BAB 2

17
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini dibahas tinjauan tentang nyeri, analgesik, obat golongan NSAIDs, piroksikam, piridin, reaksi-asilasi, rekristalisasi, uji kemurnian senyawa hasil sintesis, identifikasi struktur senyawa hasil sintesis dan pengujian aktivitas analgesik. 2.1. Tinjauan tentang Nyeri Nyeri merupakan suatu gejala yang terjadi ketika ada gangguan di jaringan seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot yang berfungsi sebagai tanda bahaya. Rasa nyeri juga berfungsi sebagai pertahanan tubuh (Tan & Raharjda, 2007). Nyeri timbul jika rangsangan mekanik, termal, kimia dan listrik melampaui suatu nilai ambang nyeri. Rangsangan-rangsangan inilah yang mendorong pelepasan mediator-mediator nyeri seperti histamin, serotonin (5-HT), bradikinin dan prostaglandin serta ion-ion kalium. Mediator ini kemudian mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas dari kulit, mukosa dan jaringan lain dan selanjutnya disalurkan ke otak melalui sum- sum tulang belakang dan diteruskan ke pusat nyeri di hipotalamus hingga dirasakan sebagai nyeri. Kapasitas prostaglandin sebagai mediator adalah menurunkan nilai ambang polimodal nociceptor pada serat C (Burke, 2006). Berdasarkan tempat terjadinya, nyeri dibagi menjadi 2 macam yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik terdiri dari nyeri dalam dan nyeri permukaan. Nyeri dalam dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasikan dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya, sebagai contoh yang paling sering adalah rasa sakit kepala. Nyeri permukaan terjadi apabila ada rangsangan pada kulit dan dapat dilokalisasi dengan baik, selain itu

description

Skripsi

Transcript of BAB 2

  • 6

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    Pada bab ini dibahas tinjauan tentang nyeri, analgesik, obat

    golongan NSAIDs, piroksikam, piridin, reaksi-asilasi, rekristalisasi, uji

    kemurnian senyawa hasil sintesis, identifikasi struktur senyawa hasil

    sintesis dan pengujian aktivitas analgesik.

    2.1. Tinjauan tentang Nyeri

    Nyeri merupakan suatu gejala yang terjadi ketika ada gangguan di

    jaringan seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot yang berfungsi

    sebagai tanda bahaya. Rasa nyeri juga berfungsi sebagai pertahanan tubuh

    (Tan & Raharjda, 2007).

    Nyeri timbul jika rangsangan mekanik, termal, kimia dan listrik

    melampaui suatu nilai ambang nyeri. Rangsangan-rangsangan inilah yang

    mendorong pelepasan mediator-mediator nyeri seperti histamin, serotonin

    (5-HT), bradikinin dan prostaglandin serta ion-ion kalium. Mediator ini

    kemudian mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas dari kulit,

    mukosa dan jaringan lain dan selanjutnya disalurkan ke otak melalui sum-

    sum tulang belakang dan diteruskan ke pusat nyeri di hipotalamus hingga

    dirasakan sebagai nyeri. Kapasitas prostaglandin sebagai mediator adalah

    menurunkan nilai ambang polimodal nociceptor pada serat C (Burke, 2006).

    Berdasarkan tempat terjadinya, nyeri dibagi menjadi 2 macam

    yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik terdiri dari nyeri dalam

    dan nyeri permukaan. Nyeri dalam dirasakan sebagai tekanan, sukar

    dilokalisasikan dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya, sebagai contoh

    yang paling sering adalah rasa sakit kepala. Nyeri permukaan terjadi apabila

    ada rangsangan pada kulit dan dapat dilokalisasi dengan baik, selain itu

  • 7

    biasanya nyeri ini diikuti suatu reaksi menghindar secara refleks, seperti

    menarik kaki pada saat menginjak duri (Mutschler, 1991).

    Nyeri viseral mirip dengan nyeri dalam yaitu sifat tekanan dan

    reaksi-reaksi yang menyertainya. Biasanya nyeri otot terjadi pada tegangan

    organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang dan penyakit yang

    disertai radang (Mutschler, 1991).

    Rasa nyeri dapat diklasifikasikan sebagai nyeri akut dan kronik.

    Nyeri akut merupakan perasaan tidak nyaman, biasanya disebabkan oleh

    penyakit, luka, keracunan kimia, atau stimulasi fisika seperti stimulasi panas

    (Gringauz, 1997). Nyeri akut biasanya bertahan hanya selama durasi

    kerusakan jaringan, sehingga waktunya pendek. Rasa nyeri kronik

    merupakan nyeri yang bertahan untuk periode yang panjang. Contoh

    penyakitnya adalah rheumatoid arthritis.

    Berdasarkan proses terjadinya, nyeri dapat dilawan dengan

    beberapa cara yaitu merintangi pembentukan rangsangan reseptor nyeri

    dengan analgetik perifer (analgetik non narkotik), merintangi penyaluran

    rangsangan di saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anestetik lokal, ataupun

    memblok pusat nyeri di SSP dengan analgesik sentral (analgetik narkotik)

    atau dengan anestetik umum (Tan & Rahardja, 2007).

    2.2. Tinjauan tentang Analgesik

    Analgesik atau obat penghalang nyeri adalah senyawa yang dapat

    mengurangi atau menghalau rasa nyeri dengan cara menekan fungsi sistem

    saraf pusat secara selektif tanpa menghilangkan kesadaran. Berdasarkan

    efek farmakologisnya, analgesik dibagi menjadi dua, analgesik narkotik dan

    analgesik non-narkotik. Obat-obat analgesik golongan narkotik digunakan

    untuk mengurangi rasa sakit dari sedang sampai berat, seperti rasa sakit

    yang disebabkan oleh penyakit kanker, atau serangan jantung akut.

  • 8

    Pemberian obat golongan ini secara terus-menerus dapat menimbulkan

    kertergantungan fisik dan mental atau yang disebut dengan kecanduan,

    selain itu dapat terjadi depresi napas, mual, dan muntah (Purwanto &

    Susilowati, 2000 ; Way et al., 2002). Efek analgesik dari obat golongan ini

    dihasilkan oleh karena pengikatan obat pada sisi reseptor khas pada sel

    dalam otak dan sumsum tulang, rangsangan reseptor tersebut menimbulkan

    efek rasa nyaman dan rasa mengantuk (Purwanto & Susilowati, 2000).

    Contoh obat-obat yang termasuk golongan ini adalah turunan morfin,

    turunan dihidromorfin, petidin dan metadon (Mutschler, 1991).

    Obat golongan analgesik non-narkotik (perifer) adalah obat-obat

    yang mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa

    mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP), sehingga tidak menurunkan

    kesadaran dan tidak menimbulkan ketagihan. Obat-obat golongan ini biasa

    digunakan untuk mengurangi rasa sakit dari yang ringan sampai sedang,

    seperti nyeri kepala, gigi, otot, persendian, (rematik, encok), ataupun perut.

    Efek analgesik yang ditimbulkan oleh obat golongan non-narkotik

    ini, dihasilkan dengan cara menghambat secara langsung dan selektif

    enzim-enzim pada sistem saraf pusat yang mengkatalis biosintesis

    prostaglandin dengan menghambat siklooksigenase, sehingga mencegah

    sensitisasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator nyeri yang dapat

    dirangsang secara mekanis atau kimiawi (Purwanto & Susilowati,2000).

    Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan obat golongan ini adalah

    gangguan lambung-usus, kerusakan hati, ginjal, dan reaksi alergi pada kulit.

    Contoh obat-obat yang termasuk golongan analgesik perifer adalah

    parasetamol, turunan salisilat, golongan penghambat prostaglandin,

    ibuprofen, turunan antranilat (mefenamat), dan turunan pirasolon

    (aminofenazon, metamizol) (Tan & Rahardja, 2007).

  • 9

    2.3. Tinjauan tentang Obat Golongan NSAIDs

    Obat-obat golongan antiinflamasi atau yang sering disebut dengan

    analgetik non steroidal antiinflamatory drugs (NSAIDs) adalah golongan

    obat analgesik non narkotik yang terutama bekerja secara perifer dengan

    aktivitas menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan

    aktivitas enzim siklooksigenase (COX). Enzim tersebut terdiri dari 2

    bagian, yaitu COX-1 dan COX-2. Prostaglandin adalah mediator inflamasi

    yang dilepaskan ketika sel mengalami kerusakan. Prostaglandin tersebut

    berperan penting terhadap timbulnya nyeri, demam, dan reaksi peradangan.

    Obat golongan NSAIDs berkhasiat sebagai analgesik, antipiretik

    dan antiradang serta digunakan untuk menghalau gejala penyakit rematik,

    seperti arthosis (Tan & Rahardja, 2007).

    NSAIDs yang ideal seharusnya bekerja selektif terhadap COX-2

    yang dapat menghambat inflamasi dan tidak menghambat COX-1 agar tetap

    dapat melindungi mukosa lambung (Tan & Rahardja, 2007). Contoh-contoh

    obat yang termasuk dalam golongan NSAIDs yaitu: turunan asam salisilat

    (aspirin, salsalat), turunan asam propionat (fenbufen, ibuprofen), turunan

    asam fenamat (asam mefenamat, meklofenamat), turunan pirazolon

    (fenilbutazon), turunan asam fenilasetat (diklofenak), turunan asam asetat

    inden/indol (indometasin), turunan oksikam (tenoksikam, piroksikam).

    2.4. Tinjauan tentang Piroksikam

    N NH

    O

    N

    SH3C

    OO

    OH

    Gambar 2.1. Struktur molekul piroksikam

  • 10

    Rumus molekul : C15H13N3O4

    BM : 331.35

    Piroksikam memiliki sifat fisika kimia berupa serbuk putih, hampir

    putih atau coklat terang atau kuning, tidak berbau. Bentuk piroksikam

    memiliki karakteristik monohidrat berwarna kuning, yang sangat sukar

    larut dalam air, asam-asam encer dan sebagian besar pelarut organik, sukar

    larut dalam etanol dan dalam larutan alkali mengandung air (Depkes RI,

    1995).

    Piroksikam merupakan suatu turunan oksikam yang juga adalah

    penghambat COX nonselektif tetapi pada konsentrasi tinggi juga dapat

    menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear, mengurangi produksi

    radikal oksigen dan menghambat fungsi limfosit. Piroksikam memiliki

    waktu paruh rata-rata 50-60 jam. Waktu paruh yang panjang tersebut

    memungkinkan dosis satu kali sehari. Piroksikam cepat diserap oleh

    lambung dan usus halus bagian atas dan mencapai 80% dari konsentrasi

    puncak plasmanya dalam 1 jam. Piroksikam dimetabolisme secara ekstensif

    menjadi metabolit yang tidak aktif dan mempunyai sirkulasi enterohepatis,

    kemudian juga penggunaannya pada kerusakan ginjal. Piroksikam

    diekskresi sebagai konjugat glukuronid dan sebagian kecil sebagai obat

    yang tidak berubah. Toksisitas meliputi gejala-gejala gastrointestinal (20%

    dari pasien), pusing, tinitus, sakit kepala dan ruam kulit. Bila piroksikam

    diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dari 20 mg/hari maka ditemukan

    peningkatan insiden ulkus peptikum dan pendarahan (Katzung, 2002).

  • 11

    2.5. Tinjauan tentang Piridin

    Gambar 2.2. struktur piridin

    (Fessenden & Fessenden, 1997).

    Rumus molekul : C5H5N

    BM : 79,10

    Piridin merupakan cairan jernih, tidak berwarna, memiliki bau

    tidak enak dan higroskopik. Dapat bercampur dengan air, etanol 95 %, dan

    dengan kloroform (FI III, 1979).

    2.6. Tinjauan tentang Reaksi Asilasi

    Asilasi adalah suatu reaksi yang memindahkan gugus asil dari satu

    molekul ke molekul yang lain. Gugus penerima biasanya alkohol

    (membentuk ester) atau amina (membentuk amida). Gugus karbonil punya

    dua fungsi yaitu menyediakan tempat untuk penyerangan oleh nukleofilik

    dan meningkatkan keasaman dari hidrogen pada karbon alfa (Fessenden &

    Fessenden, 1986).

    Gamb

    ar 2.3. Mekanisme reaksi asilasi (Morrison & Boyd, 1987)

    Keterangan :

    Y : Gugus pergi

    Z : Nukleofil

    N

    CR

    O

    Y

    ::

    + z : CR

    O

    Z

    Y

    : :. . -

    C R O

    Z

    + Y-

  • 12

    Ada tiga macam reaksi asilasi yaitu reaksi asilasi O, N dan C.

    Asilasi O merupakan reaksi substitusi pada gugus karbonil dengan senyawa

    yang punya atom O pada gugus X, gugus asil tersebut berikatan langsung

    dengan atom O menggantikan gugus H pada gugus OH. Asilasi N

    merupakan reaksi substitusi pada karbonil dari gugus asil dengan senyawa

    yang punya atom N, gugus asil tersebut berikatan langsung dengan atom N

    menggantikan atom H pada NH2 sedangkan asilasi C merupakan reaksi

    substitusi pada gugus karbonil dari gugus asil dengan senyawa yang punya

    atom C. Gugus asil tersebut berikatan langsung dengan atom C (Pine et al,

    1988). Reaksi antara piroksikam dengan suatu asil klorida (3,4-

    diklorobenzoil klorida) adalah reaksi asilasi O.

    Metode yang digunakan untuk melakukan reaksi asilasi adalah

    metode Schotten-Baumann. Pada metode ini, nukleofil (alkohol dan amina)

    menyerang gugus karbinol elektrofilik dari asil halida. Sintesis ini dilakukan

    pada suasana basa dan semua bahan larut dalam pelarut yang digunakan.

    Selain ditambah NaOH yang berfungsi untuk menetralkan HCl yang

    dibebaskan (membentuk natrium klorida yang larut air) juga ditambahkan

    piridin untuk mengubah HCl menjadi agen alkalis yang lebih kuat

    (Morisson & Boyel, 1987).

    2.7. Tinjauan tentang Pemurnian Senyawa Hasil Sintesis

    2.7.1. Tinjauan tentang Rekristalisasi

    Rekristalisasi adalah salah satu metode pemurnian hasil sintesis

    yaitu zat padat organik yang biasanya terkontaminasi sejumlah kecil

    komponen lain. Komponen tersebut terjadi sebagai hasil samping reaksi.

    Pemurnian zat hasil sintesis dengan kristalisasi didasarkan pada perbedaan

    kelarutannya dalam pelarut yang ditentukan atau campuran pelarut. Pelarut

    yang dipilih yaitu zat padat sebagian larut dalam temperatur kamar dan

  • 13

    lebih larut dalam temperatur tinggi. Kunci dari prosedur rekristalisasi ini

    adalah penggunaan jumlah pelarut sekecil mungkin yang menunjukkan zat

    padat larut pada temperatur tinggi (titik didih pelarut), jika zat padat

    tersebut stabil pada temperatur kamar, sehingga bahan yang tidak

    diinginkan tidak larut dan dapat disaring. Zat padat hasil sintesis akan

    mengendap dalam larutan filtrat yang didinginkan pada temperatur kamar

    dan kemudian dipisahkan dari supernatannya (Kenkel, 1994; Vogel, 1978).

    2.7.2. Tinjauan tentang Kromatografi Lapis Tipis

    Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah teknik pemisahan zat

    berdasarkan kecepatan migrasi dari masing-masing komponennya pada

    fase diam yang berupa sebuah lapisan tipis di bawah pengaruh pelarut yang

    bergerak (Stahl, 1985).

    Pemisahan terjadi karena ada perbedaan kekuatan ikatan antara

    fase pengembang dan fase diam dari senyawa yang dianalisis. Kekuatan

    ikatan senyawa terhadap fase diam menentukan lama senyawa tersebut

    tertahan dalam fase diam, yang tergantung pada tetapan distribusi dari

    masing-masing senyawa. Senyawa yang memiliki kekuatan ikatan yang

    rendah terhadap fase diam akan dielusi terlebih dahulu, dan sebaliknya

    senyawa dengan kekuatan ikatan yang lebih besar terhadap fase diam

    dielusi lebih lambat (Skoog, 1992). Kecepatan migrasi dari tiap komponen

    tergantung pada suatu konstanta yang disebut koefisien partisi atau

    koefisien distribusi, dengan rumus sebagai berikut:

    K = Cs

    Cm

    Cs adalah konsentrasi solut pada fase diam, Cm adalah konsentrasi solut

    pada fase pengembang.

  • 14

    Besarnya hambatan yang terjadi pada fase diam dinyatakan dengan

    harga Rf (Retardation Factor), yang dapat dihitung dengan rumus sebagai

    berikut :

    Rf = Jarak yang ditempuh masing-masing substansi

    Jarak yang ditempuh larutan fase gerak

    Harga Rf merupakan parameter yang menyatakan posisi komponen setelah

    proses eluasi. Harga Rf dinyatakan dalam desimal pada rentang 0,20-0,80.

    Harga Rf dipengaruhi oleh pelarut, kejenuhan bejana, kelembaban udara,

    konsentrasi dan kompetisi larutan yang diperiksa, ketidakhomogenan kertas,

    arah serabut kertas, senyawa asing dan pencemaran pelarut (Stahl, 1985;

    Skoog, 1992).

    KLT dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif.

    Analisis kualitatif yaitu antara lain identifikasi kemurnian senyawa organik

    dan identifikasi campuran suatu zat organik yang dipisahkan. Analisis

    kualitatif dilakukan dengan membandingkan antara harga Rf dengan harga

    Rf teoritis dari suatu analit dengan pembandingnya. Jika harga Rf senyawa

    yang diuji sama dengan harga Rf senyawa pembanding, maka senyawa

    yang diuji identik dengan senyawa pembanding. Analisis kuantitatif

    diperoleh dengan membandingkan luas area noda analit dengan

    standardnya (Skoog, 1992).

    2.7.3. Tinjauan tentang Titik Leleh

    Titik leleh adalah temperatur saat zat padat kristal berubah menjadi

    bentuk cairan pada tekanan 1 atm. Titik leleh ini merupakan salah satu

    kriteria untuk identifikasi kemurnian komponen organik.

    Senyawa organik murni, pada umumnya memiliki kepastian dan

    ketajaman suhu titik leleh yang rentangnya tidak melebihi 0,5oC. Titik leleh

    pada senyawa organik dipengaruhi oleh ukuran kristal, jumlah material,

  • 15

    kecepatan pemanasan pengotor lain. Pengotor menyebabkan titik leleh turun

    dan melebar rentang leburnya (Vogel, 1978)

    2.8. Tinjauan tentang Uji Identifikasi Struktur Senyawa Hasil

    Sintesis

    2.8.1. Tinjauan tentang Spektrofotometri Ultraviolet

    Spektrofotometri UV merupakan identifikasi secara kualitatif

    dengan melihat intensitas dan panjang gelombang maksimum () dari

    spektrum senyawa yang terbentuk. Intensitas dan maksimum tergantung

    dari struktur molekul senyawa elektronik dari gugus yang terdapat dari

    struktur molekul senyawa. Gugus yang dapat menyebabkan terjadinya

    penyerapan cahaya dari daerah ultraviolet dan sinar tampak dari gugus

    kromofor, sedangkan gugus yang dapat mengubah intensitas serapan dan

    maksimum disebut gugus auksokrom (Mulja & Suharman, 1995). Gugus

    kromofor yaitu suatu gugus yang mempunyai ikatan kovalen tidak jenuh

    dan mengandung elektronik terkonjugasi, yang bertanggung jawab pada

    serapan elektronik. Contoh gugus kromofor yang menyebakan transisi n ke

    * adalah C=C, C=O, NO2. Gugus ausokrom adalah gugus jenuh yang

    memiliki elektron bebas, jika gugus ini terikat pada gugus kromofor dapat

    merubah panjang gelombang dan intensitas serapan. Contoh gugus

    ausokrom adalah OH, -NH2 dan Cl atau gugus halogen (Roth & Blaschke,

    1994).

    Spektrofotometri ultraviolet memberikan informasi mengenai

    transisi elektron dalam molekul. Radiasi ultraviolet yang tinggi

    menyebabkan elektron berpindah dari tingkat energi yang satu menuju

    tingkat energi yang lain yang biasanya mampu memecah ikatan kimia.

    Umumnya, spektrofotometri ultraviolet memberi serapan pada daerah 200-

    400 nm, serapan di bawah 200 nm dapat terjadi apabila dilakukan dalam

  • 16

    vakum atau pada lingkungan beratmosfir nitrogen murni (Silverstein et al.,

    1991). Pelarut yang digunakan harus tidak atau hanya sedikit menunjukkan

    absorpsi sendiri serta dapat melarutkan dengan mudah senyawa yang

    dianalisis. Pelarut terutama yang digunakan adalah air, etanol, metanol,

    asetonitril dan heksan (Roth & Blaschke, 1994)

    2.8.2. Tinjauan tentang Spektrofotometri Inframerah

    Spektrofotometri inframerah adalah salah satu metode instrumen

    yang terutama bermanfaat untuk menetapkan jenis ikatan yang ada dalam

    molekul (Hart, 2003). Spektroskopi inframerah dapat digunakan untuk

    analisis kualitattif dan kuantitatif serta yang terpenting dari spektroskopi

    inframerah adalah dapat digunakan untuk mengidentifikasi komponen

    organik yang memiliki spektra yang umumnya kompleks (Skoog, 1992).

    Radiasi inframerah yang dipakai untuk analisis instrumen adalah

    radiasi inframerah yang rentang bilangan gelombangnya () antara 4000

    hingga 650 cm-1

    . Radiasi inframerah tersebut terbagi atas dua daerah yaitu;

    daerah gugus fungsi pada rentang antara 4000 hingga 1300 cm-1

    dan

    daerah sidik jari pada rentang antara 1300 hingga 650 cm-1

    (Silverstein,

    1986).

    Daerah gugus fungsi adalah daerah bagian kiri spektrum inframerah

    yang khusus berguna dalam identifikasi gugus fungsional. Daerah di kanan

    spektrum inframerah pada 1300 cm-1

    adalah sidik jari yang sangat rumit

    bentuknya karena pita serapan yang ditimbulkan akibat gabungan ikatan

    tunggal baik modus tekuk dan ulur yang hampir sama sehingga sulit untuk

    ditafsirkan, namun tiap senyawa organik mempunyai serapan yang unik

    sehingga menjadi khas untuk senyawa organik (Fessenden, 1997).

  • 17

    2.8.3. Tinjauan tentang Spektrometri Nuclear Magnetic Resonance

    Spektrometri Nuclear Magnetic Resonance (NMR) dapat

    digunakan untuk analisis kualitatif, khususnya dalam penentuan struktur

    molekul zat organik. Spektrofotometri dapat memberikan gambaran seperti

    jenis gugus, lokasi dan jumlah gugus fungsi, gugus tetangga dan hubungan

    gugus tersebut dengan gugus tetangga (Mulja, 1995).

    Spektroskopi NMR didasarkan pada penyerapan gelombang radio

    oleh inti-inti tertentu dalam molekul organik, apabila molekul ini berada

    dalam medan magnet yang kuat (Fessenden, 1997). Inti-inti tertentu

    menunjukkan perilaku seolah mereka berputar (spin). Karena inti bermuatan

    dan muatan putaran menciptakan medan magnetik, inti yang berputar ini

    berperilaku sebagai magnet kecil. Inti yang paling penting untuk penetapan

    struktur organik dalam spektrofotometri NMR ialah 1H dan

    13C yaitu isotop

    nonradioaktif yang stabil dari karbon biasa, namun tidak memiliki spin dan

    tidak memberikan spektrum NMR (Hart, 2003).

    Bila inti dengan spin diletakkan di antara kutub-kutub magnet yang

    sangat kuat, inti akan menjajarkan medan magnetiknya sejajar atau

    melawan medan magnetik. Inti yang sejajar dengan arah medan magnetik

    (paralel) mempunyai energi yang sedikit lebih rendah dari inti yang

    melawan arah medan magnetik (antiparalel). Inti dalam medan magnetik

    mengalami resonansi bila inti menyerap energi frekuensi radio spesifik inti

    pada keadaan spin berenergi lebih rendah tereksitasi ke keadaan spin

    berenergi lebih tinggi (Hart, 2003).

    Spektrum NMR berupa grafik dari banyaknya energi yang diserap

    (intensitas) terhadap kuat medan magnet. Dalam suatu spektrum NMR,

    posisi sebuah serapan oleh sebuah proton bergantung pada kuat medan

    magnet lokal yang mengitarinya. Biasanya arah medan magnet yang

    terpasang dari kiri ke kanan makin besar, bila proton yang lebih mudah

  • 18

    terbalik akan menyerap energi pada medan magnetik luar lebih rendah,

    proton ini menimbulkan puncak spektrum bawah medan (lebih ke kiri).

    Proton yang sukar membalik menyerap energi pada medan magnetik luar

    tinggi dan menimbulkan puncak spektrum atas medan (lebih ke kanan)

    (Fessenden, 1997).

    Analisis dengan NMR dilakukan dengan pengamatan pergeseran

    kimia. Pergeseran kimia adalah posisi frekuensi resonansi sebuah proton

    tertentu dalam pengaruh medan magnet luar berkekuatan tertentu yang

    posisinya berbeda dengan proton standar internal. Sebagai standar internal

    digunakan TMS (tetrametilsilana), khususnya ditambahkan pada zat yang

    tidak larut dalam air. Alasan pemilihan TMS adalah memberikan spektrun

    puncak tunggal yang kuat sebagai titik nol, mudah menguap dan dari segi

    kimia bersifat lembam (inert) (Mulja, 1995). Pelarut yang digunakan dalam

    spektroskopi NMR tidak boleh mengandung proton dalam struktur

    molekulnya, titik didih rendah dan lembam. Contoh pelarut non polar yang

    digunakan dalam spektroskopi NMR adalah CCl4 atau pelarut dengan

    hidrogen yang digantikan oleh deuterium, seperti CDCl3

    (deuteriokloroform) dan CD3COCD3 (heksadeuterioaseton) (Hart, 2003).

    Selain pelarut kloroform, pelarut lain yang dapat digunakan adalah DMSO

    (dimetil sulfoksida), metanol, aseton dan benzena (Harwood & Moody,

    1989).

    2.9. Tinjauan tentang Mencit

    Kerajaan : Animalia

    Filum : Chordata

    Anak filum : Vertebrata

    Kelas : Mammalia

    Bangsa : Rodentia

  • 19

    Anak bangsa : Myomorpha

    Suku : Muridae

    Anak suku : Murinae

    Marga : Mus

    Jenis : Mus musculus

    (Ballenger, 1999)

    Hewan coba yang digunakan adalah mencit, karena struktur

    anatomi organ dan proses metabolisme pada mencit hampir sama dengan

    manusia, di samping itu juga lebih ekonomis, dan lebih mudah

    penanganannya (Baker, 1980). Mencit yang digunakan mencit jantan,

    berumur 1,5 bulan, sehat, dan memiliki aktivitas normal sebanyak 55

    ekor. Berat mencit jantan dewasa adalah 20-40 gram. Sebelum penelitian

    dimulai, semua mencit dipelihara dalam kondisi yang sama selama satu

    minggu untuk dapat melakukan penyesuaian, lalu ditimbang setiap hari dan

    diamati tingkah laku dan kesehatannya. Mencit dinyatakan sehat dan dapat

    digunakan dalam percobaan, bila tingkah lakunya tidak menunjukkan

    gejala-gejala sakit, dan berat tubuhnya tidak berkurang lebih dari 10% berat

    semula. (Smith & Mangkoewidjojo, 1988).

    2.10. Tinjauan tentang Metode Pengujian Efek Analgesik

    2.10.1. Metode Rangsangan Kimia

    Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi analgesik perifer

    dan sentral. Metode ini telah digunakan pada banyak penelitian dan

    direkomendasikan sebagai metode skrining yang sederhana (Vogel, 2002).

    Induksi nyeri dilakukan dengan injeksi iritan secara intraperitoneal

    pada mencit. Reaksi hewan coba adalah meregang atau menggeliat (Vogel,

    2002). Metode ini sensitif, reprodusibel untuk analgesik ringan (Turner,

    1965). Witkien melakukan percobaan writhing test dengan menggunakan

  • 20

    tikus jantan. Tikus jantan disuntik secara injeksi intraperitoneal larutan

    asam asetat 300 mg/kgBB. Obat yang akan diuji diberikan secara oral lima

    belas menit sebelum asam asetat disuntikan kepada tikus. Tiap tikus

    kemudian diletakkan pada beker dan setiap geliatan atau regangan pada

    tikus tersebut diamati dan dicatat selama dua puluh menit, sedangkan pada

    kontrol diberikan salin. Persen proteksi setiap level dosis dikalkulasikan

    sebagai berikut (Turner, 1965 ).

    % proteksi = 100 (eksperimen X 100)

    kontrol

    ED50 yaitu dosis efektif yang menghasilkan respons tertentu pada

    50% hewan coba dalam kelompok. Dalam hal ini, ED50 adalah dosis efektif

    yang dapat mengurangi jumlah geliatan sampai setengah dari hewan

    kontrol. Metode ini sensitif dan sederhana untuk analgesik ringan (Turner,

    1965).

    2.10.2. Metode Rangsangan Mekanik

    Metode yang disebut tail-clip (Haffners method) cukup mudah

    tetapi hanya bersifat kualitatif karena dengan penjepitan, ekor tikus menjadi

    bengkak. Pada metode ini ekor hewan coba (tikus) dijepit dengan alat

    penjepit yang dilengkapi dengan pencatat waktu. Alat jepit tersebut

    kemudian ditekan dengan sekrup sedikit demi sedikit, sampai timbul rasa

    nyeri pada hewan coba. Dengan skala yang tertera pada alat, bandingkan

    daya tahan hewan coba terhadap tekanan sebelum dan sesudah pemberian

    sediaan uji analgetik (Thompson, 1990).

  • 21

    2.10.3. Metode Rangsangan Panas

    Metode yang dikenal sebagai metode plat panas telah digunakan

    oleh banyak peneliti untuk mendeteksi analgesik sentral tetapi tidak untuk

    analgesik perifer. Hewan coba yang digunakan adalah mencit atau tikus.

    Metode ini dideskripsikan oleh Woolfe dan Mc Donald (1994), tetapi telah

    dimodifikasi oleh banyak peneliti. Satu kelompok terdiri dari 10 mencit

    dengan berat 18-22 g digunakan untuk masing-masing dosis. Temperatur

    hot plate yang digunakan adalah 55-56C. Hewan coba diletakan di atas hot

    plate dan diamati waktu reaksi yang terjadi, reaksi dapat berupa menjilat

    kaki atau meloncat (Vogel, 2002). Perpanjangan waktu reaksi menunjukkan

    efek analgesik.

    Pada metode tail immersion (jentik ekor), hewan coba yang

    digunakan adalah tikus putih jantan galur Wistar. Ekor hewan coba

    dimasukan ke dalam air panas 50C. Prinsip dari metode ini adalah

    membandingkan antara waktu yang diperlukan tikus untuk menjentikkan

    ekornya sebelum (respons normal) dan sesudah perlakuan.

    Pada metode tail-fick, hewan coba (tikus atau mencit) diletakkan

    pada restrainer, kemudian ekor hewan coba yang telah ditandai dengan

    spidol 3 cm dari ujung disinari dengan lampu 100 watt melalui suatu lensa

    fokus. Waktu reaksi yang diamati yaitu waktu antara pemberian stimulus

    nyeri berupa panas hingga terjadinya respon seperti menarik, menggeser

    atau menjentikkan ekornya (Thompson, 1990).

    2.10.4. Metode Stimulasi Elektrik

    Metode ini digunakan sebagai penghasil nyeri baik melalui

    jaringan listrik pada lantai chamber (wadah hewan coba), elektroda yang

    ditempel pada kulit atau elektroda yang ditanam pada ganglia sensoris atau

    pada tempat susunan saraf pusat. Cara ini dilakukan dengan memberikan

  • 22

    arus tertentu pada hewan coba dan apabila hewan coba berada pada tingkat

    nyeri level tertentu yang tersedia maka arus akan turun. Setelah itu dapat

    diukur ambang rasa nyerinya dan setelah perlakuan, dilakukan percobaan

    kembali. Apabila ambang rasa nyeri meningkat setelah perlakuan, maka

    dapat disimpulkan bahwa obat tersebut memiliki efek analgesik (Domer,

    1971). Keuntungan dari metode ini adalah :

    1. Arus dapat diatur meski terjadi fluktuasi daya tahan subyek.

    2. Dapat dilakukan pada berbagai hewan coba.

    3. Mudah diaplikasikan dan diamati.

    4. Dapat menghasilkan stimulasi nyeri yang tinggi tanpa kerusakan

    jaringan.

    5. Dapat diulang pada interval yang pendek

    6. Onsetnya cepat