan dicatat selama dua puluh menit, sedangkan pada
kontrol diberikan salin. Persen proteksi setiap level dosis dikalkulasikan
sebagai berikut (Turner, 1965 ).
% proteksi = 100 (eksperimen X 100)
kontrol
ED50 yaitu dosis efektif yang menghasilkan respons tertentu pada
50% hewan coba dalam kelompok. Dalam hal ini, ED50 adalah dosis efektif
yang dapat mengurangi jumlah geliatan sampai setengah dari hewan
kontrol. Metode ini sensitif dan sederhana untuk analgesik ringan (Turner,
1965).
2.10.2. Metode Rangsangan Mekanik
Metode yang disebut tail-clip (Haffners method) cukup mudah
tetapi hanya bersifat kualitatif karena dengan penjepitan, ekor tikus menjadi
bengkak. Pada metode ini ekor hewan coba (tikus) dijepit dengan alat
penjepit yang dilengkapi dengan pencatat waktu. Alat jepit tersebut
kemudian ditekan dengan sekrup sedikit demi sedikit, sampai timbul rasa
nyeri pada hewan coba. Dengan skala yang tertera pada alat, bandingkan
daya tahan hewan coba terhadap tekanan sebelum dan sesudah pemberian
sediaan uji analgetik (Thompson, 1990).
-
21
2.10.3. Metode Rangsangan Panas
Metode yang dikenal sebagai metode plat panas telah digunakan
oleh banyak peneliti untuk mendeteksi analgesik sentral tetapi tidak untuk
analgesik perifer. Hewan coba yang digunakan adalah mencit atau tikus.
Metode ini dideskripsikan oleh Woolfe dan Mc Donald (1994), tetapi telah
dimodifikasi oleh banyak peneliti. Satu kelompok terdiri dari 10 mencit
dengan berat 18-22 g digunakan untuk masing-masing dosis. Temperatur
hot plate yang digunakan adalah 55-56C. Hewan coba diletakan di atas hot
plate dan diamati waktu reaksi yang terjadi, reaksi dapat berupa menjilat
kaki atau meloncat (Vogel, 2002). Perpanjangan waktu reaksi menunjukkan
efek analgesik.
Pada metode tail immersion (jentik ekor), hewan coba yang
digunakan adalah tikus putih jantan galur Wistar. Ekor hewan coba
dimasukan ke dalam air panas 50C. Prinsip dari metode ini adalah
membandingkan antara waktu yang diperlukan tikus untuk menjentikkan
ekornya sebelum (respons normal) dan sesudah perlakuan.
Pada metode tail-fick, hewan coba (tikus atau mencit) diletakkan
pada restrainer, kemudian ekor hewan coba yang telah ditandai dengan
spidol 3 cm dari ujung disinari dengan lampu 100 watt melalui suatu lensa
fokus. Waktu reaksi yang diamati yaitu waktu antara pemberian stimulus
nyeri berupa panas hingga terjadinya respon seperti menarik, menggeser
atau menjentikkan ekornya (Thompson, 1990).
2.10.4. Metode Stimulasi Elektrik
Metode ini digunakan sebagai penghasil nyeri baik melalui
jaringan listrik pada lantai chamber (wadah hewan coba), elektroda yang
ditempel pada kulit atau elektroda yang ditanam pada ganglia sensoris atau
pada tempat susunan saraf pusat. Cara ini dilakukan dengan memberikan
-
22
arus tertentu pada hewan coba dan apabila hewan coba berada pada tingkat
nyeri level tertentu yang tersedia maka arus akan turun. Setelah itu dapat
diukur ambang rasa nyerinya dan setelah perlakuan, dilakukan percobaan
kembali. Apabila ambang rasa nyeri meningkat setelah perlakuan, maka
dapat disimpulkan bahwa obat tersebut memiliki efek analgesik (Domer,
1971). Keuntungan dari metode ini adalah :
1. Arus dapat diatur meski terjadi fluktuasi daya tahan subyek.
2. Dapat dilakukan pada berbagai hewan coba.
3. Mudah diaplikasikan dan diamati.
4. Dapat menghasilkan stimulasi nyeri yang tinggi tanpa kerusakan
jaringan.
5. Dapat diulang pada interval yang pendek
6. Onsetnya cepat